Anda di halaman 1dari 5

NAMA : I DEWA GEDE SURYA PRADITA

NIM : 1804554001

MATA KULIAH : HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN (UTS)

NAMA DOSEN : Dr. Jimmy Z Usfunan, SH., MH

1. Korelasi antara peraturan perundang-undangan dengan hak asasi manusia (HAM)


Di Indonesia konstitusi UUD 1945 telah memuat mengenai perlindungan HAM, yaitu dalam
Pasal 27, 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, 28J. Selain itu diatur juga dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan adanya kepastian hukum
mengenai HAM, maka harkat dan martabat manusia akan lebih terjamin. Di sinilah peran
hukum bekerja. Hukum harus mampu memperjuangkan kemanusiaan melalui rumusan-
rumusan yang telah dibentuk oleh legislator maupun melalui hukum tidak tertulis yang
hidup di masyarakat. Hukum yang berperspektif hak-hak asasi manusia sangatlah penting
bagi keberlangsungan suatu negara. Adanya pelanggaran HAM terhadap seorang manusia,
sama saja hal tersebut telah melukai sisi kemanusiaan manusia tersebut. Kondisi yang
demikian, memerlukan hukum yang kuat dalam mengadili sehingga korelasi antara
hukum/peraturan perundang-undangan yang mengatur dengan adanya hak asasi yang
dimiliki oleh manusia sangat kuat.
2. Ketentuan Pasal 2 UU 12/2011 menerangkan bahwa Pancasila merupakan sumber segala
sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Omnibus law sangat berkaitan dengan upaya penyederhanaan regulasi dalam rangka
harmonisasi peraturan perundang-undangan. Penggunaan metode omnibus law sebagai
upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan mampu menekan ego sektoral yang
terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu
dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Metode omnibus law yang dibentuk
menggunakan cara modifikasi menjadikan peraturan perundang-undangan bisa beradaptasi
dengan kondisi riil di masyarakat. Penggunaan metode omnibus law yang mengubah
dan/atau mencabut berbagai ketentuan UU akan memperluas cakupan sektor yang diatur.
Hal ini menyebabkan golongan masyarakat yang terdampak akan lebih banyak daripada
masyarakat yang terdampak dari pembuatan UU pada umumnya. Satu UU yang mengubah
dan/atau mencabut berbagai ketentuan UU lainnya untuk kemudian diatur di dalam UU
tersebut bisa memberikan dampak positif maupun negatif terhadap sektor-sektor yang
diatur dalam satu UU tersebut. Dampak positifnya adalah menyederhanakan sehingga
terjadi penataan kembali regulasi serta prosedural dari UU yang disatukan itu.
4. Indonesia merupakan Negara hukum artinya semua peraturan perundang-undangan harus
bersumberkan kepada UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi. Semua peraturan
perundang-undangan dibawah UUD 1945 merupakan penjelasan dari asas-asas ideology,
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum yang adalah UUD 1945, oleh sebab itu maka
peraturan perundang-undangan mempunyai aspek formil dan aspek materil. Landasan
formal konstitusional dimaksud untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap
pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Landasan materil konstitusional
dimaksudkan untuk memberikan sinyal bahwa peraturan perundang-undangan yang
dibentuk merupakan penjabaran dari pasal-pasal UUD 1945. Pada umumnya terdapat
berbagai asas-asas hukum umum atau prinsip hukum (general printciples of law) harus
diperhatikan dan diperlukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu:
1. Asas lex superiot derogate legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya didahulukan berlakunya daripada peraturan perundangundangan
yang lebih rendah dan sebaliknya.
2. Asas lex specialis derogate legi generali, yaitu peraturan perundangan-undangan khusus
didahulukan berlakunya daripada peraturan perundang-undangan yang umum.
3. Asas lex posterior derogate legi priori, peraturan perundang-undangan yang baru
didahulukan berlakunya dsripada yag terdahulu.
4. Asas lex neminem cogit ade impossobilia, yaitu peraturan perundang-undangan yang
tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan atau
disering disebut sebagai asas kepatutan.
5. Asas lex perfecta, yaitu peraturan perundang-undangan tidak saja melarang suatu
tindakan tetapi juga menyatakan tindakan terlarang itu batal.
6. Asas non retroactive, yaitu peraturan perundang-undangan tidak dimaksukan untuk
berlaku surut karena akan menimbulkan kepastuan hukum.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, mengingatkan kepada pembentuk undang-undang agar selalu
memperhatikan asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dan asas
materi muatan. Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
meliputi:
1) “asas kejelasan tujuan” , bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2) “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” , bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang, Peraturan Perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang;
3) “asas kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan” , bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan
materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan;
4) “asas dapat dilaksanakan”, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;
5) “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”, bahwa setiap Peraturan perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
6) “asas kejelasan rumusan”, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundangundangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya;
7) “asas keterbukaan”, bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,
dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
6. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
merupakan wujud dari pelaksanaan asas keterbukaan yang merupakan salah satu asas
dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Penjelasan Pasal 5 huruf g
UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan ”asas keterbukaan”
adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat
melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Lebih lanjut Hadjon
menyatakan bahwa keterbukaan, baik ”openheid” maupun ”openbaar-heid” sangat penting
arti nya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis.
7. Pengaturan sanksi pidana tak boleh diatur dalam aturan turunan. Sebab, pengaturan sanksi
pidana hanya diperbolehkan pada level UU dan peraturan daerah. Oleh karenanya, aturan
turunan berupa peraturan pemerintah hingga peraturan presiden (Perpres) dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tak boleh mengatur sanksi pidana berupa
pidana penjara atau denda. Hal ini mengacu pada asas no punist without representative,
pencantuman rumusan norma sanksi pidana hanya diperbolehkan dengan persetujuan
rakyat melalui perwakilannya, dalam hal ini persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sementara Perda, atas persetujuan dari Gubernur dan/atau bupati dan/atau walikota. Perda
dibatasi hanya untuk ancaman pidana dalam level Perda. Pasal 15 ayat (1) menyebutkan,
“Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”. Sementara ayat
(2) menyebutkan, “Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”. Sedangkan ayat (3) menyebutkan,
“Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman
pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai
dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya”.
8. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dean Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dikatakan bahwa tugas dan wewenang MPR yaitu; mengubah dan
menetapkan UUD, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, memutuskan usul DPR
berdasarkan putusan MK untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya, melantik Wakil Presiden menjadi Presiden jika Presiden berhalangan,
memilih Wakil Presiden bila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya, dan memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila keduanya berhenti
secara bersamaan.

DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan lembaga perwakilan politik. Secara
kelembagaan, DPR secara keanggotaan merupakan anggota dalam MPR. Pasal 20A UUDNRI
Tahun 1945 jo Pasal 25 UU no. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dean Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dikatakan bahwa DPR memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi yaitu membentuk UU yang dibahas
bersama Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Fungsi anggaran yaitu menyusun
dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bersama Presiden
dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Fungsi pengawasan yaitu melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan UUDNRI Tahun 1945, UU, serta peraturan-peraturan
pelaksananya.

Pasal 40 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dean Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dijelaskan bahwa kedudukan DPD dari struktur ketatanegaraan Indonesia adalah
lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Oleh karena
sebagai lembaga negara, maka DPD sejajar kedudukannya dengan lembaga negara lainnya
(MPR, DPR, Presiden-Wakil Presiden, BPK, MA, dan MK).

Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun
Angkatan Udara, sehingga bisa dikatakan juga bahwa Presiden merupakan panglima
tertinggi. Terkait dengan pembentukan produk hukum, Presiden memiliki kewenangan
untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR, melakukan pembahasan
dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR dan mengesahkannya menjadi Undang-
Undang. Wakil Presiden merupakan pembantu kepala negara sekaligus kepala pemerintahan
Republik Indonesia sehingga secara umum tugas dan wewenang Wakil Presiden yaitu
membantu Presiden di dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

9. Ketetapan MPR mempunyai kedudukan yang kuat di dalam hierarki yang sekaligus berada di
bawah UUD 1945. Menurut Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 sebagai pengganti dari
Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia masih berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-
Undang. Hal tersebut berarti, bahwa TAP MPR masih mempunyai fungsi sebagai pelaksana
aturan-aturan pokok yang ada di dalam UUD 1945 dan sekaligus mengarahkan haluan
negara yang tertuang di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). TAP MPR Nomor
III/MPR/2000, Ketetapan MPR masih mempunyai kedudukan sebagai bagian dari hierarki
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, setelah dilakukan perubahan terhadap UUD
1945. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, ini berarti Ketetapan MPR kembali mempunyai kedudukan dalam
hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Implikasi-nya sungguh sangat besar
dan signifikan, karena Ketetapan MPR kembali menjadi sumber hukum formal dan material.
Ketetapan MPR harus kembali menjadi rujukan atau salah satu rujukan selain UUD 1945
bukan hanya dalam pembentukan perundangundangan di negeri ini, melainkan juga dalam
pembentukan kebijakan-kebijakan publik lainnya. DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak
harus memperhatikan Ketetapan MPR yang masih berlaku, bahkan merujuk kepadanya
dalam pembentukan undangundang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Indonesia menganut sistem hierarkis, yaitu bahwa peraturan perundang-undangan yang
berada lebih bawah tidak boleh bertentangan dengan yang berada di atasnya. Demikian juga
dengan pembentukan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah
mutlak harus mendasarkan secara formal dan material kepada Ketetapan MPR. TAP MPR
yang masih dianggap berlaku tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 4, dengan total sebanyak 13
TAP MPR yang masih berlaku. TAP MPR yang masih berlaku tersebut, adalah :
1. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh Wilayah Indonesia bagi Partai
Komunis Indonesia dan larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
2. Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi
Ekonomi.
3. Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
4. Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. (dalam
perkembangan terakhir telah terbentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda
Jasa, dan Tanda Kehormatan)
5. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
KKN.
6. Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan,
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam NKRI.
7. Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional.
8. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Indonesia.
9. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
10. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
11. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
12. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
13. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolahan
Sumber Daya Alam.

Anda mungkin juga menyukai