APPENDISITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Appendisitis akut adalah radang yang timbul secara mendadak
pada appendiks, dicetuskan berbagai faktor diantaranya adalah
hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor appendiks dan cacing
ascaris.
2. Anamnesis a. Tanda awal nyeri di epigastrum atau region umbilicus disertai
mual dan anoreksia.
b. Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda
ransangan peritoneum lokal di titik Mc. Burney, demam
biasanya ringan (suhu sekitar 37,5-38,5○C). bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi.
3. Pemeriksaan Fisik a. Abdomen
● Auskultasi
̵ Biasanya normal
̵ Peristaltic dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat apendisitis perforate.
● Inspeksi
̵ Tidak ditemukan gambaran spesifik
̵ Kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi
̵ Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada
masa abses periapendikuler
̵ Tampak perut kanan bawah tertinggal pada
pernafasan
● Palpasi
̵ Nyeri tekan, nyeri lepas dan adanya defans
muskuler
̵ Nyeri ransangan peritoneum tidak langsung :
✔ Rovsign’s Sign : nyeri kanan bawah pada tekanan kiri
✔ Blumberg’ Sign : nyeri kanan bawah bila tekanan
disebelah kiri dilepaskan
̵ Defans muscular menunjukkan adanya ransangan
peritoneum parietale. Pada apendisitis retrosekal atau
retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan
adanya rasa nyeri.
1
̵ Perkusi
✔ Timpanitis
✔ Pekak hati menghilang
b. Rectal toucher
̵ Tonus musculus sfingter ani baik
̵ Ampula kolaps
̵ Nyeri tekan pada daerah jam 9 dan 12
̵ Terdapat massa yang menekan rectum (jika ada
abses)
c. Uji psoas
Dilakukan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi
panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian
paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di
m. poas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
d. Uji obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang
kontak dengan m. obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul
pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak apendiks.
4. Kriteria Diagnosis a. Sesuai anamnesis
b. Sesuai gejala klinis
c. Sesuai pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Appendisitis Akut
6. Diagnosis Banding a. Batu Ureter Kanan
b. Kelainan Ginekologi
c. Tumor Calcus
d. Crohn’s Disease
e. Kehamilan Ektopik Terganggu
7.Pemeriksaan 1. Laboratorium
Penunjang ̵ Pemeriksaan darah : leukositosis. Pada apendikular
infiltrate, LED akan meningkat.
̵ Pemeriksaan urin : eritrosit, lekosit, dan bakteri
dalam urin.
2. Radiologi
̵ Foto polos abdomen.
Pada appendisitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi
komplikasi (misalnya peritonitis) tampak :
✔ Scoliosis ke kanan
✔ Psoas shadow tak tampak
2
✔ Bayangan gas usus kanan bawah tak tampak
✔ Garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
✔ 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak
̵ USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila
dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan
ektopik, adnecitis dn sebagainya.
̵ Barium Enema
Pemeriksaan X-ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menujukkan
komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada jaringan
sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
̵ CT Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain
itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendisitis
seperti bila terjadi abses.
8. Terapi a. Puasakan pasien
b. Berikan analgetik dan antiemetic jika diperlukan untuk
mengurangi gejala.
c. Perawatan appendisitis tanpa operasi
d. Penelitian menunjukkan pemberian antibiotic intravena dapat
berguna untuk appendisitis akute bagi mereka yang sulit
mendapat intervensi operasi (misalnya untuk pekerja di laut
lepas), atau bagi mereka yang memiliki risiko tinggi untuk
dilakukan operasi. Biasanya digunakan antibiotic kombinasi,
seperti cefotaxime dan clindamycin, atau cefepime dan
metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri
yang terlibat termasuk Escherichia Coli, Pesudomononas
Aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridians,
Klesbisella dan Bacteroides.
e. Teknik operasi
̵ Appendectomy grid iron
̵ Laparatomy
a. Komsumsi makanan tinggi serat, kurangi makanan pedas
b. Komsumsi vitamin C dapat membantu proses penyembuhan
9. Edukasi luka operasi (bila pasien dioperasi).
c. Hindari aktivitas yang berlebihan dan berat setelah operasi
(bila pasien dioperasi).
10. Prognosis Ad vitam : bonam
3
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam
11. Tingkat Evidens
12.Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
1. Schwartz’s Principles of Surgery Ninth Edition.
2. Buku Teks Ilmu Bedah Surgery Basic Science and Clinical
Evidence, ed.Jeffrey A. Norton, Springer Verlag 2000.
3. Way WL. Appendix. In Current Surgical Diagnosis &
Treatment 11th ed. Mc Graw Hill Inc. 2003.
4. Atlas of Surgical Technique Zollinger 8th ed, Mc Graw Hill
Inc. 2003.
15. Kepustakaan
5. Atlas of Gastrointestinal Surgery Emilio Etala Vol.II,
William & Wilkin.1997
6. Buku Ajar Ilmu Bedah ed De Jong W, Sjamsuhidayat, 2 nd.
EGC.2005.
7. Skandalakis EJ, Skandalakis NP. Surgical Anatomy and
Technique.
8. Maingot’s Abdominal Operations 1st ed, ed Michael Jamur..
4
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
TATA LAKSANA KASUS
KSM BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018 - 2022
HEMOROID EKSTERNA
5
̵ Hemoroid eksterna mudah terlihat apalagi sudah
mengandung thrombus.
̵ Hemoroid interna yang prolaps dapat terlihat sebagai
benjolan yang tertutup mukosa. Untuk membuat prolaps
dapat dengan menyuruh pasien untuk mengejan.
b. RT
̵ Hemoroid eksterna tampak sebagai skintag.
̵ Hemoroid interna biasanya tidak teraba dan juga tidak
sakit.
̵ Dapat diraba bila sudah ada thrombus atau sudah ada
fibrosis.
̵ Thrombus dan fibrosis pada perabaan padat dengan dasar
yang lebar.
4. Kriteria Diagnosis a. Sesuai anamnesis
b. Sesuai gejala klinis
c. Sesuai pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Hemoroid Eksterna
6
tanda yang menyertai.
c. Pemeriksaan feses
Diperlukan untuk mengetahui adanya darah samar (occult
bleeding).
8. Terapi Pada prinsipnya ada 2 penatalaksanaan hemoroid yaitu :
a. Operasi
̵ Prinsip dalam melakukan operasi hemoroid ada 2 yaitu :
● Pengangkatan pleksus dan mukosa
● Pengangkatan pleksus tanpa mukosa
̵ Teknik pengangkatan dapat dilakukan menurut 3 metode:
● Metode Langen-Beck (eksisi atau jahitan premier
radier). Dimana semua sayatan ditempat keluar varises
harus sejajar dengan sumbu memanjang dari rectum.
● Metode White Head (eksisi atau jahitan primer
longitudinal). Sayatan dilakukan sirkuler, sedikit jauh
dari varises yang menonjol.
● Metode Morgan-Milligan. Semua primary piles
diangkat.
b. Non Operasi
Dilakukan pada hemoroid derajat I dan II
̵ Diet tinggi serat untuk melancarkan buang air besar
̵ Mempergunakan obat-obatan flebodinamik dan
sklerotika
̵ Rubber band ligation yaitu mengikat hemoroid dengan
karet elastic kira-kira 1 minggu.
a. Hindari konstipasi kronik
b. Hindari makanan pedas
9. Edukasi c. Diet “Bulk Laxative”
d. Hindari mengedan saat defekasi
e. Jangan memakai pencahar
Ad vitam : bonam
10. Prognosis Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam
11. Tingkat Evidens a. Keturunan : dinding pembuluh darah yang lemah dan tipis
b. Anatomic : vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan
pleksus hemoroidlis kurang mendapat sokongan otot dan vasa
sekitarnya.
c. Pekerjaan : orang yang harus berdiri atau duduk lama, atau
harus mengangkat barang berat, mempunyai predisposisi
untuk hemoroid.
d. Umur : pada umur tua timbul degenerasi dari seluruh jaringan
tubuh, juga otot sfingter menjadi tipis dan atonis.
e. Endokrin : misalnya pada wanita hamil ada dilatasi vena
7
ekstremitas dan anus (sekresi hormone relaksin).
f. Mekanis : semua keadaan yang mengakibatkan timbulnya
tekanan yang meninggi dalam rongga perut, misalnya
penderita hipertrofi prostat.
g. Fisiologis : bendungan pada peredaran darah portal, misalnya
pada penderita dekompensasio kordis atau sirosis hepatis.
h. Radang : merupakan faktor penting, yang menyebabkan
vitalitas jaringan di daerah itu berkurang.
12.Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
1. Buku Teks Ilmu Bedah Schwartz, 2015.
2. De Jong W, Sjamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah 2nd ed,
15. Kepustakaan EGC, 2005.
3. Atlas Of Surgical Technique Zollinger 7th ed, Mc Graw Hill
Inc, 1993.
8
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
TATA LAKSANA KASUS
KSM BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018 - 2022
HERNIA INGUINALIS
1. Pengertian (Definisi) Hernia Inguinalis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
penonjolan jaringan lunak, biasanya usus atau omentum, melalui
bagian yang lemah atau robek dibagian bawah dinding perut di
lipatan paha (kanalis inguinalis).
2. Anamnesis a. Munculnya benjolan pada sisi manapun di daerah lipat paha
depan.
b. Rasa perih atau nyeri pada benjolan.
c. Bagian selangkangan terasa lemah atau tertekan.
d. Bagian selangkangan terasa berat atau seperti ada yang
tertarik.
e. Muncul rasa sakit dan pembengkakan pada area sekitar testis
karena sebagian usus menembus masuk kantong skrotum.
f. Nyeri, mual dan muntah mendadak jika bagian usus yang
keluar terjepit pada celah hernia dan tidak bisa kembali ke
posisi semula.
3. Pemeriksaan Fisik a. Benjolan di daerah inguinal dan dinding depan abdomen yang
masih bisa dimasukkan ke dalam cavum abdomen.
b. Kadang benjolan tidak bisa dimasukkan ke cavum abdomen
disertai tanda-tanda obstruksi seperti muntah, tidak bisa BAB,
serta nyeri.
4. Kriteria Diagnosis a. Sesuai anamnesis
b. Sesuai gejala klinis
c. Sesuai pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Hernia Inguinalis
9
d. Terapi pasca operasi :
̵ Ceftriaxone 1 gram (IV) / 24 jam (ICD 9-CM : 99.21)
̵ Ketorolac 30 mg / 8 jam
̵ Ranitidine amp / 8 jam
̵ Ciprofloxacin caps 500 mg / 12 jam
̵ Na diclofenac tab 25 mg / 12 jam
̵ Antacida tab / 8 jam
a. Mengkomsumsi makanan kaya akan serat.
b. Menghindari mengangkat beban yang terlalu berat atau
melakukannya dengan perlahan.
9. Edukasi c. Menghindari kebiasaan merokok.
d. Menjaga berat badan agar tetap dalam batasan ideal dan sehat.
e. Pasien disarankan tidak berolahraga berat atau mengangkat
benda berat selama 6-8 minggu untuk mencegah rekurensi.
Ad vitam : bonam
10. Prognosis Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam
11. Tingkat Evidens a. Jenis kelamin
Hernia inguinalis lebih cenderung terjadi pada laki-laki.
Bahkan pada anak kecil dan bayi yang mengalami hernia
inguinalis juga berjenis kelamin laki-laki.
b. Wanita hamil
Pada wanita hamil terjadi peningkatan tekanan pada bagian
dalam perut dan melemahnya otot-otot perut.
c. Kelebihan berat badan
Orang yang memiliki kelebihan berat badan biasanya
memiliki tekanan yang lebih banyak pada bagian perut.
d. Batuk kronis
Batuk kronis/merokok akan meningkatkan risiko seseorang
menderita hernia inguinalis.
e. Faktor pekerjaan tertentu
Pekerjaan yang mengharuskan berdiri dalam jangka waktu
yng lama atau harus mengangkut beban yang sangat berat
juga meningkatkan risiko terkena hernia inguinalis.
f. Kelahiran premature
Bayi yang terlahir premature memiliki kecenderungan untuk
menderita hernia inguinalis.
g. Riwayat penyakit hernia
Jika seseorang pernah mengalami kondisi ini di salah satu sisi
tubuh, biasanya dia akan mengalami lagi di kemudian hari
pada sisi yang satunya.
h. Faktor keturunan
Jika seseorang memiliki anggota keluarga (orangtua atau
10
saudara) yang menderita hernia inguinalis, maka terdapat
kemungkinan orang tersebut untuk menderita kondisi yang
sama.
i. Kondisi medis tertentu
Penderita fibrosis kistik juga berisiko tinggi untuk menderita
hernia inguinalis. Fibrosis kistik adalah kondisi keursakan
paru-paru parah dan sering kali menyebabkan batuk kronis.
12.Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
a. Justin P. Wagner, F. Charles Brunicardi, Parviz K. Amid, and
David C.Chen. Inguinal Hernias. Schwartz’s Principles of
Surgery Tenth Edition. Mc Graw Hill Education. New York.
15. Kepustakaan
2015.
b. Michael G. Sarr, M.D., “Inguinal Hernia”. National Digestive
Diseases Information Clearinghouse.
11
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
TATA LAKSANA KASUS
KSM BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018- 2022
KARSINOMA REKTUM
1. Pengertian (Definisi) Karsinoma Rektum adalah keganasan yang terjadi pada rectum.
2. Anamnesis a. Peruabahan pola BAB
b. Diare
c. Obstipasi
d. Perasaan BAB tidak selesai/tuntas.
e. Darah dalam feses (merah cerah atau hitam)
f. Perdarahan gastroinstestinal
g. Perut sakit
h. Penuh pada perut
i. Kram perut
j. Berat badan menurun
k. Mudah lelah
l. Muntah
m. Anoreksi
n. Anemia
Khas :
a. Aspek klinis : proktitis
b. Nyeri : tenesmi
c. Defekasi : tenesmi terus-menerus
d. Osbtruksi : tidak jarang
e. Darah pada feses : makroskopik
f. Feses : perubahan bentuk
3. Pemeriksaan Fisik a. Tanda-tanda anemia
b. Kadang dapat pula ditemukan massa yang teraba pada
abdomen.
c. Tanda-tanda obstruksi usus
d. Pemeriksaan colok dubur
̵ Menilai kebutuhan sfingterani
̵ Menilai ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rectum 1/3
tengah dan distal.
̵ Menilai jarak antara tumor dengan anocutan line.
4. Kriteria Diagnosis a. Sesuai anamnesis
b. Sesuai gejala klinis
12
c. Sesuai pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Karsinoma Rektum
6. Diagnosis Banding a. Karsinoma Anus
b. Inflammatory Bowel Disease
c. Infeksi Glanulamator Rektum dan Anus
d. Melanoma maligna anus
e. Segroma Cell Ca Anus
a. Pemeriksaan laboratorium
̵ Hematologic : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis
̵ Kimia darah
̵ Tumor marker CEA
̵ Patologi anatomi : Biopsi dari rectum dan specimen
reseksi menentukan jenis keganasan dan derajat
diferensiasinya.
b. Pemeriksaan radiologic
̵ Pemeriksaan foto thoraks PA
̵ CT Scan/MRI
7.Pemeriksaan
̵ USG abdomen
Penunjang
̵ USG andorektal (bila dapat dikerjakan)
̵ PET scan (bila diperlukan/tidak rutin)
c. Endoskopi
̵ Sigmoidoskopi rigid/rektoskopi
̵ Sigmoidoskopi fleksibel (lebih efektif dibandingkan
dengan sigmoidoskopi rigid untuk visualisasi kolon dan
rectum).
d. Kolonoskopi
Akurasi sama dengan kombinasi enema barium kontras ganda
+ sigmoidoskopi fleksibel untuk KKR atau polip > 9 mm.
8. Terapi Abdominal Perineal Resection (Miles Procedure).
9. Edukasi
Ad vitam :
10. Prognosis Ad sanationam :
Ad fungsionam :
11. Tingkat Evidens
12.Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. Buku Teks Ilmu Bedah Schwart’z. 9th Ed. 2015.
2. Buku Teks Ilmu Bedah Norton
3. Buku Teks Maingot’s Abdominal Operation
4. Buku Teks Essential of Anorectal Surgery
13
5. Buku Ajar Ilmu Bedah Indonesia, De Jong, Sjamsuhidayat.
2005.
6. Atlas of Surgical Technique Zollinegr 7th ed, McGraw Hill
Inc.
7. Engstrom F Paul et all, Colon Cancer, NCCN Clinical
Practice Guidelines in Oncology, Vol.2. 2006.
14
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
TATA LAKSANA KASUS
KSM BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018- 2022
KOLELITHIASIS
15
̵ Na diklofenac tab 25 mg/12 jam
̵ Antacid tab/ 8 jam
a. Penjelasan perencanaan penyakit dan tindakan operasi
9. Edukasi b. Izin operasi
c. Komplikasi durante & pasca operasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12.Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
a. Kolelithiasis sembuh dengan open kolesistektomi tanpa
komplikasi selama 7 hari perawatan.
b. Kolelithiasis sembuh dengan operasi laparaskopik
kolesistektomi tanpa komplikasi selama 5 hari.
16
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
KSM : BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018- 2022
17
tumor, peau d’orange, satelit nodule, ulserasi
4. Tanda metastase : regional ada pembesaran kelenjar limfe
ketiak/mammaria interna atau ada tumor di organ tubuh
5. Radiologi :
a. Mammografi ada tumor batas tidak tegas, bentuk irregular,
stelatte, kalsifikasi mikro tidak teratur
b. USG mamma : ada tumor berbatas tidak tegas, hiperechoic
5. Diagnosis Karsinoma Payudara
6. Diagnosis Banding 1. Tumor jinak mamma
2. Dysplasia mamma
3. Tumor phyloides
4. Mastitis kronis
5. Sarcoma jaringan lunak
6. Limfoma maligna
1. Laboratorium DL
2. FNAB
7. Pemeriksaan 3. Foto Thorax
Penunjang 4. USG Mamma
5. USG Abdomen
6. VC/PC
1. Tranfusi darah bila anemia
8. Terapi 2. Medikamentosa / konsevartif untuk grade I-II
3. Opratif pada grade III-IV
1. Masuk RS
9. Edukasi 2. Puasa minimal 6 jam sebelum dilakukan operasi
3. Kontrol 1 minggu setelah keluar dari RS
Ad vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Setelah dilakukan operasi 80% pasien keadaan baik
1. Standar Pelayanan Profesi Dokter Spesialis Bedah Umum
Indonesia, edisi revisi 2003, PABI
15. Kepustakaan
2. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Seymour I, Schwarts,
Spenser, edisi 6, Jakarta, EGC, 2000
18
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
KSM : BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018- 2022
19
darah tepi.
b. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang
c. Sitokimia
Penunjang
d. Imunofenotif (dengan sitometri arus/flow cytometry)
e. Sitogenetik
f. Biologi molekuler. Dilakukan bila analisis sitogenetik gagal.
8. Terapi a. Tranfusi darah. Diberikan jika kadar Hb pasien < 6g% pada
trombositopenia yang berat dan pendarahan massif, dapat
diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC
dapat diberikan heparin.
b. Kortikosteroid dapat berupa prednisone, kortison,
deksametason. Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit
demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
c. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkatopurin/6-mp,
atau metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang
baru dan lebih baik seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin
(daunorubycine). Umumnya sitostatika diberikan dalam
kombinasi bersama-sama dengan prednisone. Pada pemberian
obat-obatan ini sering terdapat efek samping berupa alopecia,
stomatitis, leucopenia, infeksi sekunder atau kandidiasis. Bila
jumlah leukosit < 2000/mm3 pemberiannya harus hati-hati.
d. Infeksi sekunder dihindarkan (lebih baik pasien dirawat
dikamar yang suci hama).
e. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah
tercapai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (10 5 -
106), imunoterapi mulai diberikan.
20
Diberika MTX secara intratekal dan radiasi cranial.
f. Pengobatan immunologic.
Pola ini dimaksudkan menghilangkan sel leukemia yang ada
didalam tubuh agar pasien dapat sembuh sempurna.
Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus-
menerus. Pungsi sumsum tulang diulang secara rutin setelah
induksi pengobatan (setelah 6 minggu).
a. Edukasi pasien dan keluarga tentang pengobatan penyakit ini
yang berlangsung lama, menyakitkan, menimbulkan berbagai
9. Edukasi efek samping dan mahal.
b. Edukasi keluarga pasien untuk memberikan motivasi kepada
pasien agar berobat secara teratur sesuai petunjuk medis.
a. Kebanyakan pasien leukemia limfobalstik akut dewasa
mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan kemoterapi saja dan
hanya 30% yang bertahan hidup lama.
b. Kebanyakan pasien yang sembuh dengan kemoterapi adalah
usia 15-20 tahun dengan faktor prognostic baik lainnya.
c. Secara keseleuruhan, free survival rate untuk penderita dewasa
mencapai 30%.
d. Faktor prognostic untuk lamanya remisi leukemia limfoblastik
dewasa
Faktor
Karakteristik Pasien
Prognostik
Usia
< 30 Baik
≥ 30 Buruk
Jumlah Lekosit (x10 /ml)
6
21
11. Tingkat Evidens
12.Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
a. http://arinkuu.blogspot.co.id/2012/06/leukemia-limfoblastik-
akut-all.html diakses tanggal 06 Juni 2016
b. https://antyass.wordpress.com/2009/10/12/acute-
lymphoblastic-leukemia-atau-leukemia-limfositik-akut/diakses
15. Kepustakaan tanggal 06 Juni 2016
c. https://ebookfkunsyiah.wordpress.com/2008/09/04/leukimia-
limfoblastik-akut-pada-anak/ diakses tanggal 06 Juni 2016
d. http://adirasoziety.blogspot.co.id/2012/08/laporan-tutorial-
leukemia-limfoblastik.html diakses tanggal 06 Juni 2016
22
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
PROSEDUR TINDAKAN
KSM BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018- 2022
APPENDEKTOMI
A. Appendektomi
1. Penderita dalam posisi terlentang dalam general anestesi.
2. Dilakukan tindakan aseptic dan antiseptic ke seluruh
abdomen dan dada bagian bawah, kemudian lapangan
operasi dipersempit dengan doek steril.
3. Dilakukan insisi dengan arah bolak balik melalui titik Mc
Burney tegak lurus antara SIAS dan umbilicus (irisan
gridion), irisan lain yang dapat dilakukan adalah insisi
transversal dan paramedian.
4. Irisan diperdalam dengan memotong lemak dan mencapai
aponeurosis Muskulus Oblikus Abdominis Eksternus
(MOE), MOE dibuka sedikit dengan scalpel searah
dengan seratnya, kemudian diperlebar ke lateral dan ke
medial dengan pertolongan pinset anatomi. Wond Haak
23
tumpul dipasang dibawah MOE, tampak dibawah MOE,
Muskulus Oblikus Internus (MOI).
5. MOI kemudian dibuka secara tumpul dengan gunting
atau klem arteri searah dengan seratnya sampai tampak
lemak peritoneum, dengan Haak LangenBack otot
dipisahkan. Haak dipasang di bawah muskulus tranversus
abdominis.
6. Peritoneum yang berwarna putih dipegang dengan
menggunakan 2 pinset Chirurgis dan dibuka dengan
gunting, perhatikan apa yang keluar : pus, udara atau
cairan lain (darah, feses, dll). Periksa kultur dan tes
kepekaan kuman dari cairan yang keluar tersebut.
Kemudian Wond Haak diletakkan dibawah peritoneum.
7. Kemudian sekum (yang berwarna lebih putih, memiliki
taenia koli dan haustra) dicari dan diluksir. Apendiks
yang basisnya terletak pada pertemuan tiga taenia
mempunyai bermacam-macam posisi antara lain
antesekal, retrosekal, anteileal, retroileal, dan pelvinal
setelah ditemukan, sekum dipegang dengan darm pinset
dan ditarik keluar, dengan kassa basah sekum
dikeluarkan kearah mediokaudal, sekum yang telah
keluar dipegang oleh asisten dengan ibu jari berada
diatas.
8. Mesentrium dengan ujung apendiks dipegang dengan
klem kocher kemudian mesoapendiks dipotong dan
diligasi sampai pada basis apendiks dengan
menggunakan benang sutra 3/0.
9. Pangkal apendiks di crush dengan apendiks klem kocher
dan pada bekas crush tersebut diikt dengan chromic
catgut no.1 atau 1/0. Dibuat jahitan Tabac sac atau
jahitam pursestring pada serosa sekitar pangkal apendiks
dengan menggunakan benang sutra halus 3/0.
10. Dibagian distal dari ikatan pada pangkal apendiks di
klem dengan kocher dan diantara klem kocher dan ikatan
tersebut apendiks dipotong dengan pisau yang telah
diolesi dengan indium.
11. Sisa apendiks ditanam di dalam dinding sekum dengan
pertolongan pinset anatomis didorong ke dalam dan
jahitan tabac sac dieratkan.
12. Kemudian dibuat jahitan penguat diatasnya
(overhecting), memakai benang sutra halus, kemudian
sekum dimasukkan ke dalam rongga perut.
24
13. Peritoneum ditutup dengan jahitan jelujur festoon dari
bahan catgut plain nomor 1 atau 1/0.
14. Muskulus Oblikus Internus dan Muskulus Transversus
Abdominis ditutup dengan cutgut chromic no.1 secara
simpul. Muskulus Oblikus Eksternus Abdominis beserta
aponeurosisnya ditutup dengan jahitan catgut chromic
secara simpul.
15. Lemak ditutup secara simpul dengan catgut plain 3/0.
16. Kulit dijahit dengan benang sutra 2/0 atau 3/0 secara
simpul.
B. Laparascopic Appendektomi
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparascopic dapat
dipakai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan
nyeri akut abdomen dan suspek appendicitis akut.
Laparascopic kemungkinan sangat berguna untuk
pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah.
Membedakan penyakit akut ginekologi dari appendisitis akut
sangat mudah dengan menggunakan laparaskopi.
6. Pasca Prosedur 1. Pada hari operasi penderita diberi infus menurut kebutuhan
Tindakan sehari ± 2-3 liter cairan ringer laktat dan dekstrosa.
2. Pada appendisitis tanpa perforrasi : antibiotika diberikan
hanya 1x24 jam.
3. Pada appendisitis dengan perforasi : antibiotika diberikan
hingga jika gejala klinis infeksi reda dan laboratorium normal
(sesuai kultur kuman).
4. Mobilisasi secapatnya setelah penderita sadar dengan
menggerakkan kaki, miring ke kiri dan ke kanan bergantian
dan duduk.
5. Penderita boleh jalan pada hari pertama pasca bedah.
6. Pemberian makanan peroral dimulai dengan memberi minum
sedikit-sedikit (50cc) tiap jam apabila sudah ada aktivitas
usus yaitu adanya flatus dan bising usus. Bilamana dengan
pemberian minum bebas penderita tidak kembung maka
pemberian makanan peroral dimulai.
7. Jahitan diangkat pada hari ke 5-7 pasca bedah.
7. Tingkat Evidens
8. Tingkat Rekomendasi
9. Penelaah Kritis
10. Indikator Medis
11. Kepustakaan a. Buku Teks Ilmu Bedah (diagnosis) Hamilton Bailey
b. Buku Teks Ilmu Bedah Schwart’z 9th Ed. 2015.
c. Buku Teks Ilmu Bedah Norton
25
d. Atlas Tehnik Operasi Zollinger’s
e. Atlas Teknik Operasi Hugh Dudley.
f. Buku Ajar Ilmu Bedah Indonesia, 2005.
26
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
PROSEDUR TINDAKAN
KSM BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018- 2022
HEMOROIDEKTOMI
27
c. Rendam duduk hangat dapat dilakukan setelah hari ke-2
d. Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada hari ke-5 atau 6
pasca operasi. Diulang setiap minggu hingga minggu ke-3-4
untuk memastikan penyembuhan luka.
7. Tingkat Evidens
8. Tingkat Rekomendasi
9. Penelaah Kritis
10. Indikator Medis
a. Buku Teks Ilmu Bedah Schwartzt, 2015.
b. De Jong W, sjamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah 2nd ed
11. Kepustakaan EGC, 2005.
c. Atlas Of Surgical Technique Zollinger 7th ed., Mc Graw Hill
Inc, 1993.
28
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
PROSEDUR TINDAKAN
KSM BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018- 2022
HERNIORAFI
29
preperitonium, dilanjutkan dengan herniotomi.
̵ Perdarahan dirawat, dilanjutkan dengan
hernioplasty atau ditutup dengan mesh graft.
̵ Luka operasi ditutup lapis demi lapis.
6. Pasca Prosedur Pasca bedah, penderita dirawat dan diobservasi untuk melihat
Tindakan adanya kemungkinan komplikasi berupa perdarahan dan
hematoma pada daerah operasi.
7. Tingkat Evidens
8. Tingkat Rekomendasi
9. Penelaah Kritis
10. Indikator Medis
a. Justin P. Wagner, F. Charles Brunicardi, Parviz K. Amid, and
David C.Chen. Inguinal Hernias. Schwartz’s Principles of
Surgery Tenth Edition. Mc Graw Hill Education. New York.
2015.
11. Kepustakaan
b. Michael G. Sarr, M.D., “Inguinal Hernia”. National Digestive
Diseases Information Clearinghouse.
c. Atlas of Surgical Technique Zollinger 7th ed, Mc Graw Hill Inc,
1993.
30
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
PROSEDUR TINDAKAN
KSM BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018- 2022
KOLESISTEKTOMI
31
̵ Harmony scalpel
̵ Tenaga medis :
● Dokter Spesialis Bedah Digestif yang punya
kewenangan klinis.
● PPDS ilmu bedah yang mempunyai kompetensi
didampingi oleh DPJP Bedah.
● Perawat kamar operasi yang punya kewenangan
klinik.
● Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai
kewenangan klinik.
● PPDS Anestesi yang mempunyai kompetensi
didampingi oleh DPJP Anestesi.
5. Prosedur Tindakan 1. Pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi
2. Marker lokasi insisi
3. Sign in
4. Prosedur/pembacaan Time Out
5. Setting alat-alat monitor dan laparaskopi
6. Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine
7. Pemasangan doek steril
8. Insisi kulit ditepi bawah umbilicus selebar 10 mm, split
subkutis sampai facia, fiksasi fascia dengan kocher kiri
kanan, buka fascia dengan gunting selebar 10 mm, buka
peritoneum, insersi nailpuider memastikan tembus rongga
abdomen, insersi port + trochar 12 mm, insuflasi CO2
sampai tekanan 14mmHg, masukkan kamera 10 mm,
evaluasi rongga abdomen.
9. Insisi kulit di sub xhypiodeus 5 mm, insersi trochar 5 mm.
10. Insisi kulit 5 mm para rectus knan, insersi trochar 5 mm.
11. Posisikan pasien dengan merendahkan kepala dan miring ke
kiri.
12. Identifikasi Gall Bladder dengan menyisihkan usus-usus
dengan memakai grasper dan Maryland pada tangan kiri dan
kanan.
13. Identifikasi duktus dan arteri cystikus, pasang 2 buah klip,
kemudian potong.
14. Kontrol perdarahan, lanjutkan dengan memisahkan gall
bladder dari hepatic bed secara perlahan-lahan hingga
terlepas, keluarkan gall bladder melalui port 10 mm.
15. Evaluasi lanjut, jika tak ada kelainan, ekstraksi alat dan gas
CO2.
16. Sign Out.
17. Jahit luka-luka operasi dengan benang non absorble 3/10.
32
18. Time Out dengan Score Alderete diatas 8.
6. Pasca Prosedur 1. Pasien dipuaskan sampai sadar baik & peristaltik normal.
Tindakan 2. Lanjutkan pemberian antibiotik ceftriaxone 1 gram/12 jam
sampai 48 jam per infus selanjutnya pemberian antibiotik
per oral selama 5 hari.
3. Kontrol luka operasi 1 hari kemudian sekalian ganti balut,
jika bersih ganti balut 3 hari kemudian.
7. Tingkat Evidens
8. Tingkat Rekomendasi
9. Penelaah Kritis
10. Indikator Medis 80% Laparascopy kolesistektomi selesai dalam waktu 60 menit.
1. Schwartz’s Principles of Surgery Ninth Edition.
2. Buku Teks Ilmu Bedah Surgery Basic Science and Clinical
Evidence, ed.Jeffrey A. Norton, Springer Verlag 2000.
3. Way WL. Appendix. In Current Surgical Diagnosis &
Treatment 11th ed. Mc Graw Hill Inc. 2003.
4. Atlas of Surgical Technique Zollinger 8th ed, Mc Graw Hill
Inc. 2003.
11. Kepustakaan
5. Atlas of Gastrointestinal Surgery Emilio Etala Vol.II,
William & Wilkin.1997
6. Buku Ajar Ilmu Bedah ed De Jong W, Sjamsuhidayat, 2 nd.
EGC.2005.
7. Skandalakis EJ, Skandalakis NP. Surgical Anatomy and
Technique.
8. Maingot’s Abdominal Operations 1st ed, ed Michael Jamur.
33
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
PROSEDUR TINDAKAN
KSM BEDAH
RS. ISLAM FAISAL MAKASSAR
2018- 2022
PROSEDUR MILES
1. Pengertian (Definisi) Prosedur Miles adalah suatu tindakan pembedahan yang dilakukan
dengan melakukan abdominal reseksi pada rectum 1/3 distal
dilanjutkan dengan reseksi perineal karena suatu proses
keganasan. prosedur ini dilakukan melalui pendekatan abdominal
dan perineal, dibuat proksimal end colostomy permanent untuk
diversi dan anus ditutup.
2. Indikasi Proses keganasan pada rectum dan anus.
3. Kontra Indikasi
4. Persiapan 1. Informed consent
2. Pemeriksaan laboratorium
3. Pemeriksaan tambahan
4. Antibiotic profilaksis
5. Cairan dan darah
6. Peralatan dan instrument operasi khusus
5. Prosedur Tindakan Teknik Operasi Miles
1. Setelah penderita diberi narkose dengan endotracheal tube,
penderita dalam posisi terlentang dan litotomy (posisi
modifikasi Litotomy-Trendelenburg).
2. Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptic
juga dilakukan irigasi pada rectal, kemudian dipersempit
dengan linen/doek steril.
3. Dibuat insisi midline dua jari diatas umbilical sampai dua jari
diatas symphisis pubis atau insisi transversalis diantara
umbilical dan symphisis pubis. Insisi diperdalam hingga
tampak peritoneum.
4. Peritoneum dibuka secara tajam.
5. Dilakukan identifikasi lesi/kelainan.
6. Dilakukan tindakan mobilisasi rectum dengan melakukan
insisi pada lateral refleksi peritoneal (White Line of Told)
sambil mengidentifikasi vena spermatika kiri atau ovary kiri
serta ureter kiri.
7. Mobilisasi rectum posterior : dengan melakukan diseksi
secara tajam, space retrorectal dengan mudah dapat dicapai.
Setelah memotong fasia rectosacral berarti kita sudah sampai
coccygis.
34
8. Mobilisasi anterior : insisi refleksi rectovesical dan
immobilisasi antara vesica seminalis dan fasia Denonvillier.
Diseksi dilanjutkan dengan memisahkan rectum dengan
vesica seminalis pada pria dan rectum dengan vagina pada
perempuan.
9. Setelah mobilisasi posterior dan anterior, harus dicapai fasia
pelvic (ligamentum lateral) dipisahkan dan diikat. Dilanjutkan
dengan transeksi rectum diatas lesi/tumor.
10. Dilakukan insisi ellips sekeliling anus sampai batas
m.spincter anus. Insisi diperdalam dengan insisi
sirkumferensial sampai stumpdistal rectum dapat dikeluarkan
melalui perineum.
11. Stump proximal dibuat colostomy permanent, jaringan tumor
di PA-kan.
12. Perdarahan dirawat, luka operasi ditutup lapis demi lapis
dengan meninggalkan drain perineal (Drain Redon).
6. Pasca Prosedur 1. Pasca bedah penderita dirawat di ruangan selama 7-10 hari.
Tindakan 2. Diobservasi kemungkinan terjadinya komplikasi dini yang
membahayakan jiwa penderita seperti perdarahan.
3. Diet diberikan setelah penderita sadar dan pasase usus baik.
4. Drain Redon dilepas setelah 1-2 hari dan jahitan luka
diangkat pada hari ke-7.
5. Penderita pasca operasi Miles perlu dievaluasi :
̵ Klinis
̵ Pemeriksaan CEA setiap 3 bulan selama 2 tahun, setiap 6
bulan selama 2-5 tahun.
̵ Colonoscopy setelah 1 tahun setelah reseksi, dan
direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang setip 2-3
tahun.
̵ CT Scan thorax, abdomen dan pelvis setiap tahun selama
3 tahun untuk pasien dengan risiko tinggi untuk rekurens.
7. Tingkat Evidens
8. Tingkat Rekomendasi
9. Penelaah Kritis
10. Indikator Medis
11. Kepustakaan 1. Buku Teks Ilmu Bedah Schwart’z. 9th Ed. 2015.
2. Buku Teks Ilmu Bedah Norton
3. Buku Teks Maingot’s Abdominal Operation
4. Buku Teks Essential of Anorectal Surgery
5. Buku Ajar Ilmu Bedah Indonesia, De Jong, Sjamsuhidayat.
2005.
6. Atlas of Surgical Technique Zollinegr 7th ed, McGraw Hill
35
Inc.
7. Engstrom F Paul et all, Colon Cancer, NCCN Clinical
Practice Guidelines in Oncology, Vol.2. 2006.
36