Anda di halaman 1dari 36

BAB II

PEMBAHASAN

A. Adaptasi Psikologi Terhadap Kehamilan


1. Adaptasi Psikologi Kehamilan Pada Trimester I
Trimester pertama sering dianggap sebagai periode penyesuaian.
Penyesuaian yang dilakukan ibu adalah terhadap kenyataan bahwa ia sedang
mengandung. Penerimaan kenyataan ini bagi dirinya merupakan tugas
psikologi yang penting. Sebagian besar wanita merasa sedih dan ambivalen
tentang kenyataan bahwa ia hamil. Kurang lebih 80% wanita mengalami
kekecewaan, penolakan, kecemasan, depresi, dan kesedihan. Hingga kini
masih diragukan bahwa seorang wanita lajang dan bahkan telah merencanakan
dan menginginkan kehamilan atau telah berusaha keras untuk tidak hamil.
Beberapa wanita, terutama mereka yang telah merencanakan
kehamilan atau telah berusaha keras untuk hamil, mereka suka cita dan tidak
percaya bahwa dirinya tela hamil dan mencari bukti kehamilan pada setiap
perubahannya untuk melihat apakah kehamilan akan dapat berkembang
dengan baik. Hasrat seksual pada trimester pertama sangat bervariasi antara
wanita satu dengan yang lain. Meski beberapa wanita mengalami peningkatan
seksual, tetapi secara umum trimester pertama merupakan waktu terjadinya
penurunan libido secara umum sangat dipengaruhi oleh keletihan, nausea,
depresi, payudara yang membesa dan nyeri, kecemasan kekhawatiran dan
masalah-masalah lain merupakan normal pada trimester pertama.
Pada awal kehamilan, wanita terkadang merasa senag dan sedih.
Biasanya juga dipengaruhi rasa lelah, mual dan sering kencing Perubahan
yang terjadi tersebut sering kali menampakkan episode penuh air mata dan
menjadi sangat peka. Untuk itu, wanita yang sebelumnya memiliki cara
pandang dirinya atau jika ada penuh dengan air mata dan menjadi sangat peka.
Untuk itu, wanita yang sebelumnya memiliki cara pandang teradap dirinya
atau jika ada beberapa masalah yang muncul pada awal kehamilan, maka
masa ini adalah masa yang mencemaskan.
Trimester pertama adala saat yang special karena seorang ibu akan
menyadari kehamilannya. Seorang ibu akan mencari tanda-tanda untuk lebih
meyakinkan bahwa dirinya memang hamil, segala perubahan yang terjadi
pada tubuhnya akan selalu diperhatikan dengan seksama juga akan mengalami
ketakutan dan fantasi selama kehamilan, khususnya tentang perubahan pada
tubuhnya. Mereka khawatir terhadap perubahan fisik dan psikologinya. Jika
mereka multigravida, kecemasan berhubungan dengan pengalama yang lalu.
Banyak wanita hamil yang mimpi seperti nyata, dimana hal ini sangat
mengganggu. Mimpinya seringkali tentang bayinya yang bisa diartikan oleh
ibu apalagi bila tidak menyenangkan.

2. Adaptasi Psikologi Pada Kehamilan Trimester II


Trimester kedua sering dikenal sebagai periode kesehatan yang baik,
yakni ketika wanita merasa nyaman dan bebas dari segala ketidaknyamanan
yang dialami saat hamil. Namun, trimester kedua juga merupakan fase ketika
wanita menelusuri kedalam dan paling banyak mengalami kemunduran.
Trimester kedua terbagi atas dua fase yaitu pra quickening (sebelum adanya
gerakan janin yang dirasakan ibu) dan pasca quickening (setelah adanya
gerakan janin yang dirasakan ibu). Quickening menunjukkan kenyataan
adanya kehidupan yang terpisah, yang menjadi dorongan bagi wanita dalam
melaksankan tugas psikologi utamanya pada trimester kedua, yakni
mengembangkan identitas sebagai ibu bagi dirinya sendiri.
Menjelang akhir trimester pertama dan selama porsi pra quickening
trimester kedua berlangsung, wanita tersebut akan mengalami lagi sekaligus
mengevaluasi kembali, semua aspek hubungan yang ia jalani dengan ibunya
sendiri. Wanita tersebut mencermati semua perasaan ini dan menghidupkan
kembali, semua aspek hubungan yang ia jalani dengan ibunya sendiri. Wanita
tersebut mencermati semua perasaan ini dan menghidupkan kembali beberapa
hal yang mendasar bagi dirinya. Semua masalah interpersonal yang dahulu
pernah dialami oleh wanita dan ibunya atau mungkin masih dirasakan hingga
saat ini.
Dengan timbulnya quickening, muncul sejumlah perubahan karena
kehamilan telah menjadi jelas dalam pikirannya. Kontak social berubah, ia
lebih banyak bersosialisasi dengan wanita hamil atau ibu baru lainnya dan
minat serta aktivitasnya berfokus pada kehamilan, serta cara membesarkan
anak dan persiapan untuk menerima peran baru. Pergesera nilai social ini
menimbulkan kebutuhan akan sejumlah proses duka cita, yang kemudian
menjadi katalis dalam memperikirakan peran baru. Duka cita tersebut timbul
karena ia harus merelakan hubungan, kedekatan dan peristiwa maupun aspek
tertentu yang ia miliki dalam peran sebelumnya yang terpengaruh denga
hadirnya bayi dan peran baru.
Sebagian besar wanita merasa lebih erotis selama trimester kedua.
Kurang lebih 80% wanita mengalami kemajuan yang nyata dalam hubungan
sekseul mereka disbanding pada trimester pertama dan sebelum hamil.
Trimester kedua relative terbebas dari segala ketidaknyamanan fisik dan
ukuran perut wanita belum menjadi masalah besar. Lubrikasi vagina semakin
banyak, kecemasan, kekhawatiran dan masalah-masalah yang sebelumnya
menimbulkan ambivalensi pada wanita hamil juga telah mengalami
perubahan, dari seseorang yang biasanya menuntut kasih sayang dari ibunya
menjadi seseorang yang mencari kasih sayang dari pasangannya. Seluruh
factor ini turut memengaruhi peningkatan libido dan kepuasan seksual.
Konsep abstrak kehamilan menjadikan identifikasi nyata, perut membesar,
gerakan janin terasa gerakan ini merupakan peristiwa penting karena
kehidupan terjadi dalam rahim. Wanita sudah dapat menyesuaikan diri dengan
kenyataan. Ia mulai memikirkan janin merupakan bagian dari dirinya yang
secara keseluruhan bergantung padanya, sekarang ia mengatakan “saya akan
mempunyai bayi”.

3. Adaptasi Psikologi Pada Kehamilan Trimester III


Trimester ketiga sering disebut periode penantian dengan penuh
kewaspadaan. Pada periode ini wanita mulai meyadari kehadiran bayi sebagai
makhluk yang terpisah sehingga ia menjadi tidak sabar menanti kehadiran
sang bayi. Ada perasaan cemas mengingat bayi dapat lahir kapanpun. Hal ini
membuatnya berjaga-jaga sementara ia memperhatikan dan menunggu tanda
dan gejala persalinan muncul.
Persiapan yang aktif terlihat dalam menanti kelahiran bayi dan
menjadi orang tua, sementara perhatian wanita terfokus pada bayi yang akan
segera dilahirkan. Pergerakan janin dan pembesaran uterus, keduanya menjadi
hal yang terus menerus mengingatkan tentang keberadaan bayi. Orang-orang
di sekitarnya kini mulai membuat rencana untuk bayi yang dinantikan. Wanita
tersebut menjadi lebih protektif terhadap bayi, mulai menghindari keramaian
atau seseorang apa pun yang ia anggap berbahaya. Memilih nama untuk
bayinya merupakan persiapan menanti kelahiran bayi. Ia menghadiri kelas-
kelas sebagai persiapan menjadi orang tua. Pakaian bayi mulai dibuat atau
dibeli, kamar disusun atau dirapikan, sebagian besar pemikiran difokuskan
pada perawatan bayi.
Sejumlah kekuatan muncul pada trimester ketiga. Wanita mungkin
merasa cemas dengan kehidupan bayi dan kehidupannya sendiri seperti
apakah nanti bayinya akan lahir abnormal. Terkai persalinan dan kelahiran,
apakah ia akan menyadari bahwa akan bersalin atau bayinya tidak mampu
keluar karena perutnya sudah besra atau apakah organ vitalnya akan
mengalami cidera akibat tendangan bayi. Ia kemudian menyibukkan diri agar
tidak memikirkan hal-hal lain yang tidak diketahuinya. Ia juga mengalami
proses duka lain ketika mengatisipasinya hilangnya perhatian dan hak
istimewa selama hamil, perpisahan ia dan bayinya yang tidak dapat
dihindarkan dan perasaan kehilangan karena uterusnya yang penuh tiba-tiba
akan menjadi kosong.
Wanita akan kembali merasakan ketidaknyamanan fisik yang semakin
kuat menjelang akhir kehamilan. Ia akan merasa canggung, jelek, berantakan
dan memerlukan dukungan yang sangat besar dan konsisten dari pasangannya.
Pada pertengahan trimester ketiga, peningkatan hasrat seksual yang terjadi
pada trimester sebelumnya akan mengilan karena abdomennya yang semakin
besar menjadi halangan. Alternatif posisi dalam berhubungan seksual dan
metodenya untuk mencapaik kepuasan dapat membantu atau dapat
menimbulkan perasaan bersalah jika ia merasa tidak nyaman dengan cara-cara
tersebut dan berbagi perasaan dengan jujur pada pasangan.
A. Deteksi Dini Gangguan Psikologis Kehamilan

Kesehatan mentalyang baik seperti merasa tenang dan bahagia, sangat


diperlukan saat masa kehamilan, karena sangat mempengaruhi kesehatan
seorang ibu hamil dan bayi dalam kandungannya. Munculnya gangguan
kesehatanmental saat hamil dapat memicu perilaku berisiko bagikehamilan
seperti merokok, konsumsi alkohol, asupan nutrisi yang tidak sesuai,
menghindari pemeriksaankehamilan, atau memicu perilaku berbahaya bagi
ibu dan kandungannya. Tapi sangat disayangkan sekalibanyak dari kita yang
mengabaikan dan tidak ditanganidengan benar gejala perasaan depresi dan
sumberstress saat hamil.
Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa kehamilan dapat
mempengaruhi kesehatan mental pada ibu hamil. Ini yang sering
dipertanyakan oleh beberapa ibu hamil, maka dari itu merasa cemas dan
bingung merupakan hal yang wajar bagi seseorang yang menjalani
kehamilan atau ketika segera akan melahirkan. Namun sumber stress
tersebut dapat meningkatan risiko seseorang untuk mengalami masalah
kesehatan mental, seperti depresi dan gangguan psikosis. Risiko tersebut
juga jauh lebih tinggi jika ibu hamil memiliki riwayat gangguan kesehatan
mental seriussebelumnya.
Masalah kesehatan mental pada ibu hamil juga dapat bertahan hingga
beberapa waktu setelah melahirkan. Tidak hanya itu, masalah kesehatan
mental yang lebih ringan seperti gangguan mood dan merasa cemas, bisa
menjadi lebih serius pada waktu tersebut. Akibatnya, hal tersebut tidak
hanya mempengaruhi kesehatan mental dan fisik seorang ibu pasca
melahirkan, namun juga dapat mengganggu kedekatan antara ibu dan bayi
yang baru lahir.
1. Hal-hal yang dapat memicu masalah kesehatan mental pada ibu hamil
Selain riwayat gangguan kesehatan mental,beberapa hal juga dapat
memicu ibu hamil mengalami gangguan mental, di antaranya:

a. Kehamilan pada usia remaja

b. Pengalaman mengalami trauma – fisik, emosi ataupun kekerasan


seksual
c. Riwayat ketergantungan obat, termasukperilaku merokok

d. Kurangnya dukungan sosial

e. Menjadi orang tua tunggal saat hamil

f. Memiliki tingkat sosio-ekonomi rendah

g. Pernah mengalami kekerasan dalamrumah tangga

h. Pengobatan depresi yang tidak tuntas

i. Mengalami kesulitan finansial

j. Memiliki pemikiran yang bertentangan akan


kehamilannya.
2. Masalah kesehatan mental yang dapat terjadi pada masa kehamilan

a. Depresi

Depresi merupakan gangguan kesehatan mental yang paling


umum pada masa kehamilan. Hal ini sering menjadi pemicu, dan muncul
bersamaan dengan gejala gangguan kesehatan mental lainnya seperti
gangguan kecemasan, obsessive- compulsive disorder, dan gangguan
polamakan.
Depresi pada ibu hamil memiliki pola yang bervariasi. Pada
trimester pertama dan ketiga, biasanya depresi akan terasa makin
berat, namun cenderung lebih rendah ataumenurun pada trimester kedua.
Depresi saat hamil ditangani samaseperti depresi pada umumnya
dengan pilihan penanganan utama yang aman bagijanin, seperti terapi
perilaku kognitif dan terapi kejiwaan interpersonal.
b. Panic Disorder ( kepanikan / kecemasanberlebih)

Gangguan yang dapat muncul saat masa kehamilan meskipun


wanita tersebut tidak memiliki riwayat pernah menderita panic
disorder. Hal ini dapat muncul dari rasa cemas dan stress yang
ditandai dengan peningkatan hormon kortisol ( hormon yang keluar
ketika Anda

merasa cemas ). Jika tidak ditangani, peningkatan kortisol dapat


mempengaruhi perkembangan janin dalam kandungan. Penanganan
tanpa obat dapat dilakukan dengan cara terapi perilaku kognitif dan
supportif, menerapkan teknik relaksasi, penerapan sleep hygiene ,serta
pengaturan pola makan.
c. Obsessive-Compulsive Disorder (OCD)

OCD adalah gangguan berupa obsesi dan kebiasaan berulang


yang sulit dikendalikan, yang dapat muncul di periode awal masa
kehamilan, dan meningkat seiring masa kehamilan hingga pasca
melahirkan. OCD saat hamil dapat sangat mengganggu aktivitas ibu
hamil dan perlu ditangani dengan terapi perilaku atau dengan
konsumsi obat.
d. Gangguan pola makan

Meskipun hal ini cendeerung membaik saat masa kehamilan,


namun gangguan pola masih dapat terjadi saat masa kehamilan.
Gangguan pola makan bukan hanya dapat mempengaruhi kesiapan ibu
hamil untuk melahirkan normal, tapi juga dapat meningkatan risiko
depresi pascamelahirkan serta dapat berdampak melahirkan bayi berat
lahir rendah.
e. Gangguan bipolar

Biolar disorder merupakan gangguan yang terjadi secara


kambuhan pada ibu hamil, namun kejadiannya lebih sering terjadi
pasca melahirkan. Seperti gangguan bipolar pada umumnya, hal ini
dapat diatasi dengan menggunakan obat mood stabilizer, namun
memerlukan pemeriksaan serta pertimbangan risiko beserta manfaat.
Meskipun demikian, pengawasan kondisi kejiwaan dan perilaku dari
ibu hamil dengan bipolar adalah hal yang paling penting.
f. Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan psikosis yang dapat meningkat


ataupun menurun pada masa kehamilan. Ibu hamil dengan gangguan
ini membutuhkan pengawasan dan penanganan oleh dokter.

Skizofrenia berdampak pada kesehatan ibu dan bayi akibat


mendapat perawatan yang tidak sesuai, bisa memicu lahir prematur
dan berat lahir rendah, hingga kematian janin dan ibu hamil.
Penanganan gejala psikosis akut pada masa kehamilan sangat
diharuskan, untuk mengurangi intensitas dan dampak skizofrenia. Hal
ini mencakup dukungan, pengobatan, dan penanganan intensif di
rumah sakit. Terapi elektroconvulsive juga diperlukan untuk
menangani gejala depresi pada penderita. (Nurul Husnul, 2019: 80-85)

B. Adaptasi Psikologi Dalam Persalinan


Munculnya rasa bangga karena ibu bisa melahirkan atau
memproduksi anak. Merasa lega berlangsung saat proses persalinan dimulai,
karena ibu merasakan sudah mendapatkan kepastian bahwa kehamilan dianggap
sebagai suatu “keadaan yang belum pasti ibu kini benar-benar akan terjadi atau
terelaistir secara nyata. Jika ibu memiliki sifat sangat pasif/menyerah, dan keras
kepala, tidak berpartisipasi sama sekali, maka dengan sifat ini memperlambat
proses pembukaan serviks, juga mengakibatkan his menjadi sangat lemah bahkan
berhenti secara total dan proses kelahiran itu menjadi sangat terhambatdan harus
di akhiri dangan pembedahan operasi Caesar.
Pada masa persalinan seorang wanita ada yang tenang dan bangga akan
kelahiran bayinya, tapi ada juga yang merasa takut. Adapun perubahan psikologis
yang terjadi adalah sebagai berikut:
a. Panik dan terkejut dengan apa yang terjadi pada saat pembukaan lengkap
b. Bingung dengan adanya apa yang terjadi pada saat pembukaan lengkap
c. Frustasi dan marah
d. Tidak memperdulikan apa saja dan siapa saja yang ada di kamar bersalin
e. Rasa lelah dan sulit mengikuti perintah
f. Fokus pada dirinya sendiri.
Psikologis ibu juga dipengaruhi oleh rasa dihargai, percaya diri pengakuan
kemampuan ibu selama perawatan persalinan. ibu difaslitasi untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan dan terlibat dalam berbagai aspek perawatan bagi
dirinya, sebuah penelitian menyatakan bahwa wanita dengan harga diri rendah
tidak memiliki kepercayaan diri sumber daya internal mereka dan juga memiliki
mekanisme adaptasi yang kurang berkembang.
Wanita yang menunjukkan kepercayaan diri yang lebih besar akan memiliki
kekuatan yang lebih baik menghadapi persalinan juga mengekspresikan perasaan
rasa sakit lebih sedikit selama persalinan. sebaliknya wanita dengan efikasi diri
rendah mengalami banyak ketakutan akanpersalinan serta takut kehilangan
kendali selama persalinan.
Wanita yang merasa yakin akan keselamtan teradap diri sendiri dan bayi
dapat menimbulkan perasaan mereka tentang dapat melakukan kontrol dan
pemberdayaan terhadap diri sendiri.
B. Deteksi Dini Gangguan Psikologis Persalinan

Persalinan adalah salah satu peritiwa penting nan bersejarah yang


dialami oleh kehidupan seluruh wanita di bumi ini. Hakikat manusia
menurut perspektif psikologi adalah seorang wanita yang percaya bahwa
kita dianggap sempurna ketika dapat melahirkan seorang anak. Ini
merupakan peristiwa yang sangat positif dimana dapat menjadi masa transisi
yang terasa menyenangkan untyuk berlaih ke tahap kehidupannya yang
baru. Persalinan juga disebut sebagai saat-saat yang berat dalam hidup.
Disinilah terjadi pertaruhan nyawa antara hidup dan mati. Resa cemas,
panik disertai ketakutahn yang tinggi, ketidakpastian ditambah sakit yang
luar biasa timbul menjelang proses kelahiran. Rasa ini timbul akibat
kekhawatiran yang muncul akan proses persalinan yang dialaminya dengan
calon bayinya nanti. Sebab itulah, wanita yang sedang menghadapi
persalinan membutuhkan selain kematangan fisik, mereka juga
membutuhkan kesiapan secara psikologis.
Buruknya kematangan psikologis ( kesehatan mental ) seorang wanita
juga akan memperngaruhi proses persalinannya. Anggapan-anggapan bahwa
persalinan itu sakit selalu membayangi si calon ibu. Nah, anggpapan inilah
yang menyebabkan sistem syaraf simpatetik seperti sistem saraf endokrin
dimana kebanyakan akan membuat ibu hamil yang sedang menuju proses
persalinan lebih mudah marah atau tersinggung, sering melamun dan
gelisah. Berikut adalah faktor psikologis terhadap persalinan.

1. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan masalah kesehatan mental pada


masa persalinan
Berikut faktor yang dapat menimbulkan masalah kesehatan mental
ibu bersalin:
a. Kekawatiran

b. Takut akan Kematian.

c. Trauma akan kelahiran.

d. Perasaan bersalah.

e. Kecemasan.

f. Gelisah

g. Narsistis

h. Stress

i. Konflik Batin

j. Sedih sekaligus bahagia

2. Masalah kesehatan mental yang dapat terjadi pada masa persalinan

a. Kecemasan

Kecemasan adalah hal yang biasanya terjadi menjelang


persalinan. Ibu hamil yang menantikan proses kelahiran pertama kali
biasanya akan mulai gugup dan cemas. Ia tidak berhenti memikirkan
hal-hal yang menurutnya berbahaya. Tentu saja, apabila kecemasan ini
tidak dikelola dengan baik, maka kondisi psikis ibu tersebut akan
semakin memburuk. Tidak menutup kemungkinan pula ia bisa sampai
mengalami gangguan obsesif kompulsif.
Untuk mengatasi kecemasan ini, maka dukungan dari orang
terdekat (suami atau keluarga) benar-benar dibutuhkan. Cara
menghilangkan kecemasan ini efektif. Mendengar pengalaman yang
menenangkan akan lebih baik, sebab bagaimana pun juga seringkali
ibu yang akan melahirkan justru terpapar oleh informasi- informasi
yang semakin membuatnya khawatir.
b. Ketakutan
Ketakutan berbeda dengan kecemasan. Kecemasan merupakan
suatu bentuk kekhawatiran pada objek yang tidak jelas (hanya ada di
pikiran dan tidak jelas bentuknya seperti apa). Sementara itu,
ketakutan merupakan bentuk kekhawatiran pada sesuatu yang jelas
objeknya. Dalam masa persalinan, seorang wanita bisa saja menjadi
takut pada proses persalinan normal. Ia membayangkan apakah janin
yang akan dilahirkannya selamat atau tidak. Atau kesakitan yang ada
pada saat bersalinan apakah ia sanggup jalani atau tidak.
Untuk mengatasi ketakutan, maka seorang wanita perlu
ditenangkan terlebih dahulu. Mendengarkan apa yang menjadi
keluhannya adalah hal yang baik yang bisa dilakukan. Sikap
menggurui atau memintanya berhenti takut justru tidak akan
membantu mengurangi ketakutannya.
c. Sikap pasif

Sikap pasif timbul manakala seorang wanita hamil memiliki


keengganan pada saat akan melahirkan. Ini juga didorong dengan
dukungan yang lemah dari lingkungan sekitar. Perhatian suami dan
keluarga yang kurang akan menimbulkan sikap yang pasif dari
seorang wanita hamil. Oleh karenanya, penting untuk memberikan
dukungan kepadanya. Untuk mengatasi sikap pasif ini, kita bisa
memberikan sistem dukungan yang baik berupa bentuk perhatian dan
kasih sayang kepadanya. Bagaimana pun juga, hal ini akan sangat
berpengaruh pada kelancaran proses persalinannya nanti.
d. Hipermaskulin

Kondisi hipermaskulin menggambarkan bagaimana seorang


calon ibu merasa goyah keinginannya antara ingin atau tidak punya
anak. Padahal, ia sudah berada di saat-saat menjelang persalinannya.
Akibatnya, emosinya menjadi tidak stabil. Ini biasanya terjadi pada
wanita yang memang berkarir. Pikirannya menjadi buyar karena ia
ingin mempertahankan cara dia bekerja, tetapi di sisi lain juga
merindukan kehadiran anak. Gangguan psikologi pada masa
reproduksi bisa menjadi salah satu penyebabnya.

Untuk mengatasi hal ini maka kita bisa memberikan sistem


dukungan yang baik. Mendengarkan keluhannya dan sama-sama
mencari penyelesaian bersama adalah hal yang tepat untuk dilakukan.
e. Hiperaktif

Menjelang persalinan, seorang wanita juga bisa menjadi lebih


hiperaktif karena ia ingin segera melaksanakan proses persalinan.
Oleh karenanya, ia menjadi lebih banyak beraktivitas demi proses
persalinan yang berlangsung sesegera mungkin. Menenangkan ibu
hamil dengan cara memberikan pengertian- pengertian tentang proses
persalinan adalah hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi
permasalahan ini. Psikologi konseling juga bisa dilakukan agar wanita
menjadi lebih siap.
f. Kompeks maskulin

Kompleks maskulin adalah bentuk dari hiperaktif yang tidak


tertangani. Pada saat persalinan, seorang wanita menjadi lebih agresif
lagi. Sikapnya menunjukkan bahwa proses persalinan yang ia alami
harus segera selesai dan tidak ingin membuang-buang waktu.
Sikapnya menjadi lebih pengatur pada orang-orang di sekitarnya.
Untuk mengatasi gangguan psikologi pada masa persalinan ini, maka
ada baiknya tenaga medis yang membantu persalinan menghadirkan
orang paling terdekatnya (suami).
g. Halusinasi hipnagonik

Pada saat akan bersalin, seorang wanita pasti akan mengalami


kontraksi- kontraksi. Ada fase istirahat selama kontraksi tersebut.
Seorang ibu bisa mengalami kondisi tidur semu. Di sinilah terjadi
kondisi halusinasi hipnagonik. Ia akan menjadi tidak tenang karena
muncul pikiran-pikiran yang tidak-tidak. Bahkan kadang bisa juga
muncul gangguan psikosomatis. Untuk mengatasinya, maka kita bisa
tetap mempertahankan interaksi pada ibu menjelang persalinan.
(Nurul Husnul, 2019: 93-100)

A. Adaptasi Psikologis Masa Nifas


Reaksi ibu setelah melahirkan akan mempengaruhi sikap, perilaku, dan
tingkat emosional. Tekanan psikologis setelah persalinan merupakan gejala
emosional dan perasaan, dimana seseorang merasa murung, tidak bisa tidur,
kelelahan fisik yang berlebihan, dan tidak mengetahui apa yang harus
dilakukan atas perannya yang baru. Pengkajian pada ibu dari aspek psikologi
merupakan dasar kesiapan ibu dalam menghadapi peran barunya. Tuntutan
sebagai ibu, akan dirasakan semakin berat karena kurangnya pengetahuan
wanita akan hal perawatan bayi, terutama pada perempuan yang baru pertama
kali melahirkan (Primipara). Secara teoritis seorang wanita setelah persalinan
(Post partum) akan mengalami gangguan psikologis. (Nova & Zagoto, 2020)
Perubahan emosi dan psikologi ibu pada masa nifas terjadi karena
perubahan peran, tugas dan tanggung jawab menjadi orangtua. Suami istri
mengalami perubahan peran menjadi orangtua semenjak masa kehamilan.
Dalam periode masa nifas, muncul tugas orang tua dan tanggung jawab baru
yang disertai dengan perubahan-perubahan perilaku. Periode masa nifas
merupakan masa perubahan besar bagi ibu baru dan keluarganya. Peran dan
harapan sering berubah sebagai keluarga yang menyesuaikan dengan
tambahan keluarga baru mereka dan mereka belajar menjadi seorang ibu
(Mercer, 2004). Banyak perubahan psikologis yang terjadi pada ibu selama
waktu ini. Asuhan kebidanan harus berfokus pada membantu ibu dan
keluarganya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan ini dan meringankan
transisi ke peran orangtua. (Yuliani, 2021)
Penyesuaian dilakukan terhadap semua perubahan baru. Keluarga memulai
peran baru, pada beberapa ibu dapat menyebabkan gangguan psikologis,
seperti post partum blues dan bila tidak ditangani dapat berlanjut menjadi
depresi postpartum Setelah melahirkan, ibu mengalami perubahan fisik dan
fisiologis yang juga mengakibatkan adanya beberapa perubahan dari
psikisnya. Ia mengalami stimulasi kegembiraan yang luar biasa, menjalani
proses eksplorasi dan asimilasi terhadap bayinya, berada di bawah tekanan
untuk dapat menyerap pembelajaran yang diperlukan tentang apa yang harus
diketahuinya: dan perawatan untuk bayinya, dan merasa tanggung jawab yang
luar biasa menjadi seorang ibu. Tidak mengherankan bila ibu mengalami
sedikit perubahan perilaku dan sesekali merasa kerepotan. Masa ini adalah
masa rentan dan terbuka untuk bimbingan dan pembelajaran. (Yuliani, 2021)
1. Periode Adaptasi

Filosofi Adaptasi psikologis post partum yaitu ibu biasanya mengalami


penyesuaian psikologis selama masa postpartum. Reva Rubin meneliti
adaptasi ibu melahirkan pada tahun 1960, yang mengidentifikasi tiga fase
yang dapat membantu bidan memahami perilaku ibu setelah melahirkan.
Dikemukakan bahwa setiap fase meliputi rentang waktu tertentu dan
berkembang melalui fase secara berurutan. (Yuliani, 2021)
a. Fase Taking In

Fase taking in yaitu periode ketergantungan berlangsung pada hari


pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Ibu baru umumnya
pasif dan tergantung, perhatiannya tertuju pada kekhawatiran akan
tubuhnya. Pengalaman selama proses persalinan berulang kali
diceritakannya. Hal ini membuat ibu cenderung menjadi pasif terhadap
lingkungannya. Kemampuan mendengarkan (listening skills) dan
menyediakan waktu yang cukup merupakan dukungan yang tidak
ternilai bagi ibu. Kehadiran suami dan keluarga sangat diperlukan pada
fase ini. Petugas kesehatan dapat menganjurkan kepada suami dan
keluarga untuk memberikan dukungan moril dan menyediakan waktu
untuk mendengarkan semua yang disampaikan oleh ibu agar dia dapat
melewati fase ini dengan baik. (Azizah & Rosyidah, 2019)
Pada saat ini, ibu memerlukan istirahat yang cukup agar ibu dapat
menjalani masa nifas selanjutnya dengan baik. Membutuhkan nutrisi
yang lebih, karena biasanya selera makan ibu menjadi bertambah.
Akan tetapi jika ibu kurang makan, bisa mengganggu proses masa
nifas. Karkteristik periode Taking In digambarkan sebagai berikut
(Wahyuni, 2018) :
1) Periode ini terjadi 1-2 hari sesudah melahirkan. Ibu baru pada
umumnya pasif dan tergantung, perhatiannya tertuju pada
kekhawatiran akan tubuhnya.
2) Ia mungkin akan mengulang-mengulang menceritakan
pengalamannya waktu melahirkan.
3) Tidur tanpa gangguan sangat penting untuk mengurangi gangguan
kesehatan akibat kurang istirahat.
4) Peningkataan nutrisi dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan
dan penyembuhan luka, serta persiapan proses laktasi aktif.
5) Dalam memberi asuhan, bidan harus dapat memfasilitasi
kebutuhan psikologis ibu.
Dalam memberikan asuhan, bidan harus dapat memfasilitasi
kebutuhan psikologis ibu. Pada tahap ini bidan dapat menjadi
pendengar yang baik ketika ibu menceritakan pengalamannya. Berikan
juga dukungan mental atau apresiasi atas hasil perjuangan ibu dalam
melahirkan bayinya. Bidan diharapkan dapat menciptakan suasana
yang nyaman bagi ibu sehingga ibu dapat dengan leluasa menceritakan
permasalahan yang sedang dihadapi kepada bidan. Dalam hal ini
sering kali terjadi kesalahan dalam perawatan yang dilakukan kepada
pasien dan bayinya akibat kurangnya jalinan komunikasi yang baik
antara pasien dengan bidan. (Azizah & Rosyidah, 2019)
Gangguan psikologis yang mungkin dirasakan ibu pada fase ini
adalah sebagai berikut (Azizah & Rosyidah, 2019):
1) Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan
tentang bayinya misalkan: jenis kelamin tertentu, warna kulit, dan
sebagainya
2) Ketidaknyamanan sebagai akibat dari perubahan perubahan fisik
yang dialami ibu misalnya rasa mules akibat dari kontraksi rahim,
payudara bengkak, akibat luka jahitan, dan sebagainya
3) Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya

4) Suami atau keluarga yang mengkritik ibu tentang cara merawat


bayinya dan cenderung melihat saja tanpa membantu. Ibu akan
merasa tidak nyaman karena sebenarnya hal tersebut bukan hanya
tanggung jawab ibu saja, tetapi tanggung jawab bersama.
b. Fase Taking Hold

Fase taking hold adalah fase/periode yang berlangsung antara 3-10


hari setelah melahirkan. Pada fase ini, ibu merasa khawatir akan
ketidakmampuannya dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi.
Ibu memiliki perasaan yang sangat sensitif sehingga mudah
tersinggung dan gampang marah sehingga kita perlu berhati-hati dalam
berkomunikasi dengan ibu. (Azizah & Rosyidah, 2019)
Pada fase ini ibu memerlukan dukungan karena saat ini merupakan
kesempatan yang baik untuk menerima berbagai masukan dalam
merawat diri dan bayinya sehingga timbul percaya diri. Tugas sebagai
tenaga kesehatan yakni mengajarkan cara merawat bayi, cara menyusui
yang benar, cara merawat luka jahitan, mengajarkan senam nifas,
memberikan pendidikan kesehatan yang diperlukan ibu seperti gizi,
istirahat, kebersihan diri, dan lain-lain. (Azizah & Rosyidah, 2019)
Pada ibu-ibu yang mendapat asuhan yang memadai pada hari-hari
pertama setelah melahirkan, maka pada hari kedua sampai keempat
mulai muncul kembali keinginan untuk melakukan berbagai aktivitas
sendiri. Di satu sisi ibu masih membutuhkan bantuan orang lain tetapi
disisi lain ia ingin melakukan aktivitasnya sendiri. Dengan penuh
semangat ia belajar mempraktikkan cara-cara merawat bayi. Rubin
(1991) menggambarkan fase ini sebagai fase taking hold. Pada fase
taking hold, ibu berusaha keras untuk menguasai tentang ketrampilan
perawatan bayi, misalnya menggendong, menyusui, memandikan dan
memasang popok. Pada masa ini ibu agak sensitif dan merasa tidak
mahir dalam melakukan hal-hal tersebut, cenderung menerima nasihat
bidan, karena ia terbuka untuk menerima pengtahuan dan kritikan yang
bersifat pribadi. (Wahyuni, 2018). Fase Taking hold ini dapat di
gambarkan seperti berikut (Sutanto, 2019):
1) Ibu merasa merasa khawatir akan ketidakmampuan merawat bayi,
muncul perasaan sedih (baby blues).
2) Ibu memperhatikan kemampuan men jadi orang tua dan
meningkatkan teng gung jawab akan bayinya.
3) Ibu memfokuskan perhatian pada pe ngontrolan fungsi tubuh,
BAK, BAB dan daya tahan tubuh.
4) Ibu berusaha untuk menguasai keteram pilan merawat bayi seperti
menggen dong, menyusui, memandikan, dan mengganti popok.
5) Ibu cenderung terbuka menerima nasehat bidan dan kritikan
pribadi.
6) Kemungkinan ibu mengalami depresi postpartum karena merasa
tidak mampu membesarkan bayinya.
7) Wanita pada masa ini sangat sensitif akan ketidakmampuannya,
cepat tersinggung dan cenderung menganggap pemberi tahuan
bidan sebagai teguran. Dianjur kan untuk berhati-hati dalam berko
munikasi dengan wanita ini dan perlu memberi support.
Tahap ini merupakan waktu yang tepat bagi bidan untuk
memberikan bimbingan cara perawatan bayi, namun harus selalu
diperhatikan teknik bimbingannya, jangan sampai menyinggung
perasaan atau membuat perasaan ini tidak nyaman karena ia sangat
sensitif. Hindari kata " jangan begitu " atau kalau kayak gitu salah "
pada ibu karena hal itu akan sangat menyakiti perasaannya dan
akibatnya ibu akan putus asa untuk mengikuti bimbingan yang bidan
berikan. (Yuliani, 2021)
c. Fase Letting Go

Fase letting go merupakan fase menerima tanggung jawab akan


peran barunya yang berlangung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu
sudah dapat menyesuaikan diri, merawat diri dan bayinya, serta
kepercayaan dirinya sudah meningkat. Pendidian kesehatan yang kita
berikan pada fase sebelumnya akan sangat berguna bagi ibu agar lebih
mandiri dalam memenuhi kebutuhan diri dan bayinya. Dukungan dari
suami dan keluarga masih sangat diperlukan ibu. Suami dan keluarga
dapat membantu merawat bayi, mengerjakan urusan rumah tangga
sehingga ibu tidak terlalu lelah dan terbebani. Ibu memerlukan istirahat
yang cukup sehinga mendapatkan kondisi fisik yang bagus untuk dapat
merawat bayinya. (Azizah & Rosyidah, 2019)
Karakteristik pada periode ini dapat digambarkan sebagai berikut
(Yuliani, 2021) :
1) Periode ini biasanya terjadi setelah ibu pulang ke rumah. Periode
ini pun sangat berpengaruh terhadap waktu dan perhatian yang
diberikan oleh keluarga.
2) Ibu mengambil tanggung jawab terhadap perawatan bayi dan ia
harus beradaptasi dengan segala kebutuhan bayi yang sangat
tergantung padanya. Hal ini menyebabkan berkurangnya hak ibu,
kebebasan, dan hubungan sosial

2. Persiapan peran menjadi orang tua

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, periode postpartum adalah


masa perubahan besar dalam unit keluarga. Sama seperti ibu postpartum
yang memerlukan untuk menyesuaikan diri dengan peran baru sebagai ibu,
demikian juga Ayah dan keluarga dalam menghadapi periode penyesuaian
setelah kedatangan bayi yang baru lahir. Jika memungkinkan, dilakukan
penilaian perilaku attachment saat berinteraksi dengan bayi pada semua
keluarga. Ayah bayi merasakan kepuasan, serta bangga yang mendalam,
sangat gembira, dan ingin menyentuh menggendong bayi dan istrinya.
Kemesraan di antara ayah dan ibu pada saat seperti itu dapat berkembang
meluas dan mencakup bayi baru mereka di dalam keluarga yang eksklusif,
yang sering melupakan keadaan sekelilingnya. (Yuliani, 2021)
Respon ayah Terdiri dari respon positif dan respon negatif. (Juliastuti
dkk, 2021)
a. Respon positif

1) Ayah dan keluarga menyambut kelahiran bayinya dengan sangat


suka cita.
2) Ayah bertambah giat dalam mencari nafkah karena ingin
memenuhi kebutuhan bayinya dengan baik.
3) Ayah dan keluarga melibatkan diri dalam merawat bayi.

4) Ayah dan keluarga lebih menyayangi dan mencintai ibu yang


melahirkan karena telah melahirkan anak yang diidam idamkan.
b. Respon negatif

1) Keluarga atau ayah dari bayi tidak menginginkan kelahiran


bayinya karena jenis kelamin bayi yang dilahirkan tidak sesuai
keinginan
2) Kurang bahagia karena kegagalan KB.

3) Ayah merasa kurang mendapat perhatian dari ibu yang baru


melahirkan karena perhatian pada bayinya berlebihan.
4) Ada kalanya faktor ekonomi berpengaruh pada rasa kurang senang
atau kekhawatiran dalam membina keluarga karena kecemasan
dalam biaya hidupnya.
5) Anak lahir cacat menyebabkan rasa malu baik bagi ibu, ayah dan
keluarga. Bayi yang dilahirkan adalah hasil hubungan diluar nikah
3. Faktor faktor yang mempengaruhi psikologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan adaptasi pada masa


transisi menuju masa menjadi orang tua pada saat post partum, antara
lain :
a. Respon dan dukungan keluarga dan teman

Bagi ibu post partum, apalagi pada ibu yang baru pertama kali
melahirkan akan sangat membutuhkan dukungan orang-orang
terdekatnya, karena ibu belum sepenuhnya berada pada kondisi stabil,
baik fisik maupun psikologisnya. Ia masih sangat asing dengan
perubahan peran barunya yang begitu dramatis terjadi dalam waktu
yang begitu cepat, yaitu peran sebagai seorang “ibu”. Dengan respon
positif dari lingkungan terdekatnya, akan mempercepat proses adaptasi
peran ini sehingga akan memudahkan bagi bidan untuk memberikan
asuhan pada ibu postpartum dengan optimal.
b. Hubungan dari pengalaman melahirkan terhadap harapan dan aspirasi
Hal yang dialami oleh ibu ketika melahirkan akan sangat mewarnai
oleh alam perasaannya terhadap perannya sebagai ibu. Ibu akhirnya
menjadi tahu bahwa masa transisi terkadang begitu berat untuk dilalui
dan hal tersebut akan memperkaya pengalaman hidupnya untuk lebih
dewasa. Banyak kasus terjadi, setelah seorang ibu melahirkan anaknya
yang pertama, ibu akan bertekad untuk lebih meningkatkan kualitas
hubungannya dengan ibunya, karena baru menyadari dengan nyata
ternyata pengalaman menjadi ibu adalah tugas yang luar biasa dan
mempunyai tanggung jawab yang berat. Ibu mulai merefleksikan pada
dirinya bahwa, apa yang dialami orang tuanya terdahulu, terutama
ibunya, adalah sama dengan yang dialaminya sekarang.
c. Pengalaman melahirkan dan membesarkan anak yang lalu atau
terdahulu
Walaupun kali ini adalah bukan lagi pengalamannya yang pertama
melahirkan bayinya, namun kebutuhan untuk mendapatkan dukungan
positif dari lingkungannya tidak berbeda dengan ibu yang baru
melahirkan anak pertama. Hanya perbedaannya adalah teknik
penyampaian dukungan yag diberikan lebih kepada support dan
apresisasi dari keberhasilannya dalam melewati saat-saat sulit pada
persalinannya yang lalu.
d. Pengaruh budaya

Adanya adat-istiadat yang dianut oleh lingkungan dan keluarga sedikit


banyak akan mempengaruhi keberhasilan ibu dalam melewati saat
transisi ini. Apalagi jika hal yang tidak sinkron atau berbeda antara
arahan dari tenaga kesehatan dengan budaya yang dianut. Dalam hal
ini, bidan harus bijaksana dalam menyikapi, namun tidak mengurangi
kualitas asuhan kebidanan yang harus diberikan. Keterlibatan keluarga
dari awal dalam menentukan bentuk asuhan dan perawatan yang harus
diberikan pada ibu dan bayi akan memudahkan bidan dalam pemberian
asuhan.

4. Penyimpangan Psikologis Masa Nifas

a. Post Partum Blues

Merupakan suatu kondisi perubahan psikologis yang dialami oleh


ibu oleh karena pengalaman ibu terkait nifas sebelumnya yang
memengaruhi kemampuan ibu dalam beradaptasi terhadap kondisi
perubahan psikologis dan emosi pada masa postpartum sekarang.
Postpartum blues biasanya terjadi hari ke-3 sampai ke-5 post partum,
namun dapat juga berlangsung lebih lama, yaitu seminggu atau lebih
meskipun jarang. Gambaran kondisi ini bersifat ringan dan sementara.
(Sulfianti dkk, 2021)
Postpartum blues ini dikategorikan sebagai sindroma gangguan
mental yang ringan yang dapat hilang dengan sendirinya. Oleh karena
itu sering tidak dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan tidak
ditindaklanjuti sebagaimana seharusnya. Padahal hal tersebut bisa
menjadi kondisi yang lebih serius dan dapat berlanjut menjadi depresi
dan psikosis post partum. (Sulfianti dkk, 2021)
Postpartum Blues atau yang sering juga disebut maternity blues
atau sindrom ibu baru, dimengerti sebagai suatu sindrom gangguan
efek ringan pada minggu pertama setelah persalinan dengan ditandai
gejala-gejala berikut ini (Azizah & Rosyidah, 2019) :
1) Reaksi depresi/sedih/disforia

2) Sering menangis

3) Mudah tersinggung

4) Cemas
5) Labilitas perasaan

6) Cenderung menyalahkan diri sendiri

7) Gangguan tidar dan nafsu makan

8) Kelelahan

9) Mudah sedih

10) Cepat marah

11) Mood mudah berubah, cepat menjadi sedih, dan cepat pula
menjadi gembira
12) Perasaan terjebak dan juga marah terhadap pasangannya dan
bayinya
13) Perasaan bersalah

14) Pelupa

Puncak dari postpartum blues ini 3-5 hari setelah melahirkan dan
berlangsung dari beberapa hari sampai 2 minggu. Postpartum blues
dapat terjadi pada siapapun, maka diharapkan tidak dianggap sebagai
penyakit. Postpartum blues tidak mengganggu kemampuan seorang
wanita merawat bayinya sehingga ibu dengan postpartum blues masih
bisa merawat bayinya. Postpartum blues tidak berhubungan dengan
penyakit mental sebelumnya dan tidak disebabkan oleh stres. Namun
stres dan riwayat depresi dapat mempengaruhi kejadian postpartum
blues terus menjadi depresi besar, oleh karena itu kejadian postpartum
blues harus segera ditindaklajuti. Penyebab timbulnya post partum
blues sebagai berikut (Azizah & Rosyidah, 2019) :
1) Faktor hormonal, berupa perubahan kadar estrogen, progesterone,
prolactin, serta estriol yang terlalu rendah. kadar estrogen turun
secara tajam setelah melahirkan dan ternyata estrogen memiliki
efek supresi aktivitas enzim non-adrenalin maupun serotin yang
berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi
2) Ketidaknyamanan fisik yang dialami sehingga menimbulkan
perasaan emosi pada wanita pasca melahirkan, misalnya rasa sakit
akibat luka jahit atau bengkak pada payudara
3) Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan-perubahan yang
terjadi
4) Faktor umur dan jumlah anak

5) Pengalaman dan proses kehamilan dan persalinannya

6) Latar belakang sikososial wanita tersebut misalnya, tingkat


pendidikan, kehamilan yang tidak diinginkan, status perkawinan,
atau riwayat gangguan jiwa pada wanita tersebut
7) Dukungan yang diberikan dari lingkungan misalnya dari suami,
orang tua, dan keluarga
8) Stres yang dialami oleh wanita itu sendiri misalnya: karena belum
bisa menyusui bayinya, rasa bosan terhadap rutinitas barunya
9) Kelelahan pasca bersalin

10) Ketidaksiapan terhadap perubahan peran yang terjadi pada wanita


tersebut
11) Rasa memiliki bayinya terlalu dalam sehingga takut yang
belebihan akan kehilangan bayinya
12) Masalah kecemburuan dari anak yang terdahulunya

Beberapa cara mengatasi postpartum blues adalah sebagai berikut


(Azizah & Rosyidah, 2019) :
1) Persiapan diri yang baik selama kehamilan untuk menghadapi
masa nifas
2) Komunikasikan segala permasalahan atau hal yang ingin
disampaikan
3) Selalu membicarakan rasa cemas yang dialami

4) Bersikap tulus serta ikhlas terhadap apa yang telah dialami dan
berusaha melakukan peran barunya sebagai seorang ibu yang baik
5) Cukup istirahat

6) Menghindari perubahan hidup yang drastis

7) Berolahraga ringan

8) Berikan dukungan dari keluarga, suamu, atau saudara

9) Konsultasikan kepada tenaga kesehatan atau orang yang


professional agar dapat memfasilitasi faktor risiko lainnya selama
masa nifas dan membantu dalam melakukan upaya pengawasan.
b. Kesedihan Duka Cita

Dalam bahasan kali ini, digunakan istilah “berduka” yang di


artikan sebagai respon psikologis terhadap Kehilangan. Proses
berduka sangat bervariasi, tergantung dari apa yang hilang serta
presepsi dan keterlibatan individu terhadap apapun yang hilang.
Seberapa kehilangan tergantung dari presepsi individu yang
merasakan kehilangan. (Azizah & Rosyidah, 2019)
Kehilangan maternitas termasuk hal yang dialami oleh wanita yang
mengalami infertilitas (wanita yang tidak mampu hamil atau tidak
mampu mempertahankan kehamilannya), yang mendapatkan bayinya
hidup, tapi kemudian Kehilangan harapan (prematuritas atau
kecacatan congenital), dan kehilangan yang dibahas sebgai penyebab
post partum blues (Kehilangan keintiman internal dengan bayinya dan
hilangnya perhatian). Kehilangan lain yang penting, tapi sering
dilupakan adalah perubahan hubungan eksklusif antara suami dan istri
menjadin kelompok tiga orang, yakni ayah-ibu dan anak. Tidak
dianjurkan untuk rawat gabung (rooming in) dengan bayinya pada ibu
yang menderita depresi berat. (Azizah & Rosyidah, 2019)
Dalam hal ini berduka di bagi menjadi 3 tahap yaitu sebagai
berikut (Yuliani, 2021) :
a. Tahap syok

Tahap ini merupakan tahap awal dari sebuah kehilangan,


manifestasi perilaku meliputi penyangkalan, jengkel, marah,
ketidakpercayaan, kekosongan, Kesedihan, rasa bersalah, isolasi,
menangis, intoversi, tidak rasional, kewaspadaan, rasa takut dll.
Manifestasi fisik meliputi gelombang distress somatic berlangsung
selama 20 sampai 60 menit, menghela nafas panjang, penurunan
berat badan, keletihan, tidur tidak tenang, penampilan kurus dan
tampak lesu, rasa penuh di tenggorokan atau tersedak dan lain-
lain.
b. Tahap penderitaan (Realitas)

Penerimaan terhadap fakta kehilangan dan upaya penyesuaian


terhadap realitas yang harus ia lakukan terjadi pada periode ini.
Contohnya, orang yang berduka akan menyesuaikan diri dengan
lingkungannya tanpa kehadiran orang yang disayanginya. Dalam
tahap ini akan selalu terkenang terhadap orang yang dicintainya
sehingga akan muncul perasaan marah, Rasa bersalah, dan takut.
Bilangan akan dirasakan secara menyeluruh, dalam realitas Yang
memanjang dan dalam ingatan setiap hari. Menangis adalah salah
satu pelepasan emosi yang umum. Selama masa ini, kehidupan
orang berduka akan terus berlanjut, individu terus melanjutkan
tugasnya untuk berduka, dominasi kehilangannya secara bertahap
akan berubah Menjadi kecemasan terhadap masa depan.
c. Tahap Resolusi (Fase menentukan hal yang bermakna)

Selama periode ini, orang yang berduka akan menerima


kehilangan, penyesuaian telah komplet, dan individu kembali pada
fungsinya. Kemajuan ini telah berhasil karena adanya penanaman
kembali emosi seseorang terhadap hubungan lain yang lebih
bermakna. Penanaman kembali emosi tidak berarti bahwa posisi
orang yang kehilangan akan tergantikan, tetapi berarti bahwa
individu Lebih mampu dalam menanamkan dan membentuk
hubungan lain yang lebih bermakna dengan resolusi. serta perilaku
orang tersebut telah kembali menjadi pilihan yang bebas,
mengingat lama menderita perilaku ditentukan oleh nilai-nilai
sosial dan kegelisahan internal.
c. Depresi Post Partum

Depresi postpartum atau postpartum depression adalah depresi


yang terjadi setelah melahirkan. Hal ini disebabkan oleh
ketidakseimbangan zat kimia di otak dan dialami oleh 10% ibu yang
melahirkan. Ada yang menganggap postpartum depression sama
dengan baby blues, tapi anggapan itu tidak benar. Baby blues
merupakan perubahan emosi (mood swing) yang umumnya
menyebabkan sang ibu menangis terus-menerus, cemas, hingga sulit
tidur selama beberapa hari hingga 2 minggu setelah bayi lahir.
Sementara itu, postpartum depression merupakan kondisi yang lebih
parah dibandingkan dengan baby blues. Postpartum depression
membuat penderita merasa putus harapan, merasa tidak menjadi ibu
yang baik, sampai tidak mau mengurus anak. (Yuliani, 2021)
Gejala postpartum depression atau postnatal depression bisa terjadi
pada awal kehamilan, beberapa minggu sesudah melahirkan, atau
hingga setahun sesudah bayi lahir. Ketika mengalami postpartum
depression, seseorang akan mengalami gejala-gejala berikut (Yuliani,
2021) :
1) Merasa cepat lelah atau tidak bertenaga.

2) Mudah tersinggung dan marah.

3) Menangis terus-menerus.

4) Merasa gelisah tanpa alasan yang jelas.


5) Mengalami perubahan suasana hati yang drastis.
6) Kehilangan nafsu makan atau justru makan lebih banyak dari
biasanya.
7) Tidak dapat tidur (insomnia) atau tidur terlalu lama.

8) Sulit berpikiran jernih, berkonsentrasi, atau mengambil keputusan

9) Tidak ingin bersosialisasi dengan teman dan keluarga.

10) Kehilangan minat terhadap kegiatan yang biasa disukainya.

11) Putus asa.

12) Berpikir untuk melukai dirinya sendiri atau bayinya.

13) Munculnya pikiran tentang kematian dan ingin bunuh diri

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang


mengalami depresi postpartum, di antaranya (Yuliani, 2021) :
1) Pernah menderita depresi sebelum atau selama

2) Menderita gangguan bipolar

3) Ada anggota keluarga yang menderita depresi.

4) Menyalahgunakan NAPZA.

5) Kesulitan menyusui anak.

6) Hamil di usia muda dan memiliki banyak anak.

Di samping itu, risiko terjadinya depresi pasca persalinan juga akan


meningkat jika ibu yang baru melahirkan mengalami kejadian yang
membuat stres, misalnya baru kehilangan pekerjaan, mengalami
masalah finansial, terlibat konflik dalam keluarga, menderita
komplikasi kehamilan, melahirkan bayi kembar, atau bayi yang
dilahirkan menderita penyakit tertentu. (Yuliani, 2021)
d. Psikosis Post Partum

Psikosis postpartum juga dikenal sebagai psikosis nifas (puerperal


psychosis) atau psikosis pasca kelahiran (postnatal psychosis). Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, psikosis pasca melahirkan lebih
jarang terjadi ketimbang baby blues dan depresi postpartum. (Yuliani,
2021)
Gejala psikosis postpartum dapat bervariasi pada setiap ibu yang
biasanya mulai terlihat di sekitar minggu pertama atau kedua setelah
melahirkan. Gejalanya biasanya mencakup suasana hati yang mudah berubah,
depresi, kebingungan, halusinasi, dan delusi. Namun, gejala yang umum
terjadi adalah sebagai berikut (Yuliani, 2021) :
1) Mendengar suara dan melihat hal-hal yang tidak ada (halusinasi)

2) Perubahan mood yang ekstrim (mood swings)

3) Berperilaku manik (mood manic), misalnya bicara atau berpikir terlalu


banyak dan cepat, merasa terlalu senang, dan lainnya
4) Merasa bingung, curiga, dan takut

5) Berkhayal atau percaya pada hal yang tidak benar dan tidak logis (delusi)
6) Menunjukkan tanda depresi, menarik diri dari lingkungan, dan gampang
menangis
7) Kurang berenergi, kehilangan nafsu makan, gelisah, dan sulit tidur

8) Menjadi sangat agresif atau kasar

9) Merasa paranoid

10) Sulit berkonsentrasi

11) Memperlakukan bayi dengan cara yang tidak tepat

12) Berencana untuk menyakiti diri sendiri maupun bayi

Anda mungkin juga menyukai