Anda di halaman 1dari 66

LITERATURE REVIEW : PENGARUH KADAR RHEUMATOID

FACTOR TERHADAP KADAR

C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PENDERITA


RHEUMATOID ARTHRITIS

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh :
NURUL ISTIQOMAH
NIM : 1811304120

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN

TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH

YOGYAKARTA

2021

1
LITERATURE REVIEW : PENGARUH KADAR RHEUMATOID FACTOR
TERHADAP KADAR
C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PENDERITA RHEUMATOID
ARTHRITIS

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Mencapai Gelar


Sarjana Terapan Kesehatan
Program Studi Sarjana Terapan Teknologi Laboratorium Medis
Fakultas Ilmu Kesehatan
di Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta

Disusun Oleh :
NURUL ISTIQOMAH
NIM : 1811304120

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN


TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2021

2
iii

HALAMAN PENGESAHAN

LITERATURE REVIEW : PENGARUH KADAR RHEUMATOID FACTOR


TERHADAP KADAR C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PENDERITA
RHEUMATOID ARTHRITIS

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh :
NURUL ISTIQOMAH
1811304120

Telah Memenuhi Persyaratan dan Disetujui untuk Mengikuti Seminar Proposal


Program Studi Sarjana Terapan Teknologi Laboratorium Medis
Fakultas Ilmu Kesehatan
Di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

Oleh :

Pembimbing : Farida Noor Irfani, S.Si.,M.Biomed

Tanggal : 08 Agustus 2022

Tanda tangan :
iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Dengan ini peneliti menyatakan bahwa dalam penelitian ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk skripsi lain atau untuk memperoleh gelar sarjana

terapan Kesehatan pada perguruan tinggi lain dan sepanjang pengetahuan peneliti

juga tidak terdapat karya orang lain atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar Pustaka.

Yogyakarta, 5 November 2022

Tanda tangan,

Nurul Istiqomah


v

HALAMAN PENGESAHAN

LITERATURE REVIEW : PENGARUH KADAR RHEUMATOID FACTOR


TERHADAP KADAR C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PENDERITA
RHEUMATOID ARTHRITIS

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun oleh:

NURUL ISTIQOMAH
NIM : 1811304120

Telah Dipertahankan Didepan Dewan Penguji Dan Diterima


Sebagai Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana Terapan Kesehatan
Pada Program Studi Sarjana Terapan Teknologi Laboratorium Medis
Fakultas Ilmu Kesehatan
Di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

Oleh :

Pembimbing : Isnin Aulia Ulfah Mu’awanah, S.Si.,M.Sc

Tanggal :

Tanda tangan :

KATA PENGANTAR
vi

Bismillahirahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmatNya penulis dapat

menyelesaikan proposal penelitian ini dengan judul “Pengaruh Kadar

Rheumatoid Factor (RF) Terhadap Kadar C-Reactive Protein (CRP) pada

penderita reumatoid artritis”. Penulis menyadari kelebihan serta keterbatasan

yang ada sehingga dalam penyelesaian proposal ini tidak lepas dari bantuan, doa

restu dan bimbingan serta arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Warsiti, S.Kep., M.Kep., Sp.Mat selaku Rektor Universitas ‘Aisyiyah

Yogyakarta.

2. Bapak Moh. Ali Imron, S.Sos., M.Fis selaku Dekan Fakultas ilmu

Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah.

3. Ibu Isnin Aulia Ulfah Mu’awanah, S.Si., M.Sc selaku Ketua Prodi Sarjana

Terapan Teknologi Laboratorium Medis Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

sekaligus selaku Penguji, yang telah memberikan waktu, tenaga, kritikan

dan saran dalam penulisan proposal ini.

4. Ibu Farida Noor Irfani, S.Si., M.Biomed selaku Dosen Pembimbing yang

telah mengarahkan dan membimbing penulis dengan sabar dari awal

proposal ini dimulai hingga selesai.


vii

5. Segenap dosen pengajar dan staf di Program Studi Teknologi

Laboratorium Medis Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta yang telah

memberikan ilmu serta membantu dalam penyelesaian proposal ini.

6. Ibu, Bapak, Kakak dan adek yang selalu mengetuk pintu langit dengan

doanya sehingga proposal ini bisa terselesaikan.

7. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang

telah membantu penyusunan usulan penelitian ini.

8. Teman-teman seperjuangan Program Studi Teknologi Laboratorium Medis

Angkatan 2018 yang telah memberikan doa, semangat, bantuan, motivasi

serta keceriaan hingga selesainya proposal ini.

9. Penulis menyadari bahwa penyusunan proposal ini jauh dari sempurna.

Penulis memohon maaf apabila dalam pengerjaan proposal ini terdapat

kekurangan atau kesalahan dalam penulisan sehingga saran dan kritik

yang membangun sangat diharapkkan dalam penyempurnaan proposal ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 5 November 2022

Nurul Istiqomah

DAFTAR ISI
viii

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN...............................iv

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................v

KATA PENGANTAR...........................................................................................vi

DAFTAR ISI.......................................................................................................viii

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................x

DAFTAR TABEL.................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................5

C. Tujuan Penelitian..........................................................................................6

D. Manfaat Penelitian.......................................................................................6

E. Ruang Lingkup..............................................................................................7

F. Keaslian Penleitian...........................................................................................8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................12

A. Tinjauan Teoritis.........................................................................................12

1) Konsep Rheumatoid Arthritis (RA)........................................................12

2) Konsep Rhematoid Factor (RF)..............................................................26

3) Konsep C-Reactive Protein (CRP)..........................................................30

B. Kerangka Konsep........................................................................................38

C. Hipotesis Penelitian.....................................................................................38

D. Tinjauan Islam.............................................................................................39

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................41

A. Penjelasan Topik Review............................................................................41


ix

B. Jenis Metode Penelitian..............................................................................41

C. Sumber Data................................................................................................42

D. Strategi Pengumpulan Data.........................................................................43

E. Pengumpulan Data......................................................................................45

F. Variabel Penelitian......................................................................................47

G. Jalannya Penelitian......................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................49

DAFTAR GAMBAR
x

Gambar 2. 1Sendi Normal Dengan Rheumatoid Arthritis.....................................11


Gambar 2. 2 Pemeriksaan Aglutinasi Lateks........................................................28
Gambar 2. 3 Struktur Molekur C-Reaktif Protein.................................................30
Gambar 2.4 Interpretasi Pemeriksaan CRP Metode
Tes Aglutinasi Kualitatif (docplayer.info, 2020)..................................................34
Gambar 2.5 Ilustrasi Reaksi Pemeriksaan CRP
Metode Sandwich ELISA......................................................................................35
Gambar 2.6 Kerangka Konsep pengaruh kadar
Rheumatoid Factor (RF) terhadap Kadar
C-Reactive Protein (CRP) pada penderita Reumatoid Artritis..............................37
Gambar 3.1 Diagram PRISMA.............................................................................46

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Keadaan yang dapat meningkatkan kadar CRP...................................31


xi

Tabel 3. 1 Pencarian Literatur Jurnal Metode PICO.............................................42


Tabel 3. 2 Tracking Pencarian Artikel..................................................................43
Tabel 3. 3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi................................................................43
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rheumatoid arthritis merupakan gangguan peradangan kronis autoimun

atau respon autoimun, sehingga imun seseorang bisa terganggu dan turun yang

menyebabkan hancurnya organ sendi dan lapisan pada sinovial, Terutama pada

tangan, Kaki dan lutut (Masruroh, et al., 2020; Sakti & Muhlisin, 2019). Sebagian

besar masyarakat Indonesia menganggap remeh penyakit rematik, Karena sifatnya

yang seolah-olah tidak menimbulkan kematian padahal rasa nyeri yang di

timbulkan sangat menghambat seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari

(Nurwulan, 2017). Penyakit rematik sering kita dengar di masyarakat, Namun

pemahaman yang benar tentang rematik di keluarga belum memuaskan (Siahaan,

et al., 2017).

Menurut World Health Organization (WHO) prevalensi penyakit

rheumatoid arthritis di dunia sekitar 0,3%-1%. Menurut Arthritis Foundation

tahun 2015 sebanyak 22% atau lebih dari 50 juta orang dewasa di Amerika

Serikat berusia lebih dari 18 tahun di diagnosa arthritis. Berdasarkan data tersebut,

sekitar 3% atau 1,5 juta orang dewasa mengalami rheumatoid arthritis. Data

epidemiologi di Indonesia di dapatkan prevalensi berdasarkan rheumatoid

arthritis sebesar 0,1%-0,2%. Diagnosis arthritis rheumatoid di Indonesia

menggunakan kriterial diagnosis

1
menurut American College of rhematology/europan league against rheumatism

(ACR/EULAR) tahun 2010.

Berdasarkan kriteria tersebut tercantum beberapa kriteria ini tidak terlalu

spesifik sehingga harus dilakukan pemeriksaan serologi berupa pemeriksaan

rheumatoid factor, aAnti-Citrullinated protein Antibodies (ACPA) atau

immunoglobulin G Anti- Cyclic Citrullinates protein (IgG anti-C), anti cyclic

citrullinated peptid (anti CCP) biasanya digunakan dalam diagnosis dini dan

penanganan rheumatoid arthritis dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70%

namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten, laju

endap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan adanya proses

inflamasi, akan tetapi memiliki spesifitas yang rendah untuk rheumatoid arthritis

(RA). Tes ini berguna untuk memonitor aktivitas penyakit dan responnya terhadap

pengobatan. Selain pemeriksaan tersebut untuk mendiagnosis rheumatoid

arthritis (RA) adapun pemeriksaan analisis cairan sinovial peradangan yang

mengarah pada rheumatoid arthritis (RA) ditandai dengan cairan sinovial

abnormal dalam hal kualitas dan jumlahnya yang meningkat drastis. Sampel

cairan ini biasanya di ambil dari sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan

dianalisis tanda-tanda peradangannya (Watkins, 2013).

Prevalensi berdasarkan diagnosis dokter tertinggi di Aceh (13,3%).

Prevalensi yang di diagnosa dokter lebih tinggi perempuan (8,5%) di banding

dengan laki-laki 6,1% (Riskesdas, 2018). Prevalensi jumlah penyakit di Jawa

tengah 25,5% (Nurwulan, 2017). Prevalensi penyakit rematik berdasarkan

2
diagnosis tenaga kesehatan atau gejala di kota Magelang 28,9%, Sedangkan di

Kabupaten Magelang 11,7% (Fajri & Muhlisin, 2019). Menurut Riskesdas (2018),

jumlah penderita rheumatoid arthritis di Indonesia mencapai 7.30%. Seiring

bertambahnya jumlah penderita reumatoid artritis di Indonesia justru tingkat

kesadaran dan salah pengertian tentang penyakit ini cukup tinggi. Keadaan inilah

menjelaskan bahwa kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia khususnya

penderita untuk mengenal lebih dalam lagi mengenai penyakit rheumatoid

arthritis selanjutnya prevalensi yang terjadi di Jawa Tengah berjumlah (6,78%).

Pada penderita rheumatoid arthritis, terjadi peningkatan kadar molekul

kostimulatoris yang menimbulkan respon imun CD4 Th2 sehingga menghasilkan

autoantibodi, yaitu anti IgG atau rheumatoid factor (RF). Rheumatoid factor

merupakan suatu kelompok autoantibodi spesifik yang dapat mengikat antibodi

lain. Rheumatoid factor dapat berupa variasi IgG, IgM, atau IgA, tetapi diduga

IgM berperan penting, yang bereaksi dengan IgG sebagai antigen. Kompleks imun

rheumatoid factor ini dapat memperberat proses inflamasi dan mempengaruhi

komplemen. Rheumatoid factor merupakan pertanda khas rheumatoid arthritis,

dapat ditemukan pada 80% pasien dengan rheumatoid arthritis (Umar, 2016).

C-Reaktive Protein (CRP) merupakan salah satu Protein Fase Akut (PFA),

termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi

akut sebagai respons imunitas nonspesifik. (Baratawidjaja K.G. dan Rengganis I,

2012). Dalam waktu yang relatif singkat (6-8 jam) setelah terjadinya reaksi radang

3
akut/kerusakan jaringan, sintesis dan sekresi CRP meningkat dengan tajam.

(Handojo I, 2004).

Beberapa indikator penanda inflamasi rheumatoid artritis adalah

C-Reactive Protein (CRP) (Rukmana, 2015). Pemeriksaan C-RP merupakan

pemeriksaan laboratorium yang paling sering diukur dalam menilai respon suatu

proses inflamasi sistemik. Pada infeksi, inflamasi, degeneratif dan keganasan,

nilainya akan meningkat, seperti halnya peningkatan nilai fibrinogen,

imunoglobulin dan C-RP (Wibowo, et al., 2018). Pemeriksaan C-Reaktif Protein

(C-RP) adalah salah satu protein fase akut yang terdapat dalam serum normal

walaupun dalam jumlah amat kecil. Dalam beberapa keadaan tertentu dengan

reaksi radang atau kerusakan jaringan (nekrosis), baik yang disebabkan oleh

penyakit infeksi maupun yang bukan oleh karena infeksi (Susilo, et al., 2020).

Berdasarkan jurnal internasional yang berjudul Long-term outcomes of

destructive seronegative (rheumatoid) arthritis description of four clinical cases

(Nikiphorou, et al., 2016), bahwa hingga 20-30% pasien yang termasuk gejala

rematoid artritis, dalam uji klinis menunjukkan seronegatif. Pada Rumah Sakit

Yayasan Rematik “Finlandia Heinola”, dalam mendiagnosis gejala awal rematoid

artritis, (selama lebih kurang 25 tahun) hanya menindaklanjuti pasien yang

seropositif, karena reumatologis meyakini bahwa penyakit seropositive (RF

positif pada waktu itu) adalah satu-satunya presentasi yang benar dari penyakit

ini.

4
Berdasarkan penelitian oleh Selvarasu, (2016) dari hasil penelitian

diperoleh proporsi terbanyak RA fase flare pada kelompok usia 41-50 tahun

(34,8%), dan jenis kelamin perempuan berjumlah (78,3%). Terdapat peningkatan

pada kadar CRP (100%) dan LED (95,7%). Dari hasil uji statistik Koefisien

korelasi terdapat hubungan antara kadar C-Reactive Protein (CRP) dan Laju

Endap Darah (LED) pada pasien rheumatoid arthritis fase flare (p-value 0,005)

(r=0,407) yang menunjukkan korelasi positif dengan tingkat hubungan yang

sedang. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat korelasi positif dan

hubungan yang sedang antara kadar CRP dan LED pada rheumatoid arthritis fase

flare.

Pengukuran CRP merupakan kunci untuk pemantauan penyakit

rheumatoid arthritis. Pemantauan ini perlu untuk meningkatkan pengobatan agar

penyakit lebih terkendali atau secara hati-hati menurunkan dosis obat jika pasien

telah terkontrol dan selanjutnya secara terus-menerus (Perhimpunan Reumatologi

Indonesia, 2018). Berdasarkan penjelasan tersebut, kadar CRP berkaitan dengan

proses peradangan dan infeksi pada pasien rheumatoid arthritis. Penentuan kadar

rheumatoid factor saja tentu belum cukup untuk mendiagnosis rheumatoid

arthritis. Karena telah dijelaskan bahwa, 20-30% penderita rheumatoid arthritis

menunjukkan seronegative untuk rheumatoid factor. Keadaan ini tentu dapat

menghambat proses pengobatan pada penderita. Untuk itu perlu adanya

pemeriksaan penunjang terkait penyakit rematoid artritis, yaitu pemeriksaan kadar

CRP. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Nurul Hudayah, 2016), bahwa di

daerah Limbung, kabupaten Gowa, Sulawesi selatan, dari 30 tersangka penderita


5
AR yang diperiksa, terdapat 10 orang yang positif menderita AR. Bertitik tolak

dari landasan di atas, peneliti bermaksud untuk melakukan studi terkait pengaruh

kadar Rheumatoid Factor (RF) terhadap Kadar C-Reactive Protein (CRP) pada

penderita Reumatoid Artritis.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dimaksudkan untuk merumuskan ruang lingkup

pekerjaan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk memperkecil masalah yang

terjadi. Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas terdapat beberapa

permasalahan yang dihadapi, dan dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh kadar Rheumatoid Factor (RF) terhadap kadar

C-Reactive Protein (CRP) pada penderita Rheumatoid Arthritis ?

2. Faktor manakah yang mempengaruhi perubahan kadar C—Reactive

Protein (CRP) dan faktor manakah yang lebih mempengaruhi antara faktor

teknis dan faktor sampel pada pemeriksaan Rheumatoid Arthritis?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh kadar Rheumatoid Factor (RF) terhadap

Kadar C-Reactive Protein (CRP) pada penderita reumatoid artritis.

2. Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi perubahan kadar C—

Reactive Protein (CRP) dan faktor yang lebih mempengaruhi antara

faktor teknis dan faktor sampel pada pemeriksaan Rheumatoid

Arthritis.

6
D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Sebagai tambahan ilmu, kompetensi dan pengalaman yang berguna bagi

peneliti dalam melakukan penelitian terkait dengan pemeriksaan

Rheumatoid factor terhadap kadar C-Reactive Protein (CRP) pada

penderita Rheumatoid Arthritis.

2. Bagi Tenaga Laboratorium Medis

Penelitian ini diharapkan sebagai informasi bagi tenaga laboratorium

dalam menentukan pemeriksaan rheumatoid factor dengan kadar C-

Reactive Protein (CRP) pada penderita Rheumatoid Arthritis.

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Sebagai acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang ingin melakukan

penelusuran pustaka mengenai adanya pengaruh pemeriksaan Rheumatoid

factor dengan kadar C-Reactive Protein (CRP) pada penderita Rheumatoid

Arthritis.

E. Ruang Lingkup

1. Ruang Lingkup Materi

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup Teknologi Laboratorium

Medis bidang imunologi yang mengenai pemeriksaan rheumatoid factor

terhadap kadar C-Reactive Protein (CRP) pada penderita Rheumatoid

Arthritis. Data terkait pemeriksaan Rheumatoid factor kadar C-Reactive

Protein (CRP) berdasarkan dari penelitian jurnal yang terkait.

7
2. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2022 sampai bulan November

2022.

3. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian dilakukan di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.

8
9

F. Keaslian Penleitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

Nama
Judul Penelitian Metodelogi dan Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
Peneliti

Syamsul Pengaruh Kadar Rheumatoid Penelitian ini termasuk jenis penelitian Persamaan antara Perbedaan
Bakhri, Factors Terhadap Kadar C- observasi analitik dengan pendekatan kedua penelitian ini penelitian ini
(2017) reaktif Protein Dan Nilai Laju studi regresi, untuk mengetahui terletak pada terletak pada
Endap Darah Pada Penderita keberadaan hubungan dan tingkat variable penelitian, metode penelitian
Artritis Reumatoid hubungan antar variabel yang yaitu jenis dengan
direfleksikan dalam koefisien regresi. parameter menggunakan
Sehingga hasilnya dapat pemeriksaan observasi analitik.
digeneralisasikan ke populasi. rheumatoid faktor
dan parameter C-
Reaktif Protein

Harti & Pemeriksaan Rheumatoid Data diperoleh dari laboratorium Rumah Persamaan terletak Perbedaan dengan
Yuliana, Faktor Pada Penderita
Umum Brayat Minulya Surakarta secara pada variable penelitian
(2012) Rheumatoid Arthritis
acak, sampel darah diambil dari pasien penelitian yaitu sekarang terletak
10

Nama
Judul Penelitian Metodelogi dan Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
Peneliti

yang dicurigai menderita Rheumatoid jenis parameter pada desain dan

arthritis. Pemeriksaan RF secara pemeriksaan jenis penelitian,

aglutinasi latex dengan metode Randox rheumatoid factor parameter

RF test. Hal ini menunjukkan sampel (RF) pada pasien pemeriksaan

positif. Berdasarkan hasil pemeriksaan rheumatoid teknik sampling

RF secara aglutinasi latex pada 15 sampel arthritis. dan analisa data

didapat hasil 4 sampel positif (aglutinasi)

terhadap RF yaitu sampel no. 1, 2, 14 dan

15, sedangkan 11 sampel menunjukkan

reaksi negatif (tidak aglutinasi) terhadap

rheumatoid factor sehingga dapat

disimpulkan bahwa pemeriksaan

rheumatoid factor pada penderita


11

Nama
Judul Penelitian Metodelogi dan Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
Peneliti

tersangka RA dapat digunakan untuk

membantu diagnosa rheumatoid artritis

Thalia Pengaruh pemberian terapi Sampel yang digunakan adalah Mice Persamaan terletak Perbedaan dengan
Tamara, oksigen hiperbarik 2,4 ATA
BALB/C jantan sebanyak 16 ekor yang pada variable penelitian
Hendrata terhadap kadar C-Reactive
dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 1) penelitian yaitu C- sekarang terletak
Erry, Totot Protein (CRP) darah mencit
Mudjiono model rheumatoid arthritis kelompok mencit yang diinduksi menjadi Reaktive protein pada desain dan
(2019)
model Rheumatoid Arthritis, 2) kelompok pada pasien artritis jenis penelitian,

hewan coba yang diinduksi menjadi rheumatoid. parameter

model Rheumatoid Arthritis dan pemeriksaan

diberikan terapi HBO 2,4 ATA 3x30 teknik sampling

menit selama 10 hari berturut-turut. Pada dan analisa data

hari ke-59 dilakukan pemeriksaan C-


12

Nama
Judul Penelitian Metodelogi dan Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
Peneliti

Reactive Protein menggunakan metode

ELISA. Hasil rerata kadar C-Reactive

Protein antara 2 kelompok yaitu,

kelompok mencit model RA yang tidak

diterapi HBO memiliki rerata kadar CRP

0.204 Pg/ml, sedangkan kelompok

mencit model RA yang diterapi HBO

memiliki rerata kadar CRP 0.113 Pg/ml.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis
1) Konsep Rheumatoid Arthritis (RA)

a. Definisi rhematoid arthritis (RA)

Rheumatoid Arthritis merupakan gangguan peradangan kronis

autoimun atau respon autoimun, imun seseorang bisa terganggu dan

turun yang menyebabkan hancurnya organ sendi dan lapisan pada

sinovial, terutama pada tangan, kaki dan lutut (Masruroh, et al., 2020;

Sakti & Muhlisin, 2019). Sebagian besar masyarakat Indonesia

menganggap remeh penyakit rematik, karena sifatnya yang seolah-olah

tidak menimbulkan kematian padahal rasa nyeri yang ditimbulkan

sangat menghambat seseorang untuk melakukan aktivitas sehari- hari

(Nurwulan, 2017). Penyakit rematik sering kita dengar di masyarakat,

namun pemahaman yang benar tentang rematik di keluarga belum

memuaskan (Siahaan, et al., 2017).

13
Gambar 2. 1 Sendi Normal Dengan Rheumatoid Arthritis

Penyakit Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit system

imun dan autoimun yang dapat menjadikan peradangan kronis

mengenai sendi. Rheumatoid arthritis juga dapat mengakibatkan reaksi

autoimun pada saat jaringan sinovial menyertakan proses fagositosis

dan respon inflamasi lainnya. Sampai sekarang penyebab Rheumatoid

Arthritis masih belum jelas, tetapi ada faktor predisposisinya yaitu

mekanisme imunitas (antigen- antibodi), ada juga faktor keturunan,

faktor lingkungan, metabolik, infeksi virus yang dapat menyebabkan

timbulnya keluhan sendi (Chabib, et al., 2016).

b. Etiologi Rheumatoid Arthritis

Penyebab rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti

walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Faktor

genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan

dalam timbulnya penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk menderita

rheumatoid arthritis dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang

sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan

hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penyakit

ini. Walaupun demikian karena pembenaran hormon esterogen

eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang

diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor

hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini (Aspiani, 2014).

14
Infeksi telah diduga merupakan penyebab Rheumatoid Arthritis.

Dugaan faktor infeksi timbul karena umumnya omset penyakit ini

terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran

inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil

dilakukan isolasi suatu organisme dari jaringan synovial, hal ini tidak

menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen

peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat

mencetuskan terjadinya Rheumatoid Arthritis. Agen infeksius yang

diduga merupakan penyebab Rheumatoid Arthritis Antara lain bakteri,

mikoplasma atau virus (Aspiani, 2014).

Hipotesis terbaru tentang penyebab penyakit ini adalah adanya

faktor genetik yang akan menjurus pada penyakit setelah terjangkit

beberapa penyakit virus, seperi infeksi virus Epstein-Barr. Heat Shock

Protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang yang

dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respon terhadap stress.

Walaupun telah diketahui terdapa hubungan antara Heat Shock Protein

dan sel T pada pasien Rheumatoid arthritis namun mekanisme

hubungan ini belum diketahui dengan jelas (Aspiani, 2014).

Penyebab penyakit Rheumatoid Arthritis diantaranya:

1. Gaya hidup

a. Status sosial ekonomi

15
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat

kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan

penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antara

tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan

risiko RA.

b. Merokok

Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa

rokok tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA.

Merokok berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor

(RF) yang akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok

juga berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok

menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan

perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab

namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.

c. Diet

Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah

makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian

Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak

ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis

makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah

dapat meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan

minyak ikan memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain

16
menyebutkan konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun

masih belum jelas bagaimana hubungannya.

d. Infeksi

Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr

virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam

jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya

parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella,

dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.

e. Pekerjaan

Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,

pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun

risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja

dengan paparan silica.

2. Faktor hormonal

Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada

perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi

ireguler, dan menarche usia sangat muda.

3. Bentuk tubuh

Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks

Massa Tubuh (IMT) lebih dari 30.

17
c. Epidemiologi

Prevalensi Rheumatoid Arthritis lebih banyak ditemukan pada

perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat

terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi

didapatkan pada dekade keempat dan kelima (Suarjanal, 2012). Pada

Tahun 2004 lalu, jumlah pasien arthritis reumatoid mencapai 2 juta

orang, dengan perbandingan pasien wanita tiga kali lebih banyak dari

pria. Angka ini diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2025 dengan

indikasi lebih dari 25% akan mengalami kelumpuhan. Pada kebanyakan

populasi di dunia, prevalensi Rheumaoid Arthritis relatif konstan yaitu

berkisar antara 0,5%1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima

Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%.

Prevalensi arthritis reumatoid di India dan di negara barat kurang lebih

sama yaitu sekitar 0,75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina

prevalensinya kurang dari 0,4%, baik di daerah urban maupun rural

(Suarjanal, 2012).

Di Indonesia sendiri kejadian penyakit ini lebih rendah

dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika. Prevalensi kasus

rheumatoid arthritis di Indonesia berkisar 0,1% sampai dengan 0,3%

sementara di Amerika mencapai 3% Angka kejadian rheumatoid

arthritis di Indonesia pada penduduk dewasa (di atas 18 tahun) berkisar

0,1% hingga 0,3%. Pada anak dan remaja prevalensinya satu per seratus

18
ribu orang. Diperkirakan jumlah penderita rheumatoid arthritis di

Indonesia 360.000 orang lebih (Tunggal, 2012).

d. Patofisiloogi

Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat

membedakan komponen self dan non-self. Pada kasus Rheumatoid

Arthritis system imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan

menyerang jaringan synovial serta jaringan penyokong lain. Proses

fagositosis menghasilkan enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen

sehingga terjadi edema, proliferasi membrane synovial dan akhirnya

pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan

menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya

permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut

terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif

dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot

(Aspiani, 2014).

Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi synovial seperti edema,

kongesti vascular, eksudat fibrin, dan infiltrasi selular. Peradangan yang

berkelanjutan, synovial menjadi menebal, terutama pada sendi articular

kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus,

atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke tulang sub

chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan

gangguan pada nutrisi kartilago artikuler, sehingga kartilago menjadi

19
nekrosis. Tingkat erosi dari kartilago menentukan ketidakmampuan

sendi.Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara

permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu

(ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan

ligament menjadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau

dislokasi dari persendian. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan

terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan

deformitas (Aspiani, 2014).

e. Tanda Dan Gejala Rheumatoid Arthritis

Menurut Aspiani, (2014) ada beberapa gejala klinis yang umum

ditemukan pada pasien Rheumatoid Arthritis. Gejala klinis ini tidak

harus timbul secara bersamaan. Oleh karenanya penyakit ini memiliki

gejala klinis yang sangat bervariasi. Gejala-gejala konstitusional,

misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun, dan demam.

Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat.

1) Poliaritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi

di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang

distal, hampir semua sendi diartrodial dapat terangsang.

2) Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan

mekanis dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang

timbul setelah aktivitas dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul

pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri

20
inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur dan

disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan

berkurang setelah melakukan aktivitas.

3) Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat

generalisata terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda

dengan kekakuan sendi pada osteoartratis, yang biasanya hanya

berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam.

4) Arthritis erosif, merupakan ciri khas rheumatoid arthritis pada

gambaran radiologic. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan

erosi di tepi tulang dan dapat dilihat pada radiogram.

5) Deformitas, kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan

perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, sublukasi

sendi metakarpofalangeal, leher angsa adalah beberapa deformitas

tangan yang sering di jumpai pasien. Pada kaki terdapat protrusi

(tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi

metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terangsang dan akan

mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam

melakukan gerakan ekstensi.

6) Nodula-nodula rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan

pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita rheumatoid arthritis.

Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa elekranon

(sendi siku), atau di sepanjang permukaan ekstanor dari lengan,

walaupun demikian nodul-nodul ini dapat juga timbul pada tempat-

21
tempat lainnya. Nodul-nodul ini biasanya merupakan suatu tanda

penyakit yang aktif dan lebih berat.

7) Manifestasi ekstra articular, rheumatoid arthritis juga dapat

menyerang organorgan lain diluar sendi. Jantung (pericarditis), paru-

paru (pleuritis), mata, dan rusaknya pembuluh darah.

f. Komplikasi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat

mempengaruhi bagian lain dari tubuh selain sendi. Menurut (Aspiani,

2014) rheumatoid arthritis dapat menimbulkan komplikasi pada bagian

lain dari tubuh :

1) Sistem respiratori

Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada

rheumatoid arthritis. Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat

berupa nyeri tenggorokan, nyeri menelan, atau disfonia yang

umumnya terasa lebih berat pada pagi hari. Pada rheumatoid

arthritis yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis

paru yang luas (Aspiani, 2014).

2) Sistem kardiovaskuler

Seperti halnya pada sistem respiratorik, pada rheumatoid arthritis

jarang dijumpai gejala perikarditis berupa nyeri dada atau gangguan

faal jantung. Akan tetapi pada beberapa pasien dapat juga dijumpai

gejala perikarditis yang berat. Lesi inflamatif yang menyerupai nodul

22
rheumatoid dapat dijumpai miokardium dan katup jantung. Lesi ini

dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomena embolisasi,

gangguan konduksi, aortitis dan kardiomiopati (Aspiani, 2014).

3) Sistem gastrointestinal

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis

dan ulkus peptic yang merupakan komplikasi utama penggunaan

obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah

perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs,

DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas

utama pada rheumatoid arthritis (Aspiani, 2014).

4) Sistem persarafan

Komplikasi neurologis yang sering dijumpai rheumatoid arthritis

umumnya tidak memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar

untuk membedakan komplikasi neurologis akibat lesi artikular dari

lesi neuropatik. Pathogenesis komplikasi neurologis pada umumnya

berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas vertebre, servikal,

neuropai jepitan atau neuropati iskemik akibat vasculitis (Aspiani,

2014).

5) Sistem perkemihan : ginjal

Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik pada rheumatoid

arthritis jarang sekali dijumpai kelainan glomelural. Jika pada pasien

rheumatoid arthritis dijumpai proteinuria, umumnya hal tersebut

lebih sering disebabkan karena efek samping pengobatan seperi

23
garam emas dan D-penisilamin atau erjadi sekunder akibat

amiloidosis. Walaupun kelainan ginjal interstisial dapat dijumpai

pada syndrome sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih banyak

berhubungan dengan penggunaan OAINS. Penggunaan OAINS yang

tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan nekrosis papilar ginjal

(Aspiani, 2014).

6) Sistem hematologis

Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran

eritrosit normosistik-normokromik (hipokromik ringan) yang disertai

dengan kadar besi serum yang rendah serta kapasitas pengikatan besi

yang normal atau rendah merupakan gambaran umum yang sering

dijumpai pada rheumatoid arthritis. Enemia akibat penyakit kronik

ini harus dibedakan dari anemia defisiensi besi yang juga dapat

dijumpai pada rheumatoid arthritis akibat penggunaan OAINS atau

DMARD yang menyebabkan erosi mukosa lambung (Aspiani,

2014).

g. Manifestasi klinis

Rasa nyeri pada persendian berupa pembengkakan, panas, eritema

dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk

rheumatoid arthritis. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku

pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit (Smeltzer &

Bare, 2015). Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah :

24
mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara

progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan

kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular. Manifestasi

klinis yang lazim ditemukan pada seorang arthritis rheumatoid tidak

harus muncul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit

ini memiliki gambaran klinik yang sangat bervariasi.

Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu

atau bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang

jelas. Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi

dan keluhan diluar sendi menurut Putra, et al., (2013) antara lain :

1) Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan

menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunanberat

badan.

2) Kelainan sendi terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu

sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi

lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula,

panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada

leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan

dan nyeri sendi.

3) Kelainan diluar sendi

a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)

25
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan,

namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard

c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan

kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)

d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vasculitis yang

sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di

ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop.

1. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa

kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase

perforans.

Pemeriksaan Laboratorium pada Rheumatoid Arthritis

Tes pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk mendiagnosa

reumatoid artritis secara pasti yang terdiri dari (Langow, et al.,

2018):

1) Rheumatoid Factor (RF)

Pemeriksaan antibodi yang bereaksi dengan fragmen Fc dari

immunoglobulin (darah). Hasil positif didapatkan pada

Rheumatoid Arthritis, pada orang normal 1-5%.

2) Anti-CCP (Anti-Cyclic Citrullinated Peptide Antibodies)

Pemeriksaan autoantibodi untuk melawan CCP dalam darah.

Pemeriksaan ini sangat spesifik untuk Rheumatoid Arthritis, dan

26
timbul lebih awal dari Reumatoid Factor. Anti-CCP positif

berikatan dengan manifestasi sendi dan luar sendi yang berat.

3) Laju Endap Darah (LED)

Laju Endap Darah (LED) merupakan pertanda radang, yang bisa

meningkatkan pada semua penyakit rematik yang aktif

(Rheumatoid Arthristik aktif, lupus aktif, dan sebagainya). Pada

infeksi akut dan kronis, dan pada keganasan.

4) CRP (C-Reaktif Protein)

CRP (C-Reaktif Protein) merupakan protein yang dihasilkan oleh

hati sebagai respons inflamasi (radang) atau infeksi dalam tubuh.

Pada Rheumatoid Arthritis aktif, CRP dapat meningkat dan

kemudian menurun jika Rheumatoid Arhritis sudah remisi.

5) ANA (Anti-Nuclear Antibody)

Pemeriksaan darah untuk deteksi penyakit autoimun pada

umumnya. Pada lupus, 95-100% ANA positif. Pada Rheumatoid

Arthritis, 30-50% ANA positif.

6) Pemeriksaan Cairan Sendi

Jika ditemukan cairan pada sendi, cairan sendi tersebut akan

diambil dan diperiksa di laboratorium. Pada Reumatoid Arthritis,

jumlah sel cairan sendi yang mengalami inflamasi 5.000-

50.000/mm³.

2) Konsep Rhematoid Factor (RF)

a. Definisi Rhematoid Factor (RF)


27
Rheumatoid Factor (RF) adalah immunoglobulin yang bereaksi

dengan molekul IgG Sebagaimana ditunjukkan namanya, rheumatoid

factor terutama dipakai untuk mendiagnosa dan memantau rheumatoid

arthritis. Semua penderita dengan rheumatoid arthritis menunjukkan

antibodi terhadap IgG yang disebut faktor rheumatoid atau antiglobulin.

rheumatoid arthritis sendiri merupakan suatu penyakit sistemik kronis

yang ditandai dengan peradangan ringan jaringan penyambung. Sekitar

80-85% penderita Rheumatoid Arthritis mempunyai autoantibodi yang

dikenal dengan nama rheumatoid factor dalam serumnya dan

menunjukkan rheumatoid factor positif. Faktor ini merupakan suatu

faktor anti- gammaglobulin. Kadar rheumatoid factor yang sangat tinggi

menandakan prognosis buruk dengan kelainan sendi yang berat dan

kemungkinan komplikasi sistemik. Dengan pemeriksaan rheumatoid

factor pada penderita tersangka rheumatoid arthritis dapat digunakan

untuk membantu diagnosa rheumatoid arthritis. Perumusan masalahnya

apakah pemeriksaan serum penderita tersangka rheumatoid arthritis yang

diperiksa secara kualitatif memberikan hasil yang positif atau negatif

terhadap rheumatoid factor (Sacher & McPherson, 2012).

Rheumatoid Faktor (RF) merupakan antibodi terhadap region

wilayah Fc di Immunoglobulin G, sebagian besar rheumatoid faktor

adalah berupa IgM. Adanya rheumatoid faktor menunjukkan Rheumatoid

Arthritis tetapi bukanlah penegak diagnosis. Sel-sel tersebut dapat

menyebabkan destruksi jaringan dan juga menyebabkan penyebaran


28
respons inflamatorik. Pengendapan kompleks imun ini pada sendi akan

mengaktifkan jalur komplemen klasik, yang menginisiasi kaskade

peristiwa yang pada komplemen menyebabkan pembentukan

kemoatraktan yang dapat merekrut makrofag dan neutrophil di tempat

tersebut. Peran autoantibodi dalam pathogenesis rheumatoid arthritis

masih diperdebatkan. Namun temuan umum pada rheumatoid arthritis

adalah adanya antibodi IgM yang bereaksi dengan bagian Fc IgG, yang

menyebabkan terbentuknya kompleks imun. Antibodi anti-IgG ini

dinamakan sebagai rheumatoid faktor (Ritten-house & De Nardin, 2017).

b. Prinsip Pemeriksaan Rheumatoid Faktor

Prinsip pemeriksaan ini adalah reagen RF mengandung partikel

latex yang dilapisi oleh gamma globulin manusia. Ketika reagen

dicampur dengan serum yang mengandung RF pada level yang lebih

besar dari 8,0 IU/ml, maka pada partikel akan terjadi aglutinasi. Hal ini

menunjukkan reaksi positif pada sampel terhadap RF (Harti & Yuliana,

2012).

Metode pada Rheumatoid Faktor adalah uji skrining yang

dilakukan terhadap pemeriksaan Rheumatoid Faktor dapat menggunakan

dengan metode aglutinasi sehingga serum tersangka penderita

rheumatoid arthritis dicampurkan dengan partikel lateks yang dilapisi

oleh antibodi IgG manusia. Jika serum tersebut mengandung faktor

rheumatoid maka larutan lateks akan terbentuk gumpalan atau

29
aglutinasi sehingga pada sampel serum yang diperiksa mengandung

rheumatoid faktor (RF), maka akan terbentuk aglutinasi (Hartini, et al.,

2019).

Titer rheumatoid faktor yang tinggi belum tentu mencerminkan

aktivitas dari penyakit tersebut, tetapi biasanya ada kaitannya dengan

Rheumatoid Arthritis, penyakit yang parah, vaskulitis dan prognosis yang

tidak baik. Rheumatoid faktor juga dapat ditemukan pada penyakit

jaringan penyambung lain (misalnya sistemik lupus eritematous,

skleroderma dan dermatomiositis). Pada masyarakat normal, sero

positif akan semakin meningkat sesuai dengan lanjutnya usia, sebanyak

15-20% dari mereka yang berusia diatas 60 mempunyai rheumatoid

faktor positif yang titernya rendah. Pada darah juga dapat ditest untuk

mengetahui apakah laju endap darahnya meningkat dan merupakan suatu

tanda yang tidak spesifik pada peradangan. Pasien penderita

rheumatoid arthritis mungkin juga menderita anemia (Harti & Yuliana,

2012).

30
Gambar 2. 2 Pemeriksaan Aglutinasi Lateks
(Sumber : Kurniawan, 2021)

c. Cara Kerja

1) Meneteskan 50 µl reagen disamping tiap tetesan dari sampel atau

kontrol.

2) Mencampur dan meratakan sampai memenuhi lingkaran test.

3) Memutar slide selama 2 menit dan mengamati untuk melihat adanya

aglutinasi (Harti & Yuliana, 2012).

d. Sensitivitas

Penting untuk dicatat, bahwa tes rheumatoid faktor tidak spesifik

untuk rheumatoid arthritis karena rheumatoid faktor mungkin meningkat

dalam kondisi tertentu selain rheumatoid arthritis. Sekitar 25% pasien

dengan uji rheumatoid arthritis negatif untuk rheumatoid faktor. Kira-

31
kira 5% dari orang-orang dengan tes rheumatoid arthritis positif untuk

rheumatoid faktor (Antari, 2017).

3) Konsep C-Reactive Protein (CRP)

a. Definisi CRP

CRP atau C-Reaktif Protein yang berperan sebagai biomarker atau

penanda biologis didalam tubuh Ketika terjadi infeksi maupun inflamasi.

CRP dianggap sebagai respon peradangan fase akut yang mudah dan

murah diukur dibandingkan penanda inflamasi lainya (Dewi, et al.,

2016). Protein ini merupakan salah satu protein fase akut yang terdapat

dalam serum normal walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Pada

keadaan tertentu apabila terjadi reaksi radang atau kerusakan jaringan

(nekrosis), baik yang disebabkan oleh infeksi maupun yang bukan karena

infeksi (Kalma, 2018). Kadar CRP pada orang dewasa yang sehat adalah

0.8 mg/L. Namun, bila terdapat peradangan atau infeksi, kadar C-Reaktif

Protein dapat meningkat lebih dari 500 mg/L (Idhayu, 2014).

Berdasarkan definisi diatas, CRP dapat di definisikan sebagai

biomarker fase akut sebagai respon terhadap adanya infeksi maupun

inflamasi dalam tubuh.

b. Pembentukan CRP

C-Reaktif protein adalah salah satu molekul polipeptida yang

merupakan protein fase akut. CRP disintesis di organ hati dan

32
produksinya dikontrol oleh sitokin khususnya interleukin-6 (Djamin,

2020).

Gambar 2. 3 Struktur Molekur C-Reaktif Protein.


(Sumber : Thompson D, Pepys MB, Wood SP. The physiological structure
of human C-Reaktif protein and its complex with phosphocholine. Structure.
1999;7(2):169-77. Epub 1999/06/16 dalam Idhayu (2014)).

Protein ini akan mengalami peningkatan 4-6 jam setelah adanya

stimulus baik berupa agen penyebab infeksi maupun adanya respon

peradangan ; konsentrasinya dapat meningkat 2 kali lipat setiap 8 jam ;

dan mencapai puncak dalam 36-50 jam. Waktu paruh CRP 19 jam

bahkan dengan hanya 1 stimulus membutuhkan beberapa hari untuk

kembali ke kadar awal. Meskipun termasuk dalam kelompok protein fase

akut, kadar CRP juga berubah selama proses inflamasi kronis (Purwanto

& Astrawinata, 2019).

Berikut adalah beberapa keadaan yang dapat meningkatkan kadar

CRP dalam darah yang disajikan dalam bentuk tabel 2.1 :

Tabel 2. 1 Keadaan yang dapat meningkatkan kadar CRP


33
Infeksi Bakteri,jamur,mikrobakteri

CRP Kompli Demam rematik, eritma


meningk kasi nodusum
at pada alergi
fase akut dan
infeksi

Peradan Rheumatoid arthritis,


gan Juvenile chronic arthritis,
Ankylosing spondylitis,
Psoriatic arthritis, vaskulitis,
Polymyalgia rheumatic,
Reiter disease, Crohn
disease, Familial
Mediterranean fever

Nekrosi Infark miokardia, emboli,


s pankreasitis

Trauma Pembedahan, luka bakar,


fraktur

Kegana Limfoma, kasinoma, sarcoma


san

34
CRP Lupus eritematosus sistemik,
meningk Skleroderma,
at Dermatomiositis, Colitis
ulseratif, Leukemia, Graft-
lemah/
versus-host disease
tidak
mengala
mi
peningka
tan

(Sumber : Pepys M, Hirchfield G. C-Reaktif protein: a critical update.


J Clin Invest. 2003 dalam Idhayu, 2014)

Namun ada kondisi lain yang dapat mengakibatkan peningkatan

kadar CRP dalam darah adalah obesitas dan sindrom metabolik.

Penelitian yang dilakukan oleh Mayasari, et al tahun 2014 dan

Rachmawati, et al di tahun yang sama menunjukkan adanya peningkatan

kadar CRP pada subjek dengan kondisi obesitas dan lingkar pinggang

yang lebar juga meningkatkan factor resiko peningkatan kadar CRP.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi, et al., (2016) juga

menunjukan bahwa Asupan tinggi asam lemak jenuh, asupan tinggi

kolesterol, dan kadar HDL yang rendah merupakan faktor risiko terhadap

peningkatan kadar CRP pada remaja obesitas dengan sindrom metabolik,

dengan besar risiko 3,6 kali; 7,6 kali; dan 1,2 kali.

c. Fungsi CRP
35
Fungsi biologis dan peran protein CRP dalam tubuh belum

diketahui secara keseluruhan dan masih banyak yang perlu dibuktikan.

Namun, meskipun bukan merupakan antibodi CRP memiliki peran yang

besar dalam proses peradangan dan mekanisme imun terhadap infeksi

bakteri atau mikroba lain. Berikut adalah fungsi biologis C-Reaktive

Protein (CRP) :

1) CRP mampu meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti

granulosit dan monosit/makrofag.

2) CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini

diduga CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa fungsi

tertentu selama proses peradangan.

3) CRP mampu mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen

yang terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan (Sitompul, 2019).

d. Pemeriksaan CRP

Pemeriksaan CRP digunakan sebagai deteksi yang paling mudah,

murah dan cepat untuk mendeteksi adanya suatu infeksi di dalam tubuh

(in vivo). Ada berbagai macam metode pemeriksaan yang digunakan

untuk mengetahui keberadaan CRP dalam tubuh baik metode kualitatif

(hanya positif/negative), semi kuantitatif maupun metode kuantitatif

untuk mengetahui jumlah titer CRP di dalam tubuh. Prinsip dasar

penentuan CRP didasarkan pada prinsip imunologi yakni antigen dan

antibody. Protein CRP akan di anggap sebagai antigen dan akan

36
direaksikan dengan antibody spesifik anti-CRP sehingga mudah untuk

diaglutinasikan. Berikut adalah beberapa metode yang dapat digunakan

untuk pemeriksaan CRP menurut (Simanullang, 2018) :

1) Aglutinasi

Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang

dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma pasien sehingga

terjadi aglutinasi. Serum atau plasma pasien diencerkan dengan buffer

glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2.1/4,1/8,1/16 dan

seterusnya) lalu direaksikan dengan lateks untuk menentukan titer

CRP dalam serum.

Sumber: docplayer.info, 2020


Gambar 2. 4 Interpretasi Pemeriksaan CRP Metode Tes Aglutinasi
Kualitatif.

Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi

aglutinasi. Metode ini bersifat kualitatif dan semi kuantitatif. Batas

deteksi metode aglutinasi terhadap CRP yaitu 6mg/L. Namun

pemeriksaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor teknis misalnya reaksi

yang lebih dari 2 menit dapat memunculkan hasil positif palsu akibat

adanya pengeringan serta kontaminasi sampel dan serum lipemik

37
dapat mengakibatkan terjadinya reaksi non spesifik (Nantika, et al.,

2019).

2) Sandwich ELISA

Tes Sandwich ELISA untuk pemeriksaa CRP dilakukan dengan

mengukur intensitas warna menggunakan Nycocard Reader. Berturut-

turut sampel (serum,plasma,whole blood) dan konjugat diteteskan

pada membrane tes yang dilapisi antibodi monoklonal spesifik CRP.

CRP dalam sampel ditangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat

gold colloidal particle.

Gambar 2. 5 Ilustrasi Reaksi Pemeriksaan CRP Metode Sandwich


ELISA
(www.abcam.com,2021).

Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing solution).

Jika terdapat CRP dalam sampel pada level patologis, maka akan

tebentuk warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna

yang proposional terhadap kadar. Intensitas warna ukur diukur secara

kuantitatif menggunakan NycoCard reader II.

3) High Sensitivity C-Reaktif Protein (Hs-CRP)

38
Pemeriksaan High Sensitive CRP (Hs-CRP) yaitu pemeriksaan

secara kuantitatif untuk mengukur kadar CRP yang lebih sensitif dan

akurat dengan menggunakan metode LTIA (Latex Turbidimetry

Immunoassay), dengan range pengukuran : 0,3 – 300 mg/L.

Berdasarkan penelitian, pemeriksaan hs-CRP dapat mendeteksi

adanya inflamasi lebih cepat. Pemeriksaan hs-CRP telah

distandarisasikan pada berbagai laboratorium.

4) Imunoturbidimetri

Imunoturbidimetri merupakan cara penentuan yang kualitatif. CRP

dalam serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP

membentuk suatu kompleks immun. Kekeruhan (turbidity) yang

terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris.

Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dengan

pengukuran turbidimetrik.

e. Faktor yang mempengaruhi Pemeriksaan

1) Faktor Sampel

Sampel yang digunakan pada pemeriksaan CRP adalah serum jernih

yang stabil pada suhu 2-8OC dalam 24 jam atau lebih dari 4 minggu

pada suhu -20OC. Serum yang lisis, lipemik dan ikterik dapat

mempengaruhi proses pembacaan aglutinasi karena mengakibatkan

munculnya reaksi non spesifik (Nantika, et al., 2019).

2) Faktor Teknis

39
Waktu dalam proses pemeriksaan sangat penting diperhatikan.

Misalnya pada pemeriksaan metode aglutinasi, pada pembacaan

hasil aglutinasi tidak boleh lebih dari 2 menit karena dapat berakibat

pada kesalahan pembacaan sehingga menimbulkan hasil positif

palsu. Teknik penggunaan alat seperti mikropipet juga perlu

diperhatikan yakni tegak lurus agar saat melakukan pemipetan

volume yang dihasilkan sesuai (Nantika, et al., 2019).

B. Kerangka Konsep

Gambar 2. 6 Kerangka Konsep pengaruh kadar Rheumatoid Factor


(RF) terhadap Kadar C-Reactive Protein (CRP) pada penderita
Reumatoid Artritis
Keterangan :

: Variabel yang diteliti

40
: Variabel yang tidak diteliti

C. Hipotesis Penelitian

Menurut Arikunto, (2019) “Hipotesis merupakan suatu jawaban

yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai

terbukti melalui data yang terkumpul”. Adapun hipotesis dalam penelitian

ini yaitu :

1. Terdapat pengaruh kadar Rheumatoid Factor (RF) terhadap Kadar C-

Reactive Protein (CRP) pada penderita reumatoid artritis.

2. Terdapat hubungan jenis kadar C-Reactive Protein (crp) penderita

rheumatoid arthritis.

3. Terdapat hubungan jenis kadar rheumatoid factor yang dugunakan oleh

penderita rheumatoid arthritis.

D. Tinjauan Islam

Ayat Al-Qur‟an untuk pengobatan penyakit rheumatoid arthritis adalah

QS. yunus ayat 57 yang berbunyi :

Artinya : Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran

dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada)

41
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

(QS. Yunus: 57) QS. al-Isra‟ [17] ayat 82 :

Amaliyah ini didapatkan al-Ghazali dari Syekh Ibnu Qutaibah. Beliau

bercerita:

“Suatu ketika aku berangkat haji dengan sekelompok orang. Di antara

orang-orang itu, ada seseorang yang sedang mengalami mati separuh

anggota badannya. Ketika melaksanakan tawaf, aku melihat ia sudah

sembuh dari penyakitnya tersebut.”

Kemudian aku bertanya kepadanya karena penasaran,

“Semoga Allah SWT merahmatimu, bagaimana caranya penyakitmu bisa

hilang? Bagaimana bisa engkau terbebas dari mati separuh itu?”

Pada saat itu, Ibnu Qutaibah sangat penasaran bagaimana orang

tersebut bisa terlepas dari penyakit hemiparesis yang terkenal hampir

mustahil untuk disembuhkan. Ia menjawab,

“Aku mendatangi sumur zamzam, aku mengambil air darinya dan aku

masukan ke dalam sebuah wadah yang telah aku sediakan. Kemudian aku

menulis dalam sebuah lembaran firman Allah Swt QS. Al-Hasyr [59] ayat

22-24 dan QS. Al-Isra‟ [17] ayat 82. Setelah itu, aku lantas berdoa

dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT.”

42
Aku berdoa, Duhai Allah, sungguh Nabi-Mu Muhammad

shalalllahu’alaihi wasallam telah bersabda :

“Air zamzam tergantung dari niat orang yang meminumnya,” dan Al-

Qur’an adalah kalam Engkau, sembuhkanlah aku dengan afiat-Mu.

Tulisan ayat Al-Qur’an lalu aku lebur dalam air zamzam, kemudian aku

meminumnya. Tak seberapa lama, dari tangan dan kakiku keluar keringat

bercucuran, lalu penyakit mati separuhku pun sembuh.

43
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penjelasan Topik Review

Penelitian ini menggunakan kajian pustaka atau literatur review

yaitu kajian literature yang membahas tentang pemeriksaan rheumatoid

factor terhadap kadar c-reaktif protein pada penderita rematoid artritis.

pemilihan kajian literatur ini karena masih terbatasnya kajian literatur

terkait pemeriksaan rheumatoid factor terhadap kadar c-reaktive protein

pada penderita rematoid artritis. metode literatur review merupakan

metode penelitian yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi

dan menginterpretasikan semua hasil penelitian yang berikatan dengan

topik yang akan di teliti (Siswanto, 2010). harapan dari kajian literatur ini

dapat memberikan pengaruh kadar Rheumatoid Factor terhadap kadar C-

Reaktif Protein pada penderita rheumatoid artritis.

B. Jenis Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode literature review dengan

pendekatan secara kualitatif yang digunakan untuk merangkum hasil

penelitian bersifat deskriptif kualitatif. Metode yang dikenal dengan meta-

sintesis ini merupakan teknik melakukan integrasi data dalam memperoleh

teori ataupun konsep baru yang lebih mendalam dan menyeluruh. Metode

meta-sintesis terdapat dua pendekatan yaitu meta-agregasi dan meta-

etnografi (Okditazeini, 2018).

44
45

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan cara

mendapatkan dan menggambarkan data topik penelitian dengan

pendekatan persamaan topik kajian literatur yang akan dilakukan. Peneliti

mencoba untuk mencari pengaruh variabel rheumatoid factor terhadap

kadar c-reaktif protein pada penderita artritis reumatoid untuk menentukan

ada tidaknya hubungan antar variabel dengan pendekatan persamaan topik

kajian literatur yang akan dilakukan.

Desain penelitian yang digunakan adalah literature review. Tipe

studi yang direview adalah semua penelitian eksperimen studi yang

mengkaji tentang pengaruh pemeriksaan rheumatoid factor terhadap kadar

C-Reaktif Protein pada penderita rheumatoid arthritis. Pada penelitian ini

akan dilakukan seleksi hasil pencarian literatur di antaranya hanya memuat

sumber yang diunduh, artikel yang di publikasi pada tahun 2012 - 2022,

artikel yang di pilih dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, artikel

yang membahas pengaruh kadar rheumatoid factors terhadap kadar c-

reaktif protein pada penderita Rheumatoid Arthritis.

C. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber pencarian artikel utama

sebagai rujukan pencarian yaitu Google Scholar. Google Scholar

merupakan layanan pencarian materi-materi berupa teks dalam berbagai

format publikasi. Google Scholar melayani penggunaan untuk

menelusuri jurnal-jurnal online dari publikasi ilmiah dengan demikian


46

jurnal ilmiah baik lokal maupun internasional dapat diakses.

Selanjutnya rujukan pencarian untuk penelitian ini menggunakan database

perpustakaan internasional PubMed karena PubMed memuat database

medline sebagian utama yang menyediakan kutipan artikel- artikel

biomedis dengan menyertakan link ke banyak situs dan menyediakan teks

lengkap dari artikel dan sumber-sumber yang berhubungan.

D. Strategi Pengumpulan Data

Pencarian artikel atau jurnal menggunakan kata kunci atau

keyword dan yang digunakan untuk menspesifikasikan pencarian sehingga

mempermudah dalam penentuan artikel atau jurnal yang digunakan.

Keyword menggunakan konsep PICO (Population or Problem,

Intervention of Interest, Comparation and Outcome). Berdasarkan

penelitian ini penentuan PICO dapat dilihat pada Tabel 3.1.yaitu :

Tabel 3. 1 Pencarian Literatur Jurnal Metode PICO

No Metode Pencarian Kata Kunci

1 P (Population, Problem) Rheumatoid Arthritis

2 I (Intervention) Rhematoid factor

3 C (Comparation) -

4 O (Outcome) Kadar C-Reactive Protein (CRP)


47

Berdasarkan konsep PICO tersebut maka kata kunci yang

digunakan dalam penelitian ini adalah rheumatoid factor, kadar c-reaktive

protein dan nilai laju endap darah serta penderita rheumatoid arthritis.

Tabel 3. 2 Tracking Pencarian Artikel

Jumlah
Tanggal Tahun
Database Kata Kunci Artikel yang
Pencarian Pencarian
Ditemukan

Oktober Google 2012- 2022  Kadar C-Reactive 187


2022 Schollar Protein (CRP)
 Rheumatoid factor
 Rheumatoid arthritis

Oktober PubMed 2012- 2022  Kadar C-Reactive 15


2022 Protein (CRP)
 Rheumatoid factor
 Rheumatoid arthritis

Penentuan kriteria inklusi dan ekslusi pada tahap seleksi artikel

perlu ditetapkan untuk memberikan batasan ruang lingkup penelitian agar

data yang didapatkan sesuai dengan tujuan penelitian dan dapat menjawab

rumusan masalah. Kriteria inklusi dalam penelitian ini merupakan kriteria

atau batasan yang digunakan selama proses pencarian literature review,

sedangkan kriteria ekslusi adalah komponen kriteria yang tidak digunakan

dalam pencarian literature review. Untuk lebih jelasnya kriteria inklusi dan

ekslusi dapat dikaji pada tabel 3.3 berikut :


48

Tabel 3. 3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi

Problem, Population Rheumatoid arthritis

Intervention Rheumatoid Faktor (RF)

Comparation -

Outcomes Kadar c-reaktif protein

Study Design Experiment

Publication Years 2012 – 2022

Languange Indonesia, full teks

Berdasarkan Tabel 3.1 dapat diketahui bahwa kriteria inklusi

dalam penelitian ini adalah menggunakan problem atau permasalahannya

adalah penderita rheumatoid arthritis dan populasinya adalah rheumatoid

arthritis, intervensinya adalah rheumatoid faktor, serta outcome penelitian

ini adalah Kadar c-reaktif protein. Penelitian yang akan dianalisis adalah

penelitian dengan desain experiment selama 10 tahun terakhir yakni tahun

2012 - 2022 dan menggunakan bahasa Indonesia yang full teks.

E. Pengumpulan Data

Hasil riset literatur dari 2 database yang digunakan,dilanjut dengan

uji coba screening judul secara merata dengan menggunakan kata kunci

yang relevan dan judul yang sesuai, sehingga didapatkan 10 artikel yang

menurut penulis baik dan dapat dijadikan sebagai sumber database dalam

Menyusun Literature Review. Hasil studi literatur dari 2 database


49

dilakukan screening judul secara keseluruhan dengan menggunakan kata

kunci teridentifikasi, diperoleh artikel yang bisa memberikan kontribusi

data artikel terkait hasil yang ingin dicapai penulis. Rincian perolehan

artikel dari 2 database sebagai berikut:

1. Google Scholar : 187 artikel dari pencarian google scholar

2. PubMed : 15 artikel dari pencarian science direct

Tahap selanjutnya artikel yang telah dilakukan screening abstrak

menyeluruh data yang sudah terinput disimpan pada folder khusus, tahap

selanjutnya dilakukan penyaringan data termasuk duplikasi artikel,

screening abstrak, full text, flowchart. Pada screening full text untuk

melihatapakah artikel yang didapat telah sesuai dengan kriteria yang dicari

penulis berorientasi pada kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan

oleh penulis. Studi teks lengkap diambil dan ditinjau secara independent

berdasarkan kriteria tersebut, dari artikel yang diambil dalam pencarian

putaran pertama, referensi tambahan diidentifikasi dengan pencarian

manual, sehingga meninggalkan 10 artikel untuk dilakukan review akhir.

Sesuai dengan flow chart seleksi literatur.


50

Gambar 3. 1 Diagram PRISMA

Berdasarkan pencarian artikel, teridentifikasi 187 artikel dari

database google scholar, setelah di screening berdasarkan rentan publikasi

selama 10 tahun terakhir yaitu 2012-2022 dan menggunakan bahasa

Indonesia dapatkan 120 artikel. Kemudian dilakukan penyaringan artikel

lebih lanjut untuk mencari referensi yang tepat dan lengkap didapatkan 10

artikel yang akan digunakan untuk literature Review.

F. Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua jenis variabel, yaitu variabel bebas

(independent variabel) dan variabel terikat (dependent variabel), yang

dapat diuraikan sebagai berikut :


51

1. Variabel Bebas (Independet variabel)

Variabel bebas (independent variabel) merupakan variabel yang

mempengaruhi atau menyebabkan perubahan atau munculnya variabel

dependen. (Sugiyono, 2016). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

rheumatoid faktor.

2. Variabel Terikat (Dependent variabel)

Variabel terikat (dependent variabel) variabel yang dipengaruhi atau

yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2016).

Variabel terikat dari penelitian ini adalah pemeriksaan kadar c-reaktif

protein.

G. Jalannya Penelitian

Pengambilan data penelitian dilakukan dengan metode literature

review melalui pencarian jurnal di dalam database Google Scollar, Science

Direct, dan PubMed. Metode literature review ini menggunakan sumber

berupa data sekunder sebanyak 10 jurnal yang dipublikasi selama 10 tahun

terakhir (2010-2020). Pengumpulan data dapat dilakukan dengan

menggunakan metode PICO (Popoulation, Intervention, Comparison,

Outcome) yang digunakan sebagai acuan kata kunci pencarian pada search

engine. Pola kata kunci dalam penelitian disajikan dalam tabel berikut:

Populatio Interventi Comparis Outcome


n (P) on (I) on (C) (O)
Rheumato C-Reactive - Rheumato
Protein id
id Factor
(CRP) Arthritis
DAFTAR PUSTAKA

Antari, A. L. (2017). Imunologi Dasar (Cetakan Pertama). Deepublish.


Arikunto, S. (2019). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Aspiani, R. Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik: Aolikasi
NANDA, NIC dan NOC.
Awaliah, R. F., & Apriani, A. (2022). Pemeriksaan Rheumatoid Factor (RF)
Dengan Laju Endap Darah (Led) Yang Meningkat Pada Pasien Suspect
Rheumatoid Arthritis (RA). Jurnal Medical Laboratory, 1(1), 10–14.
Baratawidjaja, K. G., & Rengganis, I. (2014). Imunologi Dasar edisi ke-11
(cetakan ke-2). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Chabib, L., Ikawati, Z., Martien, R., & Ismail, H. (2016). Review Rheumatoid
Arthritis: Terapi Farmakologi, Potensi Kurkumin dan Analognya, serta
Pengembangan Sistem Nanopartikel. Jurnal Pharmascience, 3(1), 10–18.
Das, A., Prabhakar, P., Narayanan, P., Neilsen, G., Wi, T., Kumta, S., Rao, G.,
Gangakhedkar, R., & Risbud, A. (2011). Prevalence and Assessment of
Clinical Management of Sexually Transmitted Infections Among Female
Sex Workers In Two Cities Of India. Infectious Diseases in Obstetrics and
Gynecology, 2011.
Dewi, R., Somasetia, D. H., & Risan, N. A. (2016). Procalcitonin, C-Reactive
Protein and its Correlation with Severity Based on Pediatric Logistic
OrganDysfunction-2 (PELOD-2) Score in Pediatric Sepsis. Am J
Epidemiol Infect Dis, 4(3), 64–67.
Djamin, R. D. (2020). Korelasi Kadar High Sensitivity C-Reactive Protein
Dengan Kadar Low Density Lipoprotein Pada Penyandang Obes. Human
Care Journal, 5(3), 676–681.
https://ojs.fdk.ac.id/index.php/humancare/article/view/717
Fajri, A. N., & Muhlisin, A. (2019). Gambaran Quality of Life (QoL) Pada
Penderita Rheumatoid Arthritis Di Komunitas. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Harti, A. S., & Yuliana, D. (2012). Pemeriksaan Rheumatoid Faktor Pada
Penderita Tersangka Rheumatoid Arthritis. Jurnal Kesehatan Kusuma
Husada.
Hartini, S., Fikri, Z., & Agrijanti, A. (2019). Hasil Pemeriksaan Rheumatoid
Arthritis (Ra) Pada Atlet Voli Di Lapangan Atletik Gomong
Lawatametode Aglutinasi Latex. Jurnal Analis Medika Biosains (JAMBS),
4(1), 17–22.
Idhayu, A. T. (2014). Perbedaan Kadar C-Reactive Protein Pada Demam Akut
Karena Infeksi Dengue Dengan Demam Tifoid= Differences In The Levels
of CRP in The Acute Febrile Cause of Dengue Infection or Typhoid Fever.
http://www.digilib.ui.ac.id/detail?id=20391295&lokasi=lokal
Kalma, K. (2018). Studi Kadar C-Reactive Protein (CRP) Pada Penderita
Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Media Analis Kesehatan, 1(1), 63–64.
Kurniawan, S. (2021). Pemeriksaan Aglutinasi Lateks Rheumatoid Factor (RF).
Www.Atlm-Edu.Id. https://doi.org/Online Text Book Teknologi
Laboratorium Medis
Masyeni, K, 2017. Rheumatoid Arthritis. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Denpasar.
Langow, Shinthya, S., & YB, A. (2018). A to Z Penyakit Rematik Autoimun. PT
Elex Media Komputindo.
Lokesh, H., Harendra, K., Amit, G., MJ, T., AK, T., & Prasad, C. (2013).
Automated Esr Analyzer: Can Saline Diluted Edta Blood Be Used Instead
Of Citrate Diluted Blood-A Comparative Study. International Journal Of
Medical And Applied Sciences, 2(4), 253–256.
Masruroh, A. N., Abi Muhlisin, S. K. M., & Kep, M. (2020). Gambaran Sikap
Dan Upaya Keluarga Dalam Merawat Anggota Keluarga Yang Menderita
Rheumatoid Arthritis Di Desa Mancasan Wilayah Kerja Puskesmas Baki
Kabupaten Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nantika, R. C., Noviar, G., Marliana, N., & Nurhayati, B. (2019). Pengaruh Suhu
Dan Waktu Penyimpanan Urine Terhadap Titer Status Sekretor. Jurnal
Riset Kesehatan Poltekkes Depkes Bandung, 11(2), 204–210.
Nikiphorou, E., Sjöwall, C., Hannonen, P., Rannio, T., & Sokka, T. (2016). Long-
Term Outcomes Of Destructive Seronegative (Rheumatoid) Arthritis–
Description of Four Clinical Cases. BMC Musculoskeletal Disorders,
17(1), 1–10.
Nurwulan, E. (2017). Pengaruh Senam Rematik terhadap Tingkat Nyeri Sendi
Pada Lansia Penderita. Rheumatoid Arthritis, 1–15.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2018). Pedoman Diagnosis dan
Pengelolaan Gout. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 1–24.
Purwanto, D. S., & Astrawinata, D. A. W. (2019). Pemeriksaan Laboratorium
sebagai Indikator Sepsis dan Syok Septik. Jurnal Biomedik: JBM, 11(1),
1– 9.
Putra, T. R., Suega, K., & Artana, I. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah, 1, 739–751.
Putri, S., Reagan, M., & Fatimah, N. (2022). Gambaran Rasio Neutrofil Limfosit
(RNL), LED, dan CRP Pada Pasien Artritis Reumatoid di RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang. Sriwijaya University.
Riskesdas, K. (2018). Hasil Utama Riset Kesehata Dasar (RISK ESDAS). Journal
of Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), 1–200.
Ritten-house, O., & De Nardin, E. (2017). Imunologi dan Serologi Klinis Modern.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.
Rukmana. (2015). Hubungan Nilai Laju Endap Darah Dengan C-Reactive
Protein Pada Tersangka Tuberkulosis Paru. Karya Tulis Ilmiah.
Sacher, R. A., & McPherson, R. A. (2012). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan,
Laboratorium.
Sakti, N. P. R., & Muhlisin, A. M. A. (2019). Pengaruh Terapi Komplementer
Meditasi Terhadap Respon Nyeri Pada Pendita Rheumathoid Arthiritis.
The 9th University Research Colloqium (Urecol), 9(1).
Selvarasu, P. S. A. (2016). Hubungan Kadar C-Reactive Protein (CRP) dan Laju
Endap Darah (LED) pada Pasien Rheumatoid Arthritis Fase Flare di
RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2012-2015.
Siahaan, P., Siagian, N., & Elon, Y. (2017). Efektivitas Pijat Punggung Terhadap
Intensitas Nyeri Rematik Sedang Pada Wanita Lanjut Usia Di Desa
Karyawangi Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Skolastik Keperawatan,
3(1), 53.
Simanullang, M. (2018). Gambaran C–Reaktive Protein (CRP) Pada Mahasiswa
Mahasiswi Yang Obesitas Di Poltekkes Jurusan Analis Kesehatan Medan.
http://repo.poltekkes-medan.ac.id/xmlui/handle/123456789/4104
Sitepu, R. B. (2018). Analisa Laju Endap Darah Pada Penderita Diabetes
Mellitus Tipe 2 Yang Dirawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan.
Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Medan Jurusan Analis Kesehatan.
Sitompul, F. H. (2019). Gambaran C-Reaktif Protein Pada Penderita
Tuberkulosis Paru Di Rumah Sakit Khusus Paru Medan.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/23204
Smeltzer, S., & Bare. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
danSuddarth Edisi 8. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Jakarta:
EGC.
Sugari, N. W., Sri Arjani, I. A. M., & Ratih Kusuma Ratna Dewi, G. A. (2014).
Perbedaan Hasil Laju Endap Darah metode Westergreen Dengan
Automatik Roller 20. Meditory The Journal of Medical Laboratory,
2(1), 28–34.
Susilo, A., Rumende, C. M., Pitoyo, C. W., Santoso, W. D., Yulianti, M.,
Herikurniawan, H., Sinto, R., Singh, G., Nainggolan, L., & Nelwan, E. J.
(2020). Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia, 7(1), 45–67.
Umar, B. (2016). Penuntun Praktik Klinik Laboratorium Kesehatan Untuk
Mahasiswa Teknologi Laboratorium Medik. Makassar.
Watkins, J. (2013). Early Diagnosis of Rheumatoid Arthritis. Practice Nursing,
24(3), 146–148.
Wibowo, B. F., Manjas, M., Sahputra, R. E., & Erkadius, E. (2018). Hubungan
Pemeriksaan LED dan CRP Pada Penegakkan Diagnosis Spondilitis Tb di
RSUP dr. M. Djamil Padang Tahun 2014-2016. Majalah Kedokteran
Andalas, 41(2), 69–77.

Anda mungkin juga menyukai