HADITS
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian evaluasi pendidikan Islam?
2. Bagaimana tujuan, fungsi, prinsip-prinsip, sasaran, dan jenis evaluasi pendidikan Islam
menurut perspektif hadits?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian evaluasi pendidikan Islam.
2. Mengetahui tujuan, fungsi, prinsip-prinsip, sasaran, dan jenis evaluasi pendidikan Islam
menurut perspektif hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tujuan dan Fungsi Evaluasi
Menurut M. Arifin, ada tiga tujuan pedagogis dari sistem evaluasi Tuhan terhadap
perbuatan manusia, yaitu:[17]
a. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema
kehidupan yang dialaminya.
b. Untuk mengetahui sejauhmana hasil pendidikan wahyu yang telah diterapkan Rasulullah
SAW terhadap umatnya.
c. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat hidup keislaman atau keimanan manusia,
sehingga diketahui manusia yang paling mulia di sisi Allah SWT yaitu paling bertaqwa
kepada-Nya, manusia yang sedang dalam iman atau ketakwaannya, manusia yang ingkar
kepada ajaran Islam.
Hal tersebut sesuai dengan hadist yang menceritakan bahwa Rasulullah sedang menguji
sahabatnya dengan mengajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut:
قال رسول هللا ص))لى هللا علي))ه, عن ابى عمر قال, عن عبدهللا بن دينار, جدثنا اسماعيل بن جعفر,حدثنا قتيبة
فح))دثونى م))اهى؟ فوق))ع الن))اس فى ش))جرة, وإنه))ا مث))ل المس))لم, ان من ش)جر ش))جرة ال يس))قط ورقه))ا,وسلم
هي, ق))ال. ح))دثنا م))اهي يارس))ول هللا, ثم ق))الوا. فاس))تحييت, ووقع فى نفسى أنها النخلة, عبدهللا, قال,اليوادى
( (رواه البخارى.النخلة
Artinya: Menceritakan kepada kami Qutaibat, menceritakan kepada kami Ismail ibn Ja’far,
dari Abdullah Ibn Dinar, dari Ibn Umar, ia berkata, Rasulullah SAW
bersabda,“Sesungguhnya diantara pepohonan ada satu pohon yang daunnya tidak jatuh ke
tanah (secara berguguran). Pohon itu bagaikan seorang muslim. Jelaskanlah kepadaku
pohon apa itu?. Orang-orang mengatakan pohon itu terdapat di pedalaman. ‘Abdullah
Berkata, dalam benakku terbetik pikiran bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma. Akan
tetapi aku malu menjawabnya. Orang-orang barkata beritahukanlah kepada kami, pohon
apakah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab Pohon kurma.” (HR. Bukhari No. 59).
Rasulullah SAW, juga menguji kemampuan saat pada waktu akan berangkat perang
sebagaimana riwayat berikut.
عرض))نى رس))ول هللا, عن ابى عمرق))ال, عن ن))افع, جدثنا عب))د هللا, حدثنا أبى,حدثنا محمد بن عبد هللا بن نمير
وان))ا بن, وعرض))ني ي))وم الخن))دق. ف)ام يج))وني, وأنا ابن أربع عشرة,صلى هللا عليه وسلم يوم أحد فى القتال
( (رواه البخاري. فأجزانى,خمس عشرة سنة
Artinya : menceritakan kepada Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Numair, menceritakan
kepada kami ayahku, menceritakan kepada kami ‘Abdullah, dari Nafi’, dari ibn Imar
berkata, “Rasulullah SAW menguji kemampuanku berperang pada hari perang uhud, ketika
aku berusia empat belas tahun, lalu beliau tidak mengizinkanku, dan beliau mengujiku
kembali pada hari perang khandaq ketika aku berusia lima belas tahun, lalu beliau
mengizinkanku. (HR. Muslim No. 3473).
Tuhan memberikan contoh sistem evaluasi seperti difirmankan dalam kitab suci-Nya,
[18] yang sasaranya untuk mengetahui dan menilai sejauhmana kadar iman, takwa, ketahanan
mental, keteguhan hati, dan kesediaan untuk menerima ajakan Tuhan mentaati perintah dan
menjauhi larangan-Nya. Kemudian setelah dinilai, Tuhan menetapkan kriteria-kriteria derajat
kemuliaan hamba-Nya. Bagi yang berderajat mulia di sisi-Nya, Dia akan memberi ‘hadiah’
atau pahala sesuai kehendak-Nya yang berpuncak pada pahala tertinggi yaitu surga.
Menurut Abdul Mujib dkk, tujuan evaluasi adalah:[19]
a. Mengetahui kadar pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian,
dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan, dan
mengetahui tingkat perubahan perilakunya.
b. Mengetahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah
diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya.[20]
c. Mengumpulkan informasi yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengadakan
pengecekan yang sistematis terhadap hasil pendidikan yang telah dicapai untuk kemudian
dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
d. Mengevaluasi pendidik, materi pendidikan, dan proses peyampaian materi pelajaran.
e. Mengetahui penguasaan peserta didik dalam kompitensi/subkompitensi tertentu setelah
mengikuti proses pembelajaran, untuk mengetahui kesulitan belajar peserta didik (diagnostic
test) dan untuk memberikan arah dan lingkup pengembangan evaluasi selanjutnya.
Dengan beberapa tujuan diatas, evaluasi berfungsi sebagai feedback (umpan balik)
terhadap kegiatan pembelajaran. umpan balik ini berguna untuk hal-hal berikut:[21]
a. Ishlah
Yaitu perbaikan terhadap semua komponen pendidikan, termasuk perbaikan perilaku,
wawasan, dan kebiasaan-kebiasaan peserta didik.
b. Tazkiyah
Yaitu penyucian terhadap semua komponen pendidikan. Artinya, melihat kembali program-
program pendidikan yang dilakukan, apakah program tersebut penting atau tidak dalam
kehidupan peserta didik. Apabila terdapat program yang harus dihilangkan, maka harus dicari
format yang cocok dengan program semula.
c. Tajdid
Yaitu modernisasi semua kegiatan pendidikan. Kegiatan yang tidak relevan untuk
kepentingan internal maupun eksternal perlu diubah dan dicarikan penggantinya yang lbih
baik. Dengan kegiatan ini, pendidikan dapat dimobilisasi dan didinamisasikan untuk lebih
maju dan relevan dengan kebutuhan peserta didik dan perkembangan zaman.
d. Al Dakhil
Yaitu masukan sebagai laporan bagi orang tua peserta didik berupa raport, ijazah, piagam,
dsb.
Senada dengan Novan Ardi Wijaya, Ramayulis juga mengumakan fungsi evaluasi
sebagai berikut:[22]
a. Untuk mengetahui peserta didik yang terpandai dan terkurang di kelasnya.
b. Untuk mengetahui apakah bahan yang telah diajarkan sudah dimiliki peserta didik atau
belum.
c. Untuk mendorong persaingan yang sehat antara sesama peserta didik.
d. Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mengalami pendidikan
dan pengajaran.
e. Untuk mengetahui tepat atau tidaknya guru memilih bahan, metode, dan berbagai
penyesuaian dalam kelas.
f. Sebagai laporan terhadap orang tua peserta didik dalam bentuk raport, ijazah, piagam dan
sebagainya.
Sementara pendapat lain mengemukakan, evaluasi berfungsi sebagai: [23]
a. Mengidentifikasi dan merumuskan jarak dari sasaran-sasaran pokok dari kurikulum secara
komprehensif;
b. Penetapan bagi tingkah laku apa yang harus direalisasikan oleh siswa;
c. Menyeleksi atau membentuk instrumen-instrumen yang valid, terpercaya dan praktis untuk menilai
sasaran-sasaran utama proses kependidikan atau ciri-ciri khusus dari perkembangan dan
pertumbuhan manusia didik.
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, diantaranya: [24]
a. Dari segi pendidik, yaitu untuk membantu seorang pendidik mengetahui sejauhmana hasil yang
dicapai dalam pelaksanaan tugasnya.
b. Dari segi peserta didik, yaitu membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan
tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik.
c. Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, untuk membantu para pemikir pendidikan Islam mengetahui
kelemahan teori-teori pendidikan Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori
pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
d. Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam, untuk membantu mereka dalam membenahi
sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam sistem
pendidikan nasional (Islam).
2. Prinsip-Prinsip Evaluasi
Pelaksanaan evaluasi agar akurat dan bermanfaat baik bagi peserta didik, pendidik
ataupun pihak yang berkepentingan, maka harus memperhatikan prinsip-prisip sebagai
berikut:[25]
a. Valid
Evaluasi mengukur apa yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis tes yang
terpercaya dan shahih. Artinya ada kesesuaian alat ukur dengan fungsi pengukuran dan
sasaran pengukuran.
b. Berorientasi kepada kompetensi
Dengan berpijak pada kompetensi, maka ukuran-ukuran keberhasilan pembelajaran akan
dapat diketahui secara jelas dan terarah.
c. Berkelanjutan/Berkesinambungan (kontinuitas)
Evaluasi harus dilakukan secara terus menerus dari waktu ke waktu untuk mengetahui
secara menyeluruh perkembangan peserta didik, sehingga kegiatan dan unjuk kerja peserta
didik dapat dipantau melalui penilaian. Dalam ajaran Islam sangatlah diperhatikan
kontinuitas, karena dengan berpegang prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang
menjadi valid dan stabil serta menghasilkan suatu tindakan yang menguntungkan.
d. Menyeluruh (Komprehensif)
Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh, meliputi kepribadian, ketajaman hafalan,
pemahaman, ketulusan, kerajinan, sikap kerja sama, tanggung jawab, dan sebagainya, atau
dalam taksonomi Benjamin S. Bloom lebih dikenal dengan aspek kognitif[26],
afektif[27] dan psikomotorik.[28]
e. Adil dan objektif
Evaluasi harus mempertimbangkan rasa keadilan bagi peserta didik dan objektif
berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat
emosional dan irasional. Jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi.
[29]
f. Bermakna
Evaluasi diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak. Untuk itu
evaluasi hendaknya mudah difahami dan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.
g. Terbuka
Evaluasi hendaknya dilakukan secara terbuka bagi berbagai kalangan sehingga keputusan
tentang keberhasilan peserta didik jelas bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tanpa ada
rekayasa atau sembunyi-sembunyi yang dapat merugikan semua pihak.
h. Ikhlas
Evaluasi dilakukan dengan niat dan yang bersih, dalam rangka efisiensi tercapainya tujuan
pendidikan dan bai kepentingan peserta didik.
i. Praktis
Evaluasi dilakukan dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan dengan beberapa
indikator, yaitu: a) hemat waktu, biaya dan tenaga; b) mudah diadministrasikan; c) mudah
menskor dan mengolahnya; dan d) mudah ditafsirkan.
j. Dicatat dan akurat
Hasil dari setiap evaluasi prestasi peserta didik harus secara sistematis dan komprehensif
dicatat dan disimpan, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan.
ِإلَى يهدي البر وإن البر ِإلَى يهدي الصدق إن قال سلَّم
َ َو َعلَ ْي ِه ُ هَّللا صلَّى
َ النبي ْعَن ُ َع ْنه ُ هَّللا ض َي
ِ َر مسعود ابن ْعَن
الجنة
س)لَّ َم َ ص)لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي) ِه َو َ ي َأنَّ النَّبِ َّي ِّ اع ِد َّ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ٌد َأ ْخبَ َرنَا َع ْب َدةُ َح َّدثَنَا ِهشَا ُم بْنُ ع ُْر َوةَ عَنْ َأبِي ِه عَنْ َأبِي ُح َم ْي ٍد ال
ِ س
اس)بَهُ قَ))ا َل َه) َذا الَّ ِذي َ سلَّ َم َو َح َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َ ِ ول هَّللا ِ س ُ سلَ ْي ٍم فَلَ َّما َجا َء ِإلَى َر ُ ت بَنِي ِ ص َدقَا َ ستَ ْع َم َل ابْنَ اُأْلتَبِيَّ ِة َعلَى
ْ ا
ْأ
َت ِّم َك َحتَّى تَ تِيَ))ك ُأ ِ ت بِي))كَ َوبَ ْي َأ ِ س )تَ فِي بَ ْي َ
ْ َسلَّ َم ف َهاَّل َجل َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َ ِ سو ُل هَّللا َ ُأ ٌ
ُ لَ ُك ْم َو َه ِذ ِه َه ِديَّة ْه ِديَتْ لِي فقَا َل َر
َأ َ ُ َ َ ْ َأ
اس َو َح ِم َد َ َو ثنى َعل ْي) ِه ث َّم ق)ا َل َّما بَ ْع) ُد هَّللا َّ َ
َ سل َم فخط َب الن َ َ َّ َ
َ صلى ُ َعل ْي ِه َو هَّللا َّ هَّللا
َ ِ سو ُل ُ صا ِدقًا ثُ َّم قَا َم َرَ ََه ِديَّتُ َك ِإنْ ُك ْنت
س َ َستَ ْع ِم ُل ِر َجااًل ِم ْن ُك ْم َعلَى ُأ ُمو ٍر ِم َّما َواَّل نِي هَّللا ُ فَيَْأتِي َأ َح ُد ُك ْم فَيَقُو ُل َه َذا لَ ُك ْم َو َه ) ِذ ِه َه ِديَّةٌ ُأ ْه) ِديَتْ لِي فَ َهاَّل َجل ْ فَِإنِّي َأ
ش)ا ٌم بِ َغ ْي) ِر َحقِّ ِه ِإاَّل َ
َ ش) ْيًئا ق))ا َل ِه َأ ُ ْأ َ
َ صا ِدقا ف َوهَّللا ِ اَل يَ ُخذ َح ُد ُك ْم ِم ْن َه))ا ً ْأ
َ َت ِّم ِه َحتَّى تَ تِيَهُ َه ِديَّتُهُ ِإنْ َكان ُأ َأ
ِ ت بِي ِه َوبَ ْي ِ فِي بَ ْي
َ ُ
ش )ا ٍة تَ ْي َع) ُر ث َّم َرف ) َع َأ َأ َ َ ََأَل َأ
َ َجا َء هَّللا َ يَ ْح ِملهُ يَ ْو َم القِيَا َم ِة ف ْع ِرفنَّ َما َجا َء َ َر ُج ٌل بِبَ ِعي ٍر لهُ ُرغا ٌء ْو بِبَق َر ٍة ل َها خ َوا ٌر ْو
ُ َ َ َ هَّللا اَل ْ ُ
ُاض ِإ ْبطَ ْي ِه َأاَل َه ْل بَلَّ ْغت
َ َيَ َد ْي ِه َحتَّى َرَأيْتُ بَي
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah mengabarkan kepada kami
'Abdah, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Abu humaid
as Sa'idi, bahwa Nabi SAW pernah mempekerjakan Ibnul Atabiyah untuk menghimpun
sedekah bani Sulaim. Tatkala ia mendatangi Rasulullah SAW dan Rasulullah
mengevaluasinya, ia mengatakan: “Ini bagian untukmu dan ini hadiah untukku.” Spontan
Rasulullah SAW bersabda: "tidakkah jika engkau duduk saja di rumah ayahmu dan rumah
ibumu, maka apakah akan datang hadiahmu kepadamu jika memang engkau jujur.
"kemudian Rasulullah SAW berdiri dan berpidato kepada manusia, beliau memuja dan
memuji Allah, kemudian mengatakan Amma ba'du. Sesungguhnya saya mempekerjakan
beberapa orang diantara kalian untuk urusan yang Allah menguasakannya kepada saya,
lantas salah seorang diantara kalian mengatakan ini bagian untukmu dan ini hadiah
untukku. tidakkah jika dia duduk saja di rumah ayahnya dan rumah ibunya, maka apakah
akan datang hadiahnya kepadanya jika memang dia jujur. Demi Allah, tidaklah salah
seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, melainkan ia menghadap
Allah dengan memikul barang yang diambilnya, ketahuilah, aku tahu ada seseorang yang
menghadap Allah dengan memikul untanya yang mendengus, ada yang memikul sapinya
yang melenguh, ada yang memikul kambingnya yang mengembik," kemudian beliau
mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat putih kedua ketiaknya. (HR. Bukhari No.
6658)
َ اِنَّ هللاَ الَ يَ ْنظُ ُر اِلَى اَ ْج:م. قال رسول هللا ص:ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل
سا ِم ُك ْم ِ عَنْ اَبِ ْي ه َُر ْي َرةَ َر
)ص َو ِر ُك ْم َو ٰل ِكنْ يَنظ َر اِلى قل ْو بِ َك ْم َواَ ْع َما لِ ُك ْم (رواه مسلم
ُ ُ َ ُ ْ ُ َوالَ اِلَى
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
Allah tidak memandang dan menilai dari tubuh dan gambarmu (kuantitas), akan tetapi Allah
memandang dan menilai dari hati dan amalmu” (H.R. Muslim).
Ketentuan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Allah terhadap makhluknya tidak akan
menyalahi aturan yang ditetapkan sehingga tidak ada orang yang teraniaya atau dirugikan.
Kesalahan hanya dihitung sesuai dengan jumlah kesalahan (dosa), tetapi kebaikan dihitung
berlipat ganda, kebaikan satu diberi nilai 10 sampai 700.
حدثنا حفص بن عمر عن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من
أصحاب معاذ بن جبل أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك
قضاء قال أقضي بكتاب هللا فإن لم تجد في كتاب هللا قال فبسنة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة
)رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وال في كتاب هللا قال أجتهد برأيي وال آلو (رواه أبو داود
Artinya: ‘Menceritakan kepada kami Hafs ibn umar dari Syu’bah dan Abi ‘Aun dari Harith
ibn ‘Amr ibn Mughirah ibn Syu’bah dari Anas dari Ahli Himsh dari sahabat-sahabat Mu’adz
bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’adz ke yaman bersabda: “bagaimana
engkau akan menghukum apabila datang kepadamu satu perkara?, ia (Mu’adz)
menjawab:”saya akan menghukum dengan kitabullah”, sabda beliau:”bagaimana bila tidak
terdapat di kitabullah?” ia menjawab:”saya akan menghukum dengan sunnah Rasulullah,”
beliau bersabda:”bagaimana jika tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah SAW? Ia
menjawab:”saya berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan mundur”.(HR. Abu Daud).
[30]
Hadis diatas menerangkan bahwa untuk mengadili suatu perkara harus merujuk pada al-
Qur’an, jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an maka rujuk pada sunnah Rasulullah SAW, jika
tidak ditemukan maka boleh berijtihad dengan akal yang sehat. Dan bisa juga
menggabungkan keduanya antar al-Qur’an dan al-Hadis, karena fungsi hadis menjelaskan al-
Qur’an sehingga lebih akurat alasannya. Hadis diatas terlihat Rasulullah baru akan
menyerahkan tugas kepada Mu’adz ketika terlebih dahulu mengetahui bahwa Mu’adz
memiliki ilmu tentang persoalan tugas yang akan diembannya.
Prinsip-prinsip diatas jika ditelaah dalam konsep pendidikan Islam, juga sejalan dengan
prinsip pendidikan islam itu sendiri yaitu keseimbangan (tawazun) dan komprehensif
(tasyamul). Bentuk keseimbangan tersebut meliputi keseimbangan antara aspek materil dan
spiritual maupun antara jasmani dan rohani, dan juga antara individu dan sosial. Prinsip ini
berimplikasi pada prinsip komprehensif yang memberikan kerangka dasar bahwa pendidikan
Islam meliputi seluruh dimensi potensi manusia, yaitu akal, intelektual, jiwa, spiritual,
maupun jasmani. Kedua prinsip itu merupakan dasar pendidikan Islam untuk membimbing
peserta didik menjadi insan kamil.[31]
Dalam pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Nabi kepada para sahabatnya, ketika
dilihat dari cara penyampaian materi hadits kepada para sahabatnya adalah dengan cara yang
sederhana dan praktis, namun ketika dianalisis lebih lanjut bahwa praktek kependidikan yang
dijalankan oleh Nabi sudah memuat beberapa aspek pendidikan yaitu pendidik, anak didik,
metode, sarana dan media, materi, bahkan sampai evaluasinyapun. Karena Nabi sendiri
merupakan evaluator pertama dan utama dalam menilai kemampuan, kecerdasan sahabat
sampai kepada sikap, tingkah laku, dan tindakan sahabat, sehingga ketika sahabat melanggar
atau tidak mengerjakan perintah dari Nabi, maka Nabi akan mengingatkannya, atau sahabat
tidak melakukan kewajiban dan aturan yang yang ada maka Nabi sendiripun yang akan
mengingatkannya. Inilah uniknya evaluasi pendidikan yang dilakukan Nabi secara
menyeluuh, baik itu di majlis taklim, masjid, musholla, lapangan, sampai dijalan atau
dimasyarakat, Nabi selalu mengevaluasi semua kegiatan dan tindakan sahabat, karena sahabat
yang prilakunya baik akan kelihatan dengan sendirinya dan sahabat yang prilakunya buruk
juga akan terlihat juga, karena Rasulullah disamping mengetahui aspek lahir juga dibantu
Allah untuk untuk mengetahui aspek batin, karena Allah menilai seseorang bukan dari aspek
lahir namun dari aspek batin.[32]
Jika kita bandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pasal 64 ayat 3, prinsip-prinsip tersebut telah diatur didalamnya. Dalam peraturan
tersebut disebutkan penilaian hasil belajar mata pelajaran agama, dan akhlak mulia serta
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui dua cara,
yaitu:
1. Pengamatan terhadap perubahan-perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan
afeksi dan kepribadian peserta didik.
2. Ujian, ulangan dan atau penugasan untuk mengukur hasil aspek kognitif peserta didik.
Sekilas PP tersebut memang hanya menyebutkan aspek kognitif dan afektif saja tanpa
melibatkan aspek psikomotorik, tetapi jika kita cermati dalam rumusan standar isi (rumusan
standar kompetensi dan kompetensi dasar) mata pelajaran PAI, baik SD, SMP, SMA/SMK,
dan juga madrasah, maka aspek psikomotorik akan kita temukan.[33]
3. Jenis Evaluasi
Abudin Nata membagi dalam empat macam/jenis evaluasi, yaitu: evaluasi formatif,
sumatif, placement atau penempatan, dan diagnosis.[34]
a. Evaluasi Formatif, ditujukan untuk mengetahui hasil kegiatan belajar mengajar yang telah
dilakukan oleh pendidik dan dicapai oleh peserta didik. Hal ini dilakukan karena dasarnya
manusia itu mempunyai kelemahan.
b. Evaluasi Sumatif, dilakukan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai peserta didik
setelah mengikuti kegiatan belajar dalam satu semester atau akhir tahun dalam rangka
menentukan jenjang berikutnya. Asumsi evaluasi ini adalah bahwa segala sesuatu (termasuk
peserta didik) diciptakan mengikuti hokum bertahap. Hal ini sesuai dengan QS. Al Insyiqaq
ayat 19 yang artinya, “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam
kehidupan).”
c. Evaluasi Placement atau penempatan, untuk mengetahui kemampuan peserta didik sebelum
mengikuti pelajaran, serta menetukan bidang studi atau jurusan yang akan dipilihnya. Asumsi
yang mendasari evaluasi ini adalah bahwa setiap manusia (peserta didik) memiliki
perbedaan-perbedaan dan potensi khusus. Hal ini disebutkan dalam QS. Al Isra ayat 84 yang
artinya, “Tiap-tiap orang berbuat menurut kedaannya.”
d. Evaluasi Diagnosis, untuk mengetahui dan menganalisis keadaan-keadaan peserta didik, baik
yang berkenaan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi, maupun hambatan yang dijumpai
dalam kegiatan belajar mengajar. Asumsi yang mendasari evaluasi ini adalah bahwa
pengalaman pahit masa lalu dapat dijadikan ‘guru’ untuk memperbaiki masa depan. Setiap
proses pembelajaran tidak terlepas dari kesulitan. Jika dapat menyelesaikan dan memecahkan
hambatan dan kesulitan yang dihadapi, iakan memperoleh kemudahan dalam kegiatan
berikutnya. Hal ini senada dengan QS. Al Insyirah ayat 5-7, yang artinya “Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (uirusan) lainnya.”
4. Teknik Evaluasi
Teknik evaluasi adalah cara yang dilakukan untuk melakukan evaluasi. Untuk evaluasi
pendidikan yang termasuk di dalamnya evaluasi terhadap program pendidikan suatu lembaga,
tujuan, sarana, efektifitas, kurikulum dan lain-lainnya, bisa dilakukan dengan teknik evaluasi
program salah satunya.
Sedangkan untuk evaluasi pembelajaran ada dua teknik yang sering digunakan untuk
mengukur hasil belajar yaitu dengan tes dan non-tes. Sebagai salah satu alat untuk
mengkuantifikasi sampel perilaku, maka para ahli memberikan berbagai macam klasifikasi
tes yang berbeda tergantung perspektif sang ahli tersebut. Klasifikasi tes yang lengkap
disampaikan oleh Anas Sudijono yang mengklasifikasikan tes berdasarkan perspektif
tertentu. Jika tes digolongkan berdasarkan fungsi sebagai alat ukur perkembangan, maka ada
enam jenis tes yaitu : tes seleksi, tes awal, tes akhir, tes diagnostik, tes formatif dan tess
umatif.
Berdasarkan aspek psikis yang ingin dinilai, tes dibedakan menjadi tes intelegensi, tes
kemampuan, tes sikap, tes kepribadian dan tes hasil belajar. Berdasarkan banyaknya orang
yang mengikuti maka tes dibedakan menjadi tes individu dan tes kelompok. Jika digolongkan
berdasarkan waktu yang disediakan, maka akan ada dua jenis tes yaitu: power test dan speed
test. Ditinjau dari segi respon tes dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu tes verbal dan tes
non verbal. Dan jika ditinjau dari cara mengajukan pertanyaan, akan ada dua tes yaitu te
stertulis dan tes lisan.
Teknik yang bisa digunakan dalamtes adalah tes lisan, tes unjuk kerja, tes tertulis dan
portofolio. Tes tertulis bisa dalam bentuk pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, jawaban
singkat, dan uraian bebas. Sedangkan teknik non tes meliputi skala bertingkat, kuesioner,
daftar cocok, wawancara, pengamatan dan riwayat hidup.
Jika diperjelas, maka teknik evaluasi dalam pendidikan dapat dibagi beberapa langkah
diantaranya :
a. Perencanaan
Dapat dilakukan dengan merumuskan tujuan evaluasi dalam suatu program belajar mengajar
didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai.
b. Pengumpulan data
Dengan cara menetapkan aspek-aspek yang harus dinilai, artinya untuk memperoleh bahan
informasi yang cukup tentang anak didik dengan diadakan evaluasi yang dapat ditempuh
dengan langkah yaitu: pelaksanaan evaluasi, pemeriksaan hasil-hasil evaluasi, dan pemberian
kode atau skor.
c. Verifikasi data
Dengan menentukan metode evaluasi yang akan digunakan aspek yang akan dinilai. Misalnya
: untuk menilai sikap dipergunakan checklist.
d. Analisis data
Dengan cara memilih atau menyusun alat-alat evaluasi yang akan dipergunakan berupa tes
maupun bukan tes (non tes).
e. Penafsiran data
Dengan menentukan kriteria yang dipergunakan untuk menentukan frekuensi evaluasi dengan
menyusun bahan pelajaran.
5. Sasaran Evaluasi
Sasaran evaluasi merupakan tindakan yang harus ditempuh oleh pendidik dalam
mengadakan evaluasi. Sasaran itu sangat penting dalam menentukan pemyusunan alat-alat
evaluasi yang akan dipakai oleh pendidik. Menurut Abudin Nata, yang menjadi pokok
sasaran evaluasi yaitu untuk mengevaluasi peserta didik, pendidik, materi pendidikan, proses
penyampaian materi pelajaran, dan berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan materi
pendidikan.[35] Karena antara satu komponen pendidikan dan komponen pendidikan lainnya
saling berkaitan.
Sasaran-sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya melihat empat
kemampuan peserta didik yaitu:[36]
a. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
b. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
c. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya.
d. Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah SWT anggota masyarakat
serta selaku khalifah-Nya di muka bumi.
Keempat sasaran tersebut harus dievaluasi secara menyeluruh. Artinya, jangan hanya dinilai
dari segi penguasaan materi semata-mata, tetapi juga harus dinilai dari segi perubahan
tingkah laku dalam proses belajar mengajar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara harfiah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation, yang berarti
penilaian, penaksiran, atau evaluasi. Atau berasal dari kata to evaluate yang berarti menilai.
Dalam al-Quran maupun hadis kata evaluasi tidak dapat ditemukan padanan yang pasti,
namun terdapat term-term tertentu yang mengarah pada makna evaluasi. Diantaranya
adalah al-Hisab yang memiliki makna mengira, menafsirkan, dan menghitung, al-Bala’ yang
bermakna cobaan atau ujian), al-Hukm yang bermakna putusan atau vonis, al-Qadha yang
bermakna putusan, dan An-Nazhr yang berarti melihat musibah (ujian) dan fitnah yang berarti
cobaan ujian atau bencana.
Tujuan evaluasi untuk mengetahui kadar pemahaman peserta didik, mengetahui siapa
diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, mengumpulkan informasi yang dapat
dipergunakan sebagai dasar untuk mengadakan pengecekan yang sistematis terhadap hasil
pendidikan yang telah dicapai, mengevaluasi pendidik, materi pendidikan, proses peyampaian
materi pelajaran, mengetahui kesulitan belajar peserta didik (diagnostic test) dan untuk
memberikan arah dan lingkup pengembangan evaluasi selanjutnya.
Prinsip-prinsip evaluasi: valid, berorientasi kepada kompetensi,
berkelanjutan/berkesinambungan (kontinuitas), menyeluruh (komprehensif), adil dan
objektif, bermakna, terbuka, praktis, dan dicatat serta akurat. Jenisnya ada empat: evaluasi
formatif, sumatif, placement atau penempatan, dan diagnosis. Sasarannya meliputi
mengevaluasi peserta didik, pendidik, materi pendidikan, proses penyampaian materi
pelajaran, dan berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan materi pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
As-Sijistani, Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Maktab ad-Dirasat wa Al-Buhuts fi
Dar Al Fikr.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008.
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran
Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2008.
Salim, Moh. Haitami dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012.
Wiyani, Novan Ardy dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2012.
Yusuf, Kadar M, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al Quran tentang Pendidikan, Jakarta: Amzah,
2013.
[1] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran
Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 233.
[2] Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm. 173.
[3]Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 339.
[4] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia, 2008), hlm. 220.
[5] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia), hlm. 161.
[6] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 183.
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 221.
[8] Oemar Hamalik, Pengajaran Unit, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 106.
[9] Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990). hlm. 3.
[10]Contohnya tentang pelaksanaan sholat. Seseorang yang sholat dapat diukur dan dinilai. Pengukuran
shalat dilakukan pada aktifitas yang berkaitan dengan pelaksanaan syarat-syarat dan rukunnya. Bila hal tersebut
terpenuhi maka shalatnya dianggap sah. Sementara penilaian shalat adalah yang berkaitan dengan adab-adab,
seperti keikhlasan, kekhusu’an, dsb. Walaupun hal ini sangat sulit dilakukan, karena menyangkut urusan batin
dan wewenang Tuhan. Lihat Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 242.
[11]Kata ini terulang 38 kali dalam al-Quran dengan berbagai sighat (bentuk kata). Secara etimologi kata
ini setara dengan ikhtabara dan imtahana yang berarti menguji atau mencoba.
[12] Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 243-244.
[13]Kata ini berasal dari kata fatana yang semakna dengan a’jaba yang berarti membingungkan atau
mengherankan. Kata fatana diulang sampai 60 kali dalam al-Quran. Luis Ma’luf mengartikan
kata fatana dengan adhabahu bi al-butaqah liyubayyin al-jayyida min al-radi’I (mencairkan sesuatu pada
bejana agar dapat dibedakan antara yang baik dengan yang jelek). Hal tersebut sejalan dengan Al Isfihani yang
mengartikan dengan memasukan emas kedalam api agar jelas perbedaan mana emas yang baik dan mana yang
buruk. Lihat Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al Quran tentang Pendidikan, (Jakarta: Amzah,
2013), hlm. 141.
[14] Maragustam Siregar, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016), hlm. 229-232.
[15] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 131
[16] Ibid., hal. 132
[17] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 240.
[18] Misalnya QS. Al Baqarah: 155 yang menjelaskan tentang sikap manusia menghadapi kesulitan
hidup, QS. An Naml: 40 tentang bersyukur atau kufur, QS. An Naml: 27 tentang evaluasi kejujuran burung Hud
yang memberika kabar kepada Nabi Sulaiman kerajaan yang diperintah oleh seorang wanita cantik, dan As
Shaffat: 103, 106, 107 tentang ujian Nabi Ibrahim yang berat untuk menyembelih putranya.
[19] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), hlm. 221.
[20] Menurut Abudin Nata dalam Ilmu Pendidikan Islam, dengan evaluasi ini, maka suatu kegiatan dapat
diketahui atau ditentukan tarap kemajuannya, serta diketahui pula tingkat keberhasilan seorang pendidikdalam
menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode,
fasilitas, sarana dan prasarana, lingkungan, dsb. Serta diketahui kadar pemahaman peserta didik terhadap materi
pelajaran, melatih keberanian, dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah
diberikan, dan mengetahui pula tingkat perubahan tingkah lakunya.
[21] Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2012),
hlm. 234.
[22]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 224.
[23]M. Arifin, Ilmun Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner…, hlm. 245.
[24]Al-Rasyidin dkk, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Press, 2005), hlm. 77-78.
[25] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm.213-217.
[26] Aspek kognitif adalah aspek yang mengarah pada ilmu pengetahuan yang sasarannya yaitu cara
berfikir seseorang dalam setiap perbuatan. Metode ini bisa dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Seperti dalam QS. Al-Baqarah: 31-32. Dalam ayat ini Allah SWT menguji pengetahuan dan pemahaman Adam
tentang dunia ini dan penciptaannya.
[27] Aspek afektif adalah aspek yang mengarah pada perasaan atau jiwa dari peserta didik yang
sasarannya adalah cara bersikap dalam perbuatan. Dalam aspek ini bisa dilakukan dengan dua cara, Observasi
(pengamatan) dan Ujian tertulis dan atau lisan.
[28] Aspek psikomotorik adalah aspek yang mengarah pada keterampilan ataupun kemahiran peserta
didik. Metode yang digunakan dalam aspek ini adalah observasi dan tugas.
[29] Abudin Nata menjelaskan prinsip-prinsip evaluasi ada tiga, yakni prinsip kesinambungan
(kontinuitas), menyeluruh (komperehensif) dan objektif. Lihat Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 311,
[30] Imam Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktab ad-Dirasat wa Al-Buhuts fi Dar
Al Fikr), Nomor. 3592 dan 3593.
[31] Tasman Hamami, Pemikiran Pendidikan Islam: Transformasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam
di Sekolah Umum, (Yogyakarta: Pustaka Book Publizer, 2008), hlm. 305.
[32] Ahmad Falah, Hadits Tarbawi, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2010), hlm. 149-151.
[33]Sukiman, Pengembangan Sistem Evaluasi PAI, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), hlm. 51.
[34] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 310-311; Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama
Islam, (Jakarta: Kalam Mulia), hlm. 338. Bandingkan dengan M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan
Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner…, hlm. 245-246. Menurut M Arifin, Evaluasi
Formatif, untuk menetapkan tingkat penguasaan peserta didik dan menentukan bagian bagian tugas yang belum
dikuasai dengan tepat; Evaluasi Sumatif, penilaian secara umum tentang dasil dari proses belajar mengajar yang
dilakukan setiap akhir periode belajar-mengajar secara terpadu; Evaluasi Diagnosik, yakni penilaia yang
dipusatkan pada proses belajar-mengajar pada lokalisasi titik yang cocok pada peserta didik, misal, bakat, minat,
keterampilan, latar belakang, keccerdasan, dll; Evaluasi Placement atau Penempatan, menitik beratkan pada
penilaian ilmu pengetahuan dan keterampilan murid di awal proses KBM, minat dan perhatian siswa dalam
proses belajar-mengajar di kelas, misal belajar kelompok dan sebagainya.
[35]Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam…, hlm. 308.
[36]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner…, hlm. 239.