Anda di halaman 1dari 18

Nama : M.

Syahrol Ma’rup
Nim : 2014070019
Kelas : PGMI.IV.A
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen : Prof. Dr. Zulmuqim, MA
Dr. Hamdilah Asran, M.Pd
Tgl/Bln/Thn : 13/06/2022

UAS:
1. Jelaskan hakikat evaluasi dalam perspektif filsafat pendidikan Islam:
a. Landandasan al-Qur`an tentang evaluasi,
Adapun Al-Qur’an sebagai sumber kehidupan yang juga menerangkan tentang
Pendidikan juga telah menyinggung terkait evaluasi Pendidikan. Berdasarkan
penelitian Dedi (2016) menegaskan bahwa istilah evaluasi tidak dijumpai dengan
kata-kata yang khusus. Namun motivasi evaluasi pendidikan dapat dijumpai nilai-
nilai pentingnya dalam al-Qur’an seperti prinsip tujuan pendidikan (QS. An-Naml
ayat 27), kontinuitas (QS. Al-Fushilat ayat 31), prinsip komprehensif (QS. Al-
Zalzalah ayat 7-8), prinsip objektifitas (QS. Al-Maidah ayat 8). Sedangkan tujuan
evaluasi pendidikan juga diungkapkan untuk menguji daya kemampuan manusia
dalam beriman pada Allah (QS. Al-Baqarah ayat 155) dan mengetahui sejauh
mana hasil pendidikan (QS. An-Naml ayat 40) (Wahyudi, 2016). Berdasarkan
dari pengertian evaluasi tersebut, maka evaluasi harus secara berkala dilakukan.
Adanya beragam sifat dasar yang dimiliki manusia dan prediksi Tuhan terkait
refleksi prilaku manusia dalam kehidupan sesuai dalam surat Fatir ayat 32,
menjadikan evaluasi sebagai instrumen wajib untuk memantau hasil dari
keberhasilan pendidikan. Maka, prediksi Tuhan bisa menjadi tolak ukur untuk
memantau jalannya evaluasi pendidikan untuk menentukan kesuksesan
pendidikan.

b. Pengertian evaluasi,
Secara harfiah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, evaluation, yang berarti
penilaian dan penaksiran. Dalam bahasa Arab, dijumpai istilah imtihan, yang
berarti ujian, dan khataman yang berarti cara menilai hasil akhir dari proses
kegiatan.Sedangkan secara istilah, ada beberapa pendapat, namun pada dasarnya
sama, hanya berbeda dalam redaksinya saja. Oemar Hamalik mengartikan
evaluasi sebagai suatu proses penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan
perkembangan peserta didik untuk tujuan pendidikan. Sementara Abudin Nata
menyatakan bahwa evaluasi sebagai proses membandingkan situasi yang ada
dengan kriteria tertentu dalam rangka mendapatkan informasi dan
menggunakannya untuk menyusun penilaian dalam rangka membuat keputusan
c. Bentuk-bentuk evaluasi,
1. Bentuk evaluasi berdasarkan tujuan
a) Evaluasi diagnostik, adalah evaluasi yang di tujukan untuk menelaah
kelemahan-kelemahan siswa beserta faktor-faktor penyebabnya.
b) Evaluasi selektif adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk memilih
siwa yang paling tepat sesuai dengan kriteria program kegiatan tertentu.
c) Evaluasi penempatan adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk
menempatkan siswa dalam program pendidikan tertentu yang sesuai dengan
karakteristik siswa.
d) Evaluasi formatif adalah adalah evaluasi yang dilaksanakan untuk
memperbaiki dan meningkatkan proses belajar dan mengajar.
e) Evaluasi sumatif adalah adalah evaluasi yang dilakukan untuk menentukan
hasil dan kemajuan bekajra siswa.
2. Bentuk evaluasi berdasarkan sasaran
a) Evaluasi konteks yang ditujukan untuk mengukur konteks program baik
mengenai rasional tujuan, latar belakang program, maupun kebutuhan-
kebutuhan yang muncul dalam perencanaan
b) Evaluasi input, evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui input baik
sumber daya maupun strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.
c) Evaluasi proses, evaluasi yang ditujukan untuk melihat proses pelaksanaan,
baik mengenai kalancaran proses, kesesuaian dengan rencana, faktor
pendukung dan faktor hambatan yang muncul dalam proses pelaksanaan,
dan sejenisnya.
d) Evaluasi hasil atau produk, evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil
program yang dicapai sebagai dasar untuk menentukan keputusan akhir,
diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau dihentikan.
e) Evaluasi outcome atau lulusan, evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil
belajar siswa lebih lanjut, yakni evaluasi lulusan setelah terjun ke
masyarakat.
3. Bentuk evalusi berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran
a) Evaluasi program pembelajaran, yang mencakup terhadap tujuan
pembelajaran, isi program pembelajaran, strategi belajar mengajar, aspek-
aspek program pembelajaran yang lain.
b) Evaluasi proses pembelajaran, yang mencakup kesesuaian antara peoses
pembelajaran dengan garis-garis besar program pembelajaran yang di
tetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran,
kemampuan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
c) Evaluasi hasil pembelajaran, mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap
tujuan pembelajaran yang ditetapkan, baik umum maupun khusus, ditinjau
dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik.

d. prinsip-prinsip evaluasi pendidikan Islam.

Prinsip evaluasi pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai universal ajaran Islam.


Prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berkesinambungan (kontinuitas) sebagaimana yang di isyaratkan al-Qur’an
dalam memutuskan hukum minuman keras dan rentenir (Q.S. al-Baqarah: 275-
276; 278-279; ar-Rum:39; al- Baqarah: 219; Muhammad: 15, al- Maidah: 90)
2. Menyeluruh, menyangkut semua aspek, baik perkataan, perbuatan, dan hati
sanubari (qauliyah, fi’iliyah, dan qalbiyah) termasuk kepribadian, intelegensi,
pemahaman, sikap, kedisiplinan, tanggungjawab, pengalaman ilmu sebagai
khalifah dan waratsatul al-anabiya’ dan sebagainya (Sabiq, t.th: 17).
3. Objektivitas, dilakukan secara adil, berdasarkan keadaan yang sesungguhnya
tanpa dicampuri emosional atau irasional bukan subjektif. Dalam akhlak yang
mulia seseorang harus bersifat objektif. Orang yang menilai demikian dalam
agama Islam dikenal dengan istilah Shidiq (Ramayulis, 1994: 298)
4. Validitas, evaluasi dilakukan secara keseluruhan (representatif) dan
kesanggupan peserta didik mengenai bidang tertentu (Amin, 1975: 68)
5. Reabilitas, terukur, dan mudah dimengerti (Ali Hasan, 1978: 44).
6. Efesiensi, cermat dan tepat
7. A’abudiyah, penuh ketulusan, prasangka baik (husnul al-azhan), perbaikan
tingkah laku secara positif, dan menutupi rahasia murid

2. Jelaskan hakikat ilmu pengetahuan dan pengembangannya dalam perspektif filsafat


pendidikan Islam:
a. Landasan al-Qur`an tentang ilmu,
Al-alaq ayat 1-5 sebagai dasar perintah untuk belajar atau menuntut ilmu
pengetahuan. Menurutnya, Surah al-A’Alaq ayat 1-5 ini merupakan perintah
tersirat kepada manusia untuk belajar.
b. Pengertian ilmu pengetahuan,
Ilmu pengetahuan adalah sebagai pengetahuan yang disusun dalam satu sistem
yang berasal dari pengalaman, studi dan percobaan yang telah dilakukan dipakai
untuk menentukan hakikat prinsip tentang hak yang sedang dipelajari.
c. Sumber ilmu pengetahuan,
Sumber ilmu pengetahuan secara garis besar ada tiga, yaitu alam semesta (alam
fisik), alam akal (nalar) dan hati (intuisi dan ilham)
d. Usaha pengembangannya dalam pendidikan Islam

3. Jelaskan pemikiran pendidikan Islam Ibnu Maskawaih, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun
a) Ibnu Miskawaih adalah seorang pemikir Islam yang mempunyai pengaruh luas
di dunia Islam khususnya, p[emikirannya dalam hal pendidikan menekankan
pentingnya peran pendidik dan lingkungan, dan orang tua sebagai pendidik tetap
merupakan pendidik yang pertama dan utama, maka perlu dibangun hubungan
yang harmonis antara orang tua dan anak atas dasar cinta. Ibnu Miskawaih juga
menekankan pentingnya pengaruh lingkungan, bahwa untuk menciptakan
kepribadian yang baik tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus dilakukan secara
bersama atas dasar saling tolong dan saling mencintai, dan sebagai makhluk
social manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya.
b) Pendidikan menurut Al Ghazali menekankan pada pendidikan agama dan akhlak.
Menurutnya pengertian dan tujuan pendidikan Islam yaitu pendidikan yang
berupaya dan bertujuan dalam proses pembentukan insan paripurna. Adapun
dalam membuat sebuah kurikulum, Al Ghazali memiliki dua kecenderungan,
yaitu kecenderungan terhadap agama dan kecenderungan pragmatis. Adapun
aspek-aspek materi pendidikan Islam menurut pemikiran Al Ghazali adalah
meliputi: pendidikan keimanan, akhlak, akal, sosial dan jasmani. Menurutnya
guru yang baik itu selain cerdas dan sempurna akalnya, juga harus memiliki sifat-
sifat yang terpuji. Adapun sifat yang harus dimiliki oleh seorang murid yaitu
rendah hati, mensucikan diri dari segala keburukan taat dan istiqamah. Sementara
yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktifitas yang terkait
dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses pendidikan.
Konsep pendidikan Islam dalam pemikiran Al Ghazali ini sejalan dengan tujuan
pendidikan di Indonesia saat ini. Dimana pendidikan nasional bertujuan untuk
mencerdaskan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab.
c) Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir Islam, karyanya banyak dijadikan rujukan
dalam menyelesaikan berbagai masalah. Pemikirannya dalam pendidikan
ditekankan pada proses belajar yang dilakukan oleh guru. Ada beberapa prinsip
dasar yang senantiasa harus diperhatikan oleh para pendidik dalam proses
pembelajaran, mulai dari pentahapan dan pengulangan, menyesuaikan dengan
kemampuan siswa, menuntaskan materi sampai dikuasai siswa dan tidak boleh
melakukan kekerasan kepada siswa dengan alasan apapun
4. Jelaskan pemikiran pendidikan Islam Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad dan
Rahmah el-Yunusiyah

a) Haji Abdul Karim Amrullah merupakan pencetus pertama dari ide untuk
mendirikan Perguruan Thawalib di Surau Jembatan Besi Padang Panjang.
Pengajian surau pertama yang berubah menjadi madrasah dengan sistem
persekolahan adalah Surau Jembatan Besi di Padang Panjang. Hal ini sesuai
dengan apa yang telah dikemukakan oleh Karel A.Steenbrik yang meneliti
tentang pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, yaitu bahwa pembaharuan
pendidikan Islam dimulai dari kota kecil, yakni Padang Panjang (Steenbrik, 1974:
40)
Konsep Abdul Karim Amrullah
1. Kurikulum Pada awal abad Ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat
tradisional, yang berkisar pada Al-Quran dan pengajian kitab, yang meliputi
Ilmu Nahwu, Sharaf, Fiqih, Tafsir dan lainnya, yang terpaku pada satu kitab
saja (Ramayulis, 2005: 236). Kurikulum pendidikan demikian dipandang
kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga
tergerak hati Haji Rasul dan kawankawannya yang sepaham untuk
mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikan 13 Islam. Ilmu-ilmu yang
masuk ke dalam kurikulum pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab-
kitab yang digunakan juga tidak terpaku pada satu kitab saja. Ilmu-ilmu agama
dan bahasa yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam mencapai
12 (dua belas) mata pelajarab dan dengan menggunakan berbagai macam
kitab. Mata pelajaran tersebut adalah: a. Ilmu Nahwu b. Ilmu Sharaf c. Ilmu
Fiqih d. Ilmu Tafsir e. Ilmu Tauhid f. Ilmu Hadits g. Ilmu Musthalah Hadits h.
Ilmu Mantiq (logika) i. Ilmu Ma‘ani j. Ilmu Bayan k. Ilmu Badi‘ l. Ilmu Ushul
Fiqih (Yunus: 54). Haji Rasul menyusun kurikulum pendidikan Islam
berdasarkan tingkat atau kelas. Sebab Haji Rasul telah menerapkan sistem
klasikal dalam lembaga pendidikan Islam. Berbeda dengan keadaan
sebelumnya, pendidikan yang diberikan di lembaga pendidikan Islam tidak
dibedakan kelasnya antara yang sudah tinggi pelajarannya dengan yang masih
permulaan. Kondisi ini menurut Haji Rasul tidak efektif. Sebab itu, beliau
membagi murid-murid dalam kelaskelas tertentu, sesuai dengan tingkat
pendidikannya. Susunan kurikulum pendidikan Islam yang diterapkannya saat
itu adalah: 1. Pengajian Al-Quran Pengajian kitab, yang terdiri atas beberapa
tingkat yaitu: - Mengkaji Nahwu, Sharaf dan Fiqh, dengan memakai kitab-
kitab: Ajrumiah, Matan Bina, Fathul Qarib dan sebagainya - Mengkaji Tauhid,
Nahwu, Sharaf dan Fiqih dengan memakai kitab Sanusi, Syekh Khalid
(Azhari, ―Asymawi), Kailani, Fathul Mu‗in dan sebagainya. - Mengkaji
Tauhid, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Tafsir dan sebagainya dengan memakai kitab-
kitab: Kifayatul ―Awam (Ummul-Barahin), Ibnu Aqil, 14 Mahali,
Jalalain/Baidlawi dan lain-lain (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2005:237-238)
Jika diperhatikan kurikulum pendididikan Islam yang diterapkan Haji Rasul di
atas, ternyata sesuai dengan kemampuan dan perkembangan murid. Meskipun
ilmu yang diajarkan sama, namun pada tingkat yang lebih tinggi dipergunakan
pula kitab-kitab yang lebih sulit dan lebih tinggi, yang membutuhkan
penelaahan lebih mendalam. Bahkan pada tingkat tinggi, diajarkan pula Ilmu
Mantiq, ilmu Balaghah, ilmu Tasawuf dan sebagainya dengan memakai kitab-
kitab seperti: Idlahul Mubham, Jauhar Maknun/Talkhish, Ihya Ulumuddin, dan
lain-lain (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238). Di samping itu, Haji Rasul juga
memakai kitab rujukan yang ditulisnya sendiri dan juga yang ditulis oleh
Zainuddin Labay El-Yunusi, yang merupakan guru bantu ketika masih
mengajar di surau Jembatan Besi. Dengan demikian, sekalipun kurikulum
pendidikannya masih murni ilmuilmu agama Islam, namun ilmu-ilmu
keislaman dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikannya telah berkembang,
serta kitab-kitab yang dijadikan rujukan juga telah diperbaharui (Ramayulis
dan Nizar, 2005: 238).
2. Sistem dan Metode Pembelajaran
Di samping memperbaharui kurikulum pendidikan Islam yang dipandang
sudah ditinggalkan zaman, Haji Rasul juga memperbaiki sistem dan metode
pembelajaran yang digunakan. Pembaharuan terpenting dalam bidang sistem
dan metode pembelajaran yang digunakan. Pembaharuan terpenting dalam
bidang sistem dan metode pembelajaran yang dibawa oleh Haji Rasul adalah
mengembangkan sistem klasikal dan menggunakan metode diskusi dan tanya
jawab. Kepada murid-murid ditanamkan semangat berdiskusi, berfikir bebas,
membawa, memahami, berkelompok dan berorganisasi. Murid-murid
dirangsang untuk bertanya dan berdebat dengan guru (Ramayulis dan Nizar,
2005: 238). Sebagaimana diketahui bahwa sistem pembelajaran yang
berkembang dalam sistem pendidikan Islam saat itu adalah sistem halaqah.
Dengan sistem halaqah ini, murid-murid dan guru bersama-sama duduk di
lantai membentuk lingkaran. Kemudian guru membacakan kitab dan
menerangkan isinya, 15 sementara murid-murid mendengarkan, memahami
dan menghafal keterangan yang diberikan oleh guru (Ramayulis dan Nizar,
2005: 238). Metode menghafal merupakan ciri umum dalam sistem pendidikan
Islam pada masa itu. Metode ini mengutamakan agar murid dapat menghafal
suatu pelajaran (verbolisme). Murid disuruh membaca berulang-ulang pada
yang disampaikan oleh guru, sehingga pelajaran tersebut benarbenar melekat
di kepala, walaupun tidak begitu dipahami (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238).
Metode pembelajaran seperti ini menurut Haji Rasul tidak dapat membawa
pada kemajuan murid. Dengan metode demikian, murid akan berfikir sempit,
sehingga tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam
masyarakat yang terus berkembang, sehingga ilmu tidak dapat memecahkan
persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang terus berkembang.
Ilmu hanya sekedar dihafal, tetapi kurang dipahami, sehingga ilmu tidak dapat
memecahkan persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab
itu, Haji Rasul berusaha memperbaharui metode pembelajaran yang dapat
merangsang murid untuk berfikir bebas, berdiskusi, berdialog, berdebat dan
berorganisasi. Murid tidak hanya dituntut menghafal ilmu yang diberikan,
melainkan juga harus memahami, mengabstarksi, mengkontekstualisasikan
dan mentransformasikan lebih jauh. Ini menunjukkan bahwa Haji Rasul mulai
mengembangkan semangat ilmiah dalam proses pembelajaran yang
dilaksanakannya (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238). Dengan semangat dan
etos kerja ilmiah yang dikembangkan Haji Rasul ini, maka menurut beliau
sistem pembelajaran berhalaqah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman. Untuk itu pada tahun 1918 Haji Rasul menyelenggarakan pendidikan
berkelas di surau Jembatan Besi yang dipimpinnya. Murid-murid dibagi
menjadi tujuh kelas menurut umur dan tingkatan pendidikannya. Pada tingkat
permulaan, murid-murid diajar oleh guru-guru bantu (asisten). Di antara
asistennya yang terkenal adalah Zainuddin Labay El-Yunusi. Kitab-kitab yang
diajarkan terbatas pada kitabkitab yang dikarang oleh Zainuddin Labay El-
Yunusi sendiri atau oleh guruguru lain. Pada tingkatan tertinggi baru diajarkan
kitab-kitab yang berasal dari Mesir dibawah asuhan Haji Rasul, sebagai guru
besar (Yunus: 55). Pada mulanya kelas yang akan ditetapkan hanya tiga kelas,
yaitu kelas I, II, III. Akan tetapi setelah dicoba melaksanakannya, ternyata
kelas I harus 16 dipecah menjadi empat tingkat, yaitu 1A, 1B,1C, dan 1D.
sementara itu, kelas II harus dibagi menjadi dua kelas, yaitu 2A dan 2B, kelas
III dapat dipertajan menjadi satu kelas. Kemudian kelas 1A, 1B,1C dan 1D,
menjelma menjadi kelas 1, 2, 3, dan kelas 4. Sedangkan kepada kelas 2A dan
2B menjelma menjadi kelas 5 dan 6. Seterusnya kelas 3 menjadi kelas 7.
Sistem dan metode pembelajaran baru dilaksanakan oleh Haji Rasul di
lembaga pendidikan Islam yang bernama Perguruan Thawalib Padang
Panjang, ternyata dapat membangkitkan motivasi yang kuat dari para
muridnya untuk mencapai kemajuan. Dengan metode diskusi, tanya jawab dan
berdebat yang dikembangkannya, timbul dari diri murid semangat untuk
menggali ilmu sendiri (self activity) (Ramayulis dan Nizar, 2005: 239).
3. Organisasi Siswa
Haji Rasul memikirkan pula bagaimana supaya murid-murid terhimpun dalam
organisasi. Beliau melihat bahwa organisasi itu adalah penting. Tanpa adanya
organisasi yang rapi, penjajah mustahil dapat diusir. Semangat berorganisasi
ini mulai muncul dari diri Haji Rasul ketika beliau menyaksikan organisasi
Muhammadiyah di Yogyakarta. Oleh sebab itu beliau menganjurkan kepada
murid-muridnya untuk membentuk sebuah organisasi (Noer, 1999: 45-46).
Ketika Bagindo Jamaluddin Rasyad memberikan ceramah umum tahun 1915
di Padang Panjang, Haji Rasul menganjurkan kepada murid-muridnya untuk
menghadiri dan mendengarkan ceramah umum tersebut. Sebab ceramah yang
akan diberikan oleh Rasyad adalah berkaitan dengan pengalamannya ketika
mengunjungi Erofa dan melihat kemajuan yang dicapai di sana. Dalam
ceramahnya itu, Rasyad menjelaskan bahwa kemajuan yang dicapai oleh Erofa
adalah karena kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pentingnya
berorganisasi. Menurutnya, Erofa telah mempunyai kesadaran yang tinggi
dalam berorganisasi. Dengan berorganisasi, segala sesuatu akan mudah
dicapai. Sebaliknya, usaha yang bersifat perseorangan, tidak terorganisir, pasti
akan berkesudahan dengan kegagalan (Noer, 1999: 45-46). Setelah mendengar
ceramah yang disampaikan oleh Rasyad tersebut, timbullah keinginan dari
murid-murid Haji Rasul untuk membentuk sebuah organisasi. Untuk itu,
disepakatilah membentuk sebuah organisasi murid- 17 murid dengan nama
‗Persaiyoan‗. Tujuan utama dari organisasi ini adalah untuk memudahkan
murid dalam mendapatkan kebutuhan harian mereka dengan harga yang murah
dan dengan pembayaran yang longgar. Sejak itu berdirilah sebuah organisasi
yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi. Organisasi ini membentuk suatu
badan usaha yang menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok para murid
sehari-hari, seperti sabun mandi dan sabun cuci. Kemudian disediakan juga
buku tulis dan pensil, sehingga akhirnya Persaiyoan populer dengan sebutan
Perkumpulan Sabun.‖ (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2005: 243) Setelah
perkumpulan ini berjalan, salah seorang murid Haji Rasul, yaitu Hasyim
berusaha mengembangkannya. Atas usahanya, semua keperluan murid
dilengkapi. Usaha ditambah dengan pelayanan gunting rambut, menjahit
pakaian, mencuci, setrika dan keperluan harian lainnya. Menurut Datuk
Palimo Kayo, tahun 1918, Perkumpulan Sabun tersebut kemudian berubah
menjadi Thuwailib, yang kemudian menjadi nama sebuah perguruan
termasyhur. Karena murid-murid Haji Rasul di Surau Jembatan Besi umumnya
berasal dari luar Padang Panjang, bahkan banyak pula yang dari daerah lain di
pulau Sumatera, maka Zainuddin Labay El-Yunusi menambah nama Thawalib
dengan kata Sumatera, sehingga menjadi Sumatera Thawalib. Demikian juga
pengajian di surau Jembatan Besi disesuaikan namanya dengan Sumatera
Thawalib dan ditempatkan di bawah pengawasan satu pengurus sekolah yang
anggotanya terdiri dari tamatan surau Jembatan Besi, guru-guru muda dan
pedagang—pedagang di sekitar Padang Panjang (Datuk Palimo Kayo, 1970:
7).
4. Kitab Pegangan Guru dan Murid (Rujukan)
Pembaharuan dalam kurikulum membawa perubahan dalam kitab rujukan.
Pada tahun 1920 Haji Rasul melakukan pembaharuan dalam kitab-kitab
rujukan di Perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Haji Rasul mulai
menukar kitab-kitab yang dipakai selama ini dengan kitabkitab baru, terutama
bagi murid-murid kelas 7. di kelas 7 ini kitab Bidayat al-Mujtahid karangan
Ibnu Rusyd mulai diajarkan, demikian juga kitab-kitab yang lain, seperti Ushul
al-Ma‗mul, Al-Muhazzab, dan sebagainya.

Menurut Taufik Abdullah, pemakaian kitab-kitab baru ini, sudah mulai


dilaksanakan pada pertengahan tahun 1920. Murid-murid kelas rendah,
disamping masih mempelajari kitab-kitab lama, juga harus dilengkapinya
dengan buku-buku karangan Haji Rasul dan kawan-kawannya. Murid-murid
kelas 6 dan 7, mempelajari buku-buku karangan para ulama dan filosof Islam
seperti: Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan sebagainya. Untuk
pelajarannya Tafsir, dipakai tafsir karangan Muhammad Abduh, Al-Manar,
yang didatangkan dari Mesir. Mulai saat itu, Perguruan Thawalib Padang
Panjang dianggap sudah menampilkan dirinya menjadi sekolah agama Islam
modern (Mustafa, 1998: 72). Suatu perubahan besar yang dilakukan Haji
Rasul dalam bidang penyediaan sarana dan prasarana belajar adalah mengganti
kitab Dhammun dan Al-‗Awamil yang ditulis tangan dengan kitab-kitab yang
sudah dicetak (Mustafa, 1998: 72).
Dengan demikian, dalam proses pembelajaran Haji Rasul tidak menggunakan
kitab-kitab yang ditulis tangan, sebagaimana yang banyak digunakan dalam
sistem tradisional melainkan kitab yang sudah dipelajari sudah dicetak. Pada
mulanya, kitab-kitab yang dicetak itu dibeli dari orangorang yang kembali dari
Mekkah dan Singapura. Akan tetapi kemudian karena pemakaiannya sudah
berkembang, maka toko kepunyaan Syekh.Ahmad Al-Khalidi di Bukittinggi
memesan langsung kitab-kitab tersebut ke Mesir. Kemudian diikuti oleh toko-
toko buku lainnya. Sejak itulah beredarlah kitab-kitab agama yang datang dari
Mesir, demikian juga dengan majalah-majalah yang membawa aliran baru,
seperti Al-Manar (Mustafa, 1998: 72). Di antara kitab-kitab yang dipakai oleh
Haji Rasul adalah: a. Darul Fiqiah b. Fiqhul Wadih c. Mu‗inul Mubin/Al-
Muhazzab d. Bidayat al-Mujtahid e. Mabadi al-Arabiyyah f. Durus an-
Nahwiyah g. Qawaid al-Lughah al-Arabiyah h. Nahwu Wadih 19 i. Balaghah
Al-Wadhihah/Jawahirul Balaghah j. Durus al-Lughah al-
‗Arabiyah11.Muthalaah Haditsah k. Qiraatur Rasyidah l. Muhadatsah
Arabiyyah m. Durusut Tauhid/Jawahirul Kalamiyah n. Husnul Hamidiyah o.
Risalatut Taudhi p. Khazin q. Tafsir Muhammad Abduh r. Hadits
Arbain/Jawahirul Bukhari s. Mutsthalah Hadits t. Mantiqul Hadits u.
Muzakhirat Ushul Fiqh/As-Sullam v. Albayan/Husulul Nakmul (Daya, 1990:
114).

Memperhatikan kitab-kitab yang dipergunakan oleh Haji Rasul dalam


mengajarkan kurikulum ilmu-ilmu agama kepada muridnya, jelaslah bahwa
beliau telah berusaha memberikan ilmu yang dalam dan wawasan yang luas
kepada muridnya. Dengan kurikulum dan kitab-kitab yang digunakan, terlihat
betapa Haji Rasul berusaha menyebarkan paham-paham baru dalam bidang
pendidikan Islam. Pemakaian kitab-kitab klasik dan modern ini
memperlihatkan sasaran yang hendak dituju oleh Haji Rasul, yaitu
pengembangan intelektual dengan memberikan kesempatan melakukan ijtihad
serta membuka diri untuk menerima pemikiran baru dan perubahan sesuai
dengan kemajuan zaman. Disamping itu, Haji Rasul juga memakai kitab-kitab
karangannya sendiri dan karangan asistennya. Kitab-kitab karangan beliau dan
asistennya ini terutama dipakai untuk kelas permulaan. Di antara asistennya
yang mengarang kitab adalah:  Zainuddin Labay El-Yunusi, mengarang kitab
Durusul Fihiyyah untuk menggantikan kitab Fathul Qarib, kitab Mabad‗i
Arabiyyah, dan lain-lain  Angku Mudo Abdul Hamid Hakim, mengarang
kitab: Mu‗in AlMubin, As-Sullam, Al-Bayan, Tahdzibul Akhlaq, dan lain-
lain. 20  Abdurrahmim Al-Manafi, mengarang kitab: Mabadi‗ Ilmu Nahwi,
Mabadi‗ Ilmu Sharaf, al-Tashil, LubabulFiqhi, Al-Huda, Asasul Adab, dan
lain-lain (Yunus: 45). Demikianlah beberapa pemikiran dalam sistem
pendidikan Islam yang dibawa Haji Abdul Karim Amarullah, yang lebih
dikenal dengan Haji Rasul. Dengan sistem pendidikan baru yang
dikembangkannya, telah melahirkan suatu revolusi mental, kemerdekaan
berfikir, wawasan yang luas, semangat kreativitas, dan sebagainya dari
muridmuridnya, sehingga pada gilirannya terdorong untuk melawan
penjajahan Belanda.
b) Abdullah Ahmad adalah seorang pembaharu pendidikan islam, pendiri Perguruan
Adabiah di Padang dan merupakan pelopor pendidikan madrasah di Indonesia.
Oleh Profesor Abudin Nata, Abdullah Ahmad dimasukkan diantara 21 tokoh-tokoh
pembaruan pendidikan islam di Indonesia. Kiprah dan pemikirannya disejajarkan
dengan K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy‘ari, dan Ki Hajar Dewantara.

Konsep Pendidikan Abdullah Ahmad Konsep atau ide-ide yang dikemukakan


Abdullah Ahmad paling kurang meliputi tiga aspek yang fundamental, yaitu aspek
kelembagaan, aspek metode, dan aspek kurikulum. Ketiga aspek ini dapat
dikemukakan sebagai berikut : 1. Aspek kelembagaan Salah satu ide pembaharuan
pendidikan yang dibawa oleh Abdullah Ahmad adalah bidang kelembagaan atau
institusi pendidikan. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Abdullah
mendirikan Sekolah Adabiyah. Untuk mendirikan sekolah ini ia menghubungi
beberapa orang yang memiliki pendidikan guru dan juga menghubungi dari
kalangan ulama. 8 Untuk mendukung kegiatan lembaga ini, Abdullah merekrut
para pegawai yang berjiwa kebangsaan, yaitu mereka yang memiliki legalitas
terhadap pemerintah Belanda dengan tujuan untuk menghilangkan kecurigaan
pemerintah Belanda. Pada tahun 1915 corak pendidikan Adabiyah diubah menjadi
Holands Maleische School (HMS) atau Hollands Inlandsch School (HIS), yaitu
tingkat pendidikan setaraf dengan Sekolah Dasar (SD) seperti yang ada sekarang.
Di Adabiyah School diajarkan pelajaran agama dan Al-Qur‘an sebagai mata
pelajaran wajib, juga diajarkan pengetahuan umum. Dengan adanya perubahan
tersebut, Adabiyah School mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, yaitu
berupa dana dan tenaga guru. Pada perkembangan selanjutnya, jenjang pendidikan
sekolah ini bertambah dengan berdirinya Taman Kanak-kanak (TK), SD, SMP, dan
SMA bahkan ada pula Sekolah Tinggi Administrasi Islam (STAI) serta
laboratorium komputer. Kemodernan Lembaga pendidikan Adabiyah ditandai oleh
adanya sikap keterbukaan kepada para siswa yang berasal dari berbagai golongan
untuk belajar di Adabiyah ini tapi dengan syarat beragama Islam dan dipilihnya
guru-guru yang berbobot, setara dengan guru yang mengajar di sekolah Belanda. 2.
Aspek Metode Pengajaran Metode debating club adalah metode yang diterapkan
oleh Abdullah Ahmad atau yang dikenal dengan nama metode diskusi merupakan
metode yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada murid untuk bertanya
dan berdialog secara terbuka tentang berbagai hal. Hal ini dilakukan sebagai upaya
mengubah cara lama yang menempatkan para siswa secara pasif dan kurang
diberikan kebebasan, sementara waktu dipergunakan lebih banyak oleh guru.
Selain itu, Abdullah Ahmad mengajukan metode pemberian hadiah dan hukuman
sebagaimana yang berkembang saat ini. Menurutnya, bahwa pujian perlu diberikan
guru bila anak didiknya memiliki akhlak yang mulia dan jika perlu diberikan
hadiah. Bersamaan dengan itu, hukuman juga perlu diberikan jika anak didik
bersikap sebaliknya. Namun hukuman ini tidak perlu diberikan secara kasar,
karena hukuman semacam ini dapat menghilangkan keberanian yang ada pada diri
anak. Metode lainnya yang perlu diterapkan menurut Abdullah adalah metode
bermain dan rekreasi. Menurutnya bahwa anak-anak perlu diberi waktu untuk 9
bermain dan bersenang-senang serta beristirahat dalam proses belajar mengajar
yang sedang berlangsung. Karena jika tidak ada waktu beristirahat, dapat merusak
prilaku anak yang semula baik, karena bosan dengan kegiatan yang banyak
menguras daya pikirnya. Akibat lainnya, hatinya akan mati, pemahamannya
terhadap bahan pelajaran yang diberikan akan tumpul serta cahaya akalnya akan
padam. 3. Aspek Kurikulum Rencana pelajaran yang dalam bahasa sekarang
disebut kurikulum dijadikan sebagai kerangka kerja sistematis dalam suatu
kegiatan pengajaran modern. Pada lembaga pendidikan tradisional kurikulum tidak
disusun secara tersendiri, melainkan dengan cara mengajarkan kitab-kitab yang
diajarkan oleh kyai kepada para santrinya. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumya, bahwa sekolah Adabiyah bercorak agama dengan sistim modern. Dari
kurikulum yang diterapkan oleh Abdullah adalah konsep kurikulum pendidikan
Integrated (Integrated Curriculum of Education), yaitu terpadunya antara
pengetahuan umum dengan pengetahuan agama serta bahasa dalam program
pendidikan.

c) Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah (26 Oktober 1900 – 26


Februari 1969) adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang
kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat
ini meliputi taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi. Sewaktu Revolusi Nasional
Indonesia, ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di
Padang Panjang serta menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat
senjata mereka.
Konsep pendidikan menurut Rahmah Elyunusiyah Konsepsi pendidikan Rahmah
ialah pendidikan untuk semua, baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya,
laki-laki dan perempuan yang membedakannya hanyalah taqwa (dalam QS. 49:13).
Prinsip ini terrealisasi dalam Madrasah Diniyah Putri dengan menggunakan sistim
modern yaitu mengakomodir kurikulum umum untuk diajarkan di sekolah. Secara
konfrehensif, Rahmah el-Yunisiyah terlihat jelas dalam konsep ‗tri tunggal
pendidikan perempuan‘ yaitu pendidikan di sekolah, pendidikan di asrama, dan
pendidikan di masyarakat. Modernisasi kurikulum yang dilakukan rahmah adalah
dengan memasukkan mata pelajaran umum pada institusi yang dilakukannya.
Inspirator dari sikapnya yang akomodatif terhadap ilmu pengetahuan umum dan
mengintegralkannya dengan ilmu pengetahuan agamahal ini sesuai dengan apa
yang ditawarkan Muhammad Abduh di Mesir. Pembaharuan lain yang ditawarkan
Rahmah melalui madrasah diniyah putrid adalah menyeimbangkan aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik dalam aktifitas proses pendidikan. Hal ini tampak dari
usahanya untuk memberikan pendidikan keterampilan praktis bagi kaum
perempuan. Keterampilan tersebut antara lain : keterampilan memasak, bertenun,
industry rumah tangga, olah raga dan p3k kepada peserta didiknya. Jika pemikiran
yang dilakukan ini dilihat dari perspektif filsafat pendidikan islam maka terlihat
bahwa langkah pembaharuannya merupakan perwujudan teori equilibrium.
C. Perkembangan Madrasah Diniyah Putri Madrasah Diniyah lil Banat (sekolah
agama untuk anak-anak wanita) didirikan Rahmah el-Yunusiyah pada tanggal 1
November 1923. Rahmah mampu memimpin dan mengembangkannya secara
mandiri dengan semangat pembaharuan pendidikan yang diletakkan Labay
(kakaknya). Deliar Noer memandang Rahmah sebagai penerus cita–cita Labay.
Secara bertahap Rahmah membenahi sistem pengajaran Diniyah School Putri, baik
dari segi kurikulum maupun metode. Di samping itu dengan segala kekuatan yang
dimiliki ia mengupayakan pengadaan sarana dan prasarana pendidikannya. Di
samping mendirikan Diniyah School Putri, Rahmah juga mendirikan Menyesal
School, yaitu sekolah pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu rumah tangga.
4 Sekolah ini didirikan pada tahun 1925 dan berlangsung selama tujuh tahun yaitu
sampai tahun 1932. Kemudian sekolah ini tidak dilanjutkan. Untuk
menyebarluaskan cita-cita pendidikannya, ia mengadakan perjalanan berkeliling ke
daerah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi dan Seme-nanjung Malaya (tahun
1928 dan tahun 1934). Pada tahun 1935 ia mendirikan tiga buah perguruan putri di
Batavia (Jakarta), yaitu di Kwitang, Jatinegara, dan di Tanah Abang. Pada masa
pendudukan Jepang, perguruan tersebut tidak dapat di teruskan. Menjelang
berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, Rahmah sempat pula mendirikan
empat buah lembaga pendidikan putri baru lainnya sebagai pengganti lembaga
pendidikan terdahulu. Pada tahun 1938 ia mendirikan Yunior Institut Putri, sebuah
sekolah umum setingkat dengan Sekolah Rakyat pada masa penjajahan Belanda
atau Vervolgschool, Islamitisch Hollandse School (HIS) setingkat dengan HIS
(Hollandsch Inlandse School), yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa
Belanda, sekolah DAMAI (Sekolah Dasar Masyarakat Indonesia) dan Kulliyatul
Mu‘allimin El Islamiyah (KMI), sekolah Guru Agama Putra pada tahun 1940. KMI
Putra ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan guru–guru agama
putra yang banyak didirikan oleh masyarakat di Sumatera Barat. Pada zaman
Jepang keempat lembaga pendidikan putri tersebut tidak dapat diteruskan. Pada
tahun 1947 Rahmah mendirikan empat buah lembaga pendidikan agama putri
dalam bentuk lain, yaitu Diniyah Rendah Putri (SDR) lama pendidikannya tujuh
tahun, setingkat dengan Sekolah Dasar enam tahun yang didirikan oleh pemerintah,
Sekolah Diniyah Menengah Pertama Putri Bagian A Tiga Tahun (DMP Bagian A),
Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B Lima Tahun (DMP Bagian B), dan
Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian C Dua Tahun (DMP Bagian C). Tiga
buah sekolah yang disebut terakhir setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama
( SMP ) dengan bidang studi agama dan bahasa Arab menjadi mata pelajaran
pokok. Tahun 1964, Rahmah mendirikan Akademi Diniyah Putri yang lama
pendidikannya tiga tahun. Tanggal 22 November 1967, Akademi ini dijadikan
Fakultas Dirasat Islamiyah dan merupakan fakultas dari Perguruan Tinggi Diniyah
Putri. Fakultas ini ―diakui‖ sama dengan Fakultas Ushuluddin Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) untuk tingkat Sarjana Muda dengan SK Menteri Agama RI
No. 117 tahun 1967. 5 Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Rahmah menganut
sistem pendidikan terpadu, yaitu : memadukan pendidkan yang diperoleh dari
rumah tangga, pendidikan yang diterima sekolah dan pendidikan yang diperoleh
dari masyarakat di dalam pendidikan asrama. Dengan sistem terpadu ini, teori ilmu
pengetahuan dan agama serta pengalaman yang dibawa oleh masing–masing murid
dipraktekkan dan disempurnakan dalam pendidikan asrama di bawah asuhan guru–
guru asrama. Kurikulum di sekolah-sekolah Rahmah terdiri dari kelompok bidang
studi agama, bahasa Arab, ilmu pengetahuan dan kelompok bidang studi ini di
orientasikan kepada pembentukan pribadi muslimah dan kualitas diri. Dewasa ini
lembaga pendidikan yang dikelola oleh para penerusnya adalah Sekolah Diniyah
Menengah Pertama Bagian B dan C, Kulliyatul Mu‘allimat el- Islamiyah dan
perguruan Diniyah Putri. Seperti sekolah–sekolah Islam kontemporer lainnya di
Sumatera Barat, Diniyah Putri menawarkan tiga ijasah: satu miliknya sendiri, satu
untuk pendidikan sekolah umum, dan satu pendidikan Islam yang diakui oleh
pemerintah. Sehingga siswa-siswa memenuhi syarat untuk masuk ke universitas
umum maupun universitas Islam. Di lingkungan Diniyah Putri, corak saling
melengkapi antara adat dan Islam ditekankan. Dalam perspektif yang didukung
oleh kaum modernis Minang, tatanan sosial dan adat membentuk tatanan moral
yang dilegitimasikan oleh Islam. Dalam tatanan suci ini ,adat dan Islam dipandang
menyatu bukan dari segi yang spesifik, melainkan dari segi kandungan dan
semangatnya. Rahmah mengutamakan bidang pendidikan di atas kepentingan
lainnya, meskipun di kemudian hari ia juga berkiprah di dunia politik. Atas dasar
ini ia menempatkan sekolah secara independen, bebas dari afiliasi dengan ormas
atau orpol manapun. Setahun sebelum Muhammadiyah memasuki Minangkabau,
Diniyah School Putri diajak bergabung dengan organisasi sosial–keagamaan dan
disarankan agar namanya diganti dengan Asyiyah School atau Fatimiyah School.
Namun saran tersebut tidak di terima oleh para guru diniyah School Putri.
Independensi sekolah ini juga ditunjukkan saat diselenggarakan permusyawaratan
besar guru-guru agama Islam se-Minangkabau yang ada di bawah Permi di padang
panjang pada tahun 1931. Wakil dari guru Diniyah School Putra maupun Putri
yang datang sebagai pendengar dan tidak memberi respons; tidak ada seorang pun
dari guru-guru sekolah ini yang duduk di Dewan Pengajaran Permi yang bertugas
untuk menyatukan pelajaran sekolah-sekolah Islam. Sebagai pemimpin Permi,
Mukhtar Lutfi mempertanyakan hal tersebut. Rahmah pun mengemukakan
pendapatnya, 6 ―Biarkan perguruan ini terasing selama-lamanya dari partai
politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggungan orang banyak
(umum), sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam warna dan ragam,
tapi untuk perguruan dan penanggung jawab atasnya haruslah mereka itu satu
adanya‖ . Lebih jauh independensi sekolah ini juga ditunjukkan Rahmah ketika dia
menolak upaya penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau oleh
Mahmud Yunus. Seperti diketahui, pada tahun 1930-an ini pembaharuan sekolah
agama berkembang pesat, namun tidak ada keseragaman program atau buku
standar yang digunakan. Melihat keadan ini Mahmud Yunus alumni Universitas
Cairo yang saat itu menjadi Direktur Normal School, ingin menerapkan konsep
pembaharuan pendidikannya dan memprakarsai pembentukan Panitia Islah al-
Madaris al- Islamiyah Sumatera Barat. Namun Rahmah tetap teguh pada pendirian
independensi sekolahnya, maka ia menolak keras ide itu. Menurutnya, lebih baik
memelihara satu saja tapi terawat daripada bergabung tapi porak poranda. Diniyah
School pun tidak akan terikat dengan keputusan permusyawaratan itu. Kondisi
sekolah-sekolah agama tersebut masih seperti semula hingga 1936, yakni setelah
konferensi seluruh organisasi berhasil dalam standarisasi sekolahsekolah agama
kaum muda. Berhadapan dengan politik kolonialisme pemerintahan Belanda,
Rahmah memilih sikap nonkooperatif dalam memperjuangkan kelangsungan
sekolah yang dipimpinnya. Atas dasar sikap ini, ia menolak bekerja sama dengan
Belanda termasuk dalam hal pemberian subsidi yang berulangkali ditawarkan.
Subsidi pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan
keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan
Diniyah School Putri ini. Kondisi seperti itu telah di alami Adabiyah School yang
pada tahun 1915 menerima subsidi pemerintah kolonial.
5. Jelaskan permasalahan pendidikan Islam di pesantren dan madrasah (Problema dan
solusi)
Problem Pendidikan Pesantren Serta Solusinya
Jauh sebelum kolonialisme hadir di bumi Nusantara, sesungguhnya pendidikan di
bumi khatulistiwa ini sudah sangat maju, meskipun belum terlembagakan. Namun
untuk ukuran zaman masa itu pendidikan ala orang-orang Nusantara sudah terbilang
sangat maju. Pendidikan yang berorientasi pada pengajaran dan penanaman nilai-nilai
keagamaan tersebut kemudian hari oleh para peneliti disebut dan dinamakan pondok
pesantren.

Seiring perkembangan zaman, problem yang dihadapi oleh pesantren semakin


kompleks. Pesantren dituntut untuk bersaing dengan lembaga pendidikan umum yang
lebih modern. Jumlah pesantren di Indonesia terus mengalami peningkatan yang
sangat pesat. Sayangnya, peningkatan jumlah tersebut tidak diiringi dengan
peningkatan kualitas dan mutu pesantren. Bahkan pendidikan di pesantren mengalami
kemerosotan yang tajam. Hal ini disebabkan banyak pesantren khususnya pesantren
modern lebih mengutamakan pendidikan formalnya daripada pendidikan diniyahnya.
Jadi, jangan heran jika ada santri yang mondok tiga sampai enam tahun tetapi tidak
bisa membaca kitab. Meskipun demikian, tidak semua pesantren mengedepankan
pendidikan formalnya daripada pendidikan diniyahnya. Saat ini sangat sulit
menemukan pesantren yang benar-benar produktif dalam mencetak santrinya.

Faktor lainnya yaitu kiai sibuk kampanye partai dan calegnya, sampai-sampai
menganak tirikan para santrinya. Sehingga kiai tidak lagi mberkahi santrinya. Berbeda
dengan kiai dulu yang lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengurus pesantren
dan para santrinya. Pada saat ini sangat sulit mencari pesantren yang dapat
memberikan pendidikan formal dan Diniyah yang seimbang.

Dari berbagai problematika pendidikan di atas, penulis mencoba memberikan solusi


alternatif, di antaranya adalah:

Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum (Darda,
2015), ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas untuk dinilai. Ilmu tidak memedulikan
agama dan agama tidak memedulikan ilmu, itulah sebabnya diperlukan adanya
pencerahan dan mengupayakan integralisasi keilmuan.

Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola parstisipatif antara ustadz
dengan santri. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis,
dinamis, inovatif dan memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat
mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan.

Adanya peningkatan profesionalisme asatidz yang meliputi kompetensi personal,


kompetensi paedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Sehingga
dengan pemenuhan kompetensi inilah seorang pendidik mampu menemukan metode
yang diharapkan sesuai harapan dalam kajian epistemologi. Juga kualitas pesantren
serta stake holders terkait merasakan perkembangannya yang bermula pada
peningkatan kualitas para asatidz(Natsir, 2007).

Perlunya peningkatan kualitas dan mutu pesantren (lembaga) sehingga tujuan


pendidikan yang diharapkan dapat tercapai, serta dapat menghasilkan SDM yang
berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman.

Pesantren harus dapat menyeimbangkan antara pendidikan formal dan pendidikan


Diniyah. Tidak hanya mengutamakan pendidikan formalnya, tetapi harus dapat
seimbang.

Kyai sebagai tokoh sentral pondok pesantren harus mengutamakan pesantren serta
santri yang diasuhnya, jangan sampai menganaktirikan pesantren dan para santrinya.
Sebagaimana yang diketahui saat ini, Kyai yang memiliki banyak jamaah, sehingga
terkadang didorong oleh jamaahnya untuk terjun dalam kancah perpolitikan dan
perhatiannya terhadap pesantren sendiri sangat sulit untuk dibagi(Syam, n.d.).

Sehingga pesantren yang pada saat ini mampu mengikuti arus perkembangan yang
sangat luar biasa, perlu kiranya memperhatikan kurikulum, sarana dan prasarana
pesantren, SDM (dewan asatidz dll), manajemen pesantren yang tanpa meninggalkan
pendidikan formal serta kebutuhan absolut akan perhatian Kyai sebagai figur utama
pesantren yang menjadi pembeda dari lembaga pendidikan lainnya.
Analisis Permasalahan Pendidikan Islam di Madrasah
a) Analisis siswa atau peserta didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui pembelajaran yang tersedia pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Omar Hamalik di kutip dari Ari Hidayat dan Imam Mahali mendefinisikan peserta
didik sebagai suatu kompenen masukan dalam sistem pendidikan yang selanjutnya
diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia berkualitas.
Adapun tahapan-tahapan pengelolan peserta didik menuurut Ari Hidayat dan Imam
Machali adalah sebagai berikut:
 Analisis kebutuhan peserta didik.
 Rekruitmen peserta didik.
 Seleksi peserta didik.
 Orientasi.
 Penempatan peserta didik.
 Pembinaan dan penagembangan peserta didik.
 Pencatatan dan pelaporan.
 Kelulusan dan Alumni.

Oleh karena itu, manajemen kesiswaan pendidikan Islam bila dilihat dari segi tahapan
dalam masa studi di sekolah/madrasah dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu,
penerimaan siswa baru, preoses pembelajaran dan persiapan studi lanjut atau bekerja.
Dengan istilah lain, tiga tahapan tersebut dapat disebut dengan tahapan penjaringan,
pemprosesan dan pendistribusian. Semua tahapan tersebut membutuhkan pengelolaan
secara maksimal agar mendapatkan hasil yang maksimal pula.

b) Analisis tenaga kependidikan


USPN No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara. Tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain
yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan. Sedangkan tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Peranan guru yang sangat penting tersebut bisa menjadi potensi besar dalam
memajukan atau meningkatkan mutu pendidikan Islam, atau sebaliknya bisa juga
menghancurkannya. Ketika guru benar-benar berlaku profesional dan dapat
mengelola pendidikan dengan baik, tentunya mereka semakin bersemangat dalam
menjalnkan tugasnya bahkan rela melakukan inovasi pembelajarn untuk kesuksesan
pembelajaran peserta didik (Qomar, 2010).

c) Analisis sarana fisik sekolah


Sarana pendidikan adalah segala sesuatu yang meliputi peralatan dan perlengkapan
yang langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah seperti gedung,
ruangan, meja, kursi, alat peraga, buku pelajaran dan lain-lain. Sedangkan prasarana
semua kompenen yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses
pembelajaran di lembaga pendidikan tersebut seperti jalan menuju sekolah, halaman
sekolah, tata tertip sekolah dan lain-lain.
Oleh karena itu, sarana dan prasarana pendidikan Islam seharusnya
diupayakan semaksimal mungkin agar lembaga pendidikan Islam Memiliki daya tarik
yang khas. Jika terjadi demikian, maka posisi tawar lembaga tersebut terhadap
masyarakat sekitar sangatlah tinggi. Hal ini mungkin terjadi jika sarana dan prasarana
ini mendapat perhatian besar dari manajer pendidikan Islam mulai tahap perencanaan
sampai pada perawatan /pemeliharaan.

d) Analisis kurikulum
Materi pendidikan dan proses belajar mengajar Selama ini kurikulum di
anggap sebagai penentu keberhasilan pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Karena
itu, perhatian para guru, dosen, kepala sekolah/madrasah, ketua rektor, maupun
praktisi pendidikan terkonsentrasi pada kurikulum. Padahal kurikulum bukanlah
penentu utama. Dalam kasus pendidikan di Indonesia misalnya. Problem yang paling
besar di hadapi bangsa ini sesungguhnya bukan problem kurikulum, meskipun bukan
berarti kurikulum tidak menimbulkan problem, namun masalah kesadaran merupakan
masalah yang besar. Yaitu lemahnya kesadaran untuk berprestasi, kesadaran untuk
sukses, kesadaran untuk meningkatkan SDM, kesadaran untuk menghilangkan
kebodohan, maupun kesadaran untuk berbuat yang terbaik (Qomar, 2010).

Menurut Mujamil Qomar yang dikutip dari Al-Syaibani mengutarakan beberapa


ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam, yaitu :
a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada sebagi tujuan, kandungan, metode
alat dan tekniknya.
b. Memiliki perhatian yang luas dan kandungan yang menyeluruh.
c. Memiliki keseimbangan antara kandungan kurikulum dari segi ilmu dan seni,
kemestian, pengalaman dan kegiatan pengajaran yang beragam.
d. Berkecendrungan pada seni halus, aktivitas pendiddkan, jasmani, latihan militer,
pengetahuan teknik latihan kejuruan dan bahasa asing untuk perorangan maupun
mereka yang memiliki kesediaan, bakat dan keinginan.
e. Keterkaitan kurikulum dengan kesediaan, minat, kemampuan, kebutuhan, dan
perbedaan perorangan di antara mereka.

Ciri-ciri ini menggambarkan adanya berbagai tuntutan yang harus ada dalam
kurikulum pendidikan Islam. Tuntutan ini terus berkembang sesuai dengan tantangan
zaman yang sedang dihadapi. Tantangan pendidikan Islam dizaman sekarang tentu
sangat berbeda dengan zaman klasik dulu. Tantangan dizaman sekarang tentu lebih
kompleks. Kurikulum pendidikan harus dirancang dengan sebagus mungkin untuk
menghasilkan output yang memuaskan.

e) Analisis administrasi dan keuangan sekolah


Selama ini ada kesan bahwa keuangan adalah segalanya dalam memajukan suatu
lembaga pendidikan. Tanpa dukungan finasial yang cukup, manajer lembaga
pendidikan seakan tidak bisa berbuat banyak dalam upaya memajukan lembaga
pendidikan yang dipimpinnya. Sebab mereka berpikir semua upaya memajukan
senantiasa harus dimodali dengan uang. Upaya memajukan kompenen-kompenen
pendidikan tanpa disertai dukungan uang akan pasti mandek atau macet di tengah
jalan. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan timbulnya perhatian yang besar
pada keuangan yaitu (Mulyasa, E, 2013) :
1. Keuangan temaasuk kunci penentu kelangsungan dan kemajuan lembaga
pendidikan. Kenyataan ini mengandung konsekuensi bahwa programprogram
pembaruan atau pengembangan pendidikan bisa gagal dan berantakan manakala
tidak didukung oleh Ldana yang memadai.
2. Lazimnya uang dalam jumlah besar sulit sekali didapatkan khususnya lembaga
pendidikan swasta yang baru berdiri.

f) Analisis lingkungan sosial masyarakat


Lembaga pendidikan Islam perlu menangani masyarakat atau hubungan
lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat. Kita harus menyadari bahwa
masyarakat memiliki peranan yang sangat penting terhadap keberadaan,
keberlangsungan bahkan kemajuan lembaga pendidikan Islam. Setidaknya salah satu
parameter penentu nasib lembaga pendidikan Islam adalah masyarakat. Bila ada
lembaga pendidikan Islam maju, hampir bisa dipastikan salah satu faktor keberhasilan
adalah keterlibatan masyarakat yang maksimal. Begitu pula sebaliknya, bila ada
lembaga pendidikan Islam yang memperihatinkan, salah satu penyebabnya bisa jadi
masyarakat enggang mendukung. Sikap masyarakat ini bisa jadi akibat dari hal lain
dalam kaitannya dengan lembaga pendidikan Islam, baik yang bersifat internal
maupun eksternal. Masyarakat memiliki posisi ganda dalam lembaga pendidikan
Islam, yaitu sebagai objek dan sebagi subjek yang keduanya memiliki makna
fungsional bagi pengadaan lembaga pendidikan Islam. Ketika lembaga pendidikan
Islam sedang melakukan promosi penerimaan siswa/santri dan mahasiswa baru maka
masyarakat menjadi objek mutlak di butuhkan. Sementara itu respon terhadap
promosi itu menempatkan mereka sebagai subjek yang memiliki kewenangan penuh
untuk menerima atau menolaknya.

g) Analisis peranan pemerintah dan Yayasan


Dalam menghadapi kebijakan pemerintah yang dinilai kurang berpihak pada
pengembangan lembaga pendidikan, pengelola harus mampu memiliki jiwa untuk
berbesar dan menanggung apa yang terjadi di kemudian hari terhadap terhadap kebijakan
tersebut (Prasetyo, 2011).
Umumnya ketidak sesuaian kebijakan dengan apa yang ada di atas kertas dengan apa
yang ada di lapangan dikarenakan tidak adanya kebijakan pendukung. Misalnya seperti
penerapan kebijakan dalam menjalankan standar nasional pendidikan dalam bidang
proses pembelajaran seperti yang tertuang dalam permendiknas No. 22,23 dan 24 tahun
2006, sekolah atau madrasah melaksanakan proses pembelajaran yang terencana
dibuktikan dengan adanya para guru yang membuat silabus dan RPP. Kebijakan ini
sebenarnya adalah langkah maju yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya
pembelajaran yang efektif. Namun awalnya kebijakan ini juga berjalan tersendak-sendak
dikarenakan ketika menerima kebijakan tersebut para pengelola madrasah merasa
kelebihan karena kebijakan tersebut tidak di ikuti dengan kebijakan pendukung seperti
pengadaan pelatihan pembuatan silabus dan RPP yang merata diseluruh Indonesia,
bantuan dana serta teknologi informasi dan komunikasi yang berkaitan dengan hal
tersebut.

6. Jelaskan permasalahan pendidikan Islam di Sekolah (Problema dan solusi)


Dalam pelaksanaan Pendidikan Agama islam di sekolah, banyak sekali muncul problema-
problema dan solusinya. 1. Manajemen sekolah (peranan kepala sekolah dan guru selain guru
agama) permasalahan dalam manajeman: kurang aktifnya kepala sekolah dan guru selain
guru agama dalam memberikan pelayanan pendidikan agama Islam yang memadai untuk
peserta didik. Solusinya: a. Menyadarkan pihak manajemen tentang pentingnya memberikan
pelayanan pendidikan agama Islam yang menandai untuk peserta didik. b. Menyadarkan
pihak manajemen tentang kewajiban memberikan pelayanan pendidikan agama Islam yang
memadai untuk peserta didik 2. Kompetensi tenaga pendidik Kurangnya keteladanan,
kurangnya kemampuan menguasai materi, kurangnya kemampuan dalam mengelola kelas,
kurangnya rasa tanggung jawab, evaluasi hanya berorientasi terhadap penilaian kognitif.
Solusinya: a. Menggalakan program-program penigkatan kemampuan guru seperti pemberian
beasiswa untuk melanjutkan studi, melaksanaan diklat-diklat. b. Evaluasi mencakup penilaian
kognitif, afktif dan psikomotorik. 3. Peserta didik Kurannya minat belajar agama, adanya
perbedaan tingkat pemahaman, pengalaman serta penghayatan nilai agama di antara peserta
didik. Solusinya: a. Semua pihak (stekholder) berusaha menyadarkan pserta didik akan
pentingnya pelajaran agama Islam.

b. Pemisahan peserta didik dan mengelompokkan mereka berdasarkan tingkat kemampuan


yang sama. 4. Dukungan Orang Tua Permasalahan yang berkaitan dengan orang tua
diantaranya adalah kurangnya rasa tanggug jawab dan kepeduliaan terhadap pendidkan
agama anaknya. Adapun solusi yang ditawarkan pihak sekolah sering mengajak POM
(persatuan orangtua murid) dalam membahas prolematika pendidikan agama disekolah. 5.
Sarana dan prasarana Kurangnya lengkapnya sarana dan prasarana, kurannya rasa tanggung
jawab dan loyalitas civitas akadenik dalam merawat dan menajag aset dan sarpas sekolah.
Solusinya: a. Pemberdayaab semua pihak terkait (stakeholder) untuk ikut menaggulangi
kekurangan sarana dan prasarana disekolah. b. Pemberian arahan yang berkeseinambungan
kepada seluruh civitas akademik dalam perawatan aset. c. Adanya aturan pengelola aset yang
lengkap dan terlaksana dengan baik.

Kurikulum
Diantara permasalahan yang berkaitan dengan kurikulum adalah: Ruang Lingkup/Aspek
Problematika Solusi Al-Quran -Kurangnya kemampuab siswa dalam memabaca dan menulis.
-Waktu yang tersedia tidak cukupi apabila pembelajaran al-Quran ditambah -Bekerjasama
dengan TPQ dilingkungan sekolah -Dengan menambahkan pembelajaran al-Quran bagi siswa
dalam program ekstrakurikuler Al-Hadist -Kurangi materi hadist yang ada di dalam
kurikulum -Bersifat hafalan -GPAI mengembangkan materi hadist sehingga hadist yang
ditampilkan lebih beragam - Mangaitkan materi hadist dengan kehidupan sehari-hari (lebih
aplikatif) Keimanan / Aqidah -lebih bersifat pendoktrinan -bersifat kognitif -Mengaitkan
dengan kehidupan sehari-hari serta membuka dialog 5 -Memberikan pengalaan belajar
langsung sehingga mengesankan bagi siswa. Akhlak -lebih menekankan kepada kemampuan
kognitif -contoh-contoh yang diberikan lebih bersifat sosok ideal lama -Evalusi harus diubah,
yaitulebih menekankan kepada penerapan, misalnya dengan pembelajaran -Mengaitkannya
dengan sosok/tokoh masa kini Fiqih -Penilaian seringkali lebih menekankan kemapuan
kogqnitif -Kurangnya Saranaprasarana -Evaluasi juga menekankan kepada penerapan -
Bekerjasama dengan lembaga keagmaan di sektor sekolah SKI -Seringkali hanya bersifat
narasi dan hafalan -Kurangnya minat siswa -Menekankan kepada pengambilan hikmah -
Ditampilakn suasana yang menarik minat siswa, dengan mengaitkan kepada kehidupan
sehari-hari siswa

7. Jelaskan Tantangan pendidikan Islam pada era teknologi informasi (Problema dan solusi)
Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi Pendidikan Islam di zaman ini menghadapi
tantangantantangan yang serius untuk tetap eksis di dunia pendidikan. Adapun tantangannya
adalah sebagai berikut: "Pertama, orientasi dan tujuan pendidikan. Kedua, pengelolaan
(manajemen) sistem manajemen ini yang akan mempengaruhi dan mewarnai keputusan dan
kebijakan yang diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Ketiga, hasil (out put).
Bagaimana produk yang dihasilkan dari sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari kualitas
luaran (out putnya). Dalam pandangan Haidar Putra Daulay menjelaskan "tantangan
globalisasi bagi pendidikan Islam yaitu masalah kualitas. era global adalah era pesaing bebas.
Maka akan terjadi pertukaran antar negara baik resmi maupun tidak. pertukaran manusia,
barang, jasa, teknologi dan lain-lain adalah hal yang dipersaingan dalam era global ini. Untuk
itu perlu dibentuk manusia yang unggul jadi kualitas SDM sangat penting untuk menentukan
kualitas lembaga pendidikan, negara dan agama. Selain tantangan kualitas juga tantangan
moral era globalisasi banyak membawa dampak negatif generasi muda sekarang sudah
terpengaruh dengan pergaulan yang global. Hal-hal yang tidak semestinya dilakukan oleh
generasi muda seperti minum miras, menggunakan narkoba, melakukan seks bebas malahan
menjadi kebiasaan bagi mereka. moral mereka bisa dikatakan seperti moral syaitan. Mereka
hanya mengikuti hawa nafsu belaka tanpa memikirkan akibatnya. Berkenaan itu maka
pendidikan Islam harus semakin diefektifkan di lingkungan Lembaga Pendidikan Islam.

Ujian:
1. Diketik 1 spasi, font 12 times new roman
2. Dikirim dengan word
3. Dikirim ke emaail: zulmuqim@yahoo.co.id, paling lambat pukul 14.00

Anda mungkin juga menyukai