Syahrol Ma’rup
Nim : 2014070019
Kelas : PGMI.IV.A
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen : Prof. Dr. Zulmuqim, MA
Dr. Hamdilah Asran, M.Pd
Tgl/Bln/Thn : 13/06/2022
UAS:
1. Jelaskan hakikat evaluasi dalam perspektif filsafat pendidikan Islam:
a. Landandasan al-Qur`an tentang evaluasi,
Adapun Al-Qur’an sebagai sumber kehidupan yang juga menerangkan tentang
Pendidikan juga telah menyinggung terkait evaluasi Pendidikan. Berdasarkan
penelitian Dedi (2016) menegaskan bahwa istilah evaluasi tidak dijumpai dengan
kata-kata yang khusus. Namun motivasi evaluasi pendidikan dapat dijumpai nilai-
nilai pentingnya dalam al-Qur’an seperti prinsip tujuan pendidikan (QS. An-Naml
ayat 27), kontinuitas (QS. Al-Fushilat ayat 31), prinsip komprehensif (QS. Al-
Zalzalah ayat 7-8), prinsip objektifitas (QS. Al-Maidah ayat 8). Sedangkan tujuan
evaluasi pendidikan juga diungkapkan untuk menguji daya kemampuan manusia
dalam beriman pada Allah (QS. Al-Baqarah ayat 155) dan mengetahui sejauh
mana hasil pendidikan (QS. An-Naml ayat 40) (Wahyudi, 2016). Berdasarkan
dari pengertian evaluasi tersebut, maka evaluasi harus secara berkala dilakukan.
Adanya beragam sifat dasar yang dimiliki manusia dan prediksi Tuhan terkait
refleksi prilaku manusia dalam kehidupan sesuai dalam surat Fatir ayat 32,
menjadikan evaluasi sebagai instrumen wajib untuk memantau hasil dari
keberhasilan pendidikan. Maka, prediksi Tuhan bisa menjadi tolak ukur untuk
memantau jalannya evaluasi pendidikan untuk menentukan kesuksesan
pendidikan.
b. Pengertian evaluasi,
Secara harfiah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, evaluation, yang berarti
penilaian dan penaksiran. Dalam bahasa Arab, dijumpai istilah imtihan, yang
berarti ujian, dan khataman yang berarti cara menilai hasil akhir dari proses
kegiatan.Sedangkan secara istilah, ada beberapa pendapat, namun pada dasarnya
sama, hanya berbeda dalam redaksinya saja. Oemar Hamalik mengartikan
evaluasi sebagai suatu proses penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan
perkembangan peserta didik untuk tujuan pendidikan. Sementara Abudin Nata
menyatakan bahwa evaluasi sebagai proses membandingkan situasi yang ada
dengan kriteria tertentu dalam rangka mendapatkan informasi dan
menggunakannya untuk menyusun penilaian dalam rangka membuat keputusan
c. Bentuk-bentuk evaluasi,
1. Bentuk evaluasi berdasarkan tujuan
a) Evaluasi diagnostik, adalah evaluasi yang di tujukan untuk menelaah
kelemahan-kelemahan siswa beserta faktor-faktor penyebabnya.
b) Evaluasi selektif adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk memilih
siwa yang paling tepat sesuai dengan kriteria program kegiatan tertentu.
c) Evaluasi penempatan adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk
menempatkan siswa dalam program pendidikan tertentu yang sesuai dengan
karakteristik siswa.
d) Evaluasi formatif adalah adalah evaluasi yang dilaksanakan untuk
memperbaiki dan meningkatkan proses belajar dan mengajar.
e) Evaluasi sumatif adalah adalah evaluasi yang dilakukan untuk menentukan
hasil dan kemajuan bekajra siswa.
2. Bentuk evaluasi berdasarkan sasaran
a) Evaluasi konteks yang ditujukan untuk mengukur konteks program baik
mengenai rasional tujuan, latar belakang program, maupun kebutuhan-
kebutuhan yang muncul dalam perencanaan
b) Evaluasi input, evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui input baik
sumber daya maupun strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.
c) Evaluasi proses, evaluasi yang ditujukan untuk melihat proses pelaksanaan,
baik mengenai kalancaran proses, kesesuaian dengan rencana, faktor
pendukung dan faktor hambatan yang muncul dalam proses pelaksanaan,
dan sejenisnya.
d) Evaluasi hasil atau produk, evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil
program yang dicapai sebagai dasar untuk menentukan keputusan akhir,
diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau dihentikan.
e) Evaluasi outcome atau lulusan, evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil
belajar siswa lebih lanjut, yakni evaluasi lulusan setelah terjun ke
masyarakat.
3. Bentuk evalusi berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran
a) Evaluasi program pembelajaran, yang mencakup terhadap tujuan
pembelajaran, isi program pembelajaran, strategi belajar mengajar, aspek-
aspek program pembelajaran yang lain.
b) Evaluasi proses pembelajaran, yang mencakup kesesuaian antara peoses
pembelajaran dengan garis-garis besar program pembelajaran yang di
tetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran,
kemampuan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
c) Evaluasi hasil pembelajaran, mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap
tujuan pembelajaran yang ditetapkan, baik umum maupun khusus, ditinjau
dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik.
3. Jelaskan pemikiran pendidikan Islam Ibnu Maskawaih, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun
a) Ibnu Miskawaih adalah seorang pemikir Islam yang mempunyai pengaruh luas
di dunia Islam khususnya, p[emikirannya dalam hal pendidikan menekankan
pentingnya peran pendidik dan lingkungan, dan orang tua sebagai pendidik tetap
merupakan pendidik yang pertama dan utama, maka perlu dibangun hubungan
yang harmonis antara orang tua dan anak atas dasar cinta. Ibnu Miskawaih juga
menekankan pentingnya pengaruh lingkungan, bahwa untuk menciptakan
kepribadian yang baik tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus dilakukan secara
bersama atas dasar saling tolong dan saling mencintai, dan sebagai makhluk
social manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya.
b) Pendidikan menurut Al Ghazali menekankan pada pendidikan agama dan akhlak.
Menurutnya pengertian dan tujuan pendidikan Islam yaitu pendidikan yang
berupaya dan bertujuan dalam proses pembentukan insan paripurna. Adapun
dalam membuat sebuah kurikulum, Al Ghazali memiliki dua kecenderungan,
yaitu kecenderungan terhadap agama dan kecenderungan pragmatis. Adapun
aspek-aspek materi pendidikan Islam menurut pemikiran Al Ghazali adalah
meliputi: pendidikan keimanan, akhlak, akal, sosial dan jasmani. Menurutnya
guru yang baik itu selain cerdas dan sempurna akalnya, juga harus memiliki sifat-
sifat yang terpuji. Adapun sifat yang harus dimiliki oleh seorang murid yaitu
rendah hati, mensucikan diri dari segala keburukan taat dan istiqamah. Sementara
yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktifitas yang terkait
dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses pendidikan.
Konsep pendidikan Islam dalam pemikiran Al Ghazali ini sejalan dengan tujuan
pendidikan di Indonesia saat ini. Dimana pendidikan nasional bertujuan untuk
mencerdaskan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab.
c) Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir Islam, karyanya banyak dijadikan rujukan
dalam menyelesaikan berbagai masalah. Pemikirannya dalam pendidikan
ditekankan pada proses belajar yang dilakukan oleh guru. Ada beberapa prinsip
dasar yang senantiasa harus diperhatikan oleh para pendidik dalam proses
pembelajaran, mulai dari pentahapan dan pengulangan, menyesuaikan dengan
kemampuan siswa, menuntaskan materi sampai dikuasai siswa dan tidak boleh
melakukan kekerasan kepada siswa dengan alasan apapun
4. Jelaskan pemikiran pendidikan Islam Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad dan
Rahmah el-Yunusiyah
a) Haji Abdul Karim Amrullah merupakan pencetus pertama dari ide untuk
mendirikan Perguruan Thawalib di Surau Jembatan Besi Padang Panjang.
Pengajian surau pertama yang berubah menjadi madrasah dengan sistem
persekolahan adalah Surau Jembatan Besi di Padang Panjang. Hal ini sesuai
dengan apa yang telah dikemukakan oleh Karel A.Steenbrik yang meneliti
tentang pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, yaitu bahwa pembaharuan
pendidikan Islam dimulai dari kota kecil, yakni Padang Panjang (Steenbrik, 1974:
40)
Konsep Abdul Karim Amrullah
1. Kurikulum Pada awal abad Ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat
tradisional, yang berkisar pada Al-Quran dan pengajian kitab, yang meliputi
Ilmu Nahwu, Sharaf, Fiqih, Tafsir dan lainnya, yang terpaku pada satu kitab
saja (Ramayulis, 2005: 236). Kurikulum pendidikan demikian dipandang
kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga
tergerak hati Haji Rasul dan kawankawannya yang sepaham untuk
mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikan 13 Islam. Ilmu-ilmu yang
masuk ke dalam kurikulum pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab-
kitab yang digunakan juga tidak terpaku pada satu kitab saja. Ilmu-ilmu agama
dan bahasa yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam mencapai
12 (dua belas) mata pelajarab dan dengan menggunakan berbagai macam
kitab. Mata pelajaran tersebut adalah: a. Ilmu Nahwu b. Ilmu Sharaf c. Ilmu
Fiqih d. Ilmu Tafsir e. Ilmu Tauhid f. Ilmu Hadits g. Ilmu Musthalah Hadits h.
Ilmu Mantiq (logika) i. Ilmu Ma‘ani j. Ilmu Bayan k. Ilmu Badi‘ l. Ilmu Ushul
Fiqih (Yunus: 54). Haji Rasul menyusun kurikulum pendidikan Islam
berdasarkan tingkat atau kelas. Sebab Haji Rasul telah menerapkan sistem
klasikal dalam lembaga pendidikan Islam. Berbeda dengan keadaan
sebelumnya, pendidikan yang diberikan di lembaga pendidikan Islam tidak
dibedakan kelasnya antara yang sudah tinggi pelajarannya dengan yang masih
permulaan. Kondisi ini menurut Haji Rasul tidak efektif. Sebab itu, beliau
membagi murid-murid dalam kelaskelas tertentu, sesuai dengan tingkat
pendidikannya. Susunan kurikulum pendidikan Islam yang diterapkannya saat
itu adalah: 1. Pengajian Al-Quran Pengajian kitab, yang terdiri atas beberapa
tingkat yaitu: - Mengkaji Nahwu, Sharaf dan Fiqh, dengan memakai kitab-
kitab: Ajrumiah, Matan Bina, Fathul Qarib dan sebagainya - Mengkaji Tauhid,
Nahwu, Sharaf dan Fiqih dengan memakai kitab Sanusi, Syekh Khalid
(Azhari, ―Asymawi), Kailani, Fathul Mu‗in dan sebagainya. - Mengkaji
Tauhid, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Tafsir dan sebagainya dengan memakai kitab-
kitab: Kifayatul ―Awam (Ummul-Barahin), Ibnu Aqil, 14 Mahali,
Jalalain/Baidlawi dan lain-lain (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2005:237-238)
Jika diperhatikan kurikulum pendididikan Islam yang diterapkan Haji Rasul di
atas, ternyata sesuai dengan kemampuan dan perkembangan murid. Meskipun
ilmu yang diajarkan sama, namun pada tingkat yang lebih tinggi dipergunakan
pula kitab-kitab yang lebih sulit dan lebih tinggi, yang membutuhkan
penelaahan lebih mendalam. Bahkan pada tingkat tinggi, diajarkan pula Ilmu
Mantiq, ilmu Balaghah, ilmu Tasawuf dan sebagainya dengan memakai kitab-
kitab seperti: Idlahul Mubham, Jauhar Maknun/Talkhish, Ihya Ulumuddin, dan
lain-lain (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238). Di samping itu, Haji Rasul juga
memakai kitab rujukan yang ditulisnya sendiri dan juga yang ditulis oleh
Zainuddin Labay El-Yunusi, yang merupakan guru bantu ketika masih
mengajar di surau Jembatan Besi. Dengan demikian, sekalipun kurikulum
pendidikannya masih murni ilmuilmu agama Islam, namun ilmu-ilmu
keislaman dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikannya telah berkembang,
serta kitab-kitab yang dijadikan rujukan juga telah diperbaharui (Ramayulis
dan Nizar, 2005: 238).
2. Sistem dan Metode Pembelajaran
Di samping memperbaharui kurikulum pendidikan Islam yang dipandang
sudah ditinggalkan zaman, Haji Rasul juga memperbaiki sistem dan metode
pembelajaran yang digunakan. Pembaharuan terpenting dalam bidang sistem
dan metode pembelajaran yang digunakan. Pembaharuan terpenting dalam
bidang sistem dan metode pembelajaran yang dibawa oleh Haji Rasul adalah
mengembangkan sistem klasikal dan menggunakan metode diskusi dan tanya
jawab. Kepada murid-murid ditanamkan semangat berdiskusi, berfikir bebas,
membawa, memahami, berkelompok dan berorganisasi. Murid-murid
dirangsang untuk bertanya dan berdebat dengan guru (Ramayulis dan Nizar,
2005: 238). Sebagaimana diketahui bahwa sistem pembelajaran yang
berkembang dalam sistem pendidikan Islam saat itu adalah sistem halaqah.
Dengan sistem halaqah ini, murid-murid dan guru bersama-sama duduk di
lantai membentuk lingkaran. Kemudian guru membacakan kitab dan
menerangkan isinya, 15 sementara murid-murid mendengarkan, memahami
dan menghafal keterangan yang diberikan oleh guru (Ramayulis dan Nizar,
2005: 238). Metode menghafal merupakan ciri umum dalam sistem pendidikan
Islam pada masa itu. Metode ini mengutamakan agar murid dapat menghafal
suatu pelajaran (verbolisme). Murid disuruh membaca berulang-ulang pada
yang disampaikan oleh guru, sehingga pelajaran tersebut benarbenar melekat
di kepala, walaupun tidak begitu dipahami (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238).
Metode pembelajaran seperti ini menurut Haji Rasul tidak dapat membawa
pada kemajuan murid. Dengan metode demikian, murid akan berfikir sempit,
sehingga tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam
masyarakat yang terus berkembang, sehingga ilmu tidak dapat memecahkan
persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang terus berkembang.
Ilmu hanya sekedar dihafal, tetapi kurang dipahami, sehingga ilmu tidak dapat
memecahkan persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab
itu, Haji Rasul berusaha memperbaharui metode pembelajaran yang dapat
merangsang murid untuk berfikir bebas, berdiskusi, berdialog, berdebat dan
berorganisasi. Murid tidak hanya dituntut menghafal ilmu yang diberikan,
melainkan juga harus memahami, mengabstarksi, mengkontekstualisasikan
dan mentransformasikan lebih jauh. Ini menunjukkan bahwa Haji Rasul mulai
mengembangkan semangat ilmiah dalam proses pembelajaran yang
dilaksanakannya (Ramayulis dan Nizar, 2005: 238). Dengan semangat dan
etos kerja ilmiah yang dikembangkan Haji Rasul ini, maka menurut beliau
sistem pembelajaran berhalaqah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman. Untuk itu pada tahun 1918 Haji Rasul menyelenggarakan pendidikan
berkelas di surau Jembatan Besi yang dipimpinnya. Murid-murid dibagi
menjadi tujuh kelas menurut umur dan tingkatan pendidikannya. Pada tingkat
permulaan, murid-murid diajar oleh guru-guru bantu (asisten). Di antara
asistennya yang terkenal adalah Zainuddin Labay El-Yunusi. Kitab-kitab yang
diajarkan terbatas pada kitabkitab yang dikarang oleh Zainuddin Labay El-
Yunusi sendiri atau oleh guruguru lain. Pada tingkatan tertinggi baru diajarkan
kitab-kitab yang berasal dari Mesir dibawah asuhan Haji Rasul, sebagai guru
besar (Yunus: 55). Pada mulanya kelas yang akan ditetapkan hanya tiga kelas,
yaitu kelas I, II, III. Akan tetapi setelah dicoba melaksanakannya, ternyata
kelas I harus 16 dipecah menjadi empat tingkat, yaitu 1A, 1B,1C, dan 1D.
sementara itu, kelas II harus dibagi menjadi dua kelas, yaitu 2A dan 2B, kelas
III dapat dipertajan menjadi satu kelas. Kemudian kelas 1A, 1B,1C dan 1D,
menjelma menjadi kelas 1, 2, 3, dan kelas 4. Sedangkan kepada kelas 2A dan
2B menjelma menjadi kelas 5 dan 6. Seterusnya kelas 3 menjadi kelas 7.
Sistem dan metode pembelajaran baru dilaksanakan oleh Haji Rasul di
lembaga pendidikan Islam yang bernama Perguruan Thawalib Padang
Panjang, ternyata dapat membangkitkan motivasi yang kuat dari para
muridnya untuk mencapai kemajuan. Dengan metode diskusi, tanya jawab dan
berdebat yang dikembangkannya, timbul dari diri murid semangat untuk
menggali ilmu sendiri (self activity) (Ramayulis dan Nizar, 2005: 239).
3. Organisasi Siswa
Haji Rasul memikirkan pula bagaimana supaya murid-murid terhimpun dalam
organisasi. Beliau melihat bahwa organisasi itu adalah penting. Tanpa adanya
organisasi yang rapi, penjajah mustahil dapat diusir. Semangat berorganisasi
ini mulai muncul dari diri Haji Rasul ketika beliau menyaksikan organisasi
Muhammadiyah di Yogyakarta. Oleh sebab itu beliau menganjurkan kepada
murid-muridnya untuk membentuk sebuah organisasi (Noer, 1999: 45-46).
Ketika Bagindo Jamaluddin Rasyad memberikan ceramah umum tahun 1915
di Padang Panjang, Haji Rasul menganjurkan kepada murid-muridnya untuk
menghadiri dan mendengarkan ceramah umum tersebut. Sebab ceramah yang
akan diberikan oleh Rasyad adalah berkaitan dengan pengalamannya ketika
mengunjungi Erofa dan melihat kemajuan yang dicapai di sana. Dalam
ceramahnya itu, Rasyad menjelaskan bahwa kemajuan yang dicapai oleh Erofa
adalah karena kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pentingnya
berorganisasi. Menurutnya, Erofa telah mempunyai kesadaran yang tinggi
dalam berorganisasi. Dengan berorganisasi, segala sesuatu akan mudah
dicapai. Sebaliknya, usaha yang bersifat perseorangan, tidak terorganisir, pasti
akan berkesudahan dengan kegagalan (Noer, 1999: 45-46). Setelah mendengar
ceramah yang disampaikan oleh Rasyad tersebut, timbullah keinginan dari
murid-murid Haji Rasul untuk membentuk sebuah organisasi. Untuk itu,
disepakatilah membentuk sebuah organisasi murid- 17 murid dengan nama
‗Persaiyoan‗. Tujuan utama dari organisasi ini adalah untuk memudahkan
murid dalam mendapatkan kebutuhan harian mereka dengan harga yang murah
dan dengan pembayaran yang longgar. Sejak itu berdirilah sebuah organisasi
yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi. Organisasi ini membentuk suatu
badan usaha yang menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok para murid
sehari-hari, seperti sabun mandi dan sabun cuci. Kemudian disediakan juga
buku tulis dan pensil, sehingga akhirnya Persaiyoan populer dengan sebutan
Perkumpulan Sabun.‖ (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2005: 243) Setelah
perkumpulan ini berjalan, salah seorang murid Haji Rasul, yaitu Hasyim
berusaha mengembangkannya. Atas usahanya, semua keperluan murid
dilengkapi. Usaha ditambah dengan pelayanan gunting rambut, menjahit
pakaian, mencuci, setrika dan keperluan harian lainnya. Menurut Datuk
Palimo Kayo, tahun 1918, Perkumpulan Sabun tersebut kemudian berubah
menjadi Thuwailib, yang kemudian menjadi nama sebuah perguruan
termasyhur. Karena murid-murid Haji Rasul di Surau Jembatan Besi umumnya
berasal dari luar Padang Panjang, bahkan banyak pula yang dari daerah lain di
pulau Sumatera, maka Zainuddin Labay El-Yunusi menambah nama Thawalib
dengan kata Sumatera, sehingga menjadi Sumatera Thawalib. Demikian juga
pengajian di surau Jembatan Besi disesuaikan namanya dengan Sumatera
Thawalib dan ditempatkan di bawah pengawasan satu pengurus sekolah yang
anggotanya terdiri dari tamatan surau Jembatan Besi, guru-guru muda dan
pedagang—pedagang di sekitar Padang Panjang (Datuk Palimo Kayo, 1970:
7).
4. Kitab Pegangan Guru dan Murid (Rujukan)
Pembaharuan dalam kurikulum membawa perubahan dalam kitab rujukan.
Pada tahun 1920 Haji Rasul melakukan pembaharuan dalam kitab-kitab
rujukan di Perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Haji Rasul mulai
menukar kitab-kitab yang dipakai selama ini dengan kitabkitab baru, terutama
bagi murid-murid kelas 7. di kelas 7 ini kitab Bidayat al-Mujtahid karangan
Ibnu Rusyd mulai diajarkan, demikian juga kitab-kitab yang lain, seperti Ushul
al-Ma‗mul, Al-Muhazzab, dan sebagainya.
Faktor lainnya yaitu kiai sibuk kampanye partai dan calegnya, sampai-sampai
menganak tirikan para santrinya. Sehingga kiai tidak lagi mberkahi santrinya. Berbeda
dengan kiai dulu yang lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengurus pesantren
dan para santrinya. Pada saat ini sangat sulit mencari pesantren yang dapat
memberikan pendidikan formal dan Diniyah yang seimbang.
Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum (Darda,
2015), ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas untuk dinilai. Ilmu tidak memedulikan
agama dan agama tidak memedulikan ilmu, itulah sebabnya diperlukan adanya
pencerahan dan mengupayakan integralisasi keilmuan.
Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola parstisipatif antara ustadz
dengan santri. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis,
dinamis, inovatif dan memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat
mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan.
Kyai sebagai tokoh sentral pondok pesantren harus mengutamakan pesantren serta
santri yang diasuhnya, jangan sampai menganaktirikan pesantren dan para santrinya.
Sebagaimana yang diketahui saat ini, Kyai yang memiliki banyak jamaah, sehingga
terkadang didorong oleh jamaahnya untuk terjun dalam kancah perpolitikan dan
perhatiannya terhadap pesantren sendiri sangat sulit untuk dibagi(Syam, n.d.).
Sehingga pesantren yang pada saat ini mampu mengikuti arus perkembangan yang
sangat luar biasa, perlu kiranya memperhatikan kurikulum, sarana dan prasarana
pesantren, SDM (dewan asatidz dll), manajemen pesantren yang tanpa meninggalkan
pendidikan formal serta kebutuhan absolut akan perhatian Kyai sebagai figur utama
pesantren yang menjadi pembeda dari lembaga pendidikan lainnya.
Analisis Permasalahan Pendidikan Islam di Madrasah
a) Analisis siswa atau peserta didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui pembelajaran yang tersedia pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Omar Hamalik di kutip dari Ari Hidayat dan Imam Mahali mendefinisikan peserta
didik sebagai suatu kompenen masukan dalam sistem pendidikan yang selanjutnya
diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia berkualitas.
Adapun tahapan-tahapan pengelolan peserta didik menuurut Ari Hidayat dan Imam
Machali adalah sebagai berikut:
Analisis kebutuhan peserta didik.
Rekruitmen peserta didik.
Seleksi peserta didik.
Orientasi.
Penempatan peserta didik.
Pembinaan dan penagembangan peserta didik.
Pencatatan dan pelaporan.
Kelulusan dan Alumni.
Oleh karena itu, manajemen kesiswaan pendidikan Islam bila dilihat dari segi tahapan
dalam masa studi di sekolah/madrasah dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu,
penerimaan siswa baru, preoses pembelajaran dan persiapan studi lanjut atau bekerja.
Dengan istilah lain, tiga tahapan tersebut dapat disebut dengan tahapan penjaringan,
pemprosesan dan pendistribusian. Semua tahapan tersebut membutuhkan pengelolaan
secara maksimal agar mendapatkan hasil yang maksimal pula.
d) Analisis kurikulum
Materi pendidikan dan proses belajar mengajar Selama ini kurikulum di
anggap sebagai penentu keberhasilan pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Karena
itu, perhatian para guru, dosen, kepala sekolah/madrasah, ketua rektor, maupun
praktisi pendidikan terkonsentrasi pada kurikulum. Padahal kurikulum bukanlah
penentu utama. Dalam kasus pendidikan di Indonesia misalnya. Problem yang paling
besar di hadapi bangsa ini sesungguhnya bukan problem kurikulum, meskipun bukan
berarti kurikulum tidak menimbulkan problem, namun masalah kesadaran merupakan
masalah yang besar. Yaitu lemahnya kesadaran untuk berprestasi, kesadaran untuk
sukses, kesadaran untuk meningkatkan SDM, kesadaran untuk menghilangkan
kebodohan, maupun kesadaran untuk berbuat yang terbaik (Qomar, 2010).
Ciri-ciri ini menggambarkan adanya berbagai tuntutan yang harus ada dalam
kurikulum pendidikan Islam. Tuntutan ini terus berkembang sesuai dengan tantangan
zaman yang sedang dihadapi. Tantangan pendidikan Islam dizaman sekarang tentu
sangat berbeda dengan zaman klasik dulu. Tantangan dizaman sekarang tentu lebih
kompleks. Kurikulum pendidikan harus dirancang dengan sebagus mungkin untuk
menghasilkan output yang memuaskan.
Kurikulum
Diantara permasalahan yang berkaitan dengan kurikulum adalah: Ruang Lingkup/Aspek
Problematika Solusi Al-Quran -Kurangnya kemampuab siswa dalam memabaca dan menulis.
-Waktu yang tersedia tidak cukupi apabila pembelajaran al-Quran ditambah -Bekerjasama
dengan TPQ dilingkungan sekolah -Dengan menambahkan pembelajaran al-Quran bagi siswa
dalam program ekstrakurikuler Al-Hadist -Kurangi materi hadist yang ada di dalam
kurikulum -Bersifat hafalan -GPAI mengembangkan materi hadist sehingga hadist yang
ditampilkan lebih beragam - Mangaitkan materi hadist dengan kehidupan sehari-hari (lebih
aplikatif) Keimanan / Aqidah -lebih bersifat pendoktrinan -bersifat kognitif -Mengaitkan
dengan kehidupan sehari-hari serta membuka dialog 5 -Memberikan pengalaan belajar
langsung sehingga mengesankan bagi siswa. Akhlak -lebih menekankan kepada kemampuan
kognitif -contoh-contoh yang diberikan lebih bersifat sosok ideal lama -Evalusi harus diubah,
yaitulebih menekankan kepada penerapan, misalnya dengan pembelajaran -Mengaitkannya
dengan sosok/tokoh masa kini Fiqih -Penilaian seringkali lebih menekankan kemapuan
kogqnitif -Kurangnya Saranaprasarana -Evaluasi juga menekankan kepada penerapan -
Bekerjasama dengan lembaga keagmaan di sektor sekolah SKI -Seringkali hanya bersifat
narasi dan hafalan -Kurangnya minat siswa -Menekankan kepada pengambilan hikmah -
Ditampilakn suasana yang menarik minat siswa, dengan mengaitkan kepada kehidupan
sehari-hari siswa
7. Jelaskan Tantangan pendidikan Islam pada era teknologi informasi (Problema dan solusi)
Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi Pendidikan Islam di zaman ini menghadapi
tantangantantangan yang serius untuk tetap eksis di dunia pendidikan. Adapun tantangannya
adalah sebagai berikut: "Pertama, orientasi dan tujuan pendidikan. Kedua, pengelolaan
(manajemen) sistem manajemen ini yang akan mempengaruhi dan mewarnai keputusan dan
kebijakan yang diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Ketiga, hasil (out put).
Bagaimana produk yang dihasilkan dari sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari kualitas
luaran (out putnya). Dalam pandangan Haidar Putra Daulay menjelaskan "tantangan
globalisasi bagi pendidikan Islam yaitu masalah kualitas. era global adalah era pesaing bebas.
Maka akan terjadi pertukaran antar negara baik resmi maupun tidak. pertukaran manusia,
barang, jasa, teknologi dan lain-lain adalah hal yang dipersaingan dalam era global ini. Untuk
itu perlu dibentuk manusia yang unggul jadi kualitas SDM sangat penting untuk menentukan
kualitas lembaga pendidikan, negara dan agama. Selain tantangan kualitas juga tantangan
moral era globalisasi banyak membawa dampak negatif generasi muda sekarang sudah
terpengaruh dengan pergaulan yang global. Hal-hal yang tidak semestinya dilakukan oleh
generasi muda seperti minum miras, menggunakan narkoba, melakukan seks bebas malahan
menjadi kebiasaan bagi mereka. moral mereka bisa dikatakan seperti moral syaitan. Mereka
hanya mengikuti hawa nafsu belaka tanpa memikirkan akibatnya. Berkenaan itu maka
pendidikan Islam harus semakin diefektifkan di lingkungan Lembaga Pendidikan Islam.
Ujian:
1. Diketik 1 spasi, font 12 times new roman
2. Dikirim dengan word
3. Dikirim ke emaail: zulmuqim@yahoo.co.id, paling lambat pukul 14.00