Anda di halaman 1dari 5

SEMANGAT BUSHIDO DALAM MASYARAKAT JEPANG PASCA PERANG

DUNIA 2

Angga Fatih Fadhlurrohman


1
Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia
e-mail: anggafatih.2021@student.uny.ac.id

ABSTRAK
Jepang merupakan negara maju dengan terbatasnya kondisi geografis dan sumber
daya alam sangat minim tetapi mampu menjadi negara maju sejajar dengan negara-negara
Barat. Hal ini diperoleh dari hasil upaya sumber daya manusia yang bisa dikatakan
berkualitas karena mempunyai karakter pekerja keras, disiplin, pantang menyerah,
mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi, malu bila tidak berhasil dan sejenisnya yang
termasuk dalam etika dan moral. Karakter tersebut dibentuk melalui pendidikan dan
dibiasakan sejak dini melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah Jepang.
Penelitian tersebut membahas tentang semangat bushido dalam budaya kerja Jepang pasca
Perang. Penelitian merumuskan masalah: 1) Apa itu budaya Bushido.2) Bagaimana bushido
memengaruhi kebangkitan Jepang pasca Perang Dunia.

Kata Kunci: Jepang,Bushido,Perang Dunia 2

PENDAHULUAN
Jepang merupakan negara maju dengan terbatasnya kondisi geografis dan sumber
daya alam sangat minim tetapi mampu menjadi negara maju sejajar dengan negara-negara
Barat. Hal ini diperoleh dari hasil upaya sumber daya manusia yang bisa dikatakan
berkualitas karena mempunyai karakter pekerja keras, disiplin, pantang menyerah,
mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi, malu bila tidak berhasil dan sejenisnya yang
termasuk dalam etika dan moral. Karakter tersebut dibentuk melalui pendidikan dan
dibiasakan sejak dini melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah Jepang.
Pemerintah Jepang mewajibkan pelajaran etika dan moral di sekolah-sekolah sejak taman
kanak-kanak sampai perguruan tinggi Jepang dengan cara memasukkannya dalam kurikulum
sekolah1.
Kekalahan Jepang dalam perang Dunia II menjadi pintu gerbang kemampuan
masyarakat Jepang dalam mengatasi keterbatasan keadaan. Pasca pengeboman Amerika
terhadap dua kota penting yaitu Hiroshima dan Nagasaki merupakan masa yang berat bagi
bangsa Jepang karena mengalamai kehancuran infrastruktur kota, kalah perang tanpa syarat,
kehancuran ekonomi, kekacauan sistem keuangan, dan menjadi negara pendudukan Amerika.
Ekonomi jepang hampir seluruhnya lumpuh akibat kerusakan perang. Kekurangan pangan
yang parah, inflasi yang tak terbendung, dan pasar gelap dimana-mana (Yulianti, 2013).
Tetapi, dalam kondisi tersebut, pribadi dan karakter masyarakat Jepang tidak mengalami
‘kekalahan’. Sebaliknya, kondisi eksternal yang ekstrim tersebut menjadi cermin dan
sekaligus pembuktian atas kepribadian bangsa yang berakar pada kebijaksanaan dan nilai
lokal, yang dikenal dengan Bushido (Inazo Nitobe, A.N, 1908; R. Nanda Putra Pratama,
2014; Suliyati, 2013).

1
Mochamad, Regy Suyono (2020) PENGARUH BUSHIDO DALAM BUDAYA KERJA JEPANG
TERHADAP KEMAJUAN JEPANG. thesis, Universitas Darma Persada.
Kebudayaan Jepang, khususnya bushido, telah meletakkan dasar karakter masyarakat
yang tangguh dan kuat. Dengan mendasarkan diri pada nilai dan tradisi lokal Jepang telah
mampu membangun karakter masyarakat sebagai identitas sekaligus kekuatan manusia
Jepang dalam menghadapi berbagai macam tantangan yang dialaminya. Penelitian tersebut
membahas tentang semangat bushido dalam budaya kerja Jepang pasca Perang. Penelitian
merumuskan masalah: 1) Apa itu budaya Bushido.2) Bagaimana bushido memengaruhi
kebangkitan Jepang pasca Perang Dunia.
PEMBAHASAN
Bushidō ( 武士道 ), kata 武 mempunyai arti: “prajurit, militer, ksatria, senjata” (bu,
ぶ)”, kata 士 berarti “pria atau orang, terutama orang yang dihormati” (shi, し) dan kata 道
berarti “jalan, jalan, jalan” (lakukan, ど う ). Bushi ( 武 士 ) berarti pelayan, samurai, atau
prajurit (bushi, ぶ し )”. Bushido berarti jalan prajurit (arti harafiahnya). Secara umum,
Bushido diartikan sebagai cara hidup atau ajaran hidup yang dilakukan oleh para samurai
demi menjaga kehormatan. Bushido merupakan etika moral para Samurai (the samurai way
of life), yang tinggi yang dipegang oleh Samurai (Cygni, 2020).
Bushido merupakan jiwa kesatria bangsa Jepang yang merangsang pikiran, emosi, dan
sikap hidup mereka sehari-hari. Secara istilah, bushido dapat diterjemahkan dengan tata
kehidupan kesatria militer yang melingkupi berbagai macam disiplin yang ditanamkan dalam
hati pendekar Jepang. Sepanjang masa feodal, golongan pendekar atau samurai menjadi
teladan bagi bangsa dan masyarakat dalam hal tingkah laku, perwatakan, dan kesetiaan
mereka yang tidak tergoyahkan kepada atasan atau tugas serta kewajiban mereka. Prinsip-
prinsip moral yang terdapat dalam bushido sebenarnya adalah gabungan dari ajaran
Shintoisme dan Buddhisme. Bushido menjadi pedang sebagai lambangnya yang berarti
kekuasaan dan keberanian .Hanya golongan samurai yang memiliki kuasa untuk memegang
dan menggunakan pedang. Terdapat peraturan khusus dalam bushido agar digunakan tepat
sasaran. Pedang tidak bisa digunakan untuk kepentingan tertentu. Sehingga, samurai harus
mengetahui batas-batas yang telah ditetapkan dalam menggunakan pedang.
Bushido merupakan pengajaran nilai-nilai hidup yang menjadi landasan moral bagi
kaum Samurai. Nilai-nilai moralitas Bushido merupakan kombinasi dari ajaran
Konfusianisme, Ajaran Zen, dan Shinto (Mulyadi, 2014). Konfusianisme menyumbangkan
harmoni sosial (kesusilaan, sopan santun); Ajaran Zen mengembangkan harmoni pribadi
(keheningan diri, refleksi, permenungan diri); Shinto mengajarkan keutamaan loyalitas
kepada Kaisar. Etika Bushido mengajarkan prinsip-prinsip nilai moral (Yulianti, 2019).
Pertama, nilai Gi (Integritas) mengajarkan bahwa keputusan yang benar diambil
dengan sikap yang benar berdasar kebenaran. “Seorang ksatria harus paham betul tentang
yang benar dan yang salah, dan berusaha keras melakukan yang benar dan menghindari yang
salah. Dengan cara itulah Bushido bisa hidup. Nilai moral ini menyatakan bahwa melakukan
apa yang dikatakan. Samurai mempunyai integritas diri. Jika harus mati demi keputusan itu,
matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat.
Maka, seorang Samurai tidak banyak bicara. Tetapi, sekali bicara maka ia akan berkomitmen
atas ucapannya.
Kedua, nilai Yu (Keberanian) mengajarkan tentang berani: berani hidup sulit dan
berani hidup senang. Keberanian bertahan demi prinsip kebenaran yang dipercayai meski
mendapat berbagai tekanan dan kesulitan, termasuk mempertaruhkan nyawa demi menjaga
keyakinan tersebut. Namun, kebenaran dan keberanian seorang samurai dilandasi dengan
latihan rohani dan kekuatan disiplik dengan latihan keras.
Ketiga, nilai Jin (Kemurahan Hati) mengajarkan murah hati, mencintai dan bersikap
baik terhadap sesama. Samurai memiliki sifat kasih sayang. Bushido menjaga aspek
keseimbangan antara maskulin (yin) dan feminin (yang). Jin mewakili sifat feminin yaitu
mencintai. Sikap ini ditujukan bukan hanya kepada atasan dan pimpinan, tetapi juga
kemanusiaan, baik ‘siang hari’ ataupun ‘malam hari’ yang kelam. Kemurahan hati juga
berarti sikap memaafkan.
Keempat, nilai Rei (Menghormati) mengajarkan bersikap santun, bertindak benar,
hormat kepada orang lain. Seorang Samuri tidak pernah bersikap kasar dan ceroboh. Sikap
santun dan hormat tidak ssaja ditunjukkan kepada pemimpin dan orang tua, namun kepada
tamu atau siapapun yang ditemui. Sikap ini bisa meliputi tata laku: cara duduk, berbicara,
bahkan dalam memperlakukan benda atau senjata.
Kelima, nilai Makoto-shin (Jujur-Tulus) mengajarkan bersikap tulus yang setulus-
tulusnya, bersikap sungguh dengan sesungguh-sungguhnya dan tanpa pamrih. Seorang
samurai senantiasa bersikap jujur dan tulus dalam mengakui, berkata, dan memberikan suatu
informasi yang sesuai dengan kebenaran dan kenyataan. Seorang ksatria harus menjaga
ucapan dan selalu waspada tidak menggunjingkan sesuatu. Ada dalam prinsip ini: Samurai
mengatakan apa yang mereka maksudkan, dan melakukan apa yang mereka katakan,
membuat janji dan berani menepatinya.” Perkataan seorang samurai lebih kuat dari besi”.
Keenam, nilai Melyo (Kehormatan) mengajarkan menjaga kehormatan, martabat dan
kemuliaan. Menjaga kehormatan. Seorang samurai menjaga kehormatan dengan menjalankan
prinsip Bushido dengan konsisten. Seorang samurai memiliki harga diri yang tinggi, dan
menjaganya dengan sikap dan kode etik tindakan seorang samuraai sejati. Salah satunya
adalah dengan menggunakan waktu sebaik mungkin dan tidak menyia-nyiakan waktu untuk
hal yang tidak penting.
Ketujuh, nilai Chugo (Loyal/Setia) mengutamakan mengabdi dan loyal. Seorang
ksatria menjaga kesetiaan kepada satu pemimpin atau guru atau atasannya. Kesetiaan
ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Kesetiaan tidak saja saat
pemimpinan yang sukses atau ‘top’, bahkan ketia pemimpinnya susah, menderita, atau
terancam mati. Dalam nilai-nilai yang sama, Tin Clark merumuskannya sebagai justice,
courage, benevolence/mercy, politeness, Honesty & Sincerity, serta honor (Clark, 2008;
Thomas, 2020). Semangat Bushido mengejawantah dalam sikap-sikap amae, on, gimu, giri.
Keempat sikap ini menjadi warna karakter masyarakat bangsa Jepang. Amae menjadi sikap
individu dalam hubungannya dengan orang lain dengan unsur: menjaga harmoni dalam
kelompok. Sikap ini menghadirkan toleransi yang tinggi dengan ciri: emosi yang terjaga
berhubungan dengan pengalaman senang, sedih, marah, atau kebahagiaan. Masing-masing
pihak tidak menguasai anggota lainnya. On menunjuk pada sikap ‘berhutang budi’, dimana
masyarakat Jepang menjunjung tinggi kebaikan orang lain sehingga perasaaan berhutang budi
yang mendalam terhadap orang tua, para pemimpin/penguasa, masyarakat, bangsa dan
Negara. On ini harus dibayar dalam bentuk pengabdian tanpa batas. Gimu adalah pelaksanaan
kewajiban dalam upaya membalas kebaikan-kebaikan yang diberikan orang tua,
pemimpin/penguasa, bangsa dan Negara yang tak terbatas baik dalam jumlah maupun
waktunya. Giri adalah kewajiban untuk membalas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan
oleh orang lain. Sikap-sikap tersebut menunjukkan bentuk-bentuk solidaritas kelompok, sikap
patriotisme dan nasionalisme yang tinggi, yang menjadi karakter bangsa Jepang saat ini
(Wibawarta, 2006).
Semangat bushido tidak dapat dilepaskan dari kelompok Samurai yang muncul pada
periode Kamakura (sekitar tahun 1192 sampai dengan tahun 1333). Sebelum jaman
Kamakura peran kaisar Jepang dalam pemerintahan sangat besar. Perubahan yang
mengurangi peran dan kekuasaan kaisar dalam tata pemerintahan dimulai pada periode Heian
yaitu ketika muncul kelompok-kelompok bangsawan dari keluarga Fujiwara dan Taira yang
bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan legitimasi dari kaisar. Kaisar memberikan
kewenangan pemerintahan kepada dua keluarga ini berganti-ganti, tergantung dari kelompok
keluarga yang dapat mengungguli kelompok keluarga lainnya. Dalam upaya meraih
kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, kelompok-kelompok keluarga yang saling bersaing
ini mempunyai prajurit yang handal dan terlatih yang dikenal sebagai Samurai.
Pengaruh kaum Samurai yang sangat besar dan kuat pada masyarakat telah
memunculkan simbol-simbol tentang kekuatan dan pragmatisme yang kemudian menjadi
lambang perilaku masyarakat saat itu. Sebagai golongan kelas atas, di atas golongan petani
dan pedagang, samurai mempunyai etik dan falsafah hidup yang disebut dengan bushido
Karena keberadaan kelompok Samurai ini demikian lama, yaitu sekitar 650 tahun dari
periode Kamakura (1192- 1333) sampai periode Meiji (1867-1912), maka semangat bushido
telah mengendap dalam kepribadian dan karakter bangsa Jepang. Penanaman etika bushido
semakin mendalam ketika pada periode Edo (1603- 1867) diberlakukan politik isolasi yang
membatasi hubungan sebagian besar masyarakat Jepang dengan bangsa asing. Dengan
Restorasi Meiji yang dilaksanakan dengan semangat bushido membuahkan hasil yang
mengagumkan.
Pada tahun 1911 industri persenjataan Jepang maju pesat sehingga Jepang berani
terjun dalam kancah Perang Dunia I dan memperoleh kemenangan di beberapa negara.
Kemenangan dan agresifitas Jepang di beberapa negara sangat menakutkan negara-negara
Barat yang terlibat dalam perang Dunia I. Pada perang Dunia II langkah Jepang dalam
melakukan ekspansi tidak terbendung, sehingga membuat Amerika Serikat bertekat untuk
menghancurkan Jepang. Tekad Amerika Serikat terwujud ketika pada tanggal 6 Agustus 1945
Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan tanggal 9 Agustus 1945 di
kota Nagasaki. Setelah pengeboman di dua kota penting tersebut, pada tanggal 15 Agustus
1945 Kaisar Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat. Setelah masa pengeboman di dua
kota penting tersebut dan setelah Perang Dunia II usai, merupakan masa yang berat bagi
bangsa Jepang karena mereka harus tunduk pada bangsa asing (Amerika) yang menguasai
Jepang serta krisis ekonomi yang melanda dunia berdampak mendalam kehidupan sosial
bangsa Jepang. Hanya berlandaskan pada kesetiaan kepada Tenno dan dedikasi pada
kejayaan negara dan bangsa, bangsa Jepang dengan penuh kesadaran dan disiplin tinggi
mulai menata kehidupannya (Sakamoto, 1982: 78) Pembatasan-pembatasan yang dilakukan
pemerintah Amerika di Jepang tidak menyurutkan tekad bangsa Jepang untuk maju. Bahkan
mereka dapat memanfaatkan dan mengambil sisi positif dari pembatasan-pembatasan
tersebut. Kepatuhan dan ketaatan bangsa Jepang pada pemerintah pendudukan Amerika
Serikat sangat dihargai dan sebagai imbalannya pemerintah Amerika Serikat tetap mengakui
eksistensi lembaga kekaisaran Jepang. Bagaimanapun masyarakat Jepang memiliki ikatan
yang kuat dengan kaisarnya. Kaisar adalah lambang pemersatu bangsa Jepang yang
keberadaannya sudah mengakar sangat kuat dalam tradisi dan budaya Jepang. Seandainya
lembaga kekaisaran ini ditiadakan dan diganti dengan pemerintahan republik, maka
pemerintah pendudukan Amerika Serikat di Jepang akan menanggung resiko yang besar,
yaitu akan timbul gejolak sosial yang tak terbendung dan sulit dikendalikan (Nurhayati, 1987:
44) Sejalan dengan perkembangan sosial politik negara-negara di wilayah Asia Timur,
Amerika Serikat sangat berkepentingan untuk meningkatkan dan memajukan masyarakat
Jepang di semua bidang, karena Amerika Serikat khawatir perkembangan komunisme di Uni
Soviet dan Cina dapat mengancam Jepang. Bila kondisi bangsa Jepang dibiarkan tetap
terpuruk, dikhawatirkan akan menjadi sasaran komunisme. Kemajuan Jepang sangat
menguntungkan Amerika Serikat karena Jepang dapat diharapkan menjadi sekutu Amerika
dalam melawan komunisme di wilayah Asia Timur (Nakane, 1981 : 96). Dalam proses
pemulihan negara dan bangsa pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II, bangsa Jepang
tetap teguh dan disiplin dalam mengejar ilmu pengetahuan dan alih teknologi dari negara-
negara Barat. Walaupun Jepang mengalami kehancuran fisik yang parah setelah Perang
Dunia II, bangsa Jepang tidak mengalami kehancuran mental dan spiritualnya. Bangsa Jepang
memiliki keistimewaan yaitu kecepatan menyadari kondisi/situasi yang dihadapi dan
kecepatan menyesuaian diri pada kondisi tersebut (Mattulada,1979 : 228). Dalam waktu yang
tidak terlalu lama bangsa Jepang kembali bangkit untuk menata kehidupan sosial, ekonomi
serta industrinya yang maju pesat menyaingi industri negara-negara Barat. Berkat
kedisiplinan, kerja keras, dedikasi yang tinggi dan dengan tujuan untuk menegakkan harga
diri di mata dunia, pada tahun 1970-an Jepang sudah dapat dikategorikan sebagai salah satu
negara maju dan modern di dunia.
SIMPULAN
Bushido merupakan jiwa kesatria bangsa Jepang yang merangsang pikiran, emosi, dan sikap
hidup mereka sehari-hari. Dalam proses pemulihan negara dan bangsa pasca kekalahannya
dalam Perang Dunia II, bangsa Jepang tetap teguh dan disiplin dalam mengejar ilmu
pengetahuan dan alih teknologi dari negara-negara Barat. Walaupun Jepang mengalami
kehancuran fisik yang parah setelah Perang Dunia II, bangsa Jepang tidak mengalami
kehancuran mental dan spiritualnya. Berkat kedisiplinan, kerja keras, dedikasi yang tinggi
dan dengan tujuan untuk menegakkan harga diri di mata dunia, pada tahun 1970-an Jepang
sudah dapat dikategorikan sebagai salah satu negara maju dan modern di dunia

DAFTAR PUSTAKA

Alyatalatthaf, Muhammad Dicka Ma’arief. 2019. “Seppuku dan Nilai-Nilai Bushido dalam
Film ‘Letters from Iwo Jima.’” Jurnal ILMU KOMUNIKASI 16(2):143–60. doi:
10.24002/jik.v16i2.1500.
Septianingrum, Anisa. 2017. Sejarah Asia Timur dari Masa Peradaban Kuno hingga
Modern. Yogyakarta: Wulandari,Indah.
Mujihandono, Dominicus Subyar, dan Yusuf Siswantara. 2021. “Semangat Bushido Analisa
Kultural Untuk Pengembangan Karakter Masyarakat.” Sapientia Humana: Jurnal Sosial
Humaniora. 1(01):29–38. doi: 10.26593/jsh.v1i01.4970.
Suliyati, Titiek. 2013. “Bushido Pada Masyarakat Jepang : Masa Lalu dan Masa Kini Oleh :
Titiek Suliyati.” Jurnal Bahasa, Sastra dan Budaya Jepang 1.

Anda mungkin juga menyukai