Anda di halaman 1dari 8

OMAIRI (お参り) dengan Bushido ‘Rei’

Mata Kuliah “Pranata Masyarakat Jepang”

Sastra Jepang

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas 17 Agustus 1945

Surabaya

2022/2023
Kata Pengantar

Segala puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul OMAIRI (お参り)
dengan Bushido ‘Rei’ ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Pranata Masyarakat Jepang. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan
tentang pranata atau kebiasaan masyarakat Jepang bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang
saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 26 Maret 2022

Penulis

ii
Daftar Pustaka

Kata Pengatar....................................................................................................................................ii

Daftar Isi...........................................................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan............................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................1

1.3 Tujuan..........................................................................................................................................1

BAB II Isi.............................................................................................................................................2

2.1 Bushido........................................................................................................................................2

2.2 Omairi..........................................................................................................................................2

2.3 Bushido ‘Rei’ dan Omairi2...........................................................................................................3

2.4 Apa yang Diminta? ......................................................................................................................3

BAB III Kesimpulan.............................................................................................................................4

Daftar Pustaka...................................................................................................................................5

iii
BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Jepang adalah salah satu negara yang memiliki pranata masyarakat yang kompleks.
Pranata ini datang dari satu kebiasaan dalam sebuah kelompok kecil yang akhir menjadi
kebiasaan dalam kelompok besar. Menurut Koentjaraningrat (1980:75), pranata adalah
suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang terpusat pada aktivitas dalam memenuhi
kompleksitas khusus kehidupan manusia. Sedangkan menurut Horton dan Hunt (1987),
pranata adalah sistem norma untuk mencapai tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat
dipandang penting.
Pranata masyarakat Jepang ini tidak lepas dari bagaimana masa lalu Jepang
berkembang. Pada foedalisme Jepang, tumbuh golongan samurai atau bushi. Di dalam
kelompok atau golonga nBushi ini terdapat tatanan atau norma yang akhirnya menjadi
norma atau tatanan yang pada masa sekarang dipakai oleh masyarakat Jepang.
Dari Bushi ini lahirlah sebuah Bushido yang mempunyai 7 kebajikan yaitu integritas,
kebenaran, berbuat baik, menghormati, kejujuran, kehormatan, dan loyalitas. Ketujuh hal
tersebut menjadi kebiasaan atau tatanan yang masyarakat ikuti dan lakukan. Bushido berasal
dari kata ‘bu’ yang artinya bela diri, ‘shi’ adalah samurai (orang), dan ‘do’ artinya jalan.
Secara sederhana bushido berarti jalan terhormat yang harus ditempuh seorang samurai
dalam pengabdiannya (Benedict, 1982:335)
1.2 Rumuasan Masalah
Apa hubungan Omairi dengan Bushido ‘Rei’
1.3 Tujuan
Mengetahui hubungan Omairi dengan Bushido ‘Rei’

iv
BAB 2

Isi

1.4 Bushido
Bushido berasal dari kata ‘bu’ yang artinya bela diri, ‘shi’ adalah samurai (orang), dan
‘do’ artinya jalan. Secara sederhana bushido berarti jalan terhormat yang harus ditempuh
seorang samurai dalam pengabdiannya (Benedict, 1982:335).
Tidak hanya sekedar aturan dan tatacara berperang mengalahkan musuh, bushido juga
memiliki makna mendalam tentang perilaku kesempurnaan dan kehormatan dari seorang
Samurai. Dalam etika bushido terdapat ajaran moral tinggi seperti tanggungjawab, kesetiaan,
sopan santun, tata krama, disiplin, kerelaan berkorban, pengabdian, kerja keras, kebersihan,
hemat, kesabaran, ketajaman berpikir, kesederhanaan, pengendanlian diri (Tsunenari dan
Nakamura, 2007:53-56).
Bushido pada dasarnya merupakan etika yang dipengaruhi oleh ajaran Budha Zen.
Tetapi, selain didasari oleh ajaran Zen dan Confusius, bushido juga dipengaruhi oleh ajaran
Shinto yang mengajarkan tentang kesetiaan kepada Kaisar (Tenno) dan negara
(Suryohadiprojo, t.t. : 49).
Etika Bushido yang masa Tokugawa semakin mantap diterapkan Samurai yang kemudian
menjadi etika dasar kemasyarakatan. Etika Bushido yang semakin kuat ini berkembang dan
meluas menjadi etika dasar bangsa Jepang sampai ke masa modern (Bellah, 1985:90).
Semangat bushido ditampilkan tidak dalam bentuk perang atau pertempuran fisik,
melainkan dalam bentuk kerja keras dan disiplin yang tinggi menjalankan aturan-aturan yang
ditetapkan oleh Tenno (Rosidi, 1981 : 67)

1.5 Omairi

Omairi adalah sebutan untuk sebuah kunjungan ke kuil Shinto atau Vihara. Layaknya
agama lain, kunjungan ini ke kuil-kuil ini, selain sebagai untuk beribadah atau menenangkan
hati juga untuk menyenangkan dewa-dewi atau Buddha yang berada didalamnya.
Sebenarnya, tidak ada aturan khusus jika ingin mengunjungi kuil, setiap orang
mempunyai cara mereka untuk mengekspresikan rasa hormat kepada dewa-dewi atau
buddha, tetapi ada langkah-langkah tertentu yang perlu diikuti dan dilakukan ketika
seseorang ingin mengunjungai kuil atau vihara dan berkomunikasi dengan Tuhan yang ada
didalamnya dan tergantung dengan kuil atau vihara yang akan dikunjungi.
Dalam ajaran Shinto, ketika mengunjungi sebuah kuil, hal pertama yang dilihat adalah
sebuah gerbang yang biasa disebut ‘torii’, sebuah gerbang tunggal dengan cat berwarna
merah. Dari gerbang inilah seseorang yang akan berdoa masuk, gerbang ini juga sebagai

v
pemisah dunia manusia. Sedangkan dalam ajaran Buddha juga memiliki gerbang yang
disebut ‘Sanmon’.
Pada dasarnya, orang-orang Jepang mengunjungi kuil hanya pada hari-hari besar saja
untuk berdoa bersama atau berdoa untuk diri sendiri. Tetapi, diluar itu terkadang mereka
akan menyempatkan diri untuk mengunjungai kuil (jinja) sejenak untuk berdoa. Biasanya
mereka meminta hari yang baik atau saat akan mengerjakan sesuatu diberi kelancaran saat
akan mengerjakan hal tersebut, sehingga mengunjungi kuil bukan hanya pada hari-hari besar
tetapi pada hari-hari biasapun juga dilakukan.

1.6 Bushido ‘Rei’ dan Omairi


Bushido ‘Rei’ sendiri adalah sikap hormat dan santun seorang samurai pada semua orang
tetapi tidak hanya semua orang. Sikap hormat dan santun ini juga terlihat dalam penggunaan
benda-benda dan senjata. Sikap ini juga untuk menghindari sikap ceroboh yang tidak tertata.
Penerapan bushido ‘rei’ pada masyarakat Jepang saat ini masih terlihat dan bahkan
menjadi salah satu karakter masyarakat Jepang.
Begitupun saat akan melakukan Omairi. Pada saat jamaat mengunjungi kuil, mereka
akan melewati sebuah gerbang tinggi berwarna merah atau biasa disebut torii. Para jamaat
akan membungkuk sopan dan hormat sebelum mereka melewati torii, hal ini menunjukkan
bahwa mereka memberikan rasa sopan dan hormat sebelum mengunjungi dewa-dewi yang
disemayamkan dalam kuil tersebut karena area setelah torii atau area dalam adalah alam
milik kami. Begitupun sebaliknya, selepas dari kuil juga membungkuk sopan dan hormat.
Pada saat Omairi pun, setelah melemparkan koin dan membunyikan lonceng (sebagai
penarik perhatian kami), jamaat akan membungkuk 90 derajat sebanyak dua kali sebagai
rasa sopan dan hormat kepada kami. Dan selepas mengutarakan doa dalam hati juga
membungkuk hormat satu kali.

1.7 Apa yang diminta?


Orang Jepang biasanya berdoa ke kuil untuk mendapatkan kebahagiaan selama hidup
atau dalam situasi tertentu seperti yang sering dilakukan anak sekolah yaitu berdoa untuk
kelancaran ujian mereka atau orang dewasa yang dilancar dalam wawancara mereka.
Berbeda dengan berdoa di Vihara, mereka berdoa untuk mendapatkan surga atau
kebajikan hidup. Selain itu, ibadah di kuil umumnya terkait dengan proses pemurnian diri
dari dosa, sedangkan doa di wihara seringkali merupakan sebuah refleksi diri dan sumpah
untuk memperbaikinya dari sekarang.

vi
BAB 3

Kesimpulan

Masyarakat Jepang masih sangat terikat dengan tatanan masyarakat jaman dahulu
terutama yang berasal dari para Bushi yang melahirkan Bushido. Dari bushido itulah menciptakan
pranata masyarakat Jepang sekarang yang sangat menjunjung tinggi rasa hormat dan sopan
kepada sesamanya, tidak hanya kepada sesama tetapi kepada benda-benda disekitarnya yang
memiliki keterikatan dengan hal-hal magis atau berhubungan dengan kami.

vii
Daftar Pustaka

2016. Omairi: Menyembah di Kuil dan Wihara. Diakses pada 14 Maret 2022 jam 23.03, dari
https://livejapan.com/id/article-a0000269/

Yamada, Mikita. 2022. Cara beribadah yang benar di tempat pemujaan. Ringkasan "perilaku
dasar" dan "trivia" yang harus Anda ketahui sebelum berkunjung (神社の正しい参拝方法。お
参り前に知っておきたい「基本のお作法」や「豆知識」まとめ ). Diakses pada 22 Maret
2022 jam 11.37, https://www.jalan.net/news/article/456563/

Santosa, Agus. 2009. Pranata Sosial : Pengertian, Tipe dan Fungsi. SMA Negeri 3 Yogyakarta.

Titiek Suliyati. 2013. Bushido Pada Masyarakat Jepang : Masa Lalu dan Masa Kini. Izumi : Jurnal
Bahasa, Sastra, dan Budaya Jepang, 1(1).

viii

Anda mungkin juga menyukai