Anda di halaman 1dari 14

DASAR-DASAR KEPERCAYAAN

Oleh:

MUHIBUNA M. SAID

KOMISARIAT K.H. AHMAD DAHLAN

HMI CABANG KUPANG

KUPANG

2022
DASAR-DASAR KEPERCAYAAN

Kepercayaan manusia terhadap segala sesuatu merupakan bentuk dari pada


kebebasan, karena kebebasan yang menjadikan seorang atau sekelompok orang dalam
menentukan sikap terhadap apa yang dipercayainya atau bahkan diyakininya. Akan
tetapi meskipun kepercayaan adalah kebebasan, bukan berarti kepercayaan tersebut
tidak lagi untuk dipertanyakan, sehingga menjadikan kepercayaan tersebut tidak lagi
untuk diperdebatkan, dalam artian tidak ada lagi yang dinamakan perubahan atau
takend for granted. Karena perlu diketahui bahwa atas dasar kepercayaan inilah yang
menjadikan manusia melakukan sesuatu hal berdasarkan hukum-hukum yang telah
ditentukan. Ada beberapa bagian bentuk hukum-hukum yang telah ditentukan yang
tentunya berkaitan dengan kepercayaan. Yang paling Pertama, kepercayaan hukum
alam. yang Kedua, kepercayaan hukum sejarah/historis. dan yang Ketiga,
kepercayaan hukum budaya. Keempat, kepercayaan hukum sosial. Dan yang paling
terakhir sebagai penutup dari hukum kepercayaan yang merangkul semua hukum
tersebut didalamnya adalah berkaitan dengan kepercayaan terhadap hukum-hukum al-
kitab (tipologi hukum kebenaran dari penulis).

Kita memulai pembahasan topik/judul terkait dengan Dasar-Dasar Kepercayaan,


dengan menghadirkan beragam pertanyaan dari beragam tipologi kepercayaan yang
telah disebutkan sebelumnya. Apakah Tuhan menciptakan alam semesta yang
manusia jadikan sebagai sumber untuk mencari hidup (penulis tidak menggunakan
kalimat bertahan hidup karena manusia tidak kekal) dan mendapatkan ilmu
pengetahuan dengan dibekalinya instrumen pengetahuan. Pertanyaan yang dipandang
perlu berkaitan tentang kepercayaan terhadap alam semesta. apakah Tuhan
menciptakan alam semesta, kemudian alam semesta itu lalu manusia rubah dalam
kacamata sains ? dan mana yang kemudian diberikan kepercayaan segala sesuatu dari
alam semesta yang berdasarkan penciptaan, ataukah dari rekayasa manusia yang
menandingi hasil penciptaanNYA ? Pertanyaan yang lain tentang membangun
kepercayaan terhadap sejarah, tapi sejarah mana yang harus dijadikan sebagai
landasan? Mana yang lebih dahulu manusia ataukah budaya, jika manusia, lantas
kenapa harus adanya kepercayaan terhadap budaya. Kalau pun budaya yang
mendahului manusia, budaya yang mana? Manusia hidup dalam lingkungan sosial,
akan tetapi lingkungan mana yang disitu terjalinnya kesalinghubungan antara satu
manusia dengan manusia yang lainnya. Akan tetapi lingkungan dan sosial yang mana
yang dimaksudkan, dan tujuannya kepada siapa. Dan bagaimana membangun
kepercayaan terhadapan lingkungan dan sosial? Tidak ada kepercayaan tanpa sesuatu
pedoman, pegangan, sandaran, lindungan. Tapi Al Kitab dari agama yang mana yang
diberikan kepercayaan? Bisakah manusia hidup tanpa berpedoman pada satu Al
Kitab, tapi hanya berpegangan pada instrument pengetahuan yang dimilikinya?
Pertanyaan yang saat ini dijadikan sebagai bahan untuk argumentasi dipandang tidak
perlu untuk diberikan penjelasan yang secara mendetail dalam pembahasan kali ini.

Kita masuk pada poin inti pembahasan dengan judul yang diambil Dasar-Dasar
Kepercayaan sebagai pembahasan prolog dalam buku besar Nilai-Nilai Dasar
Perjuangan (NDP). Menurut penulis hal yang paling penting dalam membahas
masalah Dasar-Dasar Kepercayaan adalah menyangkut persoalan tentang teologi
(ilmu ketuhanan). Tapi bagaimana caranya sesuatu ilmu pengetahuan tentang
ketuhanan dapat memberikan kejelasan dan kepastian bahwa ilmu ketuhanan yang
dianut ini adalah salah, dan ilmu pengetahuan tentang ketuhanan inilah yang benar,
ataukah semuanya salah dan hanya salah satunya yang benar. Jika salah satunya yang
menjadi benar seperti apa kebenarannya. Sebagaimana menjadi pendapatnya Karen
Amstrong bahwa kodratnya manusia adalah Homo Religious dalam bukunya A
History Of God, penulis kontemporer ini menulis bahwa ada alasan kuat untuk
mempercayai kodrat religius manusia. Berangkat dari data-data sejarah yang
kemudian dipelajarinya, ia menunjukkan bahwa sejak dahulu kala manusia telah
menyembah dewa-dewa. Mereka meyakini bahwa dibalik alam semesta ini terdapat
kekuatan supranatural yang mengatur dan menciptakan mereka. Kekuatan itu tidak
tampak, tapi mereka percaya atas kepercayaannya. Akan tetapi menurut Karen
Amstrong, sejauh agama didefinisikan dalam kaitannya dengan wahyu ketuhanan,
agama pertama yang dicatat adalah yang dibawakan oleh Ibrahim. Tokoh yang hidup
sekitar 2000 tahun sebelum masehi ini membawa suatu pola keberagaman yang
berbeda dari keyakinan sebelumnya yang politeistik. Ia memperkenalkan suatu
pandangan ketuhanan yang baru yang didasarkan pada keyakinan bahwa hanya ada
satu Tuhan dialam semesta. Pandangan monoteisme inilah yang kemudian menjadi
cikal bakal pandangan ketuhanan terhadap tiga agama besar didunia : Islam, Yahudi,
dan Kristen.

Monoteisme yang diajarkan oleh Ibrahim, pada awalnya, bertolak dari pencarian
ketuhanan yang radikal. Ibrahim sendiri mencontohkan pencarian tersebut dengan
upayanya yang keras untuk mengenal Tuhan. Dalam Al-Qur’an, diceritakan bahwa
Ibrahim mencari Tuhan dwengan susah payah dan penuh perjuangan. Pada mulanya,
ia menduga bahwa bintang adalah TuhanNya. Dugaan ini kemudian ditolaknya
sendiri ketika ia melihat bulan dan mengira bahwa itulah Tuhan yang ia cari. Ibrahim
terus melakukan pencarian hingga akhirnya ia melihat matahari dan sadar bahwa
semua yang dilihatnya bukanlah Tuhan yang sebenarnya.

Monoteisme Ibrahim sering disebut sebagai monoteisme radikal. karena dia sampai
pada kesadaran akan Tuhan setelah melewati rangkaian pencarian terus menerus
tanpa kenal lelah. Ketika akhirnya Ibrahim menemukan Tuhan, ia pertama-tama tidak
menemukannya dengan keyakinan, melainkan dengan pencarian.

Pencarian radikal Ibrahim dalam mencari Tuhan “Inni wajjahtu wajhia lilladzi
fatharassamaawati wal ard” sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi.

Lebih lanjut lagi berkaitan tentang Dasar-Dasar Kepercayaan, yang berujung pada
pembahasan terkait tentang Teologi. Disini dipandang perlu untuk mengambil banyak
mutiara nutrisi dari seorang tokoh muslim terkemuka yakni Ibnu Arabi. Bagi Ibnu
Arabi, Tuhan yang sebagaimana diyakini oleh muttakalimmun adalah “Tuhan
Kepercayaan” Tuhan Dalam Kepercayaan” Tuhan Yang Dipercaya” Tuhan Yang
Dalam Kepercayaan” Tuhan itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya, melainkan Tuhan
yang menjadi Tuhan karena ia dipercayai. Karena lahir dari kepercayaan, maka
dengan sendirinya Tuhan tersebut bersifat konsepsional dan bukan Tuhan pada
dirinya atau Tuhan itu sendiri sebagaimana danya.

Lebih jauh Ibnu Arabi mengatakan bahwa Tuhan pada dirinya adalah Tuhan yang
tidak diketahui yang transenden yang tidak terikat dengan atribut atau identitas apa
pun. Dibahasakan secara lain, Ia adalah “yang tak pasti dari segala yang tak pasti”
yang paling tidak diketahui dari semua yang tidak diketahui” dalam KeDia-an Nya
yang hakiki , kata Ibnu Arabi Ia adalah misteri yang absolute, Dengan kata lain, Ia
adalah “Negativitas” dalam bentuknya yang paling negative.

Untuk membahas tentang Dasar-Dasar Kepercayaan dalam Teologi, dan agar lebih
melengkapi, penulis akan membagi pembahasan terkait dengan Dasar-Dasar
Kepercayaan, dalam beberapa bentuk pembahasan. Yang pertama, paham
Ketuhanan yang palsu. Yang kedua, masalah politeisme. Yang ketiga, Arti jalan
menuju Tuhan. Ketiga, mengalami kehadiran ilahi. Keempat, Ibadah sebagai
pengalaman kehadiran ilahi.

A. Paham Ketuhanan Yang Palsu


Dari tinjauan sejarah, diketahui orang-orang arab sebelum Islam sebenarnya
juga sudah percaya kepada Allah. Percaya bahwa Allah lah yang menciptakan
alam raya, serta yang menurunkan hujan. Akan tetapi, menurut Cak Nur,
secara akidah, mereka tidak dapat dikatakan kaum beriman dan begitu pula
tidak dapat disebut sebagai kaum bertauhid. Mereka dalam Islam disebut
kaum yang mempersekutukan atau orang yang memperserikatkan Tuhan.

Padahal, menurut Cak Nur, mereka mengakui dan sadar betul bahwa sekutu
itu bukanlah Tuhan, melainkan makhluk seperti manusia. Lebih dari itu,
dalam pandangan Cak Nur, pengertian orang arab pra Islam itu tentang Allah
masih penuh dengan metodologi. Misalnya, percaya bahwa Allah mempunyai
anak-anak perempuan.
Jika percaya kepada Allah, menurut Cak Nur, tidak dengan sendirinya berarti
tauhid. Sebabnya percaya kepada Allah masih mengandung kemungkinan
percaya kepada yang lain sebagai saingan Allah, dalam keilahian. Dan inilah
menurutnya, adalah problem manusia sepanjang masa. Percaya kepada Allah
atau Tuhan, namun tidak murni. Dan justru karena syirik adalah problem
utama manusia, maka, menurut Cak Nur, program pokok Al-Qur’an,
membebaskan manusia dari belenggu tuhan yang banyak itu dengan
mencanangkan dasar kepercayaan yang diungkapkan dalam kalimat al-nafyu
wa al itsbat (negasi-afirmasi), yaitu, kalimat tidak ada Tuhan selain Allah
Tuhan itu. Kalimat ini dimulai dari proses pembebasan, yaitu pembebasan
dari belenggu kepercayaan pada hal-hal yang palsu, dan diakhiri dengan pe
ngalaman bahwa manusia haruis mempunyai kepercayaan pada segala sesuatu
yang benar. Pelaksanaan program Al-Qur’an ini bagi suatu masyarakat
manusia yang telah memiliki kepercayaan terhadap Tuhan secara camouran,
proses pembebasannya dilakukan denggan pemurnian kembali kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri.

Caranya, menurut Cak Nur, pertama, melepaskan diri dari kepercayaan yang
palsu, kedua, dengan pemusatan pada kepercayaan yang benar. Hal ini
menurut Ibnu Taimiyyah, dikatakan mengandung tauhid uluhiyah (bahwa
yang boleh disembah hanyalah Allah) yang kedua, tauhid rububiyyah, (bahwa
Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Mutlak dan transenden).

B. Masalah Politeisme
Bnayak filsuf yang berpendapat bahwa ateisme adalah problem yang paling
nyata bagi orang beragama dewasa ini. Tapi, menurut Cak Nur, dalam
pengamatan terhadap praktik orang komunis abad 20 ini, yang menurutnya
mencoba mengembangkan dan menerapkan ateisme secara alamiah dan
profesinal. Ternyata hasil dari ateisme adalah justru lebih banyak
memunculkan bentuk politeisme yang dikatakan sangat kasar, yang dengan
kekasarannya memenjarakan manusia. Ini bisa dilihat misalnya politeisme
pemujaan dan kultus kepada para pemimpin. Bahkan bagi Cak Nur, dapat
dikatakan komunisme telah tumbuh dan berkembang menjadi padanan agama,
dan para pemimpin komunis menjadi padanan Tuhan. Bahkan lebih kasar lagi
berbagai tingkah laku orang-orang komunis, seperti sikap penuh khidmat
mereka ketika menyanyikan lagu tertentu, atau membaca kutipan karya
seorang pemimpin telah berkembang semacam ibadat atau padanan ibadat itu
sendiri.

Itulah sebabnya, menurut Cak Nur, jika memperhatikan berbagai praktik


politeistik, baik yang kuno maupun yang modern, kita akan dapat mengerti
mengapa politeisme atau syirik itu dalam kitab suci disebut sebagai dosa yang
amat besar, yang tak akan diampuni Tuhan. Hakikat syirik menurut Cak Nur,
sama dengan mitos yaitu mengangkat keatas sesuatu yang lain selain Tuhan
secara tidak haqq, sedemikian rupa sehingga memiliki nilai lebih tinggi
daripada manusia sendiri. Dalam gambaran grafisnya menurut Cak Nur,
manusia harus melihat keatas hanya kepada Tuhan, kepada alam harus
melihatnya kebawah, sedangkan kepada sesamanya, manusia harus melihat
secara mendatar, sesuai dengan pandangan metafisik tentang tingkat
eksistensi, karena hanya dengan cara ini manusia akan menemukan dirinya
yang kodrati.

Dari sinilah, kita bertemu dengan makna utama dasar kepercayaan dan dasar
keyakinan yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya arah dan tujuan hidup.
Dengan dasar kepercayaan, dan dilengkapi dengan dasar keyakinan, manusia
akan memiliki kembali hidupnya yang autentik, dan tidak lagi mengalami
penyimpangan. Inilah sesuatu yang oleh Cak Nur, disebut menjadikan Tuhan
sebagai makna dan tujuan hidup. atau hidup dengan sennatiasa mengikuti
jalan yang lurus, yang membentang dirinya antara das sein dan Tuhan sebagai
das sollen. Yang berarti manusia harus berjuang untuk hidup sejalan dengan
bisikan suci hati nurani.

C. Arti Jalan Menuju Tuhan


Suatu dasar kepercayaan menuju Tuhan yang akan membawa apa yang
disebut oleh Cak Nur, kepuasan batin yang esoteris, yang pada dasarnya
menpunyai banyak jalur perjalanan. Itu sebabnya dalam Al-Qur’an kata jalan
itu diistilahkan dengan berbagai nama yaitu shirath, sabil, syari’ah, thariqah,
minhaj, dan mansak, yang kesemuanya berate jalan. Ini mengimplikasikan
bahwa dalam ajaran Islam, jalan dalam beragama, itu tidak hanya satu. Apa
lagi jalan itu akan sangat tergantung kepada masing-masing pribadi.
Walaupun dalam pandangan Islam jalan menuju Tuhan itu sendiri adalah satu,
akan tetapi melewati jalur yang banyak. Kata shirath yang artinya adalah jalan
misalnya dalam Al-Qur’an tidak dapat disebut dalam bentuk jamak. Tetapi
kata sabil yang artinya juga jalan, banyak disebutkan dalam bentuk jamak.
Misalnya dalam ayat “dan dengan Al Qur’an Allah akan menunjukan kepada
siapapun yang ingin mencapai ridhoNya berbagai jalan keselamatan.

D. Mengalami Kehadiran Ilahi


Mengalami kehadirani Ilahi itu mempunyai makna keagamaan, yaitu sebagai
jalan menuju Tuhan. Juga mempunyai makna psikologis, yang memberi efek
ketenangan. Menurut Cak Nur, ini justru karena seorang yang beriman itu
mempunyai kesadaran bahwa Allah itu omnipresent, selalu hadir bersama
kita, dan kita tidak pernah sendirian. Maka, dari itu, salah satu sifat Allah
yang menurut Cak Nur, adalah Al wakil, artinya tempat bersandar, yang sama
dengan Al shamad. Dan sikap bersandar kepada Tuhan itu disebut sebagai
tawwakal. Yaitu suatu ajaran sufisme bagaimana kita menyandarkan atau
memasrahkan diri kepada Allah. Zat yang Maha Tinngi. Dan ini mempunyai
efek psikologis yang memberi ketenangan.
Disini menarik, Cak Nur, mengatakan bahwa jika pengalaman kehadiran
Tuhan itu ditersukan, maka mungkin aka nada pengalaman apa yang
diilustrasikan dalam Al-Qur’an dengan kuat sekali bahwa dalam hidup ini,
kita akan ditemani oleh para malaikat. Karena itu menurut Cak Nur, bisa
dimengerti mengapa Nabi dalam sebuah hadisnya mengatakan “Yang paling
banyak menyebabkan manusia masuk surge ialah takwa kepada Allah, dan
budi pekerti yang luhur. Kalau seorang intes sekali dalam menghayati
kehadiran Tuhan dalam hidupnya, termasuk menghayati bagaimana Tuhan
mengawasi hidupnya maka dengan sendirinya dia akan selalu menghitungkan
segala perbuatan , agar jangan sampai tidak diperkenankan atau diridhoi
Tuhan.

E. Ibadah Sebagai Pengalaman Kehadiran Tuhan


Pada dasarnya semua agama menyetujui bahwa ibadah adalah bagian yang
sangat penting dari setiap agama atau kepercayaan. Ibadah berarti pengabdian
yang menurut Cak Nur, seaakar dengan kata-kata arab, abd, yang berarti
hamba atau budak. Dalam pengertian lebih luas, ibadah mencakup
keseluruhan kegiatan manusia dalam kehidupan didunia ini.

Disini ada persoalan yang menarik yang diajukan oleh Cak Nur, apakah
manusia tidak cukup dengan iman saja, dan berbuat baik tanpa perlu
beribadah. Seperti halnya Albert Einstein yang mengatakan bahwa ia percaya
kepada Tuhan, dan keharusan berbuat baik, tanpa merasa perlu karena
dianggap tidak ada gunanya, memasuki agama formal seperti yahudi dfan
Kristen. Gagasan Cak Nur, pertanyaan ini mensugestikan hal yang logis dan
masuk akal. Apalagi kitab suci sendiri dielaborasi ada dua serangkaian nilai
amaliyah yang harus dipunyai manusia untuk mendapatkan keselamatan.
Namun demikian Cak Nur, dalam telaah lebih lanjut , pertanyaan ini bisa
menimbulkan beragam masalah.
Pertama, dalam kenyataan historis tidak pernah ada sistem kepercayaan yang
tumbuh tanpa sedikit banyak berkaitan dengan ritus. Bahkan pandangan hidup
yang tidak berpotensi religiusb sama sekali, malahan berprogram untuk
menghapuskan agama seperti komunisme.
Kedua, iman, berbeda dari sistem ilmu filsafat yang berdimensi rasionalitas,
selalu memiliki dimensi suprarasional atau spiritual yang mengekspresikan
diri dalam tindakan melalui sistem ibadah. Menurut Cak Nur, tindakan
kebaktian itu tidak hanya meninggalkan dampak memperkuat rasa
kepercayaan, dan memberi kesadaran lebih tinggi tentang implikasi iman dan
perbuatan.

Dari sinilah menurut Cak Nur, ibadah dapat menjadi penengah antara iman
yang abstrak dan amal perbuatan yang konkret. Sebagai konkret rasa
keimanan, ibadah mengandung arti instrinsik sebagai pendekatan terhadap
Tuhan. Dalam ibadah, itu seorang hamba Tuhan merasakan kehampiran
spiritual kepada TuhanNya. Pengalaman keruhanian itu sendiri menurut Cak
Nur, merupakan sesuatu yang dapat disebut inti rasa keagamaan atau
religiusitas yang dalam pandangan mistis seperti para kalangan sufi yang
memiliki tingkat keabsahan paling tinggi.

Berkaitan dengan Dasar-Dasar Kepercayaan, dibawah ini akan dikutip pidato


untuk melihat pidato tersebut memberi tata nilai Dasar-Dasar Kepercayaan,
dalam menciptakan masyarakat yang egalitarian, demokratis, partisipatif, dan
berkeadilan sosial.

“Wahai sekalian umat manusia! Ingat, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu,


dan bapakmu adalah satu! Ingat, tidak ada kelebihan pada orang arab atas
orang ajam (asing), dan tidak pada orang ajam atas orang arab, tidak pada
orang merah atas orang hitam, dan tidak pada orang hitam atas orang merah,
kecuali dengan takwa. Bukankah aku telah sampaikan (mereka yang hadir
menjawab) Rasulullah Saw. Telah sampaikan!

“Wahai sekalian umat manusia! Tahukah kamu, dalam bulan apa kamu
sekarang berada, di hari apa kamu sekarang berada, di negeri mana kamu
sekarang berada? (mereka yang hadir menjawab) Dihari suci, dalam bulan
suci, dan negeri yangh suci. Nabi Bersabda “Maka sesungguhnya darahmu,
hartamu, dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya harimu ini,
dalam bulan ini, dan negerimu ini. Sampai kamu berjumpa dengan Dia (Allah)
dan Nabi mengulanginya beberapa kali.

Ingat, tidaklah seorang penjahat berbuat jahat, melainkan menimpa dirinya


sendiri. Seorang orang tua tidak dapat berbuat jahat kepada anaknya, dan
seorang anak tidajk boleh berbuat jahat kepada orang tuanya. Ingat,
sesungguhnya yang muslim adalah saudara yang muslim. Karena itu, tidak
ada sesuatu apa pun yang halal bagi seorang muslim dari saudara sesamanya
terkecuali yang dihalalkan dari saudaranya itu.

Kamu semua akan berjumpa dengan Tuhanmu. Dan dia akan menanyakan
kepadamu tentang amal perbuatanmu. Ingat, jangan sesudahku nanti kamu
kembali menjadi orang-orang sesat, sebagian dari kamu memukul tengkuk
sebagian yang lain, janganlah sesudahku nanti, kamu kembali menjadi orang
kafir, sebagian dari kamu menengkuk sebagian yang lain.

Dengarkanlah olehmu semua dariku, kamu akan hidup sentosa, ingat, kamu
jangan berbuat dzalim, sesungguhnya tidak halal harta seorang terkecuali
dengan perkenaan hatinya. Ingat, sesungguhnya setiap tebusan darah harta dan
dendam yang terjadi di masa jahiliyah berada di bawah telapak kaki ku ini
sampai hari kiamat. Dan tebusan darah dan pembunuhan yang dibatalkan ialah
darah Rabi’ah Ibn Al Harits Ibn Abd Al Muthalib, ia disusulkan dikalangan
bani layts kemudian dibunuh oleh Hudzayl. Ingat, sesungguhnya semua riba
yang terjadi di masa jahiliyah dibatalkan. Dan sesungguhnya Allah Azza
Wazzala memutuskan bahwa riba pertama yang dibatalkan ialah riba Al
Abbas Ibn Abd Al Muthalib. Bagi kamu modal-modalmu, kamu tidak boleh
menindas dan tidak boleh ditindas.

Ingat, sesungguhnya masa telah beredar seperti keadaannya pada hari Allah
mencipta seluruh langit dan bumi. “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi
Allah adalah dua belas bulan dalam kitab Allah ketika menciptakan sekuruh
kangit dan bumi, empat diantarannya adalah bulan suci. Itulah Din yang
tegak lurus. Maka janganlah kamu berbuat dzalim dalam bulan suci itu.

Ingat, jangan sesudahku nanti, kamu kembali menjadi orang kafir, sebagian
dari kamu menekuk lutut sebagian yang lain. Ingat, Sesungguhnya setan telah
berputus asa untuk disembah oleh orang yabg sembahyang. Akan tetapi setan
akan selalu mengadu domba antara kamu. “Maka bertaqwalah kepada Allah
dalam hal wanita sebabnya mereka itu orang yang bergantung disisi kamu.
yang tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka sendiri. Dan sesungguhnya
mereka itu punya hak atas kamu, dan kamu punya hak atas mereka.
Janganlah mereka membiarkan seseorang pun menyentuh tempat tidurmu
selain kamu sendiri, dan janganlah mereka itu sekali kali mengijinkan orang
yang tidak kamu sukai berada dalam rumahmu. Jika kamu mengkhawatirkan
penyelewengan mereka, amka nasihatlah mereka, tinggalkan mereka dalam
pembaringan, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas.
Dan mereka itu punya hak untuk mendapatkan rezeki dan pakaian dengan
baik. Kamu mengambil mereka hanya dengan amanat Allah, dan kamu
menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Dan siapa saja
yang menanggug amanatm hendaknya ia menunaikannya kepada yang
memberi amanat.
Ingat, kamu harus menjaga pesan yang baik berkenaan dengan wanita.
Sebabnya sesungguhnya mereka itu orang yang bergantung disisimu, dan
kamu tidak memilih sesuatu dari mereka selain hal ketergantungan mereka
terhadapmu itu, kecuali mereka melakukan kekejian yang jelas. Jika mereka
lakukan itu, maka tinggalkanlah mereka dalam pembaringan, dan pukullah
mereka dengan pukulan yang tidak membekas. Dan jika mereka patuh kepada
kamu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk berbuat jahat atas mereka.
Ingat, kamu punya hak atas istri kamu, dan istri kamu punya hak atas kamu.
Adapun hak kamu atas istri kamu adalah, bahwa mereka tidak membiarkan
orang yang tidak kamu sukai berada dalam rumahmu. Dan hak mereka atas
kamu adalah, kamu harus berbuat baik kepada mereka dalam hal sandang
dan pangan.

Dan sesungguhnya telah aku tinggalkan padamu sekalian sesuatu yang kamu
tidak akan sesat jika berpegang kepadanya. Kitab Allah, dan kamu nanti akan
ditanya tentang aku, maka apa yang hendak kamu katakan. (mereka yang
hadir menjawab) Kami bersaksi bahwa engkau telah sampaikan, engkau telah
tunaikan, dan engkau telah nasihatkan. (kemudian Nabi Saw bersabda
dengan jari telunjuk beliau angkat ke langit lalu ditudingkan kepada manusia
pada orang banyak yang hadir. “Oh Tuhan saksikanlah, Oh Tuhan
saksikanlah, Oh Tuhan saksikanlah.

Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Sebabnya


seringkali orang yang menerima penyampaian itu lebih bahagia dari pada
orang yang mendengar sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Fayyadl, Muhammad. 2021 Teologi Negatif Ibn’Arab. Yogyakarta: PT LKiS

Printing Cemerlang

Rachman, B Munawar. 2011. Ensiklopedia Nurcholish Madjid. Jakarta: MIZAN

Muthahari, Murtadha. 2014. Pengantar Ilmu Qalam Dan Irfan. Yogyakatra:

Rausyanfikr Institute

Muthahari, Murtadha. 2002. Manusia Dan Alam Semesta. Jakrta: PT Lentera

Basritama

Anda mungkin juga menyukai