Anda di halaman 1dari 2

Kajian Living Qur’an Ahli Tafsir lebih

Unggul daripada Sosiolog dan


Antropolog Murni
 Kamis, 17 Oktober 2019 06:04:00 WIBDilihat : 2382 Kali

UIN Sunan Kalijaga, merupakan kibat kajian living Qur’an di Indonesia. Oleh karena itu, Prodi
Magister Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 17 Oktober menggelar
diskusi mahasiswa dengan tajuk Living Qur’an di antara Studi Qur’an dan Studi Sosial dan
Antropologi. Diskusi diskusi rutin mahasiswa Prodi Magister Aqidah dan Filsafat Islam ini
dilangsungkan di Smart Room Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam sejak pukul 09.00-
11.30 WIB.

Diskusi Living Qur’an di antara Studi Qur’an dan Studi Sosial dan Antropologi  ini menghadirkan
dua orang narasumber, yaitu Dr. H. Abdul Mustaqiem, M. Ag. dan Dr. Ikhsanuddin, M. Ag.
Dalam diskusi ini Dr. H. Abdul Mustaqiem, M. Ag. Memberikan penjelasan teoritis tentang
kajian living Qur’an. Menurutnya, kajian al-Qur’an itu terbagi menjadi tiga macam sesuai
dengan rsepsinya terhadap al-Qur’an sebagai objek material kajian. Pertama,  resepsi
hermeneutis/tafsir. Kajian ini bisa berupa tafsir terhadap ayat-ayat al-Qu’ran atau terhadap
kajian-kajian tafsir al-Qur’an.

Kedua,  resepsi estetis. Kajian ini berbasis pada keindahan al-Quran, baik dari segi bahasa
(balaghah) maupun dari segi model pembacaannya (qira’ah). Ketiga,  resepsi sosial budaya. Di
sinilah posisi kajian living Qur’an menurut Dr. H. Abdul Mustaqiem, M. Ag. “Bagaimana al-Quran
hidup dan mempengaruhi kehidupan dan kebudayaan masyarakat itulah yang menjadi objek
kajian living Qur’an.” Pungkas ketua Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga tersebut.

Berbeda dengan Dr. H. Abdul Mustaqiem, M. Ag., Dr. Ikhsanuddin, M. Ag. cenderung lebih
banyak membahas tentang wilayah praktis dari kajian living Qur’an daripada kajian teoritisnya.
Dekan Fakultas Ushuluddin IIQ an-Nur ini mengisahkan tentang beberapa pengalamannya
dalam melakukan kajian living Qur’an. Berdasarkan pengalamannya, Dr. Ikhsanuddin, M. Ag.
mengatakan bahwa seorang pengkaji living Qur’an itu pertama-tama harus bisa membedakan
mana tradisi yang bersumber dari al-Qur’an dan mana tradisi yang bersumber dari selain al-
Qur’an (kultur murni), supaya dapat membedakan dirinya dengan antropolog atau sosiolog
pada umumnya.

Kedua,  dalam melakukan riset living Qur’an kita harus melakukan riset itu secara mendalam
dan partisipatif. Kita harus ikut atau terlibat juga dalam kehidupan masyarakat yang akan kita
kaji. Ketiga,  agar riset living Qur’an itu bisa jadi menarik, kita harus mengarahkan riset living
Qur’an itu pada kajian-kajian atas pemahaman masyarakat kontemporer terhadap al-Qur’an,
seperti pemaknaan ayat jihad menurut teroris, gender dan al-Qur’an masyarakat kontemporer,
HAM, dll.

Terakhir, Dr. Ikhsanuddin, M. Ag. menceritakan pengalamannya tentang kelebihan kajian living
Qur’an yang dilakukan oleh prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir jika dibanding dengan kajian sosilogi
dan antrologi yang dilakukan oleh antropolog atau sosiolog murni. Dia mengatakan, “Sebagai
orang yang paham Tafsir, kelebihan kita dalam melakukan riset living Qur’an daripada sosiolog
dan antropolog murni adalah kita paham teks dan menguasai kitab kuning, sementara mereka
tidak. Pernah saya berkompetisi dengan 3 orang antropolog di Bangkok dan alhamdulillah
kemudian riset sayalah yang disetujui, karena di banding yang lain hanya saya saja yang paham
kajian tafsir dan kajian kitab kuning,” kata Dr. Ikhsanuddin, M. Ag. (admin)

https://afimagister.uin-suka.ac.id/id/berita/detail/1332/kajian-living-quran-ahli-tafsir-lebih-unggul-
daripada-sosiolog-dan-antropolog-murni

Anda mungkin juga menyukai