Anda di halaman 1dari 26

Bronkitis

A. Definisi
Bronkitis adalah suatu infeksi saluran pernafasan yang menyebabkan
inflamasi yang mengenai trakea, bronkus utama dan menengah yang
bermanifestasi sebagai batuk, dan biasanya akan membaik tanpa terapi
dalam dua minggu. Bronkitis umumnya disebabkan oleh virus seperti
rhinovirus , RSV , virus influenza, virus para influenza, adenovirus , virus
rubella dan paramyxovirus dan bronkitis karena bakteri biasanya dikaitkan
dengan mycoplasma pneumonia, bordetella pertussis atau corynebacterium
diphtheria (Rahajoe, 2012).
Bronkitis merupakan penyakit infeksi pada saluran nafas yang
menyerang bronkus. Penyakit ini banyak menyerang anak – anak yang
lingkungannya banyak polutan, misalnya orang tua yang merokok di rumah,
asap kendaraan bermotor, asap hasil pembakaran pada saat masak yang
menggunakan bahan bakar kayu. Di indonesia masih banyak keluarga yang
setiap hari menghirup polutan ini, kondisi ini menyebabkan angka kejadian
penyakit bronkitis sangat tinggi (Marni, 2014).
Bronkitis dibagi menjadi dua :
1. Bronkitis akut
Merupakan infeksi saluran pernapasan akut bawah. Ditandai dengan
awitan gejala yang mendadak dan berlangsung lebih singkat. Pada
Bronkitis jenis ini, inflamasi (peradangan bronkus biasanya disebabkan
oleh infeksi virus atau bakteri, dan kondisinya diperparah oleh
pemaparan terhadap iritan,seperti
asap rokok, udara kotor,debu, asap kimiawi, dll
2. Bronkitis kronis
Ditandai dengan gejala yang berlangsung lama (3 bulan dalam
setahun selama 2 tahun berturut – turut ). Pada bronkitis kronik
peradangan bronkus tetap berlanjut selama beberapa waktu dan
terjadi obstruksi/hambatan pada aliran udara yang normal dalam
bronkus.
B. Patofisiologi
Menurut kowalak (2011) bronkitis kronik terjadi karena respiratori
syncytial virus (RSV), Virus Influenza, virus parainfluenza, asap rokok, polusi
udara yang dihirup selama masa inkubasi virus kurang lebih 5 sampai 8 hari.
Unsur – unsur iritan ini menimbulkan inflamasi pada percabangan
trakeobronkial, yang menyebabkan peningkatan produksi sekret dan
penyempitan atau penyumbatan jalan nafas. Seiring berlanjutnya proses
inflamasi perubahan pada sel – sel yang membentuk dinding trakus
respiratorius akan mengakibatkan resistensi jalan nafas yang kecil dan
ketidak seimbangan ventilasi – pervusi yang berat sehingga menimbulkan
penurunan oksigenasi daerah arteri. Efek tambahan lainnya meliputi inflamasi
yang menyebar luas, penyempitan jalan nafas dan penumpukan mucus di
dalam jalan nafas. Dinding bronkus mengalami inflamasi dan penebalan
akibat edema. Serta penumpukan sel – sel inflamasi. Selanjutnya efek
bronkospasme otot polos akan mempersempit lumen bronkus. Pada awalnya
hanya bronkus besar yang terlihat inflamasi ini, tetapi kemudian semua
saluran nafas turut terkena. Jalan nafas jadi tersumbat dan terjadi penutupan,
khususnya pada saat terjadi ekspirasi. Dengan demikian, udara nafas akan
terperangkap di bagian distal paru. Pada keadaan ini akan terjadi
hipoventilasi yang menyebabkan ketidak cocokan dan akibatnya.
Timbul hipoksemia. Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi sekunder karena
hipoventilasi. Resistensi vaskuler paru meningkat ketika vasokontriksi yang
terjadi karena inflamasi dan kompensasi pada daerah –
daerah yang mengalami hipoventilasi membuat arteri pulmonalis menyempit
inflamasi alveolus menyebabkan sesak nafas.
C. Epidemiologi
WHO menyatakan kejadian bronkitis kronik di Amerika Serikat
berkisar 4,45% atau 12,1 juta jiwa dari populasi perkiraan yang digunakan
293 juta jiwa. Daerah ASEAN, negara Thailand salah satu negara yang
merupakan angka ekstrapolasi tingkat prevalensi bronkitis kronik yang paling
tinggi yaitu berkisar 2.885.561 jiwa dari populasi perkiraan yang digunakan
sebesar 64.865.523 jiwa (Riskesdas, 2018). Negara Indonesia sebanyak 1,6
juta orang terinfeksi bronkitis (Kharis, dkk, 2017). Bronkitis menjadi masalah
utama di Jawa Timur yang paling sering terjadi pada anak-anak 25,65%setiap
tahunnya dan remaja 89% mengalami distress pernapasan berupa bersihan
jalan nafas tidak efektif (Rohmah, 2019).
RSUD Bangil Pasuruan pada tahun 2019 jumlah pasien yang mengalami
bronkitis adalah 236 pasien, dari 236 pasien yang mengalami ketidakefektifan
bersihan jalan napas 217 pasien (Rekam Medik RSUD Bangil, 2019).
D. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala pada bronkitis akut biasanya batuk, terdengar
ronchi, suara yang berat dan kasar, wheezing, menghilang dalam 10-14 hari,
demam, produksi sputum. Kemudian untuk tanda dan gejala bronkitis kronis
yaitu: batuk yang parah pada pagi hari dan pada kondisi lembab, sering
mengalami infeksi saluran napas seperti pilek atau flu yang disertai dengan
batuk, gejala bronkitis akut lebih dari 2-3 minggu, demam tinggi, sesak napas
jika saluran tersumbat, produksi dahak bertambah banyak berwarna kuning
atau hijau.
E. Komplikasi
Komplikasi bronkitis menurut Marni, 2014, dengan kondisi kesehatan
yang antara lain :
1) Sinusitis
2) Otitis media
3) Bronkiektasis
4) PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)
5) Gagal napas
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Ikawati, 2016, sebagai berikut:
Karena penyebab bronkitis pada umumnya virus maka belum ada obat
kausal. Obat yang diberikan biasanya untuk penurun demam, banyak minum
terutama sari buah-buahan, obat penekan batuk tidak diberikan pada batuk
yang banyak lendir, lebih baik diberi banyak minum.
Bila batuk tetap ada dan tidak ada perbaikan setelah 2 minggu maka
perlu dicurigai adanya infeksi bakteri sekunder dan antibiotik boleh diberikan,
asal sudah disingkirkan adanya asma atau pertussis. Pemberian antibiotik
yang serasi untuk M. pneumonia dan H. influenza sebagai bakteri menyerang
sekunder misalnya Amoksisilin, Kotrimoksazol dan golongan makrolida.
Antibiotik diberikan 7-10 hari dan bila tidak berhasil maka perlu dilakukan foto
thorax untuk menyingkirkan kemungkinan kolaps paru segmental dan lobaris,
benda asing dalam saluran napas, dan tuberkulosis.
Klien dengan bronkitis tidak dirawat di rumah sakit kecuali ada komplikasi
yang menurut dokter perlu perawatan di rumah sakit, oleh karenanya
perawatan lebih ditujukan sebagai petunjuk pada orang tua. Masalah yang
perlu diperhatikan adalah akibat batuk yang lama dan resiko terjadi
komplikasi
1. Akibat batuk lama
Bronkitis gejala batuk sangat menonjol, dan sering terjadi siang dan
malam terutama pagi-pagi sekali yang menyebabkan klien kurang
istirahat atau tidur, klien akan terganggu rasa aman dan nyamannya.
Akibat lain adalah terjadinya daya tahan tubuh klien menurun,
anoreksia, sehingga berat badannya sukar naik. (Brunner & Suddarth,
2016).
Usahakan mengurangi gangguan tersebut agar batuk tidak bertambah
banyak dengan memberikan obat secara benar dan
membatasi aktivitas untuk mencegah keluar banyak keringat, karena
jika baju basah juga akan mengakibatkan batuk-batuk karena dingin.
Untuk mengurangi batuk pada malam hari berikan obat terakhir
sebelum tidur. Klien yang batuk apalagi yang bronkitis lebih baik tidak
tidur di kamar yang ber-AC atau memakai kipas angin. Jika suhu
udaranya dingin dipakaikan baju yang hangat, lebih baik ada tertutup
lehernya. Obat gosok membuat klien terasa hangat dan dapat tidur
tenang. Bila batuk tidak segera berhenti berikan minum hangat
tidak panas (Angelina, 2016).
Apabila pada klien bronkitis terdapat dahak di dalam
tenggorokannya dianjurkan untuk membuangnya karena adanya dahak
tersebut juga dapat merangsang batuk. Usahakan mengurangi batuk
dengan menghindari makanan yang merangsang seperti goreng-
gorengan, permen, minum es, dan jangan mandi terlalu pagi atau
terlalu sore, usahakan mandi dengan air hangat (Ikawati, 2016).
2. Terjadi komplikasi
Bronkitis akut yang tidak diobati secara benar cenderung menjadi
bronkitis kronik, sedangkan bronkitis kronik memungkinkan mudah
terkena infeksi. Gangguan pernapasan secara langsung sebagai akibat
bronkitis kronik adalah bila lendir tetap tinggal didalam paru akan
menyebabkan terjadinya atelektasis dan bronkiektasis; kelainan ini
akan menambah penderitaan klien lebih lama.Untuk menghindari
terjadinya komplikasi ini pasien bronkitis harus mendapatkan
pengobatan dan perawatan yang benar sehingga lendir tidak selalu
tertinggal dalam paru. Berikan banyak minum untuk membantu
mengencerkan lendir; berikan buah dan makanan yang bergizi untuk
mempertinggi daya tahan tubuh (Husaini & Sensussiana, 2019).

Emfisema
A. Definisi
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi
paru dengan adanya kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara
bagian distal bronkiolus terminal yang disertai dengan kerusakan
dinding alveoli. Emfisema adalah penyakit paru menahun yang paling
umum dan sering diklasifikasikan dengan bronkitis menahun karena
kejadian simultan dari dua kondisi. (Arif Muttaqin, 2008).
Terdapat 2 jenis emfisema yang diklasifikasikan berdasarkan
perubahan yang terjadi dalam paru yaitu :
1. Emfisema Panlobular (Panacinar). Emfisema panlobular melibatkan
seluruh lobules respiratorius. Bentuk morfologi yang lebih jarang,
alveolus mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata
mengenai bagian ainus yang sentral maupun yang perifer. Bersamaan
dengan penyakit yang semakin parah, semua komponen asinus sedikit
demi sedikit menghilang sehingga akhirnya hanya tertinggal beberapa
jaringan yang biasanya berupa pembuluh- pembuluh darah.
2. Emfisema Sentrilobular. Emfisema sentrilobular hanya menyerang
bagian bronkiolus respiratorius dan duktus alveolaris. Dinding-dinding
mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung
menjadi satu ruang sewaktu dinding- dinding mengalami integritas.
Mula- mula duktus alveolaris dan sakus alveolaris yang lebih distal
dapat dipertahankan. Sering menyerang bagian atas paru dan
penyebarannya tidak merata keseluruhan paru.
Emfisema tamak berkaitan dengan banyak cedera yang terjadi jangka
panjang. Prevalensi dan beratnya paling besar pada individu lansia. Jaringan
elastin dan serat dari alveoli dan jalan napas dirusak.
Alveoli membesar, dan banyak dindingnya dihancurkan. Perusakan
alveolar menimbulkan pembentukan ruang udara yang lebih besar daripada
normal, yang sangat menurunkan permukaan difusi alveolar. Bila proses
mulai, proses ini berjalan lambat dan tidak konsisten.
Tabel klasifikasi Emfisema

Klasifikan Deskripsi

Menyebar/umum Lobulus atau acini seluruh paru yang terkena.

Fokal Dihubungkan dengan deposisi debu fokal (mis,


debu karbon).

Ireguler Dihubungkan dengan pengerutan jaringan parut


fibrotik, biasanya karena penyakit lama.

Obstruktif Disertai dengan obstruksi bronkial yang dapat


dilihat.

Bula Ruang emfisematosus lebih dari 1 cm dalam paru


yang mengembang; dapat terjadi pada tipe
emfisema apapun.

B. Patofisiologi
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai
perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat
menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru.
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari
obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus
dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar
daripada pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara
yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.
Pada Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling
sering terkena adalah belahan paru kiri atas. Hal ini diperkirakan oleh
mekanisme katup penghentian. Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang
rawan yang terdapat di dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga
mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang berlebihan.
Selain itu dapat juga disebabkan stenosis bronkial serta penekanan dari luar
akibat pembuluh darah yang menyimpang. Mekanisme katup penghentian:
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi
sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran
udara dari dalam alveolus menjadi lebih penimbunan udara di alveolus
menjadi bertambah sukar dari pemasukannya di sebelah distal dari paru.
C. Epidemiologi
Global
Pada tahun 2019, WHO menempatkan PPOK, termasuk emfisema, di
peringkat ke-3 penyebab kematian paling sering di seluruh dunia, terutama di
negara berkembang. Di Amerika Serikat, prevalensi emfisema dilaporkan
mencapai 14 juta individu, dengan proporsi lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan wanita.
Indonesia
Indonesia dengan jumlah perokok yang tinggi (40,3% dari total populasi)
diprediksi memiliki angka prevalensi yang tinggi untuk emfisema. Namun
demikian, masih belum ada data yang pasti tentang prevalensi emfisema di
Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2019
mencatatkan prevalensi PPOK sebesar 3,7%.
Mortalitas
WHO mencatatkan PPOK, termasuk emfisema, menduduki peringkat ketiga
dalam penyebab kematian di seluruh dunia pada tahun 2019. Terdapat 3,23
juta kematian dimana 90% terjadi di negara berpenghasilan sedang dan
rendah. Sementara itu, di Amerika Serikat, CDC melaporkan jumlah kematian
akibat emfisema sebanyak 7.425 kematian per 100.000 populasi.
Selain kematian, emfisema mengganggu kualitas hidup pasien. Emfisema
menyebabkan gejala pernapasan yang kronik dan progresif. Pasien juga
sering mengalami eksaserbasi dan akan mengalami penurunan produktivitas
bermakna.
D. Penyebab
1. Merokok, Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat
hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi
paksa (FEV) (Nowak, 200).
2. Keturunan. Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan
atau tidak pada emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi
enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik
yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan,
termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat
dicegah. Defisiensi alfa 1- antitripsin adalah suatu kelainan yang
diturunkan secara autosomal resesif. Orang yang sering menderita
emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. emfisema
paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.
3. Infeksi. Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat
sehingga gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran
pernapasan atas pada seorang penderita bronchitis kronis hampir
selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan
kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronkitis kronis disangka
paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian
menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
4. Polusi Udara. Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan
terjadinya emfisema. Insidensi dan angka kematian emfisema dapat
lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi. Polusi udara seperti
halnya asap tembakau juga menyebabkan gangguan pada silia,
menghambat fungsi makrofag alveolar.
5. Faktor Sosial Ekonomi. Emfisema lebih banyak didapat pada golongan
sosial ekonomi rendah, mungkin karena perbedaan pola merokok,
selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang
lebih jelek.
6. Hipotesis Elastase-anti elastase. Didalam paru terdapat keseimbangan
antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastik
paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah emfisema. Sumber
elastase yang penting adalah pankreas, sel-sel PMN, dan makrofag
alveolar (Pulmonary alveolar macrophage- PAM). Rangsangan pada
bau antara lain oleh asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase
bertambah banyak. Aktivitas system antielastase, yaitu sistem enzim
alfa 1- protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi
menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbnagan
antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan
jaringan elastis paru dan kemudian emfisema. (Arif Muttaqin, 2008).
E. Tanda dan gejala
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit
demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok
berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada
saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang
produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan
perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang
dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia. Pada pengkajian
fisik didapatkan :
1. Dispnea
2. Pada inspeksi: bentuk dada 'barrel chest'
3. Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan
otot-otot aksesoris pernapasan (sternokleidomastoid).
4. Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh
bidang paru.
5. Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan
perpanjangan ekspirasi.
6. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum
7. Distensi vena leher selama ekspirasi.
Adapun gejala dari penyakit emfisema paru-paru diantaranya adalah:
1. Pada awal gejalanya serupa dengan bronkitis kronis.
2. Napas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit.
3. Dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol, penderita
sampai membungkuk.
4. Bibir tampak kebiruan
5. Berat badan menurun akibat nafsu makan menurun.
6. Batuk menahun.
F. Pemeriksaan penunjang
1. Pengukuran fungsi paru (spirometri)
Pengukuran fungsi paru biasanya menunjukkan kapasitas paru total
(TLC) dan volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas
vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV). Temuan-temuan ini
menegaskan kesulitan yang dialami klien dalam mendorong udara
keluar dari paru.

No Normal Pada klien emfisema

TLC 6000 ml > 6000 ml

RV 1200 ml > 1200 ml

VC 4800 ml < 4800 ml

FEV 1100 ml < 1100 ml

2. Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit.
Dengan perkembangan penyakit, pemeriksaan gas darah
arteri dapat menunjukkan adanya hipoksia ringan dengan hiperkapnia.
- Hemoglobin normal: 11.0-16.5 gr/dl
- Hemoglobin pasien emfisema: 17 gr/dl
- Hematokrit normal: 35.0-50.0 %
- Hematokrit pasien emfisema: 51 %
3. Pemeriksaan radiologis
4. Analisis gas darah
Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat
dipertahankan oleh pasien emfisema paru. Sehingga PaCO2 rendah
atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
- PaCO2 normal = 35-45 mmHg
- PaCO2 pasien emfisema = <45 mmHg
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan emfisema paru terbagi atas:
1. Penyuluhan, Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat
memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana
cara pengobatan dengan baik.
2. Pencegahan
a. Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan
dan usaha yang optimal harus dilakukan.
b. Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan
secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-
pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya
terhadap saluran nafas.
c. Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi,
terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.
3. Terapi Farmakologi, tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi
jalan nafas yang masih mempunyai komponen reversible meskipun
sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan:
a. Pemberian bronkodilator
Golongan teofilin, biasanya diberikan dengan dosis 10-15
mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam
darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15mg/L.
Golongan agonis B2, biasanya diberikan secara
aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor, tetapi
menghilang dengan pemberian agak lama.
b. Pemberian kortikosteroid
pada beberapa pasien, pemberian
kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran
nafas. Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba
pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada
respon baru dihentikan.
c. Mengurangi sekresi mukus
Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer
sehingga urine tetap kuning pucat. Ekspektoran, yang sering
digunakan adalah gliseril guaiakolat, kalium iodida, dan
amonium
klorida. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan
viskositas dan mengencerkan sputum. Mukolitik
dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.
4. Fisioterapi dan rehabilitasi
Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas
fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari
segi sosial, emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang
dilaksanakan berguna untuk :
a. Mengeluarkan mukus dari saluran nafas.
b. Memperbaiki efisiensi ventilasi.
c. Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
5. Pemberian O2 dalam jangka panjang, akan memperbaiki emfisema
disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien
hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut
Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih
baik daripada pemberian 12 jam/hari.

Diare
A. Definisi
Diare merupakan buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari pada
biasanya lebih dari 200 gram atau 200ml/24 jam. Definisi lain memakai
frekuensi yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali perhari. Buang air besar
tersebut dapat/ tanpa disertai lendir dan darah (Nurarif, Amin Huda 2015).
Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan atau tanpa
darah, dan atau lendir dalam feses, sedangkan diare akut sendiri didefinisikan
dengan diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang
sebelumnya sehat (Sodikin,2011).
Diare bisa disebut juga Gastroenteritis.Gastroenteritis didefinisikan sebagai
inflamasi membran mukosa lambung dan usus halus.Gastroenteritis akut
ditandai dengan muntah-muntah dan diare yang berakibat kehilangan cairan
dan elektrolit yang menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan
elektrolit (Cecily, 2009).
B. Patofisiologi
Proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan faktor
diantaranya pertama faktor infeksi, proses ini dapat diawali adanya
mikroorganisme (kuman) yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang
kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat
menurunkan daerah permukaan usus. Selanjutnya terjadi perubahan
kapasitas
usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi
cairan dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri akan
menyebabkan sistem transpor aktif dalam usus sehingga sel mukosa
mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit meningkat.
Kedua, faktor malabsorbsi merupakan kegagalan dalam melakukan observasi
yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran
air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus
sehingga terjadinyalah diare.Ketiga, faktor makanan, ini dapat terjadi apabila
toksin yang tidak mampu diserap dengan baik.Sehingga terjadi peningkatan
peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap
makan yang kemudian menyebabkan diare.Keempat, faktor psikologis dapat
mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus yang akhirnya
mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan diare
(Alimul, 2012)
C. Epidemiologi

D. Penyebab
Adapun beberapa faktor penyebab diare :
1. Faktor afeksi
a. Infeksi enternal
Merupakan Infeksi saluran pencernaan makanan yang
merupakan
penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi enternal
sebagai berikut:
1) Infeksi bakteri : Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia,Aeromonas.
2) Infeksi virus : Enterovirus (virus ECHO, Coxsackie,
Poliomyelitis) Adeno-virus, Rotavirus,Astrovirus.
3) Infeksi Parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris,
Strongyloides); Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia
lamblia, Trichomonas hominis); Jamur (Candida
Albicans).
b. Infeksi parenteral
Ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti: otitis
media akut (OMA), tonsilitis / tonsilofaringitis, bronkopneumonia,
ensefalitis. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak
berumur dibawah 2
tahun.
2. Faktor malabsorbsi
a. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (Intoleransi laktosa, maltosa
dan sukrosa); monosakarida (Intoleransi Glukosa, fruktosa, dan
galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering
(Intoleransi laktosa).
b. Malabsorbsi lemak.
c. Malabsorbsi protein.
3. Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
4. Faktor psikologis
Rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang
lebih
besar. (Ngastiyah, 2014)
E. Tanda dan gejala
1. Manifestasi Klinis pada penderita diare dimulai dari mula-mula pasien
cengeng,suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau
tak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin disertai lendir atau
lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan
karena bercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya timbul
lecet karena sering defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai
akibat semakin banyak asam laktat yang berasal dari laktosa yang
tidak diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat timbul
sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan karena lambung
turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa dan
elektrolit. Bila pasien lebih banyak kehilangan cairan dan elektrolit,
gejala dehidrasi mulai nampak; yaitu berat badan turun, turgor
berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung (pada bayi),
selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Berdasarkan
banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan,
sedang, dan berat. Bila berdasarkan tonisitas plasma dibagi menjadi
dehidrasi hipotonik, isotonik, dan hipertonik.
2. Pasien diare yang dirawat biasanya sudah dalam keadaan dehidrasi
berat dengan rata-rata kehilangan cairan sebanyak 12,5%. Pada
dehidrasi berat, volume darah berkurang sehingga dapat terjadi
renjatan hipovolemik dengan gejala denyut jantung menjadi cepat, nadi
cepat dan kecil, tekanan darah menurun, pasien sangat lemah,
kesadaran menurun (apatis, somnolen, kadang sampai
soporokomatus). Akibat dehidrasi diuresis berkurang (oliguria sampai
anuria). Bila sudah terjadi asidosis metabolik pasien akan tampak
pucat dengan pernapasan yang cepat dan kedalam (pernapasan
Kussmaul). Asidosis metabolik terjadi karena:
a. Kehilangan NaHCO³ melalui tinja diare.
b. Ketosis kelaparan.
c. Produk-produk metabolik yang bersifat asam tidak dapat
dikeluarkan (karena oliguria /anuria).
d. Berpindahnya ion Natrium dari cairan ekstrasel ke cairan
intrasel.
e. Penimbunan asam laktat (anoksia jaringan)(Ngastiyah,2014).
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat diare adalah sebagai berikut.
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, isotonik atau hipertonik).
2. Renjatan hipovolemik.
3. Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah,
bradikardia, perubahan elektrokardiogram).
4. Hipoglikemia.
5. Intoleransi sekunder akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi
enzim laktase.
6. Kejang, terjadi pada dehidrasi hipertonik.
7. Malnutrisi energi protein, (akibat muntah dan Diare, jika lama atau
kronik) (Ngastiyah, 2014).
Karakteristik kulit bayi berdasarkan anatomi dan fisiologi dari kulit, kulit
pada bayi relatif tipis, halus, pH kulit lebih asam, dan lapisan bagian
dalamnya mempunyai kelembaban yang lebih tinggi sehingga dapat
menyebabkan kulit bayi rentan mengalami iritasi. Iritasi tersebut dapat
diakibatkan oleh paparan yang lama dari pemakaian popok yang penuh
dengan urine dan feses. Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan kulit yang
dikenal dengan ruam kulit atau ruam popok (Manullang, 2010). Ruam popok
merupakan salah satu dari kondisi gangguan kulit ringan, biasanya ruam
popok memerah dan tebal di satu bagian kecil atau dapat juga meluas
dengan benjolan tender merah yang menyebar ke perut dan paha bayi
(Marmi,
2012). Ruam popok memiliki tanda-tanda seperti kulit di sekitar daerah
tersebut meradang berwarna kemerahan, dan kadang lecet yang membuat
bayi menjadi rewel dan tidak nyaman (Suririnah, 2009).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan bagi penderita diare sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan tinja
a. Makroskopis dan mikroskopis
b. pH kadar gula dalam tinja
c. Biarkan dan resistensi feses (colokdubur)
2. Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan
keseimbangan asam basa (pernafasan Kusmaul)
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan Fosfat
(Huda,2015)
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan bagi penderita diare sebagai berikut:
1. Rencana Terapi A: penanganan diare di rumah
a. Berikan cairan tambahan (sebanyak anak mau)
1) Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap
pemberian
2) Jika anak memperoleh ASI eksklusif, berikan oralit atau
air matang sebagai tambahan
3) Jika anak tidak memperoleh ASI Eksklusif, berikan 1 atau
lebih cairan berikut ini: Oralit, cairan makanan (kuah
sayur, air tajin) atau air matang
b. Ajari ibu cara mencampur dan memberikan oralit. Beri ibu 6
bungkus oralit (200 ml) untuk digunakan di rumah.
c. Tunjukan kepada ibu berapa banyak oralit/cairan lain yang
harus diberikan setiap kali anak berak:
1) Umur 1 sampai 5 tahun: 100 sampai 200 ml setiap kali
berak
2) Agar meminumkan sedikit-sedikit tapi sering dari
mangkok/cangkir/gelas
3) Jika anak muntah, tunggu 10 menit.
4) Kemudian lanjutkan lagi dengan lebih lambat
5) Lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare
berhenti
2. Rencana Terapi B: penanganan dehidrasi ringan/sedang dengan oralit
a. Berikan oralit yang dianjurkan selama periode 3 jam
Untuk anak usia 2-<5 tahun dengan berat 12-19 kg diberikan
oralit dengan takaran 900-1400 ml. (Kemenkes RI, 2008)
b. Tentukan jumlah oralit untuk 3 jam pertama
Jumlah oralit yang diperlukan = berat badan (dalam kg)x75
Untuk anak berumur kurang dari 6 bulan yang tidak menyusui,
berikan juga 100-200 ml air matang selama periode ini
c. Tunjukan cara memberikan oralit
1) Minumkan sedikit-sedikit tapi sering dari cangkir/
mangkok/ gelas
2) Jika anak muntah, tunggu 10 menit. Kemudian berikan
lebih lambat
3) Lanjutkan ASI selama anak mau
d. Berikan tablet Zinc Selama 10 hari
e. Setelah 3 jam
1) Ulangi penilaian dan klasifikasi kembali derajat dehidrasi
2) Pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan
pengobatan
3) Mulailah memberi makan anak
f. Jika ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai
1) Tunjukan cara menyiapkan cairan oralit di rumah
2) Tunjukan berapa banyak oralit yang harus diberikan di
rumah untuk menyelesaikan 3 jam pengobatan
3) Beri oralit yang cukup untuk rehidrasi dengan menambah
6 bungkus
4) Jelaskan 4 aturan perawatan diare dirumah
3. Rencana Terapi C: Penanganan dehidrasi berat dengan cepat
a. Beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri
oralit melalui mulut sementara infus dipersiapkan. Beri 100
ml/kg cairan Ringer Laktat (atau jika tak tersedia, gunakan
cairan NaCl) yang dibagi sebagai berikut:

Umur Pemberian pertama Pemberian


30ml/kg selama: selanjutnya 70
ml/kg selama:

12 bulan - 5 30 menit 2 ½ jam


tahun

b. Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika nadi belum


teraba, beri tetesan lebih cepat
c. Beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau
minum
d. Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam.
Klasifikasikan dehidrasi dan pilih rencana terapi yang sesuai
untuk melanjutkan pengobatan
e. Mulailah melakukan rehidrasi dengan oralit melalui pipa
nasogastrik atau mulut, beri 20 ml/kg/jam selama 6 jam (total
120ml/kg)
f. Periksa kembali anak setiap 1-2 jam
g. Sesudah 6 jam, periksa kembali anak. (Kemenkes RI,2008)

Prolaps
A. Definisi
Prolapsus uteri adalah suatu kondisi jatuh atau tergelincirnya uterus ke
dalam atau keluar melalui vagina. Hal tersebut dikarenakan dukungan yang
tidak adekuat dari ligamentum kardinal dan uterosakral serta struktur
penyangga pelvis mengalami kerusakan dan kadang-kadang organ pelvis
yang lain juga ikut turun (erwinanto, 2015).
B. Patofisiologi
Prolaps uteri diakibatkan oleh kelemahan jaringan penyokong pelvis, meliputi
otot, ligamen, dan fasia. Pada dewasa, kondisi ini biasanya disebabkan oleh
trauma
obstetri dan laserasi selama persalinan. Proses persalinan
per vaginam menyebabkan peregangan pada dasar pelvis, dan hal ini
merupakan penyebab paling signifikan dari prolaps uteri. Selain itu, seiring
proses penuaan, terdapat penurunan kadar estrogen sehingga jaringan 3
pelvis kehilangan elastisitas dan kekuatannya. Rendahnya kadar kolagen
berperan penting dalam
prolaps uteri, ditunjukkan oleh peningkatan risiko pada pasien dengan
sindrom Marfan dan sindrom Ehlers-Danlos. Pada neonatus, prolaps uteri
disebabkan oleh kelemahan otot atau defek persarafan pelvis secara
kongenital (Erwinanto, 2015).
C. Epidemiologi
Defek jaringan penyokong pelvis relatif sering dan meningkat seiring usia dan
paritas. Di Amerika Serikat, studi dari 16.000 pasien menunjukkan frekuensi
prolaps
uteri sebesar 14,2%. Rerata usia dilakukannya bedah untuk prolaps organ
uteri adalah 54,6 tahun. Perbedaan frekuensi berdasar ras diperkirakan
berhubungan
dengan komponen genetik. Prolaps uteri paling sering terjadi pada multipara
(sekitar >50%) dan wanita
menopause. Prolaps terkadang terjadi pada wanita nullipara atau wanita
muda (sekitar 2% untuk prolaps 1 simtomatik) dan jarang terjadi pada
neonatus. (Erwinanto, 2015).
D. Penyebab
Kondisi yang berhubungan dengan prolaps uteri antara
lain:
- Trauma obstetrik (meningkat dengan multiparitas, ukuran janin lahir
per vaginam) akibat peregangan dan kelemahan jaringan penyokong
pelvis
- Kelemahan kongenital dari jaringan penyokong pelvis (berhubungan
dengan spina bifida pada neonatus)
- Penurunan kadar estrogen (contohnya menopause) berakibat
hilangnya elastisitas struktur pelvis
- Peningkatan tekanan intra abdominal, contohnya obesitas, penyakit
paru kronik, asma
- Varian anatomi tertentu seperti wanita dengan diameter transversa
pintu atas panggul yang lebar atau pintu atas panggul dengan orientasi
vertikal yang kurang, serta uterus yang retrograde (Erwinanto, 2015).
E. Tanda dan gejala
Gejala diperberat saat berdiri atau berjalan dalam waktu lama dan pulih saat
berbaring. Pasien merasa
lebih nyaman saat pagi hari, dan gejala memberat saat siang hari. Gejala-
gejala tersebut antara lain:
1. Pelvis terasa berat dan nyeri pelvis
2. Protrusi atau penonjolan jaringan
3. Disfungsi seksual seperti dispareunia, penurunan libido, dan kesulitan
orgasme
4. Nyeri punggung bawah
5. Konstipasi
6. Kesulitan berjalan
7. Kesulitan berkemih
8. Peningkatan frekuensi, urgensi, dan inkontinensia dalam berkemih
9. Nausea
10. Discharge Purulen
11. Perdarahan
12. Ulserasi
(Erwinanto, 2015).
F. Penatalaksanaan
Terapi Medis
Pasien prolaps uteri ringan tidak memerlukan terapi, karena umumnya
asimtomatik. Akan tetapi, bila gejala muncul, pilihan terapi konservatif lebih
banyak dipilih. Sementara itu, pasien dengan prognosis operasi buruk atau
sangat tidak disarankan untuk operasi, dapat melakukan pengobatan
simtomatik saja.
Terapi Konservatif
Pengobatan cara ini tidak terlalu memuaskan tetapi cukup membantu. Cara
ini dilakukan pada prolaps ringan tanpa keluhan, atau penderita yang masih
menginginkan anak lagi, atau penderita menolak untuk dioperasi, atau
kondisinya tidak mengizinkan untuk dioperasi.
1. Latihan otot dasar panggul Latihan ini sangat berguna pada prolaps
ringan, terutama yang terjadi pada pasca persalinan yang belum lewat
6 bulan. Tujuannya untuk menguatkan otot-otot dasar panggul dan
otot-otot yang mempengaruhi miksi. Latihan ini dilakukan selama
beberapa bulan. Caranya ialah penderita disuruh menguncupkan anus
dan jaringan dasar panggul seperti biasanya setelah selesai BAB, atau
penderita disuruh membayangkan seolah-olah sedang miksi dan tiba-
tiba menahannya. Latihan ini menjadi lebih efektif dengan
menggunakan perineometer menurut Kegel. Alat ini terdiri atas
obturator yang dimasukkan ke dalam vagina, dan yang dengan suatu
pipa dihubungkan dengan suatu manometer. Dengan demikian,
kontraksi otot-otot dasar panggul dapat diukur.
2. Penatalaksanaan dengan pessarium
Pengobatan dengan pessarium sebenarnya hanya bersifat paliatif,
yaitu menahan uterus ditempatnya selama dipakai. Oleh karena itu,
jika pessarium diangkat, timbul prolapsus lagi.Ada berbagai macam
bentuk dan ukuran pessarium. Prinsip pemakaian pessarium adalah
bahwa alat tersebut mengadakan tekanan pada dinding vagina bagian
atas, sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus tidak dapat
turun dan melewati vagina bagian bawah. Jika pessarium terlalu kecil
atau dasar panggul terlalu lemah, pessarium dapat jatuh dan prolapsus
uteri akan timbul lagi. Pessarium yang paling baik untuk prolapsus
genitalis adalah pessarium cincin, terbuat dari plastik. Jika dasar
panggul terlalu lemah dapat digunakan pessarium Napier. Pessarium
ini terdiri atas suatu gagang (stem) dengan ujung atas suatu mangkok
(cup) dengan beberapa lubang, dan di ujung bawah 4 tali. Mangkok
ditempatkan di bawah serviks dan tali-tali dihubungkan dengan sabuk
pinggang untuk memberi sokongan kepada pessarium. Sebagai
pedoman untuk mencari ukuran yang cocok, diukur dengan jari jarak
antara forniks vagina dengan pinggir atas introitus vagina. Ukuran
tersebut dikurangi dengan 1 cm untuk mendapatkan diameter dari
pessarium yang dipakai.
Pessarium diberi zat pelicin dan dimasukkan miring sedikit ke dalam
vagina. Setelah bagian atas masuk ke dalam vagina, bagian tersebut
ditempatkan ke forniks vagina posterior. Untuk mengetahui setelah
dipasang, apakah ukuran pessarium cocok atau tidak, penderita
disuruh mengejan atau batuk. Jika pessarium tidak keluar, penderita
disuruh jalan-jalan, apabila ia tidak merasa nyeri, pessarium dapat
dipakai terus.
Pasien yang menggunakan pessarium harus mempunyai vagina yang
well-estrogen ized. Pasien post menopause sebaiknya diberikan terapi
sulih hormon, atau sebagai alternatif, dapat digunakan estrogen topikal
intravaginal, 4–6 minggu sebelum pemasangan pessarium, sehingga
saat pemasangan pessarium pasien dapat merasa nyaman,
meningkatkan komplians, serta pemakaian dapat lebih lama. Terapi
sulih estrogen dapat membantu mengurangi kelemahan otot dan
jaringan penghubung lainnya yang menyokong uterus. Estrogen juga
dapat memperlambat terjadinya prolaps lebih lanjut, dan dapat
mencegah terjadinya iritasi pada serviks, kandung kemih, dan rektum
(tergantung bagian mana yang prolaps dahulu), juga estrogen dapat
membantu proses penyembuhan pada wanita yang menjalani proses
operasi prolaps vagina. Ada beberapa efek samping pemakaian
estrogen, antara lain meningkatkan risiko pembekuan darah, penyakit
empedu, dan kanker payudara. Pemakaiannya pun harus dengan
pengawasan dokter.
Indikasi penggunaan pesarium adalah :
1. Kehamilan
2. Bila penderita belum siap untuk dilakukan operasi
3. Sebagai terapi tes, menyatakan bahwa operasi harus dilakukan
4. Penderita menolak untuk dioperasi, lebih memilih terapi konservatif
5. Untuk menghilangkan gejala simptom yang ada, sambil menunggu
waktu operasi dapat dilakukan.
Kontraindikasi terhadap pemakaian pessarium adalah :
1. Radang pelvis akut atau subakut
2. Karsinoma
Komplikasi penggunaan pesarium ada beberapa, antara lain :
1. Penyakit inflamasi akut pelvis
2. Nyeri setelah insersi
3. Rekuren vaginitis
4. Fistula vesikovaginal
Terapi Operatif
Prolaps uteri biasanya disertai dengan prolaps vagina. Maka, jika dilakukan
pembedahan untuk prolapsus uteri, prolapsus vagina perlu ditangani pula.
Ada kemungkinan terdapat prolapsus vagina yang membutuhkan
pembedahan, padahal tidak ada prolaps uteri, atau sebaliknya. Indikasi untuk
melakukan operasi pada prolapsus vagina adalah adanya keluhan.
Terapi pembedahan pada jenis-jenis prolapsus vagina:
1. Sistokel
Operasi yang lazim dilakukan ialah kolporafi anterior. Setelah diadakan
sayatan dan dinding vagina depan dilepaskan dari kandung kencing
dan uretra, kandung kencing didorong ke atas, dan fasia puboservikalis
sebelah kiri dan sebelah kanan dijahit di garis tengah. Sesudah dinding
vagina yang berlebihan dibuang, dinding vagina yang terbuka ditutup
kembali. Kolporafi anterior dilakukan pula pada uretrokel.
2. Rektokel
Operasi disini adalah kolpoperineoplastik. Mukosa dinding belakang
vagina disayat dan dibuang berbentuk segitiga dengan dasarnya batas
antara vagina dan perineum, dan dengan ujungnya pada batas atas
rektokel. Sekarang fasia rektovaginalis dijahit di garis tengah, dan
kemudian m. levator ani kiri dan kanan didekatkan di garis tengah.
Luka pada dinding vagina dijahit, demikian pula otot-otot perineum
yang superfisial. Kanan dan kiri dihubungkan di garis tengah, dan
akhirnya luka pada kulit perineum dijahit.
3. Enterokel
Sayatan pada dinding belakang vagina diteruskan ke atas sampai ke
serviks uteri. Setelah hernia enterokel yang terdiri atas peritoneum
dilepaskan dari dinding vagina, peritoneum ditutup dengan jahitan
setinggi mungkin. Sisanya dibuang dan di bawah jahitan itu
ligamentum sakro uterinum kiri dan kanan serta fasia endopelvik dijahit
ke garis tengah.
4. Prolapsus uteri
Indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus uteri tergantung dari
beberapa faktor, seperti umur penderita, keinginannya untuk masih
mendapatkan
anak atau untuk
mempertahankan uterus, tingkat prolapsus, dan adanya keluhan.
Macam-macam Operasi :
1. Ventrofiksasi
Pada golongan wanita yang masih muda dan masih ingin mempunyai
anak, dilakukan operasi untuk membuat uterus ventrofiksasi dengan
cara memendekkan lIgamentum rotundum atau mengikat ligamentum
rotundum ke dinding perut atau dengan cara operasi Purandare.
2. Operasi Manchester
Pada operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri, dan
penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong, di muka serviks;
dilakukan pula kolporafia anterior dan kolpoperineoplastik. Amputasi
serviks dilakukan untuk memperpendek serviks yang memanjang
(elongasi colli). Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, abortus,
partus prematur, dan distosia servikalis pada persalinan. Bagian yang
terpenting dari operasi Manchester adalah penjahitan ligamentum
kardinale di depan serviks karena dengan tindakan ini ligamentum
kardinale diperpendek, sehingga uterus akan terletak dalam posisi
anteversio fleksi, dan turunnya uterus dapat dicegah.
3. Histerektomi vaginal
Operasi ini tepat untuk dilakukan pada prolaps uteri tingkat lanjut, dan
pada wanita menopause. Keuntungannya adalah pada saat yang sama
dapat dilakukan operasi vagina lainnya (seperti anterior dan posterior
kolporafi dan perbaikan enterokel), tanpa memerlukan insisi di tempat
lain maupun reposisi pasien. Saat pelaksanaan operasi, harus
diperhatikan dalam menutup cul-de-sac dengan menggunakan
okuloplasti McCall dan merekatkan fasia endopelvik dan ligamen
uterosakral pada rongga vagina sehingga dapat memberikan support
tambahan. Setelah uterus diangkat, puncak vagina digantungkan pada
ligamentum sakrouterina kanan kiri, atas pada ligamentum infundibulo
pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan dengan kolporafi anterior
dan kolpoperineorafi untuk mencegah prolaps vagina di kemudian hari.
4. Kolpoklelsis (Operasi Neugebauer-Le Fort)
Pada waktu obat-obatan serta pemberian anestesi dan perawatan
pre/pasca operasi belum baik untuk wanita tua yang secara seksual
tidak aktif, dapat dilakukan operasi sederhana dengan menjahitkan
dinding vagina depan dengan dinding belakang, sehingga lumen
vagina tertutup dan uterus letaknya di atas vagina. Akan tetapi, operasi
ini tidak memperbaiki sistokel dan rektokelnya sehingga dapat
menimbulkan inkontinensia urine. Obstipasi serta keluhan prolaps
lainnya juga tidak hilang (Erwinanto, 2015).
G. Komplikasi
Pessarium dapat menyebabkan vaginitis, perdarahan, ulserasi, obstruksi
saluran kemih dengan retensi, fistula, dan erosi ke dalam kandung kemih atau
rektum. Sebagian besar komplikasi diakibatkan pemakaian pessarium yang
terlalu lama tanpa kontrol. Perdarahan abdomen adalah komplikasi yang
dapat terjadi pada sakrokolpopeksi. Perlukaan pada pleksus vena presakral
atau arteri sakro media pada saat operasi dapat terjadi (Erwinanto, 2015).
H. Pencegahan
Pemendekan waktu persalinan, terutama kala pengeluaran dan kalau perlu
dilakukan elektif (seperti ekstraksi forceps dengan kelapa sudah di dasar
panggul), membuat episiotomi, memperbaiki dan mereparasi luka atau
kerusakan jalan lahir dengan baik, memimpin persalinan dengan baik agar
dihindarkan penderita meneran sebelum pembukaan lengkap
betul,menghindari paksaan dalam pengeluaran plasenta (perasat Crede),
mengawasi involusi uterus pasca persalinan tetap baik dan cepat, serta
mencegah atau mengobati hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intra
abdominal seperti batuk-batuk yang kronik,merokok, mengangkat benda-
benda berat. Pada wanita sebaiknya melakukan senam Kegel sebelum dan
setelah melahirkan. Selain itu usia produktif dianjurkan agar penderita jangan
terlalu banyak punya anak atau sering melahirkan. Untuk wanita dengan IMT
diatas normal, sebaiknya menurunkan berat badan dengan olahraga, serta
diet yang tinggi serat (Erwinanto, 2015)

Anda mungkin juga menyukai