Anda di halaman 1dari 3

Organisasi Mahasiswa Jadi Lokomotif Moderasi Beragama

Kekerasan dengan dalih agama seringkali terjadi di Indonesia, expresi dalam


beragama terkadang berlebihan pada ruang-ruang publik. Dari fenomena yang ada,
kasus pengrusakan rumah ibadah termasuk yang paling tinggi. Disusul penistaan
terhadap simbol-simbol agama, aksi teror terhadap tokoh-tokoh agama, aksi bom
atas dasar sentimen agama, unjuk rasa bernuansa agama, hingga konflik antar
penganut agama yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Kekerasan bernuansa agama dapat dipahami sebagai sejumlah kasus kekerasan baik
fisik maupun kultural simbolik yang mengatasnamakan agama. Kekerasan fisik
misalnya berupa ancaman, perang, dan pengrusakan. Sedangkan kekerasan kultural
simbolik misalnya perang gagasan dan pemikiran yang dianggap mencemari
kesakralan agama. Dalam memahami tindakan kekerasan bernuansa agama
tersebut, dibutuhkan kepekaan, keterbukaan dan kejujuran sehingga dapat
memandangnya secara objetif. Dapat disimpulkan sebenarnya tidak ada tindakan
kekerasan atau pengrusakan yang murni karena motif agama. Di sini pentingnya
dipahami nalar anarkisme (kekerasan) agama yang sesungguhnya. Karena bisa jadi
agama hanya merupakan faktor ikutan dalam konflik sosial. Agama hanya dijadikan
sumber legitimasi untuk mendukung tujuan tertentu yang bersifat ekonomi, politik,
dan sosial. Karena sejatinya, agama itu niscaya mengajarkan kesejukan, kedamaian,
kesentosaan, kasih sayang, dan nilai-nilai ideal lainnya.

Faktor pemicu munculnya gerakan radikalisme dapat bersumber dari faktor ideologi
dan non-ideologi. Faktor non ideologi misalnya dipengaruhi oleh faktor ekonomi,
perasaan dendam, sakit hati, ketidakpercayaan dan lain sebagainya. Di kalangan
mahasiswa, perkembangan radikalisme sangat dipengaruhi oleh faktor ideologi. Hal
ini tentunya bukan tanpa alasan, mahasiswa sebagai ‘agent of change’ memiliki
akses kepada berbagai organisasi baik bersifat internal maupun eksternal kampus
dalam skala nasional bahkan transnasional. Organisasiorganisasi tersebut bisa saja
berafiliasi kepada suatu kelompok keagamaan yang intoleransi, tidak akomodatif
terhadap kebudayaan lokal, menggunakan pendekatan kekerasan dan tidak memiliki
komitmen kebangsaan. Beberapa hasil penelitian terdahulu terkait radikalisme dan
paham keagamaan di kalangan mahasiswa menunjukkan bahwa mahasiswa yang
hanya mengikuti organisasi internal kampus memiliki kecenderungan pola pikir yang
tidak radikal, seperti; menghargai pemeluk agama lain, menerima pemimpin yang
berbeda keyakinan, mengakui ideologi Pancasila sebagai dasar negara, serta
menghindari sikap kekerasan dan arogansi beragama (Basri and Dwiningrum 2019).

Penguatan Organisasi Intra Kampus Sebagai Benteng Moderasi Beragama


Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi pada pasal 77 di
sebutkan bahwa organisasi kemahasiswaan memiliki fungsi mengembangkan
kreativitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, dan kepemimpinan, serta rasa
kebangsaan. Jadi organisasi kemahasiswaan berperan melatih mahasiswa untuk
mengembangkan jiwa kebangsaan. Organisasi Mahasiswa Intra Kampus merupakan
wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan kapasitas kemahasiswaannya berupa
aspirasi, inisiasi, atau gagasan-gagasan positif dan kreatif melalui berbagai kegiatan
yang relevan dengan tujuan pendidikan nasional serta visi dan misi perguruan tinggi
itu sendiri yang bekerja secara organisatoris. Keberadaan organisasi di kampus
menempati peran yang sangat strategis dalam proses pendidikan karakter
mahasiswa dalam ruang lingkup kampus dan sekitarnya. Organisasi dalam
kapasitasnya sebagai wadah untuk berkreasi bagi mahasiswa dapat berkembang
secara maksimal jika dikawal dengan baik oleh pihak kampus baik dalam hal strategi
maupun peranannya dalam mengawal para mahasiswa serta menghadapi berbagai
persoalan yang sedang marak terjadi baik dikalangan masyarakat saat ini.
Selain itu organisasi intra kampus dapat dijadikan benteng dalam menangkal dan
mencegah berkembangnya paham radikalisme melalui pemahaman keagamaan dan
kebangsaan yang komprehensif serta penguatan moderasi beragama oleh setip
pengurus lembaga kemahasiswaan. Oleh karena itu pihak birokrasi kampus tentu
harus memberikan support dan perhatian khusus terhadap organiasi mahasiswa.
Penyediaan fasilitas dan dukungan anggaran yang memadai akan membuat oragniasi
kemahasiswaan luwes dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang menarik,
tentu hal ini menjadi daya jual untuk membuat setiap mahasiswa sadar bahwa
lembaga merupakan wadah yang sangat penting dalam membentuk karakter dan
kepribadian yang prestatif dan kontributif.
Maka dari itu salah satu strategi dalam menangkal paham-paham radikal
berkembang dikalangan mahasiswa ialah dengan menjadikan oraganisasi
kemahasiswaan sebagai benteng, pengurus organisasi mahasiswa harus selalu
diberikan penguatan terkait wawasan kebangsaan dan paham moderat. Nanum disisi
lain oranganiasi kemahasiswaan juga harus memiliki daya jual sehingga animo
mahasiswa untuk bergabung dalam organisasi intra kampus menjadi tinggi, hal ini
tentu dapat terwujud jika pihak kampus memberikan dukungan maksimal baik dari
segi anggaran dan fasilitas. sehingga kebaradaan organisasi kemahasiswaan dapat
meminimalisir paham-paham radikal berkembang di dalam kampus.

Anda mungkin juga menyukai