Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Laparotomi dilakukan dengan membuat insisi besar di abdomen untuk
mendapatkan akses ke rongga peritoneum. Laparotomi standar umumnya meliputi
insisi midline sepanjang linea alba. Dinding abdomen menyelimuti dan
melindungi visera abdomen. Indikasi laparotomi telah jauh berkurang sejak
dikembangkannya pembedahan invasif minimal.(1)
Namun, perlu diperhatikan bahwa akses merupakan kunci terhadap semua
prosedur pembedahan. Dalam banyak situasi, pembedahan dengan akses minimal
dapat sangat sulit dilakukan atau bahkan tidak memungkinkan akibat risiko cedera
terhadap struktur vital yang jauh melebihi manfaatnya. Pada situasi tersebut,
tindakan laparotomi tetap merupakan terapi utama.(1)
Penyembuhan luka insisi dilaporkan berkaitan dengan proses yang
patologik, derajat dan status individu dan lingkungan. Faktor sistemik seperti usia,
adanya penyakit vaskular, metabolik, dan autoimun serta terapi rutin yang
didapatkan akan memengaruhi proses penyembuhan luka. Luka yang sembuh
idealnya merupakan area yang kembali ke struktur anatomi, fungsi, dan tampilan
normal setelah cedera. Luka yang sembuh minimal dikarakterisasi dengan
kembalinya kontinuitas anatomi tetapi tanpa hasil fungsional yang berterusan
sehigga luka dapat terjadi kembali.(2)
Proses penyembuhan luka merupakan proses yang rumit, dengan
diperlukannya strategi yang berbeda dalam menangani tipe luka yang berbeda.
Berdasarkan area trauma, situasi infeksius dan pengobatan medis, penyembuhan
luka dapat dibagi menjadi penyembuhan primer, sekunder dan tersier.
Penyembuhan insisi bedah merupakan contoh tipikal dari penyembuhan primer.
(3)
Jika penyembuhan luka tidak berjalan dengan lancar, dapat terjadi
beberapa komplikasi penyembuhan luka surgikal yang sering terjadi yaitu
surgical site infection (SSI), surgical wound dehiscence (SWD), dan hernia
insisional (IH).(4)

1
Salah satu indikator prognosis yang saat ini sering digunakan adalah
Prognostic Nutritional Index (PNI). PNI merupakan indikator yang dapat dihitung
menggunakan albumin serum dan total limfosit di darah perifer. PNI dapat
digunakan untuk mengevaluasi status nutrisi dan imun pasien. PNI awalnya
dikembangkan sebagai indikator komplikasi pasca operasi pada pasien dengan
kanker gastrointestinal. Namun, penelitian terkini telah menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara PNI dengan hasil akhir pada pasien dengan kanker.(5)
Penggunaan PNI sebagai faktor prognostik untuk penyembuhan luka
surgikal masih belum diketahui, dan diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat
menentukan kegunaan PNI dalam bidang ini.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Laparotomi
Laparotomi dilakukan dengan membuat insisi besar di abdomen untuk
mendapatkan akses ke rongga peritoneum. Laparotomi standar umumnya meliputi
insisi midline sepanjang linea alba. Dinding abdomen menyelimuti dan
melindungdi visera abdomen. Urutan lapisan dinding abdomen anterior dari
superfisial hingga dalam adalah: kulit, lemak subkutan, fasia Camper, fasia
Scarpa, otot oblik eksterna, otot oblik interna, otot rektus abdominis, otot
abdomen transversus, otot piramidalis, fasia transversalis, dan peritoneum.(1)
Otot rektus abdomen meliputi 2 otot vertikal panjang pada kedua sisi
midline dinding abdomen. Kedua otot tersebut disatukan di midline oleh linea
alba. Otot ini berfungsi menekan visera abdomen dan menstabilkan pelvis saat
bergerak. Otot rektus abdomen diinervasi oleh saraf torakoabdominal yang
disuplai oleh saraf T7-T11.(1)
Otot piramidalis merupakan otot kecil berbentuk segitiga yang terletak di
bagian superfisial dan inferior terhadap rektus abdomen. Otot piramidalis
berikatan dengan linea alba dan dasarnya terdapat di tulang publis. Rektus
abdomen dan piramidalis ditutupi oleh selubung rektus yang terdiri dari
komponen anterior dan posterior.(1)
Suplai darah ke dinding abdomen dapat dianggap sebagai suplai dual.
Suplai pertama meliputi arteri epigastrik inferior dan superior yang berada di
antara otot rektus abdominal dan selubung rektus posterior. Suplai utama lainnya
adalah arteri segmental yang berasal dari aorta untuk memberikan suplai darah ke
otot oblik dan transversus. Arteri ini berjalan di antara otot oblik dan transversal.
Saraf torakoabdominal, iliohipogastrik dan ilioinguinal serta cabang ventral dari
saraf T5-T12 semua berkontribusi terhadap inervasi dinding abdomen.(1)
Indikasi laparotomi telah jauh berkurang sejak dikembangkannya
pembedahan invasif minimal. Namun, perlu diperhatikan bahwa akses merupakan
kunci terhadap semua prosedur pembedahan. Dalam banyak situasi, pembedahan
dengan akses minimal dapat sangat sulit dilakukan atau bahkan tidak

3
memungkinkan akibat risiko cedera terhadap struktur vital yang jauh melebihi
manfaatnya. Pada situasi tersebut, tindakan laparotomi tetap merupakan terapi
utama.(1)
Secara umum, situasi tersebut meliputi perlengketan multipel dari
pembedahan atau kondisi inflamatorik sebelumnya, usus yang mengalami distensi
berat pada obstruksi usus atau asites masif pada pasien dengan penyakit hepar
atau jantung tahap lanjut. Kondisi kegawatdaruratan seperti perdarahan
intraperitoneum akut, perdarahan gastrointestinal yang tidak terkontrol, cedera
abdomen tumpul atau terbuka, sepsis intraperitoneal generalisata akibat perforasi
traktus gastrointestinal masih merupakan indikasi laparotomi yang paling umum.
Prosedur elektif yang meliputi spesimen berukuran besar seperti
pankreatikoduodenektomi, transplantasi pankreas atau usus juga merupakan
indikasi laparotomi.(1)
Kontraindikasi terpenting dari laparotomi adalah ketidakmampuan pasien
untuk menjalani anestesi umum yang dapat diakibatkan kombinasi beberapa
faktor seperti komorbiditas, sepsis, instabilitas hemodinamik, dan metastase
penyakit keganasan yang menyebar luas. Keinginan pasien juga sangat penting
dalam menentukan tindakan.(1)
2.2. Luka operasi
Klasifikasi Luka Surgikal dan Tipe Penyembuhan Luka
Kelas I atau luka bersih didefinisikan sebagai luka operatif yang tidak
terinfeksi, di mana tidak terdapat inflamasi dan traktus respiratorik, pencernaan,
genital, atau urinarius tidak dimasuki. Kelas II atau luka kontaminasi bersih
didefinisikan sebagai luka operatif di mana traktus respiratorik, pencernaan,
genital, atau urinarius dimasuki di bawah kondisi terkontrol dan tanpa
kontaminasi yang tidak umum. Operasi yang meliputi traktus bilier, apendiks,
vagina, dan orofaring juga termasuk dalam kategori ini jika tidak terdapat bukti
terjadi infeksi atau terdapat pelanggaran teknik steril. Kelas III atau luka
terkontaminasi didefinisikan sebagai luka terbuka, baru, dan tidak disengaja.
Selain itu, operasi dengan adanya pelanggaran teknik steril seperti kebocoran dari
traktus pencernaan, dan insisi di mana terdapat inflamasi akut, nonpurulen. Kelas

4
IV atau luka terinfeksi kotor didefinisikan sebagai luka traumatik lama yang
dengan adanya jaringan devitalisasi yang tersisa dan luka yang meliputi infeksi
klinis atau perforasi visera. Klasifikasi lain untuk luka surgikal ditentukan pada
periode pasca operasi dan menyatakan waktu serta cara penutupan luka tersebut.
(6)
Tipe Penyembuhan Luka
Luka umumnya sembuh tanpa masalah dan melewati 1 dari 3 jalur
penyembuhan. Jalur penyembuhan ditentukan oleh karakteristik luka pada
presentasi awal, dan penting untuk memilih metode yang sesuai untuk mengobati
luka berdasarkan kemampuannya menghindari hipoksia, infeksi, edema
berlebihan, dan benda asing. Faktor tersebut menciptakan lingkungan yang
mengganggu penyembuhan dan membentuk siklus hipoksia, inflamasi, nekrosis,
dan infeksi sehingga membentuk luka kronis.(7)
Penutupan luka primer merupakan penutupan segera dari insisi surgikal
(biasanya dalam 4-8 jam) dan juga dikenal sebagai penyembuhan dengan intensi
primer. Penyembuhan primer adalah aproksimasi kembali tepi kulit segera, yang
diikuti dengan epitelisasi yang membentuk kembali barrier kulit dalam 48-72
jam.(4)
Luka yang sembuh dengan intensi primer meliputi luka dengan sedikit
atau tidak ada jaringan yang hilang serta tepi luka dapat dengan mudah
diaproksimasi. Penyembuhan luka intensi primer terjadi melalui epitelisasi dan
deposit jaringan penyambung.(4) Sebagian besar luka insisi surgikal akan sembuh
dengan intensi primer.(8) Komponen kunci dari keberhasilan penyembuhan
primer adalah membatasi ketegangan pada insisi, yaitu dengan cara mengelevasi
lapisan yang lebih dalam, menempatkan jahitan tegangan progresif untuk
mendistribusikan stres, dan pengaturan kembali jaringan lokal. Jika terdapat
ketegangan yang berlebihan pada insisi, terjadi breakdown akibat iskemia dan
nekrosis jaringan lokal.(7)
Penutupan luka sekunder atau yang dikenal juga sebagai intensi sekunder,
dilakukan pada luka dengan kehilangan jaringan yang signifikan di mana tepi luka
tidak dapat dilakukan aproksimasi. Penyembuhan intensi sekunder memerlukan

5
terbentuknya matriks jaringan granulasi dan mengisi defek tersebut sebelum
terjadi epitelisasi bagian permukaan.(4) Penyembuhan sekunder merupakan
proses yang menggunakan kontraksi dan epitelisasi untuk mengembalikan barrier
epitel. Luka dibiarkan terbuka (diskontinuitas) biasanya karena ketegangan atau
kontaminasi. Dasar luka dijaga tetap bersih dan dioptimasikan untuk migrasi
keratinosit, yang umumnya dapat dilakukan dengan hidrogel dan film transparan
yang tahan air dan tidak dapat ditembuh bakteri. Optimalisasi dasar luka untuk
mencegah hipoksia, nekrosis, dan infeksi penting untuk penyembuhan luka
sekunder.(7) Penanganan luka surgikal dengan intensi sekunder memerlukan
perubahan dressing setiap hari atau lebih sering, kadang disertai dengan packing
kavitas luka. (9)
Terdapat juga penutupan luka tersier atau primer tertunda yang lebih
jarang dilakukan. Pendekatan ini biasanya diambil untuk luka tanpa kehilangan
jaringan yang signifikan tetapi terdapat peningkatan risiko atau terdapat infeksi.
Contohnya adalah luka traumatik seperti gigitan binatang atau laserasi yang
meliputi benda asing.(4) Penyembuhan luka tertunda biasanya digunakan pada
luka terkontaminasi atau luka dengan dilineasi yang buruk. Luka tersebut
biasanya dapat ditutup secara surgikal atau dilakukan grafting kulit setelah
dibersihkan dan debridemen jaringan nekrotik, dan observasi hingga 7 hari untuk
memastikan viabilitas dan perfusi jaringan yang adekuat.(4) Prinsipnya adalah
untuk mengkonversi luka dengan kondisi buruk menjadi luka yang
memungkinkan dilakukan penutupan secara surgikal. Adjuvan seperti
debridemen, perubahan dressing, atau penempatan negative pressure wound
therapy (NPWT) sering dilakukan untuk menjembatani proses penyembuhan ke
terbentuknya barrier epitel kembali secara definitive. Metode ini sering
digunakan untuk mengobati luka dengan transfer jaringan. Namun, dapat juga
digunakan untuk menutupi tepi luka. Pilihan adjuvan yang tersedia bergantung
pada struktur yang mendasari.(7)
Fase Penyembuhan Luka
Sel epitel kulit merupakan elemen labil yang secara terus menerus
dieliminasi dari stratum korneum melalui proses deskuamasi keratinosit dan

6
digantikan di lapisan basal oleh elemen yang berasal dari proliferasi dan
diferensiasi sel punca. Pergantian sel baru bervariasi tergantung beberapa faktor
seperti trauma, hormon, kondisi kulit, dan keadaan individu. Namun, proses
regeneratif kutaneus biasanya berbanding terbalik dengan evolusi spesies tersebut.
Proses tersebut terdiri dari berbagai fase yang diaktivasi oleh jalur biokimiawi
intra dan interseluler yang dikoordinasi sedemikian rupa untuk mengembalikan
integritas serta homestasis jaringan.(2)
Elemen seluler meliputi kaskade koagulasi dan jalur inflamatorik.
Beberapa sel yang terlibat mencakup fibroblas, sel keratinosit dan endotel,
neutrofil, monosit, makrofag, limfosit, dan sel dendritik sebagai komponen imun.
(2)

Gambar 1. Skema proses penyembuhan luka dengan sel yang terlibat dalam setiap
fase.(2)

Proses regenerasi meliputi fase-fase yang berurutan dan diregulasi oleh


ekspresi gen, via mekanisme autokrin atau parakrin. Hasil akhir dari proses aktif
dicapai dengan gen silencing selama perkembangan proses regenerasi.
Penyembuhan luka merupakan salah satu proses paling kompleks dalam tubuh
manusia karena melibatkan sinkronisasi spasial dan temporal dari fase
inflamatorik dengan regenerasi dan remodeling jaringan.(2)
Fase inflamatorik
Kejadian awal ketika terjadi luka adalah terbentuknya plug platelet
yang membatasi perdarahan dan memulai sinyal sitokin. Kejadian ini memulai
kaskade koagulasi dan mempromosikan amplifikasi dan rekrutmen sel untuk

7
debridemen jaringan yang sudah tidak viabel. Platelet membentuk plug sebagai
respons terhadap kolagen yang terpapar, yang kemudian melepaskan ADP dan
mempromosikan agregasi platelet yang terus menerus. Agregasi disertai
dengan pelepasan platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming
growth factor beta (TGF-β), yang merupakan kemotaktik untuk neutrofil di
darah.(7)
Neutrofil ditarik dan ditangkap di plug platelet sebagai respons
terhadap PDGF. Sel ini merupakan sel yang pertama berperan untuk
debridemen. Neutrofil awalnya melakukan fagositosis terhadap jaringan mati
dan partikel bakteri serta membentuk lingkungan luka yang tidak mendukung
bagi bakteri dengan menggunakan spesies oksigen reaktif. Neutrofil juga
memberikan sitokin proinflamatorik penting yaitu IL-1 yang memiliki efek
ganda sebagai sitokin proinflamatorik dan stimulus proliferasi keratinosit.
Lingkungan lokal juga berubah. Awalnya, terdapat vasokonstriksi berat
sekunder terhadap pelepasan katekolamin. Vasokonstriksi tersebut kemudian
segera berhenti dan terjadi vasodilatasi sebagai respons terhadap pelepasan
histamin dari sel mast yang bersirkulasi.(7)
Dengan berkembangnya fase inflamatorik, makrofag menjadi tipe sel
yang dominan dalam 24-73 jam. Perannya dalam penyembuhan luka sangat
penting dan berubah seiring dengan berkembangnya penyembuhan luka. Telah
diterima secara luas bahwa respons makrofag penting untuk mempertahankan
homeostasis di dalam luka dan menurunkan regulasi keadaan inflamatorik
untuk menghindari inflamasi patologis.(7)
Fase proliferatif
Fase proliferatif terjadi dari hari 2-21 dan meliputi angiogenesis,
pembentukan matriks ekstraseluler, dan epitelisasi. Meskipun terdapat overlap
antara fase penyembuhan luka, kemampuan transisi ke fase selanjutnya dapat
menentukan apakah luka dapat sembuh sepenuhnya. Pembentukan matriks
ekstraseluler kemungkinan dimulai dengan degranulasi platelet, karena PDGF
diketahui merupakan promotor pembentukan proteoglikan dan kolagen.
Fibroblas lokal berespons terhadap PDGF dengan memproduksi kolagen serta

8
bertransformasi menjadi miofibroblas untuk mempromosikan kontraksi luka.
Fibroblas juga mensekresi keratinocyte-derived growth factor (KGF) yang
menstimulasi epitelisasi dari keratinosit, dan sel endotel memproduksi
vascular endothelial growth factor (VEGF) serta basis fibroblast growth factor
(bFGF) untuk mempromosikan pertumbuhan pembuluh darah. Tanda fisiologi
penyembuhan luka yang normal adalah kemampuan untuk menghentikan
produksi kolagen yang terus menerus, dengan deposisi maksimum pada sekitar
21 hari.(7)

Gambar 2. Pada fase inflamatorik, fibrin clot menerangkap neutrofil dan


mengundang makrofag yang terlibat dalam penyembuhan luka.(7)

Fase maturasi
Fase remodeling terjadi dari 3 minggu hingga 1 tahun setelah cedera.
Fase ini dikarakterisasi dengan kontraksi luka dan remodeling kolagen.
Makrofag merupakan tipe sel utama dalam proliferasi, dan fibroblas
merupakan tipe sel utama dalam remodeling. Hallmark proses ini adalah
konversi kolagen tipe III menjadi tipe I. Keseimbangan antara tipe I dan tipe III
terjadi setelah sekitar 30 hari dan kekuatan maksimal terbentuk setelah sekitar
42-60 hari. Oleh sebab itu, rekomendasi tradisional untuk restriksi aktivitas
adalah setelah 6 minggu. Penyembuhan luka yang berhasil bergantung pada

9
oksigenasi jaringan yang adekuat pada tepi luka. Oksigenasi yang buruk
umumnya akibat strangulasi lokal dari tegangan yang berlebihan atau distribusi
oksigen ke jaringan distal yang buruk. Pendekatan lokal dapat diambil untuk
meningkatkan mobilitas jaringan, karena ketegangan yang berlebihan
merupakan kesalahan perhitungan klinis yang akan gagal pada akhirnya.(7)

Gambar 3. Akumulasi kolagen secara perlahan meningkat hingga minggu ketiga


setelah cedera. Namun, kekuatan penutupan luka terus meningkat setelah 3
minggu dan mencapai 70% pada 6 minggu dan mencapai 80-90% saat matur.(7)

Prinsip Perawatan
Prinsip penanganan luka didasarkan pada penyebab terhambatnya proses
penyembuhan, yaitu adanya jaringan nekrotik (T), inflamasi atau infeksi yang
berlebihan (I), ketidakseimbangan kelembaban (M), dan tepi luka yang tidak maju
(E). identifikasi faktor sistemik dan lokal yang menghambat penyembuhan seperti
nutrisi suboptimal, kontrol gula darah yang buruk, merokok, dan suplai darah
yang tidak adekuat juga sangat penting. Intake protein, lemak, kalori, dan cairan
yang maksimal diperlukan untuk memberikan tenaga untuk proses penyembuhan,
dukungan struktural, stimulasi respons imun yang adekuat, serta mempromosikan
oksigenasi jaringan yang cukup.(10)

10
Gambar 4. Skema yang melambangkan konsep TIME yaitu jaringan (T), infeksi
(I), kelembaban (M), dan epitel (E).(2)
Perawatan pasca operasi dapat dioptimalkan dengan menggunakan salep
dengan dasar petroleum untuk 1-3 minggu pertama. Setelah terjadi fibroplasia,
maka penanganan skar perlu diperhatikan. Protokol yang menggunakan produk
berdasarkan silicon dan masase skar membantu aligning kolagen. Maturasi skar
mungkin memerlukan waktu 6-12 bulan. Penggunaan tabir surya sangat
membantu dalam waktu tersebut. Skar awalnya berupa hiperemik dan hal ini
mengindikasikan proses penyembuhan.(7)
Target untuk luka kronis adalah untuk mengkonversinya menjadi luka
aktif yang dalam proses penyembuhan. Konversi tersebut sering dapat dicapai
dengan debridemen. Tujuan debridemen adalah pengeluaran semua jaringan
nekrotik. Dengan mengeluarkan jaringan nekrotik, potensi regeneratif jaringan di
tepi luka dapat dioptimalkan. Setelah jaringan nekrotik dikeluarkan, dilakukan
usahan untuk transisi menjadi luka granulasi. Transisi ini dicapai dengan produk
barrier yang melindungi jaringan di sekitarnya. Beberapa produk tersebut adalah
petroleum jelly, zinc oksida, dan Cavilon. Produk tersebut mempertahankan
kelembaban perifer selagi membatasi kerusakan superfisial dari lem.(7)
Negative pressure wound therapy (NPWT) berperan penting dalam bidang
ilmu bedah secara global karena semakin sering dipakai sebagai dressing pilihan
untuk luka surgikal akut dan kronis. NPWT telah digunakan dalam banyak
masalah surgikal dari fraktur terbuka dan ulkus diabetikum hingga luka bakar,
flap nekrotik, dan graft kulit.(11)

11
Dengan memberikan suction ke luka dalam lingkungan tertutup, NPWT
meningkatkan dan memperbaiki prinsip penyembuhan luka yang telah digunakan
selama bertahun-tahun, meliputi homeostasis, evakuasi cairan, dan debridemen
luka. Idea diberikannya suction untuk drainase dan menutup luka dikembangkan
pada tahun 1980-90an. Mekanisme multipel diduga berperan penting dalam
efikasi teknologi ini.(11)
Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi penyembuhan luka surgikal yang sering
terjadi yaitu surgical site infection (SSI), surgical wound dehiscence (SWD), dan
hernia insisional (IH).(4)
Insisi surgikal dibuat dalam kondisi steril, namun beberapa tindakan
pencegahan infeksi harus dilakukan sebelum, selama, dan setelah operasi untuk
mencegah risiko infeksi pasca operasi. SSI merupakan komplikasi luka surgikal
yang paling umum, dan memengaruhi sepertiga pasien yang menjalani prosedur
operasi. SSI biasanya diklasifikasikan menjadi 3 tipe yaitu insisi superfisial
(meliputi kulit atau jaringan subkutan insisi), insisi dalam (meliputi jaringan lunak
dalam dari insisi seperti fasia dan lapisan otot) atau organ/ruang (meliputi bagian
anatomi mana pun yang dibuka atau dimanipulasi selama operasi selain insisi).
Diestimasikan bahwa dua per tiga dari SSI terbatas pada insisi.(4)
Infeksi terjadi ketika mikroorganisme dalam luka berproliferasi hingga
tingkat yang menyebabkan respons lokal dan/atau sistemik. Banyak dari faktor
yang memengaruhi penyembuhan luka surgikal juga memengaruhi potensi
infeksi. Faktor risiko SSI meliputi variabel spesifik pasien dan spesifik
proses/prosedur. Beberapa variabel tidak dapat dimodifikasi seperti usia dan jenis
kelamin sedangkan variabel lainnya dapat diperbaiki untuk mengurangi risiko
infeksi seperti status nutrisi, merokok, pemberian antibiotik pada waktu dan
dengan dosis yang tepat serta aspek teknik intraoperatif. Faktor risiko utama SSI
adalah adanya benda asing pada luka yang dapat menyediakan permukaan untuk
kolonisasi bakteri dan pembentukan biofilm.(4)
SWD merupakan komplikasi penyembuhan luka yang memiliki definisi
yang luas. SWD dapat mengacu pada adanya separasi insisi surgikal yang dapat

12
berupa superfisial hingga seluruh lapisan insisi sehingga organ atau implan
surgikal menjadi terpapar. Terminologi tersebut juga dapat digunakan untuk
mendeskripsikan kegagalan insisi abdominal dan eviserasi dari isi abdomen. SWD
dapat disebabkan oleh masalah teknik dalam penutupan insisi seperti kegagalan
materi atau teknik penutupan, stres mekanik pasca operatif pada insisi akibat
edema lokal atau tingkat aktivitas pasien, masalah penyembuhan endogen atau
kombinasi dari masalah tersebut. Terdapat juga korelasi antara SWD dan
komplikasi lainnya seperti seroma, hematoma, hernia insisional dan SSI.(4)
Hernia insisional merupakan komplikasi luka surgikal yang umum setelah
prosedur pembedahan abdomen (terutama insisi midline) dan didefinisikan
sebagai gap dinding abdomen di sekitar skar pasca operasi, yang dapat terlihat
atau terpalpasi dengan pemeriksaan klinis atau pencitraan. IH terjadi karena
kegagalan dinding abdomen untuk menutup secara sempurna akibat faktor pasien,
penyakit, atau teknik yang berhubungan dengan teknik surgikal atau materi
penutupan luka. Infeksi luka, obesitas, dan teknik penutupan jahitan juga diduga
merupakan faktor risiko paling penting dalam perkembangan IH.(4)
2.3. Prognostic Nutritional Index
Prognostic Nutritional Index (PNI) pertama kali dideskripsikan oleh
Onodera dkk. pada tahun 1984 yang menggunakan model prediktif linear untuk
menemukan hubungan antara risiko komplikasi operasi, mortalitas, atau keduanya
dengan status nutrisi. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 200 pasien kanker
organ digestif yang mengalami malnutrisi. Pada penelitian tersebut, didapatkan
bahwa indeks ini dapat memberikan estimasi kuantitatif yang akurat terhadap
risiko pembedahan. Onodera dkk. melaporkan bahwa jika indeks >45, maka
reseksi dan anastomosis dapat dilakukan dengan aman pada traktus
gastrointestinal. Prosedur yang sama mungkin akan berbahaya jika indeks 40-45.
Untuk indeks <40, maka tindakan operasi tersebut dikontraindikasikan. Indeks ini
terutama berguna untuk mengetahui prognosis pasien kanker terminal.(12)
PNI merupakan indikator yang dapat dihitung menggunakan albumin
serum dan total limfosit di darah perifer, yaitu menggunakan stasus nutrisi dan
inflamasi. PNI awalnya dikembangkan sebagai indikator komplikasi pasca operasi

13
pada pasien dengan kanker gastrointestinal.(5) PNI saat ini semakin sering
digunakan untuk memprediksi faktor prognosis seperti kelangsungan hidup,
kemungkinan metastatik, dan tingkat rekurensi serta kejadian buruk kemoterapi
pada beberapa penelitian kanker.(13)
PNI dapat dengan gampang dihitung menggunakan rumus berikut: [(10 x
albumin serum (g/dL)) + (0,005 x total limfosit)]. Parameter yang digunakan
dalam indeks ini secara rutin dievaluasi di pemeriksaan laboratorium dan
gampang untuk diulang. Nilai prediktif PNI untuk hasil akhir surgikal telah
diterima secara luas untuk kanker organ solid yang meliputi kanker esofagus,
kolorektal, liver dan pankreas.(14)
Meskipun albumin sebagai indikator nutrisi masih dipertanyakan,
relevansinya terhadap prognosis pasien sakit kritis telah diteliti sebelumnya.
Limfosit merupakan sekumpulan sel imun yang telah dikonfirmasi mencerminkan
status imun pasien. Dilaporkan juga bahwa skor PNI merupakan faktor risiko
independen untuk mortalitas pada pasien sakit kritis dengan semua penyebab
penyakit, di mana nilai PNI yang rendah berkaitan dengan peningkatan mortalitas.
(15)

14
DAFTAR PUSTAKA
1. Rajaretnam N, Okoye E, Burns B. Laparotomy. NCBI. 2022;
2. Tottoli EM, Dorati R, Genta I, Chiesa E, Pisani S, Conti B. Skin Wound Healing
Process and New Emerging Technologies for Skin Wound Care and
Regeneration. Pharmaceutics. 2020;12(735).
3. Lei J, Sun L, Li P, Zhu C, Lin Z. The Wound Dressings and Their Applications in
Wound Healing and Management. Health Sci J [Internet]. 2019;13(4):662.
Available from: http://www.imedpub.com/
4. G. Ovington L. Surgical Wound Closure and Healing. Wound Healing - Recent
Advances and Future Opportunities [Internet]. 2022 Sep 29; Available from:
https://www.intechopen.com/online-first/82674
5. Yoshida R, Gohara S, Sakata J, Matsuoka Y, Hirosue A, Kawahara K, et al.
Onodera’s prognostic nutritional index correlates with tumor immune
environment and survival in patients with oral squamous cell carcinoma
undergoing chemoradiotherapy. Translational Oncology 13. 2020;
6. Mutenure B, Asseburg O. The Effects of Wound Dressings on the Surgical
Wound Healing Process Literature Review. Savonia University of Applied
Sciences. 2022;3(38).
7. Childs DR, Murthy AS. Overview of Wound Healing and Management. Surgical
Clinics of North America. 2017 Feb 1;97(1):189–207.
8. Norman G, Shi C, Goh EL, Murphy EMA, Reid A, Chiverton L, et al. Negative
pressure wound therapy for surgical wounds healing by primary closure.
Cochrane Database of Systematic Reviews. 2022 Apr 26;2022(4).
9. Chetter IC, Oswald A v., McGinnis E, Stubbs N, Arundel C, Buckley H, et al.
Patients with surgical wounds healing by secondary intention: A prospective,
cohort study. Int J Nurs Stud. 2019 Jan 1;89:62–71.
10. Rosenbaum AJ, Banerjee S, Rezak KM, Uhl RL. Advances in wound
management. Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons.
2018;26(23):833–43.
11. Granick MS, Teot L. Surgical Wound Healing and Management. Second Edition.
Informa Healthcare; 2012.

15
12. Geka N, Zasshi G. Prognostic nutritional index in gastrointestinal surgery of
malnourished cancer patients. Nihon Geka Gakkai Zasshi. 1984;85(9):1001–6.
13. Kelvianto A, Witjaksono F, Sekarutami SM. Protein intake, prognostic nutritional
index and quality of life in head and neck cancer patients undergoing
radiotherapy. Indonesian Biomedical Journal. 2019;11(1):70–7.
14. Lee JY, Kim H il, Kim YN, Hong JH, Alshomimi S, An J yeong, et al. Clinical
Significance of the Prognostic Nutritional Index for Predicting Short- and Long-
Term Surgical Outcomes after Gastrectomy. Medicince. 2016;95(18).
15. Lu Y, Ren C, Jiang J. The relationship between prognostic nutritional index and
all-cause mortality in critically ill patients: A retrospective study. Int J Gen Med.
2021;14:3619–26.
 

16

Anda mungkin juga menyukai