I. Pengertian
Laparatomy merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi pada
dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat dan Jong, 1997).
Laparotomi adalah pembedahan yang dilakukan pada usus akibat terjadinya perlekatan
usus dan biasanya terjadi pada usus halus, yang mana tujuan prosedur tindakan pembedahan
dengan membuka cavum abdomen adalah untuk eksplorasi (Arif Mansjoer, 2000).
Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput perut dengan operasi
(Lakaman:2000;194). Pembedahan perut sampai membuka selaput perut.
Ada 4 cara pembedahan laparatomy yaitu;
a. Midline incision
b. Paramedian, yaitu 2,5 cm), panjang (12,5 cm).; sedikit ke tepi dari garis
tengah
c. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
d. Transverse lower 4 cm diabdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian
bawah atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.
II. Etiologi
Etiologi sehingga di lakukan laparatomy adalah karena di sebabkan oleh beberapa hal
(Smeltzer, 2001) yaitu;
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau
yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Dibedakan atas 2 jenis yaitu :
Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium)
yang disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum)
yang dapat disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau
sabuk pengaman (sit-belt).
2. Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga
abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier. Peritonitis primer
dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar
kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh perforasi appendicitis, perforasi gaster
dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid),
sementara proses pembedahan merupakan penyebab peritonitis tersier.
3. Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus biasanya mengenai
kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari
obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan
gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila
penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya dapat berupa perlengketan (lengkung usus
menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada jaringan parut
setelah pembedahan abdomen), Intusepsi (salah satu bagian dari usus menyusup
kedalam bagian lain yang ada dibawahnya akibat penyempitan lumen usus), Volvulus
(usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian
menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gelungan usus yang terjadi amat
distensi), hernia (protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan
otot abdomen), dan tumor (tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus
atau tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus).
4. Apendisitis mengacu pada radang apendiks
Suatu tambahan seperti kantong yang tak berfungsi terletak pada bagian
inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi
lumen oleh fases yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa
menyebabkan inflamasi.
5. Tumor abdomen
6. Pancreatitis (inflammation of the pancreas)
7. Abscesses (a localized area of infection)
8. Adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery)
9. Diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the intestines)
10. Intestinal perforation
11. Ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus)
III. Manisfestasi Klinik
Manifestasi yang biasa timbul pada pasien post laparatomy diantaranya :
Nyeri tekan pada area sekitar insisi pembedahan
Dapat terjadi peningkatan respirasi, tekanan darah, dan nadi.
Kelemahan
Mual, muntah, anoreksia
Konstipasi
IV. Patofisiologi
Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun yang berongga. Trauma
tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan yang serius bagi organ-organ padat, dan
trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga. Kompresi dan perlambatan
dari trauma tumpul menyebabkan fraktur pada kapsula dan parenkim organ padat, sementara
organ berongga dapat kolaps dan menyerap energi benturan. Bagaimanapun usus yang
menempati sebagian besar rongga abdomen, rentan untuk mengalami oleh trauma penetrasi.
Secara umum, organ-organ padat berespons terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ
berongga pecah dan mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga peritoneal menyebabkan
peradangan dan infeksi.
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang memperlihatkan
adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam peritoneal, ketidakstabilan hemodinamik, atau
tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen akut dilakukan eksplorasi dengan pembedahan. Pada
kebanyakan kasus trauma abdomen lainnya, dilakukan lavase peritoneal diagnostic (LPD).
LPD yang positif juga mengharuskan dilakukan ekplorasi pembedahan.
Baik LPD ataupun scan CT adalah 100 % diagnostic, sehingga pasien-pasien trauma
dengan hasil negatif harus diobservasi. Dilakukan serangkaian pengukuran tingkat hematokrit
dan amylase. Pengobatan nyeri mungkin ditunda sehingga tidak mengaburkan tanda-tanda
dan gejala-gejala yang potensial. Masukan per oral juga ditunda untuk berjaga-jaga jika
diperlukan pembedahan. Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda abdomen akut :
distensi, rigiditas, guarding dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan menjadi perlu dengan
adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-gejala yang mengindikasikan cedera.
Penggunaan T abdomen telah memperoleh popularitas dan sering digunakan atau sebagai
tambahan pada LPD. Cedera retroperitoneal, seringkali terlewatkan dengan LPD dan bahkan
dengan pembedahan eksplorasi, sering dapat diidentifikasi dengan CT san. Namun CT scan
tidak terlalu diandalkan dalam mendeteksi cedera pada organ-organ berongga.
Pathway
Trauma abdomen Peritonitis Obstruksi Usus Apendisitis
Rawat Inap
Operasi Laparatomi
V. Gambar
VI. Komplikasi
Syok
Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang disertai
dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan produk metabolisme.
Manifestasi Klinis :
- Pucat
- Kulit dingin dan terasa basah
- Pernafasan cepat
- Sianosis pada bibir, gusi dan lidah
- Nadi cepat, lemah dan bergetar
- Penurunan tekanan nadi
- Tekanan darah rendah dan urine pekat.
Hemorrhagi
- Hemoragi primer : terjadi pada waktu pembedahan
- Hemoragi intermediari : beberapa jam setelah pembedahan ketika kenaikan
tekanan darah ke tingkat normalnya melepaskan bekuan yang tersangkut dengan
tidak aman dari pembuluh darah yang tidak terikat
- Hemoragi sekunder : beberapa waktu setelah pembedahan bila ligatur slip
karena pembuluh darah tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau
mengalami erosi oleh selang drainage.
Manifestasi Klinis Hemorrhagi : Gelisah, terus bergerak, merasa haus, kulit dingin-
basah-pucat, nadi meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir dan
konjungtiva pucat dan pasien melemah.
VII. Pemeriksaan Diagnostik
Praktik standar pada pembedahan mengharuskan agar beberapa tes laboratorium
(jumlah darah lengkap, analisa air kemih, serologi, analisa darah), elektrokardiogram, dan
penyinaran sinar X pada dada dilakukan pada semua penderita dewasa sebelum pembedahan
dilakukan :
a) Penyinaran dengan sinar X
Penyinaran dengan sinar X pada dada hanya dilakukan kalau pada anamnesa dan
gambaran klinik yang ditemukan mencurigakan.
b) Pemeriksaan lainnya
Elektrokardiogram (EKG), tidak dibutuhkan secara rutin pada orang muda yang harus
menjalani prosedur pembedahan yang tidak berat
2) Sistem Pernapasan
Terjadi perubahan pola dan frekuensi pernapasanmenjadi lebih cepat akibat nyeri,
penurunan ekspansi paru.
3) Sistem Kardiovaskuler
Mungkin ditemukan adanya perdarahan sampai syok, tanda-tanda kelemahan, kelelahan
yang ditandai dengan pucat, mukosa bibir kering dan pecah-pecah, tekanan darah dan
nadi meningkat.
4) Sistem Pencernaan
Mungkin ditemukan adanya mual, muntah, perut kembung, penurunan bising usus
karena puasa, penurunan berat badan, dan konstipasi.
5) Sistem Perkemihan
Jumlah output urin sedikit karena kehilangan cairan tubuh saat operasi atau karena
adanya muntah. Biasanya terpasang kateter.
6) Sistem Persarafan
Dikaji tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS dan dikaji semua fungsi nervus
kranialis. Biasanya tidak ada kelainan pada sistem persarafan.
7) Sistem Penglihatan
Diperiksa kesimetrisan kedua mata, ada tidaknya sekret/lesi, reflek pupil terhadap
cahaya, visus (ketajaman penglihatan). Biasanya tidak ada tanda-tanda penurunan pada
sistem penglihatan.
8) Sistem Pendengaran
Amati keadaan telinga, kesimetrisan, ada tidaknya sekret/lesi, ada tidaknya nyeri tekan,
uji kemampuan pendengaran dengan tes Rinne, Webber, dan Schwabach. Biasanya
tidak ada keluhan pada sistem pendengaran.\
9) Sistem Muskuloskeletal
Biasanya ditemukan kelemahan dan keterbatasan gerak akibat nyeri.
10) Sistem Integumen
Adanya luka operasi pada abdomen. Mungkin turgor kulit menurun akibat kurangnya
volume cairan.
11) Sistem Endokrin
Dikaji riwayat dan gejala-gejalayang berhubungan dengan penyakit endokrin, periksa
ada tidaknya pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening. Biasanya tidak ada keluhan
pada sistem endokrin.
i) Data Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
- Elektrolit : dapat ditemukan adanya penurunan kadar elektrolit akibat kehilangan
cairan berlebihan
- Hemoglobin :dapat menurun akibat kehilangan darah
- Leukosit : dapat meningkat jika terjadi infeksi
j) Terapi
Biasanya klien post laparotomy mendapatkan terapi analgetik untuk mengurangi nyeri,
antibiotik sebagai anti mikroba, dan antiemetik untuk mengurangi rasa mual.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
2) Resiko gangguan integritas kulit
3) Resiko infeksi
1. Rencana keperawatan