Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN

Disusun Oleh :

KELOMPOK 4

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO


2022

A. PENGERTIAN

Risiko perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah


diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai diri sendiri maupun orang
lain dan dapat merusak lingkungan sekitar. Tanda dan gejalarisiko perilaku
kekerasan dapat terjadi perubahan pada fungsi kognitif, afektif, fisiologis, perilaku
dan sosial. Pada aspek fisik tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan
meningkat, mudah tersinggung, marah, amuk serta dapat mencederai diri sendiri
maupun orang lain (Pardede & Hulu, 2020).

Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk


melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.Berdasarkan definisi tersebut
maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan pada orang lain adalah
tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain.
Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan,
melempar kaca, genting dan semua yang ada di lingkungan. (Putri & Fitrianti,
2018).

Perilaku kekerasan adalah merupakan bentuk kekerasan dan pemaksaan


secara fisik maupun verbal ditunjukkan kepada diri sendiri maupun orang lain.
Perilaku kekerasan adalah salah satu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologi. Perilaku agresif dan perilaku
kekerasan sering dipandang sebagai rentang dimana agresif verbal di suatu sisi
dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yanglain. Suatu keadaan yang
menimbulkan emosi, perasaan frustasi, benci atau marah. Hal ini akan
mempengaruhi perilaku seseorang. Berdasarkan keadaan emosi secara mendalam
tersebut terkadang perilaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan
koping yang kurang bagus. (Kandar & Iswanti, 2019).

B. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat terjadi perubahan pada
fungsi kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Pada aspek fisik tekanan
darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, mudah tersinggung,
marah, amuk serta dapat mencederai diri sendiri maupun orang lain. (Pardede,
Siregar & Hulu, 2020).

Tanda dan gejala perilaku kekerasan berdasarkan standar asuhan


keperawatan jiwa dengan masalah resiko perilaku kekerasan (Pardede, 2020)

1. Emosi: tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam) jengkel
2. Intelektual: mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan
3. Fisik: muka merah, Pandangan tajam, napas pendek, keringat, sakit fisik,
penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat
4. Spiritual: kemahakuasaan, kebijakan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terlambat
5. Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, humor

Tanda dan gejala perilaku kekerasan berdasarkan :

1. Subjektif: mengungkapkan perasaan kesal atau marah, keinginan untuk


melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, klien suka membentak dan
menyerang orang lain
2. Objektif : mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal dan
rahang mengatup, wajah memerah, postur tubuh kaku, bicara kasar, ketus,
amuk/agresif, menyerang orang lain dan melukai diri sendiri/orang lain.

C. PENYEBAB

Menurut Nurhalimah (2016) Proses terjadinya perilaku kekerasan pada


pasien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang
meliputi faktor predisposisi dan presipitasi

1. Faktor Predisposisi
1) Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya factor herediter yaitu
adanya anggotakeluarga yang sering memperlihatkan atau melakukan
perilaku kekerasan, adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa, adanyan riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan NAPZA (narkoti, psikotropika dan zat aditif lainnya).
2) Faktor Psikologis
Pengalaman marah merupakan respon psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan. Perilaku kekerasan terjadi sebagai
hasil dari akumulasi frustrasi.Frustrasi terjadi apabila keinginan individu
untuk mencapai sesuatu menemui kegagalan atau terhambat.Salah satu
kebutuhan manusia adalah “berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak
dapat dipenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka yang akan muncul
adalah individu tersebut berperilaku destruktif.
3) Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory)menyatakan bahwa
lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah.Norma budaya dapat mendukung individu untuk
berespon asertif atau agresif.Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara
langsung melalui proses sosialisasi (social learning theory).

2. Faktor Prespitasi

Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat


unik, berbeda satu orang dengan yang lain.Stresor tersebut dapat merupakan
penyebab yang brasal dari dari dalam maupun luar individu. Faktor dari dalam
individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan dengan orang yang dicintai
atau berarti (putus pacar, perceraian, kematian), kehilangan rasa cinta,
kekhawatiran terhadap penyakit fisik, dll. Sedangkan faktor luar individu
meliputi serangan terhadap fisik, lingkungan yang terlalu ribut, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan.
D. RENTANG RESPON

Rentang respon kemarahan dari perilaku kekerasan dapat di gambarkan


sebagai berikut, assertif, frustasi, pasif, agresif, dan mengamuk. (Putri, N &
Fitrianti, 2018).

1. Respon Adaptif

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma - norma


sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam
batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan
masalah tersebut, respon adaptif.

1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.


2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul
dari pengalaman.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain
dan lingkungan.
2. Respon Mal Adaptif
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial.
2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari
hati
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak
teratur
(Mukhripah Damaiyanti, 2012).

Adaptif Mal adaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk/PK

Gambar 2.1 Rentang Respon Marah (Habbi et al., 2017)

Keterangan :

1. Asertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan


orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
3. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami.
4. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif bisaanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain.
5. Amuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
control diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri
maupun terhadap orang lain.
E. PSIKOPATOLOGI
Psikopatologi Resiko Perilaku Kekerasan
Faktor Predisposisi : Faktor Presipitasi : Faktor internal Faktor Perilaku :

Faktor Biologis, meliputi putus hubungan dengan orang Menyerang atau

Faktor Psikologis, yang dekat dengan dirinya, kehilngan menghindar (Flight or

Faktor Sosiokultural rasa cinta, ketakutan pada penyakit Fight), Bersikap

fisik. Sedangkan faktor eksternalnya asertif (Asertivenes),

yaitu meliputi penyakit fisik, Memberontak

kehilangan dan kematian. (Acting Out).

Kegagalan
Intimidasi
Malu
Takut
Frustasi
kecemasan
Kurangnya rasa
percaya diri Stress

Merasa tak Timbul perasaan tidak


berharga menyenangkan dan terancan

G3 proses G3 afek
pikir Tegang, emosi
curiga

Pengungkapan perasaan kesal/marah yang tidak konstruktif

Fisik Emosi Intelektual Spiritual Sosial

Perilaku Kekerasan
F. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan Medis
1) Psikofarmaka

Adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk


mengurangi atau menghilanggan gejala gannguan jiwa. Dengan
demiakian kepatutan mium obat 10adalah mengonsumsi obat yang
direspkan oleh dokter pada waktu dan dosis yang tepat karena
pengobatan hanya akan efektif apabila penderita memenuhi aturan
dalam penggunaan obat (Pardede, Keliat & Yulia, 2015).

Penanganan yang dilakukan untuk mengontrol perilaku


kekerasan yaitu dengan cara medis dan non medis. Terapi medis yang
dapat di berikan seperti obat antipsikotik adalah Chlorpoazine(CPZ),
Risperidon(RSP) Haloperidol(HLP), Clozapindan Trifluoerazine
(TFP).

2) Terapi Kejang Listrik atau Elektro Compulsive Therapy (ECT)

ECT merupakan suatu tindakan terapi dengan menggunakan


aliran listrik dan menimbulkan kejang pada pasien baik tonik maupun
klonik.  

3) Somatoterapi yang lain


a. Terapi konvulsi kardiasol, dengan menyuntikkan larutan kardiazol
10% sehingga timbul konvulsi
b. Terapi koma insulin, dengan menyuntikkan insulin sehingga pasien
menjadi koma, kemusian dibiarkan 1-2 jam, kemudian
dibangunkan dengan suntikan gluk
4) Psikoterapi

Psikoterapi adalah salah satu pengobatan atau penyembuhan


terhadap suatu gangguan atau penyakit, yang pada umumnya dilakukan
melalui wawancara terapi atau melalui metode-metode tertentu
misalnya : relaksasi, bermain dan sebagainya. Dapat dilakukan secara
individu atau kelompok, tujuan utamanya adalah untuk menguatkan
daya tahan mental penderita, mengembankan mekanisme pertahanan
diri yang baru dan lebih baik serta untuk mengembalikan
keseimbangan adaptifnya.

5) Manipulasi lingkungan

Manipulasi llingkunagan adalah upaya untuk mempengaruhi


lingkungan pasien, sehingga bisa membantu dalam proses
penyembuhannya. Teknis ini terutama diberikan atau diterapkan kepada
lingkungan penderita, khususnya keluarga. Tujuan utamanya untuk
mengembangkan atau merubah/menciptakan situasi baru yang lebih
kondusif terhadap lngkungan. Misalnya dengan mengalihkan penderita
kepada lingkunmgan baru yang dipandang lebih baik dan kondusif, yang
mampu mendukung proses penyembuhan yang dilakukan.

2. Tindakan Keperawatan

Tindakan yang dilakukan perawat dalam mengurangi resiko perilaku


kekerasan salah satunya adalah dengan menggunakan strategi pelaksanaan
(SP). SP merupakan pendekatan yang bersifat membina hubungan saling
percaya antara klien dengan perawat, dan dampak apabila tidak diberikan SP
akan membahayakan diri sendiri maupun lingkungannya.

Strategi pelaksanaan (SP) yang dilakukan oleh klien dengan perilaku


kekerasan adalah diskusi mengenai cara mengontrol perilaku kekerasan secara
fisik, obat, verbal, dan spiritual. Mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
dapat dilakukan dengan cara nafas dalm, dan pukul bantal atau kasur.

Mengontrol secara verbal yaitu dengan cara menolak dengan baik,


meminta dengan baik, dan mengungkapkan dengan baik. Mengontrol perilaku
kekerasan secara spiritual dengan cara shalat dan berdoa. Serta mengontrol
perilaku kekerasan dengan minum obat secara teratur dengan prinsip lima
benar (benar klien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu
minum obat, dan benar dosis obat). (Sujarwo & Livana, 2018)

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN UTAMA

Perilaku Kekerasan

1. Data subjektif : klien mengatakan jengkel dengan orang lain,


mengupkankan rasa permusuhan yang mengancam, klien merasa tidak
nyaman, klien merasa tidak berdaya, ingin berkelahi, dendam.
2. Data objektif : suara keras, tangan mengepal, wajah memerah dan tegang,
pandnagan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan,
bicara kasar, suara nada tinggi. (Nurhalimah, 2016).

H. INTERVENSI KEPERAWATAN

Tindakan keperawatan untuk mengatasi risiko perilaku kekerasan,


dilakukan terhadap pasien dan keluarga. Saat melakukan pelayanan di Puskesmas
dan kunjungan rumah,, perawat menemui keluarga terlebih dahulu sebelum
menemui pasien. Bersama keluarga, perawat mengidentifikasi masalah yang
dialami pasien dan keluarga. Setelah itu, perawat menemui pasien untuk
melakukan pengkajian, mengevaluasi dan melatih satu cara lagi untuk mengatasi
masalah yang dialami pasien. (Nurhalimah, 2016).

Rencana Keperawatan pada diagnosa pasien dengan risiko perilaku


kekerasan seperti pada tabel dibawah ini :

INTERVENSI
DX
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Perilaku Pasien mampu : Setelah pertemuan 1. Identifikasi penyebab
kekerasan 1. Mengidentifikasi pasien mampu : tanda dan gejala serta
penyebab dan 1. Menyebutkan akibat perilaku kekerasan
tanda perilaku penyebab, tanda, 2. Latih secara fisik 1 : tarik
kekerasan gejala dan akibat nafas dalam
2. Menyebutkan perilaku kekerasan 3. Masukkan dalam
jenis perilaku 2. Memperagakan cara jadwal harian pasien
kekerasan yang fisik 1 untuk
pernah dilakukan mengontrol perilaku
3. Menyebutkan kekerasan
cara mengontrol
perilaku
kekerasan
4. Mengontrol
perilaku
kekerasan
secara : fisik,
sosial/verbal,
spiritual,
terapi
psikofarmaka
Setelah pertemuan 1. Evaluasi SP1
pasien mampu : 2. Latih cara fisik 2 :
1. Menyebutkan pukul kasur/bantal
kegiatan yang sudah 3. Masukkan dalam jadwal
dilakukan harian pasien
2. Memperagakan cara
fisik untuk
megontrol perilaku
kekerasan
Setelah pertemuan 1. Evaluasi SP1 dan
pasien mampu : SP2
1. Menyebutkan 2. Latih secara sosial/verbal
kegiatan yang sudah
dilakukan 3. Menolak dengan baik
2. Memperagakan 4. Memeinta dengan baik
seara 5. Mengungkapkan dengan
fisik untuk baik
mengontrol perilaku 6. Masukkan dalam
kekerasan jadwal kegiatan pasien
Setelah pertemuan 1. Evaluasi SP 1, 2 dan 3
pasien mampu : 2. Latih secara spiritual
1. Menyebutkan berdo’a
kegiatan yang sudah
dilakukan

Diagnosa : Perilaku Kekerasan

Tujuan Umum : Klien tidak melakukan tindakan kekerasan baik kepada diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan

Tujuan Khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya


Kriteria evaluasi :
1) Klien mau membalas salam
2) Klien mau berjabat tangan
3) Klien mau menyebut nama
4) Klien mau tersenyum
5) Klien ada kontak mata
6) Klien mau mengetahui nama perawat
7) Klien mau menyediakan waktu untuk perawat

Tindakan :

1) Beri salam dan panggil nama klien


2) Sebutkan nama perawat sambil berjabat tangan
3) Jelaskan maksud hubungan interaksi
4) Jelaskan kontrak yang akan dibuat
5) Beri rasa aman dan tunjukkan sikap empati
6) Lakukan kontak singkat tetapi sering
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk hubungan
selanjutnya.

2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan


Kriteria evaluasi :

1) Klien mengungkapkan perasaannya


2) Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan marah, jengkel/
kesal ( diri sendiri, orang lain dan lingkungan)
Tindakan :
1) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaanya
2) Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan marah,
jengkel/ kesal
Rasional : Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya dapat
membantu mengurangi stress dan penyebab marah, jengkel/ kesal dapat
diketahui.

3. Klien dapat mengidentifikasi tanda perilaku kekerasan


Kriteria evaluasi :
1) Klien dapt mengungkapkan tanda-tanda marah, jengkel/ kesal
2) Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda marah, jengkel/ kesal yang
dialami
Tindakan :
1) Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami soal marah, jengkel/
kesal.
2) Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
3) Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/ kesal yang dialami
klien.
Rasional :
1) Untuk mengetahui hal yang dialami dan dirasakan saat jengkel
2) Untuk mengetahui tanda-tanda klien jengkel/ kesal
3) Menarik kesimpulan bersama klien supaya kllien mengetahui secara
garis besar tanda- tanda marah / kesal.

4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.


Kriteria evaluasi:
1) Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
klien.
2) Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
3) Klien mengetahui cara yang biasa dapat menyelesaikan masalah/
tidak
Tindakan :
1) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan klien
2) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
3) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai.
Rasional :
1) Mengeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan
2) Untuk mengetahui perilaku kekerasan yang biasa klien lakukan dan
dengan bantuan perawat bisa membedakan perilaku konstruktif
dengan destruktif.
3) Dapat membantu klien, dapat menggunakan cara yang dapat
menyelesaikan masalah.

5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan


Kriteria evaluasi: Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan
klien.
Tindakan :
1) Bicarakan akibat/ kerugian dari cara yang telah dilakukan klien
2) Bersama klien simpulkan akibat cara yang digunakan oleh klien.
3) Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat.
Rasional :
1) Membantu klien menilai perilaku kekerasan yang dilakukan.
2) Dengan mengetahui akibat perilaku kekerasan diharapkan klien dapat
mengubah perilaku destruktidf menjadi konstruktif.
3) Agar klien dapat mempelajari perilaku konstruktif yang lain.

6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap


kemarahan.
Kriteria evaluasi: Klien dapat melakukan cara berespon terhdap kemarahan
secara konstruktif.
Tindakan :
1) Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat
2) Berikan pujian bila klien mengetahui cara lain yang sehat.
3) Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
a. Secara fisik: tarik nafas dalam saat kesal, memukul kasur/ bantal,
olah raga, melakukan pekerjaan yang penuh tenaga.
b. Secara verbal: katakan pada perawat atau orang lain
c. Secara sosial: latihan asertif, manajemen PK.
d. Secara spiritual: anjurkan klien sembahyang, berdoa,/ ibadah lain
Rasional :
1) Dengan mengidentifikasi cara yang konstruktif dalam berespon
terhadap kemarahan dapat membantu klien menemukan cara yang
baik untuk mengurangi kekesalannya sehingga klien tidak stress lagi.
2) Reinforcement positif dapat memotivasi klien dan meningkatkan
harga dirinya.
3) Berdiskusi dengan klien untuk memilih cara yang lain dan sesuai
dengan kemampuan klien.

7. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan


Kriteria evaluasi: Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
1) Fisik: tarik nafas dalam, olah raga, menyiram tanaman.
2) Verbal: mengatakan langsung dengan tidak menyakiti.
3) Spiritual : sembahyang, berdoa, ibadah lain
Tindakan :
1) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
2) Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih
3) Bantu klien menstimulasi cara tersebut (role play).
4) Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara
tersebut.
5) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat
marah.
Rasional :
1) Memberikan stimulasi kepada klien untuk menilai respon perilaku
kekerasan secara tepat.
2) Membantu klien dalam membuat keputusan untuk cara yang telah
dipilihnya dengan melihat manfaatnya.
3) Agar klien mengetahui cara marah yang konstruktif
4) Pujian dapat meningkatkan motifasi dan harga diri klien.
5) Agar klien dapat melaksanakan cara yang telah dipilihnya jika sedang
kesal.

8. Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.


Kriteria evaluasi:
Keluarga klien dapat:
1) Menyebutkan cara merawat klien yang berperilaku kekerasan
2) Mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien
Tindakan :
1) Identifikasi kemampuan keluarga klien dari sikap apa yang telah
dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
2) Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
3) Jelaskan cara-cara merawat klien.
4) Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.
5) Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan
demonstrasi.
Rasional :
1) Kemampuan keluarga dalam mengidentifikasi akan memungkinkan
keluarga untuk melakukan penilaian terhadap perilaku kekerasan
2) Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat klien
sehingga keluarga terlibat dalam perawatan klien.
3) Agar keluarga dapat klien dengan perilaku kekerasannya
4) Agar keluarga mengetahui cara merawat klien melalui demonstrasi
yang dilihat keluarga secara langsung.
5) Mengeksplorasi perasaan keluarga setelah melakukan demonstrasi.

9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program pengobatan)


Kriteria evaluasi:
1) klien dapat menyebutkan obat- obatan yang diminum dan kegunaan
(jenis, waktu, dosis, dan efek)
2) klien dapat minum obat sesuai program terapi
Tindakan :
1) Jelaskan jenis- jenis obat yang diminum klien (pada klien dan
keluarga)
2) Diskusikan menfaat minum obat dan kerugian jika berhenti minum
obat tanpa seijin dokter
3) Jelaskan prinsip benar minum obat (nama, dosis, waktu, cara
minum).
4) Anjurkan klien minta obat dan minum obat tepat waktu.
5) Anjurkan klien melapor kepada perawat/ dokter bila merasakan efek
yang tidak menyenangkan.
6) Berikan pujian pada klien bila minum obat dengan benar.
Rasional :
1) klien dan keluarga dapat mengetahui mana-mana obat yang diminum
oleh klien.
2) Klien dan keluarga dapat mengetahui kegunaan obat yang
dikonsumsi oleh klien.
3) Klien dan keluarga dapat mengetahui prinsip benar agartidak terjadi
kesalahan dalam mengkonsumsi obat.
4) Klien dapat memiliki kesadaran pentingnya minum obat dan bersedia
minum obat dengan kesadaran sendiri.
5) Mengetahui efek samping obat sedini mungkin sehingga tindakan
dapat dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi.
6) Reinforcement positif dapat memotivasi keluarga dan klien serta
meningkatkan harga diri.
STRATEGI PELAKSANAAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN

SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab


perasaan marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang
dilakukan, akibatnya serta cara mengontrol secara fisik I

Fase Orientasi:
“Selamat Pagi mas, perkenalkan nama saya Paulina Aprilianu, bisa dipanggil Paulina saya
mahasiswa Keperawatan dari Universitas Ngudi Waluyo. Hari ini saya yang akan
melakukan interaksi dengan mas ya. Nama mas siapa, senangnya dipanggil dengan nama
siapa?”
“Bagaimana perasaan mas saat ini?, Masih ada perasaan kesal atau marah?”
“Baiklah kita akan berbincang-bincang sekarang tentang perasaan marah mas”
“Berapa lama mas mau kita berbincang-bincang?” Bagaimana kalau 15 menit?
“Bagaimana posisi mas sudah nyaman untuk berbincang-bincang atau ingin berganti tempat
terlebih dahulu?”

Fase Kerja :
“Apa yang menyebabkan mas marah?, Apakah sebelumnya mas pernah marah? Terus,
penyebabnya apa? Samakah dengan yang sekarang?.
“Pada saat penyebab marah itu ada, apa yang mas rasakan?”
“Apakah mas merasakan kesal kemudian dada mas berdebar-debar, mata melotot, rahang
terkatup rapat, dan tangan mengepal?”
“Setelah itu apa yang mas lakukan?. Apa kerugian cara yang mas lakukan? Maukah mas
belajar cara mengungkapkan kemarahan dengan baik tanpa menimbulkan kerugian?”
”Ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan, mas. Ada beberapa cara seperti fisik,
obat, verbal/ ucapan dan spiritual (sesuai kepercayaan masing-masing) untuk menyalurkan
rasa marah.”
”Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu? Kita bisa mulai yang awal yaitu cara fisik
yaitu dengan terapi napas dalam dilanjut dengan pukul bantal dan kasur.”
”Begini mas, kalau tanda-tanda marah tadi sudah mas rasakan maka mas berdiri, lalu tarik
napas dari hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan/tiupu perlahan –lahan melalui mulut
seperti mengeluarkan kemarahan. Ayo coba lagi, tarik dari hidung, bagus.., tahan, dan tiup
melalui mulut. Nah, lakukan 5 kali. Bagus sekali, mas sudah bisa melakukannya terapi
napas dalam.”
“Kita lanjutkan dengan latihan memukul bantal di kasur ya. Jadi, Jika mas kesal dan ingin
marah, langsung ke kamar dan lampiaskan kemarahan tersebut dengan memukul kasur dan
bantal. Nah, coba mas lakukan, pukul kasur dan bantal. Ya, bagus sekali mas
melakukannya”.
“Kekesalan lampiaskan ke kasur atau bantal.”
“Nah cara inipun dapat dilakukan secara rutin jika ada perasaan marah. Kemudian jangan
lupa merapikan tempat tidurnya”

“sekarang, bagaimana perasaannya?”


“Nah, sebaiknya latihan ini bapak lakukan secara rutin, sehingga bila sewaktu-waktu rasa
marah itu muncul bapak sudah terbiasa melakukannya”

Fase Terminasi :
“O ya mas, karena sudah … menit, apakah perbincangan ini mau diakhiri atau
dilanjutkan?”
“Bagaimana perasaan mas setelah berbincang-bincang tentang kemarahan mas?”
”Iya jadi ada 2 penyebab mas marah ........ (sebutkan) dan yang mas rasakan ........
(sebutkan) dan yang mas lakukan ....... (sebutkan) serta akibatnya ......... (sebutkan)
”Coba selama saya tidak ada, ingat-ingat lagi penyebab marah mas yang lalu, apa yang mas
lakukan kalau marah yang belum kita bahas dan jangan lupa latihan napas dalam kemudian
di lanjut pukul kasur dan batal ya bapak. ‘Sekarang kita buat jadwal latihannya ya mas,
berapa kali sehari mas mau latihan napas dalam dan pukul kasur dan bantal?, jam berapa
saja mas?”
”Baik, bagaimana kalau 2 jam lagi saya datang dan kita latihan cara yang lain untuk
mencegah/mengontrol marah. Tempatnya disini saja ya mas”
SP 2 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan obat
a. Evaluasi latihan nafas dalam dan pukul kasur dan bantal
b. Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan obat
c. Susun jadwal kegiatan pengontrolan perilaku kekerasan dengan obat
Fase Orientasi :
“Selamat Pagi masa, masih ingat dengan saya, nama saya Paulina dari mahasiswa
keperawatan Universitas Ngudi Waluyo. Sesuai janji saya dua jam yang lalu sekarang saya
datang lagi”
“Bagaimana perasaan mas saat ini, adakah hal yang menyebabkan mas marah?”
“Baik, bagaimana kalau kita berbincang-bincang?
“Baik sekarang kita akan belajar tentang obat ya pak”
“Mau berapa lama? Bagaimana kalau 10 menit?”
“Dimana kita bicara. Apakah posisi mas sudah nyaman atau ingin berganti tempat”

Fase Kerja :
“mas adakah bedanya setelah minum obat secara teratur. Berapa macam obat yang mas
minum? Ini obat risperidone 1 kali sehari dan fluoxetine 1 kali sehari agar badan mas
tenang. Obat tidak boleh diberhentikan. Nanti konsultasikan dengan dokter, kalau obat
habis mas bisa minta ke dokter untuk mendapatkan obat lagi. Pasatikan obatnya benar,
artinya mas harus memastikan bahwa obat itu benar-benar punya mas. Jangan keliru
dengan obat milik orang lain. Baacakan nama kemasanya. Pasatikan obat diminum pada
waktunya, dengan cara yang benar dan tepat jamnya. Mas juga harus perhatikan berapa
jumlah obat sekali minum, dan harus minum 8 gelas perhari.”

Fase Terminasi :
“Bagaimana perasaan mas setelah berbincang-bincang tadi?”
“apakah mas masih ingat apa saja nama obatnya tadi? Bisa mas sebutkan? Bagus!”
“Mari kita masukkan kedalam jadwal kegiatan sehari-hari mas.
“Besok pagi kita ketemu lagi kita akan latihan cara mengontrol marah dengan belajar bicara
yang baik. Mau jam berapa mas? Baik, jam 10 pagi ya. Sampai jumpa”
SP 3 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal:
a. Evaluasi jadwal harian untuk dua cara fisik
b. Latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak dengan
baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik.
c. Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal

Fase Orientasi :
“Selamat Pagi mas, sesuai dengan janji saya kemarin sekarang kita ketemu lagi”
“Bagaimana mas, sudah dilakukan latihan tarik napas dalam dan pukul kasur bantal serta
control obat?, apa yang dirasakan setelah melakukan secara teratur?”
“Coba saya lihat jadwal kegiatan hariannya.”
“Bagus. Nah kalau tarik nafas dalamnya dilakukan sendiri tulis M, artinya mandiri; kalau
diingatkan suster baru dilakukan tulis B, artinya dibantu atau diingatkan. Nah kalau tidak
dilakukan tulis T, artinya belum bisa melakukan
“Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara bicara untuk mencegah marah?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang?Bagaimana kalau di tempat yang sama?”
“Berapa lama mas mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?”

Fase Kerja :
“Sekarang kita latihan cara bicara yang baik untuk mencegah marah. Kalau marah sudah
dusalurkan melalui tarik nafas dalam atau pukul kasur dan bantal, dan sudah lega, maka kita
perlu bicara dengan orang yang membuat kita marah. Ada tiga caranya ms: Meminta dengan
baik tanpa marah dengan nada suara yang rendah serta tidak menggunakan kata mas bilang
penyebab marahnya. Coba mas berkomunkasi dengan baik terhadap orang lain: “mas saya tid
ak suka jika mas seperti itu,saya merasa terusir dari rumah.” Nanti bisa dicoba di sini untuk b
erkomunikasi dengan baik saat meminta baju, minta obat dan lain-lain. Coba mbak
praktekkan. Bagus mas.”
Menolak dengan baik, jika ada yang menyuruh dan mas tidak ingin melakukannya, katakan:
‘Maaf saya tidak bisa melakukannya karena sedang ada kerjaan’. Coba mas praktekkan.
Bagus mas”
Mengungkapkan perasaan kesal, jika ada perlakuan orang lain yang membuat kesal mas
dapat mengatakan:’ Saya jadi ingin marah karena perkataanmu itu’. Coba praktekkan.
Bagus”

Fase Terminasi :
“Bagaimana perasaan mas setelah kita bercakap-cakap tentang cara mengontrol marah
dengan bicara yang baik?”
“Coba mas sebutkan lagi cara bicara yang baik yang telah kita pelajari”
“Bagus sekal, sekarang mari kita masukkan dalam jadual. Berapa kali sehari mas mau latihan
bicara yang baik?, bisa kita buat jadwalnya?”
Coba masukkan dalam jadwal latihan sehari-hari, misalnya meminta obat, uang, dll. Bagus
nanti dicoba ya mas!”
“Bagaimana kalau dua jam lagi kita ketemu lagi?”
“Nanti kita akan membicarakan cara lain untuk mengatasi rasa marah mas yaitu dengan cara
ibadah, mas setuju? Mau di mana mas? Di sini lagi? Baik sampai nanti

SP 4 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual


a. Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisikdan
sosial/verbal
b. Latihan sholat/berdoa
c. Buat jadual latihan sholat/berdoa
Fase Orientasi :
“Selamat Pagi mas, sesuai dengan janji saya dua jam yang lalu sekarang saya datang lagi” Baik,
yang mana yang mau dicoba?”
“Bagaimana mas, latihan apa yang sudah dilakukan?Apa yang dirasakan setelah melakukan
latihan secara teratur? Bagus sekali, bagaimana rasa marahnya”
“Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara lain untuk mencegah rasa marah yaitu dengan
ibadah?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau di tempat tadi?”
“Berapa lama mas mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?
Fase Kerja :
“Coba ceritakan kegiatan ibadah yang biasa ibu lakukan! Bagus. Baik, yang mana mau dicoba?
“Nah, kalau mas sedang marah coba mas langsung duduk dan tarik napas dalam. Jika tidak reda
juga marahnya rebahkan badan agar rileks. Jika tidak reda juga, ambil air wudhu kemudian
sholat”.
“mas bisa melakukan sholat secara teratur untuk meredakan kemarahan.”
“Coba mas sebutkan sholat 5 waktu? Bagus. Mau coba yang mana?Coba sebutkan caranya”

Fase Terminasi :
Bagaimana perasaan mas setelah kita bercakap-cakap tentang cara yang ketiga ini?”
“Jadi sudah berapa cara mengontrol marah yang kita pelajari? Bagus”.
“Mari kita masukkan kegiatan ibadah pada jadual kegiatan mas. Mau berapa kali mas sholat.
Baik kita masukkan sholat ....... dan ........ (sesuai kesepakatan pasien)
“Coba mas sebutkan lagi cara ibadah yang dapat mas lakukan bila mas merasa marah”
“Setelah ini coba mas lakukan jadwal sholat sesuai jadual yang telah kita buat tadi”
“Baik, Besok kita ketemu kembali untuk melihat sejauh mana ibu melaksanakan kegiatan dan
sejauh mana dapat mencegah rasa marah. Sampai jumpa.”
DAFTAR PUSTAKA

Habbi Yulsar Rahman, F., Widodo, A., & Kep, A. (2017). Upaya Penurunan
Risiko Perilaku Kekerasan Pada Dengan Melatih Asertif Secara Verbal
(Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/52404

Kandar, K., & Iswanti, D. I. (2019). Faktor Predisposisi dan Prestipitasi Pasien
Resiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(3), 149-156.
http://dx.doi.org/10.32584/jikj.v2i3.226

Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Samarinda: Refka


Aditama.

Nurhalimah. (2016). Bahan Ajar Keperawatan Jiwa

Pardede, J. A., & Hulu, E. P. (2020). Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap


Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provsu Medan. Konferensi Nasional (Konas)
Keperawatan Kesehatan Jiwa, 4(1), 257-266.
https://journalpress.org/proceeding/ipkji/article/view/51/51

Pardede, J.A. (2020). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Risiko
Perilaku Kekerasan.

Putri, V. S., & Fitrianti, S. (2018). Pengaruh Strategi Pelaksanaan Komunikasi


Terapeutik Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Gangguan
Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jambi. Jurnal Akademika Baiturrahim
Jambi, 7(2), 138-147. http://dx.doi.org/10.36565/jab.v7i2.77

Sujarwo, S., & Livana, P. H. (2019). Studi Fenomenologi: Strategi Pelaksanaan


Yang Efektif Untuk Mengontrol Perilaku Kekerasan Menurut Pasien Di
Ruang Rawat Inap Laki Laki. Jurnal Keperawatan Jiwa, 6(1), 29-35.
https://doi.org/10.26714/jkj.6.1.2018.29-35

Anda mungkin juga menyukai