Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

SIROSIS HEPATIS dan HEPATITIS

Disusun Oleh:

Imam Rahmatullah Maulana Pasha (1102017107)

Pembimbing:

dr. Zulfikar Abadi Sp.PD

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi

Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

14 Februari 2022 – 26 Maret 2022


LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

SIROSIS HEPATIS dan HEPATITIS

Disusun oleh:

Imam Rahmatullah Maulana Pasha (1102017107)

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu


Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Bekasi

Telah dibimbing dan disahkan pada tanggal


Bekasi, 21 Maret 2021

Pembimbing

dr. Zulfikar Abadi Sp.PD

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
ABSTRAK.......................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
SIROSIS HEPATIS.......................................................................................................2
2.1 DEFINISI............................................................................................................2
2.2 EPIDEMIOLOGI................................................................................................2
2.3 ETIOLOGI..........................................................................................................2
2.4 KLASIFIKASI....................................................................................................2
2.5 PATOFISIOLOGI..............................................................................................4
2.6 MANIFESTASI KLINIS....................................................................................5
2.7 DIAGNOSIS.......................................................................................................6
2.8 TATALAKSANA.............................................................................................10
2.9 KOMPLIKASI..................................................................................................10
2.10 PENCEGAHAN...............................................................................................11
2.11 PROGNOSIS....................................................................................................11
BAB III............................................................................................................................13
HEPATITIS.................................................................................................................13
3.1 DEFINISI..........................................................................................................13
3.2 EPIDEMIOLOGI..............................................................................................13
3.3 KLASIFIKASI..................................................................................................13
3.4 PATOFISIOLOGI............................................................................................17
3.5 MANIFESTASI KLINIS..................................................................................19
3.6 DIAGNOSIS.....................................................................................................20
3.7 DIAGNOSIS BANDING.................................................................................22
3.8 TATALAKSANA.............................................................................................22
BAB IV............................................................................................................................30
KESIMPULAN............................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................32

ii
ABSTRAK

Sirosis didefinisikan secara histopatologis dan memiliki berbagai penyebab,


gambaran klinis, dan komplikasi. Pada sirosis, terjadi perkembangan fibrosis hati
hingga terjadi distorsi arsitektural dengan pembentukan nodul regeneratif, yang
berakibat pada penurunan fungsi hati.1 Prevalensi sirosis di seluruh dunia tidak
diketahui; namun, diperkirakan antara 0,15% dan 0,27% di Amerika Serikat.2
Di negara maju, penyebab paling umum dari sirosis adalah virus hepatitis C
(HCV), penyakit hati alkoholik, dan steatohepatitis non-alkohol (NASH), sedangkan
virus hepatitis B (HBV) dan HCV adalah penyebab paling umum di negara
berkembang.1
Pasien dengan sirosis bisa asimtomatik atau simtomatik, tergantung pada apakah
sirosis mereka terkompensasi secara klinis atau dekompensasi.2 Diagnosis asites,
ikterus, ensefalopati hepatik, perdarahan varises, atau karsinoma hepatoseluler pada
pasien dengan sirosis menandakan transisi dari fase sirosis kompensasi ke fase
dekompensasi. Komplikasi sirosis lainnya termasuk peritonitis bakterial spontan dan
sindrom hepatorenal, yang terjadi pada pasien yang menderita asites.2
Manifestasi klinis lain yang dapat ditemukan antara lain anoreksia, mual,
muntah, diare, nyeri perut kanan atas, kelelahan, lemas, demam, amenore, impotensi
dan infertilitas.1 Kerusakan hati bersifat permanen. Namun demikian, cedera lebih lanjut
pada hati harus dihindari untuk menghentikan perkembangan penyakit. 3 Penilaian atau
klasifikasi Child-Turcotte-Pugh (CTP) menggunakan serum albumin, bilirubin, PT,
asites, dan ensefalopati hepatik untuk mengklasifikasikan pasien dengan sirosis ke
dalam kelas A, B, dan C.2
Hepatitis didefinisikan sebagai peradangan hati yang dapat diakibatkan oleh
berbagai penyebab seperti penggunaan alkohol berat, autoimun, obat-obatan, atau racun.
Namun, penyebab hepatitis yang paling sering adalah karena infeksi virus dan disebut
sebagai hepatitis virus.5
Pada tahun 2013, riset kesehatan dasar (Riskesdas) telah melakukan pendataan
terbaru mengenai angka kejadian hepatitis di Indonesia dan didapatkan prevalensi
hepatitis 2013 adalah 1,2 persen, dua kali lebih tinggi dibandingkan 2007.6

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis adalah suatu kondisi yang didefinisikan secara histopatologis dan


memiliki berbagai manifestasi klinis dan komplikasi, beberapa di antaranya dapat
mengancam jiwa. Di masa lalu, ada anggapan bahwa sirosis tidak pernah sembuh.
Namun, telah menjadi jelas bahwa ketika gangguan yang mendasari yang menyebabkan
sirosis telah dihilangkan, fibrosis dapat sembuh sedia kala. Pada sirosis, terjadi
perkembangan fibrosis hati hingga terjadi distorsi arsitektural dengan pembentukan
nodul regeneratif, yang berakibat pada penurunan fungsi hati.1
Gambaran klinis sirosis adalah hasil dari perubahan patologis dan
mencerminkan tingkat keparahan penyakit hati.1 Sirosis hati menyebabkan berbagai
gejala pada pasien, yang kemudian akan berpengaruh ke komplikasi dan prognosis
pasien.
Hepatitis merupakan penyakit infeksi pada hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis. A, B, C, D atau E berifat akut maupun kronik. Hepatitis termasuk dalam
golongan penyakit infeksi menular, yang penyebarannya dapat melalui makanan, udara
atau cairan tubuh.6
Berdasarkan data WHO 2017, Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki
tingkat endemisitas intermediate terhadap penyakit hepatitis di wilayah Asia Tenggara.
Prevalensi ditemukannya HBsAg untuk negara-negara dengan tingkat tersebut adalah
berkisar 2 – 7%. Angka komplikasi yang ditimbulkan oleh infeksi hepatitis juga cukup
tinggi. Data WHO 2017 menjelaskan bahwa angka kejadian hepatitis di daerah Asia
Tenggara pada tahun 2015 yang menyebabkan kematian berupa hepatitis akut yang
mencapai 22%, sedangkan hepatitis kronik mencapai 78% dengan komplikasi sirosis
yang ditimbulkan hampir mencapai 83% dan kanker hati 17%.7

1
BAB II
SIROSIS HEPATIS

2.1 DEFINISI
Sirosis didefinisikan secara histopatologis dan memiliki berbagai penyebab,
gambaran klinis, dan komplikasi. Pada sirosis, terjadi perkembangan fibrosis hati
hingga terjadi distorsi arsitektural dengan pembentukan nodul regeneratif, yang
berakibat pada penurunan fungsi hati.1

2.2 EPIDEMIOLOGI
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita yang
berusia 45 – 46 tahun. Penderita sirosis hati lebih banyak laki-laki, jika
dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1,6 : 1. Penyebab sirosis hati sebagian
besar adalah penyakit hati alkoholik dan non alkoholik serta hepatitis C. Di Asia
Tenggara, penyebab utama sirosis hepatis adalah hepatitis B (HBV) dan C (HCV).
Angka kejadian sirosis hepatis di Indonesia akibat HBV berkisar antara 21,2 –
46,9% dan HCV berkisar 38,7 – 73,9%.4

2.3 ETIOLOGI
Penyakit hati kronis biasanya berkembang menjadi sirosis. Di negara maju,
penyebab paling umum dari sirosis adalah virus hepatitis C (HCV), penyakit hati
alkoholik, dan steatohepatitis non-alkohol (NASH), sedangkan virus hepatitis B
(HBV) dan virus hepatitis C (HCV) adalah penyebab paling umum di negara
berkembang. Penyebab lain dari sirosis termasuk hepatitis autoimun, kolangitis
bilier primer, kolangitis sklerosis primer, hemokromatosis, penyakit Wilson,
defisiensi antitripsin alfa-1, sindrom Budd-Chiari, sirosis hati akibat obat, dan gagal
jantung kanan kronis fibrosis kistik. Sirosis kriptogenik didefinisikan sebagai
sirosis dengan etiologi yang tidak jelas.1,2

2.4 KLASIFIKASI
Berdasarkan morfologi, sirosis hepatis dibagi menjadi:2
1) Sirosis Mikronodular
Nodul uniform dengan diameter kurang dari 3 mm. Sirosis akibat
alkohol, hemochromatosis, obstruksi aliran keluar vena hepatik, obstruksi

2
bilier kronis, bypass jejunoileal, dan sirosis yang biasanya terjadi pada anak-
anak di India.
2) Sirosis Makronodular
Nodul irreguler dengan variasi diameter lebih dari 3 mm. Sirosis akibat
hepatitis B dan C, defisiensi antitripsin alfa-1, dan kolangitis bilier primer.
3) Sirosis Campur
Bila ada gambaran sirosis mikronodular dan makronodular. Biasanya,
sirosis mikronodular berkembang menjadi sirosis makronodular dari waktu
ke waktu.
Berdasarkan etiologi, sirosis hepatis dibagi menjadi:2
1) Virus
a. Hepatitis B
b. Hepatitis C
c. Hepatitis D
2) Toksin
a. Alkohol
b. Obat-obatan
3) Autoimun
a. Hepatitis autoimun
4) Kolestatis
a. Kolangitis bilier primer
b. Kolangitis sclerosis primer
5) Vaskular
a. Budd Chiari syndrome
b. Sinusoidal obstruction syndrome
c. Cardiac cirrhosis
6) Metabolik
a. Hemochromatosis
b. NASH
c. Wilson disease
d. Defisiensi alfa 1 antitripsin
e. Cryptogenic cirrhosis

3
2.5 PATOFISIOLOGI
Beberapa sel berperan dalam sirosis hati, termasuk hepatosit dan sel lapisan
sinusoidal seperti sel stellate hepatik (HSC), sel endotel sinusoidal (SEC), dan sel
Kupffer (KCs). Sell stellate merupakan bagian dari dinding sinusoid hati, dan
fungsinya untuk menyimpan vitamin A. Ketika sel-sel ini terkena sitokin inflamasi,
mereka diaktifkan, berubah menjadi miofibroblas, dan mulai menumpuk kolagen,
yang menyebabkan fibrosis. Sel endotel sinusoidal membentuk lapisan endotel dan
ditandai dengan fenestrasi yang mereka buat di dinding yang memungkinkan
pertukaran cairan dan nutrisi antara sinusoid dan hepatosit. Defenestrasi dinding
sinusoidal dapat terjadi akibat penggunaan alkohol kronis dan memicu fibrosis
perisinusoid.1
Sell Kupffer adalah makrofag satelit yang melapisi dinding sinusoid juga.
Hepatosit juga terlibat dalam patogenesis sirosis, karena hepatosit yang rusak
melepaskan spesies oksigen reaktif dan mediator inflamasi yang dapat mendorong
aktivasi sel stellate dan fibrosis hati. Penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada pasien sirosis adalah perkembangan hipertensi portal dan sirkulasi
hiperdinamik. Hipertensi portal berkembang sekunder akibat fibrosis dan
perubahan vasoregulasi, baik secara intrahepatik maupun sistematis, menyebabkan
pembentukan sirkulasi kolateral dan sirkulasi hiperdinamik.1
Secara intrahepatik, sel endotel sinusoidal mensintesis oksida nitrat (NO) dan
endotelin-1 (ET-1), yang bekerja pada sel stellate, menyebabkan relaksasi atau
kontraksi sinusoid, dan mengendalikan aliran darah sinusoidal. Pada penderita
sirosis, terjadi peningkatan produksi ET-1, serta peningkatan sensitivitas
reseptornya dengan penurunan produksi NO. Hal ini menyebabkan peningkatan
vasokonstriksi dan resistensi intrahepatik, yang memicu hipertensi portal. Renovasi
vaskular yang dimediasi oleh efek kontraktil sel stellate di sinusoid menambah
peningkatan resistensi vaskular. Untuk mengkompensasi peningkatan tekanan
intrahepatik ini, sirkulasi kolateral dibentuk.1
Dalam sirkulasi sistemik dan splanknikus, efek sebaliknya terjadi, dengan
peningkatan produksi NO, menyebabkan vasodilatasi sistemik dan splanknikus dan
penurunan resistensi vaskular sistemik. Hal ini mendorong aktivasi sistem renin-

4
angiotensin-aldosteron (RAAS), yang menyebabkan retensi natrium dan air, dan
menghasilkan sirkulasi hiperdinamik.1
Jadi, pada sirosis dengan hipertensi portal, terjadi penipisan vasodilator
(terutama NO) secara intrahepatik tetapi kelebihan NO secara ekstrahepatik dalam
sirkulasi splanknikus dan sistemik, yang menyebabkan vasokonstriksi sinusoidal
dan vasodilatasi splanknikus (sistemik). Sirkulasi kolateral juga berkontribusi pada
sirkulasi hiperdinamik dengan meningkatkan aliran balik vena ke jantung.1

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Pasien dengan sirosis bisa asimtomatik atau simtomatik, tergantung pada apakah
sirosis mereka terkompensasi secara klinis atau dekompensasi. Pada sirosis
terkompensasi, pasien biasanya asimtomatik, dan penyakit mereka dideteksi secara
kebetulan oleh laboratorium, pemeriksaan fisik, atau pencitraan. Salah satu temuan
umum adalah peningkatan ringan hingga sedang pada aminotransferase atau
transpeptidase gamma-glutamyl dengan kemungkinan pembesaran hati atau limpa
pada pemeriksaan. Di sisi lain, pasien dengan sirosis dekompensasi biasanya datang
dengan berbagai tanda dan gejala yang timbul dari kombinasi disfungsi hati dan
hipertensi portal.2
Diagnosis asites, ikterus, ensefalopati hepatik, perdarahan varises, atau
karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan sirosis menandakan transisi dari fase
sirosis kompensasi ke fase dekompensasi. Komplikasi sirosis lainnya termasuk
peritonitis bakterial spontan dan sindrom hepatorenal, yang terjadi pada pasien
yang menderita asites.2
Manifestasi klinis lain yang dapat ditemukan antara lain anoreksia, mual,
muntah, diare, nyeri perut kanan atas, kelelahan, lemas, demam, amenore,
impotensi dan infertilitas.1
Gambaran klinis sirosis adalah hasil dari perubahan patologis dan
mencerminkan tingkat keparahan penyakit hati. Kebanyakan ahli patologi hati
memberikan penilaian penilaian dan penentuan stadium saat mengevaluasi sampel
biopsi hati. Skema penilaian dan penentuan stadium ini bervariasi antara keadaan
penyakit dan telah dikembangkan untuk sebagian besar kondisi, termasuk hepatitis
virus kronis, penyakit hati berlemak non-alkohol, dan sirosis bilier primer.1

5
2.7 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Anoreksia
b. Mual
c. Muntah
d. Diare
e. Nyeri perut kanan atas
f. Kelelahan
g. Lemas
h. Demam
i. Amenore
j. Impotensi
k. Infertilitas
l. Asites
m. Pendarahan varises.1,2
2. Pemeriksaan Fisik
a. Telangiektasis
b. Eritema palmar
c. Ikterus
d. Ikterus sklera
e. Pembesaran kelenjar parotis dan lakrimal
f. Clubbing finger
g. Kontraktur dupuytren
h. Ginekomastia
i. Atrofi tesikular
j. Hepatosplenomegali
k. Asites
l. Perdarahan gastrointestinal (misalnya, varises)
m. Ensefalopati hepatik.1,2,3
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium

6
i. Aminotransferase biasanya sedikit sampai sedang dengan
aspartate aminotransferase (AST) lebih besar dari alanine
aminotransferase (ALT); namun, tingkat normal tidak
menyingkirkan sirosis. Pada kebanyakan bentuk hepatitis kronis
(kecuali hepatitis alkoholik), rasio AST / ALT kurang dari satu.
Ketika hepatitis kronis berkembang menjadi sirosis, rasio AST /
ALT ini berbalik arah.1,2
ii. Alkaline phosphatase (ALP), 5'-nukleotidase, dan gamma-
glutamyl transferase (GGT) meningkat pada gangguan
kolestatik.1,2
iii. Waktu protrombin (PT) meningkat karena defek faktor koagulasi
dan bilirubin.1,2
iv. Albumin menjadi rendah (hipoalbuminemia) karena disintesis
oleh hati dan kapasitas fungsional hati turun. Jadi serum albumin
dan PT adalah indikator sebenarnya dari fungsi hati sintetis.
Anemia normokromik terlihat; namun, anemia makrositik dapat
dilihat pada sirosis hati alkoholik. Leukopenia dan
trombositopenia juga terlihat sekunder akibat sekuestrasi oleh
limpa yang membesar serta efek penekanan alkohol pada sumsum
tulang.1,2
v. Imunoglobulin, terutama fraksi gamma, biasanya meningkat
karena gangguan pembersihan oleh hati.1,2

JENIS PEMERIKSAAN HASIL


ALT dan AST Normal/sedikit meningkat
ALP Sedikit meningkat
Gamma-Glutamil Transferase Korelasi dengan ALP, spesifik khas akibat alkohol
sangat meningkat
Bilirubin Meningkat pada SH lanjut prediksi penting
mortalitas
Globulin Meningkat terutama IgG
Albumin Menurun pada SH lanjut
PT Meningkat/penurunan produksi faktor V/VII dari

7
hati
Natrium Menurun akibat peningkatan ADH dan aldosteron
Trombosit Menurun (hypersplenism)
Leukosit dan Neutrofil Menurun (hypersplenism)
Anemia Makrositik, normositik dan mikrositik

Tabel 1. Test laboratorium pada sirosis hati.4

b. Pemeriksaan Serologi dan PCR


i. Teknik serologi dan PCR untuk hepatitis virus dan antibodi
autoimun (antibodi anti-nuklir [ANA], antibodi otot polos anti-
polos (ASMA), antibodi mikrosomal anti-hati-ginjal tipe 1
(ALKM-1) dan serum IgG imunoglobulin) untuk hepatitis
autoimun dan antibodi anti-mitokondria untuk kolangitis bilier
primer dapat dipesan. 1,2
ii. Saturasi feritin dan transferin untuk hemochromatosis,
ceruloplasmin, dan tembaga urin untuk penyakit Wilson. 1,2
iii. Tingkat alfa 1-antitripsin, dan fenotipe penghambat protease
untuk defisiensi alfa 1-antitripsin. 1,2
iv. Alfa-fetoprotein serum untuk karsinoma hepatoseluler (HCC)
adalah tes berguna lainnya. 1,2
c. Pemeriksaan Pencitraan dan Biopsi Hati
i. Ultrasonografi adalah modalitas yang murah, non-invasif, dan
tersedia untuk evaluasi sirosis. Dapat mendeteksi nodularitas dan
peningkatan echogenisitas hati, yang terlihat pada sirosis. Selain
itu, ini adalah alat skrining yang berguna untuk kanker hati pada
pasien sirosis. Ultrasonografi Duplex Doppler membantu menilai
patensi vena hati, portal, dan mesenterika.1,2
ii. CT dan MRI dengan kontras dapat mendeteksi karsinoma
hepatoseluler dan lesi vaskular, dengan MRI lebih unggul dari
CT. MRI juga dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat deposisi
zat besi dan lemak di hati untuk hemochromatosis dan steatosis,

8
dan obstruksi bilier jika MRC (magnetic resonance
cholangiography) diperoleh.1
iii. Elastografi Transien (fibroscan) adalah metode non-invasif yang
menggunakan gelombang ultrasonik berkecepatan tinggi untuk
mengukur kekakuan hati, yang berhubungan dengan fibrosis.
Pada sirosis, pemindaian limpa koloid hati menggunakan koloid
belerang teknesium-99m dapat menunjukkan peningkatan
serapan koloid di sumsum tulang dan limpa jika dibandingkan
dengan hati. Adanya varises di esofagus atau lambung pada
esophagogastroduodenoscopy (EGD) menunjukkan hipertensi
portal.1,3
iv. Biopsi hati adalah standar emas untuk mendiagnosis sirosis serta
menilai derajat peradangan (tingkat) dan fibrosis (tahap)
penyakit. Namun demikian, terkadang dapat melewatkan
diagnosis karena kesalahan pengambilan sampel. Diagnosis
sirosis dengan biopsi membutuhkan adanya fibrosis dan nodul.
Pola nodular dapat berupa mikronodular, makronodular, atau
bercampur dengan pola mikronoduler yang mewakili faktor risiko
independen untuk peningkatan gradien tekanan vena hati (HVPG)
dan penyakit yang lebih parah.2

Gambar 1. Alur algoritma biopsi hati.3

9
2.8 TATALAKSANA
Kerusakan hati bersifat permanen. Namun demikian, cedera lebih lanjut pada
hati harus dihindari untuk menghentikan perkembangan penyakit. Terapi khusus
biasanya menargetkan etiologi, termasuk obat antivirus pada hepatitis virus, steroid,
dan agen imunosupresan pada hepatitis autoimun, asam ursodeoxycholic dan asam
obeticholic pada kolangitis bilier primer, chelation tembaga pada penyakit Wilson,
dan kelasi besi dan proses mengeluarkan darah pada hemochromatosis. Penurunan
berat badan minimal 7% dan pantang alkohol sangat penting dalam sirosis
alkoholik.2 Pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi asites: diet dengan
rendah garam.3
Penanganan sirosis hepatis kompensata ditunjukan pada penyebab hepatitis
kronis. Hal ini ditunjukan untuk mnegurangi progresifitas penyakit sirosis hati agar
tidak semakin lanjut dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoseluler. Di Asia
Tengara penyebab yang tersering adalah HBV dan HCV. Untuk HBV kronis bisa
diberikan preparat interferon secara injeksi atau oral dengan preparat analog
nukleosida jangka panjang. Preparat analog nukleosida juga bis adiberiksan pada
sirosis hepatis dekompesata akibat HBV kronis selain penanganan untuk
komplikasinya. Untuk sirosis hepatis akibat HCV kronis bisa diberiksan preparat
interferon. Namun pada sirosis hepatis dekmpesata pemberian preparat interferon
ini tidak direkomendasikan.4

2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi sirosis pada dasarnya sama terlepas dari etiologinya.1 Komplikasi
yang menyertai sirosis hati dapat mencakup:

1. Hepatitis kronik aktif3


2. Hipertensi portal1
3. Edema di perut dan ekstremitas bawah1,2
4. Penyakit kuning2
5. Splenomegali1
6. Infeksi2
7. Pendarahan2

10
8. Ensefalopati hati1

2.10 PENCEGAHAN
Mencegah penyakit hati kronis meliputi menghindari alkohol, vaksinasi
HBV dan HCV, nutrisi yang baik dengan diet seimbang, penurunan berat badan,
dan pengobatan dini faktor pencetus seperti dehidrasi, hipotensi, dan infeksi. Hal
ini dicapai dengan pemantauan rutin status volume, fungsi ginjal, perkembangan
varises, dan perkembangan menjadi karsinoma hepatoseluler.2

2.11 PROGNOSIS
Penilaian atau klasifikasi Child-Turcotte-Pugh (CTP) diklasifikasikan
menjadi kelompok A (5-6 poin), B (7-9 poin), C (10-15 poin). 4 Penilaian CTP
menggunakan serum albumin, bilirubin, PT, asites, dan ensefalopati hepatik
untuk mengklasifikasikan pasien dengan sirosis ke dalam kelas A, B, dan C.
Tingkat kelangsungan hidup satu dan dua tahun untuk kelas-kelas ini adalah
100% dan 85% (A), 80% dan 60% (B), serta 45% dan 35% (C). Model skor
penyakit hati stadium akhir (MELD) adalah model lain yang digunakan untuk
memprediksi kematian jangka pendek pasien sirosis. Ia menggunakan serum
bilirubin, kreatinin, dan INR untuk memprediksi kematian dalam tiga bulan ke
depan. Berdasarkan skor MELD (baru-baru ini skor MELDNa), prioritas alokasi
organ untuk transplantasi hati untuk pasien dengan sirosis diputuskan di AS.2

Parameter 1 2 3
Ensefalopati Tidak ada Terkontrol Kurang terkontrol
dengan terapi
Asites Tidak ada Terkontrol Kurang terkontrol
dengan terapi
Bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin (gr/L) >3.5 1.8-3.5 <2.8
INR <1.7 1.7-2.2 >2.2

Tabel 2. Klasifikasi Child-Turcotte-Pugh.4

Transplantasi hati diindikasikan pada sirosis dekompensasi yang tidak


merespon pengobatan medis. Tingkat kelangsungan hidup satu tahun dan lima

11
tahun setelah transplantasi hati masing-masing adalah sekitar 85% dan 72%.
Kekambuhan penyakit hati yang mendasari dapat terjadi setelah transplantasi.
Efek samping jangka panjang obat imunosupresan adalah penyebab lain
morbiditas pada pasien transplantasi.2

12
BAB III
HEPATITIS
3.1 DEFINISI
Hepatitis didefinisikan sebagai peradangan hati yang dapat diakibatkan
oleh berbagai penyebab seperti penggunaan alkohol berat, autoimun, obat-
obatan, atau racun. Namun, penyebab hepatitis yang paling sering adalah karena
infeksi virus dan disebut sebagai hepatitis virus.5

3.2 EPIDEMIOLOGI
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2015
penyakit virus hepatitis menyebabkan kematian pada 1,34 juta orang didunia.
Diperkirakan pada tahun 2017, terdapat 325 juta orang di dunia yang terdiagnosa
dengan penyakit hepatitis B kronik maupun hepatitis C kronik. 8 Hasil data
riskesdas Indonesia tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi penyakit hepatitis
didapatkan sebanyak 1,2%. Hasil ini dinyatakan meningkat dua kali lebih tinggi
dibanding tahun 2007. Lima provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi
adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%),
Sulawesi Tengah (2,3%) dan Maluku (2,3%). Provinsi Nusa Tenggara Timur
masih menjadi provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi di Indonesia sejak
tahun 2007.6

3.3 KLASIFIKASI

HEPATITIS VIRUS AKUT


Adalah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung < 6
bulan.3 Kasus virus hepatitis umumnya disebabkan oleh lima jenis virus, yaitu
virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus
hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV).1

1. Hepatitis A
Virus Hepatitis A termasuk Hepatovirus yang masuk dalam
famili Picornaviridae. Ukuran virus hepatitis A adalah 27 – 32 nm, tidak
mempunyai selubung, mempunyai bentuk icosahedral, positive single
stranded linier RNA virus. Selama memasuki hepatosit, ribosom
penjamu berikatan dengan RNA virus yang tidak berselubung.

13
Selanjutnya, HAV-RNA ditranslasikan menjadi protein utama. HAV-
RNA dapat dideteksi pada cairan tubuh dann feses.4 Infeksi virus
Hepatitis A terutama menular melalui jalur fekal-oral, demikian pula
dengan air dan makanan yang terkontaminasi. Transmisi terjadi terutama
melalui kejadian luar biasa (transmisi melalui makanan dan minuman),
dan kontak dari orang ke orang.4
Virus ini memiliki masa tunas sekitar minggu dan replikasinya
terbatas pada hati, namun dapat ditemukan pada hati, darah, empedu dan
tinja. Antibodi terhadap HAV (anti-HAV) dapat terdeteksi selama fase
akut, ketika aktivitas aminotransferase meningkat dan pengeluaran HAV
melalui tinja masih berlangsung. Respon antibodi tubuh awal berasal dari
IgM anti - HAV menetap selama beberapa bulan dan pada masa
konvalesens IgG anti - HAV menjadi antibodi predominan.1

Gambar 2. Skema gambaran khas dan laboraturium hepatitis A akut

2. Hepatitis B
Virus Hepatitis B termasuk virus DNA yang termasuk golongan
Hepadnaviridae. Pada selubung permukaan luar virion yang berbentuk
tubulus biasa ditemukan antigen permukaan hepatitis B atau HBsAg.
Partikel berukuran 42 nm juga memiliki inti nukleokapsid yang disandi
oleh gen C. Antigen yang diekspreskan di permukaan inti nukleokapsid
disebut antigen inti hepatitis B atau Hepatitis B core antigen (HBcAg).1

14
Hepatitis B dapat ditransmisikan dengan efektif melalui cairan
tubuh, perkutan, dan melalui membran mukosa. Selain itu penularan juga
dapat terjadi melalui tranfusi darah dan donor organ.4

Gambar 3. Skema gambaran khas dan laboraturium hepatitis B akut

3. Hepatitis C
Virus hepatitis C adalah virus RNA yang digolongkan dalam
Flavivirus. RNA - HCV dapat terdeteksi sebelum kemunculan anti –
HCV beberapa hari setelah terpajan dan selama berlangsung, namun
pada infeksi kronis RNA - HCV hanya terdeteksi secara intermiten.
Penularan virus umumnya melalui darah seperti pada kegiatan tranfuse.4
4. Hepatitis D
Virus Hepatitis D merupakan virus golongan RNA yang
fungsinya bergantung pada bantuan yang disediakan oleh virus hepatitis
B dalam replikasinya. Virus hepatitis D paling banyak ditransmisikan
melalui penggunaan obat obatan intravena dengan jarum yang tidak
steril. HDV dapat menginfeksi seseorang bersamaan dengan HBV (ko-
infeksi) atau menginfeksi seseorang yang sudah terinfeksi HBV
(superinfeksi). Pada saat infeksi HDV akut, penanda yang mendominasi
adalah anti – HDV kelas IgM.1
5. Hepatitis E
Virus Hepatitis E termasuk dalam golongan Hepaviridae. Infeksi
virus hepatitis E dapat ditularkan melalui 4 jalur transmisi:

15
a. Melalui air
b. Melalui makanan, konsumsi daging mentah atau kurang
matang, yang berasal dari hewan yang terinfeksi
c. Transmisi melalui darah atau parenteral
d. Transmisi 6 vertical dari ibu ke janin.

Infeksi virus hepatitis E dapat ditularkan melalui jalur fekal-oral.4

HEPATITIS VIRUS KRONIK


Virus hepatitis kronik biasa terjadi pada pasien dengan hepatitis B dan C
yang menjadi kronik serta pasien hepatitis D yang tumpang tindih dengan
hepatitis B kronik.1

1. Hepatitis B Kronik
Pada pasien hepatitis B kronik, gambaran histologic memilik i
makna terhadap prognostik. Selain gambaran histologis, derajat replikasi
HBV juga perlu diperhatikan. Pada infeksi kronik, dapat ditemukan
serum hepatitis B (HBeAg) baik yang reaktif maupun non-reaktif.
Tingkat DNA - HBV juga memiliki keterkaitan dengan cedera hati
dan resik perkembangan penyakit.1
2. Hepatitis C Kronik
Hepatitis C kronik terjadi pada 50 – 70% setelah infeksi hepatitis
C akut. Pada beberapa negara maju, infeksi HCV kronik menjadi
indikasi utama transplantasi hati.1
3. Hepatitis D Kronik
Penyakit ini dapat terjadi setelah masa ko-infeksi dengan HBV,
namun angka kejadiannya tidak lebih dari kronisitas hepatitis B akut. Hal
ini berarti meskipun ko – infeksi HDV dapat meningkatkan keparahan
hepatitis B akut, namun HDV tidak meningkatkan kemungkinan
perkembangan menuju hepatitis B kronik.1

16
3.4 PATOFISIOLOGI
1. Hepatitis A
Masa inkubasi virus hepatitis A biasanya 14 – 28 hari, bahkan sampai 50
hari. Virus hepatitis A terdapat pada feses selama 3 – 6 minggu selama masa
inkubasi, dapat memanjang pada fase awal kerusakan hepatoseluler pada pasien
simptomatik maupun yang asimptomatik. Virus hepatitis A dapat bertahan hidup
pada feses, tanah, makanan, dan air yang terkontaminasi.
Virus hepatitis A resisten terhadap deterjen dan pH yang rendah selama
transmisi menuju lambung. Selama dicerna di saluran pencernaan, virus hepatitis
A berpenetrasi ke dalam mukosa lambung dan mulai bereplikasi di kripti sel
epitel intestine dan mencapai hati melalui pembuluh darah portal.
Selama masuk ke dalam sitoplasma hepatosit, virus tersebut bereplikasi
di hati dan menempel pada feses melalui kanalikuli bilier dan dalam aliran darah
dalam jumlah yang lebih sedikit. Infeksi ini berhubungan dengan respon imun
selular, yang berperan dalam imunopatogenesis infeksi virus hepatitis A dan
induksi kerusakan hepatosit. Kerusakan hepatosit terjadi melalui aktivasi sel T
sitolitik spesifik terhadap virus hepatitis A. Dari hasil hepatosit yang terinfeksi,
yang didapatkan dari biopsi, menunjukkan adanya sel T CD8+ yang secara
spesifik dapat melisiskan virus hepatitis A.4
2. Hepatitis B
Masa inkubasi virus hepatitis B adalah 1 - 4 bulan. Virus hepatitis B
100x lebih infeksius dengan infeksi HIV dan 10x lebih infeksius pada pasien
hepatitis C. Adanya HBeAg yang positif mengindikasikan risiko transmisi virus
yang tinggi.
Patogenesis infeksi virus hepatitis melibatkan respons imun humoral dan
selular. Virus bereplikasi di dalam hepatosit, dimana virus tersebut tidak bersifat
sitopatik, sehingga yang membuat kerusakan sel hati dan manifestasi klinis
bukan disebabkan oleh virus yang menyerang hepatosit, tetapi oleh karena
respon imun yang dihasilkan oleh tubuh. Respon antibodi terhadap antigen
permukaan berperan dalam eliminasi virus. Respon sel T terhadap selubung,
nukleokapsid, dan antigen polimerase berperan dalam eliminasi sel yang
terinfeksi.4

17
3. Hepatitis C
Kerusakan sel hati akibat VHC atau partikel virus secara langsung masih
belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme
imunologis yang menyebabkan kerusakan sel sel hati. Protein core misalnya
ditengarai dapat menimbulkan reaksi pelepasan radikal oksigen pada
mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui mampu berinteraksi pada
mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan
regulasi imunologik dan apoptosis.4
4. Hepatitis D
Efisiensi transmisi virus hepatitis D terutama bergantung pada status
HBsAg carrier dan individu yang ditularkan. Pada orang normal (HBsAg -),
infeksi hepatitis D tidak dapat ditransmisikan, kecuali pada pasien sebelumnya
telah terinfeksi hepatitis B; pada keadaan ini infeksi hepatitis D terjadi simultan
bersama dengan infeksi hepatitis B.
Pada pasien dengan HBsAg + adanya infeksi hepatitis B tersebut akan
mempermudah aktivitas virus hepatitis D, dan infeksi tersebut akan tejadi
dengan cepat; hal tersebut dinamakan superinfeksi virus hepatitis D pada infeksi
virus hepatitis B. Carrier virus hepatitis B dapat juga menjadi carrier hepatitis
D.4
5. Hepatitis E
Dibagi menjadi masa inkubasi, fase replikasi, fase progresivitas penyakit.
Masa inkubasi dari onset paparan sampai muncul gejala klinis kurang lebih 28 –
40 hari. Masa inkubasi pada manusia setelah paparan virus hepatitis E melalui
jalur oral adalah 4 – 5 minggu. HEV-RNA yang positif pada serum ditemukan
antara 4 – 16 minggu. Infeksi melalui jalur parenteral mempunyai titer virus
yang lebih tinggi dibandingkan transmisi per oral.
Replikasi virus hepatitis E di hati merupakan kejadian awal dan
peningkatan ALT serum. HEAg menjadi tidak terdeteksi, dan selama periode ini
perubahan histologi hati lebih tampak yang menunjukkan kerusakan pada fase
ini terutama di mediasi oleh sistem imun. Infeksi virus hepatitis E dapat sembuh
sendiri tanpa sekuele kronik.4

18
3.5 MANIFESTASI KLINIS
Gejala prodromal hepatitis akut adalah lemas, cepat lelah, anoreksia,
muntah, rasa tidak nyaman pada abdomen, diare dan pada stadium lanjutan
dapat dijumpai demam, sakit kepala, atralgia, dan mialgia.4

1. Hepatitis A
Lima pola klinis infeksi hepatitis A adalah:
a. Infeksi hepatitis A asimptomatik, biasanya terjadi pada anakanak usia
dibawah 5 – 6 tahun.
b. Infeksi virus hepatitis A simptomatik dengan urin berwarna seperti the
dan feses berwarna dempul, biasanya disertai dengan icterus
c. Hepatitis kolestasis, yang ditandai dengan pruritus, peningkatan jangka
panjang dari alkaline fosfatase, gamma glutamyl transpeptidase,
hyperbilirubinemia, dan penurunan berat badan
d. Hepatitis A relaps
e. Hepatitis fulminan Pola klinis infeksi hepatitis A berupa kolestasis,
relaps dan fulminan merupakan pola yang jarang terjadi.4
2. Hepatitis B
Setelah masa inkubasi, pasien masuk ke dalam periode prodromal, dapat
mengalami perubahan rasa pada indra pengecap dan perubahan sensasi bau
bauan. Sebagian pasien dapat mengalami nyeri abdomen kuadran kanan atas
atau nyeri epigastrium intermiten yang ringan sampai moderat. Demam lebih
jarang terjadi pada pasien dengan infeksi hepatitis B dan D, dibandingkan
dengan infeksi hepatitis A dan E.4
3. Hepatitis C
Sebagian pasien dapat mengalami gejala prodromal tipikal berupa flu
like syndrome, tetapi sebagian besar kasus asimptomatik.4
4. Hepatitis D
Mempunyai klinis yang serupa dengan infeksi hepatitis B Akut.
Koinfeksi akut dapat menunjukkan gejala bifasik dengan dua puncak
peningkatan ALT yang terpisah selama beberapa minggu.4
5. Hepatitis E

19
Gejala klinis yang sering dijumpai adalah akut yang ikterik.4

Gambar 4. Manifestasi klinis hepatitis virus1

3.6 DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit hepatitis dapat dilihat dari anamnesa gejala,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan.
1. Hepatitis A
Diagnosa Hepatitis A akut dapat ditegakkan bilanya IgM anti – HAV
positif tanpa ditemukannya IgG anti – HAV.3
2. Hepatitis B
Infeksi hepatitis B akut ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan temuan serologis HBsAg positif dan IgM anti – HBs positif. Penentuan
diagnosis infeksi hepatitis B berdasarkan konvensi perhimpunan penelitian hati
Indonesia (PPHI) 2012, yaitu :9
a. Hepatitis B kronik
i. HBsAg seropositive > 6 bulan

20
ii. DNA VHB serum >20.000 IU/mL (nilai 2000-20.000 IU/mL
ditemukan pada HBeAg negatif)
iii. Peningkatan ALT yang persisten maupun intermiten
iv. biopsy hati menunjukkan hepatitis kronik dengan derajat
nekroinflamasi sedang sampai berat
b. Pengidap Inaktif
i. HbsAg seropositive > 6 bulan
ii. HBeAg (-), anti HBe (+)
iii. ALT serum dalam batas normal
iv. DNA VHB <2000-20.000 IU/mL
v. Biopsi hati yang tidak menunjukkan inflamasi dominan
c. Resolved Hepatitis Infection
i. Riwayat infeksi Hepatitis B, atau adanya anti-HBc dalam darah
ii. HBsAg (-)
iii. DNA VHB serum tidak terdeteksi
iv. ALT serum dalam batas normal
3. Hepatitis C
Infeksi hepatitis C akut ditegakkan bila
a. Ditemukan serokonversi anti – HCV yang diketahui sebelumnya anti-
HCV nya negatif.
b. Pasien ikterik dan ditemukan serum SGPT nya > 10 x batas normal,
tanpa riwayat penyakit hati kronis atau penyebab hepatitis akut lainnya
dan atau dapat diindentifikasi sumber penularannya.
Infeksi hepatitis C ditegakkan bila anti - HCV dan RNA - HCV tetap terdeteksi
lebih dari 6 bulan sejak terinfeksi dengan gejala penyakit hati kronis.9

Anti-HCV HCV RNA Interpretasi


Positif Positif Hepatitis C akut atau kronis, bergantung pada gejala
klinis
Positif Negatif Resolusi VHC; status infeksi tidak dapat ditentukan
(kemungkinan status intermittent verenia)
Negatif Positif Infeksi VHC akut awal; VHC kronis pada pasien
dengan status imunosupresi; atau pemeriksaan RNA
VHC positif palsu
Negatif Negatif Tidak terinfeksi VHC

21
Tabel 3. Interpretasi pemeriksaan serologis infeksi virus hepatitis C1

4. Hepatitis D
Didapatkan hasil serologi HDV, HDV-RNA, dan IgM anti HDV (+)
sekitar 30-40 hari setelah gejala awal timbul.3
5. Hepatitis E
Didapatkan hasil serologi Ig G dan Ig M anti HEV (+).3

3.7 DIAGNOSIS BANDING


1. Drug-Induced Hepatitis (DIH)
2. Alcoholic Fatty Liver Disease (AFLD)
3. Non- Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD)
4. Bile duct disease1

3.8 TATALAKSANA
1. Hepatitis A
Sebagian besar kasus hepatitis A mengalami resolusi spontan tanpa
diberikan antivirall sehingga pada kasus ini tidak ada terapi medikamentosa
yang spesifik. Terapi yang diberikan biasanya berupa terapi simpomatis dan
hidrasi yang sangat adekuat. Terapi farmakologi sebagai terapi simpomatis yang
biasa diberikan berupa obat antiemetik, analgesok atau antipruritus. Terapi non-
farmakologi yang lebih disukai berupa asupan kalori dan cairan secara adekuat
(tidak ada larangan diet spesifik), menghindari konsumsi alkohol dan obat-
obatan yang bersifat hepatotoksik seperti parasetamol dan dianjurkan untuk
istirahat total di tempat tidur (tirah baring) pada fase akut.4
Pada infeksi hepatitis virus akut D dan E, pengobatan yang diberikan
sama dengan infeksi hepatitis A akut yaitu terapi suportif dan simpomatis saja.4
2. Hepatitis B
Pemberian terapi pada infeksi hepatitis B kronik memiliki algoritmanya
sendiri berdasarkan HBaAg. Pada kelompok HBeAg positif, terapi ditujukan
agar HBeAg menjadi negatif, sedangkan HBeAg ditujukan agar kadar DNA-
HBV tidak terdeteksi lagi pada 2 kali pemeriksaan selama 6 bulan. Algoritma
yang dibuat oleh PPHI 2012. yaitu :9

22
Gambar 5. Algoritma terapi hepatitis B kronik pada kadar HBeAg positif.9
Pengobatan yang diberikan berupa salah satu dari berbagai obat oral atau
dapat juga diberikan IFN PEG yang biasa digunakan sebagai pemberian terapi
lini petama. Pada beberapa negara mempersembahkan lamivudin oral telah
dijadikan lini pertama mengingat tingginya tingkat resistensi pada obat ini. IFN
PEG biasa diberikan setiap minggu melalui penyuntikan secara subkutis selama
satu tahun sedangkan obat oral diberikan setiap hari selama satu tahun dan
dilanjutkan tanpa batas atau sampai 6 bulan setelah serokonvensi HBeAg.1

23
Gambar 5. Algoritma terapi hepatitis B kronik pada kadar HBeAg negatif.9
Tujuan pengobatan pada pasien HBeAg negatif berfokus pada kadar
DNA-HBV dan mempertahankan kadar ALT yang normal. Semua obat secara
lisan maupun pemberian IFN PEG dapat diberikan sebagai lini pertama, namun
mengingat tingkat resistensi dan penggunaa dalam jangka panjang lamivud
dalam yang cukup tinggi ditemukan obat ini perlu dipertimbangkan sebagai lini
pertama.8 Penatalaksanaan Hepatitis B kronik pada saat ini terdapat 2 kelompok
terapi untuk hepatitis B Kronik yaitu :4

a. Kelompok Imunomodulasi

24
i. Interferon
ii. Timosin alfa 1
iii. Terapi vaksinasi
b. Kelompok terapi antivirus
i. Lamivudin
ii. Adifoir dipivoksil
iii. Timosin alfa 1
iv. Terapi vaksinasi
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau mencapai
kemajuan penyakit hati dengan cara menerapkan replikasi virus atau
menghilngkan injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang
sering dipakai adalah menghilangnya tanda replikasi virus yang aktif seara
menetap (HbeAg dan DNA HBV). Pada umumnya serokonversi HbeAg menjadi
anti –Hbe pelepasan DNA HBV dalam serum dan meredanya penyakit hati.
Terapi dengan imunomodulator biasa digunakan dengan interferon (IFN)
alfa yang merupakan kelompok protein intraseluler yang normal ada didalam
tubuh dan diproduksi oleh berbagai macam sel. Beberapa khasiat IFN adalah
khasiat antivirus, imunomodulator, anti proliferatif dan anti fibrotik. IFN tidak
memiliki khasiat antivirus langsung tapi mengembangkan berbagai macam
protein efektor yang memiliki khasiat antivirus. Dalam proses terjadinya
aktifitas antivirus, IFN mengadakan interaksi dengan reseptor IFN yang terdapat
pada membran sel hati yang diikuti dengan efektor protein yang diproduksi.
IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B kronis
dengan HBeAg positif, dengan aktifitas penyakit ringan-sedang, yang belum
mengalami sirosis.4
Beberapa faktor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN :
 Konsentrasi ALT yang tinggi.
 Konsentrasi DNA HBV yang Rendah.
 Timbulnya menyala selama terapi.
 IgM anti-HBc yang positif
Efek samping IFN :
 Gejala seperti flu.

25
 Tanda-tanda supresi sumsum tulang.
 Pembakaran.
 Depresi.
 Rambut rontok.
 Berat badan turun.
 Gangguan fungsi tiroid.
Kontra Indikasi :
 Sirosis dekompensata.
 Depresi.
 Penyakit jantung berat.
IFN yang disarankan Dosis untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg
positif adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu. Untuk hepatitis B
dengan HBeAg negatif diberikan selama 12 bulan.4
Terapi antivirus yang biasa digunakan dalam tatalaksana hepatitis virus
B kronik yaitu lamivudin dan adifoir dipivoksil.4
a. Lamivudin
Lamivudin adalah analog nukleosid yang berfungsi sebagai bahan
pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing dengan
nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse
transcriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi
DNA yang terjadi dalam replikasi HBV. Lamivudin menghambat
produksi HBV baru dan mencegah terjadinya infeksi hepaosit sehat yang
belum terinfeksi. Setelah obat dihentikan, titer DNA HBV akan kembali
seperti semula yang akhirnya terinfeksi karena memproduksi virus baru
lagi. Strategi pengobatan yang tepat adalah dengan melakukan
pengobatan jangka panjang. Sayangnya strategi berkepanjangan ini
terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhadap lamivudin, yang
biasa mutan YMDD yang biasanya muncul setelah terapi selama 6 bulan
dan terdapat kecenderungan peningkatan dengan berjalannya waktu.4

b. Adefoir Dipivoksil

26
Suatu nekleosid oral yang menghambat enzim reverse
transcriptase. mekanisme khasiat adefoir hampir sama dengan lamivudin.
Pada saat ini adefoir baru dipakai pada kasus-kasus yang kebal terhadap
lamivudin karena memperhatikan segi keuntungan dan kerugian dari
adefoir. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg setiap hari. Pemakaian
Adefoir pada dosis 30 mg atau lebih dapat menyebabkan toksisitas pada
ginja l. Keuntungan adefoir adalah lebih jarang terjadi kekebalan serta
menjadi terapi yang ideal untuk terapi hepatitis B kronik yang parah.
Kerugiannya adalah harga yang lebih mahal dan masih kekurangan data
mengenai manfaat dan keamanan dalam penggunaan jangka panjang.4
Terdapat nukleosid analog lain yang juga dipakai pada hepatitis B
kronik, yaitu Fanciclovir dan Emtericitabine (FTC).6 Indikasi terapi antivirus
yaitu terapi yang disarankan untuk pasien hepatitis B kronis dengan ALT> 2X
normal dengan HBV DNA positif. Untuk ALT < 2x nilai normal tidak perlu
diterapi dengan antivirus.
Lama terapi antivirus dalam keadaan biasa IFN diberikan sampai 6 bulan
sedangkan lamivudin sampai 3 bulan setelah serokonversi HBeAg. Kriteria
respons terapi antivirus ayang biasa dipakai adalah DNA HBV dalam serum non
PCR), HBeAg dengan atau tanpa munculnya anti-HBe. ALT normalnya, serta
turunnya nekroinflamasi dan tidak adanya progresi fibrosis pada biopsi hati yang
dilakukan secara seri. Berikut kategori respon terhadap antivirus yaitu :4
a. Respon Biokimiawi (BR) adalah penurunan konsentrasi ALT/SGPT
menjadi normal.
b. Respon virologik (VR), negatifnya DNA HBV dengan metode
nonamplifikasi (<105 kopi/ml) dan penurunan HBeAg pada pasien yang
sebelum terapi HBeAg positif.
c. Respon histologis (HR) menurunnya indeks aktivitas histologik
sedikitnya 2 poin dibandingkan biopsi hati sebelum terapi.
d. Respon komplit (CR) adanya respon biokimiawi dan virologik yang
disertai negatifnya HBsAg
Waktu pengukuran respons antivirus selama terapi dilakukan diperiksa
setiap 1-3 bulan dengan memeriksa kadar ALT, HBeAg dan DNA HBV (non

27
PCR). Setelah selesai terapi kadar ALT, HBeAg dan DNA HBV (non RRC)
kembali dilakukan pemeriksaan tiap 3-6 bulan.4
3. Hepatitis C
Pada hepatitis C akut, dapat diberikan terapi suportif. Hal ini berdasarkan
berbagai pertimbangan yang menyatakan bahwa tidak diperlukan terapi spesifik
pada infeksi hepatitis akut. Menurut hasil meta – analisis terhadap uji klinis
menunjukkan bahwa pemberian terapi antivirus dengan monoterapi interferon
dosis 3 juta unit subkutis tiga kali seminggu dapat membantu mengurangi angka
kronisitas infeksi.4
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila ditemukkan peningkatan
kadar ALT lebih dari batas nilai normal. Pengobatan HCV kronik adalah dengan
menggunakan infterferon alfa dan ribavirin. Telah disepakati bahwa pada jenis
genotipe 1 dan 4 diperlukan terapi yang diberikan selama 48 minggu dan bila
genotipe 2 dan 3, terapi yang dibutuhkan cukup diberikan selama 24 minggu.4
a. Interferon alfa (IFN)
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh
manusia untuk meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan
mengatur fungsi sel lainnya. Dosis IFN konvensional yang dibutuhkan
biasa diberikan 2 – 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan
setiap pemberian.6 Efek samping yang berkaitan dengan IFN adalah
sitopenia, ganguan fungsi tiroid, gangguan ingatan dan konsentrasi,
gangguan penglihatan, cepat lelah, nyeri otot, sakit kepala, mual dan
muntah, tidak selera makan dan penurunan berat badan, demam derajat
rendah, iritasi kulit, insomnia, pendengaran berkurang, tinit us, fibr os
interstitial dan penipisan rambut.4
b. Interferon alfa pegilasi
Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut dalam air
yang disebut "polyethylene glycol (PEG)" dengan molekul interferon
alfa. Modifikasi interferon alfa ini lebih lama ada dalam tubuh, dan
beberapa penelitian menunjukkan lebih efektif dalam bertahan terhadap
virus hepatitis C kronis dibandingkan interfero n alfa biasa. Biasa diber

28
ik a n dengan dosis 1,5 ug/kgBB/kali (untuk PEG-interferon 12 KD) atau
dosis 180 ug (untuk PEG-interferon 40 KD) setiap minggunya.4
c. Ribavirin
Obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfauntuk
pengobatan hepatitis C kronis.6 Pemberian ribavirin dilakukan
bersamaan dengan pemberian interfero n unt uk meningkatkan
efektivitas.6 Dosis ribavirin yang mengikuti pemberian interferon
disesuaikan dengan berat badan pasien. Dosis pada pasien berat badan <
50 kg adalah 800 mg setiap hari, 50 – 70 kg adalah 1000 mg setiap hari,
dan > 70 kg adalah 1200 setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian. 6
Efek samping ribavirin adalah anemia hemolitik, cepat lelah, gatal-gatal,
ruam, batuk, faringitis, asam urat dan cacat pada waktu lahir.4

29
BAB IV
KESIMPULAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir


fibrosishepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur
hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Hal ini akibat nekrosis hepatoselular.
Penyebab tersering sirosis pada negara barat ialah alkoholik, sedangkan di
Indonesia terutamaakibat infeksi virus Hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di
Indonesia menyebutkan virushepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan
virus hepatitis C 30-40% dan sisanyatermasuk kelompok virus bukan B dan C.
Konsumsi alkohol dan autoimun juga dapatmempengaruhi terjadinya sirosis hati.
Penyakit perlemakan hati non alkoholik (NASH) yaituterdapat lemak dalam hepatosit
(sel-sel hati) dapat menyebabkan komplikasi berupa peradangan atau inflamasi hati atau
fibrosis juga dapat menyebabkan terjadinya sirosis kriptogenik (penyebab tidak
diketahui pasti).
Gejala sirosis hati kompensata adalah mudah lelah, lemah, selera makan
berkurang, perut kembung, mual, berat badan menurun, impotensi, testis
mengecil,ginekomastia, dan hilangnya gairan seksual. Sedangkan gejala sirosis hati
dekompensataterjadi lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan
hipertensi porta,meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam subfebris,
gangguan pembekuandarah seperti perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid,
ikterus, air kemih warna teh pekat, muntah darah dan/ melena serta perubahan mental
meliputi mudah lupa, sukarkonsentrasi, bingung, agitasi hingga koma.
Stigmata sirosis hati meliputi spider naevi, eritema palmaris, perubahan kuku,
clubbingfinger, ginekomastia, splenomegaly, edema, flapping tremor, caput medusa,
dan ikterik. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan SGOT, SGPT, dan GGT yang
meningkat. Bilirubinnormal pada sirosis hati kompensata dan meningkat pada sirosis
hati dekompensata.
Tatalaksana sirosis hati diberikan secara simtomatik, suportif, dan sesuai
etiologi. Setiap komplikasi yang muncul juga perlu dikendalikan.

Virus hepatitis akut adalah suatu penyakit sistem sistemik yang mengenai hati
yang disebabkan oleh satu dari lima jenis virus hepatitis yaitu virus hepatitis A (HAC),

30
virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV), atau virus
hepatitis E (HEV). Hepatitis kronis adalah gangguan hati dengan penyebab dan derajat
keparahan beragam yang disertai dengan keadaan terjadinya peradangan serta terjadinya
nekrosis hati terus menerus selama minimal 6 bulan.
Pentingnya diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien yang
terinfeksi virus hepatitis, dapat mengurangi peningkatan kerugian yang dirasakan
masyarakat akibat penyakit infeksi ini

31
DAFTAR PUSTAKA
1. Kasper, et al. Harrison’s: Principles of Internal Medicine. 18th Ed. USA: The
McGraw-Hill Companies;2014.
2. Sharma B, John S. Hepatic Cirrhosis. [Updated 2020 Nov 15]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482419/
3. Alwi, I. e. (2017). Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktis Klinis. Jakarta: Interna Publishing.
4. Setiati S, Alwi I, Sudaya AW, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna. Publishing; 2014.
5. Mehta P, Reddivari AKR. 2021. Hepatitis. Treasure Island (FL): Stat Pearls
Publishing; 2021
6. Infodatin. 2014. Situasi dan Analisis Hepatitis. Riskesdas
7. World Health Organization 2017. Regional Hepatitis Plan in SEA. [di akses
pada 02 Maret 2022]
8. World Health Organization 2017, New Hepatitis Data Highlight need for urgent
global respon, Diakses pada 3 Maret 2022.
9. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2014. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia. Jakarta: Penerbit PPHI

32

Anda mungkin juga menyukai