Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

” Analisis Hukum Mawaris Di Indonesia”

Diajukan untuk memenuhi tugas Kelompok pada matakuliah Fiqih Mawaris


Dosen Pengampu : Maslawani, S.H.,M.H

Disusun Oleh :

Kartini

Nurindah

Agus Salim Rusli

M. Firman Wahyudi

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS EKONOMI SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AMANAH JENEPONTO

2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Analisis Hukum
Mawaris Di Indonesia”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih


ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah


dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.

Jeneponto 4 Desember 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

SAMPUL...................................................................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2

A. Pengertian Hukum Waris..............................................................................2

B. Sifat Hukum Waris........................................................................................3

C. Macam-macam Hukum Waris......................................................................4

1. Hukum Waris Eropa (BW)........................................................................5

D. Cara Mewaris................................................................................................6

E. Hak waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung kawin
menurut Hukum Indonesia..................................................................................7

1. Anak luar kawin yang diakui mewaris bersama Golongan Pertama.......10

2. Anak Luar Kawin mewaris bersama ahli waris Golongan II..................10

3. Anak luar kawin mewaris bersama Golongan III....................................10

4. Anak luar kawin mewaris bersama dengan ahli waris Golongan IV......11

BAB III PENUTUP...............................................................................................12

A. Kesimpulan.................................................................................................12

B. Saran............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap
manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian
mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban.
Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) buku kedua tentang kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam,
dan juga hukum waris adat.

Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan


pengoperaan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli
warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya prose serta langkah-langkah
pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan
hibah wasiat, ataupun permasalahn lainnya.

Hukum waris di Indonesia hingga kini masih sangat pluralistik (beragam). Di


wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem
hukum kewarisan, yakni hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris
Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Keanekaragaman hukum
ini semakin terlihat karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya
tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti bentuk masyarakat
dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Waris

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap
manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan
yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa
hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya
seseorang, diatur oleh hukum waris. Untuk pengertian hukum “waris” sampai saat
ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum
Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian sehingga istilah hukum waris
masih beraneka ragam. Misalnya, Wirjono Prodjodikoro, mempergunakan istilah
hukum “warisan”. Hazairin, mempergunakan istilah hukum “kewarisan” dan
Soepomo mengemukakan istilah “hukum waris”

Dengan istilah hukum waris diatas, terdapat suatu pengertian yang mencakup
kaidah-kaidah dan azas-azas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan
hak-hak serta kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Dibawah ini
akan diuraikan beberapa pengertian istilah dalam hukum waris menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia, yaitu:

1) Waris: berarti orang yang berhak menerima peninggalan orang yang telah
meninggal
2) Warisan: berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat

2
3) Pewaris: adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal
dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka maupun surat
wasiat
4) Ahli waris: yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang
berhak menerima harta peninggalan pewaris
5) Mewarisi: yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris
adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya
6) Pewaris: istilah ini mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu:
 Berarti penerusan atau penunjukkan para waris ketika pewaris masih
hidup, dan
 Berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.

Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan
uraian yang beragam tentang hukum waris, pada umumnya para penulis hukum
sependapat bahwa “hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur
tentang cara atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris
atau para ahli warisnya”.

B. Sifat Hukum Waris

Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedankan sistem kekeluargaan pada
masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan.
Selanjutnya untuk mengetahui dan menguraikan perihal hukum waris di
Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui bentuk masyarakat dan sifat
kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan, yaitu :

1) Sistem Patrilineal (Kebapakan)


Sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek
moyangnya yang laki-laki. Contohnya masyarakat di Tanah Gayo, Alas,
Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan Bali.
2) Sistem Matrilineal (Keibuan)

3
Sistem yang menarik garis keturunan ibu dan seterusnya keatas
mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan. Contohnya, di
daerah Minangkabau.
3) Sistem Bilateral/Parental (Kebapak-Ibuan)
Sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis bapak maupun
garis ibu sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak
ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Contohnya, terdapat di
daerah Jawa, Madura, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan,
seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.

C. Macam-macam Hukum Waris

Di Indonesia dimana Undang Undang merupakan cara pengaturan hukum


yang utama pembaharuan masyarakat dengan jalan hukum berarti pembaharuan
hukum terutama melalui perundang-undangan. Hukum waris sebagai salah satu
bidang hukum yang berada di luar bidang yang bersifat netral kiranya sulit untuk
diperbarui dengan jalan perundang-undangan atau kodifikasi guna mencapai suatu
unifikasi hukum sebab senantiasa mendapat kesulitan untuk membuat hukum
waris yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran masayarakat, mengingar
beraneka ragamnya corak budaya, agama, social, dan adat istiadat serta sistem
kekeluargaan dalam masyarakat Indonesia.

Sebagai akibat dari keadaan yang dikemukakan diatas, maka hukum waris
yang berlaku di Indonesia ini masih tergantung pada hukum waris mana yang
berlaku bagi yang meninggal dunia. Hukum waris terdiri dari 3 macam, yaitu
Hukum adat, Hukum Islam dan Hukum B.W. Apabila yang meninggal dunia atau
pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia maka yang berlaku adalah
hukum waris adat, sedangkan apabila pewaris termasuk golongan Eropa atau
Timur Asing Cina, bagi mereka berlaku hukum waris Barat. Bila pewaris
termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam, maka ia
mempergunakan hukum waris Islam.

4
D. Hukum Waris Eropa (BW)

Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (BW)


adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena
wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang
ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang
yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak
ketiga.

Hukum waris menurut BW berlaku asas: “apabila seseorang meninggal


dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada
sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dna kewajiban yang dimaksud, yang
beralih kepada ahli waris adalah termasuk ruang lingkup harta kekayaan
atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

Menurut KUHPerdata/ BW, ahli waris yang berhak mewaris dapat


dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :

a. Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang


jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan
515 KUHPerdata.

b. Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau


keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal
854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.

c. Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus
terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal
853, 858 ayat (1) KUHPerdata.

d. Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai


tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858
ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866
KUHPerdata.

Peraturan perundang-undangan di BW telah menetapkan keluarga


yang berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya.

5
Bagian harta warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain
diatur sebagai berikut:

1. 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan
menjadi ahli waris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda
atau duda yang hidup paling lama.

2. 1/2 dari bagian anak yang sah, apabila anak yang lahir di luar
pernikahan menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli waris
golongan kedua dan golongan ketiga.

3. 3/4 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir diluar perkawinan
menjadi ahli waris bersama-sama ahli waris golongan keempat,
yaitu sanak keluarga pewaris sampai derajat keenam.

4. 1/2 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan
menjadi ahli waris bersama-sama dengan kakek atau nenek
pewaris, setelah terjadi kloving. Jadi dalam hal demikian, bagian
anak yang lahir diluar pernikahan bukan 3/4 , sebab untuk ahli
waris golongan keempat ini sebelum harta warisan dibagi,terlebih
dahulu dibagi dua/kloving sehingga anak yang lahir diluar nikah
akan memperoleh ¼ (seperempat) dari bagian anak sah dari
separuh harta warisan dari garis ayah dan ¼ dari bagian harta
warisan anak sah dari garis ibu sehingga menjadi ½ bagian.

E. Cara Mewaris

Pewarisan berdasarkan Undang Undang (B.W.) terutama didasarkan


kekeluargaan sedarah, antara si pewaris dan ahliwaris. Undang-undang
menunjukkan urutan pewarisannya, siapa yang berhak mewarisi lebih dahulu.
Dalam hal itu maka undang-undang membedakan antara mewaris sendiri dan
mewaris sebagai pengganti.

Orang dikatakan mewaris sendiri apabila ia mewaris berdasarkan tempatnya


diantara keluarga sedarah dari si pewaris. Apabila yang mewaris itu hanyalah

6
keluarga sedarah yang terdekat, maka hal ini akan menimbulkan ketidakadilan.
Apabila misalnya si pewaris meninggalkan 3 anak laki-laki, maka 3 anak ini yang
membagi warisannya. Akan tetapi apabila salah seorang diantara mereka telah
meninggal dunia lebih dahulu, maka anak mereka tidak akan ikut mewaris oleh
karena paman-paman mereka, kekeluargaan sedarahnya, lebih dekat dari mereka.
Untuk menghindari ketidakadilan demikian itu, maka dalam keadaan tertentu
undang-undang membolehkan mewaris: sebagai pengganti.

Supaya dapat ada “plaatsvervulling” (penggantian tempat) maka harus


dipenuhi 3 syarat:

1. Orang yang tempatnya diganti harus sudah meninggal (847 B.W.). oleh
karena itu apabila seseorang aygn semestinya berhak mewaris adalah
“onwaardig” (tidak pantas mewaris), maka anak-anaknya tidak dapat
mewaris sebagai penggantinya. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa
mereka tidak dapat mewaris sendiri, jika tidak ada keluarga sedarah yang
lebih dekat.
2. Orang yang menggantikan tempat orang lain, haruslah keturunan sah dari
orang yang tempatnya digantikan. Jadi seorang anak luar kawin tidak
dapat menggantikan tempat ayah atau ibunya sebagai pewaris, karena
antara anak itu dan keluarga sedarah dari ayah dan ibunya, tidak ada
hubungan keluarga sedarah, meskipun anak itu diakui, oleh karena syarat
untuk “plaatsvervulling” adalah adanya hubungan keluarga sedarah yang
sah.
3. Orang yang menggantikan tempat orang lain sebagai pewaris, harus juga
sendiri memenuhi syarat umum, untuk dapat mewaris dari si pewaris.
Artinya ia harus ada pada saat si pewaris meningga dunia dan ia tidak
boleh onwaarding (tidak pantas untuk mewaris).

7
F. Hak waris anak hasil kawin siri dengan hak waris saudara kandung kawin
menurut Hukum Indonesia.

Berpedoman pada kedudukan anak hasil perkawinan siri yang dinyatakan


tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan ibunya, tentu saja membawa
konsekuensi bahwa anak tersebut juga tidak memiliki hak waris atas harta
peninggalan ayah dan ibunya.

Kepastian hukum untuk para pasangan yang melakukan nikah siri sedianya
memang belum didapati secara penuh dikarenakan pernikahan ini dikatakan
merugikan pihak wanita ke depannya. Selain anak tidak dapat memiliki akte lahir
karena tidak tercantumnya nama ayah, wanita yang berpisah dari pasangannya
kelak tidak akan mendapatkan hak waris untuk anaknya.

Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan siri
hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42
UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP
menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan dengan
ketentuan KHI mengenai waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan
keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.

Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin
yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang
diakui oleh ayahnya (Pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu
dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya.

Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh
Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut
harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai

8
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak
kandung dari pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal 285 KUHP
perdata yang menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga
menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya
tersebut, maka pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak
istri dan anak-anak kandung pewaris. Artinya, anak luar kawin tersebut dianggap
tidak ada. Oleh karena itu, pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil
perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah
kandungnya.

Masalah-masalah yang timbul dalam pembagian harta warisan dan


pemecahannya

Disebutkan di atas, bahwa anak hasil perkawinan siri tidak memiliki hak waris
atas harta peninggalan ayah dan ibunya. Untuk memecahkan masalah tersebut,
usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengakuan terhadap anak
tersebut, baik melalui pengakuan sukarela maupun melalui pengakuan terpaksa.

Anak luar kawin hanya mempunyai hak waris terhadap warisan ayah/ibunya
sepanjang ayah/ibunya sepanjang ayah ibunya telah mengakuinya dengan sah.

Jika Anak Luar Kawin belum diakui oleh keduanya atau salah satunya anak
tersebut tidak ada hubungan perdata dengan orang tuanya itu dan tanpa hubungan
perdata (tidak ada hubungan perdata (tidak ada pertalian keluarga) maka tidak
ada pula hubungan pewarisan antara mereka.

Meskipun anak luar kawin mempunyai hak waris terhadap orang tuanya hak
warisannya itu sangat “inferior sifatnya jika dibandingkan dengan hak waris anak-
anak sah karena :

1. Ia tidak mempunyai hak waris tersendiri, dalam arti kata terhadap warisan
orang tuanya itu ia tidak mungkin mewaris sendirian sepanjang orang

9
tuanya masih mempunyai keluarga sedarah dalam batas derajat yang boleh
mewaris yaitu enam derajat.

2. Ia selalu “membonceng” pada salah satu kelas ahli waris sah yang empat.
ALK itu hanya mempunyai hak waris tersendiri jika orang tuanya tidak
meninggalkan keluarga yang termasuk dalam keempat-empat kelas ahli
waris sah.

3. Porsi atau bahagian yang diterimanya adalah lebih kecil dari porsi yang
akan diterimanya sekiranya ia adalah anak sah. Besar kecilnya porsi itu
bukan saja ditentukan oleh berapa saja ditentukan oleh berapa orang
temannya yang mewaris, akan tetapi juga dan terutama sekali oleh
kenyataan ahliwaris kelas berapa temannya mewaris itu.

Hak waris anak luar kawin yang diakui sah diatur dalam pasal 862 sampai
diatur dalam pasal 862 sampai dengan pasal 873.

Berikut ini penjelasan mengenai bagian yang diterima oleh anak luar kawin
yang diakui dan yang mewaris dengan Golongan I,II,III, dan IV.

1. Anak luar kawin yang diakui mewaris bersama Golongan Pertama

Diatur dalam Pasal 863 KUHPerdata: “Jika pewaris meninggal dengan


meninggalkan keturunan yang sah dan meninggalkan suami atau istri,
maka anak luar kawin yang diakui mewaris 1/3 bagian dari bagian mereka
yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah”.

G. Anak Luar Kawin mewaris bersama ahli waris Golongan II

Pasal 863 KUH Perdata menentukan: “Jika pewaris tidak meninggalkan


keturunan, suami maupun istri akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah
dalam garis ke atas (ayah atau ibu) ataupun saudara laki-laki maupun
perempuan atau keturunan saudara, maka mereka menerima ½ dari
warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih
jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat ¾”.

10
H. Anak luar kawin mewaris bersama Golongan III

Pasal 863 KUH Perdata menyebutkan : “Jika pewaris tidak meninggalkan


keturunan, suami atau istri, dan ayah atau ibu, akan tetapi meninggalkan
keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ayah maupun
ibu (kakek atau nenek), maka anak luar kawin menerima ½ bagian dari
warisan.

I. Anak luar kawin mewaris bersama dengan ahli waris Golongan IV

Pasal 863 ayat KUH Perdata menentukan : “Jika hanya ada sanak saudara
dalam derajat lebih jauh (paman atau bibi dan keturunanya) maka anak
luar kawin mendapat ¾ bagian dari warisan.

Pasal 863 ayat (2) KUH Perdata menentukan bahwa kemungkinan adanya
anak luar kawin yang mewaris bersama-sama dengan anggota keluarga
yang berhubungan darah dalam perderajatan yang berlainan.
Kemungkinan itu terjadi dalam hal terjadi kloving, dimana masing-masing
bagian dalam kloving diperlakukan seakan-akan suatu warisan yang
berdiri sendiri. Dalam Pasal 863 ayat (2) KUH Perdata dihitung dengan
melihat kelurga yang terdekat hubungan perderajatannya dengan pewaris.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka


diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan
mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului
dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya
hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan,
misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan
mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah, maka menurut
kami dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status
anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah.

Sesuai dengan Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal
43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

B. Saran

Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi


hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perkawinan dan
hak waris menurut agama dan kepercayaannya sehingga tidak menimbulkan
pendapat/ opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan
diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud.

12
DAFTAR PUSTAKA

Afiandi, A. (2004). Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta:


PT Rineka Cipta.
Ali, Z. (2008). Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hazairin. (1964). Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur'an. Jakarta:
Tintarmas.
Pitlo, A. (1979). Hukum Waris Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
(M. I. Arief, Trans.) Jakarta: Intermasa.
Prodjodikoro, W. (n.d.). Hukum Warisan di Indonesia. Bandung: Vorkink van
Hoeve.
Ramulyo, M. I. (1982, Maret 12). Majalah Hukum dan Pembangunan. Suatu
Perbandingan Antara Ajaran Sjafi'i Hazairin dan Wasiat Wajib di Mesir,
Tentang Pembagian Harta Warisan Untuk Cucu Menurut Islam.
Satrio, J. (1990). Hukum Waris. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Soepomo. (1966). Bab-bab tentang Hukum Adat. Penerbitan Universitas.
Subekti, R. (1977). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Suparman, E. (1991). Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

13

Anda mungkin juga menyukai