Anda di halaman 1dari 14

MATERI ASWAJA

MAKESTA KE 3

“NILAI - NILAI DASAR ASWAJA


AN-NAHDLIYAH”
Ahad, 7 Juli 2019

0leh :
Raden Muhamad Jazami, S.Sos.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1       LATAR BELAKANG

Nahdlatul Ulama didirikan sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah (organisasi keagamaan


kemasyarakatan) untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan pengikutnya. Tujuan
didirikannya NU ini diantaranya adalah : Memelihara, Melestarikan, Mengembangkan dan
Mengamalkan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah Wal Jama’ah yang manganut salah satu pola
madzhab empat: Imam Hanafi, Imam Maliki,Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, Mempersatukan
langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya, dan Melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan
untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta
martabat manusia. Kendala utama yang menghambat kemampuan umat melaksanakan amar
ma’ruf nahi mungkar dan menegakkan agama dan karena kemiskinan dan kelemahan dibidang
ekonomi. Maka, muktamar mengamanatkan PBNU untuk mengadakan gerakan penguatan
ekonomi warga. Para pemimpin NU waktu itu menyimpulkan bahwa kelemahan ekonomi ini
bermula dari lemahnya sumber daya manusianya (SDM). Mereka lupa meneladani sikap
Rasulullah sehingga kehilangan ketangguhan mental. Setelah diadakan pengkajian, disimpulkan
ada beberapa prinsip ajaran Islam yang perlu ditanamkan kepada warga NU agar bermental kuat
sebagai modal perbaikan sosial ekonomi meliputi Mabadi Khaira Ummah, Khittah Nahdhiyah,
dan UkhuwahNahdhiyah.

1.2    RUMUSAN MASALAH

a.  Bagaimana konsep tentang  Mabadi Khaira Ummah ?


b.  Bagaimana konsep tentang  Khittah Nahdhiyah ?
c.  Bagaimana konsep  tentang  Ukhuwah Nahdhiyah?

1.3     TUJUAN PENULISAN
a.   Menjelaskan konsep tentang  Mabadi Khaira Ummah
b.   Menjelaskan konsep tentang  Khittah Nahdhiyah
c.   Menjelaskan konsep tentang  Ukhuwah Nahdhiyah
BAB II
PEMBAHASAN
NILAI-NILAI DASAR AN-NAHDLIYAH

2.1 MABADI KHAIRA UMMAH


A. Pengertian Mabadi Khaira Ummah
Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan langkah awal pembentukan
umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat
terbaik” (Khaira Ummah) yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf
nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak
diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. sesuai dengan
cita-cita NU. Dan nahi mungkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang dapat
merugikan,merusak dan merendahkan,nilai-nilai kehidupan dan hanya dengan kedua sendi
tersebut kebahagiaan lahiriyah dan bathiniyah dapat tercapai.

B. Butir-butir Mabadi Khaira Ummah dan pengertiannya


Perlu dicermati perbedaan konteks zaman antara masa gerakan mabadi khaira ummah
pertama kali dicetuskan dan masa kini. Melihat  besar dan mendasarnya  perubahan sosial yang
terjadi dalam kurun sejarah tersebut, tentulah perbedaan konteks itu membawa konsekuensi yang
tidak kecil. Demikian pula halnya denangan perkembangan kebutuhan interal NU sendiri. Oleh
karena itu perlu dilakukan beberapa penyesuaian dan pengembangan dari gerakan mabadi khaira
ummah yang pertama agar lebih jumbuh dalam konteks kekinian.Jika semula mabadi khaira
ummah tiga butir, maka dua butir perlu ditambahkan untuk mengantisipasi persoalan
kontemporer, yaitu ’adalah dan istiqamah, yang dapat pula disebut dengan al-Mabadi al-
Khamsah dengaan kerincian berikut ini:
Ash-shidqu. Butir ini mengandung arti kejujuran  atau  kebenaran, kesunguhann. Jujur dalam
arti satunya kata dengan perbuatan ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan sama dengan 
yang dibatin. Tidak memutarbalikkan fakta dan meberikan informasi yang menyesatkan, jujur
saat berpikir dan bertransaksi. Mau mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik.
Al-amanah wal wafa bil ‘ahdi. Yaitu melaksanakan semua beban yang harus dilakukan
terutama hal-hal yang sudah dijanjikan. Karena itu kata tersebut juga diartikan sebagai dapat
dipercaya dan setia dan tepat pada janji, baik bersifat diniyah maupun ijtimaiyah. Semua ini
untuk menghindarkan berapa sikap buruk seperti manipulasi dan berkhianat. Manah ini dilandasi
kepatuhan dan ketaatan pada Allah.
Al’Adalah. Berarati bersikap obyektif, proporsional dan taat asas, yang menuntut setiap orang
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari pengaruh egoisme, emosi pribadi dan
kepentingan pribadi. Distorsi semacam itu bisa menjerumuskan orang pada kesalahan dalam
bertindak. Dengan sikap adil, proporsional dan obyektif relasi sosial dan transaksi ekonomi akan
berjalan lancar saling menguntungkan.
At–ta’awun. Tolong-menolong  merupakan  sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat,
manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ta’awun berarti bersikap
setiakawan, gotongroyong dalam kebaikan dan dan taqwa. Ta’awaun mempunyai arti timbal
balik, yaitu memberi dan menerima. Oleh karena itu sikap ta’awun mendorong orang untuk
bersikap kreatif agar memiliki sesuatu untuk disumbangkan pada yang lain untuk kepentingan
bersama, yang ini juga berarti langkah untuk mengkonsolidasi masyarakat.
Istiqamah, dalam pengertian teguh, jejeg ajek dan konsisten. Tetap teguh dengan ketentuan
Allah dan Rasulnya dan tuntunan para salafus shalihin dan aturan main serta rencana yang sudah
disepakati bersama. Ini juga berarti kesinambungan dan keterkaitan antara satu periode dengan
periode berikutnya, sehingga kesemuanya  merupakan  kesatuan yang saling menopang seperti
sebuah bangunan. Ini juga berarti bersikap berkelanjutan dalam sebuah proses maju yang tidak
kenal henti untuk mencapai tujuan.
Kebangkitan kembali prinsip mabadi khaira ummah ini didorong oleh kebutuhan-kebutuhan
dan tantangan nyata yang dihadapi oleh NU khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Kemiskinan dan kelangkaan sumber daya manusia, kemerosotan budaya dan mencairnya
solidaritas sosial adalah keprihatinan yang dihadapi bangsa Indonesia umumnya dan NU pada
khususnya. Sebagai nilai-nilai universal butir-butir mabadi khaira ummah dapat dijadikan
sebagai jawaban langsung bagi problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat dan bangsa
ini.

2.2 KHITTAH NAHDLIYAH


A. Pengertian Khittah Nahdiyah
Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh. Kalau  kata khittah
dirangkai dengan Nahdhatul Ulama’(selanjutnya disingkat  NU),  maka  artinya garis yang biasa
ditempuh oleh orang orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham
keagamaannya sehingga membentuk kepribadian khas NU.
Jadi pengertian Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU,
secara individual maupun organisatoris. Landasan yang dimaksud  adalah faham Ahlussunnah
wal jama’ah yang diterapkan menurut kondisi masyarakat  Indonesia.
Itulah hakikat khittah NU yang kemudian dirumuskan dalam “Khittah NU” oleh Muktamar ke-
27 tahun 1984 di Situbondo.

B. Latar Belakang Perumusan Khittah Nahdliyah


Gagasan untuk merumuskan khittah NU baru muncul sekitar tahun 1975-an, ketika NU sudah
kembali menjadi jam'iyyah diniyah. (organisasi sosial keagamaan). Karena sebelumnya NU
memfusikan fungsi politik praktisnya ke dalam PPP,  sebagai  tindak lanjut dari langkah
penyederhanaan partai-partai di Indonesia(1973).
Setelah kembali menjadi jam’iyah diniyah, baru terasa bahwa NU kembali kepada  garisnya
yang semula, kepada khitthahnya. Terasa sekali selama ini ada kesimpangsiuran. Ada
kesemrawutan di dalam tubuh dan gerak NU. Banyak yang berharap terutama kalangan ulama
sepuh serta generasi muda, bahwa akan tumbuh udara segar di dalam tubuh NU sehingga ada
pembenahan dalam bergerak.    
Saat itulah mulai terdengar kalimat kembali kepada semangat 1926, kembali  pada  khitthah
1926 dan lain-lain. Makin lama gaung semboyan tersebut kian kencang. Apalagi fakta
menunjukkan sesudah berfusi politik ke dalam PPP, kondisi NU bukan bertambah baik, justru
kian semrawut dan terpuruk.
Tetapi gagasan “kembali pada khitthah” itu terhadang oleh kesulitan tentang bagaimana
rumusannya. Apa saja yang termasuk unsur atau komponen khitthah danbagaimana rumusan
redaksionalnya. Orang sudah sering mengemukakan bahwa NU sudah memiliki khitthah yang
hebat. Tetapi bagaimana runtutnya dan bagaimana jluntrungnya kehebatan itu, belum dapat
diketahui, dipelajari dengan mudah dan cepat.
Adapun sebab utama timbulnya kesulitan perumusan itu adalah: Pertama, Nahdliyyin melalui
ketauladanan dan petunjuk yang berangsur-angsur diberikan oleh para ulama, dibanding dengan
diberikan secara tertulis sekaligus legkap berupa  risalah.
Kedua, aktivitas tulis-menulis di kalangan para tokoh-tokoh NU belum  membudaya,  masih
lebih banyak merumuskan atau menyampaikan pesan secara lisan dan kesulitan ketiga, kaum
nahdliyyin umumnya belum biasa menerima pesan-pesan atau pikiran- pikiran tertulis sebab
budaya membaca belum tinggi.
Namun betapapun sulitnya merumuskan Khitthah NU, perumusan harus dilakukan karena hal
itu sangat diperlukan. Sudah banyak generasi baru NU yang tidak sempat berguru secara intensif
kepada tokoh generasi pertama. Tidak salah kalau kemudian pemahaman dan penghayatan
mereka terhadap apa dan bagaimana NU secara  benar,  kurang  mendalam dan lengkap. Padahal
di antara mereka yang tidak  memiliki  pengetahuan  cukup memadai itu sudah banyak berperan
penting sebagai pengurus, wakil-wakil NU di berbagai lembaga dan lain-lain. Pada sisi lain
dokumen-dokumen yang dapat  dipergunakan sebagai sarana pewarisan penghayatan khitthah
sangat minim atau boleh dibilang tidak ada.
Pada tahun 1979 menjelang diselenggarakannya Muktamar di semarang, Kiai Achmad Siddiq
yang tergolong pemikir di antara para pemikir NU yang sedikit  jumlahnya,  merintis rumusan
khitthah dengan menulis sebuah buku yang berjudul Khitthah Nahdliyyah. Cetakan kedua dari
buku tersebut terbit pada 1980 dan merupakan cikal  bakal rumusan khitthah.
Pada 12 Mei 1983 di Hotel Hasta Jakarta, ada 24 orang yang mayoritas terdiri dari tokoh-
tokoh  muda  NU.  Mereka membicarakan  kemelut  yang  melanda  NU  dan   bagaimanamenga
ntisipasinya. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas apa-apa pada masa itu, namun
kesungguhan mereka ternyata mendatangkan hasil. Mula-mula mereka menginventariskan
gagasan-gagasan, kemudian membentuk ”tim tujuh untuk pemulihan khitthah” yang bertugas
merumuskan, mengembangkan dan memperjuangkan gagasan. Rumusannya berjudul “Menatap
NU di Masa Depan” yang kemudian “ditawarkan” kepada segenap “kelompok” di dalam NU.
Pendekatan demi pendekatan dilakukan. Hasil pertama ialah keberanian Rais Aam Kiai Haji
Ali Ma’sum beserta para ulama sepuh lainnya untuk mengadakan Musyswarah Nasional Alim
Ulama NU di Situbondo tepatnya di Pesantren Salafiyah  Syafi’iyah  asuhan KH. As’ad Syamsul
Arifin tahun 1983. Panitia penyelenggara Munas adalah KH. Abdurrahman Wahid dan kawan-
kawan yang sebagian juga tokoh-tokoh Tim Tujuh atau juga dikenal sebagai Majelis 24.
Ternyata Munas Alim Ulama NU kali ini benar-benar monumental, memiliki arti sejarah
penting bagi NU, bahkan bagi tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada dua
keputusan yang sangat penting, yaitu: Pertama, penjernihan kembali pandangan NU dan sikap
NU dan Pancasila, yang dituangkan dalam dekralasi tentang  hubungan Pancasila dengan Islam
dan Rancangan Mukaddimah Anggaran Dasar NU. Kedua, pemantapan tekad kembali pada
khatthah NU yang dituangkan dalam pokok-pokok  pikiran tentang pemulihan khitthah NU
1926.
Dengan keputusan-keputusannya, terutama dua keputusan tersebut, Munas Alim Ulama NU
1983 dapat menerobos kemacetan menuju penanggulangan kemelut internal NU, sekaligus
mengubah citra organisasi dalam pandangan hampir semua pihak di luar NU, terutama pihak
pemerintah. NU yang selama dasawarsa  ini  “dijauhi”,  sekarang  “didekati” bahkan disanjung-
sanjung.
Keberhasilan Munas ini berlanjut dengan “rujuk internal” di Sepanjang, Sidoarjo (rumah alm.
KH. Hasyim Latif) beberapa waktu berselang. Dengan begitu Muktamar  ke-27 setahun
kemudian, dapat diselenggarakan oleh PBNU dalam kondisi sudah utuh kembali.
Ketika  itu  NU  tidak  lagi  dipandang  sebagi  kelonpok  eksklusif  yang  sulit diajakbekerjesam
a, tetapi sebagai kelompok yang positif konstruktif, tidak lagi sebagai  kelompok yang “harus
ditinggalkan”  tetapi menjadi “pihak yang selalu  diperlukan”.
Muktamar ke-27 yang diadakan di tempat yang sama pada 1984dan dibuka oleh presiden,
mendapat perhatian sangat besar dari semua pihak baik dalam maupun luar negeri, serta tidak
ketinggalan masyarakst pada umumnya. Seseorang karyawan televisi Jepang menerangkan
bahwa kunjungan massa sebanding dengan ketika pemakaman Presiden Aquino di Filipina dan
pemakaman Gamal Abdul Naser di Mesir. Perusahaannya ingin menyuting dari udara. Tetapi
sayang tidak diizinkan.
Dengan bekal semangat dan tekad kembali kepada khitthah 1926 dan dengan modal cikal
bakal risalah Khitthah Nahdliyyah karya KH. Achmad Siddiq  yang  dikembangkan  dengan
menatap NU masa depan (Tim Tujuh untuk pemulihan Khitthah, 1983), serta dipadukan dengan
makalah “Pemulihan Khitthah NU 1926”. (KH. Achmad Siddiq pada Munas Alim Ulama
NU,1983) serta pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khitthah NU 1926 (kesimpulan Munas),
maka Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama pada tahun 1984 di Situbondo menetapkan rumusan
terakhir “Khitthah Nahdlatul Ulama”.
Di samping itu, Muktamar juga menerima dan mengesahkan keputusan Munas  Alim Ulama
pada 1983, termasuk Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Inilah perjalanan
panjang tentang Khitthah NU. Para pendahulu telah berusaha memberikan alternatif bagi
perjalanan NU pada masanya. Sekarang tugas generasi muda NU untuk meneruskan prestasi
para ulama terdahulu dengan tetap menjaga kemurnian NU sebagai sebuah  jam’iyyah diniyyah
ijtima’iyyah seperti harapan pendiri dan para  pendahulu.

C. IKHTISAR( RINGKASAN)KHITTHAH

1. Mukaddimah
a)  NU didirikan  atas kesadaran terhadap perlunya  bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan
dengan persatuan dan saling membantu.
b)  NU  adalah  jam’iyyah  diniyah,  berfaham  Islam  Ahlusunnah  wal Jama’ah,berhaluan salah
satu madzhab empat.
c)  NU adalah gerakan  keagamaan, ikut membangun insan dan  masyarakat  yang bertaqwa,
berakhlak, cerdas, terampil, adil, tentram, dan  sejahtera.
d)  Ikhtiyar dan faham keagamaan NU membentuk  kepribadian khas NU, yang kemudian
disebut  khitthah NU.
2. Pengertian

1.  Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU, secara individual
maupunorganisatoris.
2.  Landasan itu adalah faham Ahlussunnah wal jama’ah yang diterapkan menurut kondisi
masyarakat Indonesia.
3.  Khitthah itu juga digali dari sari sejarah perjuanganNU.

3.      Dasar Faham Keagamaan


Dasar-dasar faham keagamaan NU :
a.   Al-Qur’an
b.   Al-Hadits
c.   Al-ijma’
d.   Al-Qiyas
Di dalam penafsiran dasar-dasar tersebut dipergunakan jalan pendekatan (madzhab);
a.    Dalam aqidah mengikuti faham yang dipelopori oleh Imam Asy’ari  dan Imam Maturidzi.
b.    Dalam Fiqh mengikuti salah satu madzhab empat.
c.    Dalam tasawuf mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi, al-Ghozali dan sebagainya.

4.  Sikap Kemasyarakatan
a.  A-tawassuth dan i’tidal yakni sikap tengah dengan inti keadilan dalam keadilan.
b.  At-tasamuh yakni toleran dalam perbedaan, toleran dalam urusan kemasyarakatan dan
kebudayaan.
c.  At-tawazun, kesembangan antara beribadah kepada Allah SWT, dan berkhidmah kepada
sesama manusia serta keselarasan masa lalu, masa kini dan masa depan.
d.  Amar ma’ruf nahi munkar, mendorong perbuatan baik dan mencegah hal yang merendahkan
nilai-nilai kehidupan.

5.  Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan


a. Menjunjung tinggi norma atau nilai agama.
b. Mendahulukan kepetingan bersama dari pada kepetingansendiri.
c. Menjunjung tinggi keikhlasan dalam berkhidmah danberjuang.
d. Menjunjung tinggi ukhuwwah, ijtihad dan salingmengasihi.
e. Meluhurkan akhlaq dan menjunjung tinggi kejujuran.
f. Menjunjung tinggi kesetiaan kepada agama, negara danbangsa.
g. Menjunjung tinggi nilai kerja dan prestasi, sebagian dariibadah.
h. Menjunjung tinggi ilmu dan ahli ilmu.
i. Siap menyesuaikan diri dengan perubahan yang bermanfaat dan
bermaslahat.
j. Menjunjung tinggi kepeloporan untuk mempercepat  perkembangan.
k.  Menjunjung tinggi kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan  bernegara.

6.  Ikhtiyar

a. Silaturrahmi antarulama`
b. Kegiatan dibidangkeilmuan
c. Penyiaran Islam, pembangunan sarana peribadatan dan pelayanan sosial

7. Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama


a.  Menggunakan organisasi struktural untuk mencapai tujuan.
b.  Menempatkan ulama (sebagai mata rantai pembawa faham Ahlussunnah wal jama`ah) pada
kedudukan kepemimpinan yang amat  dominan.

8.  N.U dan Kehidupan Bernegara


a.  Dengan sadar mengambil posisi aktif ,menyatukan diri dalam perjuangan nasional.
b.  Menjadi warga Negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
c.  Memegang yeguh ukhuwwah dan tasamuh.
d.  Menjadi warga Negara yang sadarakan hak dan kewajiban ;tidak terikat secara
teroganisatoris,dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun.
e.  Warga yang tetap memiliki hak-hak politik.
f.  Menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab, untuk menumbuhkan sikap
demokratis ,konstitusional,taat hukum dan mengembangkan mekanisme musyawarah.

9.  Khittah NU
a.  Khittah NU merupakan landasan dan patokan dasar.
b.  Keberhasilan khithoh NU tergantung kepada semangat dan amal para pemimpin serta seluruh
warga NU , dengan seizin Allah  SWT.
         

                                                                                
D.  SOSIALISASI KHITTAH NAHDLIYAH
Harus diakui secara jujur, bahwa sampai sekarang upaya sosialisasi Khitthah NU
dikalangan warga NU belum dilakukan secara serius, terencana,  terarah,  dan  terkoordinasi
dengan baik. Anehnya, sebagian tokoh dan kader NU merasa “sudah mengerti” Khitthah.
Sehingga memberikan penafsiran sendiri, tanpa “membaca naskahnya”Sesungguhnya sosialisasi
Khitthah NU adalah identik dengan “kaderisasi NU” dibidang wawasan ke-NU-an. Kalau saja
ada koordinasi  antara  badan-badan  otonom  yang ada dengan lembaga-lembaga (lakpesdam,
RMI dan lain sebagainya) dan pesantren, Insya Allah hasilnya akan lumayan. Sayang sosialisasi
yang terkoordinasi ini tidak dilakukan. Akibat dari macetnya upaya sosialisasi ini, Khitthah
menjadi merana, hidup segan mati tak mau. Betapa kacaunya pemahaman terhadap
Khitthah  NU,  dapat  ditangkap oleh seorang kiai pengasuh pesantren sebagai berikut: “Di era
Khitthah selama 14 tahun ini, pesantren terputus hubunganya dengan NU. Tokoh NU dilarang
masuk pesantren ini. Kami hanya berhubungan dengan PPP,  sampai  pesantren  ini  dimusuhi
oleh pemerintah habis-habisan. Tetapi NU sekarang sudah punya  PKB  secara  total, tidak ada
yang ketinggalan dari PPP seorang pun”.

E. MENGAMALKAN KHITTAH NAHDLIYAH


Proses perumusan khittah sangat panjang, melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua
(Munas Alim Ulama tahun 1983), sampai kepada yang muda (Majelis 24 dan Tim Tujuh),
sampai kepada yang formal struktural (Muktamar 1984) dan lain sebagainya, sehingga patut
dipercaya bahwa hasilnya sudah mantap, baik substansinya maupun  sistematikanya.
Tujuan menjadikan Khitthah NU sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga
NU seperti yang disebutkan dalam naskah adalah untuk diamalkan  dalam  kehidupan sehari hari
warga NU. Tetapi sampai saat ini pengamalannya masih jauh dari keinginan khittah itu sendiri.
Meskipun pengamalannya merupakan perjuangan berat tetapi warga  NU harus tetap berusaha
semaksimal mungkin untuk  mengamalkannya..
Secara garis besar, Khitthah NU yang harus direalisasikan oleh Nahdliyin,  telah  terbingkai
dalam fungsi dan missi NU itu sendiri, yaitu:
1.  Sebagai Jam’iyyah diniyyah, wadah perjuangan bagi ulama dan  pengikutnya.
2.  Sebagai gerakan keagamaan, ikut membangun insan masyarakat yang bertakwa, cerdas,
terampil, berakhlak, tentram, adil dan sejahtera.
3.  Sebagai bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa dan senantiasa  menyatukan diri
dengan perjuangan nasional.
4.  Sebagai bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia, memegang teguh  prinsip
Ukhuwah, toleransi dan hidup berdampingan, baik dengan sesama umat Islam maupun
dengan sesama warga Negara yang mempunyai keyakinan maupun Agama berbeda.
5.  Sebagai Organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, senantiasa berusaha menciptakan
warga Negara yang menyadari hak dan  kewajibanya.

2.3 UKHUWAH NAHDLIYAH NU


A. Pengertian Ukhuwah Nahdliyah NU
Secara umum, ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang dicerminkan rasa
persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain atau suatu kelompok kepada kelompok lain, dalam interaksi sosial (Muamalah
ijtimaiyah). Sikap ukhuwah dalam masyarakat biasanya timbul karena dua hal, yaitu :Adanya
persamaan, dalam baik masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman,kepentingan, tempat
tinggal maupun cita-cita.

B. Sikap yang mempengaruhi Ukhuwah


Adanya kebutuhan yang dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerja
sama,gotong royong dan persatuan. Keberlangsungan sikap ukhuwuwah dalam realisasi
kehidupansosial dipengaruhi oleh beberapa sikap dasar, antara lain :
1.      Saling mengenal (Ta’aruf)
2.      Saling menghargai dan menegangkan (tasamuh)
3.      Tolong menolong (ta’awun)
4.      Saling mendukung (tadlamun)
5.      Saling menyayangi (tarahum)

C. Sikap yang dapat mengganggu Ukhuwah


Sebaliknya, ukhuwah akan terganggu kelestariannya apabila terjadi sikap-sikap destruktif
(Muhlikat) yang bertentangan dengan etika sosial yang baik (akhlakul karimah),seperti :
1.      Saling menghina (Assakhriyah)
2.      Saling mencela (allamzu)
3.      Berburuk sangka (suudhan)
4.      Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
5.      Sikap curiga yang berlebihan (Tajassus)
6.      Sikap congkak (Takabbur)
D. Penjabaran Konsep Ukhuwah Nadliyah
Dalam masalah sosial (ijtimaiyah), ukhuwah dapat dijabarkan dalam beberapa
kontek hubungan sebagai berikut :
1.    Persaudaraan islam (ukhuwah Islamiyah) yang tumbuh dan berkembang karena persamaan
aqidah/keimanan, yang baik di tingkat nasional maupaun internasional.
2.    Persatuan nasional (ukhuwah wathoniyah) yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran
berbangsa dan bernegara.
3.    Solidaritas kemanusiaan (ukhuwah bashariyah) yang tumbuh dan berkembang atas dasar
rasa kemanusiaan yang bersifat universal.
Ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah (persatuan nasional) merupakan dua sikap
yang saling mendukung. Keduanya harus diupayakan keberadanaanya secara serentak,dan tidak
dipertentangkan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara keduanya adalah :Akomodatif
dalam arti ada kesediaan untuk saling memahami pendapatan aspirasi dan kepentingan satu
dengan yang lain.Akomodatif dalam arti kesediaan untuk saling memahami pendapat aspirasi
dan kepentingan satu dengan yang lain. Selektif, dalam arti ada kesediaan untuk menyelesaikan
dalam menyelenggarakan berbagai macam kepentingan dan aspirasi tersebut secara benar, adil,
dan proposional.
Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Wathoniyah merupakan landasan dan modal dasar bagi
terwujudnya Ukhuwah Basyariyah (hubungan kemanusiaan) yang universal.Ukhuwah Islamiyah
dalam kehidupan sosial, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan salah
satu kondisi yang diperlukan dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat, disamping
mampu memberikan kemantapan, ketentraman dan kegairahan dalam mengenai berbagai
tantangan yang dapat mengganggu kehidupan social dan stabilitias nasional. Kondisi yang
masyarakat dalam proses pencapaian tujuan bersama dan pada giliran selanjutnya dan batiniyah
yang lebih mutu persatuan bangsa dalammenggalang keutuhan umat dalam rangka stabilitas
nasional dan solidaritas Islam, serta pengalaman agama yang bertujuan mencapai kesejahteraan hidup
dunia dan kebahagiaan hidup akhirat. Akan tetapi proses pengembangan wawasan ukhuwah
tersebut kerap kali mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan berbagai hal,
seperti :Adanya kebanggaan kelompok yang berlebihan yang mudah menumbuhkan sikap apriori dan
fanatisme yang tidak berkontrol.
Sempitnya cakrawala berpikir, baik yang disebabkan oleh keterbatasan tingkat pemahaman
masalah keagamaan dan kemasyarakatan, maupun yang kepemimpinan umatdalam mengembangkan budaya
ukhuwah baik dalam memberikan teladan pada bawahan maupun dalam mengatasi gangguan kerukunan
yang timbul dalam kehidupan umat maupun organisasi.
Menurut Nahdlatul Ulama, penerapan konsep dan wawasan ukhuwah, dapat dilakukan
melalui bermacam cara, antara lain :Ukhuwah Islamiyah seyogyanya dimulai dari lingkungan
yang paling kecil (keluarga), kelompok atau warga suatu jamiyah, kemudian dikembangkan
dalam lingkungan yang lebih luas (antar jamiyah, aliran, dan bangsa).
Perlu adanya keteladanan yang baik (uswah hasanah) dari pimpinan umat, dan khususnya bagi
Nahdlatul Ulama di perlukan keteladanan dari para pengurus untuk menampilkan sikap ukhuwah
yang dapat dijadikan contoh oleh warganya dan umat Islam pada umumnya, baik dalam
kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan fungsionalnya. Mengembangkan perluasan
cakrawala berpikir dalam masalah keagamaan kemasyarakatan, dalam rangka lebih
meningkatkan pengertian dan saling memahami wawasan pihak lain dan mengembangkan sikap
terbuka dalam menghadapi masalah-masalah sosial.
Terbentuknya lembaga-lembaga atau pranata-pranata yang menumbukan
kerukunan,persatuan, dan solidaritas warga dan umat, seperti koperasi badan pengembangan
ekonomi, lembaga-lembaga bantuan, badan-badan dan konsultasi dan lain sebagainya, sesuai
dengan perkembangan dan kerukunan umat. Mendayagunakan semua lembaga dan sarana yang sudah
tersedot yang diadakan oleh pemerintah maupun oleh swadaya masyarakat sendiri MUI, pesantren,
sekolah, dan kampus Perguruan Tinggi, sebagai pengembangan persaudaraan Islam dan
persatuan nasional. Mendayagunakan pesantren dan lemabaga-lembaga pendidikan lainnya
dimiliki oleh Nahdlatul Ulama Khususnya, agar lebih berperan pengambangan wawasan
ukhuwah, baik melalui program kurikuler, maupun ekstra kurikuler.Menciptakan suatu mekanisme
yang baik yang baik dan efektif dalam keluarga jamiah Nahdlatul Ulama yang mampu berperan dalam
menyelesaikan masalah jika terjadiperbedaan pandapat dalam pergaulan interen pengurus atau
mengatasi perbedaan pandapatdengan pihak lain. Dalam hubungan ini difungsikan mekanisme
“Ishlahul Dzatil Bain”(arbritase) seoptimal mungkin.
BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN

Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan langkah awal


pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal
pembentukan “umat terbaik” (Khaira Ummah) yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan
tugas-tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena
kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah
SWT. sesuai dengan cita-cita NU.
Sedangkan Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh.
Kalau  kata khittah dirangkai dengan Nahdhatul Ulama’ (selanjutnya
disingkat  NU),  maka  artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang orang NU dalam kiprahnya
mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham keagamaannya sehingga membentuk
kepribadian khas NU.
Sedangkan ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang ciderminkan
rasapersaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain atau suatu kelompok kepada kelompok lain, dalam interaksi sosial
(Muamalahijtimaiyah). Sikap ukhuwah dalam masyarakat biasanya timbul karena dua hal,
yaitu :Adanya persamaan, dalam baik masalah keyakinan/agama, wawasan,
pengalaman,kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.

SEKIAN
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai