Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN

PRAKTIK KULIAH LAPANG


(PKL)

SEJARAH INDONESIA II
SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2018/2019

KELAS B

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIIDKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
2019
3.2 Situs Leran
3.2.1. Toponimi dan Letak Geografis
A. Toponimi
Kata Leran berasal dari kata “Lerenan” yang berarti tempat peristirahatan
atau persinggahan karena semasa melakukan perjalanan pendek antara Pesucinan
dan Dukuh melalui Sembalo, selama perjalanan Syekh Malik Ibrahim sering
berhenti (lérén), untuk sekedar menyapa dan berbincang sedikit sembari
menjawab pertanyaan seputar agama. Dari peristiwa itu, nama Sembalo sering
dilupakan orang karena masyarakat lebih sering menyebut sebagai tempat berhenti
(lérénan) Syekh Malik Ibrahim untuk berdakwah. Dari kejadian itulah nama Desa
Sembalo diganti menjadi Leran (Gana Islamika, 2018).
Nama Desa Leran berawal dari cerita datangnya Syekh Malik Ibrahim
yang singgah di Pelabuhan (pangkalan perahu) di Dusun Kedung. Dusun Kedung
merupakan pemukiman padat (karena dekat dengan pelabuhan) dengan batas-
batas sebelah utara berbatasan dengan dusun Pundung, sebelah timur berbatasan
dengan sungai kecil (di seberang sungai ada Dusun Sembalo) dan sebelah selatan
berbatasan dengan lahan pertanian sampai Dusun Bundel. Syekh Malik Ibrahim
bermukim diantara Dusun Kedung dan Dusun Bundel yang kemudian dikenal
dengan sebutan Pesucinan. Hal ini didasarkan pada cerita turun temurun dari para
leluhur yang entah kepastiannya dapat dibuktikan atau tidak (Rofi’ah, 2019).
Namun, Prof. Wan Hussein Azmi seorang peneliti dan akademisi Malaysia
dalam salah satu makalahnya berjudul “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya
Hingga Abad XVI”, menyebutkan asal nama Desa Leran berasal dari kedatangan
tiga keluarga bangsa Persia yang salah satunya datang ke Desa Leran pada abad
ke-9 Masehi. Keluarga ini disebut Keluarga Lor atau Lur, yang tinggal di Jawa
Timur. Setelah itu keluarga ini mendirikan sebuah pemukiman Lor yang dikenal
dengan nama Lorin, Loran atau Leran yang berarti orang-orang Lor. Keluarga ini
diperkirakan tiba di desa Leran pada era kerajaan Nasiruddin Ibn Badr yang
memerintah wilayah Lor, Iran sekitar tahun 912 Masehi atau 300 Hijriah (Gana
Islamika, 2018).
Agus Sunyoto lalu menghubungkan inskripsi yang ada di batu nisan
Fatimah dengan bukti-bukti galian Arkeologis dan diperoleh hasil bahwa Fatimah
binti Maimun merupakan keturunan asli pemukim awal suku Lor yang tinggal di
Loran dan Leran sejak abad ke-10 Masehi. Dengan kata lain, masyarakat suku Lor
yang bermukim di Desa Leran berhasil melakukan asimilasi dengan masyarakat
sekitar dan mendapatkan pengakuan di wilayah tersebut. Hal ini dibuktikan dari
cara mereka memperlakukan dengan baik makam anak keturunan suku Lor, salah
satunya adalah makam Fatimah binti Maimun (Gana Islamika, 2018).

B. Letak Geografis
Situs Leran terletak di Desa Leran, Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik
yang terletak pada titik koordinat 07°07’11.9” LS dan 112°35’43.5” BT. Desa
Leran memiliki ketinggian ±13 meter diatas permukaan laut. Bertempat di
pertemuan Kali Tebalon dan Wanger. Sungai Manyar yang dulunya merupakan
salah satu jalur transportasi air dari daerah pesisir menuju pedalaman. Luas desa
ini sekitar 2.280 meter persegi. Desa ini berbatasan dengan Desa Betoyokauman,
Desa Betoyoguci, Desa Banyuwangi, Desa Manyarejo dan Desa Manyarsidomukti
(Kecamatan Manyar) di sisi Utara. Sedangkan di bagian Selatan berbatasan
dengan Desa Banjarsari, Desa Tebalo (Kecamatan Manyar) dan Desa Tebaloan,
Desa Ambeng-ambeng Watangrejo (Kecamatan Duduksampeyan). Di bagian
barat berbatasan langsung dengan Desa Petisbenem dan Desa Kemudi (Kec.
Duduksampeyan). Di bagian timur berbatasan dengan tiga desa, yakni Desa
Manyarejo, Desa Peganden, Desa Banjarsari (Kecamatan Manyar) (Pemerintah
Desa Leran, 2015).

3.2.2 Riwayat Penemuan dan Renovasi/Pemugaran


Makam Siti Fatimah binti Maimun pertama kali di temukan oleh JP
Moquette pada 1911. Lalu di sempurnkan kembali oleh Paul Ravaisse. Orang
pertama yang menemukan dan membaca inskripsi Batu Nisan Leran adalah
peneliti asal Belanda bernama JP Moquette pada 1911. Kala itu masih dalam
penjajahan Belanda. Menurut pendapat J.P Mouquette makam Siti fatimah Binti
Maiumun berangka tahun 495 H. Ketika pertama kali ditemukan, kondisi makam
ini sangat mengkhawatirkan, atapnya ambruk dan tidak terurus (Gana Islamika,
2017).
Inskripsi nisan Fatimah binti Maimun terdiri atas tujuh baris, di tulis
dengan huruf Arab dengan gaya Kufi, yang merupakan model penulisan paling
tua di antara semua gaya kaligrafi yang ada. J.P. Moquette berhasil membaca
tulisan yang tertera di Batu Nisan Leren yang ditulis dengan struktur sangat baik.
Ternyata dalam prasasti tersebut dicantumkan pula dua ayat dalam Al Quran Surat
Ar Rahman. Menurut Muhammad Yamin terjemahan atas inskripsi batu nisan
Fatimah binti Maimun adalah sebagai berikut:
Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah, Tiap-
tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana; Tetapi wajah
Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya; Inilah kuburan
wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti Maimun; Putera
Hibatu’llah yang berpulang pada hari Jumat ketika tujuh; Sudah berlewat bulan
Rajab dan pada tahun 495 H. (sebagian ada yang membacanya 475 H); Yang
menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi beserta Rasulnya yang
Mulia.
Meski hanya terdiri dari tujuh baris, namun kalimat yang tertera di nisan
tersebut mengandung informasi dan pesan spiritual yang tinggi. Baris pertama
merupakan basmalah, kemudian diikuti oleh kutipan Surah Ar-Rahman ayat 26-
27, yang umum dalam epitaf umat Muslim, terutama di Mesir. Sedang baris
berikutnya adalah rangkaian informasi yang akurat tentang waktu kematian
Fatimah binti Maimun, yaitu pada hari jumat, bulan Rajab, tahun 475 H atau 1082
M. Itu berarti beberapa abad lebih dulu dari waktu berdirinya Majapahit (Gana
Islamika, 2018).
Kemudian Paul Ravaisse (berkebangsaan Perancis) melakukan beberapa
perbaikan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh J.P Mouquette (Gana
Islamika, 2017). Revaisse menyajikan beberapa perbaikan, terbaca bahwa nisan
itu bukan milik Putri Dewi Suwari, tetapi “ ini makam orang perempuan yang
tidak bedosa, tidak menyimpang, bint maimun bin Hibat Allah. Dia meninggal
hari Jumat delapan Rajab, Tahun empat ratus tujuh puluh lima. Ravaisse membaca
tahun meninggalnya 475 H (1082) yang lebih banyak diterima, sedangkan
Moquette membaca tahun 495 H (1102). Jelas, tahun kematian Fatimah Jauh
sekali dengan Maulana Malik Ibrahim.
Konon, dulunya area makam  Fatimah Binti Maimun merupakan tempat
pemakaman umum. Tetapi, semenjak tahun 1973 atau saat situs makam Fatimah
binti Maimun diambil alih BP3 yang saat ini namanya tidak lagi BP3 akan tetapi
BPCB Jawa Timur, area makam tersebut tidak lagi dibolehkan menjadi
pemakaman umum. Pemugaran pada makam Siti Fatimah Binti Maimun yang
terdapat di desa Leran Gresik dilakukan hanya sekali, yaitu pada tahun 1979-
1981 dan sampai saat ini belum ada pemugaran kembali. Sebelum pemugaran,
awal bentuk makam berbentuk segi empat tanpa cungkup, dari segi ukuran
makam tidak terjadi perubahan, bangunan makam yang berbentuk segi empat
tersebut memiliki dinding tinggi yang sangat tebal, dan atapnya berbentuk limasan
yang menyempit ke atas, terdapat pula lubang-lubang hawa yang kecil tampak
dibuat di sekeliling dinding makam dengan hiasan garis-garis pelipit berbentuk
persegi (Siswanto, 2017).
Pada makam Siti Fatimah Binti Maimun terdapat Gapura paduraksa yang
dikelilingi pagar setinggi kurang lebih 1 meter. Sejak di temukan makam tersebut
gapura masih dalam kondisi bagus sehingga pada saat pemugaran gapura tidak
mengalami perubahan (Rofi’ah, 2019).
Keadaan makan Siti Fatimah Binti Maimun terlihat cukup terawat di
dalam makam bersih. Namun di dalam makam terasa pengap karena ruang yang
sempit walaupun sudah ada lubang hawa tetapi masih terasa pengap hal ini juga
diperburuk dengan pintu makam yang sangat kecil sehingga perputaran udara di
dalam makan sangat kurang. Di bagian luar makam terdapat banyak makam lain
namun terlihat kurang terawat karena banyak rumput-rumput liar yang dibiarkan
tinggi dan tidak dipotong. Serta makam panjang yang berada di sebelah kanan
makam Siti Fatimah Binti Maimun terlihat hanya diberi pagar serta tidak cukup
terawat.
3.2.3 Tinjauan Arsitektural
A. Struktur Bangunan
Peninggalan yang sampai saat ini dikenal dengan kompleks makam Islam
Leran ini memiliki beberapa halaman-halaman di kompleks tersebut, setiap
halaman memiliki peninggalan yang berbeda-beda.
Halaman 1
Pada halaman pertama ini dapat ditemui sebuah masjid yang dengan
pendopo di sisi sebelah timur. Pada masjid ini terdapat tempat wudhu, mimbar,
seperti masjid pada umumnya dan tidak ada bangunan yang mencolok. Bangunan
pendopo ini merupakan bangunan yang digunakan untuk tempat pertemuan tamu,
dan jika ada acara di kompleks makam Islam ini, pendopo merupakan tempat
yang dipergunakan. Pada pendopo juga tidak ada bangunan mencolok, hanya
bangunan pendopo seperti halnya dengan pendopo lainnya, berupa ruangan
terbuka dan tidak ada corak Islam maupun corak kehinduan. Sebelum menuju
halaman selanjutnya, kita akan melewati gerbang masuk dengan tulisan besar di
atasnya yang bertuliskan “Makam Siti Fatimah Binti Maimun” dari gerbang
tersebut menandakan bahwa kita akan masuk menuju halaman berikutnya, pada
jalan masuk menuju halaman berikutnya terdapat makam panjang pada sisi
sebelah kanan dan pemakaman umum di sisi sebelah kiri. Makam tersebut
merupakan makam dari Raden Sa’id. Selain itu, pada sisi kanan dan kiri jalan juga
terdapat makam warga sekitar, karena dulunya Situs Leran ini merupakan tempat
pemakaman umum (Mu’minin, 2019 ).
Halaman 2
Pada halaman kedua terdapat makam dari Fatimah binti Maimun dan
keempat dayang-dayangnya yaitu Nyai Seruni, Putri Keling, Putri Kucing, dan
Putri Kamboja. Makam Fatimah binti Maimun Gresik dikelilingi oleh tembok
dengan tinggi kurang lebih 1 meter pinggang orang dewasa, dengan sebuah
gapura paduraksa yang sangat rendah, sehingga orang harus menundukkan kepada
dan membungkukkan badan ketika melewatinya. Ini sebuah perlambang bahwa
pengunjung wajib melakukan pemberian hormat bagi penghuni makam (Siswanto,
2017).
Ada kesan tersendiri ketika memasuki bangunan makam yang berbentuk
segi empat dengan dinding tinggi, sangat tebal, dan atapnya berbentuk limasan
yang menyempit ke atas. Lubang-lubang hawa yang kecil tampak dibuat di
sekeliling dinding makam dengan hiasan garis-garis pelipit berbentuk persegi.
Bangunan ini merupakan bangunan induk dan berada pada cungkup yang
bercorak Hindu Budha sesuai kerajaan yang sedang berkuasa pada zaman ketika
Fatimah meninggal, ini dibuktikan dengan cungkup pelindung makam yang
berbentuk seperti candi khas peninggalan Hindu-Buddha (Fidha & Atika, 2012).
Faktor yang mempengaruhi model arsitektur makam ini karena pengaruh
kerajaan masih sangat kental dan kuat. Bangunan induk terbuat dari batu putih,
merupakan makam Fatimah binti Maimun dan keempat dayangnya. Bentuk
arsitektur, khususnya bagian kaki dan badan bangunan dihias dengan pelipit-
pelipit persegi dan atap berbentuk limas, dinding tebal, ruangan sempit. Untuk
nisan yang berada pada situs ini bukan merupakan nisan yang asli, nisan yang asli
berada di Museum Trowulan di Mojokerto (Siswanto, 2017).
Halaman 3
Pada halaman ketiga terdapat makam panjang dengan dikelilingi pagar
pendek. Sebelum memasuki halaman ketiga pada makam panjang ini terdapat pula
gapura paduraksa yang rendah, sama halnya dengan gapura paduraksa yang
terdapat pada halaman kedua dimana semua orang menunduk untuk melewatinya.
Terdapat 8 makam panjang yang merupakan makam Sayid Ja’far, Sayid Kharim,
Sayid Syarif, Sayid Jalal, Sayid Jamal, Sayid Jamaluddin, Raden Ahmad dan
Raden Said. Makam panjang tersebut tidak disertai dengan cungkup seperti pada
halaman kedua (Pemerintah Desa Leran, 2018).
B. Dekorasi atau Ragam Hias
Makam Fatimah binti Maimun merupakan sebuah kompleks makam,
selain makam Fatimah di dalam cungkup, terdapat pula makam lainnya yang
dikenal sebagai makam panjang. Secara umum, makam dari Fatimah binti
Maimun ini memiliki cungkup pelindung dengan dekorasinya mirip seperti candi
yang khas dari peninggalan Hindu-Buddha. Karena faktor dari masa kerajaan
Hindu-Buddha dahulu yang pengaruhnya masih kental dan kuat sehingga
dekorasi dari cungkup makam Fatimah binti Maimun ini mengakulturasikan
antara bagunan Jawa dengan masa kerajaan Hindu-Buddha (Arkeologi, dkk.,
1998).
Dekorasi pelataran dibagi menjadi tiga, pelataran dalam, tengah dan luar.
Pelataran dalam adalah pelataran yang paling utama berfungsi sebagai tempat
mengubur Fatimah binti maimun beserta dayang-dayangnya. Pelataran tengah
juga disebut madya yaitu berfungsi untuk makam para orang-orang yang
mempunyai kedudukan seperti prajurit atau pengawalnya. Sedangkan pelataran
luar berfungsi sebagai memakamkan rakyat biasa dan disebut juga nista
(Arkeologi, dkk., 1998).
Dalam kompleks makam Fatimah terdapat halaman pertama yang ditemui
sebuah masjid dengan pendopo yang berada disisi timur. Pada halaman ini tidak
terdapat dekorasi yang tergambar. Pada halaman kedua terdapat makam Fatimah
binti Maimun dan kempat dayang-dayangnya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa
makam Fatimah binti Maimun memiliki cungkup pelindung dengan dekorasinya
seperti candi dari peninggalan Hindu-Buddha dan di halaman ketiga terdapat
makam panjang dengan dikelilingi pagar pendek. Pada pagar tersebut tidak
tergambar dekorasi yang ada. Kompleks makam Fatimah binti Maimun ini sangat
berbeda dengan makam lainnya, hal yang paling menonjol yaitu adanya cungkup
yang melindunginya dan dekorasinya sangat minim (Arkeologi, dkk., 1998).
Adanya pola hiasan kaligrafi kufi pada nisan kubur Fatimah binti Maimun
bin Hibatullah (wafat 475H/1082M). Dengan ini menunjukkan bahwa tulisan arab
pada nisan dan makamnya berjenis kufi timur dengan ragam hias bercorak Persia.
Jenis huruf kufi diperkirakan mempunyai nilai yang lebih kuno dalam
perkembangan tulisan huruf Arab. Namun demikian, tidak setiap temuan yang
berhuruf Arab jenis Kufi dapat dikatakan kuna, karena perkembangan jenis huruf
ini samai sekarang termasuk jenis huruf yang sering digunakan terutama yang
berhubungan dengan Kaligrafi (Arkeologi, dkk., 1998).
Pada makam terdapat inskripsi nisan terdiri dari tujuh baris, berikut ini
adalah bacaan J.P. Moquette yang diterjemahkan oleh Muh. Yamin, sebagai
berikut: (1) Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah
(2) Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana (3) Tetapi
wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya (4) Inilah
kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti Maimun (5)
Putera Hibatu'llah yang berpulang pada hari Jumiyad ketika tujuh (6) Sudah
berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495 (7) Yang menjadi kemurahan Tuhan
Allah Yang Maha Tinggi dan Rasulnya Mulia (Siswanto, 2017).
Baris 1 merupakan basmalah sedangkan baris 2-3 merupakan kutipan
Surah Ar-Rahman ayat 25-26, yang umum dalam epitaf umat Muslim, terutama di
Mesir. Orang pertama yang menemukan dan membaca inskripsi ini adalah peneliti
asal Belanda bernama JP Moquette pada 1911, kemudian Paul Ravaisse
(berkebangsaan Perancis) melakukan beberapa perbaikan. Adalah Mohammad
Yamin yang membaca angka tahun 475 H atau 1082 M, bukan 495, sebagai tahun
meninggalnya Fatimah karena wabah yang sangat ganas (Siswanto, 2017).
Pada makam Fatimah binti Maimun terdapat kori yaitu pintu penghubung
pelataran yang bentuknnya hanya sekedar pintu biasa dan kori ini terletak pada
awal masuk pada pagar pembatas peralatan dan lurus dengan pintu masuk
kedalam makam yang dibuat sangat rendah yang memaksa orang apabila masuk
harus membungkukkan badan ketika melewatinya.
3.2.4 Tinjauan Kesejarahan
A. Historisitas Fatimah binti Maimun
Pendapat mengenai Siti Fatimah binti Maimun sangat beragam,
diantaranya yaitu:
1. Siti Fatimah dikenal dengan nama Putri Dewi Retno Swari
Siti Fatimah binti Maimun yang juga dikenal dengan nama Putri Dewi
Retno Swari atau Dewi Swara adalah putri dari seorang pria yang bernama
Maimun asal negeri Iran. Ibunya bernama Dewi Aminah yang berasal dari Aceh
dan melahirkannya pada 1064 Masehi. Sumber lain menyebut bahwa Siti Fatimah
binti Maimun berasal dari negeri Kedah yang ada di Malaka. Fatimah yang
makamnya tak pernah sepi pengunjung ini, semasa hidupnya memang dikenal
sebagai wanita yang ikut berperan dalam penyebaran agama khususnya di wilayah
Gresik. Selain sebagai penyebar agama, ia dikenal sebagai saudagar perdagangan
yang handal dan melalui kegiatan berdagang itulah ia menyebarkan agama Islam.
Maka, tak salah rupanya jika wanita ini disebut-sebut wanita paling kaya kala itu
(Siswanto, 2017).
Hingga saat ini kejelasan makam Fatimah binti Maimun masih menjadi
perdebatan para ahli. Menurut (Mu’minin, 2019) menyatakan bahwa makam di
Situs Leran tersebut masih belum bisa dipastikan bahwa yang terdapat di dalam
makam merupakan Fatimah binti Maimun. Pada saat ditemukan, Prasasti Fatimah
binti Maimun terletak bersebelahan dengan makam Putri Dewi Swari (Retno
swari). Masyarakat setempat menciptakan legenda bahwa nisan itu adalah
kuburan seorang putri raja bernama Putri Dewi Suwari, yang berperan dalam
islamisasi Pulau Jawa. Tidak jauh dari Leran, terdapat nisan Maulana Malik
Ibrahim, mubalig pertama yang datang dari India untuk menyebarkan Islam, yang
meninggal pada 822 Hijriyah (1419 M). Karena itu, legenda lokal menghubungan
Dewi Suwari dengan Maulana Malik Ibrahim sebagai murid atau istri sehingga
Dewi Suwari menjadi pribumi pertama yang memeluk Islam. Sajarah
Banten yang ditulis tahun 1662 atau 1663, sebagai sumber tertulis tertua yang
menyebut situs Leran, menyebutkan masa islamisasi Tanah Jawa di mana tokoh
Leran, Putri Dewi Suwari ditunangkan dengan raja terakhir Majapahit.
2. Siti Fatimah binti Maimun seorang pemimpin wanita
Agus Sunyoto dalam bukunya yang berjudul Atlas Wali Songo
memperkirakan bahwa Fatimah binti Maimun adalah seorang pemimpin, atau
sekurang-kurangnya adalah seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi di
tengah masyarakat. Kata asy-Syahidah yang tertulis dalam inskripsi bisa dimaknai
‘wanita korban syahid’ seperti ditafsirkan Muhammad Yamin, namun menurut
Agus Sunyoto, kata ini juga bisa dimaknai ‘pemimpin wanita (Siswanto, 2017).
3. Siti Fatimah binti Maimun adalah putri dari Dinasti Hibatullah
Terdapat seorang peneliti dari Pakistan bernama N.A. Baloch yang
beranggapan bahwa Fatimah adalah putri dari Dinasti Hibatullah di Leran yang
dibangun pada abad ke-10. Anggapannya didasari oleh keindahan tulisan kaligrafi
kufi pada nisannya. “Saya tidak sependapat dengan Baloch karena tidak
ditemukan kata sultanat sebelum namanya,” tulis arkeolog Uka Tjandrasasmita
dalam Arkeologi Islam Nusantara. “Oleh karena itu, menurut saya, itu hanyalah
nisan kubur masyarakat biasa dan dianggap sebagai salah satu data arkeologis
yang berkenaan dengan fakta komunitas Muslim pertama yang ditemukan di
kawasan pantai utara Jawa Timur.” Sependapat dengan Uka, Kalus dan Guillot
menyatakan bahwa “bint Maymun bin Hibat Allah rupanya berasal dari golongan
sosial sederhana (dia tidak memiliki gelar apa pun!).”
Selain nisan Fatimah sebagai nisan utama yang disimpan di Museum
Trowulan, ternyata ada empat nisan lain. “Karena bentuk dan jenis batunya, nisan-
nisan itu ternyata berkaitan erat dengan nisan utama. Tetapi inskripsinya jauh
lebih rusak dan karena itu dikesampingkan selama ini,” tulis Kalus dan Guillot,
yang meneliti nisan-nisan itu pada tahun 1999 dan 2000. Dengan demikian,
kelima nisan itu harus dibahas satu kesatuan dan disebut “nisan-nisan Leran.”
(Siswanto, 2017).
4. Makam Siti Fatimah binti Maimun merupakan makam tertua di Asia Tenggara
Fatimah binti Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama
Islam yang wafat pada tahun 1082 M. Batu nisannya ditulis dalam bahasa Arab
dengan huruf kaligrafi bergaya Kufi, nisannya merupakan nisan Islam tertua yang
ditemukan di Asia Tenggara. Makam Fatimah berlokasi di Desa Leran,
Kecamatan Manyar, Kota Gresik, Jawa Timur. Temuan batu nisan tersebut
merupakan salah satu data arkeologis yang berkenaan dengan keberadaan
komunitas Muslim pertama di kawasan nusantara (Siswanto, 2017).
Kebenaran makam Fatimah binti Mmaimun sebagai makam tertua di Asia
Tenggara masih perlu dipertanyakan. Hal itu didasarkan pada pendapat arkeolog
Prancis, Ludvik Kalus dan Claude Guillot yang mengatakan bahwa andaikata
nisan-nisan itu dibuat di tempat, maka harus dianggap adanya sebuah bengkel di
Leran. Namun, tidak mungkin tokoh sederhana itu (Fatimah, red) menyebabkan
adanya sebuah bengkel di daerah yang begitu terpencil. Tidak hanya itu, satu
nisan memiliki takik (torehan yang agak dalam). Kalus dan Guillot
membandingkan nisan bertakik itu dengan sebuah nisan berinskripsi dari periode
yang sama (abad ke-11) dari daerah sekeliling Laut Kaspia, yang diubah menjadi
jangkar oleh tukang batu.
“Kelima nisan Leran itu rupanya diambil dari pekuburan aslinya untuk
dipakai sebagai tolak bara (pemberat, red) pada sebuah kapal, sementara salah
satunya digunakan sebagai jangkar. Menurut kami, itulah caranya batu-batu itu
sampai ke Jawa,”. Batu-batu itu sampai di Jawa kemungkinan besar antara abad
ke-12 dan ke-14 karena pelabuhan Leran berhenti berfungsi pada abad ke-14 dan
di Nusantara, produksi lokal nisan baru muncul pada abad ke-14 di Trowulan,
tempat yang tidak jauh dari Leran. Kalus dan Guillot pun menyimpulkan
“kehadiran Islam di Pulau Jawa tidak dibuktikan oleh nisan-nisan Leran; nisan
tersebut terbawa ke sana secara kebetulan saja setelah diangkat dari tempat
asalnya dan dipergunakan sebagai jangkar dan tolak bara (pemberat kapal) dalam
sebuah kapal asing.” (Siswanto, 2017).
Makam Fatimah Binti Maimun sebagai bukti masuknya islam pertama di
Indonesia belum terbukti kejelasanya. Hal ini sesuai denga pendapat dari M.C
Ricklefs bahwa masuknya Islam ke wilayah Indonesia disebut sebagai suatu
proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang paling
tidak jelas karena sumber-sumber yang ada tentang islamisasi sangat langka
dan sering sangat tidak informatif (Ricklefs, dalam Apandi, 2005: 3).
B. Arti Penting Situs Leran bagi Studi Sejarah Islamisasi di Nusantara atau Jawa
Prasasti di makam Fatimah binti Maimun, bukan hanya bukti arkelogis
tertua adanya Islam di pulau Jawa. Lebih dari itu, informasi yang terkandung
dalam prasasti tersebut merupakan titik historis yang penting untuk
mengkonstruksi lebih komprehensif jejak Islam pertama di Pulau Jawa dan Islam
Nusantara secara umum. Sebagaian besar masyarakat mungkin sepakat bila
dikatakan bahwa Pulau Jawa merupakan pusat episentrum penyebaran Islam di
Nusantara. Meski bukan sebagai wilayah pertama yang menganut Islam, tapi di
pulau inilah untuk pertama kalinya Islam diterima demikian luas, serta menjadi
pusat dakwah dan pendidikan Islam paling semarak, sehingga Islam menyebar
luas di Nusantara sampai hari ini. Walisongo adalah tokoh-tokoh penting yang
dianggap sebagai pionir dalam proses ini. Merekalah yang membuat Islam mudah
diterima dan dihayati oleh masyarakat, hingga menjadi pandangan hidup bersama.
Puncaknya, adalah ketika umat Islam berhasil mendirikan kerajaan Islam pertama
di Pulau Jawa yang bernama Demak, dan meneguhkan posisi umat Islam di tanah
Jawa (Trestiono, 2008).
Nisan Leran sudah lama dikenal oleh masyarakat setempat akan tetapi
tidak terdapat dalam teks tertulis, legenda ataupun peninggalan purbakala, unsur
apapun yang mengkaitkannya dengan konteks sejarahnya yang benar di abad ke-
11. Semua data cenderung menempatkannya dalam satu periode yang kira-kira
sama dengan abad ke-15 yaitu masa islamisasi awal pulau Jawa (Kalus, dalam
Studia Islamika, 2007).
Tapi belakangan, melalui serangkaian penelitian dan penggalian sejarah
yang mendalam, para sejarawan mulai berkesimpulan bahwa Islam sebenarnya
sudah ada di Pulau Jawa jauh berabad-abad sebelum datanganya Walisongo pada
Abad ke 14-15 Masehi. Ada satu gelombang pertama kedatangan kaum Muslimin
dari Persia pada abad ke 7 sampai 8 M ke wilayah Asia Tenggara hingga ke Asia
Timur. Dari proses serangkaian kedatangan tersebut, beberapa diantaranya
menyentuh Pulau Jawa. Dan salah satu titik historis yang membuktikan hal
tersebut adalah situs arkeologis berupa makam seorang wanita bernama Fatimah
binti Maimun (Trestiono, 2008).
Trestiono (2008) mengemukakan, bagi sebagian besar masyarakat,
khususnya yang tinggi di sekitar wilayah Gresik, Jawa Timur, mungkin sudah
tidak asing dengan nama Fatimah binti Maimun. Nama ini tertulis di sebuah nisan
di Dusun Leran, Desa Pesucian, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Dari
sejumlah makam kaum muslimin yang ada di Pulau Jawa, inilah yang tertua, yang
inskripsinya menunjukkan kronogram 475 H atau 1082 M. bukti arkelogis ini
kemudian dikenal sebagai Batu Nisan Leren. Orang pertama yang menemukan
dan membaca inskripsi Batu Nisan Leran adalah peneliti asal Belanda bernama JP
Moquette pada 1911. Ketika pertama kali ditemukan, kondisi makam ini sangat
mengkhawatirkan. Atapnya ambruk dan tidak terurus. Kemudian Paul Ravaisse
(berkebangsaan Perancis) melakukan beberapa perbaikan. Adalah Muhammad
Yamin yang membaca angka tahun 475 H atau 1082 M, sebagai tahun
meninggalnya Fatimah binti Maimun.
Bukti paling awal tentang orang Jawa yang memeluk Islam adalah makam
di Trowulan dan Tralaya di Jawa Timur, dekat situs ibukota kerajaan Majapahit.
Batu nisan makam tersebut berangka tahun 1290 Saka (1368-69 M). Sementara
batu nisan di Tralaya berangka Jawa kuno dan tulisan berbahasa Arab bertuliskan
tahun 1298 Saka (7375-76 M) (Ricklefs, dalam Trestiono, 2006: 12-13). Sangat
disayangkan memang Ricklefs tidak menjelaskan secara detail apa ciri utama
yang membuat makam berangka 1290 Saka tersebut dianggap makam Muslim.
Terlepas dari itu, terletak di dekat situs kerajaan Majapahit, batu-batu nisan ini
merupakan bukti bagi akomodasi awal Islam oleh elite Jawa. Batun nisa itu juga
membuktikan tak adanya konflik antara identitas Jawa dan Islam di masa awal
Islamisasi (Ricklefs, dalam Trestiono, 2006: 15).
Selain itu, penemuan makam ini membantah teori yang mengatakan bahwa
Islam memperoleh pengikut pertama di sepanjang pesisir pantai utara. Bukti
pertama ini datang dari pedalaman, dekat situs kerajaan Hindu-Budha. Meski
Islamisasi elite kerajaan pada abad 14 ini terlihat melalui pemakaman di Trawulan
dan Tralaya, namun terbukti hal itu tidak berpengaruh ke inti kerajaan atau tidak
membuat raja berpindah ke agama Islam. Raja majapahit tetap memeluk Hindu-
Budha.
Trestiono (2008) mengatakan, menurut Ricklefs sebagaimana bukti-bukti
menunjukkan, tidak ada perpindahan besar-besaran orang Jawa ke agama Islam
dalam periode sebelum awal abad ke-16. Namun, mengenai makam di dekat
Majapahit tersebut dikonfirmasi oleh pengamat China Muslim Ma Huan yang
mengunjungi Jawa pada 1413-1415, dan datang lagi pada 1432, atau sekitar 50-
60 tahun setelah angka tahun di maka Trawulan dan Tralaya. Dalam bukunya
Ying-yai Sheng-Ian, terbit pertama pada 1451., dia mencatat adanya makam
Muslim di pedalaman Jawa Timur, di kerajaan Majapahit, namun dia juga
mengakui bahwa tak ada Muslim |awa di pantai utara.
Sampai jauh kemudian baru ada bukti yang berbeda-dari pengamat
pertama Portugis Tome Pires (1468-1540), seorang ahli pengobatan yang berada
di Malaka dari 1512 sampai 1515 dan secara personal mengunjungi pantai utara
Jawa pada 1513. Dia menyebutkan bahwa Muslim Jawa juga ditemukan di pesisir
pantai utara. Pires juga melaporkan bahwa Muslim pesisir menghormati para
asketis (tnpa) Jawa pra-Islam yang diperkirakan jumlahnya sekitar 50 ribu orang.
Dari sini Ricklefs menyimpulkanbahwa Islam pesisir mempertahankan sikap
toleransi keagamaan. Konflik Majapahitpesisir terlihat sebagian besar berkarakter
geopolitik (Ricklefs, dalam Trestiono, 2006: 20).

3.2.5 Tinjauan Kebudayaan


A. Unsur-Unsur Budaya pada Situs Leran
Penemuan nisan Fatimah di Gresik, pesisir utara tanah Jawa membuktikan
bahwa adanya rute perdagangan saudagar Muslim yang melalui Selat Malaka dan
Semenanjung Malaya hingga ke Tiongkok yang berdampak adanya kontak
langsung dengan pantai utara Jawa. Adanya kontak dan kedatangan Islam di
wilayah pantai utara Jawa dibuktikan dengan temuan batu nisan ini. Keseluruhan
karakter huruf di batu nisan tersebut adalah huruf kufi dan mencantumkan nama
Fatimah binti Maimun bin Abdullah yang meninggal pada 495 H (1102 M)
(J.P.Moquette, dalam Siswanto, 1921: 391-399). Ini merupakan sebuah bukti
bahwa pada abad ke-11 M telah ada masyarakat Muslim di pantai utara Jawa.
(Siswanto, 2017).
Gaya Kufi tersebut menunjukkan diantara pendatang di kawasan pantai
tersebut, terdapat orang-orang yang berasal dari Timur Tengah dan bahwa mereka
juga merupakan pedagang, sebab nisan kubur dengan gaya Kufi serupa juga
ditemukan di Phanrang, Champa selatan. Hubungan perdagangan Champa-Jawa
Timur tersebut adalah bagian dari jalur perdagangan komunitas muslim yang
membentang dibagian selatan Cina, India, dan Timur Tengah (Siswanto, 2017).
Pada makam terdapat inskripsi nisan terdiri dari tujuh baris, berikut ini
adalah bacaan J.P. Moquette yang diterjemahkan oleh Muh. Yamin, sebagai
berikut.
1. Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah
2. Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana
3. Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya
4. Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti
Maimun
5. Putera Hibatu'llah yang berpulang pada hari Jumiyad ketika tujuh
6. Sudah berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495
7. Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi dan Rasulnya Mulia
Siswanto (2017) mengatakan, baris 1 merupakan basmalah sedangkan
baris 2-3 merupakan kutipan Surah Ar-Rahman ayat 25-26, yang umum dalam
epitaf umat Muslim, terutama di Mesir. Orang pertama yang menemukan dan
membaca inskripsi ini adalah peneliti asal Belanda bernama JP Moquette pada
1911, kemudian Paul Ravaisse (berkebangsaan Perancis) melakukan beberapa
perbaikan. Adalah Mohammad Yamin yang membaca angka tahun 475 H atau
1082 M, bukan 495, sebagai tahun meninggalnya Fatimah karena wabah yang
sangat ganas.
Kuburan atau makam biasanya diabadikan atau diperkuat dengan
bangunan dari batu yang disebut jirat atau kijing. Diatas jirat ini sering juga
didirikan sebuah rumah yang disebut cungko atau kubah. Namun makam Fatimah
binti Maimun yang lebih terkenal dengan nama Putri Suwaridi Leran tahun 1028
M mengikuti corak gaya Hindu-Budha sesuai kerajaan yang sedang berkuasa pada
zaman ketika Fatimah meninggal. Ini dibuktikan dengan cungkup pelindung
makam yang berbentuk seperti candi khas peninggalan Hindu-Budha. Model
makamnya sangat unik, berbentuk cungkup dengan dinding dan atapnya terbuat
dari batu putih kuno. Bentuk cungkup makamnya mirip dengan bentuk candi,
meskipun telah dua kali dipugar, pada tahun 1979 hingga 1982 bentuk aslinya pun
tidak berubah. Cuma beberapa batu yang rusak parah diganti dengan batu baru.
Cungkupnya berbentuk empat persegi panjang dengan atap berbentuk limasan
yang mengerucut. Bagian kaki dan badan bangunan dihias dengan pelipitpelipit
persegi. Dindingnya tebal, dengan ruangan yang sempit. Cungkup ini merupakan
bangunan utama dan terbesar di kompleks makam. Dari sinilah beberapa orang
berpendapat Fatimah binti Maimun memiliki kedudukan yang penting pada
zamannya. Di dalam cungkup tersebut, selain Fatimah, ada empat makam lain
yang dipercaya makam empat orang dayang Fatimah yaitu Nyai Seruni, Putri
Keling, Putri Kucing, dan Putri Kamboja (Siswanto, 2017).
Selain itu, kompleks utama pada Makam Siti Fatimah Binti Maimun ini
dikelilingi sebuah pagar atau tembok yang memiliki ketinggian setinggi pinggang
orang dewasa, dan memiliki sebuah gapura yang kabarnya gapura ini sengaja
dibuat dengan ukuran yang begitu rendah, hal itu bertujuan agar siapapun yang
berkunjung ke Makam tersebut membungkukkan badan serta menundukkan
kepala ketika hendak melewati gapura itu. Dan ini merupakan sebuah lambang
yang dikenal sebagai tanda penghormatan untuk penghuni makam
tersebut. Berdasarkan foto yang dibagikan dahulu terdapat kalamakara yg ada di
candi hindu namun sekarang sudah tidak ada unsur hindunya hilang (Siswanto,
2017).
1. Makam-makam Panjang
         Makam panjang menurut ahli filosofi berarti perjalanan-perjalanan masih
panjang yang harus dilakukan oleh para muballigh Islam, untuk menyiarkan Islam
di Jawa yang dimulai dari Leran dan pesan ini disampaikan oleh Sultan Mahmud
yang diteruskan oleh Sayyid Ja`far untuk generasi penerusnnya .
Pendapat lain tentang makam panjang yaitu sebenarnya dulu makam-
makam itu tidak panjang dan berukuran sebagaimana makam-makam lainnya,
karena demi keamanan dari tangan-tangan ilmu hitam maka oleh santri, makam-
makam gurunya tersebut disamarkan dengan cara dipanjangkan agar kalau ada
yang akan menggali (untuk keperluan ilmu Hitam) agar menjadi tertipu sehingga
tidak jadi menggalinnya (Pemerintah Desa Leran, 2018).
2. Status Kekeluargaan Makam Panjang
Orang-orang di kubur di makam panjang antara lain :
a. Sayyid Ja`far ialah saudara dari sultan Mahmud yang menerima amanat untuk
menjaga Aminah binti Mahmud Syah Alam
b. Sayyid Karim ialah beliau termasuk keluarga atau saudara yang menggantikan
kedudukan sultan Mahmud di Leran, dalam arti seumpamanya Leran itu kerajaan
maka Sayyid Karim itulah yang menjadi rajannya.
c. Sayyid Syarif , beliau adalah panglima perang atau panglima tertinggi di
kerajaan Cermain yang juga merupakan saudara dari sultan Mahmud Syah. Beliau
ditugaskan di Leran karena Sultan Mahmud Syah lebih menghawatirkan putrinnya
sehingga beliau tidak diajak kembali ke Cermain.
d. Sayyid Jalal, Sayyid Jamal dan Sayyid Jamaluddin (beliau ketiga tersebut ialah
pengwal yang juga menjapat tugas mengurus barang-barang pusaka dan peralatan
perang yang dibawannya dari cermain). Alkisah para ahli sejarah ada yang
mengatakan bahwa barang pusaka tersebut termasuk batu Nisan yang bertiliskan
nama Siti Fatimah binti hibatallah yang wafat tahun 1082 M yang menurut cirri-
cirinya batu tersebut berasal dari Gujarat India
e. Raden Ahmad dan Raden Sa`id (beliau berdua ialah penjaga pintu gerbang yang
sekaligus sebagai sebagai penerima tamu). Menurut tata seharusnya para peziarah
kalau masuk ke Makam Panjang lewat pintu bagian selatan, karena disitulah pintu
utama keluar-masuknya tamu yang dijaga oleh raden Ahmad dan Raden Sa`id
(Pemerintah Desa Leran, 2018).
B. Arti Penting Situs Leran bagi Studi Sejarah Kebudayaan Islam di Nusantara
atau Jawa
Salah satu arti penting situs Leran dalam studi Sejarah Kebudayaan Islam
di Jawa atau Nusantara adalah Makam Leran merupakan salah satu mata rantai
sejarah masuknya islam di Nusantara. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan
makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik merupakan bukti tertua islam di
pulau Jawa. Makam Fatimah binti Maimun memiliki inskripsi arab pada batu
nisannya, yang menyebutkan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah, meninggal
pada tanggal 7 Rajab 475 H atau pada tanggal 25 November 1082 yang diteliti
Moquette pada tahun 1921. Ini menunjukkan bahwa pada abad XI sudah ada suatu
komunitas islam di Gresik. Selain itu, disekitar wilayah situs Leran juga terdapat
sebuah Masjid yang dibangun oleh sunan Maulana Malik Ibrahim saat pertama
kali datang di Leran, tepatnya di dusun Pesucinan. Masjid ini kemudian dikenal
dengan masjid Maulana Malik Ibrahim. Arti penting lainnya dari situs Leran
dalam studi sejarah Kebudayaan islam di Jawa Nusantara adalah situs ini
merupakan titik awal dimulainya syi’ar islam secara besar-besaran oleh jam’iyah
walisongo. Dalam hal ini yang dimaksud walisngo yang menyebarkan syiar islam
ialah Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri (Amir, 2019).
Sedangkan untuk kebudayaan Islam lainnya dengan adanya situs Leran ini,
masyarakat desa Leran yang sudah menerima ajaran-ajaran Islam akan berusaha
menjalankannya. Seperti tradisi atau budaya selametan, yang dilakukan pada hari-
hari besar Islam. Menurut (Amir, 2019) tradisi peninggalan yang sampai saat ini
masih ada dan dilaksanakan oleh masyarakat desa Leran, antara lain.
1. Selametan atau Kenduri bagi warga atau keluarga yang memiliki hajat.
Purwadi (2005: 22) menyatakan bahwa selamatan adalah upacara sedekah
makanan dan doa bersama yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan
ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan.
2. Tradisi Sawur atau Udik-Udikan (kegiatan melempar uang logam untuk
diperebutkan) sebagai wujud tanda syukur
3. Barikan (kegiatan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Sholawat)
Tradisi ini dilaksanakan di tempat-tempat yang di ikuti kegiatan makan
bersama di tempat tersebut. Makanan yang di bawa dari rumah masing-masing
warga, sebagian dimakan dan sebagian di tukar dengan makanan warga yang lain.
Lampiran

Lampiran A. Foto Dokumentasi Kelompok Kerja B.2

Gambar A.1 Makam Fatimah binti Maimun Tampak Depan

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar A.2 Gambar Makam Fatimah binti Maimun Tampak Samping

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Gambar A.3 Gambar Bangunan Makam Fatimah binti Maimun

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar A.4 Gambar Makam Panjang

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Gambar A.5 Gambar Makam Panjang R.Said

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar A.6 Gambar Salah Satu Makam di Kompleks Situs Leran

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Gambar A.7 Gambar Makam Nyai Sruni

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar A.8 Gambar Makam Putri Kucing

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Gambar A.9 Gambar Makam Putri Kamboja

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar A.10 Gambar Salah Satu Makam Keturunan Fatimah binti Maimun di
Kompleks Situs Leran

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Gambar A.11 Gambar 3 Makam Panjang

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar A.12 Gambar Proses Wawancara 1

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Gambar A.13 Gambar Proses Wawancara 2

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Lampiran B. Daftar Nama Anggota Kelompok Kerja B.2

1. Alip Nur Wahyudi 180210302046


2. Armando Priyo Sunandar 180210302048
3. Muhammad Fahmi 180210302050
4. Si’ta Fanimatul Amelia 180210302052
5. Datri Aruming Triasti 180210302054
6. Nur Cholis Fitriyo Handoko 180210302056
7. Uswatun Hasanah 180210302058
8. Adi Syahrul 180210302060
9. Dewi Eka Safitri 180210302062
10. Mei Puspita Sari 180210302064
11. Berliana Dwi Cahyaning Wulan 180210302066
12. Nur Latifa 180210302068
13. Ria Mualimatul Ulum 180210302070
14. Siti Rossydatul Husna 180210302072
15. Diayu Putri Permatasari 180210302076
16. Marisatul Khoiriyah 180210302078
17. As’ad Syamsul Arifin 180210302080
18. Linda Ainiyah 180210302082
19. Nur Lubna Diana 180210302086
20. Nurhayati 180210302088
DAFTAR PUSTAKA

Amir, C. 2019. "Arti Penting Situs Leran bagi Studi Sejarah Kebudayaan Islam di
Jawa/Nusantara". Hasil Wawancara Pribadi: 4 Mei 2019. Situs Leran,
Gresik.
Siswanto, L. A. 2017. “Arsitektur Makam Siti Fatimah binti Maimun Gresik.”
Prosiding Seminar Heritage IPLBI, 287-288.
Atika & Fidha. 2012. Pendekatan Kontekstual pada Rancangan Pusat Kajian
Pekembangan Islam di Komplek Makam Siti. 1(1), 1–5.

[Anonim]. 2012. Situs Makam Panjang Leran Kabupaten Gresik https://gresik.


co/situs-makam-panjang-leran-kabupaten-gresik/ [diakses 1 Juni 2019].
Gana Islamika. 2018. Fatimah binti Maimun; Jejak Islam Pertama di Pulau Jawa
(3).
https://ganaislamika.com/fatimah-binti-maimun-jejak-islam-pertama-
di-pulau-jawa-3/ [diakses pada 02 Juni 2019].

Studia Islamika. (2007). Review buku Ludvik Kalus dan Claude Guillot:
Mengkaji lllang Nisan Kuno Nusantara: Nisan Leran Berangka Tahun
475H/ 1082M dan Nisan-nisan Terkait. Journal For Islamic Studies, 14(1),
183.
Testriono. 2008. Review buku Ludvik Kalus dan Claude Guillot: Islamisasi Jawa
Adaptasi, Konflik, dan Rekonsiliasi. Jurnal Studia Islamika, 15 (02), 358-
361.
Arkeologi, L. P., Pasuonanl, I. S., Manyar, K., & Gresik, K. (1998). Berita
penelitian arkeologi. (48).
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rofi’ah, S. 2019. “Toponimi Situs Leran”. Hasil Wawancara Pribadi: 4 Mei 2019.
Situs Leran, Gresik.
Rofi’ah, S. 2019. “Penemuan dan Renovasi/Pemugaran”. Hasil Wawancara
Pribadi: 4 Mei 2019. Situs Leran, Gresik.
Mu’minin, A. 2019. “Historisitas Fatimah binti Maimun”. Hasil Wawancara
Pribadi: 4 Mei 2019. Situs Leran, Gresik.
Mu’minin, A. 2019. “Struktur Bangunan Situs Leran”. Hasil Wawancara
Pribadi: 4 Mei 2019. Situs Leran, Gresik.
Pemeintah Desa Leran. 2018. Sejarah Desa Leran dan Dewi Retno Suari Makam
Panjang. http://www.desaleran.com/2018/03/sejarah.html [diakses 15 Mei
2019].
Pemerintah Desa Leran. 2015. Profil Singkat Desa Leran. https://www.academia.
edu/30955217/Profil_singkat_Desa_Leran [diakses 15 Mei 2019].

Anda mungkin juga menyukai