Anda di halaman 1dari 12

PLENO PEMICU 1

BLOK ETIKA, HUKUM KEDOKTERAN & KEDOKTERAN FORENSIK

12/11/2021

1. (dr. Norbert T.H., Sp.F) Ada berapa STR dokter?

• (Marendra-19) Peraturan Menteri Kesehatan No. 83 tahun 2019 tentang Registrasi


Tenaga Kesehatan, terdiri atas:

a) STR

b) STR sementara

c) STR bersyarat

• (Timotius-20) Selain STR sementara dan bersyarat ada juga STR untuk kualifikasi
tambahan yang digunakan oleh dokter-dokter subspesialis (ref: website KKI). STR
kualifikasi tambahan diatur pada Perkonsil No.6 tahun 2011 tentang registrasi dokter
dan dokter gigi.

dr. Norbert T.H., Sp.F

Didalam aturan hukum dan displin sesuatu bisa berubah mungkin ada permasalahan
baru sehingga peraturan Perkonsil No.6 tahun 2011 harus disesuaikan dengan
Perkonsil No.58 tahun 2011, jika tidak berlaku maka hukum harus dibatalkan.
Biasanya pembatalan Perkonsil tertulis pada Perkonsil yang baru – contoh kenapa
KODEKI lebih tinggi daripada fatwa dan lain-lain karena mengambil prinsip-prinsip
ilmu hukum. Fatwa MKEK (istilah awam) istilah fatwa terkait erat sekali dengan
hukum islam (suatu pandangan sekelompok ulama terhadap suatu permasalahan
tertentu) – disebut SURAT EDARAN MKEK dalam istilah resmi

• (Dinda-17) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 58 Tahun 2019 Tentang


Tata Naskah Surat Tanda Registrasi Dokter Dan Dokter Gigi

Pasal 4 (1)
Jenis surat tanda registrasi Dokter yang diterbitkan oleh

Konsil Kedokteran Indonesia meliputi:

a) Surat tanda registrasi untuk kewenangan internsip;

b) Surat tanda registrasi bagi dokter;

c) Surat tanda registrasi peserta program pendidikan

Dokter spesialis;

a) Surat tanda registrasi dokter spesialis;

b) Surat tanda registrasi bersyarat dokter; dan

c) Surat tanda registrasi sementara dokter.

2. (Angelica-09) Analisis kasus mengenai dokter yang mengajukan banding dalam 1 bulan dan
dikatakan ada pelanggaran pasal 13 KODEKI sedangkan ada peraturan Permenkes RI nomor
2052 tahun 2011 tentang izin praktik dan pelaksanaan praktik kedokteran pasal 33 ayat 2 dan
3 dan pada KODEKI pasal 13 disebut bahwa kita harus bekerja sama dengan pejabat lintas
sektoral. Manakah pasal yang harus dianut?

• (Timotius-20) berdasarkan tingkat hukum yang superior akan lebih dianut sehingga
permenkes RI nomor 2052 tahun 2011 tentang izin praktik dan pelaksanaa praktik
kedokteran pasal 33 ayat 2 dan 3 daripada KODEKI pasal 13

dr. Norbert T.H., Sp.F

• Suatu kesalahan terjadi dalam rangka menjalankan profesi kedokteran atau tidak? Jika
tidak menjalankan keprofesian maka tidak melanggar disiplin dan etika keprofesian.
Jika dilihat tentang pelanggaran KODEKI (banding: pernyataan mengenai
ketidaksetujukan terhadap suatu keputusan dan meminta keputusan yang adil oleh
pihak yang lebih tinggi dengan peninjauan berkaitan dengan hukum-hukum yang
berlaku), biasanya jika banding sudah sampai ke MA maka sudah distop. Dalam
hukum Indonesia dilakukan peninjaun kembali (PK) sebab terdapat bukti-bukti baru
atau sesuatu yang tidak benar dalam keputusannya sehingga diminta peninjauan
kembali (grasi, amnesti, dan lain-lain) – grasi dan amnesti sudah mengaku bersalah
dan meminta keringanan hukum.
• Pelanggaran disiplin keprofesian dan etika apakah bisa banding atau tidak? Kalau kita
bicarakan MKDKI seharusnya ada 2 tahapan, tingkat provinsi dan pusat. Tetapi,
MKDKI pusat sudah ada tetapi yang provinsi tidak semua provinsi ada jadi pelaporan
selalu ke MKDKI pusat. Jika tidak diputuskan oleh MKDKI apakah keputusan
tersebut bisa naik banding atau tidak

• MKDKI bertugas untuk mengadili dan dinyatakan dalam UU praktik kedokteran tahun
2004, fungsinya sebagai Lembaga bentukan negara punya keputusan yang boleh
digugat jika dirasakan tidak tepat oleh salah satu pihak dan digugat ke pengadilan tata
usaha negara. Walaupun didak berafiliasi kepada negaara tetapi ke KKI, berarti
keputusannya setara dengan keputusan tata usaha negara sehingga dapat digugat. Jadi
dokter dapat melakukan gugatan terhadap keuputusan MKDKI ke pengadilan tata
usaha. Ada 2 jenis yaitu, rekomendasi sanksi (gugatannya kepada PTUN) dan jika
rekomendasi tersebut dilakukan oleh keputusan dinas kesehatan, maka keputusan
dinas kesehatan boleh digugat ke PTUN tetapi status gugatannya berbeda (gugatan
keputusan sanksi dari dinas kesehatan).

• Jika dari sisi etika, MKEK didalam aturan negara MKEK tidak ada jadi kalau dibaca
di UU praktik kedokteran jika ada gugatan MKEK (laporan dugaan pelanggaran
displin) dan dilakukan peninjauan oleh MKDKI dan jika ada diteruskan ke Organisasi
Profesi, bukan langsung ke MKEK. Kasusu diteruskan ke IDI (suatu badan
pengadilan) diteruskan kepada MKEK untuk ditindaklanjuti sehingga pada aturan
negara MKEK tidak ada. MKEK merupakan suatu badan pengadilan yang bersifat
bentukan organisasi profesi yang berarti tidak bisa digugatkan ke pengadilan tata
usaha negara

• Struktur MKEK ada 3 level: pusat, organisasi profesi (IDI tingkat profesi), IDI
wilayah tingkat 2 (IDI kabupaten/kota madya), dan MKEK pusat. Jika ada
pelanggaran etika maka diadili di IDI wilayah tempat dokter terdaftar, jadi yang
mengadili adalah MKEK tingkat 2. Tetapi tidak semua IDI wilayah punya MKEK dan
misalnya di provinsi ada MKEK, maka dilimpahkan ke MKEK provinsi. Seorang
dokter dapat mengajukan banding dari MKEK wilayah ke pusat. Jika sudah divonis
oleh MKEK pusat maka kecil kemungkinan untuk naik banding atau dilakukan
peninjauan.

• Keputusan MKEK sama dengan keputusan MKDKI: pernyataan salah atau tidak
(rekomendasi sanksi yang berkaitan dengan STR dan SIP akan diteruskan kepada
dinas kesehatan yang jika dijalankan berupa surat keputusan dinas kesehatan, hal ini
yang bisa digugat ke pengadilan tata usaha negara)

3. (Patrick-01) (1) Menurut UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan menyatakan bahwa setiap
orang dilarang melakukan aborsi. Jika dirujuk keluar negeri untuk aborsi, apakah dokter
tersebut melanggar hukum atau tidak? (2) Jika dokter tersebut memberikan No. Hp atau saran
tentang tempat aborsi, apakah melanggar hukum?

• (Timotius-20) KODEKI pasal 1 kita harus menjunjung tinggi sumpah/janji dokter


“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan” sedangkan jika
kita merujuk pasien ke luar negeri maka dapat melanggar KODEKI pasal 1
dikarenakan kita memfasilitasi pasien untuk melakukan aborsi

• (Christoper-06) Praktik aborsi dilarang di Indonesia, jadi dokter tidak bisa merujuk ke
luar negeri karena sudah melanggar, jadi jika pasien akan aborsi ke luar negeri dokter
Indonesia sudah lepas tangan dan pasien aborsi secara mandiri di luar negeri. (2) Jika
cerita seperti itu dokter memberikannya secara diam-diam.

dr. Norbert T.H., Sp.F

• Didalam ilmu hukum pidana, suatu perbuatan kejahatan jika mau diusut atau diadili
ada 2 jenis pendapat: jika ada suatu kasus hukum (pidana, perdana, administrative)
tersebut terjadi di suatu tempat maka harus diadili di wilayah tersebut. Pendapat kedua,
bahwa sebuah kasus pidana disidang tidak peduli tempatnya dimana, pelakunya harus
disidang sesuai dengan aturan hukum dari negara tempat asal pelaku. Kedua asas ini
tetap berlaku, tetapi yang lebih sering dianut adalah mengikuti aturan tempat
terjadinya perkara (ex: WNI melakukan pelanggaran hukum di Inggris, maka diadili
dengan hukum negara tempat dilakukannya kejahatan)

• Analisis Dokter: dokter jika merujuk artinya punya niat atau intensi dalam hal ini
merujuk diartikan dokter menggunakan haknya untuk mengalihkan kasus ke orang
lain, yang berarti dokter juga ingin mengugurkan kandungan. Jika direalisasikan
dengan tindakan maka sudah dikategorikan menjadi pelanggaran hukum. Pada KUHP
di Indonesia ada aturan siapa yang dapat dipidana, orang yang melakukan tindak
pidana dan memerintahkan tindak pidana dan orang yang turut serta melakukan
perbuatan pidana dapat dipidana (pasal 55). Pasal 56: bagi orang yang membantu
terjadinya suatu tindak pidana maka orang tersebut dapat dipidana. 4 kategori:
melakukan, memerintahkan, turut serta, dan membantu terjadinya suatu tindak pidana
(memberi fasilitas). Jadi jika ketahuan ada rujukan aborsi maka dokter akan dipidana
sebagai membantu terjadinya suatu pengguguran kandungan dengan syarat apakah
terjadi tindakan aborsi tersebut jadi bergantung pada tindakan aborsi diluar negeri
tersebut. Jika tindakan tidak dilakukan walaupun dokter sudah merujuk, maka dokter
tidak bersalah (hukuman dijatuhkan jika TINDAKAN TERSEBUT SUDAH
DILAKUKAN). Jika perempuan tersebut melakukan di luar Indonesia maka tidak
dapat diadili dinegara tersebut, dan jika dia pulang ke Indonesia dan ketahuan
melakukan aborsi, apakah perempuan tersebut dalam dipidana atau tidak karena dia
melakukannya ditempat lain jadi semua bergantung pada jaksa dan pengacara (pra-
preadilan)

• Uji formil terhadap suatu kejadian perkara (kesusaian unsur-unsur diperkara tersebut
dengan aturan hukum yang akan dipakai untuk mengadili) – contohnya dalam pidana,
kita lihat apakah ada aturan dihukum pidana atau tidak, jika tidak maka tidak lulus uji
formil dan lihat syarat-syaratnya). Biasanya uji formil dilakukan pada hukum acara
dahulu. Jika uji formil sudah diterbitkan baru dilakukan uji materil, yaitu pengujian
pada keterangan tersangka dan diuji kebenarannya apakah bisa diterima sebagai alat
bukti dan keterangan saksi, ahli, surat-surat, serta semua bukti yang ada untuk melihat
apakah bukti tersebut mememnuhi syarat atau tidak dan sifat bukti tersebut apakah
memperberat atau memperingan tersangka.

• Contoh uji materil – visum – ada surat yang dibuat oleh dokter. Isi visumnya akan
diuji secara materil. Dalam kasus ini merujuk keluar negeri jika terjadi tindakan aborsi
berarti terjadi tindakan pidana dan dokter tersebut akan dijatuhi hukuman pidana
berupa aborsi

4. (Celine-08) Mengenai analisa kasus dokter baru yang mengenakan pakaian seksi, tadi
Timotius mengatakan bahwa dokter melakukan pelanggaran kesusilaan, tetapi bukankah
apabila dokter tersebut melakukan pelanggaran kesusilaan akan mendapatkan hukum pidana
ya? tetapi dikasus hanya mendapatkan sanski pencabutan SIP. Lalu izin bertanya juga tadi
dikatakan bahwa dokter baru tersebut melanggar bioetik yang respect for autonomy, mengapa
yaa? bukan kah respect for autonomy itu lebih kepada pasien seperti membiarkan pasien
menentukan pilhannya sendiri dan sebagainnya, bukan ke norma kebiasaan, itu bagaimana
ya?

• (Adella-11) Dokter tersebut pada pandangan UU, KUHP, KUHPer: mengacu pada
UU: dokter tersebut tidak melakukan pelanggaran sebagaimana menurut pasal 10
undang nomor 44 tahun 2008 tetang pornografi yang isi nya adalah:

“Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau
di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.” karena, berpakaian seksi
dan tebuka belum dapat dikategorikan sbg ketelanjangan atau eksploitasi seksual yg
bermuatan pornografi.

Mengacu KUHP: berpakaian seksi tidak diatur secara formil di dalam KUHP dan tidak
bertentangan dengan KUHP. Melainkan menurut sifat melawan hukum berpakaian
minim atau seksi yaitu termasuk pada sifat melawan hukum materil (uu yg tidak diatur
di dalam undang undang) tetapi hal tersebut bertentangan dengan kepatutan (nilai-nilai
kesesuaian dlm masyarakat). Dalam hal ini dokter berpakaian seksi tidak dijerat
pidana apapun tetapi melanggar norma norma yang ada pada masyarakat yaitu norma
kesopanan dan norma agama

• (Bryan-01) tidak melanggar hukum, dokter memiliki kebebasan untuk menggunakan


media social. Mungkin belum begitu jelas mengenai pelanggaran norma-norma

dr. Norbert T.H., Sp.F - Medikolegal

• Jika administrasi negara perlu izin atau tidak jika pada pidana apakah ada aturan yang
mengatur itu, jika tidak ada maka bukan hukum pidana. Pada perdata suatu kasus dapat
diproses bila melanggar suatu perjanjian, kewajiban, hak dan menimbulkan kerugian,
yaitu kerugian materil.

• Tidak ada aturan yang dilanggar dengan berpakaian seksi dan di Indonesia yang kita
anut adalah hukum negara. Pada kasus tertentu dapat dilakukan penilaian dengan
hukum agama dan adat.

• Hukum agama dan adat tidak dapat dilakukan kepada semua orang dan semuanya
tergantung pelaku untuk memilih mengikuti hukum yang ada.
• Pada kasus ini tidak dapat dipersalahkan, tetapi harus dianalisis berpakaian seksi
dalam keprofesian atau bukan. Jika pada keprofesian maka itu yang harus dihukum
dengan aturan keprofesian, etika keprofesian dan displin keprofesian.

• Jika dilihat dalam lingkup yang lebih luas maka ada satu bahaya yang ada diberita
tersebut yang terjadi adalah adanya benturan yang bersifat politis antara kekuasaan
dan hak individu. dalam kasus ini ada manipulasi kekuasaan. Ada kemungkinan
kontaminasi terhadap disiplin keprofesian dan disiplin keprofesian. Dapat terjadi etika
dicampur dengan budaya dan agama, jika ingin mengadili seseorang berdasarkan
etika, maka dilakukan berdasarkan etika secara umum. Dalam kasus ini harus
dilakukan analisis apakah dilakukan mengenai keprofesiannya atau tidak, jika tidak
maka organisasi keprofesiannya tidak terlibat.

DR. dr. Sintak Gunawan, MA – Etika Kedokteran

• Idealnya masyarakat mampu memisahkan dia seorang dokter dan seorang model.
Meskupun dia dokter, dia juga berhak menjadi seorang model, jika tuntunannya
sebagai seorang model harus berpakaian seperti itu dan diterima di negara tersebut
maka harusnya tidak bisa diadili oleh profesi lain. Tetapi, masyarakat tidak dapat
membedakan hal tersebut, dalam zaman sekarang perselisihan sangat mudah terjadi
dan sangat heboh. Oleh sebab itu, maka kita kalau bisa mengantisipasi apakah yang
kita lakukan ini bisa diterima oleh masyarakat umum atau belum bisa diterima. Jika
kita merasa ini bisa diterima dan tidak melanggar norma sopan santun dan social-
budaya dapat dilakukan dan bisa diterima. Dokter tersebut melakukan hal ini dalam
menjalankan profesi sebagai model, tetapi dalam masyarakat tidak cukup dengan etika
profesi karena dalam KODEKI juga ditulis harus memperhatikan norma social budaya
dan sopan santun dimana sulit dipastikan batas-batasnya sampai seberapa jauh. Jadi,
jika hal ini terjadi di Indonesia kita menjalankan profesi harus mengingat bahwa
masyarakat kita belum dapat menerima hal-hal tersebut dan jika masyarakat kita
belum menerima hal-hal tersebut maka sebaikanya jangan dilakukan karena yang
terdampak tidak hanya individu tetapi sudah mengarah keprofesian. Padahal secara
profesi dokter tersebut menjadi model dan gelarnya sudah dilepas saat menjalankan
pekerjaannya sebagai seorang model. Contoh: presiden berprofesi sebagai model hal
ini juga tidak dapat diterima. Dalam beberapa negara masih dapat diterima tetapi di
Indonesia masyarakat belum siap menerima hal seperti itu, kecuali yang bersangkutan
sudah tidak menjadi dokter sama sekali (menjadi model sepenuhnya) tidak berprofesi
ganda.

• Jika dikaitkan dengan kasus ini maka tidak melanggar etika kedokteran tetapi
masyarakat belum dapat menerima sehingga lebih baik hal tersebut tidak dilakukan
oleh dokter tersebut karena selaind ari dokter, organisasi keprofesian juga dapat
terdampak

5. (dr. Norbert T.H., Sp.F) Jika seorang dokter dipersangkakan melakukan pelanggaran
hukum, disiplin keprofesian, dan pelanggaran etika keprofesian, secara hirarki, mana
pelanggaran yang paling berat (disusun dari yang paling berat sampai ringan)?

• (Bryan-01) Paling tinggi pelanggaran hukum karena jika sudah melanggar hukum
maka sudah melanggar disiplin keprofesioan dan etika sedangkan yang kedua adalah
kedisiplinan keprofesian dan terakhir etika keprofesian (menganut prinsip supremasi
hukum dan etika)

6. (Puspa Gracella-18) Jika mahasiswa preklinik membuat konten edukasi dan mengiklankan
produk dan menyatakan bahwa dirinya seorang dokter, apa yang harus kita lakukan sebagai
teman sejawat?

Dr. dr. Sintak G., MA & dr. Norbert T.H., Sp.F

Cara yang dilakukan tidak baik karena ada ketidaktahuan. Hal yang harus kita lakukan adalah
menegur dan menyampaikan bahwa hal yang dilakukan itu salah dan berikan alasan mengapa
salah dan dilihat apakah yang bersangkutan mau berubah atau tidak. Hal ini melanggar hukum
pidana karena didalam UU praktik kedokteran ada pasal aturan pidana yang disana ditegaskan
orang yang tidak berhak tidak boleh menggunakan gelar/atribut yang berhubungan dengan
kedokteran, setiap orang yang tidak berhak dilarang menggunakan metode dan peralatan atau
hal-hal lain yang memberi kesan dirinya sebagai seorang dokter. Jika dipanggil dokter dia
tidak mengkoreksi maka hal tersebut termasuk pelanggaran hukum (fraud) dan dapat dinilai
sebagai kasus penipuan dan kelalainan mengerkan hal tertentu dan mengerjakan hal yang
tidak boleh dikerjakan. Hal ini ada di KUHP mengenai kasus penipuan, kita harus lihat apakah
dia menggunakan gelar kedokteran atau tidak jika menggunakan gelar kedokteran maka
diadili dengan peraturan kedokteran. Kita juga nilai dari usia orang tersebut dan jika dia belum
21 tahun, di dalam hukum perdata jika sudah >21 tahun maka wajib
mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri, tetapi jika <21 tahun di dalam perdata dia
dapat mengenakan hal tersebut ke orang lain (orang tuanya). Status pada waktu melakukan
jika sebagai individu belum dewasa maka orang tuanya akan kena dan jika ada hubungan
dengan institusi tertentu makan institusi tersebut dapat terkena dampak. Hal ini bukan hanya
pelanggaran etika dan hukum, jika belum dokter maka tidak bisa diadili dengan peraturan
keprofesian. Jika masih berstatus mahasiswa universitas dapat mengurus kasus tersebut
KULIAH NARASUMBER

dr. Ernawati, SE, MS, FISCM, FISPH, Sp.KKLP – Surat Keterangan Dokter

- Terkait surat rujukan ke luar negeri, kita harus melihat apakah ada pelanggaran hukum di
Indonesia untuk membuat surat rujukan tersebut

- Prinsip membuat surat keterangan apapun harus disaksikan sendiri, diperiksa sendiri, dan
harus dapat diputuskan serta tidak melanggar UU dan KODEKI

DR. dr. Sintak Gunawan, MA

- Tentang periklanan: contoh produk vitamin, dalam zaman media social seperti ini kita harus
berhati-hati dan jika kita ingin mengiklankan kita harus tau produk tersebut benar-benar
bermanfaat

- Untuk hal-hal yang ada manfaatnya tetapi tidak diketahui seberapa besar manfaatnya,
contohnya vitamin untuk terapi COVID, oleh sebab itu saat beriklan dokter juga harus
menyampaikan dengan kata-kata yang tepat (ex: vitamin dapat diberikan untuk menjaga daya
tahan tubuh pasien COVID-19 dan non COVID-19 dan kalau bisa disertai penelitian-
penelitian yang sudah ada) agar masyarakat dapat menyimpulkan berdasarkan data-data yang
disampaikan oleh seorang dokter. Jika data-data tersebut tidak ada, maka kita tidak bisa
mengiklankan hal tersebut (yang boleh diiklankan hanya hal-hal tertentu saja jadi harus
dipastikan hal apa yang boleh dan tidak boleh diiklankan)

- Iklan yang boleh dilakukan adalah promotive dan preventif dengan menyebutkan produk
tanpa nama perusahaannya (BUKAN MEWAKILI PERUSAHAAN FARMASI, tetapi
mewakili profesi kedokteran) – (ex: produk vitamin C, yang dibicarakan hanya vitamin C nya
saja bukan produk-produk sponsor)

- TELEMEDICINE – dimungkinkan pelaksanaannya dalam pandemic COVID-19 tetapi


pemeriksaan tatap muka lebih baik dari telemedicine, tetapi hal ini belum tentu benar karena
zaman sekarang banyak jenis telemedicine yang lebih baik dari tatap muka. Tidak semua
pasien bisa ke dokter dan tidak semua kasus harus diperiksakan secara tatap muka. Jika tidak
bisa dengan telemedicine jangan dilakukan (melanggar non-maleficence) dapat merugikan
pasien jadi dalam Perkonsil sudah dipaparkan secara jelas mengenai kriteria untuk
telemedicine dan pada inform consent sudah diberitahukan apa yang dapat dilakukan dan apa
yang tidak dapat dilakukan. Jika kita masuk ke telemedicine kita harus tau tugas dan pihak
yang bekerjasama dengan kita dan peraaturan lain diluar hukum yang bersifat mengikat
maupun perubahan yang terjadi pada masyarakat baik secara keprofesian maupun tidak

- Kesulitan dokter masa sekarang – pihak pembuat aturan, peraturan hukum jelas mengikat kita
sedangkan etika bersifat menganjurkan atau menyarankan hal tersebut tetapi maksimal hanya
pencabutan izin praktik tapi jarang terjadi. MKEK tidak dapat mencabut izin seorang dokter
tetapi PB IDI lah yang mengeluarkannya. Ketika kita bekerja sendiri maka lebih muda, tetapi
jika kita bekerja dengan orang lain maka kepentingan kita dna orang lain dapat berbeda (ex:
bekerja di perusahaan, perusahaan meminta semua karyawan yang sakit harus dilaporkan ke
management) dan kita harus menilai apakah melanggar etika ataupun hukum.

dr. Norbert T.H., Sp.F

- Periklanan – jika harus beriklan kita harus menempatkan posisi sebagai dokter atau bukan.
Harus ada kejelian pada pihak dokter apakah sebagai dokter atau non-dokter.

- Kita sebagai dokter berhak mengkomplain mengenai periklanan yang bertentangan dengan
profesi kedokteran kita

- Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan perjanjian awal maka kita boleh complain. Hal ini
berarti kita memberikan persetujuan untuk dilakukan hal itu (silent agreement)

- Budaya timur dan orang Indonesia ada rasa malas dan sungkan untuk complain jadi kita harus
hati-hati untuk berpikir dampak terhadap kita, orang sekeliling kita, teman seprofesi, dan
profesi kita juga. Jika harus dilakukan perjanjian maka harus dibuat secara tertulis dan ada
rangkap 2 (1 untuk sponsor dan 1 untuk kita). Harus diperhatikan apakah kita membuat iklan
sebagai profesi dokter atau bukan

- Ketika memberi informasi dalam media social kita harus memperhatikan dikarenakan
masyarakat tidak dapat membedakan status profesi kita, dibuat disclaimer. Jika tidak ada
maka kita bisa dituntut secara hukum jika merugikan orang lain

- Dokter tidak boleh menjanjikan hasil karena dalam ilmu kedokteran hasil itu berada di tangan
Tuhan kita hanya melakukan tugas kita. Jika kita menjanjikan hal tersebut dapat dituntut
dengan hukum perdata dan dinilai apakah menimbulkan kerugian materil atau tidak maupun
kerugian imateril. Kerugian imateril tidak akan di adili tetapi kerugian imateril ini bisa diadili
jika ada kerugian yang besar. Jadi kita harus tegas dan jelas
- Kasus mengenai acara kesehatan mengenai terapi yang menghadirkan dokter, tetapi jika
dinilai secara keseluruhan, dokter tersebut hanya memberikan sedikit statement dan lebih
banyak dibahas oleh sponsor hal ini menyebabkan pandangan bahwa dokter membenarkan
hal tersebut dan dapat menyebabkan merendahkan keprofesiannya dan berdampak negative
pada keprofesiannya

- Respect for autonomy (kaidah dasar moral dalam bioetika) – etika sebagai seorang dokter –
pekerjaan dokter tertulis di UU No. 29 tahun 2004 mengenai praktik dokter. Etika keprofesian
adalah ketika antara dokter dan pasien. Selain itu dapat respect for authority, teman sejawat,
maupun budaya. Dalam praktik kedokteran yang diutamakan adalah kesejahteraan pasien.
Jika pasien tidak kompeten maka etika ini ditujukan kepada keluarga atau wali pasien

Anda mungkin juga menyukai