Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN SMALL GROUP DISCUSSION LBM III

“MAWAR YANG MALANG”

DISUSUN OLEH

Nama : Baiq Amira Fatmaharani

NIM : 020.06..0007

Kelas : A

Blok : PSIKIATRI

Tutor : dr. Made Mirah Wulandari, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2022
DAFTAR ISI

BAB I......................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................3
Skenario.............................................................................................................................................3
Deskripsi Masalah..............................................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................4
Hubungan Perubahan Hormonal Pada Masa Nifas Dengan Depresi Pasca Persalinan......................4
POSTPARTUM DEPRESI......................................................................................................................6
Definisi...........................................................................................................................................6
Etiologi dan Faktor Resiko.............................................................................................................6
Manifestasi Klinis...........................................................................................................................7
Kriteria Diagnosis...........................................................................................................................8
Tatalaksana....................................................................................................................................9
BABY BLUES.....................................................................................................................................10
Definisi.........................................................................................................................................10
Etiologi dan Faktor Resiko...........................................................................................................10
Manifestasi Klinis.........................................................................................................................11
Kriteria diagnosis.........................................................................................................................11
Tatalaksana..................................................................................................................................12
PSIKOSIS POST PARTUM..................................................................................................................12
Definisi.........................................................................................................................................12
Etiologi.........................................................................................................................................12
Manifestasi Klinis.........................................................................................................................13
Kriteria diagnosis.........................................................................................................................14
Tatalaksana..................................................................................................................................14
Diagnosis Multiaksial Kasus Pada Skenario......................................................................................15
KESIMPULAN.......................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17
BAB I

PENDAHULUAN
Skenario
Mawar 21 tahun dibawa keluarganya ke Puskesmas dengan keluhan selalu murung sejak 3
minggu terakhir. Pasien juga mudah menangis tanpa sebab yang jelas dan beberapa kali
bercerita pada keluarganya tentang dirinya yang merasa tidak berharga dan tidak ingin hidup
lagi. Diketahui bahwa 1 bulan sebelumnya pasien baru saja melahirkan anak perempuannya
di luar nikah. Keluarga merasa malu karena ayah bayi melarikan diri tidak bertanggung
jawab. Setelah melahirkan, mawar tanpa pendiam, sering melamun dan menangis. Pasien
juga tidak mau mengurus bayinya. Makan dan minum harus diingatkan, waktu luang
digunakan untuk melamun. Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum dan tanda vital
dalam batas normal. Selain itu didapatkan orientasi tempat dan waktu baik, psikomotor
hipoaktif, tidak didapatkan adanya waham dan halusinasi

Deskripsi Masalah
Masa nifas akan menyebabkan terjadinya perubahan - perubahan pada organ reproduksi.
Begitupun halnya dengan kondisi kejiwaan ( psikologis ibu, juga mengalami perubahan, Dari
yang semula belum memiliki anak, kemudian lahirlah seorang bayi mungilnan lucu yang kini
mendampingi ibu. Menjadi orang tua merupakan suatu krisis tersendiri dan ibu harus mampu
melewati masa transisi. Secara psikologi, seorang ibu akan mengalamiakan mengalami gejala
- gejala psikiatrik setelah melahirkan. Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh oleh seorang
wanita dalam dalam menghadapi aktivitas dan peran barunya sebagai ibu pada beberapa
minggu atau bulan pertama setelah melahirkan baik dari segi fisik maupun fisik.
BAB II

PEMBAHASAN
Hubungan Perubahan Hormonal Pada Masa Nifas Dengan Depresi Pasca Persalinan
Selama kehamilan, kadar estrogen (estradiol,estriol, dan estron) dan progesteron meningkat
akibat dari plasenta yang memproduksi hormon tersebut. Akibat dari kelahiran plasenta saat
persalinan, kadar estrogen dan progesteron menurun tajam, mencapai kadar sebelum
kehamilan pada hari ke 5. Kadar dari beta-endorfin, human chorionic gonadotropin (HCG),
dan kortisol yang meningkat saat kehamilan dan mencapai kadar maksimal saat menjelang
aterm juga mengalami penurunan saat persalinan. Kadar estrogen yang tinggi selama
kehamilan merangsang produksi dari thyroid hormonebinding globulin, mengikat T3
(triiodothyronine) dan T4 (thyroxine), sehingga kadar T3 dan T4 bebas menurun. Sebagai
konsekuensinya, thyroid-stimulating hormone (TSH) meningkat untuk mengkompensasi
rendahnya kadar hormon tiroid bebas, sehingga kadar T3 dan T4 bebas tetap normal. Dengan
menurunnya kadar thyroid hormone-binding globulin setelah persalinan, kadar total T3 dan
T4 menurun, sedangkan kadar T3 dan T4 bebas relatif konstan.

Estradiol dan estriol merupakan bentuk aktif dari estrogen yang dibentuk oleh plasenta, dan
meningkat selama kehamilan 100 dan 1000 kali lipat. Akibat sintesis estradiol berasal dari
aktifitas metabolism hati janin, konsentrasi saat kehamilan sangat tinggi. Berdasarkan
percobaan pada hewan, estradiol menguatkan fungsi neurotransmitter melalui peningkatan
sintesis dan mengurangi pemecahan serotonin, sehingga secara teoritis penurunan kadar
estradiol akibat persalinan berperan dalam menyebabkan depresi pasca persalinan. Namun
suatu penelitian menyatakan bahwa tidak ada perbedaan berarti dari perubahan estradiol atau
free estriol saat kehamilan tua dan nifas pada wanita depresi dan tidak depresi.

Kadar prolaktin meningkat selama kehamilan, mencapai puncaknya saat persalinan, dan pada
wanita yang tidak menyusui kembali seperti keadaan sebelum hamil dalam 3 minggu pasca
persalinan. Dengan pelepasan oksitosin, hormon yang merangsang sel lactotropik di hipofisis
anterior, pemberian ASI mempertahankan kadar prolaktin tetap tinggi. Namun pada wanita
menyusui sekalipun, kadar prolaktin tetap akan kembali seperti sebelum hamil. Prolaktin
diduga memiliki peran dalam terjadinya perasaan cemas, depresi, dan sifat kasar pada wanita
tidak hamil dengan hiperprolaktinemia.

Peran axis HPA dalam terjadinya depresi pasca persalinan


Perubahan dramatis pada axis HPA terjadi selama kehamilan sebagai akibat perubahan dari
kadar progesteron dan estrogen. Corticotrophin releasing homone (CRH) diproduksi oleh
trofoblas, fetal membran dan desidua, di regulasi oleh steroid, berkurang kadarnya karena
pengaruh progesteron, dan berlawanan dengan umpan balik pada hipotalamus, kadar CRH
plasenta meningkat karena pengaruh glukokortikoid. CRH plasenta selanjutnya diregulasi
(seperti di hipotalamus) oleh vasopressin, norepinefrin, angiotensin II, prostaglandin,
neuropeptida Y, dan oksitosin. Pelepasan CRH dirangsang oleh activin dan interleukin, dan
dihambat oleh inhibin dan nitrit oksida. Peningkatan progresif kadar CRH maternal selama
kehamilan akibat sekresi CRH intrauterin kedalam sirkulasi maternal. Kadar tertinggi
ditemukan selama persalinan. Kadar CRH maternal meningkat selama kehamilan dalam
keadaan stress, preeclampsia, dan persalinan preterm.

Protein pengikat untuk CRH terdapat pada sirkulasi manusia, dan diproduksi di plasenta, fetal
membran dan desidua. Kadar protein pengikat pada sirkulasi maternal selama kehamilan
tidak berbeda dengan saat tidak hamil, sedikit meningkat pada usia kehamilan 35 minggu dan
menurun drastic hingga aterm. Placental CRH dan maternal CRH merangsang hipofisis
anterior untuk meningkatkan ACTH, sehingga merangsang sekresi maternal kortisol dari
korteks adrenal. Maternal plasma CRH berbanding lurus dengan kadar ACTH dan kortisol,
yang juga berkorelasi dengan CRH, sehingga terjadi hipercorticolisme pada kehamilan.

Peningkatan glukokortikoid menginisiasikan umpan balik negative pada axis HPA,


menghambat pelepasan maternal CRH, namun kortisol yang dilepaskan oleh korteks adrenal
memiliki efek umpan balik positif dengan CRH plasenta, sehingga merangsang sekresi
hipofisis ACTH dan kortisol. Kadar kortisol mencapai puncaknya pada usia kehamilan 34-36
minggu, dan berhubungan dengan maturasi paru janin akibat hipertrofi korteks adrenal. Pasca
persalinan, kadar kortisol kembali normal pada hari ke 4-5. Sistem CRH sangat berperan
dalam terjadinya depresi. Distribusi saraf CRH yang sangat luas. Ia menjadi regulasi utama
dalam sistem otonom, endokrin, imunitas, dan respon perilaku terhadap stressor. Peningkatan
kadar CRH dapat menyebabkan terjadinya depresi.

Akibat pelepasan plasenta pada persalinan, kadar progesteron, estrogen dan CRH berkurang
drastis, mencapai kadar seperti sebelum hamil pada hari ke 5 pasca persalinan. Kadar kortisol
juga berkurang drastis pasca persalinan, namun korteks adrenal yang mengalami hipertrofi
kembali seperti sebelum hamil pada hari ke 5 pasca persalinan. Diduga terdapat sensitifitas
yang berbeda pada setiap wanita sehingga perubahan hormon yang terjadi pada saat
kehamilan dan pasca persalinan menyebabkan terjadinya depresi pasca persalinan.Serotonin
(5HT, 5-hidroxy-tryptofan) berasal dari asam amino triptofan, yang bisa didapatkan dari
makanan. Oleh enzim triptofan hidroksilase, ia diubah menjadi 5 HT. Serotonin berperan
dalam menghambat sekresi CRH. Saat neurotransmitter serotonin terganggu, maka kadar
CRH meningkat sehingga menyebabkan terjadinya depresi.

POSTPARTUM DEPRESI
Definisi
Depresi post partum adalah gangguan mood yang terjadi setelah melahirkan. Gangguan ini
merefleksikan disregulasi psikologi yang merupakan tanda dari gejala-gejala depresi mayor.
(Kusuma, 2017). Depresi post partum biasanya dialami oleh ibu setelah 4 minggu
melahirkan.

Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab depresi post partum belum diketahui secara pasti, namun banyak penelitian dan
pustaka yang menyebutkan penyebab gangguan tersebut dapat berasal dari faktor biologis
maupun psikososial. Penurunan hormon progesteron yang signifikan dapat mempengaruhi
suasana hati dari ibu. Perubahan ini melihat dengan adanya gejala depresi seperti lemas dan
lesu. (Brockington,2009).

Berbagai faktor fisiologi dan psikososial diteliti dapat menjadi penyebab dari depresi
postpartum. Beberapa hal yang diduga menjadi etiologi depresi post partum antara lain
(Brummelte & Galea,2016)

1. Neurologi postpartum Depresi postpartum secara mekanisme biologi berhubungan


dengan adanya gangguan depresif mayor. Secara umum, depresi berintegritas dengan
penyakit pada sirkuit neuron dengan ditandai adanya pengurangan volume otak.
Pengurangan ini terjadi pada seseorang yang mengalami gejala depresi mayor.
Semakin lama seseorang mengalami gejala tersebut, maka akan semakin berkurang
volume otaknya. Jumlah yang berkurang yaitu protein otak yang berfungsi
mencetuskan pertumbuhan neuron dan formasi sinaps. Adanya stres dan depresi dapat
mengurangi jumlah protein otak tesebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa setelah
dilahirkannya plasenta pada saat persalinan maka kadar estrogen dan progesterone
plasma dari sang ibu mulai turun secara drastis. Kedua hormon tersebut memilki efek
neural pada konsentrasi psikologis. Maka dari itu, dengan adanya penurunan drastis
dari hormon tersebut dapat berefek pada psikologis.
2. Gangguan Autoimun Selama persalinan, seorang ibu terpapar berbagai antigen
fetal. Suatu penelitian menduga bahwa akibat adanya paparan tersebut berefek pada
kondisi psikologis ibu. Seorang ibu menjadi cenderung emosional yang diduga
asalnya dari gangguan autoimun tersebut.
3. Gangguan Tidur dan Ritme Sikardian Ketika seorang ibu melahirkan maka ia akan
mengalami masa adaptasi untuk perannya yang baru. Dengan adanya peran baru
tesebut, seorang ibu menjadi kekurangan waktu tidurnya karena harus menjaga
bayinya. Aktivitas itu cenderung membuat ibu menjadi kelelahan atau fatigue
sehingga bisa memicu terjadinya depresi. Kurangnya waktu tidur menyebabkan
hormone tidur yang dihasilkan di kelenjar pineal otak menjadi berkurang. Hormon
tersebut adalah hormon melatonin. Terganggunya produksi hormon tersebut
merupakan kontributor terhadap depresi postpartum (Sharkey, Pearlstein, &
Carskadon, 2013).
Sebuah studi membuktikan bahwa ibu primipara atau ibu yang baru pertama kali
melahirkan lebih banyak mengalami depresi postpartum. Hal tersebut terjadi karena
ketidaksiapan ibu primipara secara psikologis dalam menghadapi kelahiran bayi lebih
besar dari pada ibu multipara atau yang sudah melahirkan lebih dari sekali. Ibu
multipara sudah memilki pengalaman mengadapi kelahiran sebelumnya sehingga
tidak stres dalam menyambut kelahiran anak tersebut (Soep, 2011).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kusuma, terdapat hubungan antara pekerjaan
dengan kejadian depresi postpartum. Keadaan ibu yang harus kembali bekerja setelah
melahirkan dapat memicu timbulnya depresi. Ibu yang tidak berhasil menyesuaikan
diri dengan peran dan aktivitas barunya sebagai seorang ibu dapat mengalami
gangguan psikologis atau depresi postpartum (Kusuma, 2017).

Manifestasi Klinis
Tanda-tanda yang menyertai adalah perasaan sedih, menurunnya suasana hati, kehilangan
minat dalam kegiatan sehari-hari, peningkatan atau penurunan berat badan secara signifikan,
merasa tidak berguna atau bersalah, kelelahan, penurunan konsentrasi bahkan ide bunuh diri.

Dampak negatif dari depresi postpartum tidak hanya dialami oleh ibu, namun dapat
berdampak pada anak dan keluarganya juga. Ibu yang mengalami depresi tersebut, minat dan
ketertarikan terhadap bayinya dapat berkurang. Ibu menjadi kurang merespon dengan positif
seperti pada saat bayinya menangis, tatapan matanya, ataupun gerakan tubuh. Akhirnya ibu
yang mengalami depresi postpartum tidak mampu merawat bayinya secara optimal termasuk
menjadi malas memberikan ASI secara langsung (Wahyuni, 2014).

Kriteria Diagnosis
Evaluasi wannita dengan kemungkinan depresi postpartum membunuhkan anamnesis yang
cermat untuk memastikan diagnosis, mengidentifikasi apakah ada gangguan lainnya, dan
mengelola masalah medis dan psikososial yang terkontribusi didalamnya. Sekitar 70% dari
ibunya yang baru melahirkan memilki gejala depresi ringan yang umumnya akan memuncak
pada rentang 2 hingga 5 hari setelah melahirkan. Gejala tersebut biasanya mulai mereda
secara spontan dalam waktu 2 minggu, namun jika tidak terdeteksi dengan cepat dan
terlambat ditangani, dapat berkembang menjadi depresi yang disebut depresi post partum
(stewart & vigod, 2016).

Kriteria yang digunakan dalam skrining peneegakan diagnosis depresi post partum dapat
digunakan beberapa instrumen antara lain :

1. Schedule of afective disorders and schizophrenia (SADS)


SADS terdiri dari beberapa pertanyaan terbuka yang berkaitan dengan geja dengan
penjajakan untuk pertanyaan berikutnya. Terdapat 11 gejala depresi dalam delapan
kategori yaitu gangguan makan gangguan tidur, kelelahan, kurang semangat, perasaan
bersalah, gangguan konsentrasi, keinginan bunuh diri, dan gangguan motori. Setiap
gejala tersebut diberikan 1-6 oleh pemeriksa dengan skor minimal 3 (ringan) pada
setiap gejalanya. Gejala tersebut harus minimal terjadi selama 2 minggu
2. Structured Clinical Interview for DSM-IV-R (SCID)
SCID merupakan wawancara berbasis klinis yang menggabungkan kriteria diagnosis
DSM-IV dan memiliki versi berbeda yang digunakan untuk pasian rawat inap, rawat
jalan, hingga yang bukan populasi klinis Instrumen ini terdiri dari enam modul yang
memerlukan 45-60 menit untuk melengkapinya.
3. Edinburgh Postnatal Depression Scale (EDPS)
EDPS adalah instrument yang berupa kuisioner 10 item yang mudah dijalankan, dan
merupakan alat skrining yang efektif dan spesifik untuk menskrining depresi
postpartum secara internasonal. Dari 10 pertanyaan tersebut, masing-masing
pertanyaan memiliki nilai 1-3, dengan skor total maksimal 30 poin. Jika seorang
perempuan mendapatkan poin l0 atau lebih dan memiliki pikiran untuk
membahayakan diri sendiri maupun bayinya, maka diperlukan wawancara lebih lanjut
dengan psikiater untuk melihat gejala dan menentukan diagnosis. Pada umunya,
perempuan yang mendapatkan hasil EPDS antara 5-9 dengan gejala depresi tanpa ide
bunuh diri harus dievaluasi kembali 2-4 minggu setelah tes dilakukan (gondo,2012)
Selain instrumen yang telah disebutkan di atas, dapat juga digunakan Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi III (PPDGJ-III)
skrining gangguan depresi postpartum. Pada kriteria tersebut, depresi postpartum
merupakan gangguan jiwa yang berhubungan dengan masa nifas (tidak lebih dari 6
minggu setelah persalinan), yang tidak memenuhi kriteria di tempat lain, serta
memenuhi kriteria episode depresi. Adapun episode depresi tersebut seperti afek
depresif, kehilangan minat, mudah lelah, berkurangnya konsentrasi, terganggunya
waktu tidur, dan nafsu makan berkurang. Episode tersebut terjadi sekurang-kurangnya
selama dua minggu (Maslim, 2013).

Tatalaksana
Tatalaksana dalam perawatan depresi post partum bervariasi tergantung dengan tingkat
keparahandari gejalanya, termassuk kemampuannya untuk merawat dan berinteraksi dengan
bayi yang baru lahir. Jika baru terjaddi gejala ringan atau sedang maka dapat dikelola dalam
perawatan primer terdekat namun lebih baik jika langsung dirujuk ke bagian psikiatrik untuk
mencegah komplikasi yang lebih parah, terutama ketika ibu sudah memiiki pikiran untuk
menecelakai atau membahayakan diri sendiri dan orang lain. Namun salam melakukan
perwatan depresi postpartum dapat terjadi beberapa kendala bagi sebagian orang,
sepertimasalah keuangan, transportasi, dan penitipan anak. Untuk wanita dengan gejala
ringan, intervrensi psikososial yang dapat diberikan contohnya ialah meningkatkan
dukungan, seperti dukungan dari teman sebaya dan konselingg yang diberikan yang
dilakukan oleh praktisi kesehatan yang profesional. Intervensi tersebut merupakan lini
pertama dalam perawatan depresi post partum sebuah penelitian analisis menunjukkan bahwa
wanita dirawat dengan intervensi psikososial lebih kecil kemungkinan untuk tetap depresi
pada 1 tahun post partum dibandingkan wanita yang hanya menerima perawatan standar di
layanan primer. minggu. Terapi perilaku kognitif berfokus pada perubahan pola pikir
maladaptif, perilaku, atau keduanya, untuk menghasilkan perubahan positif dalam keadaan
emosional. Sementara itu, terapi interpersonal adalah terapi suasana hati untuk hubungan
interpersonal dan berfokus pada peningkatan hubungan untuk membantu dengan transisi
peran seorang wanita menjadi orang tua baru (Stewart & Vigod, 2016).
Jika sudah dilakukan terapi perilaku kognitif dan interpresonal maupun terapi non-
farmmakologis namun tidak berhasil, maka dapat diberikan terapi farmakologi. Terapi ini
juga dapat diberikan jika penerita depresi postpartum lebih menyukai obat—obatan daripada
terapi prilaku. Anti depresan yang diaggap dapat berkompatibel dengan ibu menyusui harus
diresepkan psikiater. Selain anti depresan, biasnya dapat jiga diberikan sertaline. Untuk ibu
depresi post partum yang sedang menyusui biasanya diberikan pengobatan dengan dosis 50
mg setiap harinya selama 1 minggu. Setelah itu, di evaluasi kembali dan dilihat efek samping
dari obat tersebut. Jika masih ada keinginan untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain,
maka ditambahkan dosis sesuai dengan kebutuhan (misalnya ditambah 50mg setiap 2 minggu
dengan dosis harian maksimal 200 mg hingga tercapainya remisi dengan sempurna. Terapi
farmakologi umumnya dilanjutkan 6 hingga 12 bulan setelah remisi sempurna untuk
mengurangi risiko kekambuhan. Jika gejala-gejala masih berulang dan terus mengalami
kekambuhan maka disarankan untuk berkonsultasi kembali dengan psikiatrer dan
mendapatkan perawatan intensif kembali.(stewart&vigod, 2016)

Namun bagi ibu yang menderita depresi postpartum yang cukup parah, sebaiknya melakukan
kunjungan ke dokter agar dapat diberikan terapi farmakologis seperti golongan tricyclc
antidepressant (TCAs). Terapi ini akan meringankan gejala-gejala dari depresi postpartum
sehingga dapat menjalani kegiatan sehari-hari secara normal (Guille, et al., 2013)

BABY BLUES
Definisi
Baby blues adalah suatu gangguan psikologi sementara yang ditandai dengan memuncaaknya
emosi pada minggu pertama setelah melahirkan. Ditandai terutama oleh perasaan menangis,
lelah, cemas, pelupa, overemosional, perubahan suasana hati dan tidak bersemangat yang
terjadi selamma hari-hari pertama masa nifas. Umumnya terjadi antara 10-14 hari pertama
setelah melahirkan. (Walyani & Purwoastuti, 2017)

Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi dari beby blues tidak dipahami dengan baik. secara garis besar, kejadian postpartum
blues dipengaruhi dua faktor yaitu internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang
mempengaruhi terjadinya postpartum blue antara ain fluktuasi hormonal, faktor psikologis
dan kepribadian. Ketika bayi lahir, terjadi perubahan level hormon yang sangat mendadak
pada ibu. Hormon kehamilan (estrogen dan progesteron) secara mendadak mengalami
penurunan 72 jam setelah melahirkan dan juga disertai penurunan kadar hormon yang
dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang menyebabkan mudah lelah, penurunan mood, dan
perasaan tertekan serta di lain sisi terjadi peningkatan dari hormin menyusui. Penuerunan
kadar estrogen dan progesteron pada periode lepasannya plasenta dapat menyebabkaan
disforia. (Dewi,2018)

Adanya riwayat sebelumnya, riwayat kehamilan dan persalinan dengan komplikasi,


persalinan sectio ceasarea, kehamilan yg tidak direncanakan, berat bayu lahir rendah (BBLR),
dan pada ibu yang menyusui pengalaman merawat bayi akan meningkatkan resiko ibu
mengalami baby blues sndrome.

Manifestasi Klinis
Baby blues syndrome ditandai perasaan sedih, seperti menangis, perasaan kesepian atau
menolak bayi, cemas, bingung, lelah, merasa gagal dan tidak bisa tidur. Baby blues syndrome
relatif ringan dan biasanya berlangsung 2 minggu. Beberapa gejala baby blues syndrome:

1 Dipengaruhi oleh perasaan kesediah dan depresi disertai dengan menangis


tanpa sebab
2 Mudah kesal, mudah tersinggung dan tidak sabar
3 Tidak memiliki atau kurang bertenaga
4 Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga
5 Menjadi tidak tertarik dengan bayi atau menjadi terlalu memperhatikan dan
kuatir terhadap bayinya
6 Tidak percaya diri
7 Sulit beristrirahat dengan tenang atau tidur lama
8 Peningkatan berat badan yang disertai dengan makan berlebihan
9 Penurunan berat badan yang disertai tidak mau makan

Kriteria diagnosis
Menurut DSM IV baby blues dikategorikan dalam major deepression dan mirip dengan gejala
F32.1 berdasarkan PPDGJ III. Skrining untuk mendeteksi ganggguan mood/ depresi sudah
merupakan acuan pelayanan pasca salin yang penting dilakukan. Untuk skrining ini dapat
diperggunakann beberapa kuesioner dengan alat bantu. Edinburgh Postnatal Depression Scale
(EPDS) merupakan kuesioner dengan validasi yang teruji yangdapat mengukur intensitas
perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca persalinan.Pertanyaan-pertanyaannya
berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah serta mencakup hal-hal
lain yang terdapat pada postpartum blues.Kuesioner ini terdiri dari 10 pertanyaan, dimana
setiap pertanyaan memiliki 4 pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih
salah satu sesuai dengangradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin. Pertanyaan harus
dijawab sendiri oleh ibu. Nilai maksimal adalah 30, dan ibu yang memiliki skor diatas 10
memiliki risiko untuk mengalami baby blues syndrome. EPDS tidak dapat mendeteksi
kelainan neurosis, pphobia, kecemasan atau kepribadian, namun dapat dilakukan sebagai alat
untuk mendeteksi adanya kemungkinan depresi atepartum. Sensitifitas dan spesifisitas EPDS
sangat baik. (Girsang, B.M, 2015).

Tatalaksana
Disebabkan keparahan postpartum blues biasanya ringan dan menghilang secara spontan,
tidak ada perawatan khusus untuk baby blues jika tidak ada gejala yang signifikan. Gejala-
gejala yang timbul mungkin menyebabkan penderitaan, tetapi biasanya tidak mempengaruhi
kemampuan ibu untuk berfungsi dan merawat bayinya. Empati dan dukungan keluarga serta
staf kesehatan diperlukan. Wanita dengan riwayat penyakit jiwa, terutama depresi postpartum
harus dipantau lebih dekat karena mereka berisiko lebih tinggi untuk terkena penyakit nifas
yang signifikan (Ningrum,2017)

PSIKOSIS POST PARTUM


Definisi
Psikosis post partum (kadang-kadang disebut psikosis puerplural adalah suatu contoh
gangguan psikotik yang tidak tergolongkan yang terjadi pada perempuan yang baru saja
melahirkan bayi. Sindrrom ini paling sering ditandai pada perempuan yang bbaru saja
melahirkan bayi. Sindrom ini paling sering ditandai dengan depresi ibu, waham, dan pikiran
membahayakan bayinya. Ide bunuh diri atau pembunuhan terhadap bayi harus terus dipantau
dengan ketat. Sebaagian besar data yang tersedia menunjukkan hubungan dekat antara
psikosis post partum den gangguan mood, terutama gangguan bipolar dan gangguan depresif
mayor . (Elvira, Ismail, Moegni, & Herqutanto, 2013).

Etiologi
Penurunan cepat tingkat reproduksi hormon yang terjadi setelah melahirkan dikatan dapat
berkembang menjadi depresi pada wanita dengan depresi post partum. Penuruan hormin
progesteron signifikan berhubungan dengan perubahan suasana hati dengan sebuah pengaruh
tambahan pada pola makan. Pada studi lainnya, didapatkan peningkatan serum Cu yang
sejalan dengan terjadinya inflamasi atau disregulasi autoimun. Ketika tingkat inflamasi
tinggi, penderita akan mengalamai gejala depresi seperti lemas, dan lesu. Kedua, inflamasi
akan meningkatkan level kortisol dan akirnya akan menurunkan serotonin dengan
menurunkan prekursornya, yaitu trypthopan

Walaupun penyebab depresi cenderung pada tingkat penurunan hormon, beberapa faktor lain
mungkin menjadi penyebab terjadinya depresi post partum. Kejadian stress dalam hidup,
riwayat depesi post partum. Kejadian stress dalam hidup, riwayat depresi sebelumnya, dan
riwayat keluarga yang mengalami gangguan mood, semua dikenal sebagai prediktor depresi
mayor pada manusia. (Nasri, Wibowo, & Ghozali, 2017).

4 faktor penyebab depresi postpartum sebagai berikut:

a. Faktor konstitusional
Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat obstetri pasien
yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi dari
kehamilan dan persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita primipara.
Wanita primipara lebih umum menderita blues karena setelah meahirkan wanita
primipara berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri
begitu bayi lahir jika ibu tidak paham perannya ia akan menjadi bingung sementara
bayinya harus tetap dirawat.
b. Faktor fisik
Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan mental selama
2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor ffisik dihubungkan dengan kelahiran
pertama merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis setelah
melahirkan dan periode laten selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya
gejala. Perubahan ini sangat berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron
naik dan estrogen yang turun secara cepat setelah melahirkan merupakan faktor
penyebab yang sudah pasti
c. Faktor psikologis
Peralihan yang cepat dari keadaan “ dua dalam satu” pada akhir kehamilan menjadi
dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian psikologis individu.
Manifestasi Klinis
Pada psikosis post partum dapat terjadi dalam jangka waktu setahun setelah melahirkan anak.
Namun awalnya sering terjadi pada minggu kedua atau minggu ketiga setelah persalinan.
Gejala yang khas pada psikosis post partum yaitu:

1. Agitasi
2. Gelisah
3. Emosi yang labil
4. Kegimbiraan yang berlebihan
5. Insomnia
6. Menangis
7. Bingung
8. Dan lama-kelamaan akan timbul episode psikotik yang gawat dengan gambaran
mania dan delerium
Waham dapat timbul pada 50% pasien dan halusinasi pada sekitar 25% keluhan
berkenaan dengan ketidak mampuan bergerak, berdiri, dan berjalan juga sering
ditemukan (Wahyuni, 2014).
Pasien dapat mempunyai perasaan tidak ingin merawat bayinya, tidak mencintai bayi,
dan pada beberapa kasus ingin melukai bayi dan atau dirinya sendiri. Materi waham
melibatkan ide bahwa bayi mati atau catat. Pasien dapat menyangkal kelahiran dan
mengekspresikan pikiran bahwa dia tidak menikah, masih perawan, tersiksa,
dipengaruhi atau suka melawan. Halusinasi dengan tema yang sama dapat berupa
suara yang memberitahu pasien agar membunuh bayinya (Wahyuni, 2014).

Kriteria diagnosis
Dalam DSM-V, psikosis postpartum diklasifikasikan sebagai “short psychotic disorder” pada
bagian spectrum schizophrenia dan gangguan psikotik lain. Diagnosis dapat ditegakkan bila
psikosis terjadi dalam waktu singkat dengan kelahiran anak. Gejala khas mencakup waham,
defisit kognitif, gangguan motilitas, kelainan mood, dan kadang-kadang halusinasi. (Yustin
Marinta, 2019).

Tatalaksana
Psikosis post partum merupakan kegawat daruratan psikiatri sehingga memerlukan perawatan
rumah sakit segara. Tingginya angka bunuh diri dan bunuh bayi sehingga memerlukan
penanganan agresif dirumah sakit. Penggunaan agen mood-stabilizing sebagai rencana terapi
dan segera diberikan sebagai terapi inisiasi serta agen antipsikotik. Beberapa klinis
merekomendasikan penggunaan antipsikotik seperti perphenazine, haloperidol, atau
fluphenazine karena lebihpaten dan memiliki efek sedasi yang kurang. Penggunaan
antipsikotik atipikal juga dapat digunakan seperti olanzepine dan riperidone. Gejala depresi
mungkin muncul setelah fase mania/ psikotik terkontrol. Pemberian anti depresan perlu
mendapatkan perhatian karena dosis yang cepat ditingkatkan dapat mempresipitasi
munculnya hipomania. (Nasri, Wibowo, & Ghozali, 2017).

Diagnosis Multiaksial Kasus Pada Skenario


Aksis I : F53.0 Post Partu Depression

Aksis II : Tidak Ada Diagnosis

Aksis III : Tidak Ada Diagnosis

Aksis IV : Permasalahan Psikososial (Ayah Bayi Tidak Tanggung Jawab Melarikan Diri Dan
Tidak Support Dari Keluarga)

Aksis V : GAF 50-41 Gejala Dan Disabilitas Berat


KESIMPULAN

Proses adapatasi psikologi sudah terjadi selama kehamilan,menjelang proseskehamilan


maupun setelah persalinan. Pada periode tersebut kecemasan seorang wanita dapat
bertambah. Pengalaman yang unik dialami oleh ibu setelah persalinan. Masa nifas merupakan
masa yang rentan dan terbuka untuk bimbingan dan pembelajaran. Perubahan peran seorang
ibu memerlukan adaptasi. Tanggung jawab ibu mulai bertambahGangguan psikologi post
partum diantaranya depresi post parum, post partum blues, dan post partum psikosa.

Post Partum Blues (PBB) sering juga disebut sebagai maternity blues atau baby blues
dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan efek ringan yang sering tampak dalam minggu
pertama setelah persalinan Depresi post partum adalah tekanan jiwa sesudah melahirkan
mungkin seorang ibu bru akanmerasa benar-benar tidak berdya dan merasa serba kurang
mampu,tertindih oleh beban terhadap tangung jawab terhadap bayi dan keluarganya,tidak
bisa melakukan apapuan untuk menghilangakan perasaan itu. Depresi post partum dapat
berlangsung selama 3 bulan atau lebih dan berkembang menjadi depresi lain lebih berat atau
lebih ringan. Gejalanya sama saja tetapi di samping itu,ibu mungkin terlalu memikirkan
kesehatan bayinya dan kemampuanya sebagai seorang ibu
DAFTAR PUSTAKA
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ - III dan DSM -
5. In Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ - III dan DSM - 5.

Stewart, D. E., & Vigod, S. (2016). Postpartum Depression. New England Journal of
Medicine

Guille, C., Newman, R., Fryml, L. D., Lifton, C. K., & Epperson, C. N. (2013). Management
of postpartum depression. Journal of Midwifery and Women’s Health.

Gondo, H. K. (2012). Skrining Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) Pada


Postpartum Blues. Jurnal Ilmiah Kedokteran

Wahyuni, S. M. S. (2014). Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Depresi


Postpartum. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan

Soep, S. (2011). Penerapan Edinburgh PostPartum Depression Scale Sebagai Alat Deteksi
Risiko Depresi Nifas pada Primipara dan Multipara. Jurnal Keperawatan Indonesia

Dewi, N. W. (2018). Penyembuhan Baby Blues Syndrome Dan Post-Partum Depression


Melalui Chandra Namaskara Dan Brahmari Pranayama . Yoga dan Kesehatan Volume 1,
No.1, Maret 2018

Girsang , B. M., Novalina, M., & Jaji. (2015). Pengaruh Psikoedukasi Terhadap Tingkat
Postpartum Blues Ibu Primipara Berusia Remaja . Jurnal Keperawatan Soedirman (The
Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.2,

Ningrum, S. P. (2017). Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Postpartum Blues.


Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol. 4, No. 2, 205 – 218 .

Elvira, S. D., Ismail, R. I., Moegni, F., & Herqutanto. (2013). Deteksi, Pencegahan dan Tata
Laksana Depresi pada Ibu Hamil dan Pascapersalinan. Majalah Kedokteran Indonesia,

Nasri, Z., Wibowo, A., & Ghozali, E. W. (2017). Faktor Determinan Depresi Postpartum di
Kabupaten Lombok Timur. Biuletin Penelitian Sistem Kesehatan

Wahyuni, S. M. S. (2014). Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Depresi


Postpartum. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai