Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN STATUS IBU BEKERJA, POLA ASUH MAKAN,


PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA ANAK PICKY EATER

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi nilai mata kuliah Seminar Proposal

Tahun Ajaran 2019/2020

Disusun oleh:

Frizma Yuanita Pangestuti 6511417046

PROGRAM STUDI GIZI


JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
April
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Usia anak prasekolah (3-6 tahun) (Dewi, Oktiawati, Saputri, 2015) dapat disebut
sebagai usia emas atau golden age periode yaitu masa yang penting untuk
mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangannya. Pada usia ini, anak sedang
mengalami fase pertumbuhan yang pesat meliputi pertambahan berat badan, tinggi
badan, dan perkembangan pada organ-organ anak (Khomsan et al, 2013), sehingga
diperlukan dukungan gizi yang cukup melalui asupan energi dan zat gizi lainnya untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak hingga memiliki status gizi yang
cukup baik.

Anak usia prasekolah rentan memiliki permasalahan gizi yang salah satu faktornya
dipengaruhi oleh perilaku picky eater. Perilaku picky eater dapat diartikan sebagai
keengganan untuk mencoba makanan baru, tidak menyukai jenis makanan tertentu, serta
memiliki pendapat yang kuat tentang makanan yang mengakibatkan mengonsumsi
makanan dalam jumlah kecil dan terbatas jenisnya (Goncalves et al, 2013). Perilaku
picky eater sering terjadi dalam perkembangan perilaku makan anak. Beberapa
penelitian menyebutkan banyak anak yang mengalami kesulitan makan, terutama pada
anak balita.

Umumnya anak yang berperilaku picky eater akan dijumpai inadekuasi asupan
makanan yang menyebabkan terjadinya defisiensi zat gizi dalam tubuh atau lebih
berisiko memiliki berat badan rendah (Ekstein, 2010). Penelitian Uwaezuoke et al.
(2016) menyebutkan bahwa anak picky eater seringkali menolak mengonsumsi pangan
yang beragam, khususnya pangan sumber zat gizi mikro seperti buah, sayur, dan daging.
Anak yang picky eater cenderung memiliki angka konsumsi energi, protein, lemak yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan anak yang tidak berperilaku picky eater.

Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi picky eater cukup tinggi di beberapa


negara. Jani et al. (2014) menunjukkan bahwa prevalensi picky eater anak usia 1-5
tahun di Australia mencapai 34.1%. Prevalensi picky eater di Belanda sebesar 5.6%
pada anak usia 4 tahun dan 27.6% pada anak usia 3 tahun (Cardona et al. 2015).
Penelitian mengenai picky eater di negara China menunjukkan bahwa prevalensi picky
eater anak usia 3-7 tahun yaitu sebesar 54% (Xue et al. 2015). Menurut Priyanti (2013),
prevalensi anak picky eater di Indonesia yang terjadi pada anak sebanyak 20%,
sedangkan di Semarang ditemukan 60,3% anak mengalami picky eater (Kusuma et al.
2015).

Kejadian picky eater dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor makanan,
komunikasi yang tidak berjalan baik saat makan, pengaruh sosial, nafsu makan, dan
pola asuh makan orang tua beserta dengan pengawasannya. Faktor spesifik seperti tidak
diberikannya ASI eksklusif, keterlambatan dalam pemberian makanan pendamping ASI
kemungkinan juga dapat menyebabkan picky eater. Penelitian Rosita et al. (2014)
menyebutkan, perilaku picky eater pada anak prasekolah disebabkan oleh faktor
psikologi orang tua seperti memaksa atau menghukum anak ketika menolak untuk
makan, faktor makanan yang tidak menarik, serta faktor kesehatan seperti gangguan
saluran pencernaan. Nowicka et al. (2015) menyebutkan juga pola asuh makan orang
tua berhubungan dengan perilaku makan pada anak.

Orang tua terutama ibu memiliki peran penting dalam menyiapkan dan
menyediakan makanan kepada anaknya. Ibu yang bekerja dengan yang tidak bekerja
memiliki perbedaan ketersediaan waktu. Ibu yang tidak bekerja relatif akan memiliki
waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan anaknya dan mengatur pola makan
anak mereka. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu adanya penelitian lebih
lanjut mengenai anak picky eater beserta hubungannya dengan status ibu bekerja, pola
asuh makan, dan pemberian ASI eksklusif pada anak prasekolah.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Perilaku picky eater atau memilih-milih makanan dapat mempengaruhi status
gizi anak akibat dari asupan makanan dan zat gizi yang inadekuat. Beberapa negara
menunjukkan prevalensi anak picky eater yang cukup tinggi. Di Indonesia sebanyak
20% anak memiliki perilaku picky eater.

1.2.2 Semarang menjadi salah satu daerah dengan prevalensi anak picky eater yang
cukup tinggi yaitu sebanyak 60,3%.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
Bagaimana Hubungan Status Ibu Bekerja, Pola Asuh Makan, Pemberian ASI Eksklusif
pada Anak Picky Eater
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan status ibu
bekerja, pola asuh makan, pemberian ASI eksklusif pada Anak Picky Eater
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Penulis
Sebagai tambahan wawasan, pengetahuan dan keterampilan penulis dalam
melakukan penelitian khususnya mengenai perilaku anak picky eater.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Sebagai bahan masukan serta informasi penting untuk masyarakat terutama Ibu
untuk memperbaiki pola asuh makan, pemberian ASI eksklusif pada anak yang
memilih-milih makanan agar mencapai status gizi yang baik.
1.4.3 Bagi Peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian dan
sumber informasi, serta dapat meningkatkan minat peneliti untuk mengkaji terkait
perilaku picky eater pada anak di Indonesia
1.4.4 Bagi Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Keolahragaan UNNES
Dapat dijadikan sebagai bahan tambahan informasi dan kepustakaan dalam
mengembangkan prodi Ilmu Gizi.

1.5 Keaslian Penelitian


Tabel 1. Matrik Keaslian Penelitian

No Judul Penelitian Nama Tahun Rancangan Variabel Hasil Penelitian


Peneliti dan Penelitian Penelitian
Tempat
Penelitian

1 Analisis Preferensi Rima Fais 2017, Cross Pengetahuan Perilaku picky


Pangan, Naini Bogor Sectional Ibu, Pola Asuh eater tidak
Pengetahuan Gizi Makan Ibu, memiliki
Ibu, Pola Asuh Preferensi hubungan yang
Makan, dan Status Pangan Anak, signifikan terhadap
Gizi Pada Anak Status Gizi preferensi pangan
Picky Eater dan status status
gizi (p>0.05).

2 Status Gizi Balita Hapsari 2015, Cross Status pemilih Tidak ada
Berbasis Status Sulistya Semarang Sectional makan, status hubungan antara
Pemilih Makan di Kusuma, gizi status pemilih
Wilayah Kerja Nura makan dengan
Puskesmas Mashumah status gizi
Kedungmundu pada balita di
Semarang wilayah kerja
Puskesmas
Kedungmundu
Semarang.

Tabel 2. Matrik Perbedaan

No Perbedaan Rima Fais Naini Sulistya Kusuma, Frizma Yuanita


Nura Mashumah

1 Judul Analisis Preferensi Status Gizi Balita Hubungan Status Ibu


Pangan, Pengetahuan Berbasis Status Pemilih Bekerja, Pola Asuh
Gizi Ibu, Pola Asuh Makan di Wilayah Kerja Makan, Pemberian ASI
Makan, dan Status Puskesmas Kedungmundu Eksklusif Pada Anak
Gizi Pada Anak Picky Semarang Picky Eater
Eater

2 Tahun dan 2017, Bogor 2015, Semarang 2020, Semarang


tempat penelitian

3 Rancangan Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional


Penelitian

4 Variabel Pengetahuan Ibu, Pola Status pemilih makan, Status Ibu Bekerja, Pola
Penelitian Asuh Makan Ibu, status gizi Asuh Makan, Pemberian
Preferensi Pangan ASI Eksklusif
Anak, Status Gizi

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


1.6.1 Ruang Lingkup Tempat
Penelitian ini dilakukan di beberapa taman kanak-kanak di Kota Semarang
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu
Penelitian dilakukan dari bulan Januari-Maret 2020
1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan
Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Gizi khususnya perilaku anak
picky eater
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Picky Eater
Proses tumbuh dan berkembangnya anak berkaitan dengan asupan zat gizi yang
dikonsumsi setiap hari dari makanan. Manusia perlu mengonsumsi makanan yang
beragam untuk mencukupi semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Namun
kebutuhan zat gizi tidak akan terpenuhi apabila muncul perilaku picky eater. Masalah
picky eating yang lebih parah dikenal dengan neophobic, fussy eater, pemilih, dan
masalah makan.
Perilaku picky eater didefinisikan sebagai keengganan untuk mencoba makanan
baru (food neophobia), tidak menyukai jenis makanan tertentu, serta memiliki pendapat
yang kuat tentang makanan yang mengakibatkan mengonsumsi makan dalam jumlah
kecil dan dalam jenis makanan yang terbatas sehingga dapat mengakibatkan
pertumbuhan anak terganggu (Goncalves et al. 2013). Pendapat lain menggambarkan
picky eater sebagai perilaku makan sedikit sekali jenis makanan (pemilih), makan dalam
jumlah sedikit, makan lambat, dan tidak tertarik terhadap makanan (Ekstein, 2010).
2.1.2 Gejala Picky Eater
Perilaku memilih-milih makanan atau picky eating ditandai oleh sikap menolak
beberapa jenis makanan, hanya mau memakan makanan tertentu, food neophobia,
membatasi konsumsi kelompok pangan tertentu, dan preferensi pangan yang kuat. Anak
picky eater seringkali menolak mengonsumsi pangan yang beragam, khususnya pangan
sumber zat gizi mikro seperti buah, sayur, dan daging (Uwaezuoke et al. 2016).
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Picky Eater
Perilaku memilih-milih makanan atau picky eater seringkali ditemukan pada
balita, penyebab dari perilaku picky eater bersifat multifaktoral diantara lain faktor
organik (kelainan organ-organ yang berhubungan dengan proses makan), faktor
organoleptik dan faktor psikologik. Menurut sumbernya, penyebab perilaku picky eater
pada anak dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor anak, faktor orang tua dan
faktor lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku picky eater sebagai
berikut :
2.1.3.1 Nafsu makan
Penelitian menyebutkan perilaku pilih-pilih makan atau picky eater pada anak
terjadi karena selera makan anak yang mulai berkembang dan kecenderungan mulai
menyukai makanan atau rasa tertentu, rasa bosan pada hidangan yang kurang bervariasi
dan kebiasaan makan keluarga yang suka pilih-pilih makanan. Menurut Sulistyoningsih
(2011), sulit makan merupakan ciri khas dari anak prasekolah dan juga anak sekolah,
karena pertumbuhan mereka lebih lambat dibandingkan pada saat mereka bayi. Nafsu
makan anak bergantung pada aktivitas dan kondisi kesehatan mereka. Hal-hal yang
menjadi penyebab anak sulit makan diantaranya adalah anak mengalami infeksi, anak
terlalu aktif sehingga menjadi kelelahan, anak telah merasa kenyang tetapi tetap dipaksa
untuk menghabiskan makanan, waktu makan yang tidak menyenangkan, anak sedang
terganggu secara emosional. Hasil penelitian Rosita et al. (2014) menyebutkan,
sebagian besar masalah sulit makan pada anak prasekolah disebabkan oleh faktor
makanan yang tidak menarik.
2.1.3.2 Pola Asuh Makan Orang Tua
Munculnya perilaku picky eater kemungkinan disebabkan oleh faktor seperti
praktek pola asuh makan orang tua (Taylor et al. 2015) termasuk pengawasan orang tua.
Menurut Nowicka et al. (2015), pola asuh makan orang tua berhubungan dengan
perilaku makan pada anak. Orang tua cenderung memaksa anak yang tidak nafsu makan
agar anak mau menghabiskan makanannya. Penelitian serupa yang dilakukan oleh
Priyanti (2013) dan Anggraini (2014) menyebutkan bahwa perilaku makan orang tua
berpengaruh terhadap kejadian picky eater, memiliki tingkat hubungan yang kuat
dengan kejadian sulit makan (picky eater) pada anak usia toddler, seperti tidak
memperhatikan jadwal makan serta kandungan gizi yang terdapat pada makanan.
Umumnya praktik pola asuh makan terdiri atas pemberian makan sesuai umur
dan kemampuan anak, kepekaan ibu mengetahui kapan anak membutuhkan makan,
upaya meningkatkan nafsu makan anak, dan menciptakan situasi makan yang baik
seperti memberi rasa nyaman saat makan (Putri dan Kusbaryanto 2012). Kurangnya
dukungan dan pengasuhan orang tua dapat mengakibatkan kelainan perilaku makan.
Pola asuh makan ketika anak mendapatkan pengawasan dan dorongan yang tinggi
berhubungan dengan konsumsi buah sayur anak yang tinggi, serta berkurangnya risiko
obesitas (Preedy, 2011).
2.1.3.3 Pengetahuan Gizi Ibu
Pola asuh makan dipengaruhi oleh pengetahuan gizi orang tua. Ibu yang
memiliki pengetahuan gizi yang baik lebih memungkinkan untuk mampu menerapkan
pengetahuan gizinya dalam kehidupan sehari-sehari, sehingga hal ini akan berpengaruh
terhadap pola asuh makan ibu. Salah satu peran ibu dalam menunjang pertumbuhan
anak adalah memberikan pola asuh makan yang baik. Menurut Handarsari et al. (2010),
kejadian kurang dapat diminimalisir dengan mempunyai pengetahuan gizi yang cukup.
Umumnya Ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki pengetahuan gizi
yang lebih baik sehingga mudah menerima hal-hal baru yang berpengaruh terhadap
sikap positif.
2.1.3.4 Status Ibu Bekerja
Dunia kerja akan mengubah peran ibu dalam mengasuh anak. Status pekerjaan
ibu menentukan perilaku ibu dalam pemberian nutrisi kepada balita. Dampak dari ibu
bekerja juga tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakukan ibu. Ibu yang bekerja
umumnya memiliki waktu yang lebih sedikit untuk mengasuh anaknya dibandingkan
dengan Ibu yang tidak bekerja. Ibu yang bekerja berdampak pada rendahnya waktu
kebersamaan ibu dengan anak sehingga asupan makan anak tidak terkontrol dengan
baik dan juga perhatian ibu terhadap perkembangan anak menjadi berkurang
(Kusumanti, 2014). Ibu yang bekerja dengan jam kerja dari pagi sampai sore
mengakibatkan ibu tidak mempunyai banyak waktu untuk memperhatikan makanan
dan kebutuhan nutrisi anaknya.
2.1.3.5 Pemberian ASI Eksklusif
Beberapa faktor spesifik yang turut berpengaruh misalnya ibu tidak memberikan
ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) sebelum bayi berusia 6
bulan, dan keterlambatan pengenalan MP ASI. Perilaku picky eating dapat terjadi pada
anak perempuan ataupun laki-laki. Perilaku makan yang baik saat kehamilan turut
berkaitan dengan rendahnya kesulitan makan pada anak (Taylor et al. 2015).
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa anak picky eater diberi ASI kurang dari 6
bulan. Perilaku picky eater dibentuk karena anak terlalu dini mengenal makanan. Anak
yang menyusu ASI cenderung tidak pemilih karena anak sudah dikenalkan dengan
variasi ras melalui ASI. Selain itu, mereka juga membangun pola interaksi ibu dan anak
yang beragam selama proses menyusi daripada anak yang mengonsumsi susu formula.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa semakin lama ibu menyusui, semakin
rendah mereka memaksa anaknya makan pada usia satu tahun. Begitu juga ibu yang
memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan akan lebih rendah dalam memaksa anaknya
untuk makan pada usia satu tahun. Perilaku positif dari menyusui tersebut dapat
mengurangi terjadinya picky eater pada anak (Taveras, 2004).
2.1.3.6 Penurunan Laju Pertumbuhan
Penurunan laju pertumbuhan pada anak prasekolah mempengaruhi nafsu makan
anak sehingga dapat menyebabkan anak menjadi picky eater. Penelitian menyebutkan
ketika anak memasuki usia pra sekolah maka laju pertumbuhan anak mulai melambat
dan cenderung stabil hingga memasuki usia pubertas (Sutarjo, 2011) terlihat dari
pertambahan berat badan anak yang tidak pesat seperti sebelumnya yaitu hanya 2 kg
dan pertambahan tinggi badan 7 cm per tahun.
Penurunan laju pertumbuhan akan mengakibatkan terjadinya penurunan
kebutuhan zat gizi anak (Wardlaw dan Hamp, 2007). Anak tidak lagi membutuhkan zat
gizi sebanyak ketika masa bayinya. Sehingga nafsu makan dan ketertarikan anak
terhadap makanan ikut menurun pula.
2.1.3.7 Perilaku Makan Orangtua
Pada usia pra sekolah, anak mulai belaja untuk bisa makan sendiri dan
mempunyai preferensi terhadap makanan yang akan dikonsumsinya. Selain itu, anak
juga mampu menunjukkan pilihannya mengenai apa yang disukai dan tidak disukainya.
Dengan itu maka dibutuhkan contoh yang dapat menunjukkan dan mengarahkan
perilaku makan yang baik bagi anak. Orangtua, terutama ibu, merupakan orang terdekat
yang banyak berinteraksi dengan anak. Anak-anak sangat mudah menerima
pembelajaran dengan mengamati perilaku orangtua atau teman sebayanya (Gibson,
2016), sehingga orang tua memegang peranan yang penting dalam memberikan contoh
dan dorongan untuk berperilaku makan yang baik pada anak.
2.1.4 Dampak Picky Eater
Perilaku anak memilih-milih makanan tidak hanya berdampak pada aktivitas
sehari-hari namun juga berdampak pada kesehatan anak. Picky eater adalah salah satu
risiko terjadinya gizi kurang atau malnutrisi karena asupan anak picky eater cenderung
inadekuat (Jansen et al. 2012). Anak lebih berisiko juga memiliki berat badan kurang,
kenaikan berat badan inadekuat dan kekurangan zat gizi. Hal ini dikarenakan anak yang
memiliki perilaku picky eater asupan energi, protein, karbohidrat, vitamin dan
mineralnya lebih rendah jika dibandingkan dengan anak non picky eater (Xue et al.
2015). Dampak yang terjadi adalah tumbuh kembang anak yang terhambat. Malnutrisi
juga memperlambat proses penyembuhan penyakit akibat imun yang melemah.
Menurut penelitian Barse et al. (2015), fussy eater atau anak pemilih makanan
memiliki perilaku menolak untuk mencoba makanan baru (food neophobia) dan
makanan yang tidak asing contohnya sayuran. Perilaku menolak tersebut dapat
menyebabkan kesehatan dan pertumbuhan terganggu akibat kecukupan zat gizi yang
tidak terpenuhi. Dampak gangguan makan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dampak
jangka pendek dan dampak jangka panjang.
1. Dampak jangka pendek
a) Motilitas gastrointestinal yang lambat dan konstipasi, gambaran fungsi hati
yang abnormal
b) Peningkatan kadar urea darah, serta peningkatan risiko terbentuknya batu ginjal
c) Lekopeni, anemia defisiensi besi, dan trombositopeni.
2. Dampak jangka panjang
a) Pubertas terlambat
b) Pertumbuhan terlambat dan perawakan pendek
c) Gangguan pembentuka mineral tulang (osteopeni, osteoporosis)
d) Gangguan psikologi (cemas dan depresi)
2.1.5 Pedoman Pemberian Makan (Basic Feeding Rules)
Pemberian makan merupakan bentuk komunikasi, pembelajaran, dan bentuk
kasih sayang antara orangtua dan anak, sehingga tercipta suasana yang menyenangkan
saat proses makan berlangsung. Menurut Bernard (2006) dalam Rekomendasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia “ Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan pada
Batita di Indonesia” terdpaat pedoman pemberian makan yang dikenal dengan basic
feeding rules yaitu :
a) Jadwal
Ada jadwal makanan utama dan makanan selingan (snack) yang teratur, yaitu
tiga kali makanan utama dan dua kali makanan kecil di antaranya. Susu dapat diberikan
dua – tiga kali sehari. Waktu makan tidak boleh lebih dari 30 menit. Hanya boleh
mengonsumsi air putih di antara waktu makan
b) Lingkungan
Lingkungan yang menyenangkan (tidak boleh ada paksaan untuk makan). Tidak
ada distraksi (mainan, televisi, perangkat permainan elektronik) saat makan. Jangan
memberikan makanan sebagai hadiah.
c) Prosedur
Dorong anak untuk makan sendiri. Bila anak menunjukkan tanda tidak mau
makan (mengatupkan mulut, memalingkan kepala, menangis), tawarkan kembali
makanan secara netral, yaitu tanpa membujuk ataupun memaksa. Bila setelah 10-15
menit anak tetap tidak mau makan, akhiri proses makan.
2.2 Kerangka Teori

Faktor Predisposisi

1. Laju pertumbuhan
menurun

2. Nafsu makan

3. Perkembangan

Faktor Pemungkin

1. Perilaku makan orang


tua
PICKY EATER
2. Status Ibu Bekerja

3. Pemberian ASI
Eksklusif

Faktor Penguat

1. Pengetahuan Orangtua

2. Pola asuh makan orang


tua

Anda mungkin juga menyukai