Anda di halaman 1dari 8

HAKIKAT KITA SEBAGAI MANUSIA

Pada awalnya, kita akan melihat ayat-ayat Allah yang memuliakan


manusia. Terdapat beberapa kriteria ayat di Al-Qur’an yang
menjelaskan kemuliaan manusia dalam penjelasannya. Berikut
beberapa arti dari ayat-ayat yang menerangkan hal tersebut.

Allah tidak menciptakan sesuatu kecuali yang terbaik.

“Sungguh, Kami telah Menciptakan manusia dalam bentuk yang


sebaik-baiknya”(At-Tin 4)

Yang Memperindah segala sesuatu yang Dia Ciptakan dan yang


Memulai penciptaan manusia dari tanah,(As-Sajdah 7)

“(Itulah) ciptaan Allah yang Mencipta dengan sempurna segala


sesuatu.”(An-Naml 88)

“Allah-lah yang Menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap


dan langit sebagai atap, dan Membentukmu lalu Memperindah
rupamu.”(Ghofir 64)

“Dia Menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia
Membentuk rupamu lalu Memperbagus rupamu, dan kepada-Nya
tempat kembali.”(At-Taghobun 3)

“Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.”(Al-Mukminun 14)

Allah menyusun manusia dengan bentuk yang terbaik.

“Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat


durhaka) terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pengasih. Yang telah
Menciptakanmu lalu Menyempurnakan kejadianmu dan Menjadikan
(susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang
dikehendaki, Dia Menyusun tubuhmu.”(Al-Infithor 6-8)

“Dari apakah Dia (Allah) Menciptakannya? Dari setetes mani, Dia


Menciptakannya lalu menentukannya.”(Abasa 18-19)

“Dia Menciptakan segala sesuatu, lalu Menetapkan ukuran-ukurannya


dengan tepat.”(Al-Furqon 2)

Allah membimbing manusia sampai kepada puncak kesempurnaan.

Dia (Musa) menjawab, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah


Memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian
Memberinya petunjuk.”(Thoha 50)

“Dan Kami telah Menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan


kejahatan).”(Al-Balad 10)

“Sungguh, Kami telah Menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada


yang bersyukur dan ada pula yang kufur.”(Al-Insaan 3)

“Maka Dia Mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan


ketakwaannya,”(As-Syams 8)

Manusia dimuliakan oleh Allah diatas segalanya.

“Dan sungguh, Kami telah Memuliakan anak cucu Adam, dan Kami
Angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami Beri mereka rezeki dari
yang baik-baik dan Kami Lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang
Kami Ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”(Al-Isra’ 70)

“Yang telah Mengajarkan al-Quran. Dia Menciptakan manusia,


Mengajarnya pandai berbicara.”(Ar-Rahman 2-4)

“Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”(Al-Alaq 5)


Allah ciptakan segalanya untuk manusia.

“(Dia-lah) yang Menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit


sebagai atap, dan Dia-lah yang Menurunkan air (hujan) dari langit, lalu
Dia Hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki
untukmu.”(Al-Baqarah 22)

“Allah-lah yang telah Menciptakan langit dan bumi dan Menurunkan


air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia
Mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia
telah Menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan
Kehendak-Nya, dan Dia telah Menundukkan sungai-sungai bagimu.
Dan Dia telah Menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-
menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan malam
dan siang bagimu.”(Ibrahim 32-33)

“Dan Dia telah Memberikan kepadamu segala apa yang kamu


mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah,
niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia
itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”(Ibrahim 34)

Kita telah melihat banyak ayat mengenai kemuliaan manusia di sisi


Allah SWT. Begitu banyak ayat yang meletakkan posisi manusia diatas
makhluk yang lain. Semoha hal ini dapat menjadi motivasi bagi kita
semua untuk dapat senantiasa melatih diri ini agar menjadi pribadi
yang baik serta disayang oleh Allah SWT. Amin

Konsep Manusia merupakan salah satu di antara tema sentral yang


dibicarakan di dalam al-Qur’an. Hal ini terindikasi dari beberapa kata
yang terdapat di dalam al-Qur’an yang itu semua berpulang pada
makna dan tema yang satu, yaitu membicarakan manusia. Setidaknya
ada empat kata di dalam al-Qur’an yang mewakili makna manusia:
pertama, al-basyar, kedua an-nas, ketiga al-ins dan keempat al-insan.
Meskipun memiliki makna yang sama, bukan berarti keempat kata
tersebut tidak memiliki unsur-unsur yang berbeda.

Sebab, dalam kaidah dasar ulum al-Qur’an menetapkan bahwa ayat al-
Qur’an terlepas dari pemaknaan berulang-ulang secara sia-sia.

Konsep Al-Basyar

Secara Bahasa, kata al-basyar berasal dari kata basyara-basyran. Di


antara makna dari kata tersebut adalah mengupas.

Pemaknaan kata mengupas tersebut, -jika kita merujuk kepada makna


yang diberikan oleh al-Ashfahani di dalam mufradat al-alFazhal-Qur’an-
dikarenakan kata basyar bisa menjadi al-bisyrah atau al-basyarah yang
artinya kulit yang tampak. Beberapa ahli bahasa kemudian
menjelaskan kenapa manusia disebut dengan kata basyar, karena
secara fisik kulit manusia lebih tampak dari pada rambut/bulu-bulunya.
Berbeda dengan hewan yang lebat bulunya atau sama sekali tidak
memiliki bulu.

Makna al-Qur’an: Berangkat dari makna bahasa ini, maka secara umum
ayat yang menggunakan kata al-basyar menunjukkan manusia secara
fisik. Seperti pada firman Allah surat al-Furqan: 54 dan Shaad: 71. Hal
ini diperkuat pada ayat-ayat lain yang memberikan definisi bahwa al-
basyar adalah wadah fisik yang bersifat materil, membutuhkan makan
dan minum dan menunjukkan siapa saja, baik nabi maupun orang kafir.
(al-Anbiya: 1-8)

Konsep Al-Nas

Para ahli bahasa pendapat menyatakan bahwa al-Nas berasal dari kata
unas yang berasal dari kata anisa yang artinya
jinak-menjinakkan/ramah. Hilangnya hamzah pada kata tersebut
disebabkan karena masuknya alif lam. Berbeda dengan pemaknaan
tersebut, ahli bahasa lain berpendapat bahwa asal kata an-Nas adalah
nasiya artinya lupa. Yang lain mengakarkan pada kata nasa-yanusu
artinya bergoncang. Sementara dzu nawwas artinya yang memiliki
keilmuan.

Makna al-Qur’an: Adapun jika dirujuk pada ayat-ayat yang


menggunakan lafal an-Nas, maka setidaknya didapati tiga makna
umum.

Pertama an-Nas merujuk pada makna jenis makhluk. Seperti pada


firman Allah surat al-Hujurat: 13 yang menjelaskan bahwa hakikatnya
manusia adalah makhluk yang berasal dari jiwa yang satu yaitu adam.

Konsep Al-Ins

Al-Isfahani di dalam kitabnya menyebutkan kata al-Ins memiliki akar


kata yang sama dengan al-Insan. Meski demikian, bagi al-Ashfahani al-
Ins dan al-Insan memberikan penekanan yang sama sekali berbeda.
Secara bahasa keduanya memang berasal dari alif nun dan sin, tetapi
jika di lihat pada penggunaan katanya di dalam konteks ayat-ayat maka
al-Ins, oleh beliau diartikan khilaful jinni (makhluk yang berbeda dari
jin).

Adanya makna tersebut merupakan hasil dari adanya kenyataan


bahwa kata al-Ins selalu disandingkan dengan al-Jinn tetapi tidak
menunjukkan kesamaan melainkan justru perbedaan.

Konsep Al-insan

Sementara kata al-Insan, meskipun bukan kata yang paling banyak


tersebutkan dalam al-Qur’an, tetapi memiliki porsi yang cukup luas
dalam menjelaskan konsep manusia menurut al-Qur’an. Secara
bahasa, al-Insan –sebagaimana yang dikutip oleh al-Isfhani adalah:
‫سمي بذلك ألنه خلق خلقه ال قوام له إال بإنس بعضهم ببعض‬

(Dikatakan (al-insan) karena dia adalah makhluk yang diciptakan yang


tidak bisa hidup kecuali bersama dengan manusia lainnya).

Makna al-Qur’an: Makna bahasa ini, bagi penulis kemudian


menemukan perwujudannya dalam tiga pemakanaan yang terdapat
dalam al-Qur’an. Pertama al-Insan itu menunjukkan bahwa manusia itu
diciptakan dengan bergantung kepada Allah. Kedua manusia itu
diciptakan dengan membutuhkan pengetahuan dan manusia
diciptakan dengan berbagai macam kekurangan.

Dengan adanya kesadaran tersebut, maka kata al-Insan yang


disebutkan dalam ayat yang menjelaskan proses penciptaan manusia
pada hakikatnya tidak hanya bertujuan menunjukkan manusia dari segi
fisiknya belaka, melainkan lebih kepada bagaimana manusia itu
menyadari kekuasaan Allah atas dirinyaa sehingga manusia itu
mengakui bahwa dia bergantung pada Zat yang menciptakannya.

Berhubungan dengan pemaknaan pertama, maka makna kedua bisa


dijelaskan bahwa untuk menyadari ketergantungan manusia kepada
penciptanya, maka al-Insan itu diberikan anugrah Allah berupa ilmu
pengetahuan. Sehingga harusnya pengetahuan itu menjadi kebutuhan,
di mana kebutuhan pokok dari keilmuan itu adalah untuk mengenal
Allah dan menyadari kebutuhan kita akanNya

Adapun perwujudan makna al-Insan yang ketiga di dalam al-Qur’an


adalah bahwa manusia itu makhluk yang bergantung disebabkan
manusia memiliki potensi merugi.

Kekurangan-kekurangan inilah yang sejatinya bisa menjadikan manusia


berada pada kerugian. Sementara kerugian itu disebutkan dalam al-
Qur’an dengan istilah asfala as-Safilin.
Adapun jika manusia memahami ketergantungannya kepada Allah,
kepada pengetahuan akan Allah dan segala tindakan yang bisa
menjurumuskannya dalam potensi-potensi buruk, maka manusia itu
bisa kembali pada penciptaannya yang fitrah dan unggul, atau yang
diistilahkan al-Qur’anah sanitaqwim.

Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa: Manusia


di dalam al-Qur’an diwakili dengan empat kata: al-Basyar, al-Nas, al-Ins
dan al-Insan

Al-Basyr menggambarkan manusia sebagai manusia secara fisik, wadah


materil yang butuh makan dan minum dan menunjukkan manusia jenis
apa saja, baik Nabi maupun kafir

Al-Nas memiliki tiga pemaknaan.

Pertama: menunjukkan jenis makhluk yang bernama manusia. kedua:


manusia tidak sebagai entitas secara fisik tetapi sifat-sifat. Ketiga
manusia makhluk yang berbeda karena memiliki potensi menjadi baik
dan menjadi buruk.

Makna al-Ins merujuk pada makna berbeda dari Jinn dalam arti negatif

Makna al-Insan yang merujuk pada hakikat manusia sebagai makhluk


yang diciptakan Allah, bergantung pada Allah, membutuhkan ilmu
pengetahuan untuk mematuhi Allah dan menjauhkan diri dari potensi-
potensi kerugian

Jika hendak diambil benang merah dari semua kata tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa manusia di dalam al-Qur’an tidak hanya
bersifat basyar saja. tetapi an-nas yang memiliki potensi baik dan
buruk. Hakikatnya manusia harus menjadi al-Ins yang tidak tersesat
oleh al-Jinn.
Untuk itu maka manusia harus menghayati dirinya sebagai al-Insan di
mana potensi keburukan dan kerugiannya dijauhi dengan cara
menyadari ketergantungannya kepada Allah melalui pengetahuannya
kepada Allah dan mengaplikasikan pada tindakan untuk menghindari
segala potensi keburukan dalam diri.

Anda mungkin juga menyukai