Anda di halaman 1dari 22

AKIDAH AKHLAK

Teguh, S.Ag., M.Pdi

Referensi:
AKIDAH ISLAM:
Zaky Mubarok Latif … (et al.)
UII Press
FITRAH MANUSIA
1.1 Pengertian Manusia
Manusia termasuk salah satu jenis makhluk yang
dapat diindera dengan pancaindera. Ada empat kata
dalam Al‑Quran yang dapat diartikan sebagai manusia,
yaitu: basyar, an‑nas, al‑ins/al-­insan, dan adam. Ditinjau
dari segi bahasa dan dari penjelasan Al­-Qur'an,
pengertian keempat kata tersebut berbeda. Berikut ini
penjabaran masing‑masing pengertian tersebut.
1.1.1 Basyar
Basyar adalah gambaran manusia secara materi
yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan, dan
berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia
dalam pengertian ini disebutkan di dalam Al‑Qur'an
sebanyak 35 kali di berbagai surat. Diantaranya terdapat
di dalam Surat Al‑Anbiya: 2‑3, Al‑Kahfi: 110, Ibrahim:
10, Hud: 26, Al‑Mukminun: 24 dan 33, As‑Syu'ara:93,
Yasin: 15, Al‑Isra: 93 dan lain‑lain. Dalam ayat‑ayat
Al‑Quran tersebut terlihat bahwa manusia dalam arti
basyar adalah manusia dengan sifat‑sifat kemateriannya.
1.1.2 An‑nas
Dalam Al‑Quran manusia dalam pengertian an‑nas disebutkan
sebanyak 240 kali dengan keterangan yang jelas menunjukkan
pada jenis keturunan Nabi Adam as. Diantaranya terdapat di
dalam Surat Al‑Hujarat: 13 yang berbunyi:
 
                            

                   

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu


dari seorang laki‑laki dan perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa‑bangsa dan bersuku‑suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha
Mengenal.
1.1.3 Al‑ins/Al‑insan
Kata al‑ins dan al‑insan dalam pengertian bahasa merupakan lawan
dari binatang liar. Dalam Al‑Quran, sekalipun mempunyai akar kata yang
sama, kedua kata itu mempunyai pengertian yang berbeda dan mempunyai
keistimewaan yang berbeda pula.
Kata al‑ins senantiasa dipertentangkan dengan kata al‑jinn (jin), yakni
sejenis makhluk halus yang tidak bersifat materi yang hidup di luar alam
manusia. Bintu Syati (pakar tafsir dan dosen pada Universitas Qurawiyyin di
Maroko) mengatakan bahwa jin tidak harus dipahami sebagai bayangan
yang menakutkan di kegelapan malam, walaupun lafal al‑jin pada dasarnya
berarti al‑khofa (tersembunyi), yaitu makhluk yang hidup di luar alam yang
kita lihat, dibalik alam yang dihuni manusia, dan tidak tunduk pada hukum
alam kehidupan manusia. Sementara itu, kata al‑insan bukan berarti basyar
dan bukan pula berarti al-ins.
 Dalam pemakaian Al‑Quran, kata al‑insan mengandung pengertian
makhluk mukallaf (ciptaan Tuhan yang dibebani tanggung jawab)
pengemban amanah Allah SWT dan khalifah Allah di atas bumi. Dalam
pengertian ini al‑insan ditemukan pada 65 tempat dalam AI‑Quran. Dalam
penjelasannya, ditunjukkan adanya keistimewaan terhadap ciri‑ciri manusia.
1.1.4 Adam
Di dalam AI‑Quran kata adam mempunyai pengertian manusia dengan
keturunannya yang mengandung pengertian basyar, al‑ins/al-insan dan an‑nas.
Para pemikir non muslim, berbeda‑beda dalam memberikan definisi manusia
sesuai berbagai fenomena kehidupan yang dapat ditangkapnya. Aneka pengertian
yang dimaksudkan di antaranya ialah:
Di antaranya ialah:
1. Linnasus memberikan definisi manusia sebagai “homo sapiens”, yang berarti
makhluk yang mempunyai budi (akal). Ahli agama Kristen menyebutnya “animal
rationale”, yaitu binatang yang berpikiran.
2. Revesz, dalam Das Problem des Urs prungs der Spacha, menyebutkan bahwa
manusia sebagai “homo loquen”, yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa
dan menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata‑kata yang tersusun.
3. Berqson dalam “Vevelution Creatrica”, menyebutkan manusia sebagai “homo
faber” yaitu makhluk yang “tukang”, dia pandai membuat alat perkakas. Franklin
menyebut sebagai “tool making animal”.
4. Aristoteles menyebut manusia sebagai “zoon politicon'” dan “animal ridens”,
yaitu makhluk yang memiliki rasa humor, yang “bisa bertakwa”. Manusia tidak
seperti lembu, kerbau, unta dan gajah, tidak sekuat lokomotif, traktor, buldozer,
dan kapal api atau kapal terbang, tetapi semua bekerja buat kepentingannya.
Sebab, manusia itu bisa berorganisasi dalam masyarakat, sedang binatang tidak.
5. Huizinga menyebut manusia “homo luden”, yaitu manusia yang
suka main.
6. A.J. Barnet Kempers menyebut bahwa manusia sebagai “homo
deleqaus”, yaitu makhluk yang bisa menyerahkan kerja dan
kekuasaannya pada orang lain; dia bisa berwakil, berwali.
7. Abbas Mahmud El‑Aqqod, dalam bukunya Haqaiqul Islam Wa
Abathilu Khusumihi, telah merumuskan pandangan Al ‑Qur'an
tentang manusia dengan amat baik: “Manusia adalah makhluk yang
bertanggung jawab, yang diciptakan dengan sifat ‑sifat ketuhanan.”
 
Dari berbagai definisi tersebut, maka hakikat manusia
mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
a. Manusia sebagai ciptaan Allah
b. Manusia bertanggungjawab atas segala tingkah lakunya, yang
menurut Al‑Qur'an akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
di akhirat.
c. Manusia diciptakan dengan sifat‑sifat Ketuhanan.
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Manusia, Kebenaran
Agama dan Toleransi, menyebutkan manusia sebagai makhluk
pengemban amanat dan penuh tanggungjawab. Al‑Quran dalam
banyak ayat menandaskan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Allah. Manusia diciptakan dalam konstruksi yang sebaik‑baiknya
(Q.S. At‑Tin: 4); manusia merupakan kesatuan unsur‑unsur
jasmaniah dan rohaniah (Q.S. As‑Sajadah: 7‑9); kesatuan
unsur‑unsur manusia itulah yang mempersiapkan manusia sebagai
makhluk berbudaya, mampu mengembangkan kehidupan dengan
perantaraan ilmu pengetahuan (Q.S. Al‑'Alaq : 4‑5); untuk
memungkinkan mengembangkan kehidupan sehingga manusia diberi
kemampuan mengolah alam, manusia diberi kuasa untuk menggali,
mengolah dan memanfaatkan kekayaan untuk kepentingan hidupnya
(lihat misalnya Q.S. Al‑Jatsiyah: 13); bahkan manusia diberi
kedudukan sebagai pengemban amanat untuk melaksanakan
kehidupan sesuai dengan kehendak Allah (Q.S. AI‑Ahzab ayat 72)
yang nantinya akan dimintai pertanggunganjawaban atas amanat
yang dipikulkan kepadanya (Q.S. Al‑Muddatstsir: 38).
1.2 Proses Kejadian Manusia
1.2.1 Tentang Kejadian Manusia Pertama
Kejadian manusia pertama dijelaskan dalam AI‑Qur'an sebagai
berikut:
a. Pada awalnya, manusia dijadikan seorang diri, sesudah itu Allah
menjadikan isterinya dari bahan yang sama. Dari kedua jenis
manusia inilah Allah mengembangbiakkan keturunannya sampai
jumlah yang amat banyak. Hal ini diperkuat oleh firman Allah
dalam surat An‑Nisa (4): 1 sebagai berikut:
                               

....         

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu


yang telah menciptakan kamu dari sisi yang satu, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang‑biakkan laki‑laki dan perempuan yang banyak...”
b. Jasad dibuat lebih dahulu, baru kemudian roh ditiupkan Allah ke dalamnya.
Hal ini difirmankan Allah dalam surat As‑Sajadah: 7 berbunyi:

                            

Artinya: “Dia‑lah Allah yang sebaik‑baik menciptakan segala ciptaan‑Nya


dan yang memulai penciptraan manusia dari tanah”
 
AI‑Hijr 28‑29 yang berbunyi :
                                  

                     

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat.


Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang manusia (jasmaniah) dari
tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Maka apabila telah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan padanya ruh
dari (bikinan)‑Ku, hendaklah kamu (malaikat) tunduk sujud (menghormat)
kepadanya”. (Al‑Hijr (15) : 28‑29).
As‑Sajadah :9 yang berbunyi:
                                   

     

Artinya: “Kemudian Ia sempurnakan (kejadiannya) dan Ia


tiupkan padanya sebagian dari roh (bikinan)‑Nya dan ia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi
kamu sedikit sekali bersyukur).”
 
Ditambahkan pula bahwa dalam sebuah hadis Qudsi, Allah
SWT memfirmankan yang pada intinya merupakan arti: “Tatkala
ditiupkan roh ke dalam jasad Adam, bergerak dan terbanglah roh
itu kepada Adam sehingga ia bersin dan mengucapkan “Segala puji
bagi Allah Tuhan seru sekalian alam”, lalu Allah menjawab, “Allah
memberi rahmat kepadamu”. (H.R. Ibnu Hibban, dan Al­-Hakim).
1.2.2. Kejadian Manusia Turunan Manusia Pertama
Kejadian manusia turunan manusia pertama
dijelaskan dalam Al-Qur'an sebagai berikut.
a. Keturunan manusia ini dijadikan Allah dari air mani.
Allah berfirman:
                  

Artinya: “Kemudian Ia jadikan keturunannya dari sari


pati air yang hina (air mani)” (As‑Sajadah (32): 8)
....                            

Artinya : “Dialah yang menjadikan kamu dari tanah,


kemudian dari air mani sesudah itu dari segumpal
darah” (Al‑Mu'min : 67).
b. Air mani itu bercampur dengan sel telur, kemudian
disimpan di dalam tempat yang aman.
Al‑Qur'an surat Al‑Qiyamah: 37:

                

Artinya: “Bukankah asalnya ia setitik dari air mani


yang dipancarkan”.
 
Surat Al‑Mukminun: 13:
                 

Artinya: “Kemudian Kami menjadikan dari sperma


yang sampai ke satu tempat yang aman”.
c. Proses pertumbuhannya hingga menjadi anak manusia bertahap.
Al‑Qur'an menerangkan dengan jelas di dalam surat
Al‑Mu’minun: 12‑14, seperti berikut:
                                     

                                      

                         

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia


dengan air yang tersaring dari tanah. Kemudian Kami jadikan
dia setitik mani di tempat yang aman. Kemudian Kami jadikan
mani itu sekepal darah, lantas darah itu Kami jadikan sekerat
daging, lantas daging itu Kami jadikan tulang, lalu tulang itu
Kami balut dengan daging, kemudian Kami jadikan dia satu
kejadian yang lain (sifatnya), maka Maha Suci Allah,
sebaik‑baiknya Pencipta”.
d. Kapan roh itu ditiupkan ?
Kapan ruh itu ditiupkan oleh malaikat sebagai utusan‑Nya,
Rasulullah dalam hadisnya mengatakan sebagai berikut:
“Sesungguhnya seseorang dari kamu semua itu dikumpul
kejadiannya dalam perut ibunya 40 hari sebagai mani dan 40 hari
sebagai darah dan 40 hari sebagai daging, kemudian Allah
mengutus seorang Malaikat, maka iapun meniupkan ruh ke dalam
tubuhnya. Dan Malaikat diperintah mencatat 4 kalimat yaitu
mengenai rezeki orang itu, ajalnya, amal perbuatannya dan celaka
atau bahagianya”. (H.R, Muslim).
 
Hadis ini menjelaskan:
1) Setelah janin berproses selama 120 hari (4 bulan) dalam rahim
seorang ibu, barulah ditiupkan kepadanya oleh malaikat atas
perintah Allah.
2) Setelah roh ditiupkan kepadanya, dituliskan pulalah untuknya
empat hal, yaitu tentang rezeki, ajal, amal dan celaka atau
bahagianya.
Menurut Maurice Bucaille, kata 'alaq yang diterjemahkan
segumpal darah adalah kurang tepat, karena arti asli bahasa
Arab ‘alaq adalah 'kebergantungan'. Sehubungan dengan arti
kata 'alaq tersebut, ia menjelaskan sebagai berikut:
 Merupakan suatu fakta yang kuat bahwa sel telur yang
dibuahi tertanam dalam lendir rahim kira ‑kira pada hari
keenam, setelah pembuahan mengikutinya dan secara anatomis
sungguh telur tersebut merupakan sesuatu yang bergantung.
(Maurice Bucaille, 1984) 
Dengan demikian, ketujuh tingkatan kejadian manusia
secara berturut‑turut adalah saripati lempung, air mani, suatu
yang bergantung, segumpal daging, tulang belulang, yang
terbungkus dengan daging dan makhluk dalam bentuk lain.
Puncak dan inti penciptaan manusia adalah pada saat ditiupkan
roh pada jasad sehingga merupakan bentuk baru bernama
manusia yang berbeda dengan makhluk ‑makhluk AlIah lainnya.
Secara sistematis Muhammad Farid Wajdi berdasar
Al‑Qur'an menjelaskan adanya tujuh unsur, yaitu:
1. Turab (tanah), sebagai awal mulanya;
2. Tin (lempung), campuran tanah dan air;
3. Hama'in Masnun (lempung), lumpur yang dicetak;
4. Tinun Lazib, lempung yang pekat yang siap menerima
bentuk;
5. Salsalin min Hama'in Masnun, lempung dari lumpur yang
dicetak;
6. Salsalun ka al‑Fakhkhar (lempung seperti tembikar),
yang terbentuk dari panas api. Dengan potensi api ini
menusia memperoleh bekas syaitaniyah;
7. Roh yang ditiupkan ke dalam diri manusia, sebagai tanda
disempurnakan nafsnya dengan ilmu dan adab
(Muhammad Farid Wajdi,1971).
Uraian tentang proses terjadinya manusia dapat disimpulkan
seperti berikut:
1. Manusia terdiri atas dua unsur yaitu jasmani dan rohani.
2. Jasmani manusia pertama langsung dijadikan oleh Allah dari
tanah; sedangkan jasmani manusia dari keturunannya (air
mani), itu memakai perantara kedua orang tuanya. Jadi, asal
mani itu pada hakikatnya dari tanah jua.
3. Roh manusia pertama ditiupkan oleh Allah sendiri ke dalam
tubuhnya, sedangkan rohani manusia keturunannya ditiupkan
oleh malaikat atas perintah Allah.
4. Baik rohani manusia pertama maupun rohani manusia ketu­
runannya ditiupkan ke dalam tubuhnya, setelah tubuh itu
sempurna.
5. Uraian Al‑Qur'an tentang proses kejadian manusia selaras benar
dengan ilmu pengetahuan, sesuai dengan sifat kebenaran Al­
Qur'an dan hukum‑hukum alam (Sunnatullah) yang mutlak dan
abadi.
1.3 Manusia itu Bertuhan
Fitrah manusia itu bertuhan dapat disimpulkan dari pernyataan
Al‑Qur'an dan dari perenungan fenomena kehidupan manusia yang
dapat ditangkap oleh inderawi kita.
Dalam Surat Al‑A'raf : 172 Allah berfirman:

                                        

                           

Artinya “Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengeluarkan anak‑anak


keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu? “ Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami),
kami menjadi “saksi”.(Kami lakukan yang sedemikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak menyatakan: sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang‑orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan).”
Dalam suatu fenomena kehidupan manusia, Hamzah Ya’kub dalam bukunya
Filsafat Ketuhanan, menggambarkan bagaimana manusia berkecenderungan
memikirkan Tuhan, justru pada saat memikirkan eksistensi dirinya. Ketika
seseorang mulai menyadari eksistensi dirinya, timbullah tanda tanya dalam hatinya
sendiri tentang banyak hal. Dalam lubuk hati yang dalam, memancar
kecenderungan untuk tahu berbagai rahasia yang masih merupakan misteri yang
terselubung. Misteri yang dimaksudkan itu berupa aneka pertanyaan yang antara
lain: dari mana saya, mengapa saya tiba ‑tiba ada, hendak kemana saya, dan
lain‑lain bisikan kalbu lainnya.
Dari arus pertanyaan yang mengalir dalam bisikan hati itu, terdapat suatu
cetusan yang mempertanyakan tentang penguasa tertinggi alamraya. ini yang harus
dijawab. Kef” pandangan diarahkan ke lazuardi biru, hatipun bergetar, siapa yang
menatah langit dan membangunnya demikian kekar dan indah.Di balik kekaguman
akan romantika itu, hati mencoba meneluswi siapa Dia yang menempatkan letak
bintang itu begitu permai, serasi dan memukau.
Semakin dewasa seseorang semakin banyak pula pengalaman yang
diperolehnya sebagai hasil perenungannya terhadap alam semesta yang sekaligus
semakin banyak yang ingin ia ketahui, dan semakin nampak misteri yang
terselubung di balik kehidupan ini. Pada puncak renungannya terhadap fenomena
kehidupan ini, bukan hanya naluri yang bergolak, melainkan otak dan logika mulai
bermain untuk membentuk pengertian dan mengambil kesimpulan tentang adanya
Tuhan atau Allah.
1.4 Manusia Membutuhkan Agama
Obyektivitas menunjukkan bahwa kernampuan manusia untuk
membuka misteri ciptaan Allah itu sangat terbatas. Indera, yang
terdiri atas mata untuk melihat; telinga untuk mendengar; peraba
untuk mengetahui halus, kasar dan keras, serta lunaknya suatu
benda, pengecap untuk mengetahui rasa asin, manis, pahit, getir,
gurih dan lezat dan lain‑lain; dan hidung untuk mencium bau
wangi, sedap, busuk dan tidak enak; itu semua sangat terbatas
kemampuannya. Indera akan dibatasi oleh ruang dan perjalanan
waktu serta dibatasi oleh jarak. Akal pikiran yang bersumber pada
otak yang sehat juga tidak mampu menyelesaikan misteri‑misteri
kehidupan yang dihadapinya. Akal dan pikirannya tidak mampu
memecahkan persoalan hidup sesudah mati, bahkan yang lebih
ringan dari persoalan itu, misalnya besok apa yang akan menimpa
dirinya, akal pikiran tak mampu menjawab secara pasti. Secara
singkat dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan potensi yang
terbatas dalam menghadapi persoalan kehidupan yang kompleks.
Al‑Quran menyebutkan dengan sangat ringkas dalam
surat An‑Nisa : 28 sebagai berikut:
          

”Artinya: “…dan dijadikan manusia itu lemah

Realitas ini memaksa manusia mencari potensi lain


untuk menyelesaikan persoalan‑persoalan hidupnya.
Potensi yang dimaksud tidak lain adalah agama Allah
atau religie atau dienullah.
Penjelasan mengenai apa dan siapa mengenai
dienullah akan dijelaskan lebih jauh pada bab berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai