Anda di halaman 1dari 5

Nama : Dyah Ayu Anggraeni, S.

Pd
No : 18
Asal Sekolah : SMK Muhammadiyah 1 Sleman

Soal No 1

PENDAHULUAN

Momentum besar bagi Persyarikatan terjadi di tahun 2000 ketika Majelis Tarjih
dalam Munas ke-24 dan ke-25 menegaskan pendekatan bayani, burhani dan irfani
sebagai Manhaj atau pendekatan dalam tajdid dan spirit dalam tarjih. Meskipun
mengalami proses dialog yang hangat, ketiga pendekatan diterima dalam putusan
Majelis Tarjih. Ketiga pendekatan itu ditegaskan sebagai cara berpikir Islami dalam
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah yang ditetapkan pada Muktamar ke-44
di Jakarta. Berdasarkan resepsi dalam dokumen, maka ketiga pendekatan tersebut
menjadi bagian tidak terpisahkan dari norma kepribadian warga Muhammadiyah.

Kepribadian yang melekat dalam warga Muhammadiyah pada kehidupan


sehari-hari menjadi cerminan Persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri. Masyarakat
secara umum akan menemukan begitu indahnya kehidupan Muhammadiyah dari warga
Muhammadiyah. Oleh karena itu, sangat penting membawa ketiga pendekatan bayani,
burhani dan irfani dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam rangka mengamalkan
Gerakan Muhammadiyah maupun mempromosikan Muhammadiyah sebagai Gerakan
yang patut diteladani.

RESUME SINGKAT BAYANI, BURHANI, DAN IRFANI

Bayani

Epistemologi bayani adalah sistem pengetahuan Islam yang bertitik tolak dari nas
sebagai sumber pengetahuan dasar. Episteme ini dikembangkan para ulama tafsir, hadis,
dan fikih. Pendekatan epistemologi bayani ini biasanya banyak digunakan dalam
memecahkan masalah-masalah terkait ibadah mahdah (khusus) karena asas hukum
syariah tentang ibadah menegaskan bahwa “Ibadah itu pada asasnya tidak dapat
dilaksanakan kecuali yang disyriatkan.”

Prinsip yang melandasi pemikiran bayani adalah prinsip serba mungkin (mabdau
al-tajwiz) dan prinsip diskontinuitas (mabdau al-infishal). Konsekuensinya, peran
hukum kausalitas (sababiyyah) menjadi sangat minim bahkan dalam beberapa kasus
dapat mengingkari hukum sebab akibat ini. Imam Syatibi, juris Maliki, pernah
mengatakan bahwa sebab itu tidak menimbulkan akibat dengan sendirinya, akan tetapi
akibat itu terjadi secara bersamaan dengan sebab, karena sesungguhnya akibat itu
merupakan perbuatan Allah dan merupakan ketentuan Allah. Terjadinya segala sesuatu
itu hanya karena kekuasan dan kehendak Sang Maha Pencipta yaitu Allah SWT.

Burhani

Epistemologi burhani adalah sistem pengetahuan yang berbasis pada akal (al-‘aql)
dan empirisme (al-tajribah). Episteme ini dikembangkan para filsuf dan ilmuwan Islam.
Pendekatan epistemologi burhani ini dimaksudkan untuk memberikan dinamika kepada
pemikiran tarjih (pemikiran keislaman) Muhammadiyah, khususnya ibadah ghair
mahdlah (ibadah umum). Berbagai permasalahan sosial dan kemanusiaan yang timbul
tidak hanya didekati dari sudut nas-nas syariah, tetapi juga didekati dengan
menggunakan ilmu pengetahuan yang relevan.

Berbeda dengan bayani, epistemologi burhani justru menempatkan hukum


kausalitas sebagai unsur terpenting. Ibnu Rusyd, juris Maliki, pernah menulis kitab
berjudul Tahafut al-Tahafut yang menegaskan bahwa siapa pun yang menolak hukum
kausalitas, maka dia menolak akal, karena sesungguhnya pengetahuan tentang akibat
tersebut tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan pengetahuan mengenai sebab.
Intinya, hukum sebab akibat adalah sesuatu yang pasti, tanpa kompromi. Konsekeunsi
logis penolakan hukum kausalitas akan menghapus perkembangan ilmu pengetahuan.

Syamsul kemudian menegaskan bahwa Majelis Tarjih mengambil etos keilmuan


dari epistemologi burhani ini. Misalnya, ijtihad mengenai penentuan awal bulan
kamariah, khususnya bulan-bulan terkait ibadah, seperti Ramadan, syawal atau
Zulhijah. Dalam ijtihad Muhammadiyah untuk masalah ini banyak digunakan
capaian-capaian mutakhir ilmu falak, sehingga untuk ini tidak lagi digunakan rukyat.

Irfani

Epistemologi irfani adalah sistem pengetahuan yang bertitik tolak pada al-‘ilm
al-hudluri. Episteme ini dikembangkan para sufi, terutama tasawuf falsasfi. Pendekatan
irfani berdasarkan kepada upaya meningkatkan kepekaan nurani dan ketajaman intuisi
batin melalui pembersihan jiwa, sehingga suatu keputusan tidak hanya didasarkan
kepada kecanggihan otak belaka, tetapi juga didasarkan atas adanya kepekaan nurani
untuk menginsafi berbagai masalah dan keputusan yang diambil mengenainya dan
mendapatkan petunjuk dari Yang Maha Tinggi.

Dasar ontologis irfani yaitu wahdatul wujud. Paham wahdatul wujud ini
mengenalkan bahwa realitas itu hanya ada satu yang ditempati Allah semata, dan
benda-benda selain Allah hanyalah bayangan, yang hakikatnya bukan wujud. Para sufi
bahkan menyebut alam, yakni segala sesuatu selain Allah, sebagai tajalli
(penampakan-diri) Tuhan. Pandangan ini diyakini oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim al-Jili,
Hamza Fansuri, dan sejumlah sufi lainnya.

Konsekuensi aksiologis dari paham wahdatul wujud akan melahirkan sikap anti
dunia dan menganggap kehidupan ini kotor. Sementara Konsekuensi epistemologisnya
adalah sulit mengembangkan sains dan teknologi. Pasalnya, sistem epistemologi yang
mereka pakai dalam memperoleh pengetahuan adalah dengan ahwal dan maqamat untuk
sampai ma’rifatullah.

Sementara dalam paham Muhammadiyah, realitas itu ganda (tsunaiyatil wujud)


sehingga konsekuensi epistemologinya adalah dapat mengembangkan dan memperoleh
pengetahuan dari wahyu dan alam. Pada level aksiologisnya, melahirkan sikap bahwa
dunia merupakan panggung kehidupan untuk mencapai prestasi terbaik di akhirat.
Sehingga mereka harus memaksimalkan potensi akalnya bukan hanya untuk
menciptakan kemasalahatan di dunia tetapi juga untuk keselamatan di akhirat.

IMPLEMENTASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Bayani : Bertumpu pada Al Quran dan As sunah seperti Khamer


adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya
(illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara
arak dan khamr, yakni sama-sama memabukkan.

Burhani : pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum -hukum
logika. ijtihad mengenai penentuan awal bulan kamariah, khususnya bulan-bulan terkait
ibadah, seperti Ramadan, syawal atau Zulhijah. Dalam ijtihad Muhammadiyah untuk
masalah ini banyak digunakan capaian-capaian mutakhir ilmu falak, sehingga untuk ini
tidak lagi digunakan rukyat.

Irfani : pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin,


dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Meyakini bahwa Al quran merupakan Wahyu
Allah yang disampaikan melalui Rasulullah SAW
Soal No 2

PENDAHULUAN

Budaya sekolah/madrasah merupakan perpaduan nilai-nilai, keyakinan, asumsi,


pemahaman, dan harapan-harapan yang diyakini oleh seluruh warga sekolah serta yang
menjadi pedoman dalam berprilaku di sekolah. Oleh karena itu budaya sekolah harus
dikelola agar tujuan yang telah ditetapkan sekolah dapat tercapai, khususnya dalam hal
ini untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam.

Jika melihat pengertian pendidikan Islam, yaitu aktivitas pendidikan yang


diselenggarakan dan didirikan dengan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan
nilai-nilai Islam. Maka berbagai komponen yang terdapat dalam suatu organisasi
pendidikan Islam, seperti dasar pendidikan, tujuan, kurikulum, metode, pola hubungan
dan lain sebagainya harus didasarkan pada nilai-nilai moral dan etis dalam ajaran Islam.
Hal inilah yang menjadi ciri khas yang membedakan antara organisasi yang Islami
dengan yang tidak. Dari sini dapat diketahui, budaya Islami adalah norma hidup yang
bersumber dari syariat Islam. budaya ini merupakan prasarana yang esensial untuk
dikelola dalam rangka penerapan pengajaran berbasis nilai di sekolah, khususnya
sekolah yang bercirikan Islam. Budaya Islami ini dapat tercermin dalam sikap:
tabassum (senyum), menghargai waktu, cinta ilmu, mujahadah (kerja keras dan
optimal), tanafus dan ta’awun (berkompetisi dan tolongmenolong).

AKSI YANG SUDAH DILAKUKAN

1. Berpakaian (berbusana) Islami


Kita harus selalu ingat bahwa pakaian merupakan berkah yang telah diberikan oleh
Allah hanya kepada manusia. Maka jika mampu, sejauh mungkin kita harus
mengenakan pakaian yang pantas, sopan dan indah dipandang serta menutupi aurat
sesuai dengan ketentuan syar’i.
2. Shalat berjamaah
Seorang muslim yang sadar tentang keberadaan diri selaku hamba Allah, maka dia
melakukan shalat itu bukan karena melakukan kewajiban semata, tetapi dia merasa
berkewajiban untuk melaksanakannya sebagai salah satu cara mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan sebagai tanda syukur atas limpahan rahmat dan karunia yang
diterimanya
3. Tadarus/membaca Al Qur’an Al Qur’an yang dilakukan setiap pagi paling tidak 10
menit sebelum aktivitas sekolah dimulai.
4. Budaya 3S (Senyum, Salam, Sapa) yang seringkali kita lihat di sekolah-sekolah
adalah cita- cita nyata dari sebuah lingkungan pendidikan. Dengan adanya budaya 3S
ini akan lebih meningkatkan hubungan yang harmonis antara pimpinan sekolah,
guru, para karyawan sekolah dan siswa.
5. Membiasakan Adab yang Baik seperti pembiasaan melalui Adab Masuk Sekolah;
Adab di Luar Kelas; Adab di Dalam Kelas; Adab Makan Minum; Adab Kebersihan;
Adab Berbicara; dan Adab Bergaul.

KESIMPULAN

Membangun budaya Islami di sekolah/ madrasah adalah merupakan tugas dan


tanggungjawab kepala sekolah/ madrasah dan seluruh stake holder pendidikan
khususnya lembaga pendidikan Islam. Sekolah/ madrasah harus melakukan inovasi
dibidang kurikulum dengan memberi muatan-muatan pada aspek penanaman budaya
Islami melalui pembelajaran yang dituangkan dalam kurikulum maupun melalui
kegiatan ekstrakurikuler. Dalam kurikulum 2013 ditekankan bahwa pembinaan karakter
anak didik yang lebih diutamakan adalah aspek ahlak (afektif) baru aspek pengetahuan
dan keterampilan (kognitif dan psikomotor) dan ini dapat terwujud apabila sekolah
mampu membangun budaya Islamidi sekolah/ madrasah. Dengan membangun budaya
Islami di sekolah/madrasah sudah tentu dapat meningkatkan mutu pendidikan
khususnya mutu madrasah, dan madrasah akan menjadi pilihan orang tua untuk
melanjutkan pendidikan anak-anaknya.

Anda mungkin juga menyukai