Anda di halaman 1dari 10

TUGAS TERSTRUKTUR

MATA KULIAH EKONOMI KESEHATAN


“ Pengeluaran Kesehatan Katastropik”

Disusun Oleh :
Kelompok 4
Hafiz Ma’arif Z I1A017086
Rizki Satya P I1A017087
Nurul Andini I1A017091

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO

2020
A. PENDAHULUAN

Menurut Igars (2014) dalam Nugraheni dan Hartono (2017) fenomena


yang terjadi di beberapa negara menunjukkan keadaan pengeluaran kesehatan
mengancam penurunan kemampuan keuangan rumah tangga dalam
mempertahankan kebutuhan pokok. Rumah tangga miskin pun dapat
mengalami bencana dari pengeluaran biaya kesehatan yang relatif kecil karena
hampir semua sumber daya tersedia telah digunakan untuk kebutuhan dasar.
Hal ini menjadikan pengeluaran kesehatan menjadi bersifat katastropik.

Katastropik berasal dari "catastrophic" yang berarti bencana atau


malapetaka merupakan penyakit yang "high cost, high volume dan high risk”
yang secara komplikasi dapat membahayakan jiwa. Evaluasi secara global
menujukkan bahwa katastropik pembayaran kesehatan pada rumah tangga
terjadi hampir pada semua negara di dunia. Setiap tahun sekitar 44 juta rumah
tangga atau 150 juta individu dengan kondisi sosiodemografi yang beragam di
dunia menghadapi biaya kesehatan katastropik dan sekitar 25 juta rumah
tangga atau lebih dari 100 juta individu masuk ke dalam garis kemiskinan
sebagai akibat adanya pembayaran layanan kesehatan.

Di Indonesia, orang kaya juga mengalami risiko bencana pembayaran


kesehatan (catastrophic health payment) yaitu jika terjadi pembayaran
kesehatan melebihi 10% pendapatan rumah tangga. Bila ditinjau dari sisi
pemerintah, belanja untuk kesehatan pemerintah mencapai 0,9% dari PDB di
Indonesia, jauh lebih rendah dibanding Thailand (2,9%), Tiongkok (2,7%) dan
Vietnam (2,6%). Pada tahun 2012, pengeluaran kesehatan mencapai 5,3% dari
seluruh pengeluaran pemerintah, dan kurang dari 2% dari belanja pemerintah
pusat (dibanding, misalnya, 18% belanja pemerintah pusat untuk subsidi
BBM). Bersamaan dengan itu, lebih dari setengah penduduk masih tetap tidak
memiliki jaminan asuransi kesehatan dan pengeluaran biaya sendiri masih
tetap tinggi, mencapai 40% dari seluruh pengeluaran untuk kesehatan (Gloria,
2013)
Tren perkembangan penyakit tidak menular menyebabkan perubahan
beban penyakit di Indonesia. Pada tahun 2011, dari total pembiayaan
kesehatan yang dilakukan PT. ASKES, sekitar 25 persen dikeluarkan untuk
pengobatan kanker. Data International Health Metric Evaluation (2010)
sebagaimana dikutip dalam paparan Menteri Kesehatan pada kongres ke-2
INAHEA menunjukkan beban penyakit tidak menular tahun 1990 sebesar 37
persen, meningkat menjadi 49 persen di tahun 2000, dan menjadi 58 persen di
2010. Klaim rawat inap ke BPJS Kesehatan Januari - Juni 2014 mencapai 735
ribu kasus dengan menyerap dana JKN Rp 4,2 triliun. Klaim rawat jalan satu
juta pasien menyerap dana sebesar Rp 1 trilyun. Jika dibandingkan dengan
total klaim, klaim penyakit katastropik rawat inap menyerap 33,5 persen dan
rawat jalan menyerap 30 persen total klaim (Wati dan Thabrany, 2016)

B. TUJUAN
Dengan dibuatnya paper ini bertujuan untuk:
1. Mahasiswa mengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit katastropik
2. Mahasiswa mengetahui pembiayaan penyakit katastropik dengan JKN
3. Mahasiswa dapat menyebutkan contoh kasus penyakit katastropik yang di
cover oleh JKN
4. Mahasiswa dapat menganalisis dari contoh kasus penyakit katastropik
dengan pembiayaan JKN

C. PEMBAHASAN

Penyakit katastropik adalah penyakit yang menyerap klaim kesehatan yang


tinggi, disebabkan karena terapinya memerlukan keahlian khusus,
menggunakan alat kesehatan canggih ataupun memerlukan pelayanan
kesehatan seumur hidup. Penyakit katastropik pada tingkat rumah tangga yang
teridentifikasi antara lain penyakit gagal ginjal, penyakit jantung (yang
memerlukan baik tindakan invasif atau noninvasif), kanker, serta penyakit
kelainan darah yaitu thalassemia dan hemophilia (Suciati, 2013).

Penyakit katastropik merupakan penyakit kronik dan degeneratif. Disebut


kronik karena penyakit tersebut bersifat laten yang memerlukan waktu lama
untuk bermanifes, sering tidak disadari, dan memerlukan waktu lama untuk
penyembuhan atau memerlukan waktu seumur hidup untuk
mengendalikannya. Disebut degeneratif karena penyakit tersebut semakin
sering terjadi seiring bertambahnya usia. Penyerapan klaim yang besar inilah
yang menyebabkan munculnya terminologi penyakit katastropik (Heniwati,
2016).

Menurut data Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), penyakit


kardiovaskular adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia. Pada tahun
2012 diperkirakan 17,5 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskular
(7,4 juta diantaranya disebabkan penyakit jantung koroner dan 6,7 juta
kematian disebabkan oleh stroke). Lebih sepertiga kematian akibat penyakit
kardiovaskular terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah.
Sementara itu, penyakit kanker juga menjadi tantangan besar kesakitan dan
kematian di seluruh dunia, dengan perkiraan 14 juta kasus baru dan 8,2 juta
kematian akibat kanker pada tahun yang sama. Infeksi virus viral menjadi
penyebab 20 persen kematian akibat kanker di negara berpendapatan rendah
dan menengah (WHO, 2015). Di Indonesia, laporan Riskesdas (2013)
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, kasus stroke,
penyakit jantung koroner, serta penyakit kanker meningkat seiring
bertambahnya umur dan peningkatan tertinggi terjadi pada kelompok umur ≥
75 tahun. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, penderita penyakit kanker,
diabetes mellitus, gagal jantung serta penyakit jantung koroner lebih banyak
ditemukan pada wanita (Kemenkes, 2014).

Belanja kesehatan katastropik dapat memicu pemiskinan. Oleh sebab itu


sistem pendanaan kesehatan dirancang tidak hanya menjamin pemerataan
akses pelayanan kesehatan tetapi juga memberi perlindungan bagi rumah
tangga dari pengeluaran katastropik. Pengeluaran terus menerus untuk
pengobatan penyakit kronis merupakan masalah besar bagi masyarakat, baik
miskin maupun tidak miskin. Dampak ekonomi tidak langsung dari penyakit
kronis adalah berkurangnya pendapatan karena produktifitas yang hilang
akibat sakit atau kematian, berkurangnya kesempatan menabung, dan
hilangnya kesempatan bekerja atau memperoleh pendidikan bagi anggota
keluarga (Suciati, 2013).

Jaminan kesehatan dapat mengurangi risiko masyarakat menanggung


biaya kesehatan yang dikeluarkan dari kantong sendiri (OOP), dimana
biaya yang harus dikeluarkan sulit untuk di prediksi dan seringkali
memerlukan biaya yang cukup besar. Peserta jaminan kesehatan membayar
premi dengan besaran yang sudah ditetapkan, sehingga pembiayaan kesehatan
dapat ditanggung secara gotong royong oleh semua peserta (Kemenkes,
sistem JKN)

Out of Pocket (OOP) adalah Pengeluaran langsung oleh Rumah


Tangga (pengeluaran yang benar-benar dikeluarkan oleh Rumah Tangga)
untuk pelayanan kesehatan, termasuk biaya konsultasi dokter,
pembelian obat, retribusi pelayanan kesehatan ataupun pengobatan
alternatif dan/atau tradisional, uang gratifikasi atau pembayaran dalam
bentuk barang kepada praktisi kesehatan atau fasilitas kesehatan. Tidak
termasuk biaya yang ditanggung oleh pihak ketiga. Misalnya keluarga,
tetangga, teman, kantor, asuransi, dan lain-lain. Di negara maju seperti Jerman
dengan rata rata Gross Domestic Product (GDP) sebesar 32.680 dolar amerika,
pembiayaan kesehatan 10% menggunakan out of pocket. Sedangkan Indonesia
menganggarkan sekitar 2,5% GDP untuk kesehatan, 70% menggunakan out of
pocket (Kemenko Kesra RI, 2012). Dibandingkan dengan negara negara lain
seperti India, thailand, Vietnam, Brazil, Korea dan lain lain, Indonesia masih
menempati urutan terbawah dalam belanja kesehatan (Li dan Hilsenrath,
2016).

Maka pemerintah Indonesia melaksanakannya melalui program Jaminan


Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), diselenggarakan melalui
mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory)
berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tujuan penerapan SJSN adalah agar
semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi sehingga
dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak.
Salah satu tujuan utama program JKN adalah memberikan perlindungan
finansial dari biaya kesehatan khususnya biaya katastropik terhadap semua
peserta JKN. Penerima manfaat JKN berhak mendapatkan berbagai layanan
sebagai bagian dari paket manfaat dasar tanpa mengeluarkan biaya pelayanan.
Peserta JKN yang mendapatkan pelayanan kesehatan diharapkan
pengeluaran kesehatan yang dikeluarkan dari kantong sendiri atau Out of
Pocket (OOP) akan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak
memiliki asuransi kesehatan.

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 tentang


Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan, untuk pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada peserta oleh fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan,
BPJS Kesehatan melakukan pembayaran berdasarkan cara Indonesian Case
Based Groups (INA CBGs). Maksud dari Tarif INA CBGs adalah besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis
penyakit. Pengelompokan diagnosis penyakit ini penting sesuai dengan
paparan Cooper dan Craig (2015) yang menunjukkan adanya variasi
pembiayaan kesehatan meskipun dengan diagnosis yang sama.

Namun penggunaan sistem INA CBGs ini dilihat belum efektif, hal
tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan
besaran biaya INA CBGs lebih besar dibanding Fee For Service terutama
untuk kasus-kasus Non Bedah. Sebaliknya untuk kasus-kasus Bedah
kecenderungan biaya INA CBGs jauh lebih rendah dibanding Fee For Service
(Putra et al, 2014). Selain itu, Puspandari et al (2015) menyatakan bahwa
faktor – faktor yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan
diantaranya adalah : biaya obat, lama dirawat, penggunaan Intensive Care Unit
(ICU), dan lokasi RS. Penelitian yang dilakukan oleh Ambarriani (2014)
menunjukkan bahwa kelas perawatan dan tingkat keparahan juga berkaitan
dengan pembiayaan pelayanan kesehatan dan biaya penyakit katastropik
mencapai 32% dari total biaya pelayanan kesehatan.
Salah satu contoh kasus yang dimuat laman berita CNBC Indonesia pada
tanggal 18 September 2019 06:53 berjudul Ngeri, Penyakit-penyakit Ini yang
Buat BPJS Kesehatan Tekor adalah Jakarta, CNBC Indonesia - Satu demi satu
beban yang harus ditanggung BPJS Kesehatan mulai terkuak. Selain karena
modus atau niat buruk peserta yang sudah diberitakan sebelumnya, ternyata
beban BPJS Kesehatan cukup dahsyat dari sisi penyakit katastropik yang
harus ditanggung.

Berdasarkan dokumen BPJS Kesehatan yang diperoleh CNBC Indonesia,


Rabu (17/9/2019) jumlah biaya katastropik dari Januari sampai Maret 2019
mencapai Rp 5,65 triliun. Di 2018 sendiri penyakit katastropik biayanya
mencapai Rp 20,4 triliun.

Besarnya biaya pelayanan kesehatan disebabkan antara lain profil


morbiditas penduduk yang banyak menderita penyakit kronis," jelas BPJS
Kesehatan dalam dokumennya tersebut. Penyakit katastropik yang cukup
merogoh kocek BPJS Kesehatan cukup dalam adalah jantung. Dengan biaya
selama 2018 mencapai Rp 10,5 triliun. Dari Januari-Maret 2019 sendiri biaya
penyakit jantung ini mencapai Rp 2,81 triliun. Sementara penyakit kedua yang
cukup besar biayanya adalah kanker. Di mana di 2018 biayanya mencapai Rp
3,40 triliun dan selama Januari-Maret 2019 mencapai Rp 1,09
triliun.Sementara BPJS Kesehatan mencatat biaya pelayanan kesehatan
totalnya khusus penyakit katastropik mencapai Rp 94,2 triliun di 2018.
Sedangkan di 3 bulan pertama 2019 mencapai Rp 25,5 triliun.

Artikel di atas dapat dianalisis bahwa penyakit-penyakit yang bersifat


katastropik seperti penyakit jantung dan gagal ginjal dapat menyebabkan
anggaran pemerintah habis, maka cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah
membuat prolanis (program layanan penyakit kronis). Program tersebut dapat
menekan angka penyakit katastropik yang membebankan negara selain itu
langkah preventif pemerintah juga membudayakan Germas atau Gerakan
masyarakat hidup sehat dengan berolahraga, memakan buah dan ayur, makan
makanan yang seimbang serta menjaga pola hidup bersih dan sehat.
D. KESIMPULAN
Penyakit katastropik adalah penyakit yang menyerap klaim kesehatan yang
tinggi, disebabkan karena terapinya memerlukan keahlian khusus,
menggunakan alat kesehatan canggih ataupun memerlukan pelayanan
kesehatan seumur hidup. Melalui program Jaminan Kesehatan atau Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) masyarakat harus tercover kesehatannya sehingga
apabila terdapat yang sakit maka harus segera berobat di faskes tingkat
pertama, dan menghindari masyarakat untuk mengeluarkan biaya kesehatan
dengan cara out of pocket dan tidak terjadi upaya pemiskinan terhadap pasien
tetapi pada kenyatannya model gotong royong BPJS kesehatan membuat
anggaran indonesia tidak sehat dengan membengkaknya pembiayaan
kesehatan pada penyakit katastropik sehingga pemerintah di ambil mengambil
langkah untuk menyehatkan anggran dan menyehatkan masyarakat melalui
anggran yang efisien.
E. DAFTAR PUSTAKA

Ambarriani AS. 2014. Hospital financial performance in the indonesian national


health insurance era. Review of Integrative Business and Economics
Research. 4(1):121-133.

Artikel berita CNBC Indonesia. 2019.


https://www.cnbcindonesia.com/news/20190917195920-4-100170/ngeri-
penyakit-penyakit-ini-yang-buat-bpjs-kesehatan-tekor di akses pada
tanggal 24 Maret 2020

Cooper Z dan Craig S . 2015. The price ain’t right? hospital prices and health
spending on the privately insured. Seminar of Bureau Economic.

Gloria R. 2013. Health Financing Impact on Ability to Pay and Catastrophic


Payment. Surabaya: Univ. Airlangga

Heniwati dan Hasbullah T. 2016. Perbandingan Klaim Penyakit Katastropik


Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di Provinsi DKI Jakarta dan Nusa
Tenggara Timur Tahun 2014. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia:
Vol.1,No. 2.

Igarss. 2014. Rethinking Poverty. United Nations. Geneva: United Nations

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2014.

Li H dan Hilsenrath P. 2015. Organization and finance of china’s health sector :


historical antecedants for macroeconomic structural adjustment. The
Journal of Health Care Organization, Provision and Financing. 1(8):223-
234DOI10.1177/0046958015620175.

Nugraheni, W. P., Hartono R. K. 2017. Determinan Pengeluaran Kesehatan


Katastropik Rumah Tangga Indonesia Pada Tahun Pertama Implementasi
Program JKN. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 45, No. 1, Hal: 27 – 36
Puspandari DA, Mukti. AG dan Kusnanto H. 2015. Faktor- faktor yang
mempengaruhi biaya obat pasien kanker payudara di rumah sakit di
indonesia. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. 4(3):24-35.
Suciati, Dwi. 2013. Analisis Hubungan Karakteristik Peserta Administration
Service Only PT. Global Asistensi Manajemen Indonesia dengan Angka
Kunjungan dan Klaim Pennyakit Katastropik Tahun 2011-2012. Tesis:
FKM UI Depok.

Wati, H., & Thabrany, H. 2016. Perbandingan Klaim Penyakit Katastropik Peserta
Jaminan Kesehatan Nasional di Provinsi DKI Jakarta dan Nusa Tenggara
Timur Tahun 2014. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia, 1(2).

World Health Organization. 2015. Global Status Report on NCD. WHO, Geneva,
2015.

Anda mungkin juga menyukai