Npm : 1816021064
Kelas : Reguler B
Mata Kuliah : Etika Politik dan Pemerintahan
BAB V
HAKIKAT KEKUASAAN NEGARA
A. Hakikat Kekuasaan Negara dalam perspektif Plato
1. Apakah kekuasaan itu ?
Dalam sejarah pemikiran politikpada masa Yunani kuno, Plato dihadapkan pada 2
(dua) istilah dalam bahasa Yunani yaitu ”peithein” yang berarti persuasi (digunakan
untuk menangani urusan dalam negeri) dan ”bia” yang berarti paksaan atau kekerasan
(digunakan untuk menangani urusan luar negeri). Dalam pergulatan pemikiran
tersebut, Plato cenderung menggunakan istilah yang pertama, yaitu persuasi.
Kekuasaan menurut Plato adalah kesanggupan untuk meyakinkan (persuasi) orang
lain agar orang yang telah diyakinkan itu melakukan apa yang telah diyakininya
sesuai dengan kehendak orang yang melakukan persuasi.Bagi Plato, unsur paksaan
atau kekerasan hanya boleh digunakan dalam keadaan yang sangat terpaksa atau
darurat (Rapar 2001:85).
2. Sumber Kekuasaan
Mengapa seorang dikatakan memiliki kekuasaan?Apa yang menjadi sumber
kekuasaan? Plato mendudukkan filsafat atau pengetahuan di tempat yang paling
mulia, karena ia beranggapan hanya filsafat atau pengetahuanlah yang sanggup
membimbing dan menuntun manusia datang pada pengenalan yang benar akan
sesuatu yang ada dan dalam keberadaan masing-masing. Oleh sebab itu, pengetahuan
layak ditempatkan di tempat paling utama. Bila pengetahuan berada di tempat yang
paling utama dan paling mulia, maka wajarlah apabila pengetahuan menjadi sumber
kekuasaan. Karena itu,
Plato mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan (Rapar 2001:184).
3. Penyelenggaraan Kekuasaan
Penyelenggaraan Kekuasaan Plato tidak membedakan antara kekuasaan penguasa
negara dengan kekuasaan seseorang terhadap istri dan anak-anaknya. Sebagai
konsekuensi atas ajarannya yang menyebutkan bahwa negara adalah suatu keluarga
besar, maka Plato beranggapan bahwa kekuasaan dalam negara dan kekuasaan
keluarga sama saja.
Selanjutnya Plato mengatakan:
The ruler are commanded by God first and fore most that they be good guardians of
no person so much as of their own children (Rapar 2001:87).
Dalam pandangan Plato, para penguasa diamanatkan Tuhan pertama-tama dan
terutama agar mereka menjadi penjaga yang baik, sebaik seperti terhadap anak
mereka sendiri. Penyelenggaraan negara yang dikehendaki Plato dalam negara ideal
adalah secara paternalistik, yaitu para penguasa yang bijaksana haruslah
menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif, yang dalam tindakannya terhadap
anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu
sendiri.
E. Penutup
Negara memiliki kekuasaan yang berbeda dengan kekuasaan yang dimiliki oleh individu
atau kelompok sosial. Dalam masyarakat tradisional ketika negara belum terbentuk,
kekuasaan berada di tangan elit tradisional, seperti ketua adat atau kepala suku. Namun
dengan berdirinya masyarakat politik, yaitu negara, kekuasaan beralih dari tangan
penguasa tradisional ke tangan elit politik yang berkuasa di negara tersebut. Banyak filsuf
yang membahas mengenai kekuasaan negara, apa dasar seseorang berkuasa, siapa yang
pantas memegang kekuasaan, dan bagaimana kekuasaan tersebut diselenggarakan. Dua di
antara filsuf tersohor yang pemikirannya hingga kini masih aktual dalam mengkaji
persoalan kekuasaan negara adalah Plato dan Aristoteles.
Kekuasaan menurut Plato adalah kesanggupan untuk meyakinkan (persuasi) orang lain
agar orang yang telah diyakinkan itu melakukan apa yang telah diyakininya sesuai
dengan kehendak orang yang melakukan persuasi. Pengetahuan merupakan sumber
kekuasaan. Karena itu, Plato berkeyakinan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.
Penyelenggaraan negara yang dikehendaki Plato dalam negara ideal adalah secara
paternalistik,di mana para penguasa dalam memperlakukan rakyatnya harus bijaksana
bagaikan seorang ayah memperlakukan anak-anaknya dengan penuh kasih demi
kebahagiaan anak-anaknya.
Berbeda dengan Plato, menurut Aristoteles, sumber kekuasaan adalah hukum, yang
berarti pula bahwa hukum memiliki kedaulatan dan kewibawaan tertinggi. Aristoteles
setuju dengan Plato bahwa mereka yang layak menjadi pemegang kekuasaan ialah orang-
orang pilihan yang dianggap yang terbaik dan yang paling unggul di antara semua orang
pilihan, yakni orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang sempurna.
Namun orang pilihan yang terbaik dan terunggul hanya dapat dijumpai dalam teori.
Hukum sebagai sumber kekuasaan dan pedoman pemerintahan haruslah hukum yang
terbaik. Menurut Aristoteles, bentuk pemerintahan yang terbaik menurut hukum adalah
politeia. Bentuk politeia yang baik ialah berada di antara oligarki dan demokrasi.
Pemegang kekuasaan yang paling tepat adalah golongan menengah yang mampu
memanggul senjata dan tunduk pada hukum.
Sumber kekuasaan dalam perspektif Islam berbeda dengan sumber kekuasaan menurut
Plato dan Aristoteles. Kekuasaan menurut Islam dikategorikan ke dalam teori teokrasi.
Menurut teori ini, kekuasaan atau kedaulatan berasal dari Allah Tuhan Yang Maha
Kuasa. Kekuasaan negara dalam perspektif Islam berpegang kepada kitab suci Al-Qur'an.
Islam beranggapan, kekuasaan atau kedaulatan berasal dari Tuhan, karena itu Tuhanlah
pemilik atau pemegang kekuasaan tertinggi. Pemegang kekuasaan ideal dalam negara
Islam adalah orang yang sedapat mungkin mempunyai sifat-sifat yang mendekati sifat-
sifat Tuhan, seperti sifat pemurah, pengasih, penyayang, penyabar, pemaaf, kuat lagi
perkasa, bijaksana, adil, dan sebagainya
Negara Indonesia memiliki landasan atau sumber kekuasaan sendiri sesuai falsafah
bangsa. Menurut perspektif Pancasila, sumber kekuasaan yang ada di Indonesia dapat
ditelusuri dari UUD 1945. Sesuai sumber kekuasaan di Indonesia dalam perspektif
Pancasila ada dua, yaitu rakyat dan hukum. Pada masa Orde Baru, penyelenggara negara
tertinggi adalah MPR,sedangkan penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara tertinggi
adalah Presiden. Sementara itu, pada era reformasi, penyelenggara negara adalah seluruh
lembaga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945, sedangkan penyelenggara
kekuasaan pemerintahan negara berada di tangan Presiden.
BAB VI
PEMERINTAHAN YANG BAIK
B. Paradigma Pemerintahan
Paradigma pemerintahan adalah kerangka berpikir atau perspektif yang digunakan
oleh para elit dalam mengelola pemerintahan. Menurut Rashid (2002:24) terdapat tiga
paradigma pemerintahan.
Pertama, pemerintahan sebagai “rulling process”, yakni paradigma yang ditandai oleh
ketergantungan pemerintahan dan masyarakat kepada kapasitas kepemimpinan
seseorang. Kepribadian seorang pemimpin mendominasi hampir seluruh interaksi
kekuasaan. Kualitas pemerintahan tergantung mutlak pada kualitas si pemimpin.
Kalau pemimpin pemerintahan adalah seorang yang baik, maka baiklah
pemerintahannya, demikian pula sebaliknya. Dalam situasi ini, pemimpin
mendiktekan nilai-nilai, bahkan hukum pun diformulasikan secara sepihak.
Kedua, pemerintah sebagai “governing process” yang ditandai oleh praktik
pemerintahan berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan
masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatankesepakatan yang
terbentuk melalui diskusi dan diskursus (wacana) yang berlangsung dalam ruang
publik (public sphere).
Ketiga, pemerintahan sebagai “an administering process”, yang ditandai oleh
terbangunnya suatu sistem hukum yang kuat dan komprehensif, melalui mana seluruh
interaksi kekuasaan dikendalikan oleh suatu sistem administrasi yang bekerja secara
tertib dan teratur. Di dalam sistem ini, setiap consensus yang dicapai akan tertuang ke
dalam aturan-aturan hukum yang mengikat. Setiap tindakan serta peristiwa
pemerintahan dan masyarakat erekam ke dalam suatu sistem administrasi yang
sewaktu-waktu dapat diacu dalam proses pengambilan keputusan.
Pemisahan atas ketiga konsep tersebut, hanya untuk menggambarkan bahwa nilai-
nilai yang melekat dan menyertai proses pemerintahan berubah berdasarkan dinamika
masyarakat. Namun dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat,
paradigma pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang tidak mendasarkan diri
pada paradigma ruling, tetapi pemerintahan yang mampu mensinergikan governing
process dan administering process.
D. Penutup
Pemerintahan merupakan proses pemenuhan kebutuhan manusia sebagai konsumer
(produk-produk pemerintahan) akan pelayanan publik dan pelayanan sipil. Dengan
kata lain, pemerintahan adalah suatu kegiatan atau proses penyediaan dan distribusi
layanan publik yang tidak diprivatisasikan dan layanan sipil kepada setiap orang pada
saat dibutuhkan. Pengertian pemerintahan dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu dari
segi kegiatan (dinamika), struktural-fungsional dan dari segi tugas dan kewenangan
atau fungsi. Ditinjau dari aspek dinamika, pemerintahan berarti segala kegiatan atau
usaha yang terorganisasi bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan pada dasar
negara mengenai rakyat dan wilayah negara demi tercapainya tujuan negara. Dilihat
dari aspek struktural-fungsional, pemerintahan berarti seperangkat fungsi negara yang
satu sama lain saling berhubungan secara fungsional dan melaksanakan fungsinya
atas dasar-dasar tertentu demi tercapainya tujuan negara. Yang terakhir, dilihat dari
aspek tugas dan kewenangan, berarti pemerintahan adalah seluruh tugas dan
kewenangan negara. Setiap pemerintahan memiliki fungsi memimpin masyarakat
dalam:
(1) mengemudikan pemerintahan, (2) memberi petunjuk, (3) menghimpun potensi, (3)
menggerakkan potensi, (4) memberikan arah, (5) mengkoordinasikan kegiatan, (6)
memberi kesempatan dan kemudahan, (7) memantau dan menilai,(8) membina, (9)
melindungi, (10) mengawasi, serta (11) menunjang dan mendukung. Pemerintah
dalam menjalankan aktivitasnya, dapat dilihat dari tiga paradigma, yaitu ruling
process, governing process, dan administering process.
Ketiga paradigma tersebut merupakan tahapan-tahapan dalam pembangunan sebuah
pemerintahan. Pemisahan atas ketiga konsep tersebut, hanya untuk menggambarkan
bahwa nilai-nilai yang melekat dan menyertai proses pemerintahan berubah
berdasarkan dinamika masyarakat. Namun dalam rangka memberikan pelayanan
terbaik kepada masyarakat, paradigma pemerintahan yang baik adalah meninggalkan
paradigma ruling menuju sistem governing dan sistem an administering.
Dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, pemerintahan
yang baik dan ideal menggunakan asas asas pemerintahan. Asas-asas pemerintahan
dipakai untuk menjaga agar tindakan pemerintah sesuai dengan tujuan hukum atau
agar tindakan yang diambil tidak menyengsarakan masyarakat yang dilayaninya. Asas
asas pemerintahan yang baik atau layak ini juga digunakan sebagai sarana
perlindungan hukum terhadap penggunaan dan pelaksanaan wewenang bebas
pemerintah dalam membuat ketetapan.
Pemerintahan yang beretika, selain menggunakan prinsip-prinsip atau asas-asas
pemerintahan yang baik, juga memperhatikan kaidahkaidah umum dari prinsip good
governance. Prinsip good governance ini penting mengingat paradigma government
telah bergeser ke paradigma governance. Government berarti mengatur, yang dalam
praktiknya bisa mengarahkan suatu pemerintah untuk bertindak otoriter, totaliter,
bahkan despotis, sedangkan governance bermakna mengelola, yakni mengelola
kepentingan rakyat, atas nama, demi dan untuk rakyat. Dalam menyelenggarakan
kegiatan pemerintahan dan pembangunan, pemerintahan hendaknya menggunakan
asas-asas atau prinsip-prinsip good governance, yaitu partisipasi, transparansi,
efektivitas dan efisiensi, kesamaan, kebebasan, akuntabilitas, dan responsibilitas.