Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

CLEFT LIP PALATE MANAGEMENT

Oleh

Maria Brigitta Ekayanti 2002641005


Ida Ayu Laksmi Pratiwi 2002641009
Cynthia Asawista Prabasari 2002641019
I Made Ricky Wiguna 2002641020

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN


GIGI DAN PROFESI DOKTER GIGI
FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI… ……………………………………………………………………………. ii
DAFTAR GAMBAR… …………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………. 1
BAB II LAPORAN KASUS………………………………………………………………. 3
BAB III PEMBAHASAN………………………………………………………………….. 5
3.1 Definisi…………………………………………………………………………………. 5
3.2 Embryology……………………………………………………………………………. 5
3.3 Etiologi dan Epidemiologi……………………………………………………………… 8
3.4 Klasifikasi………………………………………………………………………………. 9
3.5 Gambaran Klinis……………………………………………………………………….. 12
3.6 Diagnosis……………………………………………………………………………….. 13
3.7 Managemen Perawatan Pre-Op………………………………………………………….14
3.7.1 Rules of 10……………………………………………………………………………. 14
3.7.2 KIE Prenatal…………………………………………………………………………... 14
3.7.3 KIE Postnatal…………………………………………………………………………. 15
BAB IV KESIMPULAN…………………………………………………………………… 20
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1………………………………………………………………………….. 3
Gambar 2.………………………………………………………………………….. 4
Gambar 3.………………………………………………………………………….. 5
Gambar 4.………………………………………………………………………….. 5
Gambar 5.………………………………………………………………………….. 6
Gambar 6.………………………………………………………………………….. 6
Gambar 7.………………………………………………………………………….. 7
Gambar 8.………………………………………………………………………….. 7
Gambar 9.………………………………………………………………………….. 8
Gambar 10.………………………………………………………………………… 8
Gambar 11.………………………………………………………………………… 9
Gambar 12.………………………………………………………………………… 11
Gambar 13.………………………………………………………………………… 13
Gambar 14.………………………………………………………………………… 17
Gambar 15.………………………………………………………………………… 18
Gambar 16.………………………………………………………………………… 19
Gambar 17.………………………………………………………………………… 20
Gambar 18.………………………………………………………………………… 23
Gambar 19.………………………………………………………………………… 24
Gambar 20.………………………………………………………………………… 24
Gambar 21.………………………………………………………………………… 26
Gambar 22.………………………………………………………………………… 30
Gambar 23.………………………………………………………………………… 30
BAB I
PENDAHULUAN

Celah bibir dan langit-langit adalah suatu keadaan kelainan kongenital yang sering
terjadi dan dapat mempengaruhi daerah orofacial. Karena lokasinya, seseorang dengan celah
bibir dan langit-langit perlu keterlibatan dari dokter gigi spesialis untuk melakukan
perawatan jangka panjang, karena nantinya pasien mungkin mengalami anodontia parsial,
dan supernumerary teeth. Maloklusi juga biasanya dapat terjadi, sehingga terapi ortodontik
dengan atau tanpa pembedahan rahang korektif sering diindikasikan (Hupp, James., dkk,
2019).
Di Indonesia angka kejadian celah bibir dan langit-langit juga masih cukup tinggi
dengan jumlah kejadian mencapai 1.596 penderita. Sjamsudin & Maifara (2017) menjelaskan
bahwa berdasarkan klasifikasi jenis celah, jenis kelamin dan letak kelainan celah gambaran
angka kejadian di Indonesia sebagai berikut: penderita celah bibir dan langit-langit sebanyak
50.53%, penderita celah bibir saja sebanyak 24.42% dan penderita celah langit-langit
sebanyak 25.05%. Berdasarkan jenis kelamin frekuensi celah pada penderita laki-laki
sebanyak 55.95% dan perempuan sebanyak 44.05% (Sjamsudin, E. dkk., 2017).
Penyebab dari celah bibir dan langit-langit sampai saat ini belum diketahui
sepenuhnya. Akan tetapi beberapa hasil studi menunjukkan penyebab terpenting terjadinya
celah bibir dan langit-langit bersifat kompleks dan multifaktorial yang melibatkan faktor
genetik, lingkungan dan interaksi antara genetik dengan lingkungan (Khan, dkk., 2020).
Bayi yang lahir dengan celah bibir dan langit-langit akan mengalami tantangan
fungsional dan estetik. Celah langit-langit akan mengakibatkan ketidakmampuan
menghasilkan tekanan negatif orofaringeal yang cukup dan lidah tidak mampu menekan
langit-langit, sehingga susu akan mengalir kembali ke kavitas nasal dan dapat mengakibatkan
masalah pernafasan. Hal ini akan berefek terhadap asupan nutrisi dan dapat menyebabkan
berat badan rendah. Berat badan yang adekuat merupakan salah satu syarat seorang bayi
dapat menjalani perawatan pembedahan pada waktu yang tepat. Perawatan pre-operatif pada
celah bibir dan langit-langit berupa edukasi orang tua, botol khusus, obturator feeding plate,
nasogastric tube (NGT) dan orogastric tube (OGT) (Mailoa, dkk., 2018).
Perawatan pada pasien dengan celah bibir dan langit-langit harus memperhatikan
penampilan pasien, terapi bicara, pendengaran, pengunyahan. Sebagian besar anak dengan
celah bibir dan langit-langit mendapatkan terapi perawatan oleh tim profesional. Tim
profesional celah bibir dan langit-langit dapat ditemukan di sebagian besar kota. Tim ini
biasanya terdiri dari berbagai bidang yaitu dokter gigi umum atau anak, ortodonsia,
prostodonsia, dan ahli bedah mulut maksilofasial (Hupp, James., dkk, 2019).
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai penatalaksanaan
labiognatopalatoschizis bilateral complete pada pasien bayi perempuan usia 3 bulan 2
minggu dengan melakukan tindakan labioplasty di Poli Gigi Bedah Mulut RSUD Wangaya.
BAB II
LAPORAN KASUS

Pasien bayi perempuan berusia 3 bulan datang diantar orang tuanya ke Poli Gigi Bedah
Mulut RSUD Wangaya, Denpasar pada tanggal 15 November 2022, mengeluhkan adanya celah pada
bibir dan langit – langit rahang atas kanan dan kiri sejak lahir sehingga susah untuk dilakukan
pemberian susu, pasien merupakan anak kedua, orang tua pasien menyangkal memiliki riwayat celah
pada bibir dan langit – langit di keluarganya, tidak mengkonsumsi alkohol maupun rokok selama
kehamilan, orang tua menyangkal memiliki riwayat penyakit sistemik, namun saat usia kehamilan 1
bulan, orang tua pasien sempat melakukan vaksin astrazeneca dan mengkonsumsi paracetamol.
Berdasarkan anamnesis, diagnosisnya adalah labiognatopalatoschizis bilateral complete dengan
rencana perawatan labioplasty. Prognosis dari tindakan ini ad bonam.

Gambar 1. Foto Pasien Pre Operatif


Gambar 2. Rontgen thorax

Suatu hari sebelum tindakan, pasien diinstruksikan untuk melakukan pemeriksaan darah
lengkap dan swab antigen. Pada tanggal 17 November 2022, Tindakan bedah dilakukan. Orang tua
pasien diinstruksikan untuk dilakukan puasa pada pasien 8 jam sebelum tindakan. Tanda tangan
lembar persetujuan telah dilakukan pada tanggal 15 November 2022 oleh orang tua pasien (ayah).
Tanda vital pasien sebelum tindakan ialah tanda tangan lembar persetujuan tindakan telah dilakukan
pada tanggal 15 November 2022 oleh pasien serta orang tua pasien (ayah). Tanda vital pasien
sebelum tindakan ialah denyut nadi 120 kali per menit, respirasi 26 kali per menit, dan suhu 36.6oC.
Pemeriksaan  rontgen thorax menunjukkan pulmo tidak tampak adanya kelainan  dan besar jantung
normal. Konsultasi ke bagian  anak menunjukkan bahwa pasien tidak menderita  penyakit sistemik
yang akan mengganggu  jalannya operasi. Operasi dimulai dengan administrasi anestesi, tindakan
dilakukan oleh dokter spesialis anestesi. Alat dan bahan disiapkan oleh asisten operator. Alat dan
bahan yang digunakan pada operasi ini ialah  set duct steril, set kassa steril, kassa tampon, set alat
diagnostik oral dasar, clamp bengkok, clamp lurus, suction bedah stainless steel, selang suction,
syringe 10cc, syringe 50cc, towel clamp, gunting bedah, scalpel handle, blade no. 15, nierbeken,
wadah stainless steel, benang suture resorbable 4.0 dan non - resorbable 6.0, povidone iodine 10%,
NaCl 0.9%, dan gel antiseptik.
Pasien diposisikan pada bed secara supine. Posisi supine dipilih dengan pertimbangan area
kerja, yaitu bagian ekstra oral. Hal ini akan memudahkan visibilitas dan aksesibilitas operator dalam
melakukan tindakan. Operator dan asisten operator melakukan tindakan asepsis, dimulai dari
menggunakan apron dan face shield, cuci tangan, dan menggunakan alat pelindung diri (APD) steril.
Asisten operator selanjutnya melakukan asepsis ekstra oral dan intra oral pasien menggunakan kassa
steril dan povidone iodine 10%. Selanjutnya dipasangkan duct steril pada pasien namun menyisakan
area kerja untuk tetap terekspos, aplikasi gel antiseptik pada ekstra oral area kerja. Isolasi area kerja
menggunakan surgical suction. Teknik pembuatan outline menggunakan teknik noordhoff dan
pembuatan outline dilakukan dengan menggunakan methylene biru (blue pen marker), selanjutnya
dilakukan infiltrasi dengan menggunakan bahan anestesi berupa lidocaine 20 mg + epinephrine
0.0125 mg yang dilarutkan dengan NaOCl 0.9% perbandingan 1:1, diinjeksikan pada mukosa sekitar
area kerja. Hal ini bertujuan untuk mengontrol perdarahan selama tindakan berlangsung. Selanjutnya
dilakukan insisi sesuai dengan outline yang telah dibuat. Tindakan bedah dilakukan dengan tiga
layer yaitu mukosa, otot, dan kulit. Selanjutnya dilakukan penjahitan pada daerah mukosa dan otot
dengan menggunakan benang resorbable 4.0 dan penjahitan kulit dengan benang non - resorbable
6.0. Selanjutnya dilakukan pemasangan selang nasal pada nostrill untuk membantu jalanya
pernafasan.

Gambar 3. Asepsis dengan menggunakan povidon iodine 10%

Gambar 4. Gambar outline menggunakan methylene biru (blue pen marker)


Gambar 5. Infiltrasi menggunakan lidocaine + epinephrine 1 : 200.000 yang dicampur NaOCl 0.9% 1 : 1

Gambar 6. Dilakukan insisi dan pengambilan jaringan menggunakan blade no. 15 dan gunting
Gambar 7. Dilakukan hecting dan pemasangan selang nasal pada nostril

Gambar 8. Hasil akhir (Post-operatif)

Pasien dirawat inap selama 3 hari untuk observasi tanda vital, perdarahan intra oral dan
ekstra oral, penggantian perban secara rutin. Terapi pasca operasi mencakup instruksi diet cairan
tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) dengan menggunakan sendok, IVFD 18 gtt microdrip,
ampicillin 4 x 50 mg IV, antrain 50 mg setiap 8 jam, rawat luka dengan mengganti perban yang
dilakukan oleh operator.
Visite tanggal 18 November 2022 (H+1 post operatif), orang tua pasien mengatakan bahwa
pasien rewel sejak malam hingga pagi, pemeriksaan EO dan IO tidak didapatkan perdarahan, pada
pemeriksaan tanda vital pasien didapatkan nadi 124 per menit, respirasi 51 per menit dan suhu
36.2°C selanjutnya dilakukan penggantian perban dan pengolesan aloclair gel pada pasien oleh
operator.
Gambar 9. POD 1

Visite ketiga tanggal 20 November 2022 (H+3 post operatif), orang tua pasien mengatakan bahwa
pasien sudah tidak terlalu rewel, pemeriksaan EO dan IO tidak didapatkan perdarahan, pada
pemeriksaan tanda vital pasien didapatkan nadi 126 per menit, respirasi 40x per menit, suhu 36.4 °C,
selanjutnya dilakukan penggantian perban dan pengolesan salep aloclair gel pada pasien oleh
operator. Selanjutnya pasien diinstruksikan untuk pulang dan diresepkan obat amoxicillin sirup 125
mg 3 x ½ cth dan parasetamol sirup 120 mg 3 x ½ cth.

Gambar 10. POD 3

Pasien datang ke poliklinik gigi bedah mulut RSUD Wangaya Denpasar pada tanggal 22
November (H+5 post op) untuk kontrol, pasien datang dengan keadaan umum baik, serta tidak ada
kelainan pada bekas luka operasi, selanjutnya dilakukan penggantian perban dan pengolesan salep
aloclair gel pada pasien oleh operator.
Gambar 11. POD 5
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Definisi

Cleft merupakan “ruang” atau defek kongenital abnormal atau celah/cleft di


bibir atas, alveolus, atau palatum. Kondisi tersebut biasanya disebut bibir sumbing.
Istilah yang lebih tepat adalah cleft lip, cleft palate, atau cleft lip and palate. Celah
bibir dan palatum adalah salah satu kelainan bawaan yang paling sering dijumpai dan
disebabkan oleh gangguan proses tumbuh kembang selama bayi ada di dalam
kandungan dan ditandai dengan adanya ketidaksempurnaan pembentukan bibir bagian
atas atau terdapatnya saluran abnormal yang melalui langit-langit mulut dan menuju
saluran udara di hidung (Hesein, et al., 2018). Cleft lip and palate merupakan kelainan
kongenital berupa celah mulai dari bibir bagian atas hingga gingiva, rahang, dan
palatum yang tidak sepenuhnya menyatu atau berkembang secara terpisah sehingga
tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut, serta prosesus nasalis dan
maksilaris saat trimester pertama perkembangan janin (Worley, et al., 2018). Cleft lip
and palate dapat terjadi secara terpisah (isolated) maupun terjadi bersamaan (Allori, et
al., 2015). Celah dapat terjadi pada satu sisi (unilateral) maupun dua sisi (bilateral)
secara simetris dan asimetris serta dapat meluas ke dasar lubang hidung (komplit) atau
dengan lubang hidung yang masih intak (inkomplit) (Resnick, et al., 2018). Sekalipun
keberadaan cleft lip and palate tidak terlalu membahayakan jiwa penderita, kondisi ini
menyebabkan gangguan mastikasi, estetika pada wajah (khususnya bila tidak diberi
perawatan apapun), gangguan proses komunikasi, dan mengakibatkan keterbatasan
perkembangan sosial individu penderita (Allori, et al., 2015).

3.2. Embriologi

Untuk memahami penyebab celah/cleft, diperlukan pemahaman embriologi


hidung, bibir, dan langit-langit. Seluruh proses berlangsung antara minggu kelima dan
kesepuluh kehidupan janin (intra uterine life). Selama minggu kelima, dua “tonjolan”
yang tumbuh cepat yaitu nasal lateral dan medial swelling. Swelling lateral
membentuk alae/dasar hidung, swelling medial terbagi empat area: (1) bagian tengah
hidung, (2) bagian tengah bibir atas, (3) bagian tengah rahang atas, dan (4) seluruh
palatum primer. Secara bersamaan, swelling maxillary mendekati nasal medial dan
lateral swelling, tetapi tetap terpisah oleh alur yang jelas.
Selama 2 minggu berikutnya, penampilan wajah berubah jauh. Pembengkakan
rahang atas terus tumbuh ke arah medial dan menekan nasal medial swelling ke arah
midline. Selanjutnya, swelling ini secara bersamaan bergabung satu sama lain dan
dengan swelling maxillary secara lateral. Oleh karena itu bibir atas dibentuk oleh dua
swelling nasal medial dan dua swelling maxillary.

Gambar 12. Perkembangan Wajah Intrauterine Life

Kedua swelling medial bergabung tidak hanya di permukaan tetapi juga di


bagian yang lebih dalam. Struktur yang dibentuk oleh dua swelling yang bergabung
dikenal sebagai segmen intermaxillary, yang terdiri dari tiga komponen: (1) komponen
labial, yang membentuk filtrum bibir atas; (2) komponen rahang atas, yang membawa
keempat gigi insisivus dan (3) komponen palatal, yang membentuk palatum primer
berbentuk segitiga. Di atas segmen intermaksila berlanjut dengan septum hidung, yang
dibentuk oleh penonjolan frontal. Dua pertumbuhan seperti rak dari pembengkakan
rahang atas membentuk langit-langit sekunder. Palatina ini muncul pada minggu
keenam perkembangan dan mengarah miring ke bawah di kedua sisi lidah. Namun,
pada minggu ketujuh palatina naik untuk mencapai posisi horizontal di atas lidah dan
menyatu satu sama lain, sehingga membentuk langit-langit sekunder. Di anterior
menyatu dengan palatum primer berbentuk segitiga dan foramen insisivus terbentuk di
persimpangan ini. Pada saat yang sama, septum nasi tumbuh ke bawah dan bergabung
dengan permukaan superior palatum yang baru terbentuk. Palatina menyatu satu
dengan yang lainnya dan dengan langit-langit utama antara minggu ketujuh dan
kesepuluh perkembangan.
Cleft palate primer terjadi akibat kegagalan mesoderm untuk menembus ke
dalam alur antara prosesus nasalis medial dan maksila yang menghalangi
penggabungannya satu sama lain. Cleft palate sekunder disebabkan oleh kegagalan
palatina untuk menyatu satu sama lain (Hupp, et al., 2019).
Gambar 13. Perkembangan Maksila Tampak Ventral

3.3. Etiologi dan Epidemiologi

3.3.1. Etiologi

Secara garis besar, faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya cleft lip
dibagi dalam 2 kelompok, yaitu :

a. Herediter
○ Pada otosomal dominan, orang tua yang mempunyai kelainan ini menghasilkan
anak dengan kelainan yang sama.
○ Pada otosomal resesif adalah kedua orang tua normal tetapi sebagai pembawa gen
abnormal
○ X-Linked adalah wanita dengan gen abnormal tidak menunjukan tanda-tanda
kelainan sedangkan pada pria dengan gen abnormal menunjukan kelainan ini
b. Faktor Lingkungan
○ Faktor usia ibu
○ Obat-obatan
○ Nutrisi
○ Daya pembentukan embrio menurun
○ Penyakit infeksi
○ Radiasi
○ Stress emosional
○ Trauma
3.3.2. Epidemiologi

Berdasarkan ras atau suku prevalensi celah orofasial bervariasi sesuai dengan
etnis (Afrika 0,3: 1000; Eropa 1,3: 1000; Asia 2,1:1000; Amerika 3,6: 1000).
Celah bibir dan atau tanpa celah langitan pada umumnya banyak terjadi pada ras
asli amerika, oriental, Caucasians dan berbanding terbalik yaitu sedikit terjadi
pada ras afrika (Pujiastuti, 2018). Data menunjukkan untuk negara Indonesia
memiliki prevalensi 1 dari 1000 kelahiran bayi menderita celah bibir, jika jumlah
penduduk Indonesia 250 juta jiwa maka tercatat 20 juta jiwa kelahiran bayi
menderita celah bibir (Martelli. et al, 2015). Cleft lip palate secara umum lebih
sering terjadi pada laki-laki yaitu sebesar 65% daripada wanita melalui 1/700
kelahiran. Angka kejadian kasus kelainan ini di Indonesia bertambah rata-rata
7.500 orang per tahun. Pada manusia, beberapa keluarga dengan celah
langit-langit non sindrom memiliki model pewarisan autosom dominan dengan
risiko kekambuhan sekitar 2% jika sudah memiliki satu anak yang menderita
celah langit-langit, sekira 6% jika salah satu orang tua menderita celah
langit-langit dan untuk kembar monozigot memiliki risiko 50-60% sehingga
fakta ini menunjukkan bahwa celah langit-langit memiliki komponen genetik
yang kuat di Indonesia berdasarkan gen TGFβ3 / polimorfisme SfaN1 (Nasroen.
et al, 2017)

3.4. Klasifikasi

Celah bibir diklasifikasikan sebagai lengkap atau tidak lengkap berdasarkan luasnya
celah, serta unilateral atau bilateral tergantung pada apakah itu mempengaruhi satu atau
kedua sisi. Celah bibir yang tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan bibir,
tetapi memiliki pita jaringan yang utuh di seluruh celah. Sebaliknya, celah bibir yang
lengkap melibatkan seluruh ketebalan vertikal bibir dan lebih sering dikaitkan dengan
celah alveolus (Geneser dan Allareddy, 2019).

Celah palatum didefinisikan dengan cara yang sama, baik sebagai lengkap atau tidak
lengkap serta unilateral atau bilateral, celah palatum yang lengkap melibatkan baik
palatum primer dan sekunder serta alveolus. Ada juga kemungkinan yang kurang umum
dari celah palatum yang terisolasi, yang biasanya melibatkan palatum sekunder, posterior
foramen incisivus (Geneser dan Allareddy, 2019).

1. Klasifikasi Veau

Pada Tahun 1931, Victor Veau mengklasifikasikan celah bibir dan palatum.
Meskipun digunakan secara luas dan diterima secara universal pada waktu itu,
klasifikasi ini mengabaikan pasien yang lahir dengan celah alveolus bibir karena juga
tidak mencakup dalam satu klasifikasi beberapa bentuk langka seperti celah bibir dan
palatum lunak. Klasifikasi tersebut membagi celah bibir dan palatum menjadi 4 grup
berbeda (Alonso dan Raposo-Amaral, 2018).

a. Kelas I : Celah palatum lunak


b. Kelas II : Celah palatum lunak dan palatum keras di posterior foramen
insisivus
c. Kelas III : Celah bibir dan palatum lengkap unilateral
d. Kelas IV : Celah bibir dan celah palatum lengkap bilateral

Gambar 14. Klasifikasi Veau

2. Klasifikasi Kernahan dan Stark


Pada tahun 1958 Kernahan dan Stark mengkonsolidasikan konsep embriologi dan
anatomi ketika mereka menggambarkan dan mendefinisikan palatum primer dan
sekunder. Mereka menekankan pengetahuan embriologi sebagai persyaratan untuk
klasifikasi celah yang berguna. Celah palatum primer didefinisikan sebagai celah dari
semua struktur anatomi anterior foramen incisivus, sedangkan celah palatum sekunder
didefinisikan sebagai celah palatum keras dan lunak posterior foramen incisivus,
terjadi pada 7-12 minggu kehamilan. Klasifikasi ini membagi celah menjadi tiga
kelompok (Alonso dan Raposo-Amaral, 2018).

a. Grup 1 : Celah yang mengenai palatum primer


b. Grup 2 : Celah yang mengenai palatum sekunder
c. Grup 3 : Celah yang mengenai palatum primer dan sekunder

Gambar 15. Anatomi Palatum

3. Klasifikasi Y Kernahan
Klasifikasi yang paling umum diterima dikembangkan oleh Kernahan pada tahun
1971, yang mengusulkan klasifikasi Y bergaris dengan foramen incisivus sebagai
referensi. Sistem ini didasarkan pada kemiripan pandangan intra-oral dari celah bibir
dan langit-langit mulut dengan huruf "Y". Area yang terkena celah diberi label dari
1-9, yang masing-masing mewakili struktur anatomi yang berbeda (Smarius dkk.,
2017).
● 1 dan 4 masing-masing mewakili sisi kanan dan kiri dasar hidung.
● 2 dan 5 masing-masing mewakili sisi kanan dan kiri bibir.
● 3 dan 6 masing-masing mewakili sisi kanan dan kiri dari pasangan segmen
alveolar.
● 7 mewakili palatum primer
● 8 dan 9 mewakili palatum sekunder
Gambar 16. Klasifikasi Kernahan

3.5. Gambaran Klinis

Celah bibir dan palatum dapat dibagi menjadi defek pada bibir, alveolus dan
palatum. Celah bibir adalah kegagalan proliferasi mesodermal yang mengakibatkan
defek lengkap atau tidak lengkap. Celah bibir unilateral lengkap meliputi otot orbicularis
oris, di mana bagian medial otot menempel pada kolumela dan bagian lateral ke
kartilago alar nasal. Batas vermillion medial biasanya tipis (disebut gulungan putih).
Celah bibir yang tidak sempurna berkisar dari penutup mukosa hingga defek ringan pada
sebagian besar otot orbicularis yang hampir tidak dapat dideteksi (Azzaldeen dkk.,
2019).

Defek nasal dari celah bibir unilateral cukup konstan. Kartilago lateral bawah
ipsilateral biasanya diratakan dan diputar ke lateral dan inferior, menghasilkan tampilan
yang pendek dan horizontal. Columella pendek dan sering menekuk dan terkilir septum.
Penampilan keseluruhan adalah kubah pipih dengan lubang nasal ipsilateral horizontal
yang lebar (Azzaldeen dkk., 2019).

Celah bibir bilateral mirip dengan defek unilateral dengan pengecualian tidak adanya
otot orbicularis pada aspek medial (premaxilla atau prolabium). Prolabium biasanya
diekstrusi ke tingkat yang bervariasi. Deformitas nasal pada dasarnya merupakan
duplikasi dari defek unilateral, dengan kubah pipih bilateral, columella pendek dan
lubang nasal horizontal bilateral (Azzaldeen dkk., 2019).

Palatum primer adalah bagian anterior dari foramen insisivus. Celah palatum primer
menghasilkan celah dari foramen incisivus melalui alveolus. Celah jenis ini selalu
dikaitkan dengan celah bibir. Celah palatum sekunder adalah kegagalan pertumbuhan
medial palatal shelves. Fusi dimulai pada foramen insisivus dan berlanjut ke posterior.
Vomer berada di garis tengah, dengan berbagai perlekatan pada sisa palatum. Defek
palatum lunak adalah kegagalan fusi garis tengah. Otot palatal menempel pada palatum keras
posterior (Azzaldeen dkk., 2019).

Gambar 17. (A) Celah Unilateral, (B) Celah Bilateral

3.6. Diagnosis

Dengan penggunaan ultrasonografi dalam diagnosis obstetrik rutin, diagnosis


prenatal dari anomali wajah menjadi lebih umum. Hidung dan bibir dapat diidentifikasi
dengan USG dari minggu ke-15 kehamilan, dan palatum antara minggu ke-28 dan ke-33.
Dengan tersedianya teknologi ini, ada peningkatan permintaan untuk klarifikasi dan
panduan tentang perubahan kraniofasial dan fungsional yang terkait dengan celah bibir
dan palatum, serta pilihan terapi (Alonso dan Raposo-Amaral, 2018).

Ultrasonografi 3D dan MRI prenatal akan meningkatkan akurasi diagnosis prenatal


dari celah orofasial. Ultrasonografi 3D dapat memberikan gambaran defek yang lebih
tepat dan telah terbukti meningkatkan pemeriksaan 2D secara signifikan. Sementara
ultrasonografi 3D dapat mencapai diagnosis yang andal dari celah bibir dan/atau celah
palatum janin, hal ini tidak mengesampingkan kasus celah palatum saja (Tonni dkk.,
2017).
Magnetic resonance imaging (MRI) telah berguna untuk diagnosis kelainan prenatal
dibandingkan dengan US, menambahkan informasi berharga atau menyediakan akurasi
diagnostik yang lebih tinggi. Penggunaan MRI meningkat untuk evaluasi kelainan janin
yang sulit diidentifikasi hanya dengan ultrasonografi. MRI janin kurang bergantung
dibandingkan ultrasonografi pada volume cairan ketuban yang optimal, posisi janin, dan
habitus tubuh ibu. Selain itu, visualisasi struktur kecil pada MRI tidak dibatasi oleh
bayangan tulang. MRI memungkinkan visualisasi dari enam tunas gigi anterior (empat di
antaranya muncul dari segmen premaxillary); dan lekukan yang kontinu, halus,
ekogenik, dan berbentuk tapal kuda dari ridge alveolar bantalan gigi. Hal ini
memungkinkan diagnosis celah alveolar, dan tunas gigi yang hilang, sebelum lahir
(Tonni dkk., 2017).

3.7. Managemen Perawatan Pre-Op

3.7.1 Rules of 10
“Rule of ten” merupakan salah satu rekomendasi untuk menentukan waktu
operasi. Orangtua pasien Direkomendasikan oleh Wilhelmsen dan Musgrave bahwa
perbaikan cleft lip dilakukan ketika pasien mencapai minimal berat 10 pon,
hemoglobin 10 gr/dL, dan jumlah sel darah putih <10.000 mm3 . Millard kemudian
memodifikasi rekomendasi ini pada tahun 1976 dengan mengusulkan rule of ten
yang umum digunakan untuk waktu perbaikan. Dilakukan perbaikan pada saat
pasien memiliki berat diatas 10 pon, nilai hemoglobin diatas 10 gr/dL, dan berusia
lebih dari 10 minggu, namun perlu diketahui ini merupakan waktu yang
direkomendasikan dan operasi celah bibir dan langit langit merupakan prosedur
elektif dimana jika terdapat kondisi medis lain yang membahayakan bayi, operasi
celah bibir dan langit-langit dapat ditunda hingga resiko medis minimal (Motamedi,
2013; Gómez and Puerto, 2017).

3.7.2 KIE Prenatal


Pada kasus dimana bayi sudah teridentifikasi dengan cleft baik lip maupun
palate, perlu dilakukan konseling keluarga dan dapat juga dilakukan pemeriksaan
amniocentesis yaitu pemeriksaan yang bertujuan mendeteksi kelainan kormosom
dan kelainan genetik pada bayi. Selain itu pemeriksaan riwayat keluarga secara
lengkap, faktor teratogenik, riwayat anggota keluarga dengan cleft atau kelainan
kongenital lain, masalah perkembangan dan sindrom genetik merupakan hal penting
saat konseling (Zraeqat, 2017).
Gambar 18. Gambaran 3D berbagai Cleft

Kemudian, pemberian edukasi kepada orangtua mengenai manajemennya


sehingga keluarga dapat mengerti mengenai sifat kelainan dan strategi perawatan.
Dukungan psikologis dan emosional sangat penting dalam manajemen kasus cleft
lip/palate untuk mengurangi dampak negatif secara psikologis ketika diagnosis
sudah ditegakkan (Zreaqat, 2017)

3.7.3 KIE Postnatal


Derajat keparahan dari celah bibir dan langit-langit dan deformitas kongenital
lain akan segera terdeteksi ketika bayi lahir. Orangtua harus sadar akan situasi dan
diberikan keyakinan dan rencana tahapan perawatan yang dapat diberikan.
Orangtua pasien dapat “ditenangkan” dengan cara menunjukkan berbagai kasus
preoperative dan postoperative pasien yang sudah pernah dirawat sebelumnya.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, orang tua juga harus dapat mengerti dan
memahami pemberian nutrisi dan membersihkan celah bibir dan langit-langit
bayinya (Ahila, 2019).
Dalam manajemen celah bibir dan langit-langit, menjaga nutrisi yang sesuai
untuk perkembangan dan pertumbuhan bayi merupakan tantangan tersendiri.
Sebelum dapat dilakukan pembedahan, berat yang adekuat harus tercapai. Berbagai
cara feeding atau pemberian nutrisi dilakukan pada pasien pre operatif karena
kebanyakan bayi dengan celah tidak dapat menelan dan menghisap dengan baik
karena tidak adanya “efek vakum” sehingga terkadang dapat terjadi aspirasi saat
bayi mendapat asupan nutrisi (Zraeqat, 2017; Kucukguven, 2019).
● Botol Khusus
Bayi dengan celah bibir dan langit-langit dapat menelan secara normal
setelah makanan yang diberikan mencapai hipofaring tetapi akan mengalami
kesulitan untuk menghasilkan tekanan negatif yang diperlukan dalam mulut
mereka untuk memungkinkan mengisap ASI atau susu botol (Hupp, James.,
dkk, 2019). Sehingga biasanya digunakan jenis dot khusus untuk anak dengan
celah bibir dan langit-langit yaitu dot yang memiliki nipple yang panjang atau
bersayap dimana susu yang keluar bisa langsung menuju ke faring dengan posisi
yang dapat digunakan adalah anak biasanya dipegang pada sudut 45°, yang
mana dapat meminimalkan regurgitasi hidung dan posisi diusahakan lebih tegak
agar tidak mudah tersedak. Pemberian edukasi ke orangtua mengenai tata cara
sangat penting untuk asupan nutrisi dari bayi (Zreaqat, dkk., 2017).
Sekarang sudah terdapat juga berbagai jenis botol susu yang sudah
didesain khusus untuk membantu pemberian asupan nutrisi pada bayi dengan
celah bibir dan palatum ini.

Gambar 19. Posisi dan Botol khusus untuk pasien dengan cleft
Gambar 20. Botol susu yang sudah didesain khusus (Kiri) Pigeon Feeder dengan dot panjang;
(Kanan) Botol susu dengan berbagai tip yang dapat disesuaikan

● Palatal Obturator / Feeding Plate


Feeding obturator merupakan alat bantu prostetik yang didesain untuk
“mengobturasi” atau men-seal cleft dan memisahkan antara kavitas oral dan
nasal. Dengan menutup atau kelainan kavitas oronasal, peranti ini dapat
membantu gerakan menghisap, menelan dan memisahkan antara dua segmen
maksila pada bayi dengan celah pada posisi yang lebih sesuai sebelum
dilakukan pembedahan serta membantu bayi dalam asupan nutrisi dalam
menyusui. Obturator ini selain membantu dalam proses asupan nutrisi,
regurgitasi nasal, menurunkan insiden aspirasi makanan dan tersedah serta
mempercepat waktu pemberian asupan makanan. Selain itu, juga mencegah
lidah “masuk” kedalam defeks dan mengganggu pertumbuhan palatal shelf
menuju midline (Ahila, 2019).
Obturator ini juga membantu membiasakan posisi lidah agar dapat berfungsi
sebagaimana mestinya nanti setelah pembedahan dalam fungsi fonetik dan
perkembangan rahang. Orang tua pasien harus diedukasi mengenai penggunaan
obturator ini selama preoperatif karena selain sangat membantu bayi dalam
proses nutrisi agar dapat mencapai berat badan yang dibutuhkan saat waktunya
pembedahan, juga dapat membantu orangtua sendiri dalam memudahkan
pemberian nutrisi sehari hari (Ahila, 2019).
Namun obturator ini memiliki beberapa kekurangan, diantaranya terkadang
dibutuhkan fabrikasi ulang karena pertumbuhan bayi, dibutuhkan keterampilan
khusus dalam proses pembuatan dan pengerjaan piranti, dan harus sering
dibersihkan untuk menjaga oral hygiene bayi (Ahila, 2019).

Gambar 21. (Atas) Palatal Obturator/ Feeding Plate (Bawah) Contoh Penggunaan Obturator
dengan bantuan elastik dan adhesif ekstraoral

● Nasogastric & Orogastric Tube


Nasogastric tube (NGT) dan Orogastric tube (OGT) merupakan salah satu
cara yang dapat dilakukan dalam membantu pemberian nutrisi pada bayi dengan
celah. Banyak ahli menyatakan jika terdapat deformitas yang terlingkupi celah
palatum atau celah palatum isolated, maka terdapat kemungkinan lebih tinggi
bayi dilakukan bantuan nutrisi menggunakan NGT atau OGT dikarenakan celah
palatum lebih mempengaruhi proses asupan makanan dibanding hanya celah
bibir saja. Pada kasus celah bibir terisolasi hanya mempengaruhi kemampuan
bayi dalam “sealing” antara puting dan botol namun jika sudah melingkupi
palatum atau hanya pada palatum maka akan berhubungan dengan kemampuan
menelan, regurgitasi, tersedak dan kemungkinan aspirasi sehingga memiliki
resiko lebih berbahaya dibandingkan hanya celah bibir saja (Attia, 2019).

Namun terdapat beberapa kekurangan yaitu NGT dan OGT ini memang
efektif namun harus dipakai hanya dalam durasi terbatas dikarenakan resiko
komplikasi, diantaranya paling umum terkait dengan penempatan NGT adalah
ketidaknyamanan, komplikasi pulmonary, resiko perforasi, ulserasi nasal,
esophagitis dan gastritis. Selain itu jika tube ditempatkan untuk pemberian obat
atau nutrisi, penempatan intragastrik harus dikonfirmasi. Memasukkan obat atau
tube makanan ke paru-paru dapat menyebabkan komplikasi besar, termasuk
kematian. Sehingga dibutuhkan edukasi khusus mengenai penggunaan NGT ini
pada bayi dengan celah bibir dan palatum (Sigmon dan An, 2021).

● Oral Hygiene
Selama 8 minggu pertama kehidupan, terkadang disarankan untuk
diberikan 2-3 sendok teh air panas yang sudah didinginkan setelah pemberian
asupan formula. Selain itu dapat juga dibantu dibersihkan dengan cotton buds
lembab yang dapat membantu membersihkan debris atau sisa asupan disekitar
mulut (Bannister, 2008).

3.8. Pembedahan

Tujuan dari penatalaksanaan celah orofasial adalah untuk memperbaiki celah dan
masalah yang berhubungan dengan celah tersebut secara pembedahan, sehingga dapat
mengatasi anomali yang ada, sehingga pasien dapat menjalani hidup dengan normal. Koreksi
ini melibatkan pembedahan yang menghasilkan bentukan wajah yang tidak “menarik
perhatian”, kemampuan berbicara yang baik, dan gigi geligi yang dapat berfungsi secara
optimal dan estetik. Pembedahan dimulai dari usia anak yang sangat kecil (setelah lahir)
hingga beberapa tahun (Hupp, et al., 2019). 
Waktu dilakukannya pembedahan yang sesuai masih menjadi perdebatan dari dokter
bedah, speech pathologist, audiologist, dan ortodontis. Sangat penting untuk memperbaiki
defek yang ada sesegera mungkin, saat bayi sudah bisa menerima pembedahan. Tindakan
pertama yang dilakukan adalah memperbaiki celah pada bibir (Hupp, et al., 2019). 
Keuntungan yang didapatkan jika melakukan penutupan celah palatum pada usia dini
memiliki beberapa kemungkinan kerugian yang dapat ditimbulkan pada individu di
kemudian hari. Enam keuntungan yang didapatkan dari penutupan defek palatal pada usia
dini adalah (Hupp, et al., 2019):
● Perkembangan otot palatal dan faringeal yang lebih baik setelah dilakukan
pembedahan
● Feeding yang lebih mudah
● Perkembangan kemampuan fonasi yang lebih baik
● Fungsi auditory tube yang lebih baik
● Lebih terjaganya kesehatan, jika memiliki rongga mulut dan hidung dengan
fungsi yang kompeten
● Meningkatkan status psikologis orang tua dan bayi

Namun, di sisi lain, penutupan celah palatum pada usia dini memiliki beberapa
kekurangan, yaitu (Hupp, et al., 2019):
● Lebih sulit untuk melakukan koreksi pembedahan beberapa struktur kecil pada
anak dengan usia muda
● Pembentukan bekas luka (scar) akibat pembedahan, yang dapat menyebabkan
terhambatnya atau gangguan pertumbuhan maksila.

Prinsip pembedahan celah orofasial adalah dilakukannya koreksi celah bibir sesegera
mungkin, penutupan celah palatum lunak dilakukan antara usia 8-18 tahun, tergantung dari
faktor-faktor yang mempengaruhi individu tersebut. Penutupan bibir dilakukan sesegera
mungkin akan memberikan keuntungan karena akan aksi “molding” pada alveolus yang
mengalami distorsi. Penutupan bibir juga memberikan manfaat terhadap feeding dan
psikologis anak. Selanjutnya dilakukan penutupan celah palatum untuk menghasilkan
velopharyngeal mechanism saat atau sebelum kemampuan berbicara mengalami
perkembangan. Palatum keras tidak diperbaiki pada saat perbaikan palatum lunak, terutama
jika celah yang terbentuk sangat besar dan lebar. Pada kasus seperti ini, palatum keras
dibiarkan terbuka selama mungkin agar tidak mengganggu pertumbuhan maksila. Penutupan
celah palatum keras dapat ditunda sampai seluruh gigi geligi desidui tumbuh. Penundaan ini
akan memfasilitasi penggunaan alat ortodonti dan pertumbuhan maksila sebelum terbentuk
scar akibat pembedahan. Karena sebagian besar pertumbuhan maksila telah terjadi pada usia
4-5 tahun, penutupan palatum keras dilakukan pada waktu tersebut sebelum usia anak masuk
sekolah. Dapat digunakan removable palatal obturator selama prosedur pembedahan rongga
mulut dan kavitas hidung (Hupp, et al., 2019).
Masalah utama dari evaluasi perawatan pasien dengan celah orofasial adalah
keberhasilan dari perawatan hanya dapat dinilai setelah selesainya pertumbuhan dari pasien
tersebut. Metode pembedahan yang digunakan saat ini tidak dapat diperiksa dengan seksama
hanya dalam waktu 10-20 tahun, sehingga terdapat kemungkinan pasien dengan deformitas
celah orofasial dirawat dengan prosedur yang tidak diperlukan saat pemeriksaan follow-up
dan dapat juga prosedur yang dilakukan akan memberikan ketidakpuasan atau efek yang
buruk (Hupp, et al., 2019).
Penatalaksanaan bedah awal yang dapat dilakukan untuk pasien celah orofasial
adalah dengan Labioplasty / Cheilorrhaphy. Labioplasty atau Cheilorrhaphy merupakan
koreksi pembedahan untuk deformitas pada celah bibir, dan merupakan tahapan awal dari
prosedur perbaikan deformitas celah orofasial. Celah pada bibir atas akan mengganggu m.
orbicularis oris di sekitar mulut. Gangguan kontinuitas otot-otot tersebut akan menyebabkan
perkembangan yang tidak normal pada beberapa bagian dari maksila, sehingga akan
terbentuk celah pada tulang alveolar. Saat pasien lahir, prosesus alveolaris pada sisi yang
tidak mengalami kelainan akan terlihat lebih protrusi dari mulut (Hupp, et al., 2019).
Tujuan dari labioplasty adalah untuk mengembalikan fungsi dari m. orbicularis oris agar
bibir atas dapat berfungsi dengan normal. Jika kontinuitas otot tidak diperbaiki pada area
celah tersebut, akan terlihat adanya lekukan yang tidak estetik saat bibir berfungsi. Tujuan
lainnya adalah agar bibir kembali normal secara anatomis, dimana bibir harus simetris,
memiliki kontur yang baik, lunak, dan scar tidak terlihat secara jelas. Selain itu, diperlukan
pula perbaikan deformitas hidung akibat celah pada bibir agar meningkatkan nilai estetik
(Hupp, et al., 2019).
Teknik pembedahan yang digunakan cukup beragam untuk prosedur labioplasty,
dimana setiap teknik bertujuan untuk memperpanjang margin dari celah untuk memfasilitasi
penutupan celah. Pada kasus celah bibir unilateral, sisi yang normal digunakan sebagai acuan
panjang dan simetrisitas bibir. Titik utama dari desain yang digunakan adalah untuk memutus
garis pada scar untuk meminimalisir deformitas bibir. Prosedur labioplasty dilakukan untuk
mengembalikan simetrisitas bibir dan juga ujung hidung. Dengan adanya celah yang
memanjang melewati dasar hidung, kontinuitas dari nasal apparatus akan terganggu. Tanpa
adanya tulang untuk kartilago alar, aspek lateral dari hidung menjadi tidak normal. Saat bibir
telah tertutup, jaringan yang terdorong ke arah lateral tersebut perlu untuk diperbaiki dan
diarahkan ke midline (Hupp, et al., 2019).
Pada kasus ini digunakan Noordhoff Technique, dimana dibuatkan lateral lip
triangular flap untuk rekonstruksi dry vermilion. Triangular flap dibentuk pada sisi lateral
celah, di area tertinggi vermilion. Jaringan vermilion medial digunakan untuk augmentasi
vermilion yang mengalami defisiensi dibawah cupid’s bow (Chopan, 2016).

Gambar 22. Beberapa Teknik Cheilorrhaphy. (A–B) LeMesurier technique


untuk incomplete unilateral cleft. (C–D) Tennison operation. (E–F) Wynn operation.
(G–H) Millard operation (rotation advancement technique)

Gambar 23. (A) Insisi Noordhoff Flap. (B) Penutupan Noordhoff Flap

3.9. Medikamentosa

Antibiotik profilaksis yang diberikan adalah amoxicillin 200 mg IV selama 30 menit


dan diberikan IVFD RL 18 gtt microdrip. Digunakan Chlorhexidine body wash untuk mandi
sebelum operasi, serta povidone iodine dan alkohol 70% untuk desinfeksi kulit. Antibiotik
profilaksis dapat diberikan sebanyak 4x, sehingga untuk satu kali pemberian, amoxicillin
diberikan dengan dosis 50 mg IV, melihat dosis maksimal untuk amoxicillin sebagai
antibiotik profilaksis adalah 200 mg/hari.
Untuk obat-obatan paska pembedahan, diberikan setiap hari sampai pasien selesai
rawat inap, serta diberikan resep obat untuk saat pasien sudah diperbolehkan pulang.
Obat-obatan yang diberikan adalah sebagai berikut:
a. Rawat Inap 17 November 2022
● IVFD RL 18 gtt microdrip
● Ampicillin 4x50 mg IV
● Antrain 50 mg / 8 jam IV
b. Rawat Inap 18 November 2022
● IVFD RL 18 gtt microdrip
● Ampicillin 4x50 mg IV
● Antrain 3x50 mg IV
c. Rawat Inap 19 November 2022
● IVFD RL 18 gtt microdrip
● Ampicillin 4x50 mg IV
● Antrain 3x50 mg IV
d. Obat Pulang 20 November 2022
● Amoxicillin 3x ½ cth
● Paracetamol 3x ½ cth

Resep yang diberikan untuk pasien anak memiliki perhitungan khusus yang
disesuaikan dengan berat badan pasien. Cara menghitung dosis untuk pasien anak adalah
sebagai berikut:

Resep anak = dosis minimal x kg BB =


dosis sediaan

Contoh kasus : ingin memberikan amoksisilin, dengan berat bayi 5.2 kg, dengan sediaan obat
-> Drop : 100mg/ml, sirup : 125 mg/5ml dan 250 mg/5 ml, tablet : 500 mg/tablet, ingin diberikan
sediaan sirup
Maka hitungnya -> (dosisi amoksisilin anak 10-15mg/kg BB / kali), maka dengan berat badan
5.2 kg -> dosis minimalnya dalam rentang 52mg/ml - 75 mg/ml / kali -> jika dengan sediaan sirup,
berapa yang harus diberikan untuk anak tersebut -> maka, untuk didapatkan 60 mg berapa ml yang
diperlukan -> x = 60 x 5 : 125 = 2.4 ml (½ cth)

Cara menghitung dosis untuk sediaan sirup adalah sebagai berikut:

1 flask Paracetamol = 60 ml, dengan dosis 120 mg/5 ml

Dengan dosis 2,5 ml (½ cth) per kali, 60 ml paracetamol sirup dapat habis dalam
berapa hari?
● Anak dengan berat badan 5-10 kg, dapat diberikan paracetamol sebanyak 3x
sehari. Sehingga dibutuhkan 1,5 cth untuk memenuhi pemberian sebanyak 3x
sehari, dimana dapat diberikan 7,5 ml paracetamol sirup untuk satu harinya.
● Sehingga 1 flask (60 ml) paracetamol, dapat habis dalam 8 hari.
60 ml = 8 hari
7,5 ml

Perhitungan cairan diberikan untuk pasien anak memiliki perhitungan khusus yang
disesuaikan dengan berat badan pasien dan kondisi pasien . Cara menghitung dosis cairan
untuk pasien anak adalah sebagai berikut:

Cairan Maintenance merupakan perhitungan yang diberikan pada pasien anak


dengan kondisi stabil. Adapun cara perhitungannya adalah :

● jika BB anak 1- 10 kg = 100 x kg BB


24 jam

● jika BB anak 11- 20 kg = 1000 + ( kg BB -10) x 50


24 jam

● jika BB anak >20 kg = 1000 + ( kg BB -20) x 20


24 jam
Cairan Rehidrasi merupakan perhitungan yang diberikan pada pasien anak dengan
kondisi kurang stabil (dehidrasi) . Adapun cara perhitungannya adalah :

perhitungan cairan rehidrasi = 50 x kg BB


3 jam

Pada laporan kasus, setelah dilakukan tindakan labioplasty kondisi pasien dalam keadaan
stabil dan tidak mengalami dehidrasi, diketahui berat badan pasien 5 kg. Adapun perhitungan
cairan maintenance adalah sebagai berikut :

● jika BB anak 1- 10 kg = 100 x kg BB


24 jam

= 100 x 5 kg
24 jam
= 20 gtt
maka terapi cairan yang tepat untuk di berikan ke pasien adalah : IVFD RL 20 gtt
microdrip
BAB IV
KESIMPULAN

Celah bibir dan langit-langit adalah sebuah kondisi defek pada anak-anak yang
mengakibatkan belahan pada palatum dan bibir. Selama ini faktor genetik dicurigai menjadi
faktor penyebab kuat dari celah bibir dan langit-langit, namun beberapa studi terkini
menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan gaya hidup dari ibu dapat berkontribusi
mengakibatkan kondisi ini pada bayi. Pencegahan dapat dilakukan dengan memperhatikan
asupan nutrisi dan gaya hidup dari ibu maupun konsultasi kehamilan untuk memeriksakan
kemungkinan anak mengalami celah bibir dan langit-langit. Apabila celah bibir dan
langit-langit tidak diatasi, kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan makan, gangguan
berbicara, serta gangguan pernapasan. Aturan rule of ten merupakan salah satu rekomendasi
untuk menentukan waktu operasi, yang mana penggunaan aturan ini diamati dapat
mengurangi terjadinya komplikasi. Pemberian edukasi ke orang tua selama masa
pretreatment menjadi sangat penting selain nutrisi bayi tercukupi yang berhubungan dengan
pertimbangan operasi selain itu dapat memberikan dukungan dan dorongan ke orang tua
untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan selain kepada bayi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Ahila, S., 2019, Technique of managing a cleft palate in a newborn. Dental Oral Biology and
Craniofacial Research. 2(2) 1-3.

Alonso, N., and Raposo-Amaral, C.E. eds., 2018, Cleft lip and palate treatment: A comprehensive
guide. Springer.

Allori AC., Maera JG., Mulliken JB., Shusterman S., 2015, The Cleft Palate-Craniofacial Journal,
Classification of Cleft Lip/Palate : Then and Now : PubMed.54(2).

Attia, H., 2019, Cleft Lip and Palate Nutritional Assessment and Feeding challenges, Egyptian
Dental Journal, 65(4), pp.3357-3364

Azzaldeen, A., Watted, N., and Muhamad, A., 2019, Cleft Lip and Palate Clinical Update,

IOSR Journal of Dental and Medical Science, 18(6), pp.60-65.

Bannister, P., 2008, Management of infants born with a cleft lip and palate, Part 2. infant journal. 4
(2) 57- 60.

Chopan, M., et al., 2016, Designing Strategies for Cleft Lip and Palate Care, doi: 10.5772/67124.

Geneser, M.K. and Allareddy, V., 2019, Cleft lip and palate. In Pediatric dentistry (pp.

77-87). Elsevier.

Gomez, O. & Puerto, B. 2017, Cleft Lip and Palate, Obstetric Imaging: Fetal
Diagnosis and Care: Second Edition. Elsevier Inc, pp. 311-316.e1.

Hesein E., Aalst JV., Aksoy A. Smile Dental Journal. 2012. Cleft Lip and Palate : The
Multidisciplinary Management,vol 7: issue 4.

Hupp, J. R., Ellis, E., & Tucker, M. R. (2019). Contemporary oral and maxillofacial surgery
(Seventh edition.). St. Louis: Elsevier.

Kucukguven, A,Calis, M., and Ozgur, F., Assessment of nutrition and feeding interventions
in Turkish infants with cleft lip and/or palate, Journal of Pediatric Nursing,
https://doi.org/10.1016/j.pedn.2019.05.024
Nasroen SL, Tajrin A, Fauziah PN, Maskoen AM, Soemantri ESS, Soedjana H, et al. TGFβ3
/ SfaN1 gene variant and the risk factor of nonsyndromic cleft palate only among
Indonesian patients. Cell Mol Biol. 2017;63(2):88– 91.
Mailoa Elizabeth, Launardo Vinsensia , Nurrahma Rifaa. 2018. Penatalaksanaan peningkatan
asupan gizi pada bayi celah bibir dan langit-langit dengan obturator feeding plate.
Makassar Dental Journal, DOI: https://doi.org/10.35856/mdj.v3i5.197
Martelli DRB, Coletta RD, Oliveira EA, Swerts MSO, Rodrigues LAM, Oliveira MC, et al.
Association between maternal smoking, gender, and cleft lip and palate. Braz J
Otorhinolaryngol.2015;81(5):514–9. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.bjorl.2015.07.011
Motamedi, M (ed.). 2013, A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery,
IntechOpen, London. 10.5772/3316

Resnick CM, Estroff JA, Kooiman TD, Calabrese CE, Koudstaal MJ, Padwa BL.
Pathogenesis of Cleft Palate in Robin Sequence: Observations from Prenatal
Magnetic
Resonance Imaging. J Oral Maxillofac Surg. 2018;76(5): 1058-1064.

Sigmon, D.F. and An, J., 2021. Nasogastric Tube. In StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing.

Sjamsudin, E. & Maifara, D. 2017. Epidemiology and characteristics of cleft lip and palate
and the influence of consanguinity and socioeconomic in West Java, Indonesia: a
five-year retrospective study. http://dx.doi.org/10.1016/j.ijom.201 7.02.250

Smarius, B., Loozen, C., Manten, W., Bekker, M., Pistorius, L. and Breugem, C., 2017.
Accurate diagnosis of prenatal cleft lip/palate by understanding the embryology.
World journal of methodology, 7(3), p.93.

Tonni, G., Sepulveda, W. and Wong, A.E. eds., 2017. Prenatal Diagnosis of Orofacial
Malformations. Springer.

Worley ML, Patel KG, Kilpatrick LA. Cleft Lip and Palate. Clin Perinatol.
2018;45(4):661-678.

Zreaqat, M. H. , Hassan, R., Hanoun, A., 2017, 'Cleft Lip and Palate Management from Birth
to Adulthood: An Overview', in J. F. Manakil (ed.), Insights into Various Aspects of
Oral Health, IntechOpen, London. 10.5772/intechopen.68448.

Anda mungkin juga menyukai