Anda di halaman 1dari 6

TUGAS SESI 8 ARS 101

MANAJEMEN KONFLIK
Dr Rokiah Kusumapradja, MHA

NAMA/NIM KELOMPOK:
1. Putri Siska Oviadita (20200309156)
2. Felicia Nathania ( 20200309157)
3. Mia Amalia (20200309158)
4. Pricillia Horas The (20200309159)
5. Nurullah Armyta (20200309160)
KELAS : KJ-102 (KELAS B)
Program Studi : Magister Administrasi Rumah Sakit Universitas Esa Unggul

A. Pendahuluan
1. Identifikasi Konflik di Tempat Kerja
Ketidakpatuhan dokter spesialis jantung dan dokter spesialis bedah umum terhadap
penggunaan antibiotik profilaksis yaitu cefazoline sebagai lini terapi pertama.

2. Jenis Konflik
Konflik yang terjadi adalah antara individu dengan kelompok/organisasinya. Dalam kasus
diatas, beberapa dokter spesialis jantung dan dokter spesialis bedah mempunyai pandangan
bahwa tidak semua tindakan dapat menggunakan antibiotik profilaksis cefazoline. Untuk case-
case tertentu, dokter-dokter tersebut berpandangan bahwa antibiotik yang digunakan sudah harus
golongan lebih tinggi yaitu meropenem dan doripenem, sementara pandangan organisasi dalam
hal ini diwakili tim PPRA berdasarkan data pola kuman di rumah sakit didapatkan hasil yaitu
untuk antibiotik profilaksis adalah cefazolin.

3. Akibat Konflik yang terjadi


Adanya ketidakpatuhan dokter terhadap keputusan yang ditetapkan oleh tim PPRA
dikhawatirkan berdampak kepada meningkatnya presentase resistensi antibiotik pada pasien di
rumah sakit.
B. Diskusi
1. Kedudukan Awal
Dalam menyelesikan konflik tentang ketaatan pra bedah yang berhubungan dengan
profilaksis, penting untuk mengetahui kedudukan awal konflik tersebut yaitu harus mencari tahu
alasan DPJP/operator (dokter spesialis jantung dan dokter spesialis bedah umum) tidak patuh
terhadap penggunaan antibiotik profilaksis, misalnya alasan DPJP tidak menggunakan first
choice antibiotik yang sudah ditentukan, alasan DPJP tidak memberikan antibiotik, dan lain-lain.
Untuk menyelesaikan konflik tentang ketaatan pra bedah yang berhubungan dengan profilaksis
antibiotik antara manajemen dan operator, maka kita harus memahami 7 elemen negoisiasi untuk
menyelesaikan konflik tersebut, yaitu:
 Hubungan: Bagaimana hubungan antara pihak yang terlibat konflik.
 Komunikasi: Kualitas komunikasi yang telah berlangsung atau sedang berlangsung dan cara
komunikasi antara pihak yang terlibat konflik.
 Kepentingan: Kebutuhan, tujuan, harapan, dan ketakutan yang memotivasi masing-masing
pihak serta masalah apa yang menimbulkan pertentangan.
 Pilihan-pilihan: Perencanaan masing-masing pihak dalam pelayanan kesehatan.
 Standar: Kriteria apa yang mendasari pandangan masing-masing pihak yang terlibat dalam
konflik.
 Alternatif: Solusi alternatif dari kedua belah pihak.
 Komitmen: Komitmen dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah.
Pada tahap ini, negosiator akan membuka dan menggali informasi awal tentang konflik yang
terjadi yaitu mengapa operator kurang taat terhadap penggunaan profilaksis antibiotik pra-bedah
(DPJP tidak menggunakan first choice antibiotik yang sudah ditentukan, DPJP tidak memberikan
antibiotik, dan lain-lain), serta harus menguasai dan memahami konflik tersebut. Sedikit
kesalahan pada tahap ini akan berpengaruh terhadap pandangan pihak yang terlibat konflik,
tetapi keberhasilan dalam tahap ini dapat meningkatkan keyakinan pihak yang terlibat konflik
karena menganggap negosiator memahami konflik yang terjadi dengan jelas, sehingga
penawaran yang diberikan untuk menyelesaikan konflik akan mudah diterima oleh pihak yang
terlibat konflik. Pada tahap ini harus dilakukan komunikasi, tanya jawab (wawancara), dan juga
harus sesuai dengan etika. Selain itu, negosiator juga harus mempunyai listening skill di mana
negosiator harus tetap fokus dan berkonsentrasi terhadap informasi-informasi yang disampaikan
oleh pihak-pihak yang terlibat konflik karena hal tersebut sangat membantu dalam memahami
konflik yang sedang terjadi dan menyiapkan penawaran untuk menyelesaikan konflik tersebut.

2. Konsesi
Konsesi adalah mengalah untuk mencapai kesepakatan. Konsesi dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik tentang masalah ketaatan pra bedah yang berhubungan dengan profilaksis
pada DPJP. Biasanya konsesi dilakukan jika sudah tidak ada titik temu dalam konflik ketaatan
pra bedah yang berhubungan dengan profilaksis. Misalnya konflik di mana DPJP tidak mau
mengikuti first choice antibiotik yang sudah ditentukan dan jika dalam konflik ini, tidak ada
kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat konflik, maka harus dilakukan konsesi untuk
menyelesaikan konflik tersebut. Konsesi harus dilakukan jika sudah tidak ada kesepakatan antara
pihak-pihak yang terlibat konflik agar tidak menimbulkan dampak yang buruk pada pasien dan
kualitas pelayanan kesehatan RS tersebut. Konsesi dapat dilakukan tanpa syarat (unconditional)
atau dengan syarat (conditional). Beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan sebelum
melakukan konsesi:
 Timing harus pas, jangan terburu-buru melakukan konsesi.
 Alasan harus jelas, supaya kedua belah pihak yang mengalami konflik mengerti.
 Konsesi sebaiknya dilakukan bersyarat, supaya tidak ada pihak yang terlihat kalah atau
menang.
 Menunjukkan kalau konsesi yang dilakukan dapat memberikan nilai dan manfaat bagi orang
lain.
 Harus ada sikap positif dari kedua belah pihak yang menjalankan konsesi.
Teknik membuat konsesi yang baik:
 Label your consession→ Memastikan konsesi yang diberikan mendapat
perhatian/penghargaan dari pihak yang mengalami konflik.
 Demand reciprocity→ Mengusahakan agar masing-masing pihak yang mengalami konflik
mendapatkan imbalan atau keuntungan dari konsesi yang diberikan.
 Make concession in installments→ Jangan memberikan konsesi sekaligus, namun perlu juga
dilihat aspek psikologis dari pihak-pihak yang mengalami konflik.

C. Propose (Sesuai Tujuan dan Rencana Baru)


Untuk menangani konflik yang terjadi yakni ketidakpatuhan DPJP terhadap penggunaan
cefazoline, organisasi dapat melakukan pendekatan kepada DPJP dengan berbagai alternatif
penawaran. Penawaran tersebut hendaknya sama-sama tidak merugikan semua pihak sehingga
diperoleh win win solution agar tujuan akhir dapat dicapai, yakni angka kepatuhan DPJP
terhadap penggunaan cefazoline menjadi lebih meningkat. Beberapa penawaran dan strategi
yang dapat ditawarkan antara lain:
1. Berkordinasi dengan komite medis rumah sakit untuk sosialisasi penggunaan cefazoline
sebagai lini pertama antibiotik profilaksis seperti yang diusulkan oleh tim PPRA.
2. Berkordinasi dengan komite PFT RS agar obat tersebut masuk kedalam formularium RS.
3. Berkordinasi dengan penyedia obat yang telah bekerja sama dengan RS untuk mengadakan
RTD mengenai fungsi dan manfaat obat tersebut serta kaitannya dengan resistensi
antimikroba rumah sakit.
4. Bekerjasama dengan vendor obat agar menjamin ketersediaan obat tersebut dalam farmasi RS.
5. Bekerjasama dengan penyedia obat agar aktif melakukan detailing kepada para DPJP.
6. Kepatuhan penggunaan obat cefazoline sebagai antibiotik lini pertama dijadikan sebagai salah
satu penilaian kinerja DPJP (Evaluasi praktik klinis professional berkelanjutan/OPPE)

D. Bargain (Rencana Baru, Kompromi, Komitmen, dan Tindak Lanjut)


Antibiotik profilaksis pada pasien pra-bedah merupakan hal yang wajib diberikan kepada
pasien. Hal ini bertujuan untuk menekan pertumbuhan koloni kuman. Antibiotik yang diberikan
adalah antibiotik dengan golongan yang paling rendah, toksisitasnya rendah, dan bukan
merupakan antibiotik definitif maupun empiris. Beberapa DPJP/operator dalam hal ini dokter
spesialis jantung dan dokter spesialis bedah mempunyai pandangan bahwa tidak semua tindakan
dapat menggunakan antibiotik profilaksis cefazoline. Untuk case-case tertentu, mereka
berpendapat bahwa antibiotik yang digunakan sudah harus golongan lebih tinggi yaitu
meropenem dan doripenem, sementara pandangan manajemen RS yang diwakili tim PPRA,
penggunaan antibiotik profilaksis berdasarkan data pola kuman di rumah sakit didapatkan hasil
yaitu cefazolin. Antibiotik profilaksis diberikan 30 – 60 menit sebelum dilakukan operasi dan
diberikan secara drip intravena. Lama pemberian 15- 30 menit dan dosis tunggal.
Banyak operator yang kurang patuh dalam penggunaan antibiotik profilaksis pra-bedah
dengan berbagi alasan. Hal ini memberikan dampak yang kurang baik terhadap pasien yaitu
dapat menimbulkan infeksi pada pasien. Selain itu, banyak konflik yang terjadi antara
manajemen dan operator akibat ketidakpatuhan operator terhadap penggunaan antibiotik
profilaksis pra-bedah. Konflik yang terjadi antara operator dan manajemen terkait penggunaan
antibiotik harus termasuk dalam program PPRA.
Dalam mensosialisasikan panduan antibiotik harus didahului adanya pemetaan kuman dan
pemetaan pemakaian antibiotika di rumah sakit, meskipun hubungan dokter dan manajemen
adalah hubungan vertikal namun keberadaan dokter sebagai lini depan membutuhkan pendekatan
khusus yang lebih baik dilakukan secara pendekatan ilmiah. Hal ini bertujuan agar dokter dapat
melihat landasan medis dan evidence based dalam keputusan manajemen untuk pemberian
antibiotik. Komunikasi yang dilakukan dapat berupa suatu pertemuan ilmiah yang
menyampaikan hasil-hasil temuan RS dan kemudian diedarkannya buku pannduan berdasarkan
hasil temuan tersebut. Sekiranya ada masukan maka hal itu menjadi pertimbangan dan tidak
menutup kemungkinan untuk adanya adaptasi dari panduan bilamana memang masukan itu
didukung oleh data yang memadai. Sedapat mungkin kepentingan semua pihak diakomodir dan
tentu saja mengedepankan keselamatan dan kebaikan pasien.
Aturan panduan ini terutama menjadi guideline pada pasien operasi akan dievaluasi oleh tim
PPI melalui data pemantauan dari farmasi untuk dinilai tingkat kepatuhan operator. Bilamana
ada yang tidak sesuai maka dilakukan evaluasi terhadap kasus tersebut dan apabila memang
kurang dapat diterima kemelencengan tersebut maka diadakan pembicaraan ilmiah dengan
DPJP/operator. Tentu saja pilihan antibiotik diperluas dalam spektrum yang sama sehingga bila
ada kekosongan dan suatu kebutuhan maka dapat diakomodir dengan pilihan lain. Hasil dari
evaluasi kepatuhan penggunaan antibitotik menjadi laporan bulanan dari tim PPI untuk
dievaluasi organisasi. Organisasi melakukan evaluasi kepatuhan secara bertahap. Dibuat satu
indikator yang nilainya dapat diukur dan dibandingkan pencapaiannya dengan target pencapaian
kepatuhan DPJP terhadap penggunaan cefazoline sebagai lini pertama antibiotik yang telah
ditetapkan. Hasil pencapaian tersebut dianalisa dan dijadikan bahan evaluasi serta rencana
tindak lanjut yang akan dilakukan. Selain itu, untuk menjembatani berbagai alasan para dokter
operator maka bisa dilakukan pembuatan daftar pilihan antibiotik untuk masing-masing KSMF.
Setelah disepakati maka dituangkan dalam clinical pathway yang wajib dijalankan oleh masing-
masing KSMF.
Tindak lanjut dilakukan bilamana operator mengabaikan dan tidak menuruti guideline secara
berkali-kali sehingga perlu dibicarakan dengan manajemen. Sedapat mungkin diupayakan
pendekatan yang persuasif dan mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Anda mungkin juga menyukai