Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

PATOFISIOLOGI DAN ASUHAN KEPERAWATAN SERTA


PEMERIKSAAN FISIK KELAINAN KOGENITAL PADA SISTEM
PENCERNAAN PADA HIRSCHSPRUNG DAN ATRESIA ANI

Disusun Oleh:

1. Dyah Ayu Widyaningsih P07220218005


2. Lois Greis Dombulan P07220218011

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PRODI SARJANA TERAPAN KEPARAWATAN
2020

i
MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

PATOFISIOLOGI DAN ASUHAN KEPERAWATAN SERTA


PEMERIKSAAN FISIK KELAINAN KOGENITAL PADA SISTEM
PENCERNAAN PADA HIRSCHSPRUNG DAN ATRESIA ANI

Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Keperawatan Anak

Disusun Oleh:

1. Dyah Ayu Widyaningsih P07220218005


2. Lois Greis Dombulan P07220218011

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PRODI SARJANA TERAPAN KEPARAWATAN
2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya dan tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
“Patofisiologi Dan Asuhan Keperawatan Serta Pemeriksaan Fisik Kelainan

ii
Kogenital Pada Sistem Pencernaan Pada Hirschsprung Dan Atresia Ani” untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan baik tulisan
maupun informasi yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, kami berterima kasih
kepada Ibu Ns Junita Lusty, S.Kep atas bimbingannya dalam menulis dan
menyusun makalah ini, sehingga penulis dapat membuat makalah sesuai dengan
kaidah dalam membuat karya tulis.
Walaupun makalah ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, kami
sangat mengharapkan kepada para pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran
yang sifatnya membangun demi kebaikan dan kesempurnaan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat selalu bermanfaat bagi pembaca dan atas
kekurangan dalam makalah ini kami mohon maaf. Terakhir tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih.

Samarinda, 26 Januari 2020

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................i


LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................ii
KATA PENGANTAR .....................................................................................iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................6
B. Rumusan Masalah ................................................................................6
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................6
D. Manfaat Penulisan ................................................................................7
E. Sistematika Penulisan ..........................................................................7

iii
BAB II TELAAH PUSTAKA
A. Hirschsprung ........................................................................................8
B. Atresia Ani ...........................................................................................16
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Hirschsprung ........................................................................................20
B. Atresia ani ............................................................................................25
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................................34
B. Saran ...................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelainan kongenital merupakan suatu kelainan baik struktural maupun
fungsional yang timbul pada masa gestasi. Kelainan ini merupakan salah satu
kontributor terbesar terhadap tingkat kematian dan kesakitan baik pada usia
neonatus, bayi, dan anak-anak. Dari hasil studi yang dilakukan oleh
Christianson pada tahun 2006 diketahui sebanyak 3,3 juta anak dibawah usia 5
tahun meninggal setiap tahunnya dan sekitar 3,2 juta anak mengalami
disabilitas akibat kelainan kongenital (Maritska dan Kinanti, 2016).
Kelainan kongenital dapat terjadi pada semua sistem tubuh, salah satunya
pada sistem pencernaan. Penyakit Hirschsprung dan Atresia Ani merupakan
salah satu dari kelainan kongenital yang terjadi pada sistem pencernaan.
Penyakit Hirschsprung atau megakolon kongenital adalah suatu kelainan
bawaan dimana tidak ditemukannya ganglion pada usus besar, mulai dari
sfingter ani interna kearah proksimal termasuk rektum, dengan gejala klinis
berupa gangguan pasase usus (KEPMENKES RI, 2017).
Insiden penyakit Hirschsprung di Indonesia belum begitu jelas. Jika
diperkirakan angka insiden 1 diantara 5000 kelahiran hidup, maka dapat
diprediksi dengan jumlah penduduk 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per juta
kelahiran, akan lahir 1400 bayi setiap tahunnya dengan penyakit hirschsprung.
Penyakit Hirschsprung dianggap sebagai kasus kegawatdaruratan bedah yang
perlu penanganan segera. Pemahaman mengenai penyakit ini di Indonesia
masih kurang sehingga pasien sering terlambat diberikan tatalaksana yang
adekuat, yang berdampak pada peningkatan morbiditas dan mortalitas serta
biaya pengobatan (KEPMENKES RI, 2017).
Atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang
badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura.
Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau
buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak
lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.
Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain
yaitu Anus imperforata.

5
Kelainan kongenital anus dan rektum relatif sering terjadi. Malformasi kecil
terdapat pada 1 diantara 500 kelahiran hidup, sedangkan malformasi besar
terjadi pada 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Kasus pada laki-laki lebih sering
terjadi daripada perempuan. Pada laki-laki paling sering didapatkan fistula
rektouretra, sedangkan pada perempuan paling sering didapatkan fistula
rektovestibuler.
Dalam asuhan neonatus tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat
kongenital pada anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk
mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi
saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir,
tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau
pemeriksaan perineum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dikaji adalah
“Bagaimana patofisiologi dan asuhan keperawatan serta pemeriksaan fisik
kelainan kogenital pada sistem pencernaan pada hirschsprung dan atresia Ani”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk memahami patofisiologi dan asuhan keperawatan serta pemeriksaan
fisik kelainan kogenital pada sistem pencernaan hirschsprung dan atresia
Ani
2. Tujuan Khusus
a. Untuk memahami patofisologi kelainan kogenital pada hirschsprung dan
Atresia Ani
b. Untuk memahami asuhan keperawatan kelainan kogenital pada
hirschsprung dan Atresia Ani
c. Mampu melakukan pemeriksaan fisik kelainan kogenital pada
hirschsprung dan Atresia Ani

D. Manfaat penulisan
1. Bagi penulis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk menjadi calon
perawat yang profesional dalam melakukan asuhan keperawatan pada
kelainan kongenital sistem pencernaan Hirschsprung dan Atresia Ani.
2. Bagi pembaca

6
Memberikan informasi tambahan yang berguna bagi pembaca dalam
menambah ilmu pengetahuan serta sebagai referensi dalam proses
pendidikan.

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Makalah ini diawali dengan halaman judul, kata pengantar, dan
daftar isi.
2. BAB I yang merupakan pendahuluan dibagai menjadi beberapa sub-
bab seperti latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
3. BAB II yang merupakan telaah pusataka yang berisi konsep dari
kelainan kongenital sistem pencernaan hirschsprung dan Atresi Ani.
4. BAB III yang berisi konsep asuhan keperawatan pada kelainan kongenital
sistem pencernaan Hirschsprung dan Atresia Ani.
5. BAB IV yang merupakan penutup yang dibagi menjadi beberapa sub-bab
yaitu kesimpulan dan saran.

7
BAB II
TELAAH PUSTAKA

A. Hirschsprung

Gambar 1. Penyakit Hirschsprung


1. Definisi
Penyakit hirschsprung merupakan kelainan bawaan pada kolon yang
ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus
submukosus Messneri dan pleksus Mienterikus Auerbachi yang disebabkan
oleh terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista neuralis di daerah kolon
distal pada minggu ke-5 sampai minggu ke-12 kehamilan, dimana waktu
kehamilan ini akan membentuk sistem saraf intestinal dan 10% terjadi di
rektum dan sigmoid (Rochadi, 2013).
Pada keadaan normal akan ditemukan saraf (sel ganglion) yang berfungsi
mengontrol otot usus untuk bergerak secara ritmis mendorong feses sampai
pada rectum. Sedangkan pada penderita Hirschsprung saraf ini tidak
ditemukan sehingga feses tidak dapat terdorong dan mengakibatkan perut
membuncit (Surya dan Dharmajaya, 2014).
Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan yang sering dijumpai
sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Penyakit Hirschsprung
memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh riwayat atau latar belakang
keluarga dari ibu. Angka kejadian penyakit Hirschsprung sekitar 1 di antara
4400 sampai 7000 kelahiran hidup, dengan rata-rata 1:5000 kelahiran hidup.
Dengan mayoritas penderita adalah laki-laki dibandingkan wanita dengan
perbandingan 4:1(Surya dan Dharmajaya, 2014).

2. Etiologi

8
Menurut puri dan friedmaacher (2018), terdapat 2 penyebab dari
Hirschsprung yaitu:
a. Kegagalan migrasi sel Neural Crest
Sistem Saraf Enterik (ENS) merupakan sistem saraf perifer terbesar
dan divisi paling kompleks yang mengandung sekitar 100 juta neuron.
Berada di dalam dinding saluran pencernaan, merupakan jaringan kerja
persyarafan yang unik, dimana sebagian besar berfungsi terlepas dari
sistem saraf pusat. Salah satu fungsi ENS adalah untuk mengkoordinasi
motilitas usus yang normal dan aktivitas sekretori.
Secara umum diterima bahwa sel-sel usus enterik terutama berasal
dari sel-sel krista neural krista (NCCs). Puncak saraf embrionik muncul
dalam tabung saraf, berasal dari sistem saraf pusat, tetapi NCC terlepas
dari jaringan ini melalui pengurangan adhesi sel-sel dan matriks-sel.
Transformasi epiteliodenkim memungkinkan NCC bermigrasi di
sepanjang jalur. Pemilihan jalur kemungkinan besar dicapai dengan
kombinasi molekul yang seimbang yang mempromosikan dan
mengurangi adhesi. Tidak adanya sel ganglion dalam HD telah dikaitkan
dengan kegagalan migrasi NCC. Semakin awal penangkapan migrasi,
semakin lama segmen aganglionik.
Sel- sel dari puncak saraf mengalami proses migrasi dari proksimal ke
distal selama 13 minggu pertama kehamilan, setelah itu berdiferensiasi
menjadi sel ganglion dewasa. Terdapat 2 teori tentang bagiamana proses
ini terganggu pada anak-anak yang menderita penyakit Hirschsprung.
Yang pertama adalah sel ganglion tidak pernah mencapai usus distal,
karena sel ganglion sudah dewasa atau berdiferensasi menjadi sel-sel
ganglion lebih awal dari seharusnya. Sedangkan pada teori ke dua sel-sel
ganglion berhasil mencapai usus distal tetapi gagal untuk bertahan hidup
atau berkembang biak (Langer, 2013).
b. Faktor genetik
Peran faktor genetik dalam etiologi HD ditunjukkan oleh peningkatan
risiko kekambuhan saudara kandung individu yang terkena dibandingkan
dengan populasi umum: rasio jenis kelamin yang tidak seimbang,
hubungan HD dengan penyakit genetik lainnya (termasuk anomali

9
kromosom dan sindrom malformasi kongenital), dan adanya beberapa
model hewan aganglionosis kolon yang menunjukkan mode pewarisan
spesifik Mendolia.
Risiko kekambuhan pada saudara kandung tergantung pada jenis
kelamin orang yang terkena dan tingkat aganglionosis. Badner et al
menghitung risiko penularan HD ke kerabat dan menemukan bahwa
risiko kekambuhan pada saudara kandung meningkat ketika
aganglionosis menjadi lebih luas. Saudara laki-laki pasien dengan recto-
sigmoid HD memiliki risiko lebih tinggi (4%) daripada saudara
perempuan (1%). Risiko yang jauh lebih tinggi diamati dalam kasus HD
segmen panjang. Saudara dan putra dari individu wanita yang terkena
memiliki risiko 24 dan 29% untuk terkena dampak, masing-masing.
Selain itu, tingkat reproduksi yang berbeda antara pria dan wanita dapat
berkontribusi pada asimetri transmisi orang tua yang terlihat dalam HD.
Penyakit Hirschsprung dihubungkan dengan adanya mutasi pada
paling kurang 12 gen yang berbeda. Penyebab Hirschsprung dapat
dihubungankan dengan adanya sekitar 12% individu yang mengalami
abnormalitas dari kromosomnya dan kromosom yang paling
berhubungan dengan Hirschsprung adalah down syndrome (trisomi 21)
dimana dapat terjadi 2-10% dari kasus Hirschsprung, sedangkan pada
individu dengan down syndrome sekitar 100 kali lipat lebih tinggi
beresiko menderita penyakit Hirschsprung dibandingkan individu yang
normal (KEPMENKES RI, 2017).

10
3. Klasifikasi

a. Segmen Pendek (Short Segment) ketika kolon yang tidak mempunyai


sel ganglion tidak melampaui sigmoid atas usus besar,
b. Segmen Panjang (Long Segment) saat aganglionosis meluas ke fleksura
lien atau kolon transversum, dan
c. Aganglionosis kolon total (TCA) ketika aganglionis segmen melibatkan
seluruh usus besar dengan segmen pendek ileum terminal.

Aganglionosis usus total dengan tidak adanya sel ganglion dari


duodenum ke rectum adalah bentuk HD paling langka dan merupakan
penyebab tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Ultrashort segment
HD adalah kondisi langka, akterisasi oleh segmen aganglionik 1-3 cm
panjangnya "Zonal aganglionosis" adalah fenomena Nomenon yang
melibatkan zona aganglionosis terjadi dalam usus yang biasanya terbalik.
Lewati segmen HD (SSHD) melibatkan “lewati area” usus yang biasanya
ganglionated dikelilingi secara proksimal dan distal oleh aganglionosis.

11
Terjadinya SSHD tidak memiliki penjelasan embriologis yang jelas (Puri
dan Friedmacher, 2018).

4. Patofisiologi
Tidak adanya sel ganglion pleksus auerbach yang berada pada lapisan
otot dan pleksus meissner pada submukosa mengakibatkan hipertrofi pada
serabut saraf dan terjadi kenaikan kadar asetikolinesterase. Enzim ini
memproduksi serabut saraf secara spontan dari saraf parasimpatik ganglia
otonom dalam mencegah akumulasi neurotransmiter asetikolin pada
neuromuskular junction. Gangguan inervasi parasimpatis ini menyebabkan
incoordinate peristalsis, sehingga menggangu propulsi isi usus. Obstruksi
kronik dapat menyebabkan distensi abdomen yang beresiko terjadinya
enterokolitis (KEPMENKES RI, 2017).
a b

Gambar 2. Bayi baru lahir dengan Hirschsprung's penyakit yang ditandai dengan distensi
abdomen yang ditandai dan kegagalan untuk mengeluarkan mekonium (a). Patologi kotor khas
pada penyakit Hirschsprung menunjukkan dilatasi dan hipertrofi kolon proksimal dengan zona
transisi pada tingkat rectigmigmoid (b)
5. Teknik Pembedahan
Pada dasarnya penyembuhan penyakit hirschsprung hanya dapat dicapai
dengan pembedahan, berupa pengangkatan segmen usus aganglion, diikuti
dengan pengembalian kontinuitas usus. Prosedur bedah pada penyakit
hirschsprung dibagi menjadi 2 yaitu bedah sementara dan bedah definitif.
Prosedur operasi tahap 1 memungkinkan jika diagnosis dapat ditegakkan
lebih awal sebelum terjadi dilatasi kolon pada hirschsprung’s disease short
segment, sedangkan untuk penyakit hirschsprung long segment dan total
kolon aganglionosis sebaiknya dilakukan dalam 2 tahap.

12
a. Tindakan Bedah Sementara (pembuatan stoma), merupakan tindakan
emergensi atau elektif. Tindakan emergensi diperlukan bila dekompresi
rektum tidak berhasil. Sedangkan tindakan bedah sementara elektif
dilakukan bila tindakan dekomprei berhasil untuk persiapan operasi
definitif.
b. Tindakan Bedah Definitif , dapat dikerjakan dengan atau tanpa melalui
tindakan bedah sementara. Tindakan bedah definitif yang dikerjakan
tanpa bedah sementara dilakukan pada penderita yang berhasil
didekompresi dengan menggunakan pipa rektum dengan penilaian
kaliber kolon normal. Irigasi rektum reguler selama waktu tertentu
dapat mengembalikan kaliber kolon yang distensi dan hipertrofi ke
kaliber yang normal sehingga dapat menghindari tindakan pembuatan
stoma dan pasien mempunyai kesempatan mendapatkan operasi satu
tahap. Prosedur operasi saat ini yang dilakukan dapat berupa operasi
terbuka atau operasi dengan bantuan laparaskopi.
1) Prosedur Swenson, operasi yang dilakukan adalah tarik terobos (pull-
through) rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan
meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata. Swenson
memperbaiki kembali metode operasinya (tahun 1964) dengan
melakukan spinkterektomi posterior, dengan hanya menyisakan 2 cm
rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior.
2) Prosedur Duhamel, prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956
untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson.
Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang
ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang
aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik
dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.
3) Prosedur Reihbein, prosedur ini tidak lain berupa deep anterior
resection yang diekstensi ke distal sampai dengan pengangkatan
sebagian besar rektum kemudian dilakukan anastomose end to end
antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3

13
cm di atas anal verge), menggunakan jahitan 1 (satu) lapis yang di
kerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Paska operasi, sangat
penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.
4) Prosedur Soave, tujuan utama dari prosedur Soave adalah
membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik
terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen
rektum yang telah dikupas tersebut.
5) Transanal endorectal pull-through, prosedur ini mulai diperkenalkan
pada tahun 1998 oleh De La Torre-Mondragon, Ortega-Salgado, dan
Langer. Prosedur ini yang saat ini banyak disenangi karena
menurunkan morbiditas, tanpa kolostomi, tanpa membuka perut, dan
invasif minimal. Pada teknik ini pasien dalam posisi litotomi
kemudian dilakukan mukosektomi distal rektum melalui anus sampai
pada segmen yang normal kemudian dianastomisis ke anus.
Kekurangan prosedur ini tidak bisa dilakukan pada kasus yang
enterocolitis berulang dan segmen panjang. Pada pasien-pasien
segmen panjang hisrchsprung, tindakan ini dilakukan dengan bantuan
laparoskopi.
6) Tindakan definitif dilakukan pada kasus hirschsprung yang total
aganglionik, tindakan operasi defenitif adalah modifikasi dari teknik-
teknik di atas. Antara lain Martin’s procedure, dan Kimura’s
procedure. Studi menunjukkan bahwa reseksi kolon total dapat
menyebabkan penurunan fungsi liver dan mengharuskan
dilakukannya transplantasi hati.
7) Laparoscopic assisted pull through
Pertama kali dilaporkan oleh Georgeson pada tahun 1995. Prosedur
dilakukan dengan memasukkan kamera 4-5 mm sudut 300 pada
kuadran kanan atas abdomen tepat dibawah batas hepar. Setelah
dilakukan pengangkatan segmen aganglionik kolon dan rektum
prosedur dilanjutkan dengan diseksi transanal mukosa rektum dengan
cara yang sama seperti metode Transanal Endo Rectal Pull Through
(TERPT). Keuntungan utama dari pendekatan laparoscopic adalah

14
memungkinkan untuk melakukan biopsi seromuskular sebagai
penanda kolon dengan ganglion yang normal. Teknik ini juga
memudahkan diseksi distal aganglionik kolon dan rektum dengan
visualisasi secara langsung (KEPMENKES, 2017).

15
B. Atresia Ani
1. Definisi
Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus.
Merupakan kelainan kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal
pada anorektal di saluran gastrointestinal. Atresia ani atau anus
imperporata adalah malformasi congenital dimana rectum tidak
mempunyai lubang ke luar (Wong,2004). Atresia ani / Atresia rekti adalah
ketiadaan atau tertutupnya rectal secara kongenital (Dorland, 1998).
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rektum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002).
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang
atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
2. Etiologi
Penyebab kelainan ini belum diketahui secara pasti tetapi ini
merupakan penyakit anomaly congenital (Bets. Ed tahun 2002). Akan
tetapi atresia ani juga dapat disebabkan oleh beberapa factor, antara lain :
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur sehingga
bayi lahir tanpa lubang anus
b. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia
12 minggu / 3 bulan. Untuk mencegah hal ini terjadi, ibu
hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi banyak asm folat yang
bersumber dari sayur dan buah.
c. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan
embriologik didaerah usus, rectum bagian distal seda traktus
urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai
keenam usia kehamilan.
d. Atresia ani juga berkaitan dengan sindrom down yang diidap
oleh anak sejak lahir.
3. Patofisiologi
Terjadinya anus imperforata karena kelainan congenital dimana
saat proses perkembangan embrionik tidak lengkap pada proses
perkembangan anus dan rectum. Rektum dan anus diyakini berkembang

16
dari bagian dorsal rongga kloaka saat perkembangan lateral mesenkim
membentuk septum urorectal di garis tengah. Septum ini memisahkan
rektum dan kanalis anal bagian dorsal dari kandung kemih dan uretra.
Dalam perkembangan selanjutnya ujung ekor dari belakang berkembang
jadi kloaka yang juga akan berkembang jadi genitor urinary dan struktur
anoretal. Duktus kloaka adalah komunikasi kecil antara 2 bagian dari
hindgut. Perkembangan dari septum urorectal diyakini untuk menutup
saluran ini pada usia kehamilan 7 minggu.
Atresia ani ini terjadi karena tidak sempurnanya migrasi dan
perkembangan kolon antara 7-10 minggu selama perkembangan janin.
Selama waktu ini, bagian ventral urogenital memperoleh pembukaan
eksternal; membran anus bagian dorsal terbuka setelahnya. Anus
berkembang oleh fusi dari tuberkel dubur dan invaginasi eksternal, yang
dikenal sebagai proctodeum, yang memperdalam ke arah rektum tetapi
dipisahkan oleh membran anus. Pemisahan membran ini harus terrpecah
pada usia kehamilan 8 minggu. Putusnya saluran pencernaan dari atas
dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa anus. Kegagalan tersebut
terjadi karena abnormalitas pada daerah uterus dan vagina, atau juga pada
proses obstruksi. Anus imperforate ini terjadi karena tidak adanya
pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan feses
tidak dapat dikeluarkan.

4. Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses
tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rektal atresia adalah tidak memiliki rektum.

3 sub kelompok anatomi yaitu

17
a. Kelainan Rendah (Low Anomaly/Kelainan Translevator)
Ciri-cirinya adalah rektum turun sampai ke otot puborektal,
spingter ani eksternal dan internal berkembang sempurna dengan fungsi
yang normal, rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak
kulit dan rektum paling jauh 2 cm. Tipe dari kelainan rendah antara lain
adalah anal stenosis, imperforata membrane anal, dan fistula ( untuk
laki-laki fistula ke perineum, skrotum atau permukaan penis, dan untuk
perempuan anterior ektopik anus atau anocutaneus fistula merupakan
fistula ke perineal, vestibular atau vaginal).
b. Kelainan Intermediet/Menengah (Intermediate Anomaly)
Ciri-cirinya adalah ujung rektum mencapai tingkat muskulus
Levator ani tetapi tidak menembusnya, rektum turun melewati otot
puborektal sampai 1 cm atau tepat di otot puborektal, ada lesung anal
dan sfingter eksternal. Tipe kelainan intermediet antara lain, untuk
laki-laki bisa rektobulbar/rektouretral fistula yaitu fistula kecil dari
kantong rektal ke bulbar), dan anal agenesis tanpa fistula. Sedangkan
untuk perempuan bisa rektovagional fistula, analgenesis tanpa fistula,
dan rektovestibular fistula.
c. Kelainan Tinggi (High Anomaly/Kelainan Supralevator).
Kelainan tinggi mempunyai beberapa tipe antara lain: laki-laki
ada anorektal agenesis, rektouretral fistula yaitu rektum buntu tidak
ada hubungan dengan saluran urinary, fistula ke prostatic uretra.
Rektum berakhir diatas muskulus puborektal dan muskulus levator
ani, tidak ada sfingter internal. Perempuan ada anorektal agenesis

18
dengan fistula vaginal tinggi, yaitu fistula antara rectum dan vagina
posterior. Pada laki dan perempuan biasanya rectal atresia.

Klasifikasi Berdasarkan Wingspread

Kelompok Kelainan Tindakan


I Laki-laki :Fistel urin, Kolostomi neonatus;
atresia rectum, perineum operasi definitif pada usia
datar, fistel tidak ada, 4-6 bulan
invertogram:udara >1 cm
dari kulit

Perempuan :Kloaka, fistel Kolostomi neonatus


vagina, fistel
anovestibular/
rektovestibular, atresia
rektum, fistel tidak ada,
invertogram :udara >1 cm
dari kulit
II Laki-laki :Fistel Operasi langsung pada
perineum, membrane neonates
anal, stenosis anus, fistel
tidak ada,
invertogram:udara <1 cm
dari kulit

Perempuan :Fistel Operasi langsung pada


perineum, stenosis anus, neonaus
fistel tidak ada
Invertogram : udara <1
cm dari kulit

19
5. Penetapan Diagnosis
Penetapan diagnosis untuk atresia ani dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik dan diagnostik. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan
dengan penampilan fisik anus, dan pembukaan anus. Pemeriksaan
diagnostic yang dilakukan untuk menetapkan diagnosis atresia ani antara
lain :
a. Pemeriksaan radiologi
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel
dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dan
sfingternya.
c. USG Abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama
dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor
reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
d. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi
e. Pyelografi intravena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter
f. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius
6. Penanganan
a. Penatalaksanaan Medis
1) Kolostomi
Bayi laki-laki maupun perempuan yang didiagnosa
mengalami malformasi anorektal (atresia ani) tanpa fistula
membutuhkan satu atau beberapa kali operasi untuk
memperbaikinya. Kolostomi adalah bentuk operasi yang pertama
dan biasa dilakukan. Kolostomi dilakukan untuk anomaly jenis
kelainan tinggi (High Anomaly), rektovaginal fistula,

20
rektovestibular fistula, rektouretral fistula, atresia rektum, dan jika
hasil jarak udara di ujung distal rektum ke tanda timah atau logam
di perineum pada radiologi invertogram > 1 cm. Tempat yang
dianjurkan ada 2 : transverso kolostomi dan sigmoidostomi.
Bentuk kolostomi yang aman adalah stoma laras ganda.
Kolostomi merupakan perlindungan sementara (4-8
minggu) sebelum dilakukan pembedahan. Pemasangan kolostomi
dilanjutkan 6-8 minggu setelah anoplasty atau bedah laparoskopi.
Kolostomi ditutup 2-3 bulan setelah dilatasi rektal/anal postoperatif
anoplasty. Kolostomi dilakukan pada periode perinatal dan
diperbaiki pada usia 12-15 bulan
2) PSARP (Postero Sagittal AnoRectoPlasty)
Merupakan metode yang sering digunakan dalam penatalaksanaan
atresia ani. Postero Sagittal AnoRectoPlasty diperkenalkan oleh
Pena dan de Vries pada tahun 1982. Prosedur ini memberikan
keuntungan dalam operasi fistula rektourinaria maupun
rektovaginal dengan cara membelah otot dasar pelvis, sling dan
sfingter. PSARP dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Minimal, dilakukan pemotongan otot levator maupun vertical
fibre. Yang terpenting adalah memisahkan common wall untuk
memisahkan rectum dengan vagina dan yang dibelah hanya otot
sfingter eksternus.
b. Limited, yang dibelah hanya otot sfingter eksternus, muscle
complex serta tidak membelahh tulang coccygeus. Penting
dilakukan desefekasi rectum agar tidak merusak vagina.
c. Full PSAR, dilakukan pada atresia ani letak tinggi dengan
gambaran invertogram akhiran rectum lebih dari 1cm dari kulit,
pada fistula rektovaginalis, fistula rektouretra.
3) Anoplasty
Anoplasty dilakukan selama periode neonatal jika bayi
cukup umur dan tanpa kerusakan lain. Operasi ditunda paling

21
lama sampai usia 3 bulan jika tidak mengalami konstipasi.
Anoplasty digunakan untuk kelainan rektoperineal fistula,
rektovaginal fistula, rektovestibular fistula, rektouretral fistula,
atresia rektum.
b. Penatalaksanaan Non-Medis
1) Toilet Training
Toilet training dimulai pada usia 2-3 tahun. Menggunakan
strategi yang sama dengan anak normal,misalnya pemilihan
tempat duduk berlubang untuk eliminasi dan atau penggunaan
toilet. Tempat duduk berlubang untuk eliminasi yang tidak
ditopang oleh benda lain memungkinkan anak merasa aman.
Menjejakkan kaki le lantai juga memfasilitasi defekasi (Stark,
1994 dalam Hockenberry,2009).
2) Bowel Management
Meliputi enema/irigasi kolon satu kali sehari untuk membersihkan
kolon.
3) Diet Konstipasi
Makanan disediakan hangat atau pada suhu ruangan,
jangan terlalu panas/dingin. Sayuran dimasak dengan benar.
Menghindari buah-buahan dan sayuran mentah.Menghindari
makanan yang memproduksi gas/menyebabkan kram, seperti
minuman karbonat, permen karet, buncis, kol, makanan pedas,
pemakaian sedotan.
4) Diet Laksatif/Tinggi Serat
Diet laksatif/tinggi serat antara lain dengan mengkonsumsi
makanan seperti ASI, buah-buahan, sayuran, jus apel dan apricot,
buah kering, makanan tinggi lemak, coklat, dan kafein.

c. Terapi suportif setelah operasi


1) Pemasangan kateter foley dilakukan pada bayi laki-laki dengan
fistula rektouretra selama 5-7 hari, kadang lebih lama.

22
2) Dua minggu pasca operasi dilakukan dilatasi pada anus baru
menggunakan alat dilator. Dimulai dari ukuran kecil kebesar sesuai
usia anak sampai tercapai ukuran diameter nus yang sesuai anakk.
3) Konstipasi pasca operai diatasi dengan pemberian laksatif dan
pengaturan diet.

23
BAB III
PEMBAHASAN

A. Konsep Asuhan Keperawatan Hirschsprung


1. Pengkajian
Menurut Suriadi (2001: 242) fokus pengkajian yang dilakukan pada
penyakit hirschsprung adalah:
a. Riwayat pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama setelah lahir,
biasanya ada keterlambatan.
b. Riwayat tinja seperti pita atau bau busuk.
c. Status nutrisi dan hidrasi
1) Adanya mual, muntah, anoreksia, diare.
2) Turgor kulit menurun
3) Peningkatan atau penurunan berat badan
4) Penggunaan nutrisi dan rehidrasi parenteral
d. Bising usus untuk mengetahui pola bunyi hiperaktif pada bagain
proksimal karena obstruksi, biasanya terjadi hiperperistaltik usus.
e. Psikososial keluarga berkaitan dengan
1) Anak : kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme koping
yang digunakan.
2) Keluarga : respon emosional keluarga, koping yang digunakan
keluarga, penyesuaian keluarga terhadap stress menghadapi penyakit
anaknya
f. Pemeriksaan laboratorium Hb, leukosit dan albumin untuk mengkaji
indikasi terjadinya anemia, infeksi, dan kurangnya asupan protein.

Menurut Wong (2004: 507) mengungkapkan pengkajian pada penyakit


hirschsprung yang perlu ditambahkan selain yang diatas yaitu:
1) Lakukan pengkajian melalui wawancara terutama identitas, keluhan
utama, pengkajian pola fungsional dan keluhan tambahan.
2) Monitor bowel elimination pattern : adanya konstipasi, pengeluaran
mekonium yang terlambat lebih dari 24 jam, pengeluaran feses yang
berbentuk pita dan berbau busuk.
3) Ukur lingkar abdomen untuk mengkaji distensi abdomen, lingkar
abdomen semakin besar seiring dengan pertambahan besarnya distensi
abdomen.

20
4) Lakukan pemeriksaan TTV, perubahan TTV mempengaruhi keadaan
umum klien.
5) Observasi manifestasi penyakit hirschsprung
a) Periode bayi baru lahir
(1) Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam setelah lahir
(2) Menolak untuk minum air
(3) Muntah berwarna empedu
(4) Distensi abdomen
b) Masa bayi
(1) Ketidakadekuatan penambahan BB
(2) Konstipasi
(3) Distensi abdomen
(4) Episode diare dan muntah
(5) Tanda-tanda ominous (sering menandakan adanya
enterokolitis: diare berdarah, letargi berat)
c) Masa kanak-kanak
(1) Konstipasi
(2) Feses berbau menyengat dan seperti karbon
(3) Distensi abdomen
(4) Tidak nafsu makan dan pertumbuhan yang buruk
6) Pemeriksaan penunjang
a) Radiasi : foto polos abdomen yang akan ditemukan gambaran
obstruksi usus letak rendah
b) Biopsi rektal : menunjukkan anglionosis otot rektum
c) Manometri anorectal : adanya kenaikan tekanan paradoks karena
rektum dikembangkan / tekanan gagal menurun.
7) Lakukan pengkajian fisik rutin, dapatkan riwayat kesehatan dengan
cermat terutama yang berhubungan dengan pola defekasi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas (nyeri), posisi
tubuh yang menghambat eksapansi paru (D.0005)
2. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mengabsorbsi makanan
(D.0019)
3. Konstipasi b.d anganglionik, penurunan motilitas gastrointestinal
(D.0049)
4. Risiko gangguan pertumbuhan d.d ketidakadekuatan nutrisi, kelainan
kongenital (D.0108)
5. Resiko ketidakseimbangan cairan d.d obstruksi intestinal (D.0036)
6. Ansietas b.d kurang terpapar informasi (D. 0080)
b. Post Operasi

21
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (terpotong, prosedur operasi)
(D.0077)
2. Resiko infeksi d.d efek prosedur invasif (D.0142)
3. Intervensi Keperwatan
a. Pre Operasi
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Pola napas tidak efektif Pola Napas (L.01004) Manajemen jalan
b.d hambatan upaya
Setelah dilakukan napas (I.01011)
napas (nyeri), posisi
tubuh yang menghambat tindakan dalam 3 x 24 1. Monitor pola
eksapansi paru (D.0005)
jam maka pola napas napas(frekuensi,
membaik kedalaman, usaha
Kriteria Hasil: napas)
 Ventilasi semenit (3) 2. Posisikan semi-
 Dispnea (5) fowler

 Penggunaan otot 3. Berikan oksigen

bantu napas (5) (jika perlu)

 Pernapasan cuping
hidung (4)
 Frekuensi napas (5)
2. Defisit nutrisi b.d Status nutrisi bayi Manajemen nutrisi (I.
ketidakmampuan (L.03031) 03119)
mengabsorbsi makanan Setelah dilakukan 1. Identifikasi status
(D.0019)
tindakan keperawatan nutrisi
dalam 1x 24 jam maka 2. Monitor asupan
status nutrisi membaik makanan
Kriteria hasil: 3. Berikan makanan
 Panjang badan (5) tinggi serat untuk
 Berat badan (5) mencegah konstipasi

 Bayi cengeng (4) 4. Berikan makanan

 Pucat (4) tinggi protein dan


kalori
 Proses tumbuh
5. Kolaborasi dengan

22
kembang (5) ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kaloridan jenis
nutrien yang
dibutuhkan (jika
perlu)
3. Konstipasi b.d Eliminasi fekal Manajemen
anganglionik, penurunan (L.04033) konstipasi (I. 04155)
motilitas gastrointestinal Setelah dilakukan 1. Periksa tanda dan
(D.0049) tindakan keperawatan gejala konstipasi
dalam 1 x 24 jam maka 2. Periksa pergerakan
eliminasi fekal membaik usus
Kriteria hasil: 3. Monitor tanda dan
 Distensi abdomen(5) gejala ruptur usus
 Konsistensi feses (5) dan atau peritonitis

 Frekuensi defekasi 4. Berikan enema

(5) atau irigasi (jika

 Peristaltik usus (5) perlu)


5. Jelaskan etiologi
masalah dan alasan
tindakan
6. Kolaborasi dengan
tim medis tentang
penurunan/peningk
atan frekuensi
suara usus
4. Risiko gangguan Status pertumbuhan Manajemen Nutrisi
pertumbuhan d.d (L.10102) (I.03119)
ketidakadekuatan nutrisi, Setelah dilakukan 1. Identifikasi status
kelainan kongenital tindakan selama 1x 24 nutrisi
(D.0108) jam maka tingkat status 2. Monitor asupan

23
pertumbuhan membaik makanan
Kriteria hasil: 3. Berikan makanan
 Berat badan sesuai tinggi serat untuk
usia (5) mencegah konstipasi
 Panjang/tinggi
badan sesuai usia (5) 4. Berikan makanan
 Lingkar kepala (5) tinggi protein dan
 Asupan nutrisi (5)
kalori
5. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kaloridan jenis
nutrien yang
dibutuhkan (jika
perlu)
5. Resiko Keseimbangan cairan Manajemen cairan
ketidakseimbangan (L.03020) (I.03098)
cairan d.d obstruksi Setelah dilakukan 1. Monitor status
intestinal (D.0036) tindakan keperawatan hidrasi
selama 1 x 24 jam maka 2. Monitor berat
keseimbangan cairan badan
meningkat 3. Catat intake-output
Kriteria hasil: dan hitung balans
 Asupan cairan (5) cairan 24 jam
 Membran mukosa 4. Berikan asupan
(5) cairan, sesuai
 Turgor kulit (5) kebutuhan

 Berat badan (5) 5. Berikan cairan


intravena, jika
perlu
6. Ansietas b.d kurang Tingkat ansietas Reduksi ansietas
terpapar informasi (D. (L.09093) (I.09314)

24
0080) Setelah dilakukan 1. Monitor tanda –
tanda
tindakan 1x 24 jam
ansietas(verbal dan
maka tingkat ansietas nonverbal)
2. Ciptakan suasana
menurun
terupetik untuk
Kirteria hasil: menumbuhkan
kepercayaan
 Perilaku gelisah (5) 3. Jelaskan prosedur
 Perilaku tegang (5) 4. Anjurkan
 Pola tidur (5) mengungkapkan
perasaan dan
persepsi

b. Post Operasi
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Nyeri akut b.d agen Tingkat nyeri Manajemen nyeri
pencedera fisik (L.08066) (I.08238)
(terpotong, prosedur Setelah dilakukan 1. Identifikasi respons
nyeri non verbal
operasi) (D.0077) tindakan dalam 2 x 24
2. Berikan teknik
jam maka tingkat nyeri nonfarmakologis
untuk mengurangi
menurun
nyeri(terapi bermain,
Kriteria hasil: musik)
3. Kontrol lingkungan
 Meringis (5) yang memperberat
 Gelisah (5) rasa nyeri
 Frekuensi nadi(5)
 Pola tidur(5)

2. Resiko infeksi d.d efek Tingkat nyeri Pencegahan infeksi


prosedur invasif (L.14137) (I. 14539)
(D.0142) Setelah dilakukan 1. Monitor tanda dan
gejala infeksi lokal
tindakan selama 1 x 24
dan sistemik
jam maka tingkat 2. Batasi jumlah
pengunjung
infeksi menurun
3. Berikan perawatan
Kriteria hasil: kulit pada area
edema
 Kemerahan (5) 4. Cuci tangan sebelum
 Nyeri (5) dan sesudah kontak

25
 Bengkak (5) dengan pasien dan
lingkungan pasien
5. Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka operasi(pada
orang tua)

B. Konsep Asuhan Keperawatan pada Atresia Ani


1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, alamat, agama,
suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, no. CM, tanggal masuk RS,
diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan Utama : Distensi abdomen
2) Riwayat Kesehatan Sekarang :Muntah, perut kembung dan
membuncit, tidak bisa buang air besar, meconium keluar dari vagina
atau meconium terdapat dalam urin.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien mengalami muntah-muntah
setelah 24-48 jam pertama kelahiran
4) Riwayat Kesehatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital bukan
kelainan/ penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh
angota keluarga yang lain.
5) Riwayat Kesehatan Lingkungan : Kebersihan lingkungan tidak
mempengaruhi kejadian atresia ani
c. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa
yang dirasakan dan apa yang diinginkan
2) Pola aktifitas kesehatan/latihan

AKTIFITAS 0 1 2 3 4
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilitas Tempat √
Tidur
Pindah √
Ambulansi √
Makan √

26
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena
masih bayi.
 Dengan menggunakan alat bantu
 Dengan menggunakan bantuan dari orang lain
 Dengan bantuan orang lain dan alat bantu
 Tergantung total, tidak berpartisipasi dalam beraktifitas
3) Pola istirahat/tidur: Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau
kelurga yang lain
4) Pola nutrisi metabolik: Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
5) Pola eliminasi: Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada
mekonium
6) Pola kognitif perseptual: Klien belum mampu berkomunikasi,
berespon, dan berorientas i dengan baik pada orang lain
7) Pola konsep diri
 Identitas diri : belum bisa dikaji
 Ideal diri : belum bisa dikaji
 Gambaran diri : belum bisa dikaji
 Peran diri : belum bisa dikaji
 Harga diri : belum bisa dikaji
8) Pola seksual Reproduksi: Klien masih bayi dan belum menikah
9) Pola nilai dan kepercayaan: Belum bisa dikaji karena klien belum
mengerti tentang kepercayaan.
10) Pola peran hubungan: Belum bisa dikaji karena klien belum
mampu berinteraksi dengan orang lain secara mandiri
11) Pola koping: Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum
mampu berespon terhadap adanya suatu masalah
d. Pemeriksaan Fisik
1) Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 jam pertama setelah
kelahiran/keluar melalui urin, vagina/fistula.
2) Tidak adanya lubang anus eksternal
3) Anus tampak merah
4) Adanya obstruksi usus
5) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu secara fekal.
6) Pembukaan anal terbatas/adanya misplaced
7) Pada auskultasi terdengan hiperperistaltik
8) Distensi abdomen 8-24 jam pertama
9) Konstipasi
10) Bayi muntah jika biberi minum pada usia 24-48 jam
11) Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.

27
12) Pada bayi laki-laki dilakukan penelusuran dari anal dimple ke medial
sampai kearah penis. Bila fistula terdapat di perineum menandakan
suatu fistula rectoperineal, sedangkan bila urine bercampur mekonium
berarti fistula rektovesica/rektouretra yang dapat dibedakan dengan
memasukkan kateter.
13) Pada bayi perempuan dilakukan penelusuran dari lubang di perineum
kea rah vestibulum. Fistula digenitalia menandakan suatu fistula
rektovagina/fistula rektovestibular. Sedangkan jika fistula didapatkan
diperineum, maka disebut fistula rektoperineum.

b. Diagnosa Keperawatan
1. Dx pre operasi
a. Defisit Nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan (D0019)
b. Gangguan eliminasi urine b.d obstruksi anatomic disuria (D0040)
c. Risiko infeksi b.d paparan organism (D0142)
d. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru (D0005)
2. Dx Post Operasi
a. Risiko gangguan integritas kulit/jaringan b.d pembedahan (D0139)
b. Risiko infeksi b.d prosedur infasiv (D0142)
c. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (operasi) (D0077)
d. Inkontinensia fekal b.d kehilangan fungsi pengendalian (D0041)
e. Ansietas (orang tua) b.d kurang terpapar informasi mengenai
pembedahan (D0080)

c. Intervensi Keperawatan
1. Pre Operasi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Defisit nutrisi b.d Status nutrisi (L.03030) Manajemen nutrisi
ketidak mampuan Setelah dilakukam tindakan (I.03119)
mencerna dalam 3x24 jam maka status a. Identifikasi status nutrisi
makanan (D0019) nutrisi akan membai. b. Identifikasi alergi dan
Kriteria Hasil : intoleransi makanan
a. BB membaik c. identifikasi kebutuhan
b. IMT kalori dan jenis nutrien
c. Bising usus d. Kolaborasi dengan ahli
d. Membrane mukosa gizi untuk menentukan

28
jumlah kalori dan jenis
nutrient yg dibutuhkan
e. Monitor BB
2 Gangguan Eliminasi urine (L.04034) Manajemen eliminasi
eliminasi urine Setelah dilakukam tindakan urine (I.04152)
b.d obstruksi dalam 1x24 jam maka status a. Identifikasi tanda dan
dysuria (D0040) nutrisi akan membai. gejala
Kriteria Hasil : b. Identifikasi factor yg
a. Disuria penyebab
b. Frekuensi BAK c. Monitor eliminasi urine
c. Karakteristik urin d. Kolaborasi pemberian
obat supositoria urine
jika perlu
3 Risiko infeksi b.d Tingkat infeksi (L.14137) Pencegahan infeksi
paparan Setelah dilakukan tindakan (I.14539)
organisme keperawatan selama 1x24 a. Monitor tanda dan gejal
(D0142) jam diharapkan klien bebas infeksi local dan sistemik
dari tanda-tanda infeksi b. Batasi jumlah
Kriteria hasil pengunjung
a. Pasien bebas dari tanda c. Berikan perawatan kulit
dan gejala infeksi pada area edema
b. Jumlah leukosit dalam d. Cuci tangan sebelum dan
batas normal sesudah kontak dg pasien
dan lingkungan pasien
e. Pertahankan teknik
aseptik
f. Kolaborasi pemberian
imunisasi
4 Pola nafas tidak Pola nafas (L.01004) Manajemen jalan nafas
efektif b.d Setelah dilakukam tindakan (I.01011)
penurunan dalam 1x24 jam maka pola a. Monitor pola nafas
ekspansi paru nafas akan membaik. (frekuensi, kedalaman,

29
a. Frekuensi nafas usaha nafas)
b. Kedalaman nafas b. Monior bunyi nafas
c. Penggunaan otot bantu tambahan
nafas c. Posisikan semi-fowler
d. Tekanan ekspirasi d. Berikan oksigen jika
e. Tekanan inspirasi perlu
a.

2. Post Operasi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Risiko Integritas kulit dan jaringan Perawatan integritas kulit
gangguan (L.14125) (I.11353)
integritas Setelah dilakukam tindakan a. Identifikasi penyebab
kulit/jaringan dalam 1x24 jam diharapkan integritas kulit
b.d integritas kulit dapat b. Gunakan produk berbahan
pembedahan terkontrol petroleum atau minyak pada
(kolostomi) Kriteria Hasil : kulit kering
(D0139) a. Kerusakan jaringan c. Gunakan produk berbahan
b. Kerusakan lapisan kulit ringan/alami dan hipoalergik
c. Nyeri pada kulit sensitive
d. Perdarahan d. Anjurkan menggunakan
e. Hematoma pelembab (baby oil)

a.
2 Risiko infeksi Tingkat infeksi (L.14137) Pencegahan infeksi (I.14539)
b.d efek Setelah dilakukan tindakan g. Monitor tanda dan gejal
prosedur keperawatan selama 1x24 infeksi local dan sistemik
infasiv jam diharapkan klien bebas h. Batasi jumlah pengunjung
(D0142) dari tanda-tanda infeksi i. Berikan perawatan kulit pada
Kriteria hasil area edema
c. Pasien bebas dari tanda j. Cuci tangan sebelum dan
dan gejala infeksi sesudah kontak dg pasien dan

30
d. Jumlah leukosit dalam lingkungan pasien
batas normal k. Pertahankan teknik aseptik
l. Kolaborasi pemberian
imunisasi
3 Nyeri akut b.d Tingkat nyeri (L.08066) Manajemen nyeri (I.08238)
agen Setelah dilakukan tindakan a. Identifikasi lokasi,
pencedera keperawatan selama 1x24 karakteristik, durasi,
fisik (operasi) jam diharapkan klien bebas frekuensi, kualitas,
(D077) dari nyeri pasca operasi intensitas nyeri
Kriteria Hasil : b. Identifikasi respon nyeri
a. Frekuensi nadi non verbal
b. Tekanan darah c. Berikan teknik
c. Fungsi berkemih nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
Distraksi, hypnosis, terapi
music, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain dll)
d. Kolaborasi pemberian
analgetik
4 Inkontinensia Kontinensia fekal Perawatan inkontinensia fekal
fekal b.d (L.04035) (I.04162)
kehilangan Setelah dilakukan tindakna a. Identifikasi penyebab
fungsi keperawatan selama 3x24 inkontinensia fekal
pengendali jam diharapkan klien bebas b. Monitor kondisi kulit
dari inkontinensia fekal/bab perianal
secara teratur c. Monitor keadekuatan
Kriteria Hasil : evakuasi feses
a. Pengontrolan d. Monitor diet dan kebutuhan
pengeluaran feses cairan
b. Defekasi

31
c. Frekuensi buang air
besar
d. Kondisi kulit perianal
5 Ansietas Tingkat ansietas Reduksi ansietas (I.09314)
(orang tua) Setelah dilakukam edukasi a. Identifikasi saat tingkat
b.d kurang kepada orangtua diharapkan ansietas berubah
terpapar hilangnya ansietas a. Identifikasi saat mengambil
informasi Verbalisasi keputusan
mengenai Perilaku gelisah b. Jelaskan prosedur mengenai
pembedahan Perilaku tegang pembedahan
(D0080) c. Informasikaan secara
factual mengenai diagnosis,
pengobatan dan prognosis

32
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit hirschsprung merupakan kelainan bawaan pada kolon yang
ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus
submukosus Messneri dan pleksus Mienterikus Auerbachi. Angka kejadian
penyakit Hirschsprung sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000 kelahiran hidup,
dengan rata-rata 1:5000 kelahiran hidup.
Malformasi anorektal merupakan suatu kelainan malformasi dimana
tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya
anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada
daerah anus. Malformasi anorektal menyebabkan abnormalitas jalan buang air
besar. Atresia ani disebabkan karena kelainan pembentukkan kloaka, kelainan
tersebut karena kurangnya rekanalisasi dari bagian bawah lubang anus.
Atresia ani terjadi satu dari 3300 – 3500 kelahiran hidup, dan terjadi lebih
sering pada laki – laki daripada perempuan.
B. Saran
Diharapkan sebagai calon perawat untuk mampu memahami dan mampu
melakukan asuhan keperawatan pada kelainan kongenital penyakit
hirschsprung dan atresia ani jika sudah terjun kelapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Bobak, I.M., Lowdermik, D.L., & Jensen, M.D. (2005). Buku ajar
keperawatan maternitas. Edisi 4. Jakarta: EGC

34
Dorland. (1998). Kamus saku kedokteran Dorlana. Alih bahasa: Dyah
Nuswantari Ed. 25. Jakarta: EGC.
KEPMENKES. 2017. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Penyakit Hirschsprung. Jakarta: MENKES RI
Langer, J., C. 2013. Hirschsprung Disease. Cur Opin pediatr Vol 25, No 3.
Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases
2007, 2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33
Maritska, Z., Kinanti, S., R. 2016. Kejadian dan Distribusi Kelainan Kongenital
Pada bayi Baru lahir Di RS dr. Moehammad Hosein Palembang Periode Januari-
November 2015. JK Unila. Vol 1, No 2. FK Universitas Sriwijaya
Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of
Pediatric Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005;
1395-1434
Puri, Prem., Friedmacher. 2018. Hirschsprung’s Disease. Whitehouse and
Kernohan
https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4471-4721-3_40
Rochadi. 2013. Hipoalbuminemia Prabedah sebagai Faktor Prognosyikk
Enterokolitis Pascabedah Penderita Megakolon Kongenital (Hirschsprung’s
Disease). Jurnal Gizi Klinik Indonesia. Vol 9, No 3.
Suriadi dan Rita Y, 2001, Asuhan Keperawatan pada Anak, Edisi 1, CV. Agung
Seto, Jakarta
Surya, Putu., A., Dharmajaya, I., M. 2014. Gejala Dan Diagnosis Penyakit
Hirschsprung. Denpasar

35

Anda mungkin juga menyukai