Anda di halaman 1dari 10

JURNAL READING

Deep Venous Thrombosis after Major Abdominal


Surgeries: a Tertiary Level Centre Study
Krishnakumar G. Kuttanchettiyar, Meer M. Chisthi – International Surgery Journal 2018
Jan;5(1):267-272

Disusun Oleh :
Durrotun Ni’mah 22004101082

Pembimbing
dr. Subchan Aga Bachtiar, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU BEDAH
RSUD SYARIFAH AMBAMI RATO EBU
BANGKALAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM
MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur penulis ucapkan kepada Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta ma’unah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan Jurnal reading yang berjudul ”Deep
Venous Thrombosis after Major Abdominal Surgeries: a Tertiary Level Centre
Study“.
Saya berterima kasih kepada dr. Subchan Aga Bachtiar, Sp.B selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu dan tenaganya membimbing saya
dalam proses penyelesaian tugas ini.
Jurnal reading ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah
wawasan pembaca tentang deep venous thrombosis (DVT). Kritik dan saran
terhadap penyusunan laporan kasus ini sangat penulis harapkan, sehingga
nantinya dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Demikian pengantar dari saya, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bangkalan, 25 Mei 2021

Penyusun
Deep Venous Thrombosis after Major Abdominal
Surgeries: a Tertiary Level Centre Study
Krishnakumar G. Kuttanchettiyar, Meer M. Chisthi – International Surgery Journal 2018
Jan;5(1):267-272

(Durrotun Ni’mah – 22004101082)


(Pembimbing : dr. Subchan Aga Bachtiar, Sp.B)

Abstrak
Pendahuluan: Deep venous thromboembolism terbukti menjadi komplikasi utama
pada keadaan post operasi diantara populasi western. Oleh karena itu ada
pedoman khusus mengenai thromboprofilaksis untuk pasien bedah. Jumlah
penelitian yang terbatas terhadap pasien India tidak memberikan data pasti
mengenai kejadian post operasi tromboemboli. Pasien India juga tidak diberikan
antikoagulan profilaksis secara rutin di berbagai keadaan sampai saat ini. Dalam
penelitian ini, kami mempelajari tentang kejadian deep venous thrombosis
diantara pasien yang menjalani operasi mayor abdomen selama periode 2 tahun.
Metode: Studi deskriptif retrospektif ini dilakukan pada pasien yang menjalani
segala operasi mayor abdomen dari bangsal bedah Government Medical College,
Thiruvananthapuram, selama 2 tahun. Data ini digunakan untuk menganalisis
kejadian dan faktor yang berhubungan dengan post operasi deep venous
thromboembolism.
Hasil: Kami mempelajari total 334 pasien yang memenuhi kriteria inklusi.
Diantara pasien ini, hanya 1,19% yang mengalami deep venous thrombosis selama
periode post operasi. Karena tidak ada pedoman mengenai penggunaan
tromboprofilaksis selama periode tersebut, sangat sedikit pasien yang ditemukan
menggunakan salah satu tindakan profilaksis.
Kesimpulan: Insiden post operasi deep venous thrombosis tidak terlalu tinggi
pada populasi India setelah operasi mayor abdomen. Hal ini mungkin disebabkan
karena prevalensi keadaan hiperkoagulasi yang relatif rendah dalam komunitas itu
sendiri. Akibatnya, profilaksis kimiawi rutin mungkin diberikan hanya pada
pasien berisiko tinggi. Tindakan lain seperti ambulasi dini dan profilaksis mekanis
dapat digunakan pada pasien dengan risiko yang lebih rendah.
Kata kunci: Operasi abdomen, Antikoagulan, Deep venous thrombosis (DVT),
Laparotomi, Tromboprofilaksis

Pendahuluan
Deep Vein Thrombosis (DVT) atau Venous Thromboembolism (VTE)
adalah salah satu komplikasi umum post operasi yang diamati diantara populasi
Western. Selama fase akut DVT, 10 – 40% pasien dapat terjadi pulmonary
embolism (PE), dengan angka kematian setinggi 10 – 20%.1 Namun, angka
kematian untuk PE telah dinyatakan setinggi 30% dalam penelitian yang
memasukkan diagnosis PE berdasarkan otopsi. Faktanya, studi otopsi
mendokumentasikan bahwa 50% dari semua pasien yang meninggal di Rumah
Sakit memiliki beberapa bentuk DVT, hal tersebut menunjukkan bahwa banyak
episode PE mungkin tidak dikenali secara klinis sebelum kematian. 2 Operasi
pengangkatan tumor ganas dan operasi abdomen seharusnya menjadi faktor risiko
tinggi untuk berkembang menjadi DVT.3 Tingginya insiden DVT pada pasien post
operasi disebabkan oleh beberapa faktor risiko yang ada pada pasien yang dirawat
di Rumah Sakit, yang paling penting adalah keganasan, penyakit vaskular, trauma
dan pembedahan, serta kondisi lain yang menyebabkan rawat inap
berkepanjangan. Dalam proses yang mengarah ke trombosis, kerusakan sel
endotel vaskuler yang disebabkan oleh pembedahan abdomen dan tissue injury,
serta gangguan koagulasi yang mendasari semuanya saling berkaitan.4
DVT umumnya mempengaruhi vena betis atau vena dalam pelvis. Pada
pasien rawat inap dengan risiko tinggi, sebagian besar deep vein trombus terjadi di
vena kecil betis, asimptomatik, dan karenanya jarang terdeteksi. Nyeri pegal yang
samar, nyeri tekan di sepanjang distribusi vena, edema, dan eritema adalah
beberapa tanda yang tidak spesifik dan seringkali bervariasi dalam frekuensi dan
tingkat keparahan. Nyeri, bengkak pada seluruh tungkai, perbedaan lebih dari 3
cm antara betis, pitting edema dan vena superfisial kolateral merupakan tanda
yang paling spesifik. Kombinasi dari 3 tanda atau lebih, dengan tidak adanya
diagnosis lain yang mungkin membuat DVT lebih mungkin terjadi. Untuk
mengidentifikasi trombus yang penting secara klinis pada pasien, skor Wells’
untuk DVT telah dikembangkan, dengan menggabungkan beberapa parameter
klinis untuk meningkatkan sensitivitas.5 Baru-baru ini, skor Geneva yang direvisi
juga telah diperkenalkan untuk menentukan kemungkinan terjadinya PE.6
Bersamaan dengan sistem penilaian ini, uji d-dimer divalidasi sebagai alat
diagnostik untuk mengeksklusi diagnosis VTE dengan aman karena nilai prediktif
negatifnya yang tinggi.7,8 Meskipun venografi secara tradisional dianggap sebagai
gold standart untuk diagnosis, publikasi terbaru menemukan bahwa USG doppler
memiliki sensitivitas yang sangat tinggi (hingga 100%) dan juga spesifisitas
(91,8%).9 Beberapa peenlitian menyatakan bahwa USG doppler dapat dilakukan
sebagai gold standart terbaru untuk diagnosis DVT.10
Semenjak DVT dan PE menjadi penting sebagai komplikasi post operasi
dan pengobatanya disertai dengan morbiditas termasuk rekurensi dan komplikasi
perdarahan, tromboprofilaksis menjadi penting untuk meningkatkan prognosis
serta kualitas hidup. Meskipun berbagai metode efektif tersedia untuk mengurangi
bahkan mencegah DVT dan PE, studi telah menunjukkan bahwa hanya 21-35%
dari spesialis bedah yang mengambil langkah profilaksis yang tepat untuk pasien
mereka.11,12 Untuk pasien kanker yang sedang menjalani operasi mayor,
rekomendasi dari American College of chest Physicians berupa tromboprofilaksis
rutin dengan Low Molecular Weight Heparin (LMWH) 10.000 – 15.000 IU/hari
dan untuk pasien kanker dengan risiko terjadinya VTE, direkomendasikan untuk
menggunakan LMWH dalam kombinasi metode mekanik seperti perangkat
kompresi sekuensial.13 Metode profilaksis mekanik seperti stoking elastid (Tedd),
perangkat kompresi pneumatik intermitten, dan pompa venous foot counteract
stasis, salah satu dari tiga aspek triad Virchow dan telah terbukti efektif dan aman.
Pilihan farmakologis untuk tromboprofilaksis termasuk Unfractionated Heparin
(UFH), LMWH, Fondaparinux, dan antagonis Vitamin K.14,15
Insiden DVT serta VTE pada pasien Asia dianggap lebih rendah daripada
populasi Western. Sangat sedikit penelitian yang dilakukan India mengenai
masalah ini dan karenanya sangat sedikit yang diketahui tentang kejadian
sebenarnya dari kondisi ini. Masalah ini menjadi lebih penting pada pasien di
India belakangan ini karena telah terjadi peningkatan berlipat ganda dalam jumlah
operasi mayor. Namun, tidak ada pedoman yang jelas mengenai profilaksis VTE
untuk pasien di India. Fakta ini lebih penting di negara seperti India dimana
mayoritas populasi mungkin tidak mampu membayar biaya pengobatan seperti
itu, kecuali sistem perawatan kesehatan publik mampu menyediakannya secara
gratis. Hal tersebut akan membutuhkan perubahan secara besar dalam alokasi
dana. Jika kejadian DVT benar-benar dapat diabaikan, profilaksis mungkin tidak
di indikasikan pada pasien kami. Selain itu, juga ada kemungkinan keterlibatan
medikolegal dari tidak menyarankan pasien yang menjalani operasi mayor untuk
melakukan tromboprofilaksis rutin, karena ini dapat dianggap sebagai tindakan
kelalaian.
Dengan latar belakang ini, tujuan umum dari tinjauan ini adalah untuk
menilai kejadian tromboemboli vena yang di dokumentasikan pada pasien yang
menjalani operasi mayor abdomen di institusi kami. Institusi kami adalah pusat
perawatan tingkat tersier bervolume besar di sektor publik dan melayani sejumlah
besar pasien dari negara bagian selatan India. Karena pedoman umum mengenai
tromboprofilaksis rutin ditetapkan hanya setelah studi berkala, kami berasumsi
bahwa sangat jarang bagi setiap pasien dalam penelitian kami untuk menerima
tindakan antitrombotik profilaksis. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kejadian DVT yang berkembang setelah operasi abdomen mayor
selama periode penelitian 5 tahun.

Metode
Penelitian dilakukan di departemen Bedah Umum di Government Medical
College, Thiruvananthapuram, Kerala. Izin Komite Etik diperoleh sebelum
dilakukan pengumpulan data. Lembar kasus dari semua pasien yang menjalani
operasi abdomen mayor elektif selama masa studi dari Januari 2008 – Desember
2010, diperoleh dari perpustakaan Rekam Medis. Untuk tujuan penelitian, operasi
abdomen mayor didefinisikan sebagai prosedur bedah abdominal yang dilakukan
dengan anestesi umum dimana total durasi operasi berlangsung lebih dari satu
jam.
Kriteria inklusi: pasien berusia antara 18-80 tahun, pasien yang menjalani
operasi abdomen apapun yang berlangsung selama > 1 jam, selama masa studi 2
tahun di institusi kami. Kriteria eksklusi: pasien yang sudah menggunakan
antikoagulan, pasien dengan diagnosis gangguan perdarahan (bleeding) atau
pembekuan (clotting), pasien hamil dan menyusui.
Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilibatkan dalam penelitian
ini. Pasien diidentifikasi dari database terkomputerisasi dari semua pasien rawat
inap, diklasifikasikan berdasarkan kode International Classification of Diseases
(ICD). Catatan kasus pasien digunakan untuk mengumpulkan data tentang
variabel penelitian. Data dikumpulkan dari lembar kasus dan langsung di input ke
dalam database excel. Data dicatat berdasarkan profil demografi pasien, penyakit
saat ini dan prosedur pembedahan yang dilakukan. DVT dicurigai berdasarkan
gambaran klinis berupa nyeri tungkai dan pembengkakan serta dikonfirmasi
secara sonologi lebih lanjut. Kemudian, dicatat apakah segala bentuk
tromboprofilaksis baik mekanik maupun kimiawi digunakan pada semua pasien.
Data yg dihasilkan dimasukkan ke dalam prefixed proforma. Semua analisa
statistik dilakukan dengan menggunakan CDC “Epinfo”. Semua data yang relevan
disajikan sebagai mean ± SD dan proporsi yang sesuai. Jika relevan, nilai “p” <
0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Hasil
334 pasien yang telah menjalani berbagai prosedur bedah mayor selama
masa studi. Diantara mereka 200 pasien adalah laki-laki dan 134 perempuan.
Berdasarkan jumlah tersebut, maksimal: 64 (19%) pasien menjalani operasi peptic
ulcer perforation diikuti dengan acute intestinal obstruction: 32 kasus (Figure 1.).
Durasi rata-rata operasi yang dilakukan antara kelompok studi 2 jam 7 menit.
Waktu terlama yang tercatat adalah pancreaticoduodenectomy (waktu rerata 4 jam
17 menit) dan waktu terpendek yang tercatat adalah peptic ulcer perforation
peritonitis (rata-rata 1 jam 20 menit). Rata-rata lama rawat inap di RS adalah 11,2
hari. Berat badan rata-rata pasien adalah 57,8 kg dan tinggi badan rata-rata pasien
163,2 cm. 12 pasien memiliki BMI lebih dari 30.

Selama masa penelitian, 4 pasien ditemukan mengalami DVT (1,19?%).


Dari jumlah tersebut, 2 menjalani prosedur pancreaticoduodenectomy
(Whipple’s), 1 setelah menjalani gastrektomi dan 1 pasien setelah reseksi
abdomino-perineal (Figure 2). Untuk semua pasien dengan DVT, faktor umum
yang mendasari keganasan, durasi pembedahan yang lama (lebih dari 3 jam) serta
imobilisasi yang berkepanjangan (lebih dari 72 jam). Setelah dikonfirmasi dengan
doppler, keempat pasien ini mendapatkan pengobatan dengan heparin dan tidak
ada kematian yang tercatat diantara mereka. Ditemukan bahwa diagnosis DVT
dilakukan dengan USG Duplex dan dikonfirmasi oleh: adanya trombus yang
terlihat pada pencitraan B-mode, kompresibilitas vena, respiratory phaticity dan
respon augmentasi. Kasus VTE yang dikonfirmasi ditemukan diobati dengan infus
intravena heparin yang diikuti dengan warfarin oral selama 3 bulan. Monitoring
terapeutik untuk heparin dilakukan dengan menggunakan activated partial
thromboplastin time (APTT) dan warfarin dengan international normalized ratio
dari prothrombin time (PT).
Ada total 15 kematian dalam 334 populasi (4,49%). Dari jumlah tersebut,
4 pasien meninggal di meja operasi itu sendiri karena serangan kardiovaskular,
sedangkan 6 pasien meninggal dalam minggu pertama post operasi karena sepsis
atau kejadian kardiovaskular. 5 pasien meninggal dalam masa tinggal di Rumah
Sakit karena sepsis dan kejadian terkait, setelah minggu pertama. Tak satupun dari
pasien ini memiliki diagnosis DVT. Komplikasi post operasi ditemukan pada
banyak pasien (Figure 3).

Ini termasuk: infeksi luka: 52 (15,57%), chest complication: 34 (10,17%),


sepsis: 17 (5,09%), anastomotic dehiscence: 9 (2,69%) fistula enterokutan: 7
(2,09%) dan burst abdomen: 6 (1,79%).
Diantara kelompok penelitian kami, tidak ada bentuk vena trombo-
profilaksis yang ditemukan pada sebagian besar pasien. Namun, heparin (UFH)
ditemukan diberikan pada 2 pasien yang menjalani prolonged surgery: 1 pasien
menjalani pancreaticoduodenectomy dan satu lagi menjalani reseksi abdomino-
perineal. Keduanya lolos dari komplikasi berupa DVT.

Diskusi
Studi ini memberikan informasi tentang kejadian dan faktor risiko DVT
pada sekelompok populasi India yang menjalani operasi mayor abdomen.
Berdasarkan penelitian ini, kejadian trombosis post operasi pada pasien yang
menjalani prosedur operasi mayor abdomen sangat minimal, hanya pada level
0,92%. Fakta bahwa segala bentuk profilaksis digunakan pada pasien dengan
jumlah yang sangat sedikit dapat dijelaskan oleh fakta bahwa pedoman
tromboprofilaksis tidak ditetapkan dan diterima sampai setelah 2007.
DVT pada ekstremitas bawah sebagian besar merupakan penyakit pada
usia yang lebih tua dan kejadian DVT meningkat secara eksponensial seiring
bertambahnya usia, baik untuk DVT idiopatik maupun sekunder, meningkat
hampir 90 kali lipat antara usia 15 dan 80 tahun dengan risiko relatif 1,9 untuk
setiap 10 tahun peningkatan usia.16,17 Hal ini jarang terjadi pada dewasa muda dan
sangat jarang terjadi sebelum usia 20 tahun. Mempertimbangkan bahwa kanker
pada pasien yang menjalani operasi meningkatkan risiko terjadinya VTE 3 hingga
5 kali lipat, tingkat kanker yang relatif rendah di pengaturan kami dapat
diinterpretasikan ke dalam insiden DVT yang relatif rendah yang diamati di sini. 18
Chen dan rekannya menemukan peningkatan empat kali lipat dalam insiden VTE
pada pasien yang menjalani rekonstruksi kepala dan leher dibandingkan dengan
rekonstruksi non-kepala dan leher.19 Tingkat VTE yang dilaporkan setelah operasi
bariatric adalah 0,3 – 2,2%, dengan tingkat PE sekitar 1%, meskipun telah
diterapkan metode untuk mencegah komplikasi ini.20,21 PE juga sering menjadi
penyebab kematian pasca operasi pada populasi operasi bariatric dan merupakan
temuan umum pada otopsi.22,23
Data epidemiologi tentang kejadian VTE pada populasi Asia sangat
membingungkan dan ambigu. Sementara sebagian besar penelitian menyatakan
bahwa kejadian DVT pada pasien Asia lebih rendah daripada pasien Western,
beberapa penelitian terbaru dari wilayah ini telah menunjukkan kejadian DVT
yang signifikan pada pasien bedah dengan risiko tinggi.24,25 Data India dari studi
ENDORSE mengungkapkan bahwa meskipun proporsi pasien berisiko di India
dan negara-negara lain yang berpartisipasi serupa, terdapat sebagian besar
penggunaan profilaksis yang kurang (17,4%) di India bila dibandingkan dengan
data global (50,2%).26 Data mereka menunjukkan peningkatan yang signifikan
pada DVT akut ( ± PE) dari tahun 2006 hingga 2010. Hal ini dapat dijelaskan
dengan peningkatan kesadaran mengenai VTE di India serta munculnya modalitas
diagnostik yang lebih baik, seperti ultrasonografi dupleks yang lebih mudah
ditemukan dan lebih murah.27
Jain dan kelompok studinya melaporkan kejadian yang sangat rendah dari
DVT diikuti TKA dan THA pada pasien India.28 Hanya dua pasien dari 106 pasien
dari India Utara yang menjalani THA dan TKA yang menunjukkan bukti
sonografi dupleks dari DVT proksimal. Demikian pula, Bagaria dan rekan-
rekannya melaporkan 6,12% kejadian DVT dan 0,6% kejadian PE dalam studi
prospektif mereka terhadap 147 pasien yang menjalani operasi ortopedi mayor
pada ekstremitas bawah tanpa profilaksis.29 Pasien yang mengalami DVT setelah
artroplasti total sendi dan operasi untuk fraktur ekstremitas bawah di India tidak
sebanyak seperti yang dilaporkan dalam literatur Western.30 Di sisi lain, Parakh
dan kelompok studinya mengamati bahwa sangat sedikit penelitian yang tersedia
untuk menilai prevalensi PE di negara-negara Asia dan menemukan bahwa PE
sering terjadi pada pasien India dengan gejala DVT.31 Kelompok penulis lain
menemukan bahwa trombosis vena dapat terjadi pada lebih dari 50% pasien yang
menjalani prosedur pembedahan, terutama yang melibatkan pinggul dan lutut. 32
Agarwala dan rekan-rekannya dengan menggunakan venografi kontras sebagai
alat diagnostik untuk DVT, melaporkan kejadian DVT yang sangat tinggi baik
pada pasien yang tidak menerima kemoprofilaksis (60%) dan pada pasien yang
menerima profilaksis (43,2%) dalam penelitian mereka tentang pasien yang
menjalani operasi ekstremitas mayor.33 Laporan lain tentang pasien antenatal
menyimpulkan bahwa prevalensi DVT di India kurang lebih mirip dengan laporan
lain yang diterbitkan.34
Terjadinya diferensial dari penyakit tertentu pada beberapa kelompok etnis
biasanya dikaitkan dengan pengaruh beberapa sifat genetik. Resistensi terhadap
activated protein C (APC) adalah faktor risiko bawaan yang paling umum untuk
trombosis vena dan sebagian besar kasus resistensi APC disebabkan oleh mutasi
Faktor V Leiden. Mutasi ini adalah disposisi genetik yang paling sering untuk
trombofilia dan DVT dan dengan carier rate 2,9% pada populasi Belanda, 5% di
Polandia dan hanya 1,3% di India.35 Fakta ini dapat menjelaskan insiden rendah
DVT dan PE pada pasien di India. Ciri-ciri genetik yang diberikan sebagai
penjelasan yang mungkin terhadap penurunan insiden VTE pada populasi Asia
termasuk resistensi APC, penurunan prevalensi homosistein, serta prevalensi
mutasi faktor V Leiden yang lebih rendah. Sifat yang didapat yang dianggap
sebagai faktor risiko terjadinya VTE termasuk obesitas dan gagal jantung juga
ditemukan kurang lazim pada pasien Asia.
Kelemahan yang tampak dari penelitian ini adalah sifat deskriptif, yang
mungkin memerlukan kehati-hatian, terutama saat menafsirkan temuan
sehubungan dengan penentuan faktor risiko. Batasan lain adalah bahwa analisis
laporan post-mortem tidak dilakukan untuk pasien yang meninggal, dan oleh
karena itu bukti konklusif kurang. Namun, jumlah kami meskipun secara statistik
kecil, secara klinis tidak signifikan, terutama dalam hal memperoleh sekelompok
besar pasien yang tidak mendapat profilaksis. Menjadi penyebab penting
morbiditas pasca operasi, data komprehensif tentang kejadian VTE mungkin akan
membantu dalam merumuskan guidelines untuk pasien asal India.

Kesimpulan
Kesimpulannya, hasil penelitian kami konsisten dengan sebagian besar
hasil yang dipublikasikan sebelumnya dan menegaskan kembali bahwa kejadian
VTE pasca operasi pada pasien India secara signifikan lebih rendah daripada pada
populasi Western. Sebagai akibat wajar, mungkin bijaksana untuk tidak
menerapkan kriteria Western tentang trombo-profilaksis universal pada kelompok
etnis ini dan membatasi penggunaannya hanya pada mereka yang memiliki faktor
risiko sangat tinggi. Kami berpendapat bahwa penggunaan trombo-profilaksis
mungkin dianjurkan untuk pasien dengan kanker yang menjalani prosedur
pembedahan yang berkepanjangan atau pasien yang diimobilisasi untuk jangka
waktu yang lama setelah prosedur. Pada pasien lain, alternatif berupa cost-
effective dari ambulasi dini serta profilaksis mekanik dapat digunakan untuk
mengurangi perkembangan VTE.

Anda mungkin juga menyukai