4) Ketenagaan.
Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan Apotek dapat dibantu oleh
Apoteker lain, Tenaga Teknis Kefarmasian dan/atau tenaga administrasi.
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian wajib memiliki surat izin praktik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Dalam upaya membuka apotek yang baru berdiri, sering kali tertunda yang
disebabkan oleh hal – hal kecil baik yang terdapat dalam proses pemeriksaan kelengkapan
sarana pendukung operasional apotek ataupun kelengkapan berkas - berkas lampiran dalam
mengajukan permohonan SIA. Untuk menghindari kekurangan – kekurangan tersebut, maka
sebaiknya APA melakukan 3 hal yaitu :
1. Menginventarisasi semua kebutuhan perlengkapan sarana apotek, lalu membeli
sesuai dengan kebutuhan persyaratan pada saat mengurus SIA. Dalam melakukan
inventarisasi dan menyiapkan perlengkapan sarana apotek antara lain meliputi :
a. Menata ruangan peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi dan
ruang kerja APA, toilet
b. Memenuhi seluruh perlengkapan yang menjadi persyaratan
c. Memberi tanda ( √ ) untuk sarana yang sudah siap ( oke )
Berikut alur peizinan apotek Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017
Tentang Apotek :
(1) Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 1.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan
kelengkapan dokumen administratif meliputi:
(3) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima permohonan dan dinyatakan telah memenuhi
kelengkapan dokumen administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan
Apotek dengan menggunakan Formulir 2.
(4) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melibatkan unsur dinas kesehatan kabupaten/kota
yang terdiri atas:
(5) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim pemeriksa harus
melaporkan hasil pemeriksaan setempat yang dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 3.
(6) Paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja sejak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerima
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan dinyatakan memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Organisasi Profesi dengan
menggunakan Formulir 4.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan masih belum memenuhi
persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mengeluarkan surat penundaan paling lama dalam
waktu 12 (dua belas) hari kerja dengan menggunakan Formulir 5.
(8) Tehadap permohonan yang dinyatakan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (7),
pemohon dapat melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1 (satu) bulan sejak surat penundaan
diterima.
(9) Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (8),
maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Penolakan dengan menggunakan Formulir 6.
(10) Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA melebihi jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), Apoteker pemohon dapat menyelenggarakan Apotek dengan menggunakan BAP
sebagai pengganti SIA. Dalam hal pemerintah daerah menerbitkan SIA sebagaimana, maka penerbitannya
bersama dengan penerbitan SIPA untuk Apoteker pemegang SIA. Masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku
SIPA.
(1) Setiap perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan Apoteker
pemegang SIA, atau nama Apotek harus dilakukan perubahan izin.
(2) Apotek yang melakukan perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi,
perubahan Apoteker pemegang SIA, atau nama Apotek, wajib mengajukan permohonan perubahan izin
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Terhadap Apotek yang melakukan perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan nama Apotek tidak
perlu dilakukan pemeriksaan setempat oleh tim pemeriksa.
(4) Tata cara permohonan perubahan izin bagi Apotek yang melakukan perubahan alamat dan pindah lokasi atau
perubahan Apoteker pemegang SIA mengikuti ketentuan.
2.5 Klinik
Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan
pelayanan medis dasar dan atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh
seorang tenaga medis.
2.6 Perizinan Klinik
A. Menurut pasal 21 untuk mendirikan klinik harus mendapat izin dari pemerintah daerah Kabupaten atau Kota setelah
mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kesehatan kabupaten atau kota setempat.
B. Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota mengeluarkan rekomendasi setelah klinik memenuhi ketentuan persyaratan
klinik.
4. Apakah izin apotek yang sudah dicabut bisa diurus kembali izinnya ?
Jawaban :
Bisa, dengan pengajuan ulang yang dilengkapi dengan persyaratan baru yang terpenuhi dan kelegalan
persyaratann yang diminta.
Pemodal apotekk bisa dan sudah umum terjadi di Indonesia, Karena pemodal tidak harus linier dengan
pendidikan tertentu, tapi apoteker yang menjadi karyawan mempunyai peranan yang penting dan mutlak
dalam pendirian badan usaha tersebut, sehingga timbul apa yang di sebut dengan simbosis mutualisme.
3. Jelaskan secara ringkas dan jelas menggunakan skema alur perizinan apotek ? (imanullah 19340240)
Jawaban : Ketika syarat administrasi sudah dilengkapi oleh apoteker/penanam modal maka apoteker baru bisa
memulai untuk melakukan pengisian formulir dari mulai tahan 1 sampai selesai sesuai skema tersebut.
SKEMA :
4. Sumber daya dan pengelolaan di apotek bagaimana pendapat kelompok jika ada suatu apotek sumber daya manusia
diapotek bukan seorang lulusan d3 farmasi atau SMF seperti hanya lulusan SMA, sedangkan yang lulusan farmasi
belum tentu hafal semua tentang obat-obatan? (hardiyanti 19340216)
Jawaban : Sesuai dengan Peraturan Pemerintah NO 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian.Tenaga Teknis
Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian yang terdiri sarjana
farmasi,ahli madya farmasi,analisis farmasi dan tenaga menengah farmasi wajib memiliki surat tanda registrasi (STR)
salah satu persyaratan untuk mengurus STR adalah dengan melampirkan fotocopy ijazah sarjana farmasi,ahli madya
farmasi dan tenaga menengah farmasi.Sehingga untuk tenaga kefarmasian hanya lulusan SMA sebenarnya tidak bisa
melakukan pekerjaan kefarmasian.
6. Bagaimana cara pengadaan obat di apotek secara resmi dan memastikan obat yang kita ingin adakan itu obat asli ?
(Mareta gita kencana 19340243)
Jawaban : Berdasarkan Permenkes RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004 untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian
maka pengadaan sediaan farmasi dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu pembelian dan konsinyasi.Pembelian barang
diapotek sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan.Dan untuk menghindari adanya obat palsu maka
pemesanan obat dilakukan di PBF resmi.
7. Semisal sesorang sudah mempunyai apotek tetapi ingin pindah tempat apakah harus mengurus perizinan lagi ? dan
apoteker bias membuka berapa apotek dalam 1 wilayah atau bias beda wilayah ? (Endang rina aeni 19340223)
Jawaban : Setiap perubahan alamat dilokasi yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi,perubahan apoteker
pemegang SIA,atau nama apotek harus dilakukan perubahan izin.Apotek yang melakukan perubahan alamat dilokasi
yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi,perubahan apoteker pemegang SIA atau nama apotek wajid
mengajukan permohonan perubahan izin kepada pemerintah daerah Kabupaten atau Kota.Apotek yang melakukan
perubahan alamat dilokasi yang sama atau perubahan nama apotek tidak perlu dilakukan pemeriksaan setempat oleh
tim pemeriksa.Tata cara permohohan perubahan izin bagi apotek yang melakukan perubahan alamat dan pindah lokasi
atau perubahan apoteker pemegang SIA mengikuti ketentuan.
8. Dalam 1 apotek perllu berapa apoteker dan kalau sudah menajdi apoteker penanggung jawab di 1 apotek apakah bias
menjadi apoteker penanggung jawab ditempat lain atau tidak ? Wiwit murti aprillia 19340224)
Jawaban : Apoteker Penanggung jawab hanya diperbolehkan satu,untuk diapotek selanjutnya hanya menjadi APING
( Apoteker Pendamping )
9. APa saja syarat-syarat yang dilampirkan dalam permohonan perizinan apotek ? (Sri intan lestari 19340210)
Jawaban : Untuk syarat-syarat perizinan apotek yang harus dilampirkan adalah
Fotocopy STRA dengan menunjukan STRA asli.
Fotocopy kartu tanda penduduk (KTP)
Fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker
Fotocopy peta lokasi dan denah bangunan serta daftar prasarana,sarana dan peralatan.
10. Pada saat belum keluarnya izin apotek, namun masih dalam pengurusan perizinan, apakah apotek boleh dibuka ?
apakah boleh menjual obat bebas meskipun ada apoteker ? (Junivia wijaya 19340196)
Jawaban : Sebaiknya dan saran dari kami menunggu perizinan selesai,karena surat perizinan tidak menunggu waktu
lama.
11. Apakah kendala-kendala dalam perizinan apotek ? Berapa biaya dalam perizinan apotek didaerah Jakarta ? (Aldi faqih
prawibowo 19340212)
Jawaban : Kendala yg pertama adalah IMB harus mengikuti jenis usahanya,misalnya untuk apotek yang ada praktik
dokternya IMB harus dirubah menjadi IMB klinik atau IMB apotek dan praktek dokter.
Kendala yang kedua adalah SLF (Sertifikat Laik Fungsi)Bangunan.Untuk mendapatkan dokumen SLF tersebut banyak
syarat dan instansi yang harus didatangi lagi.Hal ini mengakibatkan para pelaku usaha apotek mengeluarkan biaya lebih
besar lagi.
Kendala yg ketiga adalah lamanya waktu yang dikeluarkan untuk menerbitkan Surat Izin Apotek.
Untuk biaya perizinan sekitar Rp.250.000
12. Terkait dengan persyaratan lokasi, apakah dalam suatu kota/kab ada peraturan tentang batasan jumlah pembangunan
usaha apotek ? (Shokhifah mayesi 19340199)
Jawaban : Pendirian dan Penyelenggaraan apotek baru berjarak pada radius paling sedikit 500 meter dari apotek yang
sudah ada.
A. Farmasi Komunitas
Farmasi Komunitas adalah area praktik farmasi di mana obat dan produk kesehatan lainnya dijual atau disediakan
langsung kepada masyarakat secara eceran, baik melalui resep dokter maupun tanpa resep dokter (FIP, 1998). Di Indonesia
dikenal dengan nama Apotek, Puskesmas/ Klinik.
1. Apotek, Puskesmas / Klinik
Menurut PP No. 51 tahun 2009 definisi apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh apoteker (Presiden RI, 2009).
Puskesmas merupakan salah satu Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang bertanggungjawab menyelenggarakan upaya
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif di suatu wilayah kerja. Puskesmas sebagai
penyelenggara pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuan
diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal, baik secara sosial maupun ekonomi (Kementerian
Kesehatan, 2014).
Klinik adalah fasilitas peleyanan kesehatan yang menyelengarakan dan menyediakan pelayanan ,medis dasar dan
atau spesialitik, diselengarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan di pimpin oleh seorang tenaga medias.
(PermenKes RI No.9 Tahun 2014 ).
2. Sediaan Farmasi
Menurut Undang−Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 yang dimaksud dengan sediaan farmasi adalah obat, bahan
obat, obat tradisional dan kosmetika.
a. Obat
Menurut Undang−Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi
yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Obat terbagi
menjadi 4 golongan sebagai berikut.
1) Obat bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada
kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : parasetamol.
c. Kosmetik
Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan di luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku,
bibir dan organ genital wanita bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mengharumkan,
mengubah penampilan, memperbaiki bau badan atau melindungi dan memelihara tubuh dalam kondisi baik.
B. Perencanaan
1. Pengertian perencanaan
Para ahli di bidang manajemen telah mengemukakan definisi atau pengertian tentang perencanaan, namun setiap
pengertian perencanaan senantiasa memiliki batasan yang berbeda tergantung ahli manajemen yang mengemukakan. Perencanaan
di bidang kesehatan pada dasarnya merupakan suatu proses untuk merumuskan masalah kesehatan yang berkembang di
masyarakat, menentukan kebutuhan dan sumber daya yang harus disediakan, menetapkan tujuan yang paling pokok dan
menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dari batasan tersebut, perencanaan akan menjadi
efektif jika sebelumnya dilakukan perumusan masalah berdasarkan fakta (Hartono, 2007).
Menurut (Azwar, 2010) perencanaan menurut ilmu administrasi kesehatan terdapat 3 aspek pokok yang harus diperhatikan
meliputi :
a. Hasil kerja perencanaan (outcome of planning).
b. Perangkat perencanaan (mechanic of planning).
c. Proses perencanaan (proces of planning).
Menurut Handoko (2009) perencanaan adalah suatu proses yang tidak berakhir bila rencana telah ditetapkan, rencana
harus diimplementasikan. Setiap saat selama proses implementasi dan pengawasan, rencana mungkin memerlukan modifikasi
agar tetap berguna.
Febriawati (2013) mengemukakan bahwa perencanaan adalah proses untuk merumuskan sasaran dan menentukan langkah
langkah yang harus dilaksanakan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Handoko (2009) mengungkapkan bahwa salah satu aspek penting perencanaan adalah pembuatan keputusan (decision making),
proses pengembangan dan penyeleksian sekumpulan kegiatan untuk mememecahkan suatu masalah tertentu.
Perencanaan sediaan farmasi adalah suatu proses kegiatan seleksi sediaan farmasi untuk menetapkan jenis dan jumlah
obat, bahan obat, jamu atau kosmetik yang sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar termasuk
program kesehatan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 35 Tahun 2014 dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
2. Tujuan perencanaan
Adapun tujuan perencanaan secara umum diantaranya sebagai berikut.
a. Membantu para pelaksana dalam melaksanakan program dengan perencanaan yang baik maka setiap pelaksana akan
memahami rencana tersebut dan akan merangsang para pelaksana untuk dapat melakukan beban tugas masing−masing
dengan sebaik−baiknya.
b. Membantu para pelaksana untuk membuat perencanaan pada masa depan, jadi hasil yang diperoleh dari suatu pekerjaan
perencanaan pada saat ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman untuk menyusun rencana kerja pada masa depan dan
demikian seterusnya.
c. Sebagai upaya pengaturan baik dalam bidang waktu, tenaga pelaksana, sarana, biaya, tujuan, lokasi serta macam
organisasi pelaksananya.
d. Guna memperoleh dukungan baik berupa dukungan legislatif (melalui peraturan ataupun perundang−undangan), dapat
berupa dukungan moril (persetujuan masyarakat ataupun dukungan materiil dan finansial (biasanya dari para sponsor).
Dengan demikian dapat disimpulkan adapun tujuan perencanaan sediaan farmasi adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui jenis dan jumlah sediaan farmasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan.
b. Menghindari terjadinya kekosongan sediaan farmasi, terutama obat.
c. Meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
d. Meningkatkan efisiensi penggunaan sediaan farmasi, terutama obat.
Adapun yang menjadi pedoman dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi yaitu DOEN, formularium rumah sakit,
standar terapi rumah sakit, ketentuan setempat yang berlaku, data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas,
siklus penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu, serta rencana pengembangan.
3. Tahapan−tahapan perencanaan sediaan farmasi
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002) berbagai kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan
kebutuhan sediaan farmasi adalah sebagai berikut.
a. Tahap pemilihan
Fungsi dari pemilihan atau penyeleksian adalah untuk menentukan apakah sediaan farmasi tersebut
benar−benar diperlukan dan sesuai dengan jumlah penduduk serta pola penyakit. Pengadaan obat yang baik diperoleh
dengan diawali dasar−dasar seleksi kebutuhan obat diantaranya sebagai berikut.
Obat merupakan kebutuhan untuk sebagian besar populasi penyakit.
Obat memiliki keamanan, kemanjuran yang didukung dengan bukti ilmiah.
Obat memiliki manfaat yang maksimal dengan risiko yang minimal.
Obat mempunyai mutu yang terjamin baik ditinjau dari segi stabilitas maupun bioavaibilitasnya.
Biaya pengobatan mempunyai rasio antara manfaat dengan biaya yang baik.
Apabila pilihan lebih dari satu, maka dipilih yang paling baik, banyak diketahui dan farmakokinetiknya yang paling
menguntungkan.
Mudah diperoleh dengan harga terjangkau.
Obat sedapat mungkin merupakan sediaan tunggal.
Pada tahap seleksi sediaan farmasi harus pula dipertimbangkan dampak administratif, biaya yang ditimbulkan,
kemudahan dalam mendapatkan, kemudahan dalam penyimpanan, kemudahan untuk didistribusikan, dosis yang sesuai dengan
kebutuhan terapi, sediaan farmasi yang dipilih sesuai dengan standar terjamin. Guna menghindari risiko yang dapat terjadi harus
pula mempertimbangkan kontra indikasi, peringatan dan perhatian juga efek samping dari sediaan farmasi yang dipilih.
b. Tahap kompilasi pemakaian
Kompilasi pemakaian berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan tiap jenis sediaan farmasi selama setahun dan
sebagai data pembanding bagi stok optimum. Informasi yang didapatkan dari kompilasi pemakaian sebagai berikut.
Jumlah pemakaian sediaan farmasi.
Persentase pemakaian sediaan farmasi terhadap total pemakaian setahun.
Pemakaian rata−rata tiap jenis sediaan farmasi untuk tingkat kabupaten/kota.
Manfaat dari informasi−informasi yang didapat yaitu sebagai sumber data dalam menghitung kebutuhan sediaan farmasi
untuk pemakaian satu tahun mendatang dan sebagai sumber data dalam menghitung stok atau persediaan pengaman dalam rangka
mendukung penyusunan rencana distribusi.
c. Tahap perhitungan kebutuhan
Menentukan kebutuhan merupakan tantangan berat yang harus dihadapi oleh Apoteker. Masalah kekosongan atau
kelebihan sediaan farmasi, terutama obat dapat terjadi apabila informasi semata−mata hanya berdasarkan informasi yang teoritis
terkait kebutuhan pelayanan kesehatan. Dengan koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan sediaan farmasi secara
terpadu serta melalui tahapan seperti di atas, maka diharapkan sediaan farmasi yang direncanakan dapat tepat jenis, tepat jumlah
serta tepat waktu.
Menurut Wheelright yang dikutip dari Silalahi (1989) ada tiga cara yang mendasar dalam hal penetapan jumlah
persediaan sediaan farmasi, terutama obat yang harus diperhatikan pada saat perencanaan manajemen persediaan yaitu sebagai
berikut.
Populasi yaitu berdasarkan banyaknya jumlah pasien yang datang dengan keluhan penyakit tertentu, maka dapat dilihat
jenis obat atau kebutuhan sediaan farmasi apa yang banyak digunakan untuk mengatasi keluhan tersebut dan berapa
banyak jumlah yang dibutuhkan.
Pelayanan yaitu jenis pelayanan apa yang banyak dilakukan dalam kegiatan perawatan dan pengobatan, serta tentukan
jenis dan jumlah sediaan farmasi yang digunakan (berdasarkan jenis pelayanan dan jenis penyakit yang dominan).
Konsumsi yaitu jumlah sediaan farmasi yang pemakaiannya berdasarkan data pemakaian yang digunakan pasien secara
rutin, biasanya dilakukan pada penggunaan obat dan cara ini pemakaiannya stabil (pengumpulan data berdasarkan
pemakaian sebelumnya).
Pendekatan dalam menentukan kebutuhan obat dapat dilakukan dengan berbagai metode yaitu sebagai berikut.
Metode konsumsi
Didasarkan atas analisis konsumsi tahun sebelumnya untuk menghitung jumlah sediaan farmasi yang dibutuhkan
berdasarkan metode konsumsi perlu diperhatikan hal−hal seperti pengumpulan dan pengolahan data, analisis data untuk
informasi dan evaluasi, perhitungan perkiraan kebutuhan, penyesuaian jumlah kebutuhan dengan alokasi dana.
Jenis−jenis data yang perlu dipersiapkan dalam metode konsumsi yaitu alokasi dana, daftar obat, stok awal, penerimaan,
pengeluaran, sisa stok, sediaan hilang atau rusak, kadaluarsa, kekosongan, pemakaian rata−rata atau pergerakan sediaan farmasi
per tahun, lead time, stok pengaman dan perkembangan pola kunjungan.
Adapun langkah−langkah perhitungan dengan metode konsumsi adalah dengan menghitung pemakaian rata−rata sediaan
farmasi X per bulan pada tahun sebelumnya (a), kemudian hitung pemakaian pada tahun sebelumnya (b), hitung stok pengaman
yang pada umumnya berkisar 10−20 % dari pemakaian dalam satu bulan (c), serta menghitung kebutuhan pada waktu tunggu
(lead time) yang umumnya berkisar antara 3−6 bulan (d). Kebutuhan sediaan farmasi tahun sebelumnya adalah (e) = b + c + d.
Rencana pengadaan tahun selanjutnya adalah hasil perhitungan dari kebutuhan tahun sebelumnya (e) – sisa stok.
Metode morbiditas
Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan berdasarkan pola penyakit, perkiraan kenaikan kunjungan dan lead
time. Langkah−langkah dalam metode ini adalah dengan menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani, menentukan jumlah
kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit, menyediakan standar atau pedoman pengobatan yang digunakan, menghitung
perkiraan kebutuhan dan penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia.
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan dengan menggunakan metode morbiditas yaitu perkiraan jumlah
populasi, menetapkan pola morbiditas penyakit berdasarkan kelompok umur dan penyakit, frekuensi kejadian masing−masing
penyakit per tahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada, menghitung perkiraan jumlah dan masing−masing
jenis sediaan farmasi untuk setiap diagnosa yang dibandingkan dengan standar pengobatan, menggunakan pedoman pengobatan
yang ada untuk menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama pemberian obat.
Menurut pedoman pengadaan dapat dilakukan sebagai berikut. Menghitung masing−masing jumlah yang diperlukan tiap
penyakit berdasarkan pada pedoman pengobatan, pengelompokkan dan penjumlahan masing−masing sediaan farmasi,
menghitung jumlah kebutuhan yang akan datang dengan mempertimbangkan factor peningkatan kunjungan, lead time, dan stok
pengaman (buffer stock), menghitung jumlah yang harus diadakan pada tahun anggaran yang akan datang dengan rumus :
kebutuhan obat yang akan datang – sisa stok.
Buku defekta harus dipersiapkan pada tahap ini untuk mencatat sediaan farmasi apa saja yang habis stoknya. Dari buku
defekta inilah, seorang apoteker mengambil keputusan untuk pemesanan barang. Metode perencanaan yang paling sering
digunakan adalah metode epidemiologi, konsumsi, kombinasi dan just in time.
d. Tahap proyeksi kebutuhan
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut (11).
Menetapkan rancangan stok akhir periode yang akan datang.
Rancangan stok akhir diperkirakan sama dengan hasil perkalian antara waktu tunggu dengan estimasi pemakaian rata−rata
tiap bulan ditambah stok penyangga (buffer stock).
Menghitung rancangan pengadaan periode tahun yang akan datang.
Perencanaan pengadaan tahun yang akan datang dapat dirumuskan sebagai berikut : a = b + c + d – e – f
Keterangan :
a : Rancangan pengadaan tahun yang akan datang
b : Kebutuhan untuk sisa periode berjalan ( Januari–Desember)
c : Kebutuhan untuk tahun yang akan datang
d : Rancangan stok akhir
e : Stok awal periode berjalan per stok per 31 Desember di gudang
f : Rencana penerimaan pada periode berjalan (Januari–Desember)
Menghitung rancangan anggaran untuk total kebutuhan.
Rancangan anggaran untuk total kebutuhan obat dihitung dengan melakukan analisis ABC−VEN, menyusun prioritas
kebutuhan dan penyesuaian, serta menyusun prioritas kebutuhan dasar dan penyesuaian kebutuhan berdasarkan data 10 penyakit
terbesar.
Pengalokasian kebutuhan obat per sumber anggaran.
Dilakukan melalui kegiatan penetapan kebutuhan anggaran untuk masing−masing sediaan farmasi bersumber per
anggaran, menghitung persentase belanja untuk masing−masing sediaan farmasi terhadap masing−masing sumber anggaran, serta
menghitung persentase anggaran masing−masing sediaan farmasi terhadap total anggaran dari semua sumber.
e. Tahap penyesuaian rencana pengadaan
Dengan melaksanakan penyesuaian rencana pengadaaan sediaan farmasi dengan jumlah dana yang tersedia, maka
informasi yang didapat adalah jumlah rencana pengadaan, skala prioritas masing−masing jenis sediaan farmasi dan jumlah
kemasan untuk rencana pengadaan sediaan farmasi tahun yang akan datang. Beberapa teknik manajemen untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi adalah sebagai berikut.
Analisis ABC
Berdasarkan berbagai observasi dalam inventori manajemen yang paling banyak menemukan tingkat konsumsi per tahun
dengan hanya diwakili oleh sejumlah item yang relatif kecil. Sebagai contoh, dari pengamatan terhadap pengadaan obat dijumpai
bahwa sebagian besar dana (70%) digunakan untuk pengadaan, dimana 10% dari jenis atau item yang paling banyak digunakan,
sedangkan sisanya sekitar 90% item (sebagian besar item) menggunakan dana sebesar 30%. Analisis ABC biasa digunakan untuk
pengadaan obat dengan mengelompokkan item obat berdasarkan kebutuhan dananya.
Kelompok A adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar
70 % dari jumlah dana obat keseluruhan. Kelompok B adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya
menunjukan penyerapan dana sekitar 20 % dari jumlah dana obat keseluruhan. Kelompok C adalah kelompok jenis obat yang
jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukan penyerapan dana sekitar 10 % dari jumlah dana obat keseluruhan.
Analisis ABC dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu analisis ABC pemakaian yang dilakukan dengan mengumpulkan
daftar jenis obat dalam satu periode, membuat daftar pemakaian dari masing−masing jenis obat, jumlah pemakaian
masing−masing jenis obat diurutkan berdasarkan jumlah pemakaian terbanyak ke jumlah pemakaian yang terkecil, menghitung
persentase untuk masing−masing dan persentase kumulatifnya, serta mengelompokkan obat menjadi 3 kelompok berdasarkan
persentase 70−20−10 (sampai dengan 70% masuk kelompok A, 71–90% masuk kelompok B, lebih dari 90% masuk kelompok
C). Analisis ABC investasi yang dilakukan dengan mengumpulkan seluruh daftar jenis obat selama satu periode, mencatat harga
pembelian masing−masing jenis untuk periode tersebut, menghitung biaya pemakaian setiap jenis dengan cara mengkalikan
antara jumlah pemakaian dengan harga satuan, menyusun nilai investasi dari yang terbesar hingga yang terkecil, menghitung
persentase dan kumulatifnya, mengelompokkan obat menjadi 3 kelompok dengan persentase 70−20−10.
Analisis VEN
Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana obat yang terbatas adalah dengan mengelompokkan obat
yang didasarkan kepada dampak tiap jenis obat pada kesehatan. Semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat
dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu kelompok V (kelompok obat−obatan yang harus tersedia atau vital karena dipakai untuk
tindakan penyelamatan hidup manusia atau untuk pengobatan penyakit yang menyebabkan kematian, contohnya life saving
drugs, obat untuk pelayanan kesehatan dasar dan obat untuk mengatasi penyakit−penyakit penyebab kematian terbesar),
kelompok E (kelompok obat−obatan esensial yang banyak digunakan dalam tindakan atau dipakai di seluruh unit Rumah Sakit,
biasanya merupakan obat yang bekerja secara kausal atau obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit) dan kelompok N
(obat−obatan penunjang atau pelengkap yaitu obat yang kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan
kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan).
Penggolongan obat dengan analisis VEN dapat digunakan untuk penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi
dana yang tersedia, obat−obatan yang perlu ditambah atau dikurangi dapat didasarkan atas pengelompokkan obat menurut VEN.
Dalam penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok V agar diusahakan tidak terjadi kekosongan obat. Terlebih
dahulu diperlukan kriteria penentuan VEN dalam penyusunan daftar VEN. Kriteria sebaiknya disusun oleh suatu tim. Dalam
menentukan kriteria perlu dipertimbangkan kondisi dan kebutuhan masing−masing wilayah. Kriteria yang disusun dapat
mencakup berbagai aspek antara lain klinis, konsumsi, target kondisi dan biaya.
Analisis ABC−VEN
Selain menggunakan analisis ABC dan VEN dalam penyesuaian jumlah sediaan farmasi berupa obat dengan dana yang
tersedia untuk mengatasi perkiraan kebutuhan yang lebih besar dari dana yang tersedia dapat digunakan pula analisis ABC−VEN
yang merupakan penggabungan analisis ABC dan VEN kedalam suatu matriks, sehingga analisis menjadi lebih tajam. Matriks
dapat dibuat seperti berikut.
Matriks Analisis ABC−VEN
A B C
V VA VB VC
E EA EB EC
N NA NB NC
Matriks diatas dapat dijadikan dasar untuk menetapkan prioritas, dalam rangka penyesuaian anggaran atau perhatian
dalam pengelolaan persediaan. Jenis barang yang bersifat vital (VA, VB, VC) merupakan pilihan utama untuk dibeli atau
memerlukan perhatian khusus, sebaliknya barang yang non esensial tetapi menyerap anggaran banyak (NA) dijadikan prioritas
untuk dikeluarkan dari daftar belanja. Hasil analisis ABC dan VEN dapat digunakan dalam menghemat biaya dan meningkatkan
efisiensi misalnya dalam pengelolaan stok, penetapan harga satuan obat, penetapan jadwal pengiriman, pengawasan stok dan
monitoring umur pakai obat.
C. Pengadaan
Menurut keputusan Menteri Kesehatan, pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang−undangan untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian. Pengadaan sediaan farmasi merupakan suatu proses yang
dimaksud untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Proses manajemen sediaan farmasi dapat terbentuk dengan baik
apabila didukung dengan kemampuan sumber daya yang tersedia dalam suatu sistem. Tujuan utama pengadaan adalah
tersedianya sediaan farmas yang berkualitas baik, tersebar secara merata, jenis dan jumlah sesuai dengan kebutuhan pelayanan
kesehatan.
Pengadaan merupakan suatu proses kegiatan yang bertujuan agar tersedianya sediaan farmasi dengan jumlah dan jenis
yang cukup sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Kriteria yang harus dipenuhi dalam pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan adalah sebagai berikut.
Hanya membeli sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang telah memiliki izin edar atau nomor registrasi.
Mutu sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dapat dipertanggung jawabkan.
Pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dari jalur resmi, yaitu pedagang besar farmasi, industri farmasi,
apotek dan lain−lain
Dilengkapi dengan persyaratan administrasi seperti faktur dan lain−lain.
Pengadaan dapat dilakukan melalui pembelian, produksi atau pembuatan sediaan farmasi dan sumbangan (drooping) atau
hibah. Pembelian dengan penawaran yang kompetitif (tender) merupakan suatu metode penting untuk mencapai keseimbangan
yang tepat antara mutu dan harga, apabila ada dua atau lebih pemasok, apoteker harus memilih berdasarkan kriteria, seperti mutu
produk, reputasi produsen, harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman, mutu pelayanan pemasok, dapat dipercaya,
kebijakan tentang barang yang dikembalikan dan pengemasan.
Sistem pengadaan merupakan faktor penting dari ketersediaan atau biaya yang dikeluarkan. Keefektifan proses pengadaan
dapat menjamin ketersediaan sediaan farmasi yang baik, jumlah yang cukup, harga yang sesuai dan dengan standar kualitas yang
diakui.
Pengadaan yang efektif dan efisien diharapkan dapat menjamin tersedianya rencana kebutuhan sesuai dengan jenis dan
jumlah sediaan farmasi, tersedianya anggaran pengadaan yang dibutuhkan sesuai dengan waktunya, terlaksananya pengadaan
yang efektif dan efisien, terjaminnya penyimpanan sediaan farmasi dengan mutu yang baik, terjaminnya pendistribusian sediaan
farmasi yang efektif dengan waktu tunggu (lead time) yang pendek, terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi yang mendukung
pelayanan kesehatan, tersedianyan sumber daya manusia dengan jumlah dan kualifikai yang tepat, penggunaan obat menjadi
rasional sesuai dengan pedoman yang telah disepakati, serta tersedianya informasi pengelolaan dan penggunaan obat yang benar.
Prosedur pembelian barang dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut.
Persiapan
Melakukan pengumpulan data sediaan farmasi yang akan dipesan sebagai hasil dari pencatatan dan perhitungan dalam
perencanaan.
D. Pemesanan
Pemesanan dilakukan ke supplier yang telah menjadi rekanan baik melalui tender ataupun tidak. Pada fasilitas pelayanan
kesehatan besar, seperti rumah sakit, supplier umumnya dipilih dengan menggunakan sistem tender karena pemesanan sediaan
farmasi dalam jumlah yang sangat besar. Proses pemilihan tender dapat dilakukan secara terbuka, berlaku untuk semua rekanan
yang terdaftar dan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dan tender secara terbatas, sering disebut lelang tertutup karena
hanya dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan memiliki riwayat yang baik.
Pemesanan juga dapat dilakukan setelah terjadi proses tawar−menawar antara apoteker dengan pihak supplier yang dapat
dilakukan bila item tidak penting, tidak banyak dan biasanya dilakukan pendekatan langsung untuk item tertentu. Pembelian atau
pemesanan langsung juga dapat dilakukan untuk pemesanan dalam jumlah kecil atau perlu segera tersedia yang tentunya
disesuaikan dengan harga tertentu dan umumnya relatif agak lebih mahal.
Pemesanan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemesanan (SP) untuk setiap supplier. Surat pemesanan ada empat
macam yaitu surat pesanan narkotika, surat pesanan prekursor, surat pesanan psikotropika dan surat pesanan untuk obat selain
narkotika, prekursor dan psikotropika. SP minimal dibuat 2 rangkap (untuk supplier dan arsip) dan ditandatangani oleh APA
dengan mencantumkan nama dan nomor SIPA serta cap apotek atau rumah sakit yang melakukan pemesanan.
Surat pesanan golongan obat bebas, bebas terbatas dan keras dibuat dua rangkap satu untuk pemesan dan satu untuk PBF. Dalam satu lembar SP
dapat diisi dengan beberapa jenis (item) obat. Pemesanan dapat dilakukan secara langsung melalui sales PBF ataupun secara tidak langsung,
misalnya melalui telepon.
Gambar 8. Contoh surat pesanan golongan obat bebas, bebas terbatas dan keras
SP untuk prekursor dan psikotropika, format telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan, dibuat rangkap 2, satu lembar (asli)
untuk PBF dan lembar lainnya (tembusan) untuk arsip pemesan. Dalam satu SP dapat memuat lebih dari satu item obat,
pemesanan bisa dilakukan selain ke PT. Kimia Farma. Pemesanan narkotika, prekursor dan psikotropika hanya dapat dilakukan
secara langsung ke sales PBF tidak dapat melalui telepon.
Gambar 2.9 Contoh surat pesanan obat dan bahan baku precursor
E. Penerimaan
Penerimaan adalah kegiatan untuk menerima sediaan farmasi yang telah diadakan sesuai aturan kefarmasian, melalui
pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Penerimaan sediaan farmasi harus dilakukan oleh petugas yang
bertanggung jawab. Petugas yang dilibatkan dalam penerimaan harus terlatih baik dalam tanggung jawab dan tugas mereka, serta
harus mengerti sifat penting dari perbekalan farmasi. Dalam tim penerimaan harus ada tenaga farmasi.
1. Penerimaan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat keras
Obat yang datang dari PBF diterima bersama dengan fakturnya.
Dilakukan pengecekan antara pesanan obat yang dipesan dengan obat yang datang.
Pengecekan yang dilakukan berupa ED, jumlah, jenis dan kondisi fisik obat yang datang.
Surat pesanan ditandatangi dan di cap stempel apotek atau rumah sakit.
2. Penerimaan obat prekursor, psikotropika dan narkotika
Penerimaan obat prekursor, psikotropika dan narkotika dari pedagang besar farmasi harus diterima oleh apoteker
pengelola apotek atau dilakukan dengan sepengetahuan APA atau apoteker penanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah
Sakit (IFRS).
Obat yang datang dari pedagang besar farmasi diterima bersama dengan fakturnya.
Dilakukan pengecekan antara pesanan obat yang dipesan dengan obat yang datang.
Pengecekan yang dilakukan berupa ED, jumlah, jenis dan kondisi fisik obat yang datang.
Surat pesanan ditandatangi dan di cap stempel apotek atau rumah sakit.
Petugas gudang yang menerima sediaan farmasi harus mencocokkan barang dengan faktur dan surat pesanan lembaran
kedua dari gudang. Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin sediaan farmasi yang diterima sesuai kontrak baik spesifikasi
mutu, jumlah maupun waktu kedatangan. Sediaan farmasi yang diterima harus sesuai dengan spesifikasi kontrak yang telah
ditetapkan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penerimaan adalah sebagai berikut.
1. Mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan berbahaya.
2. Khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai sertificate of origin.
3. Sertifikat analisa produk.
F. Pencatatan
Daftar pesanan sediaan farmasi yang tertera pada faktur disalin dalam buku penerimaan barang, ditulis nomor urut dan
tanggal, nama supplier, nama sediaan farmasi, nomor batch, tanggal kadaluarsa (ED), jumlah, harga satuan, potongan harga dan
jumlah harga. Pencatatan dilakukan setiap hari saat penerimaan barang, sehingga diketahui berapa jumlah barang disetiap
pembelian.
Dari catatan ini yang harus diwaspadai adalah jangan sampai jumlah pembelian tiap bulannya melebihi anggaran yang
telah ditetapkan, kecuali bila ada kemungkinan kenaikan harga (spekulasi dalam memborong sediaan farmasi, terutama obat yang
fast moving). Faktur kemudian diserahkan ke bagian administrasi untuk kemudian diperiksa kembali, lalu disimpan dalam map
untuk menunggu waktu jatuh tempo .
G. Pembayaran
Pembayaran dilakukan bila sudah jatuh tempo dimana tiap faktur akan dikumpulkan per debitur, masing−masing akan
dibuatkan bukti kas keluar serta cek atau giro, kemudian diserahkan ke bagian keuangan untuk ditandatangani sebelum
dibayarkan ke supplier . Pengadaan sediaan farmasi selain dengan pembelian juga dapat dilakukan melalui konsinyasi yang mana
dalam hal ini pembayaran dilakukan setelah barang konsinyasi terjual dalam tempo yang telah disepakati bersama antara supplier
dan unit pelayanan kesehatan tempat menitipkan barang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengadaan sediaan farmasi perlu memperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
Pengadaan tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan yang terdiri dari tahap pemilihan, kompilasi pemakaian, perhitungan
kebutuhan, proyeksi kebutuhan dan tahap penyesuaian rencana pengadaan yang dapat dilakukan dengan analisis ABC, VEN atau
ABC−VEN.
Pengadaan dilakukan melalui lima tahap yaitu persiapan, pemesanan yang menurut peraturan Menteri Kesehatan harus
dilakukan di Pedagang Besar Farmasi (PBF) dengan jalur resmi sesuai undang–undang yang berlaku, penerimaan, pencatatan dan
pembayaran. Pengadaan yang efektif, efisien dan sesuai peraturan yang berlaku ditujukan untuk menjamin ketersediaan sediaan
farmasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Alur pemesanan sediaan farmasi, terutama obat berbeda−beda. Apoteker sangat berperan dalam pemesanan sediaan
farmasi, hal itu bisa dilihat dari setiap pemesanan dan penerimaan yang memerlukan tanda tangan Apoteker Pengelola Apotek
(APA) atau apoteker penanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
1.1 Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (Presiden RI, 2016).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan RI No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, disebutkan bahwa
apotek merupakan suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2002)
Untuk menciptakan sarana pelayanan kesehatan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, maka apotek harus
memenuhi syarat yang meliputi lokasi, bangunan, perlengkapan apotek, perbekalan farmasi dan tenaga kesehatan yang harus
menunjang penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa mengurangi mutu pelayanan. (SK Menkes
RI No. 278/Menkes/SK/V/1981)
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 tahun 2016, meliputi perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan. Pengelolaan ini bertujuan untuk
menjaga dan menjamin ketersediaan barang di Apotek sehingga tidak terjadi kekosongan barang. Selain itu juga bertujuan untuk
memperoleh barang yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas harga yang dapat dipertanggungjawabkan dalam
waktu tertentu secara efektif dan efisien, menurut tata cara dan ketentuan yang berlaku.
1. Pengendalian Ketersediaan
Kekosongan atau kekurangan sediaan farmasi di apotek dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu :
a. Perencanaan yang kurang tepat
b. Perubahan kebijakan pemerintah (misalnya perubahan e-katalog, sehingga sediaan farmasi yang sudah direncanakan
tahun sebelumnya tidak masuk dalam katalog sediaan farmasi yang baru)
c. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Apoteker untuk mencegah/mengatasi kekurangan atau
kekosongan sediaan farmasi :
1) Melakukan analisa perencanaan sebelum pemesanan/pembelian sediaan farmasi.
2) Mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain
atas persetujuan dokter dan/atau pasien.
3) Lakukan stock opname sediaan farmasi, BMHP dan alkes secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 6
(enam) bulan. Khusus untuk Narkotika dan Psikotropika stock opname dilakukan secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam 1 (satu) bulan.
2. Pengendalian penggunaan
Pengendalian penggunaan sediaan farmasi dilakukan untuk mengetahui jumlah penerimaan dan pemakaian
sediaan farmasi sehingga dapat memastikan jumlah kebutuhan sediaan farmasi dalam satu periode.
Kegiatan pengendalian mencakup:
a. Memperkirakan/menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu. jumlah stok ini disebut stok kerja.
b. Menentukan:
1) Stok optimum adalah stok sediaan farmasi yang disediakan agar tidak mengalami kekurangan/kekosongan.
2) Stok pengaman adalah jumlah stok yang disediakan untuk mencegah terjadinya sesuatu hal yang tidak terduga,
misalnya karena keterlambatan pengiriman.
3) Menentukan waktu tunggu (leadtime) adalah waktu yang diperlukan dari mulai pemesanan sampai sediaan
farmasi diterima.
c. Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor keluar dan masuknya (mutasi) sediaan
farmasi di apotek. Pencatatan dapat dilakukan dalam bentuk digital atau manual. Pencatatan dalam bentuk manual
biasanya menggunakan kartu stok. Fungsi kartu stok sediaan farmasi, yaitu :
1) Mencatat jumlah penerimaan dan pengeluaran sediaan farmasi termasuk kondisi fisik, nomor batch dan tanggal
kedaluwarsa sediaan farmasi
2) Satu kartu stok hanya digunakan untuk mencatat mutasi satu jenis sediaan farmasi
3) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan dan rencana kebutuhan sediaan farmasi periode
berikutnya.
2.3 Puskesmas
Dalam rangka mewujudkan pusat kesehatan masyarakat yang efektif, efisien, dan akuntabel dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan tingkat pertama yang bermutu dan berkesinambungan dengan memperhatikan keselamatan pasien dan
masyarakat, dibutuhkan pengaturan organisasi dan tata hubungan kerja pusat kesehatan masyarakat; pengaturan pusat
kesehatan masyarakat perlu disesuaikan dengan kebijakan pemerintah untuk memperkuat fungsi pusat kesehatan masyarakat
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama di wilayah kerjanya.
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif
dan preventif di wilayah kerjanya.
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk mewujudkan wilayah kerja Puskesmas
yang sehat, dengan masyarakat yang:
a. memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
b. mampu menjangkau Pelayanan Kesehatan bermutu
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Dalam pusat kesehatan masyarakat ada kegiatan pelayanan yang disebut dengan istilah pelayanan kesehatan yang
merupakan upaya yang diberikan oleh Puskesmas kepada masyarakat, mencakup perencanaan, pelaksanaan, evaluasi,
pencatatan, dan pelaporan yang dituangkan dalam suatu sistem.
Kegiatan Distribusi Rutin, mencakup distribusi untuk kebutuhan pelayanan umum diunit pelayanan kesehatan.
Kegiatan yang dilakukan adalah :
Langkah-langkah distribusi obat :
1. Menentukan frekuensi distribusi dengan mempertimbangkan :
a. Jarak distribusi.
b. Biaya distribusi yang tersedia.
2. Menentukan jumlah dan jenis obat yang diberikan dengan mempertimbangkan :
a. Pemakaian rata-rata per periode untuk setiap jenis obat.
b. Sisa stok
c. Pola penyakit
d. Jumlah kinjungan di masing-masing jaringan pelayanan puskesmas
3. Melaksanakan penyerahan obat ke jaringan pelayanan puskesmas. Obat diserahkan bersama-sama dengan form LPLPO
jaringan pelayanan puskesmas yang ditanda tangani oleh penanggung jawab jaringan pelaynan puskesmas dan
pengelola obat puskesmas induk sebagai penanggung jawab pemberi obat.
Pendistribusian sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sediaan farmasi
sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat.
Sub-sub unit di Puskesmas dan jaringannya antara lain:
1. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas
2. Puskesmas Pembantu
3. Puskesmas Keliling
4. Posyandu
5. Polindes setelah unit-unit tersebut melakukan permintaan sesuai dengan LPLPO dari unit bersangkutan ke Puskesmas
induk.
Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain) dilakukan dengan cara pemberian Obat sesuai
resep yang diterima (floor stock), pemberian Obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau kombinasi, sedangkan
pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan dengan cara penyerahan Obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock).
Pendistribusian atau pelayanan resep obat di Puskesmas dengan adanya dropping, maka pasien tidak dipungut biaya
atas resepnya. Pendistribusian obat di Puskesmas juga dilakukan dari gudang farmasi puskes ke unit obat, dan juga
didistribusikan ke unit-unit yang ada di Puskesmas. Resep yang dijalani ada 2 kelompok, yaitu resep umum dan BPJS.
Pelayanan unit resep di Puskesmas dilakukan sebagai berikut :
1. Penerimaan resep
Resep di terima dari pasien, dilakakukan skrining resep meliputi : nama dokter, SIP, alamat praktek dokter, paraf
dokter, nama pasien, umur pasien, alamat pasien, tanggal pembuatan resep, jumlah obat, nama obat, aturan pakai. Jika
terdapat keraguan pada resep atau obatnya tidak ada maka dikonsultasikan pada dokter.
2. Pemberian etiket meliputi : aturan pakai, nama obat, nama pasien dan ada obat tertentu di jelaskan cara penggunaannya
3. Penyerahan obat, sebelum obat di serahkan kepada pasien dilakukan pemeriksaan kembali, memastikan bahwa yang
menerima obat adalah pasien atau keluarga dan memberikan informasi obat kepada pasien meliputi: nama obat,
kegunaan, aturan pakai dan cara menggunkannya.
Q = SK + SP + ( WT x D ) – SS
Keterangan :
Q : Jumlah obat yang diterima
SK : Stok kerja
SP : Stok pengaman
WT : Waktu tunggu
SS : Sisa stok
D : Pemakaian rata-rata perbulan
b. Pengendalian penggunaan
1. Petugas mengambil sampel resep dari tiga kasus penyakit (pneumonia, diare dan myalgia) setiap hari.
2. Petugas mengumpulkan data tentang jenis penyakit yang tertulis diresep ketiga kasus penyakit tersebut.
3. Petugas merekap data sampel resep dari ketiga kasus penyakit tersebut selama satu bulan.
4. Petugas mencatat jumlah keseluruhan sampel yang diambil dari masing-masing kasus (A).
5. Petugas mencatat sampel kasus yang menggunakan obat antibiotik dalam masing-masing kasus (B).
6. Petugas menghitung jumlah presentasi antara total jumlah sampel yang diambil dengan jumlah sampel kasus yang
menggunakan antibiotik dengan rumus :
A
X 100 %=C %
B
7. Petugas melaporkan hasil data peresepan kepada Kepala Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten.
Pencatatan & Pelaporan, Pemusnahan & Penarikan Sediaan Farmasi, Evaluasi Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi perbekalan farmasi, tenaga dan
perlengkapan kesehatan yang disajikan kepada pihak yang berkepentingan.
Tujuan:
a) Tersedianya data yang akurat sebagai bahan evaluasi.
b) Tersedianya informasi yang akurat.
c) Tersedianya arsip yang memudahkan penelusuran surat dan laporan.
d) Mendapat data yang lengkap untuk membuat perencanaan
A. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pengkajian dan pelayanan resep adalah hal yang paling pertama yang harus dilakukan oleh apoteker
dalam melakukan penerimaan resep dari dokter. Pengkajian dan pelayanan resep dilakukan untuk mencegah
terjadinya kelalaian pencantuman informasi, penulisan resep yang buruk dan penulisan resep yang tidak baik.
Kegiatan pengkajian Resep meliputi persyaratan administrasi farmasetik dan klinis. Jika ditemukan
adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.
Kajian administratif meliputi:
1. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
2. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf; dan
3. Tanggal penulisan Resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1. Bentuk dan kekuatan sediaan;
2. Stabilitas; dan
3. Kompatibilitas (ketercampuran Obat).
Pertimbangan klinis meliputi:
1. Ketepatan indikasi dan dosis Obat.
2. Aturan, cara dan lama penggunaan Obat.
3. Duplikasi dan/atau polifarmasi.
4. Reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis lain).
5. Kontra indikasi.
6. Interaksi.
C. Rekonsiliasi Obat
Tujuan dari rekonsiliasi obat adalah memastikan informasi yang akurat tentang obat, mengidentifikasi
ketidaksesuaian informasi obat dari dokter. Jika pasien membawa obat dari rumah, maka obat-obatan tersebut
diperiksa kelayakannya, apakah sudah sesuai dengan penyakit yang diderita pasien. Jika terjadi ketidaksesuaian
makan apoteker akan menghubungi dokter yang menangani pasien tersebut. Berdasarkan permenkes RI no. 58
tahun 2014 rekonsiliasi obat dilakukan dengan cara mengumpulkan data, komparasi dan konfirmasi informasi
dari dokter.
D. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Kegiatan informasi obat (PIO) menurut PMK No. 58 tahun 2014 adalah kegiatan yang meliputi Tanya
jawab mengenai informasi obat tidak hanya kepada pasien tetapi terhadap tenaga kesehatan lainnya,
menerbitkan bulletin, melakukan penelitian, memberikan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian
ataupun tenaga kesehatan lainnya.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias,
etis, bijaksana dan terkini sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat ditingkatkan dengan tiga cara yaitu pemilihan terapi
obat yang baik, menciptakan hubungan dokter dengan pasien yang baik, atau meluangkan waktu untuk
memberikan informasi yang diberikan, seperti petunjuk dan peringatan. Terapi obat yang baik terdiri dari
sedikitnya obat yang diresepkan, dengan tindakan cepat, sedikit efek samping, dalam bentuk sediaan yang tepat,
jadwal dosis sederhana, dan durasi pengobatan sesingkat mungkin.
PIO yang efektif pada pasien dapat mengurangi ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan obat.
Pasien membutuhkan informasi, petunjuk dan peringatan agar mereka memiliki pengetahuan untuk menerima
dan mengikuti pengobatan serta mendapat keterampilan yang diperlukan untuk menggunakan obat yang
merekan terima. Informasi harus diberikan dengan jelas, menggunakan bahasa umum dan meminta pasien
untuk mengulang kata-kata yang diucapkan petugas oleh dirinya sendiri terkait beberapa informasi inti, untuk
memastikan bahwa informasi telah dipahami.
E. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan
pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan
Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan
three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health
Belief Model. Health Belief Model (HBM) atau Model Kepercayaan Kesehatan. HBM ialah sebuah model yang
menjelaskan pertimbangan seseorang sebelum ia berperilaku sehat dan memiliki fungsi sebagai upaya
pencegahan terhadap penyakit.
Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami Obat yang
digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortikosteroid dengan tappering
down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam
kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
7. Tahap kegiatan konseling:
a. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime Questions, yaitu:
1. Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
2. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda?
3. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah Anda menerima terapi Obat
tersebut?
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi
masalah penggunaan Obat
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan Obat
Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien Apoteker mendokumentasikan konseling
dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam
konseling dengan menggunakan Formulir 7 sebagaimana terlampir.
F. Visite
Berdasarkan PMK No. 58 tahun 2014 visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien
secara langsung dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD), meningkatan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter,
pasien serta professional kesehatan lainnya
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit baik atas permintaan pasien
maupun sesuai dengan program rumah sakit yang biasa disebut dengan mengumpulkan informasi mengenai
kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medic atau sumber lain.
Visite apoteker bersama tenaga kesehatan lain sebenarnya sudah menjadi kewajiban dalam kegiatan
farmasi klinik. Namun memang masih banyak tenaga kesehatan yang tidak bisa bekerjasama di lapangan,
sehingga kegiatan ini tidak tercipta.