Anda di halaman 1dari 156

PERENCANAAN JALUR INTERPRETASI ALAM

DI PULAU KAPOTA, TAMAN NASIONAL WAKATOBI

RAFIKA

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERENCANAAN JALUR INTERPRETASI ALAM
DI PULAU KAPOTA, TAMAN NASIONAL WAKATOBI

RAFIKA

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

RAFIKA. Perencanaan Jalur Interpertasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional


Wakatobi. Di bawah bimbingan NANDI KOSMARYANDI dan EVA
RACHMAWATI.

Pulau Kapota merupakan salah satu pulau berpenghuni di kawasan Taman


Nasional Wakatobi (TNW) yang letaknya tidak jauh dari ibukota kabupaten,
dengan luas wilayah sekitar 1.804,97 ha. Pulau Kapota memiliki potensi
sumberdaya kawasan yang dapat dikembangkan sebagai objek dan daya tarik
wisata yaitu berupa potensi sumberdaya alam dan budaya. Melihat potensi
sumberdaya kawasan tersebut pihak taman nasional memiliki rencana untuk
menjadikan Pulau Kapota sebagai salah satu lokasi kegiatan ekowisata di TNW.
Agar pengunjung yang datang ke Pulau Kapota mendapatkan nilai lebih dalam
kunjungannya maka kegiatan ekowisata akan lebih baik lagi jika dipadukan
dengan kegiatan interpretasi. Penelitian dilaksanakan di Pulau Kapota, salah satu
pulau di TNW, Sulawesi Tenggara. Dilaksanakan selama dua bulan, yaitu bulan
Juli-Agustus 2010. Alat dan bahan yang digunakan antara lain alat tulis,
binokuler, kamera digital, tape recorder, GPS, Software Arcview 3.3, peta TNW
dan kuesioner. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi literatur,
wawancara dan penyebaran kuesioner, serta observasi lapang.
Hasil penelitian menemukan berbagai objek dan daya tarik wisata di Pulau
Kapota yang diklasifikasikan menjadi potensi biologis, potensi fisik, potensi
sejarah dan situs keramat, serta potensi seni-budaya. Potensi biologis berupa
keanekaragaman flora yang ada pada jalur pengamatan (dijumpai 16 jenis flora),
fauna (dijumpai 23 jenis burung, 2 jenis mamalia, 3 jenis reptil), dan ekosistem
yang khas (mangrove, lamun, terumbu karang). Potensi fisik berupa Goa
Kelelawar, Mata Air Kolowowa, Danau Tailaro Nto‟oge, pantai berpasir putih
dan pemandangan alam. Potensi sejarah dan situs keramat berupa benteng
kerajaan masyarakat adat Kapota (Katiama dan Togo Molengo), makam penyiar
agama Islam pertama di Pulau Kapota, Saru-sarua, Laudina, Watu Lulu, dan Watu
Ndengu-ndengu. Potensi seni-budaya berupa kerajinan jalajah dan tenunan kain
leja, tarian tradisional, dan pesta adat (Kabuenga dan Karia‟a). Sudah terdapat
jalur yang menghubungkan berbagai objek dan daya tarik wisata di Pulau Kapota.
Dari hasil pengamatan dijumpai tujuh jalur yang dapat digunakan untuk mencapai
objek-objek tersebut, enam jalur terestrial dan satu jalur aquatik. Berdasarkan
potensi objek serta kondisi fisik jalur, dari ketujuh jalur yang ada terdapat enam
jalur yang direncanakan sebagai jalur interpretasi, lima jalur terestrial dan satu
jalur aquatik. Jalur tersebut yaitu Jalur Interpretasi Pantai Aowolio, Jalur
Interpretasi Goa Kelelawar, Jalur Interpretasi Togo Molengo, Jalur Interpretasi
Banakawa, Jalur Interpretasi Hutan Sara dan Jalur Interpretasi Kapota Reef.

Kata Kunci : Jalur Interpertasi, Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi


SUMMARY
RAFIKA. Planning Interpretation Trail in Kapota Island, Wakatobi National
Park. Under the Supervision of NANDI KOSMARYANDI and EVA
RACHMAWATI.

Kapota island is one of the inhabited island in Wakatobi National Park


area. Located nearby the capital of district with an area approximately 1.804,97
ha. Kapota island has potential resources that can be developed as tourism object
and attraction such as natural resources and cultural. Based on potential resources
in the area, the national park aims to make Kapota island as one of the ecotourism
activity location. In order to make Kapota island visitors get more advantages,
therefore the ecotourism activity joined with interpretation programme. This
research carried out in Kapota island, one of island in Wakatobi National Park,
Sulawesi Tenggara Province. That was implemented for two months, July to
August 2010. The equipments and materials were stationery, binoculars, digital
camera, tape recorder, GPS, Software Arcview 3.3, Wakatobi National Park map,
and questionnaire. Data collected by literature study, interview, questionnaire, and
field observation.
The result were various tourism objects and attractions in Kapota island
which can be classified as potential biology, physic, history, sacred sites, and art-
culture. Biology potential such as flora diversity (16 species flora), fauna (23
species birds, 2 species mammals, 3 species reptiles), and specific ecosystem
(mangrove, seagrass, coral reef). Physic potential such as Bat Cave, Kolowowa
Spring, Tailaro Nto‟oge Lake, white sand beach, and landscape. History potential
and sacred sites such as fort royal of indigenous people of Kapota (Katiama dan
Togo Molengo), tomb of the first herald of islamic religious in Kapota island,
Saru-sarua, Laudina, Watu Lulu, and Watu Ndengu-ndengu. Art-culture potential
such as jalajah craft, leja woven fabric, traditional dance, and tradition feast
(Kabuenga dan Karia’a). There were tracks connecting the location of tourism
object and attractions in the island. From the result, found seven tracks that can be
used to reach the objects, six tracks in terrestrial, and one track in aquatic. Based
on potential object and the condition of track, six tracks planned as interpretation
trails, five tracks in terrestrial and one track in aquatic. The tracks were Aowolio
Beach, Bat Cave, Togo Molengo, Banakawa, Sara Forest, and Kapota Reef.

Keywords: Interpretation Track, Kapota island, Wakatobi National Park


PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Perencanaan


Jalur Interpretasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi” adalah
benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan
belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2011

Rafika
NRP. E34063253
Judul Skripsi : Perencanaan Jalur Interpertasi Alam di Pulau Kapota, Taman
Nasional Wakatobi
Nama : Rafika
NIM : E34063253

Menyetujui:
Dosen Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ir. Nandi Kosmaryandi,M.Sc.F Eva Rachmawati,S.Hut, M.Si


NIP. 196606281998021001 NIP. 197703212005012003

Mengetahui:
Ketua Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS


NIP. 195809151984031003

Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP

Rafika dilahirkan di Desa Taratak Tangah, Kecamatan


Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada
tanggal 1 Februari 1988. Penulis merupakan anak pertama dari
5 bersaudara pasangan Bapak Usri dan Ibu Yumarnis.
Pendidikan formal di tempuh di SD Negeri 19 Taratak
Tangah, SMP Negeri 3 Lembah Gumanti, dan SMA Negeri 1
Lembah Gumanti. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB) dan
tahun 2007 penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Selama perkuliahan
penulis aktif dalam beberapa organisasi di IPB yaitu Organisasi Mahasiswa
Daerah IPMM (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang), Unit Kegiatan Mahasiswa
UKF (Uni Konservasi Fauna), dan Himpunan profesi HIMAKOVA (Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata).
Kegiatan-kegiatan yang pernah penulis ikuti selama berada di IPB
diantaranya Eksplorasi Satwa di Cikeupuh (2006); Ekspedisi Global di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (2006); Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)
di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalbar (2008); Eksplorasi Fauna
Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Rawa Danau,
Banten (2009); Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di CA Kamojang,
TWA Kawah Kamojang, dan CA Leuweung Sancang (2008); Praktek
Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, dan KPH Cianjur (2009); Praktek Kerja Lapang Profesi
(PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur (2010). Sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis
melaksanakan penelitian di Sulawesi Tenggara dengan judul “Perencanaan Jalur
Interpretasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi” di bawah
bimbingan Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc.F dan Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, penguasa seluruh alam,


karena berkat izin-Nya, kekuasaan-Nya serta kasih sayang-Nya karya kecil ini
dapat diselesaikan. Dengan segala hormat, penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
1. Orang tua, kakak, adik, dan segenap keluarga atas segala doa, motivasi dan
dukungannya yang tiada henti hingga studi ini dapat terselesaikan.
2. Keluarga Pak In selaku orang tua wali selama di Bogor, terima kasih banyak
atas doa, motivasi, dan dukungannya.
3. Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc.F dan Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si selaku
pembimbing penulis, terima kasih atas kesabaran dan keikhlasannya dalam
memberikan ilmu, bimbingan dan nasehat kepada penulis.
4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kehutanan IPB yang telah banyak memberikan
ilmu pengetahuan.
5. Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Bpk Wahju Rudianto, S.Pi yang telah
memberikan izin tempat penelitian, serta kepada staf Balai TNW yang sudah
banyak membantu demi kelancaran penelitian ini.
6. Ketua SPKP Banakawa Bpk Suhaeri, Nyong, Tari, Vivi, Inal, Tarsan, dan Oji
yang telah banyak membantu dan mau direpotkan selama di lapangan, dan
teman-teman KPA yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
7. Rekan-rekan mahasiswa “CENDRAWASIH 43” terima kasih atas
kebersamaan kita selama ini.
8. Teman-teman UKF, terima kasih karena selalu membuatku tertawa di saat
sedih dan berbagi banyak hal selama di IPB.
9. Keluarga besar HIMAKOVA khususnya keluarga besar KPM “TARSIUS”
terima kasih banyak atas persahabatannya (Yunus Liv_8 terima kasih atas
bantuannya membuat video).
10. Semua pihak yang telah membantu demi kelancaran penulisan skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak.
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perencanaan Jalur
Interpretasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Keberadaan Taman Nasional Wakatobi sebagai kawasan pelestarian alam
dan daerah tujuan wisata sangat memerlukan adanya interpretasi untuk
memberikan pemahaman kepada pengunjung bahwa kawasan yang dikunjunginya
merupakan kawasan khusus dan membutuhkan perlakuan khusus juga.
Pemahaman inilah yang diharapkan dapat mendorong pengunjung agar mau
berpartisipasi dalam melestarikan sumberdaya alam yang ada di Taman Nasional
Wakatobi. Kegiatan interpretasi akan berjalan dengan lancar apabila dilaksanakan
secara terencana, oleh karena itu harus disusun perencanaan interpretasinya
terlebih dahulu.
Selama penyusunan skripsi ini, tidak dapat dipungkiri banyak sekali
hambatan yang dihadapi. Berkat kearifan dan kemurahan-Nya serta bantuan dari
berbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan. Tak ada gading yang tak retak, tak
ada manusia yang sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berkepentingan dengan
karya ini. Akhirnya dengan kemampuan yang terbatas dan segala kekurangan,
penulis masih berharap semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca.

Bogor, April 2011

Penulis
ii

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................ 2
1.3 Manfaat ...................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taman Nasional ......................................................................... 3
2.2 Interpretasi ................................................................................. 4
2.2.1 Defenisi Interpretasi .......................................................... 4
2.2.2 Tujuan Interpretasi ............................................................ 4
2.2.3 Unsur-Unsur Interpretasi ................................................... 5
2.2.4 Metode Interpretasi............................................................ 7
2.2.5 Jalur Interpretasi ................................................................ 7
2.2.6 Program Interpretasi .......................................................... 8
BAB III GAMBARAN UMUM KAWASAN PENELITIAN
3.1 Letak, Luas dan Batas Administrasi ........................................... 10
3.2 Sejarah Kawasan ....................................................................... 10
3.3 Kondisi Fisik ............................................................................. 11
3.4 Kondisi Biologi ......................................................................... 12
3.5 Sosial Budaya Masyarakat ......................................................... 14
3.6 Deskripsi Lokasi Penelitian ....................................................... 15
3.7 Aksesibilitas .............................................................................. 16
BAB IV METODOLOGI
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 18
4.2 Alat dan Bahan .......................................................................... 18
4.3 Jenis Data .................................................................................. 18
iii

4.4 Pengumpulan Data..................................................................... 19


4.5 Pengolahan dan Analisis Data .................................................... 22
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata ......................................... 23
5.1.1 Potensi Biologis ................................................................ 23
5.1.2 Potensi Fisik ..................................................................... 35
5.1.3 Potensi Sejarah dan Situs Keramat .................................... 46
5.1.4 Potensi Seni dan Budaya ................................................... 51
5.2 Jalur yang Berpotensi untuk Dikembangkan sebagai Jalur
Interpretasi ................................................................................. 60
5.2.1 Jalur SPKP-Pantai Aowolio .............................................. 62
5.2.2 Jalur Pesisir Pantai Kapota-Goa Kelelawar........................ 65
5.2.3 Jalur SPKP-Togo Molengo ............................................... 68
5.2.4 Jalur SPKP-Banakawa ...................................................... 71
5.2.5 Jalur SPKP-Hutan Sara ..................................................... 74
5.2.6 Jalur Hutan Sara-Saru‟sarua .............................................. 77
5.2.7 Jalur Pelabuhan Jonson-Karang Kapota............................. 80
5.3 Sarana dan Prasarana Pendukung Interpretasi ............................. 81
5.4 Pengunjung Taman Nasional Wakatobi ...................................... 82
5.5 Sumberdaya Manusia Pengelola Kegiatan Wisata Pulau Kapota . 85
5.6 Arah Pengembangan Kawasan Pulau Kapota .............................. 87
5.7 Perencanaan Jalur Interpretasi Alam di Pulau Kapota ................. 88
5.7.1 Jalur Interpretasi Pantai Aowolio ...................................... 88
5.7.2 Jalur Interpretasi Goa Kelelawar ....................................... 92
5.7.3 Jalur Interpretasi Togo Molengo ....................................... 96
5.7.4 Jalur Interpretasi Banakawa .............................................. 100
5.7.5 Jalur Interpretasi Hutan Sara ............................................. 106
5.7.6 Jalur Interpretasi Kapota Reef ........................................... 109
5.8 Perencanaan Fasilitas Pendukung Interpretasi ............................. 111
5.8.1 Pusat Informasi (Information Center)................................ 113
5.8.2 Tempat Pembuangan Sampah ............................................ 114
5.8.3 Toko Cendera Mata .......................................................... 114
iv

5.8.4 Perencanaan Peta Kawasan ............................................... 114


5.8.5 Homestay ......................................................................... 115
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ................................................................................ 117
6.2 Saran ......................................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 119
LAMPIRAN .................................................................................................... 121
v

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi. ............................................................ 10
2. Peta jalur perjalanan ke Taman Nasional Wakatobi. ................................... 17
3. Perahu jonson sebagai alat transportasi lokal. ....................................................... 17
4. Peta lokasi penelitian. .......................................................................................... 18
5. Kelapa cabang empat ................................................................................. 29
6. Potensi tumbuhan mangrove ...................................................................... 32
7. Ekosistem karang ....................................................................................... 34
8. Pintu masuk horizontal Goa Kelelawar....................................................... 36
9. Fauna dan ornamen goa di ruangan pertama ............................................... 36
10. Ornamen goa pada dinding dan atap goa di ruangan kedua ......................... 37
11. Ornamen goa pada lorong ......................................................................... 38
12. Kolam air yang terdapat di dalam goa (tampak dari atas)............................ 38
13. Mata Air Kolowowa .................................................................................. 39
14. Kondisi air Danau Tailaro To‟oge .............................................................. 40
15. Bentuk Danau Tailaro Nto‟oge tampak dari atas ........................................ 40
16. Peta posisi/letak lokasi pantai berpasir di Pulau Kapota .............................. 41
17. Hamparan pasir putih Pantai Aowolio ........................................................ 42
18. Bentuk fisik Watu Sahu‟u .......................................................................... 42
19. Kondisi pantai pada saat air surut ............................................................... 43
20. Kegiatan meti-meti..................................................................................... 43
21. Pemandangan di Pantai Kolowowa ............................................................ 44
22. Kegiatan budidaya rumput laut................................................................... 45
23. Pantai Umala ............................................................................................. 46
24. Bekas Benteng Katiama yang sudah tertutupi rumput ................................. 46
25. Makam Bapak Barakati di dalam Togo Molengo. ....................................... 47
26. Batu Banakawa yang dikeramatkan oleh masyarakat Pulau Kapota. ........... 48
27. Situs keramat Saru‟sarua ............................................................................ 49
28. Tugu Saru‟sarua ......................................................................................... 50
29. Tanjung Laudina. ....................................................................................... 50
30. Situs keramat Watu Ndengu-dengu ............................................................ 51
vi

31. Kerajinan jalajah ........................................................................................ 52


32. Kain tenun khas Kapota ............................................................................. 52
33. Kegiatan memintal benang pada oluri. ....................................................... 53
34. Kegiatan menggabungkan benang dengan daro. ......................................... 53
35. Pesta adat pingitan ..................................................................................... 55
36. Peserta karia yang berlari keliling kampung ............................................... 56
37. Lifo yang berisi bermacam-macam kue ...................................................... 56
38. Pesta kabuenga .......................................................................................... 58
39. Posisi peserta acara kabuenga sesuai perannya. .......................................... 58
40. Acara Kabuenga ......................................................................................... 60
41. Peta potensi jalur interpretasi alam di Pulau Kapota ................................... 61
42. Peta potensi jalur interpretasi alam di Perairan Kapota ............................... 62
43. Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Pantai Aowolio ..... 64
44. Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur Pantai Kapota-
Goa Kelelawar. .......................................................................................... 67
45. Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Togo Molengo ...... 70
46. Kondisi Jalur SPKP-Banakawa .................................................................. 71
47. Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Banakawa. ............ 73
48. Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Hutan Sara ............ 76
49. Kondisi jalur Hutan Sara-Saru‟sarua .......................................................... 77
50. Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur Hutan Sara-Saru‟sarua ..... 79
51. Jumlah pengunjung Taman Nasional Wakatobi tahun 1996-2009. .............. 82
52. Tujuan kunjungan wisata Taman Nasional Wakatobi. ................................ 83
53. Diagram tujuan pengunjung datang ke Pulau Kapota.................................. 85
54. Diagram sumberdaya kawasan yang paling menarik menurut
pengunjung ................................................................................................ 85
55. Struktur organisasi SPKP Banakawa di Pulau Kapota ................................ 86
56. Peta jalur interpertasi Pantai Aowolio. ....................................................... 90
57. Pola alur setapak untuk interpretasi di jalur interpretasi Pantai Aowolio ..... 91
58. Peta jalur interpertasi Goa Kelelawar ......................................................... 94
59. Pola alur setapak untuk interpretasi di jalur interpretasi Goa Kelelawar ...... 95
60. Peta jalur interpertasi Togo Molengo.......................................................... 98
vii

61. Pola alur setapak interpretasi di jalur interpretasi Togo Molengo ................ 99
62. Peta jalur interpertasi Banakawa ................................................................ 103
63. Pola alur setapak interpretasi di jalur interpretasi Batu Banakawa. ............. 104
64. Peta jalur interpertasi Hutan Sara. .............................................................. 107
65. Pola alur setapak interpretasi di jalur interpretasi Hutan Sara...................... 108
66. Lokasi diving di Jalur Interpretasi Kapota Reef........................................... 110
67. Peta lokasi sarana dan prasarana interpretasi di Pulau Kapota..................... 112
68. Desain lawa yang akan dijadikan sebagai pusat informasi. ......................... 113
69. Peta objek wisata Pulau Kapota.................................................................. 115
70. Contoh desain homestay sederhana ............................................................ 116
viii

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut kecamatan tahun 2010 ................ 14
2. Jumlah penduduk Pulau Kapota ................................................................. 16
3. Informasi rute perjalanan menuju Taman Nasional Wakatobi ..................... 16
4. Rekapitulasi pengumpulan data .................................................................. 21
5. Jenis burung yang dapat dijumpai di Pulau Kapota ..................................... 30
6. Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Pantai Aowolio ........... 63
7. Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju goa ............................. 65
8. Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Togo Molengo ............ 68
9. Rute jalur yang akan ditempuh menuju Batu Banakawa ............................. 72
10. Rute jalur dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Hutan Sara ......... 74
11. Rute jalur yang akan ditempuh menuju Saru‟sarua ..................................... 78
12. Rumah penginapan yang sudah tersedia di Pulau Kapota............................ 82
13. Karakteristik responden pengunjung .......................................................... 84
14. Objek utama di jalur interpretasi Pantai Aowolio ....................................... 89
15. Materi interpretasi yang perlu disiapkan untuk kegiatan interpretasi ........... 92
16. Objek utama di jalur interpretasi Goa Kelelalawar ..................................... 93
17. Objek utama di jalur interpretasi Togo Molengo ........................................ 97
18. Materi interpretasi di jalur interpertasi Togo Molengo ................................ 100
19. Objek utama di jalur interpretasi Banakawa ............................................... 101
20. Materi interpretasi di jalur interpretasi Banakawa ....................................... 105
21. Materi interpretasi di jalur interpretasi Pelabuhan Jonson – Kapota Reef .... 110
ix

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Jenis-jenis flora yang dijumpai di Pulau Kapota ......................................... 122
2. Deskripsi fauna burung sebagai objek interpretasi di Pulau Kapota ............ 123
3. Beberapa jenis tumbuhan mangrove yang dapat dijumpai di
Pulau Kapota ............................................................................................. 134
4. Jenis-jenis lamun yang dapat dijumpai di Perairan Kapota ......................... 134
5. Jenis-jenis terumbu karang yang dapat dijumpai di Perairan Kapota ........... 135
6. Hasil pemetaan Goa Kelelawar .................................................................. 136
7. Contoh desain fasilitas interpretasi alam yang akan dikembangkan ............ 137
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan salah satu kawasan
konservasi perairan laut yang tersusun atas empat pulau besar yaitu Pulau Wangi-
wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko dengan luas penutupan
lahannya 97% berupa lautan. Singkatan nama dari keempat pulau ini jugalah
nama Wakatobi diambil. Selain pulau besar tersebut di dalam kawasan Wakatobi
terdapat pulau-pulau kecil, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni.
Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh WWF pada tahun 2006
teridentifikasi 22 pulau masuk ke dalam kawasan TNW, salah satunya adalah
Pulau Kapota.
Pulau Kapota merupakan salah satu pulau berpenghuni yang terletak di
bagian barat laut Pulau Wangi-wangi dengan luas sekitar 1.804,97 ha (Balai TNW
2008). Berdasarkan mitos yang berkembang di masyarakat, nenek moyang
mereka merupakan salah satu orang pertama yang mendiami kawasan Wakatobi.
Sehingga sampai saat ini masyarakat Pulau Kapota diakui sebagai salah satu
masyarakat adat dari 9 masyarakat adat Kepulauan Wakatobi yang dikenal dengan
nama Masyarakat Adat Kapota. Seperti masyarakat adat lainnya di Indonesia,
Masyarakat Adat Kapota memiliki budaya khas yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata. Selain potensi budaya, di
Pulau Kapota juga terdapat potensi sumberdaya alam yang menarik seperti goa,
kelapa bercabang empat, danau, pantai berpasir, ekosistem yang khas dan objek
lainnya. Perpaduan antara potensi budaya dan keindahan alam merupakan suatu
tawaran yang menarik untuk berkunjung ke Pulau Kapota.
Pihak taman nasional memiliki rencana untuk menjadikan Pulau Kapota
sebagai salah satu lokasi kegiatan ekowisata. Hal ini dilihat dari banyaknya
potensi sumberdaya kawasan yang terdapat di pulau tersebut. Karena pulau
Kapota berada di dalam kawasan konservasi maka kegiatan ekowisata akan lebih
baik lagi jika mengandung unsur interpretasi. Unsur interpretasi dalam ekowisata
merupakan hal yang amat penting, inilah yang membedakan ekowisata dengan
kegiatan wisata alam lainnya. Kegiatan interpretasi yang memadai akan
2

menciptakan pengalaman ekowisata yang bermakna dalam meningkatkan


pengetahuan, kesadaran, serta penghargaan pengunjung terhadap lingkungan dan
budaya yang dikunjunginya. Oleh karena itu, untuk menunjang kegiatan
ekowisata di Pulau Kapota sangat diperlukan suatu perencanaan interpretasi.
Salah satu unsur yang penting dalam perencanaan interpretasi selain
potensi objek dan daya tarik wisata, juga diperlukan suatu perencanaan jalur untuk
mencapai objek tersebut. Sebenarnya saat ini telah terdapat jalur yang dapat
menghubungkan objek-objek wisata di Pulau Kapota, namun di dalam jalur belum
terdapat unsur interpretasi. Oleh karena itu, dalam menyusun perencanaan
interpretasi diperlukan suatu kajian yang dapat menginventarisasi potensi objek
dan daya tarik wisata, serta mengidentifikasi jalur yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai jalur interpretasi.

1.2. Tujuan
Penelitian ini, secara umum dilakukan untuk menyusun perencanaan jalur
interpretasi alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi. Untuk mencapai
tujuan tersebut ada beberapa tujuan khusus yang harus dicapai, yaitu:
1. Menginventarisasi potensi objek dan daya tarik wisata
2. Mengidentifikasi jalur yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai jalur
interpretasi

1.3. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar (base line) untuk
pengembangan objek dan daya tarik wisata di Pulau Kapota dan jalur-jalur untuk
mencapai objek tersebut, sehingga dapat menjadi masukan bagi taman nasional
dan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan pengelolaan ekowisata di
Pulau Kapota.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Taman Nasional


Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang dimaksud taman nasional yakni kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Zonasi yang dimaksud pada
pengertian taman nasional tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68
tahun 1998 adalah:
1. Ditetapkan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya; mempunyai
kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum
diganggu manusia; mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar
menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses
ekologis secara alami; mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan
contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; mempunyai
komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langkaa atau
yang keberadaannya terancam punah. Zona rimba mempunyai tujuan utama
sebagai tempat untuk pelestarian, tetapi tidak seketat pada zona inti. Kegiatan
ringan seperti mendaki, wisata alam terbatas, rehabilitasi dan pembangunan
sarana (jalan setapak, papan penunjuk, shelter) secara terbatas dapat
dimungkinkan.
2. Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut: mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa
formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik;
mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya
tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; kondisi
lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
4

3. Ditetapkan sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:


kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari
jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi; memiliki keanekaragaman
jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan;
merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
Taman nasional memiliki fungsi sebagai kawasan perlindungan sistem
penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan
satwa, dan kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya. Setyadi (2006) menyebutkan bahwa salah satu tujuan
pengelolaan taman nasional adalah mengelola penggunaan kawasan oleh
pengunjung untuk kepentingan inspiratif, pendidikan, budaya, dan rekreasi
dengan tetap mempertahankan areal tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati
alamiah.

2.4 Interpretasi
2.2.1 Defenisi Interpretasi
Interpretasi adalah suatu kegiatan bina cinta alam yang khusus ditujukan
untuk pengunjung kawasan konservasi alam yang merupakan kombinasi dari
enam hal, yaitu pelayanan informasi, pelayanan pemanduan, pendidikan, hiburan
dan promosi (Dirjen PHPA 1988). Sedangkan menurut Tilden (1957) interpretasi
merupakan kegiatan edukatif yang sasarannya mengungkapkan pertalian makna,
dengan menggunakan objek aslinya baik oleh pengalaman langsung maupun
dengan menggunakan media ilustrasi dan bukan keterangan-keterangan yang
hanya berdasarkan fakta saja.
Sharpe (1982), mendefinisikan interpretasi sebagai bentuk pelayanan
kepada pengunjung taman, hutan, suaka alam, dan tempat rekreasi sejenis.
Kegiatan interpretasi yang dilakukan dapat menghubungkan pengunjung dengan
kawasan konservasi sebaik-baiknya. Dirjen PHPA (1988) dalam buku Pedoman
Interpretasi Taman Nasional, menuliskan bahwa interpretasi taman nasional dapat
dijadikan alat untuk mencapai tujuan pengelolaan dan sekaligus sebagai bentuk
pelayanan kepada pengunjung taman nasional yang bersangkutan, serta
5

merupakan salah satu dasar kebijaksanaan yang ditetapkan baik untuk saat ini,
maupun yang akan datang.

2.2.2 Tujuan Interpretasi


Tujuan kegiatan interpretasi secara umum menurut Dirjen PHPA (1988)
adalah untuk membantu pengunjung agar kunjungannya lebih menyenangkan dan
lebih kaya akan pengalaman, dengan cara meningkatkan kesadaran, penghargaan
dan pengertian akan kawasan rekreasi yang dikunjungi dengan cara pemanfaatan
waktu yang lebih efisien selama kunjungan. Selain itu juga bertujuan untuk
mencapai tujuan pengelolaan kawasan rekreasi yang bijaksana, dengan cara
meningkatkan penggunaan sumberdaya secara bijaksana dan menanamkan
pengertian bahwa kawasan rekreasi yang dikunjungi tersebut adalah tempat yang
istimewa, sehingga memerlukan perlakuan khusus juga sekaligus menekan
serendah mungkin pengaruh kuat manusia terhadap sumberdaya yang ada.

2.2.3 Unsur-Unsur Interpretasi


Dirjen PHPA (1988) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan interpretasi
terdapat tiga unsur pokok yang menjadi satu kesatuan sehingga interpretasi dapat
berlangsung sebagaimana mestinya, yaitu:
1. Pengunjung
Muntasib dan Rachmawati (2009) menuliskan bahwa pengunjung adalah
setiap orang yang mengunjungi suatu negara yang bukan merupakan tempat
tinggal yang biasa, dengan alasan apapun juga, kecuali mengusahakan sesuatu
pekerjaan yang dibayar oleh negara yang dikunjunginya. Dalam hal ini termasuk
wisatawan dan pelancong. Wisatawan adalah pengunjung sementara yang paling
sedikit tinggal selama 24 jam di negara yang dikunjunginya dengan tujuan untuk
keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi keagamaan, olah raga, kepentingan
keluarga dan hubungan dagang.
Interpretasi yang disajikan kepada pengunjung agar mencapai sasaran,
maka perlu adanya pendataan dan analisa beberapa hal yang berkaitan dengan
pengunjung. Data-data tersebut antara lain tempat-tempat yang paling banyak
6

pengunjungnya di taman nasional yang bersangkutan, asal pengunjung, waktu-


waktu yang ramai pengunjung (Dirjen PHPA 1988).

2. Pemandu wisata alam (Interpreter)


Interpretasi merupakan sebuah program menyeluruh untuk
menggambarkan cerita secara keseluruhan. Pelayanan interpretasi harus
menyampaikan tentang sebuah cerita tertentu dengan proporsional artinya tidak
berlebihan dan bukan asal saja, tentang ekosistem atau peninggalan-peninggalan
sejarah/budaya (Muntasib dan Rachmawati 2009). Seseorang yang bertugas
memberikan pelayanan interpretasi tersebut adalah pemandu wisata. Pemandu
wisata alam adalah seseorang yang ditunjuk secara resmi oleh pimpinan utama
taman nasional setempat berdasarkan peraturan dan kriteria yang telah ditentukan
untuk melaksanakan kegiatan interpretasi sesuai dengan program yang telah
disusun (Dirjen PHPA 1988).
Kualitas pemandu wisata alam sangat menentukan program interpretasi
yang diselenggarakan. Syarat kemampuan yang harus dimiliki pemandu wisata
alam (Dirjen PHPA 1988) adalah sebagai berikut:
a. Menguasai beberapa ilmu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu yang
berkaitan dengan sesuatu yang menjadi objek interpretasi. Ilmu tersebut
tentunya harus sejalan dengan kebutuhan pengelolaan kawasan alam, antara
lain biologi, geologi, klimatologi, fisika, sejarah kependudukan, peninggalan
budaya, dan sebagainya
b. Menguasai pengetahuan di bidang pendidikan dan komunikasi massa serta
sekaligus mampu mempraktekkan dalam tugasnya sebagai pemandu wisata
alam
c. Menguasai cara-cara melaksanakan interpretasi secara benar, bukan hanya
sekedar memberi informasi, karena informasi bukanlah interpretasi.
d. Menguasai cara-cara pengendalian diri
e. Berpenampilan bersih dan rapi
f. Memiliki rasa hormat yang memadai dan jangan sekali-kali menganggap
rendah pengunjung, sungguhpun ada pertanyaan yang dikemukakannya
tidak bernilai (pertanyaan bodoh)
7

3. Objek Interpretasi
Objek interpretasi adalah segala sesuatu yang ada di taman nasional
bersangkutan, digunakan sebagai objek dalam menyelenggarakan interpretasi
(Dirjen PHPA 1988). Objek interpretasi dapat digolongkan menjadi dua macam,
yaitu objek interpretasi berupa potensi sumberdaya alam dan potensi sejarah
ataupun budaya. Objek interpretasi sumberdaya alam suatu kawasan konservasi
dapat berupa flora, fauna, tipe-tipe ekosistem yang khas, pemandangan laut
(termasuk biota bawah laut), goa, danau, air terjun, dan fenomena alam lainnya.
Sedangkan objek interpretasi sejarah ataupun budaya dapat berupa batu-batu
megalithik, situs-situs sejarah dan benda-benda peninggalan purbakala, bekas
pemukiman yang sudah lama ditinggalkan, pemukiman dan perkehidupan
penduduk asli baik yang ada di dalam kawasan konservasi maupun sekitarnya,
sejarah kawasan, legenda yang hidup di kalangan masyarakat setempat, dan
sebagainya.

2.2.4 Metode Interpretasi


Metode interpretasi adalah cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan
interpretasi. Penentuan penggunaan metode interpretasi didasarkan pada faktor
penentunya yaitu pengunjung dan objek interpretasi, secara garis besar terdapat
dua macam metode interpretasi (Dirjen PHPA 1988) yaitu:
1. Interpretasi Langsung
Metode interpretasi langsung dilakukan dengan cara mempertemukan
pengunjung taman nasional dengan objek interpretasi, sehingga pengunjung dapat
secara langsung melihat, mendengar, atau bila mungkin mencium, merasakan, dan
meraba objek-objek interpretasi yang diperagakan. Interpretasi dengan metode ini
dapat berupa tamasya berkeliling atau berjalan-jalan dengan pemandu wisata alam
maupun percakapan atau diskusi di lokasi dengan/tanpa demonstrasi.
2. Interpretasi Tidak Langsung
Metode tidak langsung dilakukan dengan cara menggunakan bahan atau
peralatan bantu guna memperkenalkan objek interpretasi. Dalam metode ini dapat
dilaksanakan dengan menyajikan pemutaran film atau slide program, dalam
bentuk sandiwara boneka (khusus anak-anak) yang bertemakan konservasi alam
8

taman nasional setempat, ataupun dalam bentuk percakapan di suatu ruangan


antara pengunjung dengan pemandu wisata alam sambil memperagakan satwa
atau offset, juga dapat memperdengarkan suara rekaman binatang maupun sumber
bunyi lainnya.

2.2.5 Jalur Interpretasi


Pembuatan jalur interpretasi merupakan bagian dari program interpretasi.
Jalur ini merupakan alat kontrol bagi pengunjung yang memasuki tempat-tempat
menarik untuk tujuan menghargai dan mengetahui nilai-nilai kawasan konservasi
yang didampingi oleh pemandu. Menurut Douglass (1982), jalur interpretasi
adalah suatu rute yang dibuat untuk mengarahkan pengunjung ke tempat-tempat
di mana objek-objek geologis, biologis, sejarah dan budaya yang menarik akan
dijelaskan kepada pengunjung dengan bantuan pemandu, tanda-tanda, leaflet atau
peralatan elektrik sehingga pengunjung mendapatkan pengetahuan tentang faktor-
faktor lingkungan secara langsung di lapangan. Menurut Soewardi (1978), bahwa
pembangunan jalur interpretasi bertujuan untuk mengamati studi keadaan fisik
dan geologi, hutan, tanaman, margasatwa, dan aspek-aspek kawasan lainnya.
Tujuan pengembangan jalur interpretasi menurut Douglass (1982) adalah:
1. Menjamin perlindungan dan pelestarian objek rekreasi
2. Pengawasan dan pelayanan yang lebih baik terhadap pengunjung
3. Pengembangan metode interpretasi alam, baik langsung maupun melalui papan
pengumuman dan tanda-tanda lain di lapangan.
Kriteria jalur interpretasi yang baik menurut Berkmuller (1981) adalah:
1. Mengarahkan pada pemandangan yang spektakuler, seperti air terjun, goa,
aliran sungai, pohon keramat, kawah, dan sebagainya
2. Jalur tidak licin, tidak curam, tidak tergenang dan tidak berlumpur
3. Jalur dilengkapi dengan rambu-rambu dan penunjuk arah yang jelas
4. Jalur tidak lurus dan jarak antara jalur satu dengan lain tidak terlalu jauh
5. Jalur tidak melalui komunitas tumbuhan yang rapuh dan habitat satwaliar yang
mudah terganggu.
Panjang jalur interpretasi yang baik menurut Berkmuller (1981) ditentukan
oleh waktu berjalan kaki. Hal ini tergantung pada tanah di lapangan, jarak
9

sebenarnya di lapangan dan kondisi orang yang berjalan di jalur tersebut. Waktu
berjalan pada jalur, umumnya tidak melebihi 45 menit berjalan kaki dan yang
terbaik adalah 15-30 menit. Menurut Douglass (1982), panjang jalur interpretasi
alam yang dianjurkan tidak melebihi 0,5 mil (800 m), lebar 0,5-2 m dan lereng
maksimal 15%. Jalur di rancang untuk keperluan berbagai macam sarana
transportasi, tetapi umumnya di rancang untuk keperluan pejalan kaki.

2.2.6 Program Interpretasi


Dirjen PHPA (1988) menyebutkan bahwa program interpretasi merupakan
suatu pola pelaksanaan interpretasi yang di susun menurut waktu dan skenario
cerita tertentu yang bertujuan menjelaskan mengenai apresiasi terhadap
lingkungan dengan nilai-nilai historis dan alam yang penting. Program interpretasi
menghubungkan fenomena alam atau budaya suatu taman atau areal sejenis
kepada pengunjung dengan menggunakan variasi metode yang luas dalam
menerangkan masalah yang utama. Sedangkan menurut Sharpe (1982), program
interpretasi adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha interpretasi, termasuk
personil, fasilitas, dan semua kegiatan interpretasi di suatu areal kelompok,
perorangan atau individu.
10

BAB III
GAMBARAN UMUM KAWASAN PENELITIAN

3.1 Letak, Luas dan Batas Administrasi


Taman Nasional Wakatobi secara geografis terletak di antara 5°12' - 6°10'
LS dan 123°20' -124°39' BT. Kepulauan Wakatobi secara administratif awalnya
termasuk dalam Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, namun sejak
tahun 2004 terbentuknya Kabupaten Wakatobi merupakan hasil pemekaran dari
Kabupaten Buton dengan letak dan luas yang sama dengan TNW. Kepulauan
Wakatobi secara geografis berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda dan Pulau Buton
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, dan
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Buton dan Laut Flores.

Sumber : Balai TNW 2008


Gambar 1 Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi.

3.2 Sejarah Kawasan


Kepulauan Wakatobi dan perairan disekitarnya seluas ± 1.390.000 ha
ditunjuk sebagai taman nasional pada tanggal 30 Juli 1996 berdasarkan SK
Menhut No. 393/Kpts-VI/1996, dan ditetapkan sebagai taman nasional pada
tanggal 19 Agustus 2002 berdasarkan SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002. Taman
Nasional Wakatobi (TNW) dikelola dengan sistem zonasi, yang ditetapkan
11

berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian


Alam No.198/Kpts/DJVI/1997 tanggal 31 Desember 1997, terdiri atas: zona inti,
zona pelindung bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal dan zona
pemanfaatan umum. Namun karena proses penetapannya dianggap belum melalui
tahapan proses konsultasi di berbagai tingkatan serta pembagian ruangnya belum
sesuai dengan fungsi peruntukan serta kebutuhan yang berkembang, maka
penetapan zonasi lama banyak menimbulkan konflik di lapangan.
Pemberlakuan Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah
daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004,
telah meningkatkan kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat untuk
melakukan pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah daerah
dan pemerintah pusat. Semangat penerapan undang-undang tersebut juga
menyangkut pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dirasakan kurang
memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat. Dalam perkembangannya,
pada tahun 2003 melalui Undang-undang No.29 tahun 2003, Kabupaten Wakatobi
dibentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton. Letak dan luas kabupaten
baru ini sama persis dengan letak dan luas TNW.

3.3 Kondisi Fisik


Bentuk topografi daerah Kabupaten Wakatobi umumnya datar dan terdapat
beberapa mikro atol seperti Karang Kapota, Karang Kaledupa, dan Karang Tomia.
Konfigurasi terumbu karang pada umumnya datar, kadang-kadang muncul di
permukaan dengan beberapa daerah yang bertubir-tubir karang yang tajam.
Perairan lautnya mempunyai konfigurasi perairan mulai dari datar hingga
melandai ke arah laut, dan beberapa daerah perairan bertubir curam. Kedalaman
airnya bervariasi, dengan bagian terdalam terletak di sebelah Barat dan Timur
Pulau Kaledupa yaitu sedalam 1.044 m.
Kepulauan Wakatobi terletak berdekatan dengan garis khatulistiwa. Hal ini
menjadikan Kabupaten Wakatobi beriklim tropis. Wakatobi juga mengenal
adanya musim angin barat dan musim angin timur. Musim angin barat
berlangsung dari bulan Desember-Maret yang ditandai dengan sering terjadinya
hujan. Sedangkan musim angin timur berlangsung pada bulan Juni-September
12

yang ditandai dengan kondisi laut yang teduh, gelombang tenang dan jarang
terjadi hujan. Peralihan musim ini biasa disebut dengan musim pancaroba, yaitu
pada bulan Oktober-November dan bulan April-Mei. Kondisi gelombang air laut
tidak menentu, sangat tergantung dengan cuaca. Suhu harian berkisar antara 19 –
34C. Data sepuluh tahun terakhir menyebutkan jumlah curah hujan di Kepulauan
Wakatobi tidak begitu tinggi. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan
September (2,5 mm) dan curah hujan tertinggi pada bulan Januari yang dapat
mencapai 229,5 mm (Balai TNW 2008).

3.4 Kondisi Biologi


Kepulauan Wakatobi masuk ke dalam kawasan segitiga karang dunia
(coral triangle centre) yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu
karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia,
yang meliputi Philipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon (Supriatna 2008).
Sementara itu kekayaan sumberdaya laut TNW dikelompokkan menjadi 8
sumberdaya penting, yaitu terumbu karang, mangrove, padang lamun, tempat
pemijahan ikan, tempat bertelur burung pantai, pantai peneluruan penyu, dan
cetacean (Balai TNW 2007).
Sampai saat ini di dalam ekosistem terumbu karang tercatat 396 jenis
karang keras, sebanyak 28 marga karang lunak dan 31 jenis karang jamur. Jenis
terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari terumbu karang cincin (atol reef),
terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan
karang gosong (patch reef). Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas
terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 88.161,69 ha. Adapun komponen
utama yang menyusun terumbu karang di Kepulauan Wakatobi yaitu karang hidup
(terdiri dari hard coral dan soft coral) dan karang mati (dead coral), serta
organisme lain yang bersimbiosis dengan karang (Balai TNW 2007).
Letak Kepulauan Wakatobi berada di kawasan segitiga karang dunia,
sehingga kawasan ini memiliki jenis ikan yang beragam. Berdasarkan indeks
keragaman ikan karang, ditemukan sekitar 942 spesies ikan karang di wilayah
perairan Wakatobi (Balai TNW 2008). Peringkat ini menempatkan Wakatobi pada
kategori keanekaragaman hayati sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan
13

di Komodo. Famili paling beragam spesiesnya adalah wrasse (Labridae), damsel


(Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon
(Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae),
squirrel (Holocentridae) dan angel (Pomacanthidae).
Hasil monitoring BTNW-WWF-TNC tahun 2006, tercatat 2 jenis penyu
yang dijumpai di Kepulauan Wakatobi, yaitu penyu sisik (Eretmochelys
imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) (Balai TNW 2008). Kemudian juga
tercatat 9 jenis lamun di Perairan Wakatobi diantaranya Enhalus acororides,
Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Cymodocea
rotundata, Syringodium isoetifolium, Thalassodenron ciliatum, Halodule
uninervis, Cymodocea serullata. Selain ekosistem karang dan biota laut lainnya
Kepulauan Wakatobi juga memiliki ekosistem non karang seperti mangrove.
Tercatat 22 jenis tumbuhan mangrove dari 13 famili mangrove sejati, antara lain
Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal,
Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza,
Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia officinalis (Balai TNW 2008).
Diantara berbagai keanekaragaman sumberdaya TNW, terdapat beberapa
jenis satwa langka dan dilindungi oleh pemerintah. Beberapa spesies yang
termasuk jenis langka dan terancam adalah penyu sisik (Eretmochelys imbricata),
penyu hijau (Chelonia mydas), ikan napoleon (Cheilinus undulatus), kepiting
kenari (Birgus latro), kima (Tridacna sp.), lola (Trochus niloticus) dan cumi-cumi
berbintik hitam. Sementara itu jenis burung laut yang terdapat di TNW seperti
angsa batu coklat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii),
dan raja udang erasia (Alcedo anthis). Adapun dari famili Cetacean tercatat
beberapa jenis yang tergolong terancam punah seperti paus sperma (Physeter
macrocephalus), paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhyncus), paus
pembunuh (Orcinus orca), paus pembunuh kerdil (Feresa attenuata), lumba-
lumba totol (Stenella attenuata), lumba-lumba gigi kasar (Steno bredenensis),
lumba-lumba abu-abu (Grampus griseus), lumba-lumba hidung botol (Tursiops
truncatus), dan paus kepala semangka (Peponocephala electra).
14

3.5 Sosial Budaya Masyarakat


Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Survey Penduduk Antar Sensus
(SUPAS) pada tahun 2010 berjumlah 103.432 jiwa. Secara keseluruhan disajikan
pada tabel 1.
Tabel 1 Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut kecamatan tahun 2010
No Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase
1 Wangi-wangi 25.974 25.11%
2 Wangi-wangi Selatan 27.257 26.35%
3 Biningko 9.339 9.03%
4 Togo Binongko 5.289 5.11%
5 Tomia 7.687 7.43%
6 Tomia Timur 9.385 9.07%
7 Kaledupa 11.119 10.75%
8 Kaledupa Selatan 7.378 7.13%
Jumlah 103.432 100%
Sumber : Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk

Masyarakat Wakatobi terdiri dari 9 masyarakat adat, yaitu masyarakat


Adat Wanci, masyarakat Adat Mandati, masyarakat Adat Liya dan masyarakat
Adat Kapota yang terdapat di Pulau Wangi-wangi dan Pulau Kapota. Selanjutnya
masyarakat Adat Kaledupa yang terdapat di P. Kaledupa, masyarakat Adat Waha,
masyarakat Adat Tongano dan masyarakat Adat Timu yang terdapat di P. Tomia,
serta masyarakat Adat Mbeda-beda di P. Binongko. Selain itu terdapat dua
masyarakat yang merupakan masyarakat pendatang yaitu masyarakat Bajo dan
masyarakat Cia-cia yang berasal dari etnis Buton. Setiap masyarakat adat tersebut
memiliki bahasa yang khas untuk adatnya masing-masing, tetapi walaupun bahasa
yang digunakan berbeda-beda mereka bisa saling memahami kalau terjadi
komunikasi (Balai TNW 2008).
Penduduk Wakatobi sebagian besar beragama Islam. Kepercayaan terhadap
hal-hal mistik masih dipercaya dan dilakukan dalam kehidupan masyarakat
Wakatobi. Masyarakat masih melakukan ritual doa-doa dan permintaan di lokasi
tertentu yang dianggap mistis. Pelaksanaan ritual masyarakat dilakukan dengan
membawa daun sirih, buah pala, dan koin lama sebagai suatu syarat. Kehidupan
damai dan saling menghargai antara sesama manusia merupakan penerapan dalam
kehidupan bermasyarakat di Wakatobi.
Penduduk Wakatobi memiliki bahasa daerah dalam berkomunikasi.
Masyarakat desa masih menggunakan bahasa daerah dengan fasih dan lancar
sedangkan masyarakat di kota menggunakan bahasa Indonesia dalam
15

berkomunikasi. Bahasa daerah yang digunakan masyarakat Wakatobi merupakan


rumpun bahasa suai yang pemakaiannya meliputi dialek Wanci, dialek Kaledupa,
dialek Tomia dan dialek Binongko. Keempat dialek di Wakatobi disebut wilayah
bahasa atau region. Region di Wakatobi memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal
penyebutan atau penamaan benda-benda tertentu.

3.6 Deskripsi Lokasi Penelitian


Pulau Kapota merupakan salah satu pulau di TNW, luas kawasannya
sekitar 1804,967 ha (Balai TNW 2009). Pulau Kapota terletak di bagian sebelah
selatan Pulau Wangi-Wangi dan dikelilingi oleh Laut Banda. Secara administratif
pemerintahan, Pulau Kapota masuk ke dalam Kabupaten Wakatobi, Propinsi
Sulawesi Tenggara. Sedangkan berdasarkan wilayah pengelolaan masuk ke dalam
unit pengelolaan Balai Taman Nasional Wakatobi atau Seksi Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah I.
Pulau Kapota yang terdiri dari 5 desa yaitu Desa Kapota, Desa Kapota
Utara, Desa Kabita, Desa Kabita Togo dan Desa Wisata Kollo, merupakan etnis
Wakatobi asli. Kebudayaan etnis asli masih kental sehingga belum mengalami
akulturasi. Penduduk di pulau ini masih hidup berdampingan dengan teratur,
rukun, dan saling menghargai. Agama yang mereka anut 100% agama Islam, akan
tetapi kepercayaan terhadap hal-hal mistik masih cukup kental di kalangan
masyarakat. Masyarakat masih melakukan ritual doa-doa dan permintaan di lokasi
tertentu yang dianggap mistis.
Mata pencarian masyarakat di Pulau Kapota lebih banyak sebagai nelayan
dan petani, beberapa menjadi pengrajin jelajah, pengrajin tenun, pertukangan, dan
PNS. Jumlah penduduk di Pulau Kapota pada tahun 2009 sebanyak 3.647 orang
(Tabel 2).
Tabel 2 Jumlah penduduk Pulau Kapota
No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase
1. Kapota 428 579 1.007 27,61%
2. Kabita 406 510 916 25,12%
3. Kapota Utara 369 480 849 23,28%
4. Kabita Togo 214 252 466 12,78%
5. Wisata Kollo 192 217 409 11,21%
Jumlaah 1.609 2.038 3.647 100%
Sumber : Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk
16

3.7 Aksesibilitas
Rute perjalanan menuju Kabupaten Wakatobi dapat dilakukan dari
berbagai daerah seperti Bali, Jakarta, dan Makassar. Berdasarkan hasil survey
lapang pada tahun 2010, jalur yang digunakan untuk menuju ke Taman Nasional
Wakatobi bisa melalui laut dan udara (Tabel 3).
Tabel 3 Informasi rute perjalanan menuju Taman Nasional Wakatobi
Jalur Rute Waktu Armada Harga tiket* Keterangan
Udara  Jakarta-Kendari- 3 jam Lion air Rp 1.200.000  Transit kendari
Baubau-Wakatobi Ekspress air s/d dan baubau
 Jakarta-Makasar- 3 jam Sriwijaya air Rp 1.500.000  Transit Makasar
wakatobi
 Jakarta-Kendari- 3 jam  Transit Kendari
wakatobi
Laut  Kendari-Wakatobi 11 Jam KM. Agil Pratama 01 Rp 125.000  Kapal berlayar
KM. Aksar Saputra 01 Rp 125.000 setiap hari
 Baubau-Wakatobi 9 Jam KM. Aksar Saputra 02 Rp 100.000 secara
KM. Ukiraya 01 Rp 100.000 bergantian
KM. Ukiraya 03 Rp 100.000
KM. Riko Saputra Rp 100.000
 Baubau-Wakatobi 6 Jam KM. Kalimutu (Pelni) Rp 75.000
Sumber: Doc. pribadi
Keterangan : *Patokan harga berdasarkan hasil survey lapang tahun 2010

Gambar 2 Peta jalur perjalanan ke Taman Nasional Wakatobi.

Pulau Kapota terletak ±3 km dari ibukota Kabupaten Wakatobi di Wangi-


Wangi. Jenis alat transportasi untuk mencapai Pulau Kapota dari ibukota
17

kecamatan yang dominan digunakan oleh masyarakat adalah perahu jonson


(Gambar 3) dengan frekuensi perjalanan 5-8 kali dalam sehari dan lama
perjalanan sekitar 30 menit. Sedangkan di dalam kawasan Pulau Kapota, biasanya
masyarakat menggunakan alat transportasi lokal berupa motor, sepeda, dan
gerobak yang terbuat dari kayu (sebagai alat untuk mengangkut barang-barang
bawaan dari pasar).

Gambar 3 Perahu jonson sebagai alat transportasi lokal.


18

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu


Penelitian dilaksanakan di Pulau Kapota (Gambar 4) yang merupakan
salah satu pulau di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan
penelitian dilakukan selama 2 bulan (21 Juni- 22 Agustus 2010).

WAKATOBI

Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

4.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian antara lain alat tulis,
binokuler, kamera digital (Power Shot SX 120 IS), tape recorder, GPS (Garmin
GPSmap 12 CX), Software Arcview 3.3, peta TNW, dan komputer/laptop.
Sedangkan bahan yang digunakan antara lain kuesioner, panduan wawancara,
literatur, dan buku panduan pengenalan jenis flora dan fauna.

4.3 Jenis Data yang Dikumpulkan


Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di
lapangan atau merupakan data pokok yang harus didapatkan oleh peneliti. Data
19

tersebut adalah potensi sumberdaya alam, sejarah dan seni budaya, posisi
koordinat objek, kondisi jalur interpertasi, sarana dan prasarana wisata,
pengunjung, dan pengelola. Sedangkan data sekunder merupakan data yang
diperoleh dari studi pustaka ataupun wawancara dengan pihak pengelola, petugas
di lapangan, dan pengunjung. Data sekunder ini bukan data pokok tetapi sebagai
pelengkap data primer. Data tersebut adalah kondisi umum TNW dan Pulau
Kapota, dan peta TNW. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

4.4 Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan segala bentuk data dan
informasi yang dapat menunjang penyusunan laporan penelitian. Pengumpulan
data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga metode yaitu studi literatur,
wawancara/penyebaran kuesioner, dan observasi lapang (Tabel 4). Kegiatan studi
literatur dilakukan apabila data dan informasi yang dibutuhkan tidak didapatkan
selama di lapangan. Studi literatur dilaksanakan pada awal kegiatan, pelaksanaan
dan penyusunan laporan penelitian.
Kegiatan wawancara dan penyebaran kuesioner merupakan kegiatan yang
langsung berinteraksi dengan responden. Kegiatan wawancara dilakukan secara
terstruktur dan tidak terstruktur sehingga lebih memudahkan peneliti dalam
memperoleh data dari responden. Responden yang akan diwawancarai adalah
pengelola wisata dan masyarakat, dengan penentuannya sebagai berikut:
1. Penentuan pengelola TNW sebagai responden
Penentuan pengelola TNW sebagai responden dilakukan dengan cara
purposive sampling yaitu pemilihan secara langsung pengelola yang ahli
dibidangnya dan pengelola tersebut dapat memberikan informasi yang berkaitan
dengan masalah dan tujuan penulisan. Pengelola tersebut adalah:
a) Pengelola yang ahli dalam bidang flora dan fauna,
b) Pengelola yang ahli dalam bidang mangrove, lamun, dan terumbu karang,
c) Pengelola yang ahli dalam bidang biota laut,
d) Pengelola yang ahli dalam bidang ekowisata,
20

2. Penentuan masyarakat sebagai responden


Penentuan masyarakat sebagai responden dilakukan secara purposive
sampling yaitu pemilihan secara langsung masyarakat yang mengetahui potensi
sumberdaya alam, sejarah dan budaya di kawasan Pulau Kapota, dan data lain
yang menunjang penelitian (Tabel 4). Responden tersebut adalah tokoh
masyarakat (kepala desa) dan tokoh adat Pulau Kapota sebanyak 2 orang.
Kemudian juga dilakukan wawancara kepada masyarakat yang pernah menjadi
panitia acara adat (event-event budaya yang pernah dilakukan) sebanyak 2 orang,
dan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata seperti pemandu wisata
sebanyak 4 orang.
Penyebaran kuesioner ditujukan kepada pengunjung untuk mendapatkan
gambaran mengenai karakteristik pengunjung, tujuan kedatangan, objek yang
disukai pengunjung, dan data lain yang menunjang penelitian (Tabel 4).
Penentuan pengunjung sebagai responden dilakukan secara sample non-random
secara kebetulan, sebanyak 30 orang. Teknik ini dilakukan terhadap pengunjung
yang tidak sengaja dijumpai selama di lapangan dan bersedia membantu peneliti
(Wardiyanta 2006). Selain itu pemilihan teknik ini juga karena kegiatan penelitian
berlangsung pada musim barat (musim hujan), dimana kondisi gelombang air
cukup besar (tinggi ombak mencapai 5-7 m) sehingga pengunjung yang datang ke
TNW tidak banyak dan sulit ditemukan.
Kegiatan observasi lapang dilakukan dengan mengunjungi langsung lokasi
penelitian. Data jalur yang didapat berdasarkan hasil studi literatur maupun
wawancara, kemudian dilakukan verifikasi di lapangan. Kegiatan observasi
lapang juga untuk merekam track jalur dan koordinat posisi flora, fauna dan
objek yang menarik di sepanjang jalur dengan menggunakan GPS. Data-data
tersebut kemudian diolah dalam bentuk peta dengan menggunakan Software
Acrview 3.3. Saat melakukan verifikasi dilakukan pencatatan kondisi jalur,
panjang dan lebar jalur, objek-objek wisata yang ditemui sepanjang jalur, jarak
antar objek dan waktu tempuhnya, alat transportasi yang digunakan dan
pencatatan sarana dan prasarana pendukung interpretasi yang sudah ada atau perlu
direncanakan. Dalam observasi lapang ini juga dilakukan dokumentasi terhadap
aspek-aspek kajian yang dapat menunjang penelitian.
21

Tabel 4 Rekapitulasi pengumpulan data


Cara
Jenis Data Sumber Data
Pengumpulan Data
1) Potensi Objek Wisata dan Posisinya Studi literatur, Literatur TNW,
a. Potensi sumberdaya alam wawancara dan Pengelola TNW,
- Terestrial (data flora¹ dan fauna², gua alam, mata air,
observasi lapang dan masyarakat
pemandangan alam, dll)
- Aquatik (pantai, pemandangan laut termasuk kehidupan
bawah laut seperti jenis terumbu karang, dan jenis ikan
karang, dll)
b. Potensi sejarah dan budaya Wawancara dan Pengelola TNW
- Sejarah (situs-situs sejarah, benda-benda peninggalan observasi lapang dan masyarakat
purbakala³)
- Budaya (letak dan kondisi pemukiman; kehidupan
penduduk asli Pulau Kapota; cerita budaya, sejarah atau
mitos-mitos yang hidup pada masyarakat)
2) Kondisi jalur interpretasi (topografi/ kemiringan jalur, Observasi lapang Literatur TNW
panjang dan lebar jalur, jarak antar objek interpretasi, waktu
tempuh yang diperlukan, alat transportasi yang digunakan)
3) Pengunjung Studi literatur dan Literatur TNW,
a. Karakteristik pengunjung kuesioner dan pengunjung
b. Tujuan utama berkunjung
c. Objek Interpretasi yang disukai pengunjung (posisi objek)
4) Sumberdaya Manusia (SDM) wisata Wawancara Pengelola TNW
a. SDM yang ada saat ini dan masyarakat
b. Kualitas SDM
c. Kendala yang dihadapi pengelola
d. Arah pengembangan kawasan Pulau Kapota oleh
pengelola
5) Keadaan Umum TNW Studi literatur dan Literatur TNW
a. Sejarah kawasan TNW observasi lapang
b. Kondisi fisik
c. Kondisi Biologis
d. Sosial Budaya Masyarakat
e. Gambaran Umum Pulau Kapota
f. Aksesibiltas ke TNW
6) Peta Studi literatur Literatur TNW
a. Peta dasar (peta TNW, peta topografi, peta jalan)
b. Peta tematik (batas administrasi kawasan laut, dan peta
sebaran flora, fauna dan terumbu karang)
7) Sarana dan prasarana pendukung jalur interpretasi (jenis Wawancara dan Pengelola TNW
fasilitas yang ada, jumlah yang ada disepanjang jalur, observasi lapang
posisi, kegunaan, kondisi saat ini)
8) Bentuk pelayanan/pemanduan wisata yang telah ada Studi literatur Literatur TNW
9) Jumlah pengunjung 5 tahun terakhir Studi literatur Literatur TNW
Keterangan:
1. Flora: Jenis dan famili, ciri morfologi, habitat dan penyebaran, status kelangkaan,
keindahan dan keistimewaan,waktu berbunga,kegunaan, lokasi dalam jalur
2. Fauna: Jenis dan famili, ciri morfologi, habitat dan penyebaran, status kelangkaan,
keistimewaan, perilaku, tempat dan waktu terlihat.
3. Peninggalan sejarah: makam, bangunan (benteng, mesjid,dll), peralatan yang dulu
digunakan oleh masyarakat (pedang, alat tangkap, dll)
22

4.5 Pengolahan dan Analisis Data


Kegiatan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data,
editing data, dan penyajian data. Data yang telah diperoleh selama penelitian
kemudian dikumpulkan dan dilakukan editing data, yaitu mengoreksi data-data
yang telah dikumpulkan tersebut. Dari hasil editing, apabila terdapat data yang
kurang maka dilakukan perbaikan atau pengumpulan ulang, dan data yang
dianggap tidak perlu dipisahkan. Kegiatan ini dilakukan pada saat pelaksanaan
penelitian dan penyusunan laporan. Setelah data dikumpulkan dan di edit,
kemudian data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik-grafik, dan peta.
Selanjutnya data-data tersebut dianalisis secara deskriptif dan digunakan dalam
penyusunan perencanaan jalur interpretasi. Pertimbangan dalam pemilihan jalur
sebagai jalur interpretasi adalah :
a) Dilihat dari kondisi fisik jalur, apakah aman dilewati pengunjung atau tidak
b) Pada jalur yang dipilih terdapat objek-objek menarik untuk diinterpretasikan
dan objek-objek tersebut paling banyak disukai oleh pengunjung
c) Pada jalur terdapat informasi dari pengelola yang diharapkan dapat
disampaikan kepada pengunjung
d) Memiliki rentang jarak tempuh yang tidak terlalu panjang dan diperkirakan
dapat diakses oleh pengunjung sehingga penyampaian informasi dapat tepat
sasaran.
23

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata di Pulau Kapota


Objek wisata atau dengan istilah tourist attraction yaitu segala sesuatu
yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu
(Sufika 2004). Pulau Kapota merupakan salah satu pulau di Wakatobi yang
memiliki sumberdaya kawasan dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek
dan daya tarik wisata. Potensi tersebut berupa keanekaragaman hayati, keunikan
dan keaslian budaya, keindahan bentang alam, gejala alam dan peninggalan
sejarah/budaya.
Hasil penelitian, di Pulau Kapota terdapat beberapa potensi objek dan daya
tarik wisata. Objek-objek tersebut kemudian diidentifikasi dan dikelompokkan
berdasarkan potensi biologis, potensi fisik, potensi sejarah dan situs-situs keramat,
serta potensi seni dan budaya. Keseluruhan potensi objek dan daya tarik wisata ini
merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus dapat menjadi suatu media pendidikan
dalam pelestarian lingkungan.
5.1.1 Potensi Biologis
Potensi biologis yang dapat dijadikan sebagai objek dan daya tarik wisata
bagi pengunjung adalah potensi flora, fauna dan beberapa ekosistem laut yang
khas seperti ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang. Potensi-potensi ini
memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang ingin mengetahui lebih jauh
mengenai sumberdaya alam yang terdapat di kawasan konservasi. Data-data yang
akurat mengenai jenis-jenis flora dan fauna yang ada di Pulau Kapota belum ada,
sehingga data yang disajikan merupakan hasil temuan selama pengamatan di
lapangan.
a. Potensi Flora
Flora merupakan salah satu potensi objek yang dapat ditawarkan kepada
pengunjung di Pulau Kapota. Di setiap rute jalur yang dilalui oleh pengunjung
terdapat jenis-jenis flora yang menarik. Pemilihan jenis ini berdasarkan hasil
pengamatan peneliti yang dilihat dari keunikan, keindahan, keistimewaan,
kelangkaan, dan manfaat/kegunaan yang dimiliki oleh tumbuhan tersebut dan
hanya tumbuhan yang berada pada jalur pengamatan. Selain itu pemilihan jenis
24

juga didasarkan pada hasil wawancara dengan pengelola mengenai jenis flora
yang biasanya disukai atau ditanyakan oleh pengunjung. Menurut pengelola,
umumnya pengunjung lebih menyukai/tertarik dengan jenis-jenis tumbuhan yang
tidak dijumpai di tempat asalnya, diantaranya jenis flora endemik dan jenis flora
yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan.
Jenis-jenis flora yang dijumpai selama observasi lapang pada jalur
pengamatan yaitu sebanyak 16 jenis (Lampiran 1). Jenis ini merupakan tumbuhan
di daratan yang dapat dilihat dan dijangkau oleh pengunjung. Dari keseluruhan
flora yang teridentifikasi, belum dijumpai flora yang endemik. Jenis yang
dijumpai merupakan jenis-jenis flora yang umum terdapat di Indonesia dan jenis
flora yang dapat dijadikan sebagai objek interpretasi yaitu sebanyak 10 jenis.
Jenis-jenis tersebut adalah:
1) Bambu (Bamboo sp.)
Bambu (Bamboo sp.) merupakan tumbuhan yang hidup secara liar maupun
di tanam, dengan ciri morfologi berbentuk bulat memanjang, terdapat ruas-ruas
(panjang tiap ruas sekitar 40-50 cm), memiliki ranting-ranting kecil di tiap ruas
dan memiliki daun yang memanjang, serta memiliki rongga. Tumbuhan ini juga
merupakan tumbuhan yang hidup secara berumpun, yang satu rumpunnya dapat
mencapai 40-100 batang. Bambu atau biasa di kenal dengan nama vemba dalam
bahasa Kapota, memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat Kapota. Berdasarkan
hasil wawancara dengan tokoh adat, bambu merupakan tanaman yang hidup
secara liar di alam terutama banyak tumbuh di hutan adat (Sara).
Bambu yang sebagian besar hidup pada hutan adat yang dikelola oleh Sara
sehingga pemanfaatannya diatur oleh aturan adat yang menyebabkan kelestarian
tumbuhan ini sangat terjaga. Pemanfaatan dengan bebas hanya dilakukan oleh
masyarakat pada bambu yang hidup di luar hutan adat. Untuk memanfaatkan
bambu yang ada di hutan adat terlebih dahulu harus meminta izin kepada Sara.
Dalam hal ini ternyata Sara menetapkan aturan tersebut dengan alasan agar
kelestarian bambu dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan
datang, baik untuk membuat rumah maupun sumber bahan makanan. Berdasarkan
hasil pengamatan terdapat tiga hutan bambu di tiga jalur yang berbeda (jalur akan
dibahas pada bab berikutnya), namun yang terbanyak terdapat di hutan adat.
25

Berdasarkan wawancara dengan tokoh adat setempat, luas hutan bambu di hutan
adat diperkirakan mencapai 2-3 ha.
Masyarakat Kapota memanfaatkan tanaman ini untuk membuat anyaman
atau biasa dikenal dalam bahasa kapota jalaja, yang nantinya dapat digunakan
untuk dinding rumah. Bambu juga merupakan sumber makanan bagi masyarakat
Kapota, yaitu bagian mudanya (tunas bambu) yang jika diolah dapat dijadikan
sayur atau biasa dikenal dengan sayur rebung. Selain itu juga digunakan sebagai
wadah untuk membuat luluta (nasi bambu). Potensi lain yang tidak kalah
pentingnya adalah bambu merupakan bahan baku untuk membuat alat tangkap
ikan tradisional yang lebih dikenal dengan nama bubu. Bubu merupakan alat
tangkap yang di buat dari anyaman bambu untuk menangkap ikan-ikan di dasar
laut. Menurut masyarakat bubu yang terbuat dari bambu dapat bertahan hingga 2
tahun.
2) Beringin (Ficus benyamina)
Beringin atau dikenal dengan gendi dalam bahasa Kapota merupakan
tumbuhan yang memiliki ukuran pohon yang besar dengan diameter batang bisa
mencapai lebih dari 2 m dan tingginya bisa mencapai 25 m. Nilai yang terkandung
dalam tumbuhan ini adalah masyarakat selalu beranggapan bahwa pohon beringin
mengandung hal-hal yang mistik. Bentuk pohonnya besar, batang tegak berwarna
coklat kehitaman dan memiliki akar menggantung dari batang yang dianggap
sebagai tempat tinggal makhluk gaib. Bentuk pemahaman seperti ini
menyebabkan jenis tumbuhan ini sangat ditakuti oleh masyarakat, sehingga
kelestariannya di Pulau Kapota sangat terjaga. Bentuknya yang besar dan sangat
rimbun serta buahnya yang lebat merupakan potensi lain yang dimiliki pohon
beringin karena dimanfaatkan sebagai habitat dan sumber pakan berbagai jenis
burung. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan beberapa jenis burung di pohon
beringin, baik sore maupun pagi hari. Pandangan masyarakat yang menganggap
pohon beringin sebagai sesuatu yang sakral, menjadikan pohon ini tetap lestari.
Dilihat dari aspek konservasi, anggapan masyarakat ini selain dapat menjaga
kelestarian pohon tersebut juga dapat mendukung kelestarian habitat dan sumber
pakan berbagai jenis burung di Pulau Kapota.
26

3) Anggrek (Famili Orchidaceae)


Anggrek merupakan tumbuhan hidup epifit pada pohon dan ranting-
ranting tanaman lain. Habitat tanaman anggrek dibedakan menjadi 4 kelompok,
yang pertama adalah anggrek epifit, yaitu anggrek yang tumbuh menumpang pada
pohon lain tanpa merugikan tanaman inangnya dan membutuhkan naungan dari
cahaya matahari. Kedua adalah anggrek terestrial, yaitu anggrek yang tumbuh di
tanah dan membutuhkan cahaya matahari langsung. Ketiga adalah anggrek litofit,
yaitu anggrek yang tumbuh pada batu-batuan dan tahan terhadap cahaya matahari
penuh. Keempat adalah anggrek saprofit, yaitu anggrek yang tumbuh pada media
yang mengandung humus atau daun-daun kering, serta membutuhkan sedikit
cahaya matahari.
Hasil wawancara dengan masyarakat, diketahui bahwa terdapat beberapa
tumbuhan anggrek di Pulau Kapota, namun sampai saat ini belum ada data yang
pasti mengenai jenis-jenis anggrek tersebut. Hal ini dibuktikan dengan hasil
observasi lapang yang menemukan dua jenis anggrek berbeda berdasarkan media
tumbuhnya. Ditemukan anggrek yang hidup menumpang pada pohon lain dan
anggrek yang hidup pada subtrat batuan. Namun keterbatasan peneliti jenis-jenis
tersebut belum bisa diidentifikasi lebih lanjut.
4) Jambu Mete (Anacardium ocidentale)
Jambu Mete (Anacardium ocidentale) merupakan salah satu tanaman
industri yang potensial dengan produk utama berupa biji (kacang) mete. Tanaman
ini memiliki buah yang keras, melengkung dan panjangnya ± 3 cm, berwarna
hijau kecoklatan, bijinya bulat panjang, melengkung, pipih dan berwarna putih.
Jambu mete merupakan tanaman jangka panjang yang sangat berlimpah di Pulau
Kapota. Sebagian besar perkebunan masyarakat di dominasi dengan tanaman ini.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat, Pulau Kapota dapat menghasilkan
jambu mete hingga 10 ton. Jambu mete juga merupakan oleh-oleh khas dari
Sulawesi Tenggara. Jambu mete memiliki khasiat untuk obat, masyarakat Kapota
biasanya menggunakan daun tanaman ini sebagai obat anti radang. Untuk
mengobati anti radang, biasanya masyarakat merebus segenggam daun muda
jambu mete dalam 1 liter air selama 15 menit (sampai mendidih), setelah dingin di
27

saring dan siap untuk diminum. Selain itu kulit batangnya dipercaya juga dapat
menyembuhkan sariawan.
5) Mengkudu (Morinda citrifolia)
Mengkudu termasuk kategori tumbuhan pantai, merupakan pohon kecil
yang tingginya mencapai 10 m, batang berkayu, berwarna keabu-abuan atau
coklat kekuningan. Mengkudu umum dijumpai di ketinggian sampai 1500 mdpl di
daerah beriklim musim dan lembab, dengan curah hujan tahunan berkisar antara
1500-3000 mm atau lebih. Di Pulau Kapota tanaman ini banyak dijumpai di
perkebunan-perkebunan masyarakat. Tanaman ini digunakan sebagai obat sejak
jaman kuno. Hal yang sama pada masyarakat Kapota yang telah menggunakan
tumbuhan ini sebagai obat. Masyarakat biasa menggunakan daunnya untuk
mengobati diare dan mual-mual.
6) Kelor (Moringa oleifera)
Kelor biasa dikenal dengan nama kaud’afa dalam bahasa Kapota
merupakan tanaman sayuran yaitu tumbuh dalam bentuk pohon, berumur panjang
dengan tinggi 7-12 m. Bagian yang digunakan sebagai sayur adalah daun, dan
sangat disukai oleh masyarakat di Wakatobi. Tumbuhan ini menjadi menarik
untuk dipromosikan kepada pengunjung karena berdasarkan hasil analisa yang
telah dilakukan oleh perguruan tinggi mengenai kandungan nutrisinya, diketahui
bahwa daun kelor memiliki potensi yang sangat baik untuk melengkapi kebutuhan
nutrisi dalam tubuh. Hasil analisa tersebut, terbukti bahwa dengan mengonsumsi
daun kelor maka keseimbangan nutrisi dalam tubuh akan terpenuhi sehingga
orang yang mengonsumsi daun kelor akan terbantu dalam meningkatkan energi
dan ketahanan tubuhnya.
7) Singkong (Manihot utilisima)
Singkong atau dalam bahasa Kapota sering disebut kaujava merupakan
jenis tumbuhan tahunan tropika dan subtropika dari famili Euphorbiaceae.
Umbinya di kenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan
daunnya sebagai sayuran. Merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan
fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis
singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan.
Umbi singkong tidak tahan jika disimpan meskipun ditempatkan di lemari
28

pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat
terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.
Keunikan/kekhasan tanaman singkong di Pulau Kapota adalah
kegunaannya sebagai bahan makanan pokok yang diolah dengan menghaluskan
singkong dan dimasak dalam bentuk kerucut (makanan kasuami). Kegunaan umbi
singkong adalah sebagai sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat
miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong
karena mengandung asam amino metionin. Tersebar dibanyak tempat di Pulau
Kapota karena tanaman pertanian masyarakat sebagian besar adalah singkong.
8) Akar Tuba (Derris elliptica)
Akar tuba merupakan tumbuhan dari jenis Fabaceae, tumbuhan berkayu
memanjat (liana) 7-15 pasang daun pada tiap rantingnya. Daun muda berambut
kaku pada kedua permukaannya. Di bagian bawah daun diliputi oleh bulu lembut
berwarna perang. Batangnya merambat dengan ketinggian hingga 10 meter.
Ranting-ranting Tuba tua berwarna kecoklatan. Mahkota bunga tumbuhan Tuba
berwarna merah muda serta sedikit berbulu. Tumbuhan beracun ini juga
mempunyai buah berbentuk lonjong (oval), dengan sayap yang tipis di sepanjang
kedua sisi. Kekacangnya tipis dan rata berukuran 9 cm, lebar 0,6-2,5 cm. dan
terdapat 1-4 biji dalam satu kekacang. Keunikan/kekhasannya adalah dari
kegunaan tanaman ini, dimana dahulu sebelum adanya taman nasional masyarakat
sering menggunakan akar tuba sebagai racun ikan. Posisi pada tapak dapat
ditemukan di jalur menuju Goa Kelelawar.
9) Cocor Bebek (Kalanchoe waldheimii)
Tumbuhan cocor bebek merupakan jenis dari famili Crassulaceae. Ciri
morfologi memiliki daun berwarna hijau yang tebal dan padat terisi cairan. Bagian
atas permukaan daun licin. Biasanya untuk perbanyakan dengan tunas-tunas kecil
yang terdapat di bagian tepi daun sehingga perkembangbiakannya cepat.
Batangnya lunak dan warna bunganya merah dengan ukuran kecil serta pada
tangkai bunga memiliki cabang-cabang halus. Keunikan/kekhasannya adalah
bentuk bunga dan daun yang bergerigi yang nantinya berguna sebagai
perkembangbiakannya. Selain itu kekhasannya juga dapat dilihat dari
kegunaannya sebagai tanaman obat. Tidak hanya di Pulau Kapota, di daerah lain
29

di Indonesia masyarakat juga menggunakan tanaman ini sebagai tanaman obat


demam. Penyebarannya pada tapak yaitu jalur menuju Goa Kelelawar dengan
jumlah yang melimpah.
10) Kelapa cabang empat (Kaluku Panga)
Kelapa bercabang empat merupakan fenomena unik yang jarang sekali
terjadi karena secara morfologi sebuah batang kelapa tidak memiliki cabang sama
sekali tetapi di Pulau Kapota fenomena ini terjadi pada sebuah kelapa milik
seorang petani kelapa yang bernama Laranggo. Pada awalnya kelapa yang
ditanamnya ini pernah layu dan hampir mati begitu juga dengan tanaman petani
lainnya karena pada waktu itu sedang terjadi musim kemarau yang panjang.
Kemudian di saat turun hujan lama kelamaan kelapa ini mulai memiliki cabang,
menurut cerita kelapa ini dahulunya memiliki 7 cabang sesuai dengan jumlah
anak Laranggo pada waktu itu. Kejadian aneh yang masih dipercayai masyarakat
hingga kini adalah jika salah satu anak Laranggo meninggal maka cabang di
pohon kelapa tersebut juga akan patah, terbukti dengan tidak ada lagi 3 cabang
lainnya karena 3 orang anak Laranggo sudah meninggal.

a. b.
Gambar 5 Kelapa Cabang Empat: a. tampak samping, b. tampak bawah

b. Potensi Fauna
Fauna yang dapat dijumpai di Pulau Kapota yaitu burung, mamalia, reptil,
dan kupu-kupu. Jenis-jenis tersebut merupakan fauna yang berhasil dijumpai
selama observasi lapang berlangsung. Hasil observasi, fauna yang paling banyak
dijumpai adalah burung yaitu sebanyak 23 jenis (Tabel 5).
30

Tabel 5 Jenis burung yang dapat dijumpai di Pulau Kapota


No. Nama lokal Nama Indonesia Nama Ilmiah Keterangan
1. - Pecuk padi hitam Phalacrocorax sulcirostris TL
2. - Cangak merah Ardea Purpurea TL
3. - Cangak laut Ardea sumatrana TL
4. - Kokokan laut Butorides striatus TL
5. - Trinil pantai Actitis hypoleucos TL
6. Gajahan penggala Nunenius phaeopus DL,A, B
7. Gajahan timur Numenius madagascariensis DL,A, B
8. Bokuru Tekukur biasa Streptopelia chinensis TL
9. Iku melangka Uncal Ambon Macropygia amboinensis TL
10. Lembuko Delimukan timur Chalcophaps stephani TL
11. Kenari Pergam hijau Ducula radiata TL,E
12. Hune kepala putih Walik molomiti Ptilinopus subgularis DL,E,NT
13. Karenga Betet kelapa Tanygnathus sumatranus DL,Apendiks
punggung biru II,A, B
14. Ukira’ Cekakak sungai Halcyon chloris DL,A, B
15. - Tiong lampu biasa Eurystomus orientalis TL,
16. - Walet sapi Collocalia esculenta TL
17. - Kekep babi Artamus leucorynchus TL,E
18. Ekor ikan Srigunting-jambul Dicrurus hottentottus TL,E
rambut
19. Kalirihu Kepudang kuduk Oriolus chinensis TL
hitam
20. Kongka Gagak hutan Corvus enca TL
21. Cui Madu hitam sriganti Cinnyris jugularis plateni DL,A, B
22. Sui Cabai gunung Dicaeum sanguinolentum TL
23. - Elang laut perut Haliaeetus leucogaster DL,Apendiks
putih II,A, B
Keterangan: Tanda (-), jenis yang dijumpai tidak diketahui nama lokalnya, TL: Tidak dilindungi,
DL: dilindungi, E: Endemik, A:UU No.5/1990 B: PP No.7/1999, Apendiks II
(CITES), NT: Near threatened (mendekati terancam punah)

Fauna lain yang dijumpai selama di lapangan adalah 2 jenis mamalia, yaitu
kalong (Pteropus sp.) dan kelelawar (fauna goa). Dijumpai kupu-kupu dari famili
Nimpalidae dan Papilionidae, dan terdapat 3 jenis reptil yaitu 2 jenis ular yang
tidak teridentifikasi dan 1 jenis biawak (Varanus sp.). Fauna utama yang dapat
dijadikan sebagai objek interpretasi adalah seluruh jenis burung yang terlihat di
jalur yang akan dijadikan sebagai jalur interpretasi (Lampiran 2). Pemilihan satwa
burung sebagai objek interpretasi adalah karena jenis-jenis ini memiliki keunikan
tersendiri terutama bagi pengunjung yang sangat menyukai pengamatan burung
(Birdwatching) dan 5 diantaranya adalah burung endemik Sulawesi yang hanya
dapat dijumpai di Kepulauan Sulawesi.
31

c. Potensi Ekosistem yang Khas


Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu kawasan pelestarian alam
yang memiliki beberapa ekosistem laut yang khas seperti ekosistem mangrove,
lamun, dan terumbu karang. Ekosistem tersebut terjaga dengan baik karena ketiga
ekosistem tersebut merupakan target pengelolaan taman nasional.
c.1 Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah pesisir dan lautan yang mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia nutrient bagi biota perairan, penahan abrasi, penahan intrusi air laut dan
tsunami (Dahuri 2003). Ekosistem mangrove di Pulau Kapota dapat ditemui di
beberapa lokasi yaitu di sekitar Danau Tailaro Nto‟oge, sekitar gugusan batu
karang Umala, Saru‟sarua dan di sekitar Pantai Aowolio.
Ekosistem mangrove di sekitar Danau Tailaro Nto‟oge tumbuh
mengelilingi danau. Pada ekosistem ini terdapat jenis Bruguiera gymnorrhiza dan
Xylocarpus granatum. Substrat tempat tumbuhnya yaitu perpaduan antara lumpur
dan batuan-batuan yang menyerupai karang. Mangrove di sini diperkirakan telah
tumbuh sangat lama, hal ini diindikasikan dengan bentuk pohon yang tinggi
sekitar 5-8 m dengan diameter batang yang cukup besar (satu pelukan orang
dewasa).
Ekosistem mangrove di sekitar gugusan batu karang Umala tumbuh lebih
subur dan bentuk pohonnya lebih rindang menyerupai pohon beringin. Hal lain
yang menarik, mangrove di lokasi ini sebagian besar tumbuh pada substrat pasir
yang dipengaruhi pasang surut air laut. Ketika air pasang hampir seluruh
ekosistem mangrove di sini terendam air dengan tinggi mencapai pinggang orang
dewasa. Keindahan lain dari lokasi ini adalah substrat pasir putihnya, menjadikan
air laut terlihat sangat bening. Selain mangrove yang hidup pada subtrat pasir, di
lokasi ini juga terdapat mangrove yang hidup di atas bebatuan karang. Tumbuhan
mangrove pada karang-karang tersebut sepintas menyerupai pulau-pulau kecil
yang terletak di tengah lautan, hal ini dikarenakan karang-karang tersebut akan
dikelilingi air laut ketika air pasang.
Ekosistem mangrove lainnya berada di sepanjang jalan menuju Saru‟sarua
(salah satu tempat keramat di Pulau Kapota). Mangrove pada jalur ini tumbuh
32

secara tidak beraturan, ada yang tumbuh di dasar lantai tanah dan ada yang
tumbuh di antara karang-karang, Namun kelestarian mangrove di lokasi ini sangat
terjaga, karena seluruh tumbuhan ini berada di dalam kawasan hutan adat yang
pemanfaatannya diatur oleh adat. Selain itu mangrove di lokasi ini setiap saat
terendam oleh air laut dan memiliki banyak ikan yang dimanfaatkan sebagai
sumber makanan masyarakat Kapota. Lokasi lainnya yaitu di ujung Pantai
Aowolio, tumbuhan mangrove tersebut tumbuh di antara karang-karang.
Ekosistem mangrove ini menjadi habitat burung-burung pantai karena di lokasi ini
dapat dijumpai beberapa jenis burung pantai, diantaranya trinil pantai (Actitis
hypoleucos), dan kokokan laut (Butorides striatus).
Hasil survey lapang, dijumpai 11 jenis tumbuhan mangrove (Lampiran 3).
Tumbuhan mangrove bagi masyarakat Kapota merupakan sumberdaya yang
potensial. Batangnya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, konstruksi rumah
dan peralatan rumah tangga. Salah satu pemanfaatan yang menarik oleh
Masyarakat Kapota adalah pemanfaatan buah mangrove yang dimanfaatkan
sebagai bahan untuk membuat makanan khas adat Pulau Kapota yaitu epu-epu.
Jenis mangrove tersebut adalah Xylocarpus granatum dari famili Meliaceae
(Gambar 6). Sedangkan jenis biota mangrove yang umumnya dapat dijumpai
adalah bivalvia (kerang-kerangan), gastropoda (keong) dan krustasea (udang dan
kepiting) dengan kelimpahan rendah (Balai TNW 2010).

a b
Gambar 6 Potensi tumbuhan Mangrove: a. Buah Mangrove, b. Makanan yang
dibuat dari buah mangrove.
33

c.2 Ekosistem Padang Lamun


Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi yang memiliki akar batang dan
daun seperti tumbuhan yang hidup di darat. Lamun juga memiliki saluran untuk
nutrien dan lubang-lubang pada daun yang digunakan untuk pertukaran gas. Akar
lamun dapat menyerap nutrien dan beberapa jenis mempunyai bintil-bintil yang
dapat memfiksasi nitrogen (Dahuri et al 1996). Selain itu, daun lamun dapat
menyerap zat hara secara langsung dari perairan, memiliki rongga untuk
mengapung, batang dapat tegak dalam air, tetapi tidak memiliki banyak serat
seperti tumbuhan yang hidup di darat (Dahuri 2003).
Ekosistem Padang Lamun di Pulau Kapota umumnya tersebar pada daerah
intertidal setelah terumbu karang. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah
dilakukan oleh taman nasional, jenis lamun yang dapat dijumpai di Pulau Kapota
sebanyak 7 jenis yaitu lamun serabut (Halodule pinifolia), lamun tropoik (Enhalus
acoroides), lamun senduk (Halophila ovalis), lamun senduk tak berurat
(Halophila decipiens), lamun alat suntik (Syringodium isotifolium) dan lamun
dugong (Thalassia hemprichii). Untuk daerah yang lebih dekat dengan karang
lebih banyak dijumpai jenis Enhalus acroides sebab jenis ini menyukai daerah
yang mempunyai pecahan karang (Balai TNW 2010).
Sepanjang perairan dangkal Pulau Kapota hampir seluruhnya ditumbuhi
lamun, tidak terlewatkan pantai-pantai tujuan kunjungan wisata, seperti Pantai
Umala dan Pantai Aowolio. Hamparan lamun di Pantai Umala sangat luas, namun
sebagian besar kawasan ini dipenuhi oleh ikatan/tali-tali rumput laut milik para
petani budidaya rumput laut. Berbeda dengan Pantai Aowolio hamparan lamun
terbentang luas tanpa gangguan dari kegiatan budidaya rumput laut. Ketika air
laut surut, hamparan lamun akan terlihat seperti rumput yang tumbuh pada
hamparan daratan yang terbuka.
Padang lamun merupakan habitat dari berbagai biota laut yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat diantaranya jenis bivalvia (kerang-kerangan).
Ketika melakukan snorkling di sekitar padang lamun tersebut, biasanya akan
menemukan biota lamun seperti bintang laut (Protoreaster nodosus), bintang
mengular (Ophiothrichoides nereidina), bulu babi (Diadema setosum), ikan
karang, kerang-kerangan (bivalvia), dan kerang raksasa (Tridacna Sp)
34

c.3 Ekosistem Terumbu Karang


Kepulauan Wakatobi atau kawasan TNW merupakan kawasan yang
memiliki keanekaragaman terumbu karang yang sangat tinggi. Hal ini
dikarenakan Wakatobi berada di pusat segitiga karang dunia, bahkan gugusan
karang kepulauan ini berada pada Jantung Segi Tiga Karang Dunia, sehingga
sering kali disebut sebagai “Surga Nyata Bawah Laut” oleh pemerintah daerah
setempat. Berdasarkan hasil Citra Satelit Landsat pada tahun 2003, diketahui
bahwa luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi sekitar 54.500 ha.
Jenis-jenis terumbu karang di TNW yang telah tercatat yaitu sebanyak 396
jenis karang keras, 28 marga karang lunak dan 31 jenis karang jamur (Balai TNW
2008). Sedangkan hasil identifikasi jenis terumbu karang di Perairan Kapota yang
dilakukan oleh Balai TNW pada tahun 2009, terdapat 25 jenis terumbu karang
(Lampiran 5). Dari jumlah tersebut, sebanyak 23 jenis termasuk karang keras
(Acropora) dan 2 jenis termasuk karang lunak (Non Acropora) (Gambar 7).

Sumber: Balai TNW 2009 Sumber: Balai TNW 2009


a b
Gambar 7 Ekosistem Karang: a. Karang keras (Acropora), b. Karang lunak (Non
Acropora).

Biota laut yang dapat dijumpai di perairan tersebut diantaranya adalah


jenis-jenis biota yang dilindungi, seperti napoleon (Cheilinus undulatus) dan hiu
white tip (Triaenodon obesus) (Hastomo 2009). Jenis biota laut lainnya yang
dapat dijumpai (hasil wawancara dengan pengelola 2010) adalah jenis dari famili
lutjanidae, serranidae, dan carangidae.
35

5.1.2 Potensi fisik


Potensi fisik dalam pengelompokan objek dan daya tarik wisata yaitu
berupa objek-objek yang memiliki kondisi fisik yang menarik seperti goa, mata
air, pantai, danau air payau, dan pantai.
a. Goa Kelelawar
Goa dalam pengertian sederhana adalah suatu lorong bentukkan alamiah di
bawah tanah yang bisa dilalui oleh manusia, terbentuk dari batuan gamping atau
batuan vulkanik (Samodra 2001). Samodra (2001) juga menyatakan bahwa goa
adalah situs bagi keindahan, misteri, hiburan dan petualangan sehingga
merupakan tempat yang cocok untuk berekreasi dan berwisata. Goa yang ada di
Pulau Kapota, berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek dan daya tarik
wisata. Hal ini karena goa tersebut memiliki nilai estetika dan keindahan ornamen
goa (stalaktit, stalagmid, gourdam dan sebagainya) yang dapat memberikan unsur
petualangan kepada pengunjung.
Hasil wawancara dengan beberapa masyarakat dapat diketahui bahwa di
Pulau Kapota terdapat dua buah goa, namun goa yang telah dimasuki atau
diketahui oleh masyarakat secara umum hanya satu goa yaitu Goa Kelelawar. Goa
tersebut diberi nama Goa Kelelawar karena didalamnya terdapat banyak kelelawar
yang bersarang di langit-langit goa. Goa Kelelawar berada di sebuah area yang
biasa dikenal dengan nama Bewata sehingga disebut juga Goa Bewata. Dilihat
dari kondisi fisiknya Goa Kelelawar termasuk goa yang masih aktif, hal ini
ditandai dengan adanya tetesan-tetesan air dari ornamen-ornamen goa yang
menandakan proses pembentukan goa masih berlangsung. Menurut Sumarlin
(2007) pembentukan goa berlangsung dalam waktu yang sangat panjang,
mencapai ribuan hingga jutaan tahun. Menurutnya goa yang memiliki sungai
bawah tanah disebut goa aktif sedangkan yang tidak memiliki sungai bawah tanah
dinamakan goa fosil, yang artinya proses pembentukannya tidak berlangsung lagi.
Goa Kelelawar memiliki pintu masuk horizontal dengan tinggi pintu
sekitar 12 m dan lebar 7 m (Gambar 8) dan pintu keluar vertikal sekitar 10 m
sehingga untuk melakukan atraksi keluar melalui mulut goa tersebut harus
menggunakan peralatan seperti tali webbing, kayu atau tangga buatan. Namun
pengukuran (pemetaan goa) mencapai pintu keluar tidak dilakukan karena adanya
36

keterbatasan peneliti. Pemetaan yang dilakukan hanya sampai di ruangan yang


terdapat kolam air, hasil pemetaan goa tersebut dapat dilihat pada lampiran 6.

Gambar 8 Pintu masuk horizontal Goa Kelelawar.


Goa Kelelawar memiliki empat buah ruangan dengan ukuran yang cukup
besar dan dihubungkan oleh lorong-lorong. Uniknya, dalam jarak satu meter saja
dari pintu masuk dapat dijumpai ornamen goa berupa tiang (bebatuan goa yang
berdiri tegak) dan fauna goa seperti Amblypygi (Sogophrynus Sp) (Gambar 9a).
Ruangan pertama berada sekitar 3 m dari mulut goa dan dipenuhi oleh berbagai
ornament goa, salah satunya adalah tiang yang berdiri tegak sampai pada atap goa
dengan tinggi sekitar 5 m (Gambar 9b). Setelah ruangan pertama terdapat lorong
yang menghubungkan ruangan pertama dengan ruangan kedua. Panjang lorong
sekitar 5 m dan dapat dilewati dengan mudah.

a b
Gambar 9 Fauna dan Ornamen Goa di ruangan pertama, b. Amblypygi
(Sogophrynus sp.), b. Ornamen yang berbentuk tiang.
37

Ruangan kedua merupakan ruangan yang cukup besar dengan lebar


ruangan ±14 m dan panjang ruangan sekitar ±16 m, serta tingginya ±6 m. Pada
ruangan kedua terdapat ornamen menarik menyerupai teras batu dan dialiri air
dari langit-langit goa (Gambar 10). Selain ornamen tersebut, diruangan ini juga
dijumpai ornamen menyerupai lembaran-lembaran kertas yang tergantung di
dinding goa dan berwarna coklat keemasan. Selanjutnya terdapat lorong cukup
panjang yaitu sekitar 9,84 m, yang menghubungkan ruangan kedua dan ketiga.
Pada lorong ini terdapat ornamen yang menyerupai lembaran-lembaran kertas
menyerupai tirai pada dinding dan langit-langit goa, dan ornamen menyerupai
jarum yang tergantung pada atap goa.

a. b.
Gambar 10 Ornamen Goa pada dinding dan atap goa di ruangan kedua: a.
berbentuk teras batu dan dialiri air dari langit-langit goa, b. stalagtid

Ruangan ketiga merupakan ruangan yang cukup luas, di ruangan ini juga
terdapat berbagai ornamen goa. Salah satu ornamen yang menarik disini adalah
bentuk batuan menyerupai kembang yang tergantung pada atap dinding goa dan
tiang besar yang berdiri di tengah-tengah ruangan dengan banyak ornamen yang
menempel pada tiang tersebut. Untuk menuju ke ruangan berikutnya (ruangan ke
empat) juga terdapat lorong yang menghubungkan kedua ruangan tersebut.
Ruangan keempat merupakan ruangan terakhir pada goa ini. Sama seperti
ruangan-ruangan sebelumnya, pada ruangan ini juga terdapat banyak ornamen.
Temuan unik pada ruangan ini adalah bentuk batuan yang menyerupai jarum-
jarum kecil yang sangat banyak. Lebih menarik lagi, pada setiap ujung ornamen
terdapat tetesan air yang berjatuhan pada lantai goa. Setelah diamati ternyata
tetesan tersebut tepat jatuh pada ornamen yang sama dan terbentuk pada lantai
38

goa. Bagian berikutnya setelah ruangan empat, terdapat lorong yang sangat sempit
menuju sebuah ruangan yang terdapat kolam air. Lebar lorong tersebut hanya
dapat dilalui satu orang dengan cara berjalan sambil merunduk. Pada lorong ini
juga terdapat ornamen-ornamen yang tergantung di atap-atap goa (Gambar 11),
sehingga penelusur harus berhati-hati.

a. b.
Gambar 11 Ornamen Goa pada lorong: a. stalagtid dan stalagmid, b. lorong
sempit dan ornamennya.

Kolam air menyerupai danau kecil yang terdapat di dalam Goa Kelelawar
(Gambar 12), tidak kalah menariknya dengan ruangan sebelumnya. Kolam air
tersebut berbentuk persegi panjang, dengan panjang ±10 m dan lebar ±8 m. Air
kolam tersebut berupa air payau dan kemungkinan besar air tersebut berasal dari
air laut. Lebih menarik lagi di sekeliling danau tersebut juga terdapat banyak
ornament, baik yang menempel pada dinding goa maupun pada atap goa.

Gambar 12 Kolam air yang terdapat di dalam goa (tampak dari atas).
39

b. Mata Air Kolowowa


Mata Air Kolowowa berada di Hutan Pantai Kolowowa yang merupakan
salah satu lokasi hutan adat. Uniknya mata air ini muncul di antara bebatuan
karang dan dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Berdasarkan
pengamatan di lapangan munculnya mata air ini berasal dari bagian bawah
bebatuan karang yang di duga adalah air bawah tanah, karena aliran yang cukup
deras dapat di dengar saat mendekati sumber air tersebut. Mata air ini sangat
bersih, dapat langsung di minum, dan merupakan sumber air minum bagi
masyarakat. Beberapa masyarakat menjadikan mata air ini sebagai sumber mata
pencarian yaitu dengan menjual air ke desa-desa yang ada di Pulau Kapota.
Mereka menyebutnya ojek air. Satu dirijen dijual oleh tukang ojek dengan harga
Rp 3000/dirijen.

a. b.
Gambar 13 Mata air Kolowowa: a. air yang dialirkan langsung dari sumber mata
airnya, b. sumber mata air.

c. Danau Tailaro Nto’oge


Danau Tailaro Nto‟oge merupakan objek menarik yang berpotensi untuk
dikembangkan menjadi objek wisata di Pulau Kapota. Tailaro Nto‟oge dalam
bahasa Kapota berarti danau besar (Tailaro artinya danau dan Nto‟oge artinya
besar). Danau ini memiliki pemandangan yang indah, kegiatan yang dapat
dilakukan adalah bersampan. Kegiatan ini didukung oleh kondisi air yang jernih
dan berwana kebiru-biruan (Gambar 14). Air di danau ini berkemungkinan besar
merupakan air laut yang masuk dan tergenang dalam sebuah rongga batuan
karang. Hal ini dibuktikan dengan kondisi air danau yang terasa asin. Hingga saat
ini belum ada data yang pasti mengenai asal air danau tersebut.
40

Gambar 14 Kondisi air Danau Tailaro To‟oge


Hasil wawancara dengan staf WWF Wakatobi, danau yang berbentuk
lingkaran ini memiliki luas sekitar 3.500 m2 dan kedalamannya sekitar 1-15 m.
Seluruh pinggiran danau dikelilingi oleh tumbuhan mangrove. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Feronika (2011) di lokasi ini teridentifikasi 5 jenis
tumbuhan mangrove, yaitu Xilocarpus moluccensis, Bruguiera gymnorhiz,
Xilocarpus granatum, Scyphiphora hydrophyllacea, Soneratia alba
Danau Tailaro Nto‟oge juga memiliki nilai mistik yang sangat kuat di
kalangan masyarakat. Selain dianggap sebagai suatu tempat yang angker, danau
ini juga di percaya terbentuk dari hasil injakan (bekas kaki) manusia raksasa. Hal
ini di perkuat dengan bentuk danau yang menyerupai kaki manusia ketika di lihat
dari atas (Gambar 15).

Sumber: Simon Onggo 2010


Gambar 15 Bentuk Danau Tailaro Nto‟oge tampak dari atas
41

d. Pantai Berpasir Putih


Pulau Kapota merupakan salah satu pulau dengan kondisi pantai yang
menarik dengan hamparan pasir putih yang sangat luas dan dilengkapi dengan
kumpulan-kumpulan karang penghalang. Berdasarkan hasil observasi, di Pulau
Kapota terdapat beberapa pantai (Gambar 16) yaitu Pantai Berpasir I (berada di
dekat Desa Kabita), Pantai Berpasir II (berada di dekat Desa Kapota Utara),
Pantai Aowolio, Pantai Onemeha, Pantai Kampa, Pantai Kolowowa, Pantai
Berpasir III (berada di lokasi Saru‟sarua), dan Pantai Umala. Diantara pantai-
pantai tersebut, terdapat beberapa pantai yang dianggap cocok sebagai objek
wisata, diantaranya Pantai Aowolio, Pantai Kolowowa, dan Pantai Umala.
Pemilihan pantai tersebut berdasarkan pertimbangan kondisi fisik pantai dan daya
tarik objek yang terdapat di pantai tersebut.

Gambar 16 Peta posisi/letak lokasi pantai berpasir di Pulau Kapota.

d.1 Pantai Aowolio


Pantai Aowolio merupakan salah satu pantai yang berada di ujung selatan
Pulau Kapota. Pantai ini merupakan pantai berpasir putih dengan panjang garis
pantai mencapai 1,5 km (Gambar 17). Kondisi pantainya berpasir dan air laut
yang bersih menambah keindahan suasana ketika berkunjung ke pantai ini.
Tumbuhan di lokasi ini didominasi oleh tumbuhan hutan pantai seperti ketapang
42

(Terminalia catappa), pandan-pandananan (Pandanus tectorius) dan pohon kelapa.


Selain itu di bagian ujung pantai ini juga terdapat satu ekosistem mangrove.

Gambar 17 Hamparan pasir putih Pantai Aowolio.


Objek lain yang dapat di jumpai di pantai ini adalah bentukan menarik dari
batuan karang yang berdiri menyerupai sebuah pohon atau dalam bahasa Kapota
di kenal dengan nama Watu Sahu‟u (Watu: Batu, Sahu’u: Satu pohon). Watu
Sahu‟u merupakan sebuah batu yang berdiri tegak di tengah-tengah pasir putih
layaknya sebatang pohon (Gambar 18). Batu ini memiliki bentuk yang unik,
ukurannya besar (tinggi ±12 m, diameter ± 6 m), bagian tengah terdapat lekukan
yang melingkari batu, dan di bagian atas terdapat beberapa tumbuhan yang hidup.

Gambar 18 Bentuk fisik Watu sahu‟u


Pantai Aowolio merupakan pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut, sehingga masyarakat biasanya memanfaatkan kondisi ini untuk mencari
biota-biota laut. Kondisi atau proses mulai terjadinya air laut menjadi surut
sampai puncak kekeringannya di tanjung-tanjung disebut kente. Sedangkan proses
43

mulai naiknya air laut sampai penuh kembali dinamakan tafo. Air laut surut
(kente) di sekitar Pulau Kapota dapat terjadi sejauh ±500 m (Gambar 19).

Gambar 19 Kondisi pantai pada saat air surut.


Kegiatan melaut mencari biota-biota laut seperti kerang, gurita, bulu babi,
ikan karang, dan biota lain saat air laut surut di tanjung-tanjung pada siang hari
dalam bahasa Kapota dikenal dengan meti-meti ei kente. Sedangkan kegiatan
mencari biota laut yang dilakukan di malam hari saat terjadinya kente dengan
menggunakan lampu penerangan dinamakan hesura’bi ei kente. Kegiatan meti-
meti maupun hesura’bi, merupakan kegiatan penangkapan ikan secara tradisional
yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Wakatobi termasuk
masyarakat Pulau Kapota. Kegiatan ini biasanya menggunakan peralatan yang
sederhana seperti keranjang dan tongkat yang berkail sebagai alat tangkapnya
(Gambar 20).

a. b.
Gambar 20 Kegiatan meti-meti: a. Kelompok nelayan yang sedang meti-meti b.
Peralatan yang digunakan saat meti-meti.
44

d.2 Pantai Kolowowa


Pantai Kolowowa merupakan sebuah pantai berpasir putih yang memiliki
ombak yang tenang. Pantai tidak selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut,
sehingga digunakan masyarakat sebagai tempat budidaya rumput laut. Pantai ini
memiliki hamparan pasir yang cukup panjang, sekitar 2 km dan merupakan pantai
terpanjang di Pulau Kapota. Di lokasi pantai terdapat beberapa jenis tegakan
diantaranya cemara laut, pandan-pandanan, dan kelapa.

Gambar 21 Pemandangan di Pantai Kolowowa.


Pantai Kolowawa merupakan pantai yang memiliki nilai sejarah bagi
masyarakat Kapota. Di pantai ini terdapat sebuah tanjung dengan batu karang
penghalang yang di percaya sebagai tempat pendaratan penyiar agama Islam
pertama yang datang ke Pulau Kapota. Nama tanjung tersebut adalah Banakawa,
dalam bahasa Kapota berarti pertama tiba (bana yang berarti pertama dan kawa
yang berarti tiba atau sampai). Berdasarkan mitos yang berkembang di
masyarakat, karang ini merupakan persinggahan pertama para penyiar agama
Islam dari Kerajaan Buton. Sampai sekarang, kawasan ini masih sangat sakral
bagi masyarakat dan dipercaya memiliki „penghuni‟, sehingga di kelola oleh adat
(Sara).
Objek lain yang dapat dinikmati di sekitar Pantai Kolowawa adalah
kegiatan budidaya rumput laut oleh masyarakat. Budidaya rumput laut merupakan
salah satu mata pencarian masyarakat di Pulau Kapota. Dengan menggunakan
saung-saung kecil yang dibuat di bawah pohon, masyarakat melaksanakan
aktivitas budidaya rumput laut tersebut (Gambar 22). Hingga saat ini, pemerintah
daerah telah mulai menawarkan kegiatan atau aktivitas masyarakat sebagai objek
45

wisata di Wakatobi, salah satunya adalah kegiatan budidaya rumput laut pada
komunitas masyarakat Bajo Desa Sama Bahari di Pulau Kaledupa.

Gambar 22 Kegiatan budidaya rumput laut.

d.3 Pantai Umala


Pantai Umala merupakan salah satu pantai dengan objek wisata berupa
batuan karang yang tersusun indah di pesisir pantai berpasir putih. Pantai ini
sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga di lokasi ini juga dapat
dijumpai masyarakat yang sedang melakukan kegiatan meti-meti. Selain itu,
karena Pantai Umala sangat di pengaruhi pasang surut air laut, banyak tumbuhan
mangrove yang tumbuh di sekitar pantai ini. Dan ketika air pasang terjadi,
sebagian pantai ini akan terisi air laut, sehingga batu-batu karang yang berada
disekitar lokasi tampak seperti pulau-pulau yang terapung.
Daya tarik lain yang dapat dinikmati di Pantai Umala adalah pemandangan
alam yang indah, terutama saat air laut surut (Gambar 23). Dari lokasi ini,
pemandangan laut dan Pulau Wangi-wangi dapat terlihat. Kemudian kondisi ini
akan diperindah lagi dengan adanya genangan air yang sangat jernih, sehingga
pasir-pasir putih pada dasar air terlihat sangat jelas (Gambar 23).
46

a. b.
Gambar 23 Pantai Umala: a. Genangan air pasang di sekitar Pantai Umala, b.
Pemandangan yang indah di Batu Karang Umala.

5.1.3 Potensi Sejarah dan Situs Keramat


a. Potensi Sejarah
Bekas-bekas peninggalan sejarah masyarakat Pulau Kapota hingga saat ini
masih terlihat jelas, seperti bekas Benteng Katiama, Benteng Togo Molengo dan
Batu Banakawa. Berdasarkan mitos yang beredar di masyarakat, pertama kali
adanya peradaban di Pulau Kapota dimulai sejak abad ke-16. Penghuni pertama
Pulau Kapota merupakan masyarakat yang berasal dari Kerajaan Lemakera, yaitu
sebuah kerajaan Hindu yang berada di Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka
menetap di sebuah tempat yang berada di atas bukit di tengah hutan Pulau Kapota.
Tempat tersebut dikenal dengan nama katiama yang berarti kampung pertama.
Kondisi katiama saat ini telah tertutup oleh semak belukar sehingga perlu
dibersihkan dan perlu dilakukan pembenahan, agar dapat terlihat sejauh mana
bekas-bekas benteng yang masih ada tersebut.

Gambar 24 Bekas Benteng Katiama yang sudah tertutupi rumput.


47

Perubahan hidup masyarakat Pulau Kapota di mulai sejak masuknya


ajaran Islam yang di bawa oleh Kerajaan Buton. Setelah masuknya kerajaan
Islam, jumlah penduduk mulai meningkat, sehingga masyarakat membutuhkan
perkampungan baru. Togo Molengo merupakan benteng Kerajaan Kapota dan
merupakan kampung kedua sebelum masyarakat menempati kampung yang ada
saat ini. Bekas Benteng Togo molengo saat ini masih terlihat jelas, yaitu berupa
tembok-tembok yang di susun mengelilingi suatu areal tanah dengan luas sekitar
1000 m2. Sebenarnya sepintas Togo Molengo mirip seperti benteng di Kota Bau-
bau, Pulau Buton atau biasa dikenal dengan nama Keraton Kota Buton.
Togo Molengo juga menyimpan sejarah penting asal mula ajaran agama
Islam masuk ke Pulau Kapota. Di dalam benteng ini terdapat makam yang
dipercaya sebagai makam penyebar agama Islam pertama di Pulau Kapota
(Gambar 25), makam Bapak Barakati. Bapak Barakati memiliki nama asli La Ode
Ana, nama ini sangat jarang disebut oleh masyarakat Kapota (tabu), mereka
percaya bahwa untuk menyebut namanya harus pada waktu-waktu tertentu saja
(masyarakat luar tidak boleh tahu kapan waktu tersebut).

Gambar 25 Makam Bapak Barakati di dalam Togo Molengo.


Masuknya peradaban di Pulau Kapota melalui laut, dengan menggunakan
kapal-kapal layar. Berdasarkan mitos di masyarakat, awal masuknya kapal-kapal
laut ke Pulau Kapota menempati sebuah tanjung kecil. Tanjung tersebut saat ini di
kenal dengan nama Batu Banakawa (Bana artinya pertama, Kawa artinya tiba).
Batu Banakawa merupakan sebuah batu karang yang terdapat di tanjung sekitar
Pantai Kolowowa. Di batu inilah para utusan Sultan Buton (para penyiar agama
Islam) pertama kali menginjakkan kakinya. Meskipun hanya terlihat seperti batu
48

biasa yang terdampar di antara hamparan pasir putih, tetapi bagi masyarakat
Kapota batu ini memiliki nilai tersendiri, yaitu sebagai tempat yang dikeramatkan
(Gambar 26). Masyarakat percaya batu ini memiliki penghuni sehingga tidak ada
yang berani merusaknya.

Gambar 26 Batu Banakawa yang dikeramatkan oleh masyarakat Kapota.

b. Potensi Situs-situs Keramat


Pulau Kapota dipercaya memiliki beberapa tempat yang dikeramatkan.
Tempat-tempat tersebut di pandang sebagai sesuatu yang sakral dan ditakuti,
sehingga untuk berinteraksi dengan tempat-tempat tersebut dilakukan dengan
cara-cara yang berbeda. Beberapa tempat tersebut diantanya adalah Saru‟sarua,
Laudina, Watululu dan Watu ndengu-ndengu. Dari keempat lokasi tersebut,
tempat yang paling dianggap sakral oleh masyarakat Kapota adalah Saru‟sarua.
Saru‟sarua merupakan sebuah tempat keramat yang berada di pesisir
pantai bagian timur Pulau Kapota dan terletak di atas batuan karang (Gambar 27).
Saru‟sarua dipercaya sebagai tempat arwah nenek moyang masyarakat Kapota,
sehingga pada jaman dahulu tempat ini merupakan tempat pemujaan sebelum
akan berperang melawan penjajah. Berdasarkan mitos, masyarakat percaya ketika
melakukan pemujaan orang yang berperang akan dilindungi dari kematian.
Hingga saat ini tempat ini masih menjadi tempat yang memiliki nilai mistik di
kalangan masyarakat Kapota. Masyarakat saat ini menggunakan tempat ini
sebagai tempat berdoa kepada Tuhan. Masyarakat percaya bahwa Saru‟sarua
merupakan pintu perantara manusia dengan penguasa alam semesta, sehingga jika
berdoa dan meminta pentunjuk hidup di tempat ini maka doanya akan diberkahi.
49

Gambar 27 Situs keramat Saru‟sarua.


Saru‟sarua merupakan tempat yang sangat sakral bagi masyarakat,
sehingga kawasan ini tidak boleh dimasuki sembarangan orang. Untuk memasuki
tempat tersebut harus meminta izin terlebih pada seorang dukun yang dianggap
sebagi juru kunci kawasan ini. Juru kunci ini dipercaya sebagai satu-satunya orang
yang dapat berkomunikasi dengan arwah nenek moyang orang Kapota. Banyak
kejadian aneh yang dialami oleh masyarakat dan kejadian tersebut juga pernah
dialami oleh pengelola taman nasional yang datang ke lokasi ini tanpa meminta
izin terlebih dahulu kepada Kabongo, salah seorang dari mereka mengalami
kerasukan.
Setiap orang boleh melakukan ritual. Setelah melakukan ritual, biasanya
masyarakat akan memasukan tangan ke sebuah lubang yang berada di bawah tugu
Saru’sarua untuk mengambil sesuatu. Biasanya yang ditemui pada lubang
tersebut adalah uang (koin logam) yang sudah lama, pecahan kerang dan
sebagainya. Jika menemukan logam berarti permintaan mereka akan terwujud.
Cara memasukkan tangan pada lubang tersebut juga memiliki tata cara tertentu,
yaitu tangan yang dimasukkan adalah tangan kanan. Kemudian tangan kiri
menopang bagian siku tangan kanan. Tangan yang dimasukkan tidak boleh
melebihi siku (Gambar 28).
50

a. b
Gambar 28 Tugu Saru‟sarua a. Lubang yang terdapat di bawah Tugu Saru‟sarua,
b. Kegiatan mengambil jimat di lubang tugu tersebut.

Tempat lain yang dikeramatkan oleh masyarakat Kapota adalah Laudina.


Laudina merupakan sebuah tempat berupa tanjung bebatuan karang yang berada
di ujung sebelah selatan Pantai Kolowowa dan dipenuhi oleh berbagai jenis
tumbuhan (Gambar 29). Laudina dalam bahasa Kapota berarti busuk hina.
Sebutan ini diberikan oleh masyarakat karena dulunya tempat tersebut merupakan
tempat pembuangan orang-orang terhina. Hingga saat ini tempat tersebut sangat
ditakuti dan tidak ada yang berani masuk kedalam kawasan hutan tersebut. Hal ini
dikarenakan masyarakat percaya bahwa roh-roh orang yang dibuang pada jaman
dahulu masih bergentayangan ditempat ini.

Gambar 29 Tanjung Laudina.


Mitos yang beredar di masyarakat, menyebutkan Laudina sebagai tempat
pembuangan/pengasingan orang-orang yang memiliki penyakit lepra. Masyarakat
yang terkena penyakit lepra (penyakit kulit) akan diasingkan dan tidak
diperbolehkan meninggalkan tempat ini sampai kapanpun (meninggal dunia).
Hingga saat ini, Laudina masih dianggap angker dan ditakuti oleh masyarakat,
51

sehingga jarang sekali masyarakat yang masuk ke kawasan ini. Kondisi ini
menyebabkan hutan di kawasan ini masih terlihat utuh.
Situs keramat lain adalah Watu Ndengu-ndengu yang berarti batu berbunyi
dalam bahasa Kapota. Situs ini merupakan batuan karang penghalang yang berada
di kawasan pesisir menuju Saru‟sarua. Batu ini jika di pukul-pukul akan
menimbulkan suara seperti gong kecil dan dalam bahasa Kapota bunyi-bunyian
ini disebut Ndengu-ndengu. Dulunya sehari sebelum akan dilakukan pertemuan
adat terlebih dahulu batu ndengu-ndengu ini akan dipukul, yang menandakan
masyarakat akan berkumpul di Saru‟sarua.

Gambar 30 Situs keramat Watu Ndengu-deng.

5.1.4 Potensi Seni dan Budaya Daerah


a. Potensi Seni
Seni merupakan bentuk keterampilan atau hasil karya manusia yang
memiliki nilai, baik nilai estestika maupun nilai ekonomi. Masyarakat memiliki
beberapa seni kerajinan seperti menganyam dan menenun. Kegiatan ini hanya
dilakukan oleh kaum ibu.
a.1 Kerajinan Anyam
Masyarakat Kapota memiliki keterampilan menganyam dengan bahan
baku bambu. Anyaman bambu yang dijumpai di masyarakat Kapota adalah jalajah
dan bubu. Jalajah merupakan sutu anyaman daari belahan bambu yang di buat
untuk dinding rumah (Gambar 31). Jalajah selain untuk digunakan sendiri juga di
jual kepada masyarakat lain yang berada di Wakatobi. Hasil anyaman masyarakat
dijual ke masyarakat di Pulau Wangi-wangi, masyarakat Pulau Kaledupa, dan
52

masyarakat Tomia. Sehingga kerajinan jalajah merupakan salah satu mata


pencarian masyarakat Pulau Kapota, khususnya ibu-ibu.

a a
Gambar 31 Kerajinan Jalajah: a. Kegiatan menganyam jalajah, b. Jalajah siap di
jual.

a.2 Kerajinan Tenun


Kerajinan tenun yang dijumpai pada masyarakat Kapota adalah kerajinan
menenun leja. Leja merupakan kain khas Wakatobi, namun di setiap pulau
memiliki corak yang berbeda, sehingga dapat dibedakan asal leja tersebut. Untuk
Leja asal Kapota biasanya memiliki motif berwarna dengan corak memanjang dari
atas sampai ke bawah (Gambar 32).

Gambar 32 Kain tenun khas Kapota.


Kegiatan menenun leja dibagi menjadi dua tahap, kegiatan pertama
merupakan kegiatan penyusunan benang yang nantinya akan ditenun. Kegiatan
penyusunan benang dimulai dari kegiatan memintal, yaitu suatu kegiatan
penyusunan benang pada serangkaian alat yang disebut oluri. Kegiatan memintal
benang pada oluri merupakan kegiatan penyusunan benang dengan berbagai
warna sesuai dengan warna leja yang diinginkan (Gambar 33). Warna-warna
tersebut yang nantinya akan membentuk motif dan corak dari kain yang akan
ditenun.
53

Gambar 33 Kegiatan memintal benang pada oluri.


Benang disiapkan sesuai warna yang diinginkan, setelah itu barulah tahap
penenunan dilakukan. Proses menenun merupakan proses mengabungkan benang-
benang yang telah disusun pada rangkaian alat yang disebut daro. Untuk membuat
satu kain leja bisanya membutuhkan waktu 4-7 hari. Kain leja saat ini menjadi
buruan oleh-oleh khas dari Wakatobi. Hingga saat ini belum terdapat souvenir
khas Wakatobi selain kain leja. Harga satu kain leja berkisar antara Rp150.000-
Rp250.000, sedangkan selendangnya berkisar antara Rp50.000-Rp100.000.

Gambar 34 Kegiatan menggabungkan benang dengan Daro.

a.3 Seni Tari


Tarian tradisional merupakan suatu potensi yang dapat dikembangkan
sebagai objek wisata. Terdapat dua jenis tarian tradisional yang masih dijumpai di
Pulau Kapota yaitu Tari Kenta-Kenta dan Tari Hebaongko. Saat ini tari-tarian
tersebut dipertunjukan untuk menyambut tamu-tamu penting yang datang ke
Pulau Kapota.
54

Tari kenta-kenta merupakan tarian tradisional yang menggambarkan


kebiasaan masyarakat dengan penuh suka cita pergi mencari ikan di laut luas. Tari
ini dimainkan oleh 10 orang, 8 orang sebagai penari dan 2 orang sebagai ikannya.
Tarian ini mengisyaratkan masyarakat kapota yang sedang mencari ikan di laut
dengan cara memancing di atas sampan, kemudian akan terlihat gerakan tari yang
seolah-olah sedang mendayung sampan kemudian ikan yang sudah mereka
dapatkan dijual pada juragan ikan. Kemudian juragan ikan akan menyuruh
seorang penari yang memegang parang untuk membunuh ikan tangkapan tersebut
dan ikan dijual ke pada para tamu.
Penari yang berjumlah 10 orang tersebut masing-masing membawa
perlengkapan pancing yang berbeda yaitu tali pancing, tombak, dayung, timba air
dan sampan. Pakaian yang dipakai saat menari adalah pakaian adat (baju wolio),
kain leja dan celana biasa. Atraksi ini dapat berlangsung selama 20 menit dengan
diiringi alat musik seperti gendang, gamelan (ndengu-ndengu), gong (bololo) dan
jumlah orang yang memainkannya sebanyak 4 orang.
Tari hebaongko merupakan bentuk tarian yang dilakukan untuk menghibur
para raja-raja. Bentuk tariannya seperti melakukan kayang dan dilakukan tanpa
alat musik. Tarian ini menunjukkan kelembutan para dayang-dayang tersebut.
Baju yang dipakai saat acara adalah baju adat Kapota (baju wolio) dan kain leja.
Untuk saat ini, tarian hebaongko biasanya ditampilkan di hari raya, upacara adat,
perkawinan, dan sunatan.

b. Pesta Budaya Pulau Kapota


Pesta budaya merupakan salah satu objek yang menarik bagi pengunjung.
Di Pulau Kapota terdapat beberapa pesta budaya yang dapat disaksikan
diantaranya kabuenga dan karia‟a. Pesta karia‟a merupakan acara besar yang
didalamnya terdapat tiga rangkaian acara, yakni acara karia, acara somboa dan
kansoda‟a.

b.1 Pesta Karia’a


Pesta karia‟a merupakan suatu penggabungan dari tiga acara yaitu karia
(merupakan acara prosesi sunatan untuk anak laki-laki), somboa (merupakan
55

acara pingitan untuk anak perempuan yang sudah baligh), dan kansoda‟a
(merupakan acara penutup seluruh rangkaian acara). Pesta acara ini terbuka untuk
masyarakat umum Pulau Kapota, siapa saja boleh mengikuti acara tersebut.
Acara ini dimulai ketika peserta pingitan (sombo) ditempatkan di suatu
kamar selama 8 hari tanpa keluar dari kamar tersebut. Acara pingitan bagi kaum
perempuan merupakan acara yang esensial yang harus dilaksanakan menurut
aturan adat. Berdasarkan aturan adat, kaum perempuan yang tidak melakukan
ritual pingitan tidak boleh melangsungkan pernikahan. Apabila dijumpai
perempuan yang hamil di luar nikah dan belum melakukan pingitan akan
ditenggelamkan di laut sebagai hukumannya.
Peserta pingitan yang telah dikurung selama 8 hari akan „dibebaskan‟ atau
dikeluarkan dari kamar dengan menggunakan pakaian adat, kemudian mereka di
arak mengelilingi kampung. Kegiatan mengelilingi kampung dilakukan dengan
memikul peserta pingitan pada sebuah wadah yang dikenal dengan nama
kansoda‟a. Kansoda‟a merupakan sebuah tandu yang di buat dari bambu yang
nantinya digunakan untuk memikul peserta pingitan (Gambar 35).

a b
Gambar 35 Pesta adat pingitan: a.Peserta pingitan, b. Acara Kansoda‟a.
Para pemikul kansoda‟a sepanjang jalan diiringi dengan tarian bebas yang
disebut dengan makanjara yang disertai dengan teriakan-teriakan oleh para ibu-
ibu yang bergembira terselesaikannya somboa. Makanjara juga dilakukan untuk
menyemangati para pemikul kansoda‟a. Sedangkan untuk peserta karia
diharuskan untuk berada di bagian paling depan deretan kansoda‟a, kemudian
mereka akan berlari berkeliling kampung bersama rombongan kansoda‟a tersebut
(Gambar 36).
56

Gambar 36 Peserta karia yang berlari keliling kampung.


Proses selanjutnya setelah berkeliling kampung, peserta dikumpulkan.
Mereka didudukkan dalam satu baris dan menghadap ke tempat duduk para tokoh
adat kemudian diadakan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh adat. Di hadapan
para peserta tersedia makanan adat yang ditutupi oleh kain yang dinamakan lifo.
Isi lifo bermacam-macam diantaranya epu-epu, cucur, kerasi, gule, lapa-lapa,
pisang, salarei, telur, dan bermacam-macam kue buatan masa kini sebagai
pelengkap (Gambar 37). Setelah berdoa selesai kemudian dilanjutkan dengan
memakan lifo secara bersama-sama oleh masyarakat juga peserta kansoda‟a.

Gambar 37 Lifo yang berisi bermacam-macam kue.

b.2 Pesta Kabuenga


Pesta budaya Kabuenga adalah pesta rakyat yang biasa dilakukan oleh
masyarakat Wakatobi setiap satu tahun sekali. Pesta ini memiliki makna tersendiri
bagi masyarakat Wakatobi yaitu sebagai salah satu acara untuk mempertemukan
para lelaki dengan perempuan yang sedang mencari pasangan (ajang mencari
57

jodoh). Sebutan kabuenga dalam bahasa Kapota, artinya adalah ayunan, hal ini
karena dalam acara tersebut terdapat prosesi yang menggunakan ayunan besar
yang dibuat sedemikian rupa. Ayunan tersebut nantinya digunakan oleh para
pasangan terpilih, dengan maksud bahwa mereka telah mendapatkan pasangan
dan siap melangkah kejenjang berikutnya (pernikahan).
Pesta kabuenga yang diadakan di Pulau Kapota berbeda dengan pesta
kabuenga di pulau lain Wakatobi. Ada beberapa pendapat yang mengatakan
bahwa pesta adat kabuenga adalah asli dari Pulau Kapota dan memiliki ciri khas
tersendiri. Hal ini dapat dibenarkan karena berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan terdapat beberapa perbedaan dalam pelaksanaan acaranya. Acara
kabuenga di Pulau Kapota terlihat lebih tertib dan teratur.
Acara kabuenga adalah acara yang dikhususkan untuk perempuan dan
laki-laki yang sudah cukup umur untuk memiliki pasangan hidup (sebuah
keluarga). Acara ini juga bisa dikuti oleh anak-anak kecil yang berperan sebagai
pendamping peserta kabuenga (Gambar 38). Para peserta kabuenga berpakaian
sesuai dengan pakaian adatnya yaitu baju adat wolio. Bentuknya bermacam-
macam sesuai dengan peran yang dilakukannya saat acara dan wajah para peserta
juga dihias sedemikian rupa.
Uniknya ada beberapa benda yang diletakkan di depan tempat duduk para
peserta seperti lifo dan bahan makanan lain seperti ikan bakar, kue-kue, minuman
(saat ini menggunakan sprit, fanta, cocacola, dll) dan beberapa benda yang dihiasi
dengan lembaran uang mulai dari lembaran Rp1.000 sampai dengan lembaran
Rp100.000 dengan jumlah tergantung keinginan peserta (gambar 38). Benda lain
yang sangat diharuskan ada dalam acara kabuenga adalah kain leja yang
diletakkan disekitar kabuenga karena kain tersebut akan menjadi symbol
sayembara yang diadakan oleh raja.
58

Gambar 38. Pesta Kabuenga : a. Ayunan (Kabuenga), b. Peserta kabuenga.


Posisi tempat duduk peserta disusun dengan rapi sesuai dengan perannya
masing-masing seperti terlihat pada sketsa (Gambar 39). Di acara ini perempuan
didudukkan secara berjejer dan rapi disamping kiri kabuenga (sketsa nomor 3),
laki-laki duduk di bagian depan menghadap kabuenga (ayunan), para tokoh adat
berada di bagian belakang kabuenga, keluarga kerajaan (hanya peran) duduk di
bagian kanan kabuenga (tempat khusus) dan anak-anak perempuan duduk di
bagian depan atau disamping perempuan dewasa. para pengawal kerajaan berada
di depan pintu gerbang (sketsa nomor 5 dan 6). Kemudian para keluarga peserta
berada di luar arena (sketsa nomor 7).

Gambar 39 Posisi peserta acara kabuenga sesuai perannya.


59

Acara akan dimulai dengan pembukaan oleh seorang panitia yang


berperan sebagai penasehat raja dan menceritakan kembali asal mula terbentuknya
acara adat kabuenga kepada penonton sehingga penonton mengerti maksud dan
tujuan diadakannya acara ini. Kemudian para peserta perempuan akan berdiri dan
berbaris dengan memegangi gelas, minuman, dan lap tangan (Gambar 40a), hal ini
dimaksudkan agar para peserta perempuan bersiap-siap untuk menjual
minumannya kepada peserta laki-laki. Kegiatan menjual minuman dimulai dengan
nyanyian/lagu adat seorang wanita yang sudah tua, dia berjalan mendekati para
peserta laki-laki diikuti oleh peserta perempuan dari belakang. Dalam proses
penjualan ini laki-laki akan membayar minuman tersebut dengan harga yang tidak
ditentukan, makin banyak mereka minum maka makin banyak pula uang yang
harus diberikan. Uniknya pada proses inilah sebenarnya terjadi pemilihan
perempuan yang disukai dan disenangi oleh laki-laki walaupun nantinya harus
memilih kain yang telah disediakan di Kabuenga.
Proses menjual minuman selesai dilanjutkan dengan pemilihan kain oleh
pangeran. Dia akan menunjuk salah satu kain dan memberikannya pada raja.
Kemudian raja akan mengumumkan pemilik kain tersebut, dengan didampingi
ratu dan pangeran raja menyelimuti kain tersebut pada seorang perempuan
(pemilik leja) dan mengumumkan kembali bahwa dialah gadis terpilih untuk
mendampingi pangeran. Gadis terpilih kemudian di ayun di Kabuenga oleh
pangeran dan acara dilanjutkan dengan pemilihan leja oleh para peserta kabuenga
laki-laki. Para peserta ini akan memilih kain leja secara bergantian dimana
pemilih yang akan didahulukan adalah peserta yang berasal dari kasta yang lebih
tinggi terlebih dahulu. Acara akan diakhiri dengan arak-arakan dari warga
mengelilingi kabuenga yang menandakan bahwa acara kabuenga telah terlaksana
dan sebagai ungkapan kegembiraan, mereka biasanya meneriakkan ungkapan-
ungkapan tertentu dalam bahasa kapota dan menari-nari, kemudian akan
memakan lifo secara bersama-sama.
60

a. b.
Gambar 40 Acara Kabuenga: a. Perempuan dewasa yang menjual minuman
kepada laki-laki, b. Makanan yang diarak keliling acara kabuenga.

5.2 Jalur yang Berpotensi Dikembangkan Sebagai Jalur Interpretasi


Jalur interpretasi adalah jalur khusus yang dibuat untuk pengunjung dan di
jalur tersebut terdapat objek-objek menarik yang dapat diinterpretasikan kepada
pengunjung (Muntasib dan Rachmawati 2009). Dalam penelitian ini, jalur yang
diidentifikasi terdiri dari jalur terestrial dan jalur aquatik. Jalur terestrial adalah
jalur yang khusus untuk mencapai objek dan daya tarik wisata di daratan Pulau
Kapota. Berdasarkan hasil observasi lapang terdapat enam jalur terestrial dan satu
jalur aquatik yang berpotensi dikembangkan sebagai jalur interpretasi yaitu jalur
SPKP - Pantai Aowolio, jalur Pesisir Pantai Kapota - Goa Kelelawar, jalur SPKP -
Togo Molengo, jalur SPKP - Batu Banakawa, jalur SPKP - Hutan Sara, dan jalur
Hutan Sara - Saru‟sarua. Jalur tersebut merupakan jalur administrasi dan jalur
lokal yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk mencapai tempat-tempat
tertentu seperti ke hutan adat (Sara), ke lokasi budidaya rumput laut, dan ke
perkebunan.
Jalur aquatik adalah jalur yang khusus untuk mencapai objek dan daya
tarik wisata di Perairan Kapota. Berdasarkan hasil observasi lapang terdapat satu
jalur aquatik yang berpotensi dikembangkan sebagai jalur interpretasi yaitu jalur
Pelabuhan Jonson Pulau Kapota - Zona Pariwisata Karang Kapota. Jalur tersebut
merupakan jalur yang biasanya di pakai oleh staf taman nasional saat melakukan
monitoring dan observasi lapang di Perairan Kapota. Posisi/letak jalur-jalur
tersebut masing-masing dapat dilihat pada gambar 41 dan 42.
61

Gambar 41 Peta Potensi Jalur Interpretasi Alam di Pulau Kapota.

Gambar 42 Peta potensi jalur interpretasi alam di Perairan Kapota.


62

5.2.1 Jalur SPKP - Pantai Aowolio


Jalur SPKP - Pantai Aowolio merupakan jalur yang biasa digunakan oleh
masyarakat menuju ke perkebunan dan jalur ini sering digunakan oleh pengunjung
untuk mencapai lokasi Pantai Aowolio karena mempunyai aksesibilitas yang
mudah untuk ditempuh. Jalur SPKP - Pantai Aowolio memiliki tiga buah
percabangan jalur yaitu jalur menuju perkebunan, jalur menuju Goa Kelelawar,
dan jalur penghubung antara perkampungan Kapota dengan Desa Wisata Kollo.
Posisi/letak jalur berada di sisi bagian selatan Pulau Kapota. Jarak antara SPKP
menuju ke Pantai Ao Wolio ± 2900 m. Jalur berupa jalan yang sudah diperkeras
dengan semen, lebarnya ±1-1,5 m. Jalur ini dapat dilewati kendaraan motor
dengan waktu tempuh sekitar 10-15 menit sedangkan dengan berjalan kaki dapat
ditempuh dengan waktu ± 40-60 menit.
Kondisi fisik jalur secara umum belum bermasalah sehingga aman untuk
dilewati. Potensi permasalahan fisik yang dapat terjadi pada jalur ini adalah
pembentukan lubang dan retak parah, hal ini dapat terjadi jika jalan dilewati oleh
kendaraan motor dengan intensitas yang tinggi. Selain itu, jalur juga berpotensi
sangat licin karena di beberapa bagian telah ditumbuhi oleh lumut. Rute dan
kondisi jalur yang akan ditempuh secara rinci disajikan pada tabel 6.
Tabel 6 Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Pantai Aowolio
Jarak Jarak
No. Rute Keterangan
tempuh akumulasi
1. SPKP-Balai Desa 5m 5m Jalannya datar, jalan berupa semen
dengan lebar ± 4 m,
2. Balai Desa-Pelabuhan 25 m 30 m Jalannya datar, jalan berupa semen
Jonson dengan lebar ± 4 m
3. Pelabuhan Jonson- 10 m 40 m Jalannya datar, jalan berupa semen
Desa Kabita dengan lebar ± 4 m
4. Desa Kabita - Pesisir 560 m 600 m Jalannya datar, jalan berupa pasir
pantai
5. Pesisir pantai-Lokasi 640 m 1240 m Jalannya datar , jalan berupa pasir
penanaman mangrove
8. Lokasi penanaman 2260 m 2940 m Jalannya datar sampai naik turun
mangrove-pantai dengan topografi tidak curam, Jalan
Aowolio berupa semen dengan lebar ± 1-1,5m
9. Pantai Aowolio-Batu 125 m 3065 m Jalannya datar, jalan berupa pasir
Sahu‟u
10. Batu Sahu‟u-Tanjung 300 m 3365 m Jalannya datar dan naik dengan
menara pengamat topografi tidak curam, jalan berupa
Coremap pasir dan semen dengan lebar ± 1 m
63

Objek dan daya tarik wisata yang dapat dijumpai pada jalur ini yaitu :
1) Flora diantaranya kelapa (Cocos nucifera), singkong (Manihot utilisima),
jambu mete (Anacardium ocidentale), mangga (Mangifera indica), beringin
(Ficus benyamina), bayur (Pterospermum javanicum), bambu (Bamboo sp.),
nanas buah (Ananas comosus) dan kapuk randu (Ceiba petandra).
2) Fauna yang dapat dijumpai yaitu burung dan kupu-kupu. Burung yang
dijumpai seperti cangak laut (Ardea purpurea), trinil pantai (Actitis
hypoleucos), gajahan penggala (Nunenius phaeopus), cekakak sungai
(Halcyon chloris), kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis), tekukur biasa
(Streptopelia tranguebarica), kekep sulawesi (Artamus Monachus), dan cabai
gunung (Dicaeum sanguinolentum). Jenis kupu-kupu dijumpai salah satunya
dari famili Nimpalidae.
3) Ekosistem yang khas yaitu ekosistem lamun dan ekosistem mangrove.
4) Potensi fisik berupa perkebunan kelapa, perkebunan singkong, perkebunan
jambu mete, pantai pasir putih yang berdekatan dengan Desa Kabita dan
menyuguhkan pemandangan laut dan Pulau Wangi-wangi, pantai pasir putih
Aowolio, Watu Sahu‟u, menara pengamat Coremap, aktivitas masyarakat
setempat yang sedang membuat kerajinan jalajah, menenun kain leja,
membuat kasuami, dan kegiatan meti-meti.
64

Gambar 43 Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Pantai Aowolio.
65

5.2.2 Jalur Pesisir Pantai Kapota - Goa Kelelawar


Jalur Pesisir Pantai Kapota - Goa Kelelawar merupakan jalur yang biasa
digunakan oleh masyarakat menuju ke perkebunan. Kelebihan dari jalur ini adalah
terdapatnya objek yang menarik yaitu sebuah goa yang berisi ornament-ornamen
goa, fauna goa, dan ruangan goa yang berisi air. Selain itu tidak jauh dari goa
terdapat sebuah pohon kelapa yang memiliki empat buah cabang batang sehingga
jalur ini juga banyak diminati oleh pengunjung. Aksesibilitasnya juga mudah
untuk ditempuh. Posisi/letak jalur berada di sisi bagian selatan Pulau Kapota dan
merupakan percabangan dari jalur menuju Pantai Aowolio.
Jarak antara pesisir Pantai Kapota menuju ke goa ± 1100 m. Jalur berupa
jalan setapak dan batuan karang yang masih alami, lebarnya kurang lebih 1 m.
Jalur ini tidak dapat dilewati kendaraan motor, untuk itu ditempuh dengan
berjalan kaki dengan waktu tempuh sekitar 15-20 menit. Kondisi fisik jalur secara
umum belum bermasalah sehingga aman untuk dilewati. Rute dan kondisi jalur
disajikan secara rinci pada tabel 7.
Tabel 7 Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju goa
Jarak Jarak
No. Rute Keterangan
tempuh akumulasi
1. Pesisir Pantai Kapota - 2900 m 1100 m Jalannya datar sampai naik turun
Goa Kelelawar dengan topografi tidak curam, jalan
berupa pasir dan bebatuan karang yang
masih alami dengan lebar ± 1 m
2. Goa Kelelawar - Kelapa 310 m 1410 m Jalannya datar, jalan berupa bebatuan
Bercabang Empat karang yang masih alami dengan lebar
±1m

Objek dan daya tarik wisata yang dapat dijumpai pada Jalur Pesisir Pantai Kapota-
Goa Kelelawar yaitu :
1) Flora diantaranya beringin (Ficus benyamina), kapuk randu (Ceiba petandra),
mengkudu (Ananas comosus), cocor bebek (Kalanchoe waldheimii), akar tuba
(Derris eliptica), dan singkong (Manihot utilisima).
2) Fauna yang dapat dijumpai yaitu burung dan kupu-kupu. Burung yang
dijumpai seperti pergam kepala kelabu (Ducula radiate), madu hitam (Nectaria
aspasia), betet kelapa punggung biru (Tanygnathus sumatranus), hune kepala
putih (Chalcophaps stephani), hune kepala biasa ( Ducula radiata), iku melangka
(Numenius madagascariensis), kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis), dan uncal
66

ambon (Macropygia amboinensis). Jenis kupu-kupu dijumpai diantaranya


Ideopsis sp. dan Junnonia orithya dari famili Nimpalidae.
3) Potensi fisik berupa perkebunan kelapa, perkebunan singkong, perkebunan
jambu mete, pantai pasir putih yang berdekatan dengan Desa Kabita dan
menyuguhkan pemandangan laut dan pemandangan Pulau Wangi-wangi,
kemudian di pesisir pantai dapat dilihat aktivitas masyarakat setempat yang
sedang melakukan kegiatan meti-meti saat terjadi kente (air laut sedang surut),
Goa Kelelawar dengan berbagai ornamen-ornamen goa dan fauna goanya, dan
Kelapa Cabang Empat.
67

Gambar 44 Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur Pantai Kapota-Goa Kelelawar.
68

5.2.3 Jalur SPKP - Togo Molengo


Jalur SPKP - Togo Molengo merupakan jalur yang biasa digunakan oleh
masyarakat menuju ke perkebunan. Jalur ini berada di sekitar perkampungan
Kapota sehingga dikembangkan lebih banyak untuk mengenal kondisi sosial
ekonomi dan budaya masyarakat Pulau Kapota. Posisi/letak jalur berada di sisi
bagian timur Pulau Kapota. Jarak antara SPKP menuju ke Togo Molengo ± 1000
m. Jalur berupa jalan yang sudah diperkeras dengan semen, lebarnya kurang lebih
1-2 m. Jalur ini dapat dilewati kendaraan motor dengan waktu tempuh ± 5-10
menit dan bisa juga dengan berjalan kaki selama ± 20 menit.
Kondisi fisik jalur saat ini untuk menuju ke Togo Molengo secara umum
aman untuk dilewati tetapi di beberapa bagian jalur yang sudah diperkeras dengan
semen ini agak licin ketika musim hujan sehingga harus hati-hati. Jalur yang licin
ini berada pada rute kebun coklat ke makam Bapak Barakati. Pada bagian ini jalan
telah ditumbuhi lumut dan topografinya sekitar ± 20 derajat, selain itu pada
bagian jalur ini juga terdapat vandalisme di pohon-pohon. Rute dan kondisi jalur
yang akan ditempuh menuju ke Togo Molengo disajikan secara rinci pada tabel 8.
Tabel 8 Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Togo Molengo
Jarak Jarak
No. Rute Keterangan
tempuh akumulasi
1. Desa Kapota (SPKP) - 100 m 100 m Jalannya datar, jalan berupa semen
Desa Kabita Togo dengan lebar ± 4 m
2. Desa kabita togo- 100 m 200 m Jalurnya naik dengan topografi yang
perkebunan singkong tidak curam, jalan berupa semen
dengan lebar ± 2 m
3. Perkebunan singkong- 400 m 600 m Jalannya datar, jalan berupa semen
perkebunan coklat dengan lebar ± 1 m
4. Perkebunan coklat- 400 m 1000 m Jalannya datar sampai naik turun
makam Bapak dengan topografi yang tidak curam,
Barakati jalan berupa semen dan bebatuan
karang yang masih alami , lebar ± 1m
5. Makam Bapak 1m 1001 m Jalannya datar, berupa bebatuan
Barakati-Togo karang yang masih alami dengan lebar
Molengo ± 1-2 m

Objek dan daya tarik wisata yang dapat dijumpai pada jalur ini yaitu :
1) Flora diantaranya kelapa (Cocos nucifera), mangga (Mangifera indica), bayur
(Pterospermum javanicum), singkong (Manihot utilisima), kapuk (Ceiba
petandra), coklat (Theobroma cacao), dan bambu (Bamboo sp.).
2) Fauna yang dapat dijumpai yaitu burung dan kupu-kupu. Burung yang
dijumpai seperti kekep sulawesi (Artamus Monachus), tekukur biasa
69

(Streptopelia tranguebarica), gagak kampung (Corvus macrorhynchos),


kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis). Jenis kupu-kupu dijumpai yaitu
dari famili Papilionidae. Satwa mamalia yang dijumpai yaitu kalong.
3) Potensi fisik berupa perkebunan kelapa, perkebunan singkong, perkebunan
jambu mete, melihat keunikan aktivitas penduduk (membuat kerajinan jalajah,
menenun kain leja, membuat kasuami, dan kegiatan meti-meti), Baruga
(tempat musyawarah lembaga Adat Pulau Kapota), Benteng Togo Molengo,
Makam Bapak Barakati, dari benteng dapat dilihat pemandangan alam berupa
laut, Pulau Wangi-wangi, Pelabuhan Pulau Wangi-wangi, Pelabuhan Jonson,
Desa Kapota dan Desa Kabita .
70

Gambar 45 Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Togo Molengo.
71

5.2.4 Jalur SPKP- Banakawa


Jalur SPKP- Batu Banakawa merupakan jalur yang biasa digunakan oleh
masyarakat menuju ke perkebunan, sumber mata air, hutan bambu, dan lokasi
budidaya rumput laut. Kelebihan dari jalur ini adalah terdapatnya objek-objek
menarik yang lebih lengkap mulai dari potensi objek biologis, fisik, sejarah dan
situs keramat sampai seni-budaya masyarakat. Posisi/letak jalur berada di bagian
timur sampai barat Pulau Kapota. Jarak antara SPKP menuju ke Batu Banakawa ±
3400 m. Jalur berupa jalan yang sudah diperkeras dengan semen, lebarnya kurang
lebih 1-1,5 m. Jalur ini dapat dilewati kendaraan motor dengan waktu tempuh
sekitar 30 menit dan bisa juga dengan berjalan kaki selama ± 2 jam perjalanan.
Kondisi fisik jalur secara umum aman untuk dilewati tetapi di beberapa
bagian jalur yang sudah diperkeras dengan semen ini sangat licin ketika musim
hujan sehingga harus sangat hati-hati. Pada bagian ini juga sering terjadi
kecelakaan (motor terpeleset jatuh) dan hal ini sering dialami oleh masyarakat
yang selalu berlalu lalang. Jalan yang licin tersebut berada di rute Katiama ke
Hutan bambu dan rute mata air ke laudina sehingga jika menggunakan motor
sebaiknya motor di dorong saja untuk menghindari kecelakaan (Gambar 46).
Kemudian setelah melewati jalan yang sangat licin ini, jalan yang akan dilewati
masih alami berupa pasir sehingga dapat ditempuh kembali dengan kendaraan
motor, kondisi jalur berpasir ini berada di rute Laudina sampai ke Batu Banakawa.

a. b.
Gambar 46 Kondisi Jalur SPKP-Banakawa: a. motor yang di dorong untuk
menghindari kecelakaan karena jalan yang licin, b. Jalur berpasir.
Potensi permasalahan fisik yang dihadapi adalah pada bagian jalan yang
sangat licin dimana jalur hanya memiliki lebar 1 m dan yang dapat dilewati hanya
72

bagian tengah saja karena di bagian tepi jalan sudah hijau ditumbuhi lumut. Rute
dan kondisi jalur yang akan ditempuh disajikan secara rinci pada tabel 9.
Tabel 9 Rute jalur yang akan ditempuh menuju Batu Banakawa
Jarak Jarak
No. Rute Keterangan
tempuh akumulasi
1. SPKP-Katiama 916 m 916 m Jalannya naik dengan topografi yang cukup
curam, jalan berupa semen dengan lebar ± 1
m dan licin di musim hujan
2. Katiama- 884 m 1800 m Jalannya datar, jalan berupa semen dengan
Hutan bambu lebar ± 1-1,5 m , telah berlubang dan sangat
licin di musim hujan
3. Hutan bambu- 900 m 2700 m Jalannya datar samapi turun dengan topografi
Mata Air yang cukup curam, jalan berupa semen
dengan lebar ± 2 m
4. Mata Air- 400 m 3100 m Jalannya datar, jalan berupa semen dengan
Laudina lebar ± 4 m dan sangat licin di musim hujan
5. Laudina- Batu 300 m 3400 m Jalannya datar, jalan berupa pasir dengan
Banakawa lebar ± 1-2 m

Objek dan daya tarik wisata yang dapat dijumpai pada jalur ini yaitu :
1) Flora diantaranya bambu (Bamboo sp.), beringin (Ficus benyamina), nipah
(Nypa fruticans Wurmb.), kelapa (Cocos nucifera), dan bayur (Pterospermum
javanicum).
2) Fauna yang dapat dijumpai yaitu burung, mamalia, reptil, dan kupu-kupu.
Burung yang dijumpai seperti cekakak sungai ( Halcyon chloris), kepudang
sungu kerdil (Coracina abbotti), gajahan timur (Numenius madagascariensis),
wallet sapi (Collocalia esculenta), tekukur biasa (Streptopelia tranguebarica),
pergam kepala kelabu (Ducula radiata), hune kepala putih (Chalcophaps stephani),
gagak (Corvus macrorhynchos), kepudang sungu kerdil (Coracina abbotti),
kekep sulawesi (Artamus Monachus), kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis).
Berbagai jenis kupu-kupu, kalong (satwa mamalia), dan biawak (satwa reptil).
3) Ekosistem yang khas yaitu ekosistem lamun dan ekosistem mangrove.
4) Potensi fisik berupa perkebunan kelapa, perkebunan singkong, perkebunan
jambu mete, bekas Benteng Katiama, sumber mata air, hutan bambu, hutan
adat (Sara), situs keramat (Laudina), lokasi budidaya rumput laut, pesisir
pantai putih Kolowowa dan pemandangan laut, situs sejarah (Batu Banakawa),
melihat aktivitas masyarakat Desa Kabita dan Desa Kapota yang sedang
membuat kerajinan jalajah, menenun kain leja, membuat kasuami, dan
kegiatan meti-meti.
73

Gambar 47 Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Banakawa.
74

5.2.5 Jalur SPKP- Hutan Sara


Jalur SPKP- Hutan Sara merupakan jalur yang biasa digunakan oleh
masyarakat menuju ke hutan adat (Sara) untuk mencari kayu bakar dan jalur ini
juga biasa digunakan oleh masyarakat untuk menuju lokasi budidaya rumput laut
di Pantai Kolowowa. Kelebihan jalur ini dari jalur lainnya adalah terdapatnya
objek menarik yaitu satwa burung. Berbagai jenis satwa burung lebih banyak
ditemukan pada jalur ini sehingga jalur berpotensi untuk dikembangkan sebagai
jalur interpretasi satwa burung. Posisi/letak jalur berada di bagian utara sampai
barat Pulau Kapota. Jarak antara SPKP menuju ke Hutan Sara ± 4000 m. Jalur
berupa jalan yang sudah diperkeras dengan semen, lebarnya kurang lebih 1-1,5 m.
Jalur ini dapat dilewati kendaraan motor sampai pada jarak 3000 m dengan waktu
±15 menit kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 1000 m dengan
waktu tempuh sekitar ± 30 menit.
Kondisi fisik jalur saat ini untuk menuju ke Hutan Sara aman untuk
dilewati meskipun harus sedikit hati-hati ketika musim hujan. Belum ada potensi
permasalahan fisik yang dihadapi pada jalur karena jalan yang berada di Hutan
Sara merupakan jalan yang baru dibangun tetapi akan bermasalah ketika jalur
dilewati kendaraan motor dengan intensitas yang tinggi. Rute dan kondisi jalur
yang akan ditempuh menuju ke Hutan Sara disajikan pada tabel 10.
Tabel 10 Rute jalur dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Hutan Sara
Jarak Jarak Keterangan
No. Rute
tempuh akumulasi Kondisi Jalur
1. SPKP - Danau 940 m Jalannya datar, jalan berupa semen, pasir,
Tailaro Nto‟oge 2200 m dan bebatuan karang yang masih alami
dengan lebar ± 1-1,5 m dan di bebatuan
karang kondisinya sedikit licin di musim
hujan
2. Danau Tailaro 3100 m 3100 m Jalannya datar, jalan berupa semen dengan
Nto‟oge - Hutan Sara lebar ± 1-1,5 m
(Pos 1)
3. Hutan Sara (Pos 1) - 500 m 3600 m Jalannya datar, jalur merupakan jalan
Ekosistem mangrove setapak dari tanah dengan lebar ± 1-1,5 m
4. Ekosistem mangrove 300 m 3900 m Jalannya datar, jalan berupa pasir karena
-Oguu Lonto melewati pesisir pantai
Naakano
4. Oguu Lonto 100 m 4000 m Jalannya datar, jalan berupa pasir karena
Naakano-Aktivitas melewati pesisir pantai
budidaya rumput laut
75

Objek dan daya tarik wisata yang dapat dijumpai pada jalur SPKP- Hutan Sara
yaitu :
1) Berbagai flora diantaranya bambu (Bamboo sp.), beringin (Ficus benyamina),
dan kelapa (Cocos nucifera).
2) Fauna yang dapat dijumpai yaitu burung, mamalia, reptil, dan kupu-kupu.
Burung yang dijumpai seperti tiong lampu biasa (Eurystomus orientalis),
tekukur biasa (Streptopelia tranguebarica), wallet sapi (Collocalia esculenta),
pergam kepala kelabu (Ducula radiata), kepudang kuduk hitam (Oriolus
chinensis), cabai gunung (Dicaeum sanguinolentum), gajahan timur (Numenius
madagascariensis), pecuk padi hitam ( Phalacrocorax sulcirostris), dan walik
molomoti ( Ptilinopus subgularis). Berbagai jenis kupu-kupu, kalong (satwa
mamalia), dan biawak (satwa reptil).
3) Ekosistem yang khas yaitu ekosistem mangrove.
4) Potensi fisik berupa kondisi Hutan Sara dan pengetahuan mengenai aturan-
aturan adat yang berlaku di hutan ini, danau, pesisir pantai putih dan
pemandangan lautnya, melihat aktivitas masyarakat mencari kayu bakar, dan
budidaya rumput laut.
76

Gambar 48 Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Hutan Sara.
77

5.2.6 Jalur Hutan Sara- Saru’sarua


Jalur Hutan Sara- Saru‟sarua merupakan jalur rintisan saat penelitian yang
digunakan untuk menuju ke situs yang dikeramatkan di Pulau Kapota. Biasanya
untuk menuju ke lokasi ini masyarakat melewati pesisir pantai pada saat air laut
sedang surut. Kelebihan jalur ini dari jalur lainnya adalah terdapatnya objek
berupa situs yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat yaitu Saru‟sarua, sampai
saat ini situs tersebut masih banyak dikunjungi oleh masyarakat. Posisi/letak jalur
berada di bagian utara Pulau Kapota. Jarak antara Hutan Sara menuju ke
Saru‟sarua ± 2500 m. Jalur ini secara umum melewati bagian tepi Pulau Kapota.
Jalurnya berupa jalan setapak yang masih alami yaitu pasir dan batuan karang
dengan lebar ± 1-1,5 m. Jalur ini dimulai dari persimpangan jalan menuju Hutan
Sara dan hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama ± 2 jam perjalanan.
Jalur yang akan dilewati lurus mengikuti pesisir pantai.
Kondisi fisik jalur menuju ke Saru‟sarua, kurang aman jika melewati
bebatuan karang yang masih alami terutama di musim hujan karena jalan menjadi
sangat licin. Permukaan bebatuan ini juga memiliki bagian-bagian yang runcing
sehingga harus menggunakan alas kaki yang cukup tebal. Selain itu, diantara
bebatuan tersebut terdapat rongga-rongga yang cukup besar sehingga harus sangat
hati-hati dalam melangkah. Kondisi ini tentunya sangat menarik bagi pengunjung
yang menyukai tantangan, tetapi jika pengunjung tidak menyukai kondisi ini
sebaiknya jalur ditempuh dengan melewati pesisir pantai dan waktu yang tepat
adalah saat air laut sedang surut atau dalam bahasa kapota dikenal dengan kente.

a. b.
Gambar 49 Kondisi jalur Hutan Sara-Saru‟sarua: a. Jalur berpasir, b. Jalur di atas
batuan karang.
78

Jalur ini belum ada pembenahan sama sekali karena memang masih alami
dan merupakan jalur rintisan sehingga belum terdapat potensi permasalahan fisik
yang dihadapi. Rute jalur yang akan ditempuh menuju ke Hutan Sara disajikan
pada tabel 11.
Tabel 11 Rute jalur yang akan ditempuh menuju Saru‟sarua
Jarak Jarak
No. Rute Keterangan
tempuh akumulasi
1. Simpang Jalan Hutan 400 m 400 m Jalannya datar, jalan berupa
Sara-Watu Ndengudengu kombinasi pasir dan bebatuan karang
dengan lebar yang tidak ditentukan
dan licin di musim hujan
2. Watu Ndengudengu - 400 m 800 m Jalannya datar, jalan berupa
Batu Karang Umala kombinasi pasir dan bebatuan karang
dengan lebar yang tidak ditentukan
dan licin di musim hujan
3. Batu Karang Umala – 160 m 960 m Jalannya datar, jalan berupa
Sarua‟sarua kombinasi pasir dan bebatuan karang
dengan lebar yang tidak ditentukan
dan licin di musim hujan

Objek dan daya tarik wisata yang dapat dijumpai pada jalur Hutan Sara-
Saru‟sarua yaitu :
1) Flora diantaranya bayur (Pterospermum javanicum), beringin (Ficus
benyamina), jeruk nipis (Anacardium ocidentale), daun kelor (Moringa
oleifera), kapuk randu (Ceiba petandra), dan jenis tumbuhan mangrove
seperti Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus granatum, Pandanus tectorius,
Ipomoea pes-caprae dan Terminalia catappa.
2) Fauna yang dapat dijumpai yaitu burung, mamalia, reptil, dan kupu-kupu.
Burung yang dijumpai seperti cekakak sungai (Halcyon chloris), kokokan laut
(Butorides striatus), wallet sapi (Collocalia esculenta), tekukur biasa (Streptopelia
tranguebarica), kepudang sungu kerdil (Coracina abbotti), dan kepudang kuduk
hitam (Oriolus chinensis). Berbagai jenis kupu-kupu, salah satunya dari famili
Nymphalidae.
3) Ekosistem yang khas yaitu ekosistem mangrove.
4) Potensi fisik yang dapat dilihat berupa perkebunan kelapa, tempat yang
dikeramatkan (Watu ndengu-ndengu, dan Saru’sarua), pantai berpasir dan
pemandangan lautnya, melihat aktivitas masyarakat yang sedang meti-meti.
79

Gambar 50 Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur Hutan Sara-Saru‟sarua.
122

5.2.7 Jalur Pelabuhan Jonson – Kapota Reef


Jalur menuju ke Karang Kapota (Kapota Reef) merupakan jalur aquatik
yang biasa digunakan oleh staf taman nasional saat melakukan monitoring dan
observasi sumberdaya Perairan Kapota. Biasanya alat transportasi yang biasa
digunakan untuk mencapai lokasi ini adalah Speadboat. Namun berdasarkan
wawancara dengan pengelola, perahu lokal (Jonson) juga dapat digunakan untuk
mencapai lokasi tersebut. Posisi/letak Karang Kapota berada di sebelah selatan
Pulau Kapota atau pada titik y (-5.533) dan x (123.450).
Waktu yang diperlukan untuk mencapai Karang Kapota tergantung pada
jenis transportasi yang digunakan dan kondisi cuaca. Jika menggunakan
speedboat pada saat cuaca buruk (berombak), membutuhkan waktu sekitar 60
menit sedangkan saat cuaca baik (tidak berombak) bisa ditempuh dalam waktu 30
menit. Apabila menggunakan perahu jonson, waktu tempuh dipengaruhi oleh
kondisi cuaca dan jumlah muatan. Jika cuaca buruk, lokasi tersebut dicapai dalam
waktu sekitar 90 menit sedangkan jika cuaca baik dapat dicapai dengan waktu 45
menit.
Jalur Pelabuhan Jonson – Kapota Reef merupakan jalur khusus yang
digunakan untuk mencapai objek dan daya tarik wisata perairan yang terletak di
Zona Pariwisata Karang Kapota. Untuk melihat objek-objek tersebut pengunjung
harus menyelam (diving), diving adalah kegiatan menyelam dengan menggunakan
peralatan yang lengkap seperti tabung oksigen, masker, pakaian selam, snorkel,
kaki katak, dll. Berdasarkan hasil penelitian Hastomo (2009), di Karang Kapota
terdapat satu titik lokasi penyelaman yaitu di posisi 05°35”40.0‟S, 123°28”20.0‟E.
Titik ini memiliki kedalaman 3-25 m dengan arus yang tenang sampai kuat.
Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, di Perairan Kapota
terdapat satu titik lokasi penyelaman lagi yaitu di posisi 05°33”02.9‟S,
123°29”87.5‟E. Waktu terbaik untuk menyelam adalah pada pukul 07.00-17.00
Wita, pada bulan April-Juni dan bulan Desember-Februari. Pada bulan-bulan ini
kondisi cuacanya relatif cerah dan kondisi arusnya tidak keras. Selain itu kondisi
perairan juga cukup jernih, dimana tingkat kejernihannya dapat mencapai
kedalaman ±20m sehingga penyelaman terbaik dapat dilakukan pada bulan
tersebut.
123

Hastomo (2009) menjelaskan dalam penelitiannya, bahwa di titik lokasi


penyelaman (05°35”40.0‟S, 123°28”20.0‟E) ini biota laut yang dapat dijumpai
dintaranya adalah ikan hiu white tip (Triaenodon obesus) dan napoleon (Cheilinus
undulatus). Spesies ini merupakan spesies yang telah dilindungi dengan kategori
endangered dalam Red List IUCN dan termasuk Apendiks II dalam CITES. Biota
laut lainnya yang menarik dan dapat dijumpai di titik ini adalah jenis dari famili
Lutjanidae, Serranidae, dan Carangidae. Sedangkan tipe karang yang dapat
dijumpai di titik ini adalah atol dengan pinnacle wall (dinding) dan steep slope.

5.3 Sarana dan Prasarana Pendukung Interpretasi


Mengingat Pulau Kapota merupakan salah satu lokasi kegiatan ekowisata
yang baru dikembangkan, maka sarana dan prasarana wisata di Pulau Kapota
masih sangat minim dan umumnya bukan sarana dan prasarana interpretasi. Hasil
pengamatan ke tujuh jalur yang berpotensi dikembangkan sebagai jalur
interpretasi, tidak dijumpai fasilitas/ sarana dan prasarana wisata yang dapat
mendukung kegiatan interpretasi. Sarana dan prasarana wisata yang telah tersedia
saat ini adalah pusat informasi, warung/kios dan homestay. Pusat informasi untuk
sementara masih menggunakan sekretariat SPKP Banakawa yang letaknya
berdekatan dengan kantor Balai Desa Kapota. Warung/kios yang sudah ada
merupakan kios-kios milik warga yang sangat diandalkan oleh masyarakat
setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena Pulau Kapota tidak
memiliki pasar tradisional.
Penginapan/homestay yang ada sekarang merupakan perumahan
masyarakat yang sudah cukup nyaman untuk ditempati. Homestay umumnya
memberikan pelayanan akomodasi, kenyamanan tinggal, dan konsumsi kepada
pengunjung. Berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa homestay yang ada
saat ini letak/posisinya berada ditempat yang kurang strategis seperti dekat dengan
lokasi kuburan, dan kamar yang disediakan letaknya dekat dengan kamar
keluarga. Biasanya hal-hal kecil seperti ini merupakan ketidaknyamanan tersendiri
bagi pengunjung. Akan tetapi di tempat penginapan tersebut sudah tersedia
fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh pengunjung (Tabel 12).
124

Tabel 12 Rumah penginapan yang sudah tersedia di Pulau Kapota


No. Pemilik Fasilitas Keterangan
1 Ratna kamar 1, TV, Kipas angin, tempat duduk, Kondisinya kurang bersih*
lantainya keramik, WC, kamar mandi
2 Wa Ode Kamar 1, WC, tempat memasak, TV, Kondisinya bersih, kamar
Musiah lantai keramik, dapur dengan kompor, mandi juga bersih*
kursi, kamar mandi
3 Astuti 2 kamar, WC, lantai keramik, dapur, Bersih, luas dan nyaman*
kamar mandi
4 Liya Kamar 2, WC, TV, lantai keramik, ada Bersih, luas dan nyaman*
tempat duduk
5 Diana 1 kamar , kamar mandi , wc Tidak ada pintu kamar, pintu
ditutupi dengan sebuah kain,
letak kamar bersebelahan
dengan kamar keluarga*
6 Tari 3 kamar, wc, kamar mandi, tempat Bisa menampung banyak
memasak, tempat duduk orang*
7 Nurfiyanti 2 kamar, lantai keramik, wc, kamar mandi Kondisinya bersih, kamar di
lantai atas hanya cukup untuk 2
orang *
Keteranga * Harga homestay belum ditetapkan

5.4 Pengunjung Taman Nasional Wakatobi


Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu kawasan yang menjadi tujuan
wisata di Indonesia bagian timur yang banyak diminati oleh pengunjung, baik
pengunjung dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini terbukti dari jumlah
pengunjung yang datang ke TNW. Tercatat dari awal ditetapkannya Kepulauan
Wakatobi sebagai taman nasional pada tahun 1996 sampai tahun 2009, jumlah
pengunjungnya telah mencapai ±8.349 orang (Balai TNW 2009). Dari data
tersebut, ternyata jumlah pengunjung taman nasional didominasi oleh pengunjung
luar negeri yaitu sebanyak 7.730 orang, sedangkan dalam negeri hanya 619 orang
(Gambar 51).
1600

1400

1200

1000

800 Dalam Negeri


600 Luar Negeri

400

200

0
1996 1997 1998 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Gambar 51 Jumlah pengunjung Taman Nasional Wakatobi tahun 1996-2009.


125

Operation Wallacea dan Wakatobi Dive Resort merupakan pengelola


ekowisata yang berada di dalam kawasan taman nasional. Pengelolaan ekowisata
oleh Operation Wallacea, pelaksanaannya berada di Pulau Hoga dengan tujuan
utamanya untuk pendidikan, dan penelitian. Sedangkan Pengelolaan ekowisata
oleh Wakatobi Dive Resort, pelaksanaannya berada di Pulau Tomia. Wakatobi
Dive Resort dikelola oleh pengusaha dari Swiss dengan tujuan utamanya sebagai
tempat rekreasi. Oleh karena itu, berdasarkan data pengunjung Balai TNW tahun
2009, sebagian besar pengunjung datang ke Wakatobi paling banyak dengan
tujuan rekreasi dan penelitian (Gambar 52). Pengunjung luar negeri yang datang
dengan tujuan rekreasi sebanyak 5.044, sedangkan pengunjung dalam negeri
dengan tujuan yang sama sebanyak 256 orang. Untuk tujuan penelitian,
pengunjung luar negeri sebanyak 2.592 orang, sedangkan pengunjung dalam
negeri sebanyak 212 orang (Balai TNW 2009).
6000
5044 Rekreasi
5000 Penelitian
4000 Lainnya

3000 2592

2000
1000 256 212 151 104
0
Dalam Negeri Luar Negeri

Gambar 52 Tujuan kunjungan wisata Taman Nasional Wakatobi.


Pulau Kapota merupakan pulau yang baru direncanakan untuk
dikembangkan sebagai daerah tujuan ekowisata di dalam kawasan TNW. Potensi
berbagai objek dan daya tarik wisata di Pulau inilah yang menjadi salah satu
alasan rencana pengembangannya. Walaupun kegiatan pengelolaan belum
dijalankan, tetapi sudah banyak masyarakat yang berkunjung ke Pulau Kapota
baik dari dalam negeri (Kabupaten Wakatobi maupun luar kabupaten) dan luar
negeri.
Hasil observasi, dijumpai 30 pengunjung yang sengaja datang ke Pulau
Kapota. Pengunjung tersebut didominasi oleh pengunjung dalam negeri yaitu
sebanyak 93,33% dan sisanya adalah pengunjung luar negeri (Tabel 13). Namun
dari seluruh pengunjung tersebut tidak semuanya mengetahui Pulau Kapota
126

berada dalam kawasan TNW. Pengunjung yang mengetahui bahwa Pulau Kapota
berada di dalam kawasan taman nasional sebanyak 75% dan 25% tidak
mengetahui.
Pengunjung yang dijumpai di Pulau Kapota berkisar antara umur 17-31
tahun. Selanjutnya kelompok umur tersebut dianalisis berdasarkan Kelompok
Umur (KU) menurut Heriyaningtiyas (2009) yang membagi kelompok umur
tersebut menjadi empat, yaitu KU 1 (anak-anak dengan usia 9-14 tahun), KU 2
(remaja dengan usia 15-24 tahun), KU 3 (dewasa muda dengan usia 25-50 tahun),
dan KU 4 (dewasa tua dengan usia >50 tahun). Dari jumlah pengunjung yang
dijumpai di Pulau Kapota, pengunjung tersebut di dominasi oleh KU 2 yaitu
sebanyak 53.33% dan KU 3 sebanyak 46.67%. Untuk tingkat pendidikan
didominasi oleh SMA dan Perguruan Tinggi, sehingga profesi/pekerjaan
pengunjung juga didominasi oleh pelajar dan mahasiswa (Tabel 13)
Tabel 13 Karakteristik responden pengunjung
No. Karakteristik Persentase*
1 Jenis kelamin
a. Perempuan 43.33%
b. Laki-laki 56.67%
2 Asal
a. Dalam negeri
- Luar Kabupaten Wakatobi 46.67%
- Dalam Kabupaten Wakatobi 46.66%
b. Luar negeri 6.67%
3 Tingkat pendidikan
a. SD (Sekolah Dasar) 6.67%
b. SMP (Sekolah Menengah Pertama) 3.33%
c. SMA (Sekolah Menengah Atas) 40.00%
d. PT (Perguruan tinggi) 50.00%
4 Profesi/Pekerjaan
a. Pelajar/Mahasiswa 40.00%
b. Wiraswasta 13.33%
c. PNS 26.67%
d. Peneliti 10.00%
e. Tidak bekerja 10.00%
5 Kelompok umur
a. KU 1 (9-14 tahun) -
b. KU 2 (15-24 tahun) 53.33%
c. KU 3 (25-50 tahun) 46.67%
d. KU 4 (>50 tahun) -
Keterangan: *Jumlah total persentase setiap nomor adalah 100%
Hasil analisis pengunjung berdasarkan tujuan kunjungan ke Pulau Kapota,
terdapat sebanyak 60% pengunjung bertujuan untuk berwisata budaya, 10%
pengunjung untuk snorkling dan diving, serta 17% pengunjung untuk menikmati
127

pemandangan alam dan fenomena alam. Sedangkan sisanya masing-masing 7%


pengunjung melakukan penelitian dan melihat peninggalan sejarah (Gambar 53).
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pengunjung yang datang ke
Pulau Kapota lebih menyukai pesta budaya, menikmati pemandangan alam,
fenomena alam, kegiatan snorkling dan diving.

Wisata Budaya
7% 7%
10% Menikmati Pemandangan dan Fenomena
60% Alam
17% Snorkling dan Diving

Wisata Sejarah

Gambar 53 Diagram tujuan pengunjung datang ke Pulau Kapota.


Pengunjung yang datang dengan tujuan kunjungan tersebut, setelah berada
di Pulau Kapota ternyata mereka tertarik dengan objek-objek lainnya. Sebagian
besar pengunjung yang berhasil diwawancarai mengakui pesta budaya merupakan
objek yang paling menarik di Pulau Kapota, yang mengatakan sangat tertarik
sebanyak 60% (Gambar 54). Hal ini karena pesta budaya tersebut merupakan
atraksi yang sangat unik di Kabupaten Wakatobi, terlebih lagi terdapat beberapa
pesta budaya yang hanya dilaksanakan 4-5 tahun sekali.

Pesta Budaya
6%
17%
Ekosistem bawah laut

17% 60% Pemandangan dan Fenomena Alam

Peninggalan Sejarah

Gambar 54 Diagram sumberdaya kawasan yang paling menarik menurut


pengunjung.

5.5 Sumberdaya Manusia yang Mengelola Kegiatan Wisata Pulau Kapota


Rencana pengelolaan ekowisata di Pulau Kapota saat ini telah melibatkan
masyarakat secara langsung. Masyarakat yang ingin secara langsung terlibat
dalam pengelolaan tersebut harus berada di bawah suatu lembaga resmi yang di
bentuk oleh TNW yaitu Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan Banakawa
128

(SPKP Banakawa). SPKP Banakawa merupakan salah satu bentuk kegiatan


pemberdayaan masyarakat oleh taman nasional melalui program Model Desa
Konservasi (MDK). Program MDK dilaksanakan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan menjadikan kawasan konservasi benar-benar dapat
memberikan manfaat yang nyata. Selain itu, juga bertujuan untuk mengajak
masyarakat berperan aktif dalam menerapkan ide-ide konservasi yang di usung
oleh taman nasional.
Lembaga pengelola SPKP Banakawa di Pulau Kapota masih tergolong
baru dan para pengelolanya juga baru dibentuk pada tahun 2009. Berikut adalah
struktur organisasi SPKP Banakawa Periode I (Gambar 55).

STRUKTUR ORGANISASI SPKP BANAKAWA


Desa Kapota Kecamatan Wangi-wangi Selatan Kabupaten Wakatobi
Tahun 2009/2010

Dewan Pembina SPKP Ketua SPKP


1. Kepala Balai TNW Suhaeri
2. Kepala Seksi Balai TNW Wilayah I
3. Kepala Desa Kapota
4. Kepala Pospol Kapota
5. Lembaga adat Kapota
6. Ketua BDP Kapota
7. Para Kepala Dusun Desa Kapota Sekretaris Bendahara
8. Fasilitator Balai TNW Adrianto Masliana

Bidang Konservasi Bidang Pengembangan Bidang Pemberdayaan Bidang Penguatan


dan Wisata Alam Usaha dan Modal Perempuan Kapasitas
Koord. Jaerudin Koord. Satron Koord. Sahila Koord. La Maniha

Gambar 55 Struktur organisasi SPKP Banakawa di Pulau Kapota.


Interpretasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk membantu
pengunjung agar kunjungannya lebih menyenangkan dan lebih kaya akan
pengalaman, dengan cara meningkatkan kesadaran, penghargaan dan pengertian
akan kawasan rekreasi yang dikunjungi (Dirjen PHPA 1998). Selain itu
interpretasi juga dapat membantu pengunjung memanfaatkan waktunya secara
efisien. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengelola berkompeten yang
dapat bertindak sebagai interpreter. Hal ini dikarenakan pelayanan interpretasi
129

harus dengan menyampaikan tentang sebuah cerita tertentu dengan proporsional,


artinya tidak berlebihan tetapi juga tidak asal saja, tentang ekosistem atau
peninggalan-peninggalan sejarah/budaya (Muntasib dan Rachmawati 2009).
Kualitas tenaga pemadu wisata (interpreter) sangat menentukan program
interpretasi yang diselenggarakan. Menurut Dirjen PHPA (1988) seorang
pemandu wisata alam minimal memiliki kemampuan menguasai ilmu tertentu
yang berkaitan dengan objek, menguasai pengetahuan berkomunikasi dengan
baik, serta mengetahui cara-cara menyampaikan interpretasi dengan benar.
Kenyataan yang dilihat di lapangan, sebagian besar masyarakat yang tergabung
dalam SPKP belum memenuhi standar sebagai seorang interpreter, hanya
beberapa orang saja yang sudah memiliki kemampuan tersebut. Anggota SPKP
yang benar-benar ditugaskan sebagai interpreter, jumlahnya belum ditetapkan.
Pemandu yang biasanya melayani pengunjung yang datang ke Pulau
Kapota untuk saat ini adalah staf dari taman nasional sebanyak 2 orang, volunteer
dari Kelompok Pecinta Alam (KPA Wangi-wangi) sebanyak 2 orang, dan dari
anggota SPKP sebanyak 2-3 orang. Harapan taman nasional kedepannya, SPKP
dapat mengelola wisata Pulau Kapota dengan baik, dan masyarakat yang ikut
terlibat dalam lembaga tersebut mampu menjadi seorang pemandu yang
berkompeten. Sehingga pelayanan yang diberikan kepada pengunjung nantinya
dapat memuaskan.

5.6 Arah Pengembangan Kawasan Pulau Kapota


Arah pengembangan pengelolaan kawasan Pulau Kapota, berdasarkan
hasil wawancara dengan pengelola adalah mengembangkan kegiatan wisata
budaya dan wisata alam. Dasar dari arah pengembangan tersebut adalah untuk
menjaga kelestarian seni dan budaya di daerah setempat dan memanfaatkan
potensi sumberdaya kawasan secara optimal. Untuk secara pasti, arah
pengembangan tersebut belum disusun dalam suatu program sehingga baru
sebatas dalam perencanaan pengelola yang ingin dilakukan. Berdasarkan arah
pengembangan tersebut maka dalam penyusunan program interpretasi ini juga
mengarah pada kegiatan yang diinginkan pengelola yaitu wisata budaya dan
wisata alam.
130

5.7 Perencanaan Jalur Interpretasi Alam di Pulau Kapota


Perencanaan jalur interpretasi didasarkan pada hasil pengamatan selama di
lapangan, hasil analisis potensi objek dan daya tarik wisata, potensi jalur,
pengunjung, pengelola, dan ketersediaan sarana prasarana yang dapat mendukung
kegiatan interpretasi. Berdasarkan hasil analisis tersebut terdapat 6 jalur yang
direncanakan sebagai jalur interpretasi, yaitu Jalur Interpretasi Pantai Aowolio,
Jalur Interpretasi Goa Kelelawar, Jalur Interpretasi Togo Molengo, Jalur
Interpretasi Hutan Sara, Jalur Interpretasi Batu Banakawa, dan Jalur Interpretasi
Kapota Reff. Interpretasi yang akan dilaksanakan pada jalur merupakan
interpretasi untuk kegiatan pendidikan, penelitian dan rekreasi. Hal ini dilihat dari
tujuan pengunjung datang ke TNW dan pengunjung yang datang ke Pulau Kapota.

5.7.1 Jalur Interpretasi Pantai Aowolio


Pemilihan Jalur Interpretasi Pantai Aowolio didasarkan pada kondisi fisik
jalur aman dilewati pengunjung dan memiliki aksesibilitas yang mudah. Memiliki
rentang jarak tempuh yang dapat diakses oleh pengunjung, yaitu ± 2900 m
sehingga penyampaian informasi dapat tepat sasaran. Sasaran interpretasi pada
jalur ini ditujukan untuk pengunjung usia remaja (15-24 tahun) atau setingkat
siswa SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Tema yang diangkat adalah “Mengenal
Potensi Sumberdaya Alam Pulau Kapota dan Mendukung Gerakan Konservasi
Laut Taman Nasional Wakatobi”. Tujuan pembuatan Jalur Interpretasi Pantai
Aowolio adalah untuk menumbuhkan sikap mencintai lingkungan dan ikut serta
dalam memelihara kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi. Posisi/letak
jalur tersebut berada di sisi bagian selatan Pulau Kapota (Gambar 56).
Objek utama yang dijadikan sebagai objek interpretasi di jalur ini dipilih
berdasarkan tema yang diangkat pada jalur yaitu untuk mengenal potensi
sumberdaya alam Pulau Kapota seperti flora, fauna, ekosistem yang memiliki
kekhasan tertentu, dan daya tarik alam lainnya sehingga diharapkan pengunjung
dapat ikut serta dalam memelihara kondisi kawasan Pulau Kapota dan sekitarnya.
Objek-objek yang dapat diinterpretasikan pada jalur ini dapat dilihat pada tabel
14.
131

Tabel 14 Objek utama di Jalur Interpretasi Pantai Aowolio


No. Objek Utama Keterangan
1. Sekretariat SPKP Sekretariat SPKP merupakan kantor pusat informasi yang terletak
disebelah kiri jalur, titik awal jalur menuju Pantai Aowolio.
2. Pelabuhan Jonson Pelabuhan sederhana di Pulau Kapota yang terletak ± 25 m dari
SPKP. Di pelabuhan ini dapat dinikmati pemandangan laut yang
indah di pagi dan sore hari, selain itu air lautnya sangat bersih
sehingga ikan karang dapat terlihat dengan jelas.
3. Burung pantai Di pesisir pantai yang jaraknya 650 m dari pelabuhan, pengunjung
dapat menikmati atraksi beberapa jenis burung air yang sedang
mencari ikan-ikan karang, berebutan makanan, dan perilaku
lainnya yang menarik, terutama saat terjadinya kente (air laut
sedang surut).
4. Lokasi penanaman Berada di pesisir pantai yang letaknya ± 350 m dari pelabuhan.
mangrove Di lokasi penanaman mangrove ini pengunjung dapat diajak untuk
ikut berpartisipasi menanam satu pohon mangrove dan
menjelaskan pentingnya tumbuhan mangrove ditanam di lokasi
tersebut serta manfaat dari ekosistem mangrove.
5. Pohon beringin Pohon beringin yang diinterpretasikan berada disebelah kanan
jalur atau berada di HM ke 3 dan ke 4
6. Perkebunan jambu Perkebunan ini dapat dijumpai disepanjang jalur menuju pantai
mete dan singkong Aowolio (Gambar 56). Tanaman ini dapat diinterpretasikan
mengenai keunikan dan manfaatnya seperti jambu mete yang
memiliki bentuk buah yang unik, dimana biji dimanfaatkan
sebagai makanan dan daunnya sebagai obat. Sedangkan singkong
memiliki buah yang dimanfaatkan sebagai makanan pokok
masyarakat Wakatobi atau lebih dikenal dengan nama kasuami
dan daunnyadimanfaatkan sebagai sayuran.
7. Burung Beberapa jenis burung juga dapat diinterpretasikan. Jenis-jenis
yang diinterpretasikan merupakan jenis yang tidak sengaja
dijumpai pada jalur .
8. Pantai Aowolio Pantai Aowolio berada ± 2260 m dari lokasi penanaman
mangrove, di lokasi ini pengunjung dapat melihat pemandangan
laut yang menarik, memberi kenyamanan, dan kesejukkan di
antara batang-batang kelapa yang terdapat di lokasi tersebut.
Sambil menikmati kondisi pantai yang indah, pengunjung juga
disuguhkan kembali dengan atraksi beberapa jenis burung
sehingga menambah daya tarik pantai ini.
9. Batu Sahu’u Batu karang ini memiliki bentuk fisik yang unik dan berada di
tengah-tengah pesisir pantai. Rentang jarak tempuh dari titik awal
memasuki lokasi pantai menuju ke Batu Sahu‟u ±125 m.
10. Kegiatan meti-meti Apabila berada di Pantai Aowolio pada saat air laut sedang surut
(kente), pengunjung dapat diikutsertakan melakukan kegiatan
meti-meti. Kegiatan ini merupakan kegiatan sehari-hari
masyarakat mencari biota laut. Kegiatan ini juga dapat
mendukung gerakan konservasi karena mereka menangkap biota-
biota laut tersebut dengan menggunakan alat tangkap tradisional
sehingga tidak merusak ekosistem laut. Selain
menginterpretasikan manfaat kegiatan tersebut dari sudut
pandang konservasi juga dapat diinterpretasi jenis-jenis kerang
atau biota laut lainnya yang dicari dalam kegiatan meti-meti.
132

Gambar 56 Peta jalur interpertasi pantai Aowolio.


133

Fasilitas pendukung interpretasi yang direncanakan pada jalur ini yaitu pal
jarak, papan interpretasi, papan penunjuk arah, dan shelter. Pal jarak berada di
posisi kanan jalur dan diletakkan di setiap 100 m. Jika pal jarak mulai diletakkan
pada jalur yang berdekatan dengan lokasi pesisir pantai dan diakhiri di Pantai
Aowolio (±1700 m), maka kebutuhan pal jarak di jalur ini adalah sekitar ±17
buah. Papan interpretasi merupakan papan yang memberikan informasi khusus
mengenai objek interpretasi dalam bentuk papan, banyaknya papan interpretasi
yang dibutuhkan pada jalur yaitu sekitar ± 3 buah.
Papan penunjuk arah merupakan fasilitas yang sangat diperlukan, terutama
bila pengunjung tidak didampingi oleh pemandu. Banyaknya papan penunjuk arah
yang dibutuhkan yaitu ± 4 buah. Papan penunjuk arah ini harus berada pada posisi
yang mudah untuk dilihat dan dipahami oleh pengunjung. Shelter atau tempat
beristirahat yang akan dibangun yaitu sebanyak 2 buah. Pembangunan shelter
akan sangat penting adanya, karena jalur ini memili jarak tempuh yang cukup
melelahkan. Contoh desain fasilitas tersebut dapat dilihat pada lampiran 7.
Pola alur setapak untuk interpretasi di jalur ini yaitu berada pada satu
tempat, dimana arah pintu masuk dan pintu keluarnya sama (satu pintu dengan
dua alur) seperti terlihat pada gambar 57.

Pintu Masuk 1 Pintu


Pintu Keluar A B C 2 alur

Keterangan

A Objek Interpretasi

Alur setapak
Arah alur masuk untuk interpretasi
Arah alur balik untuk interpretasi

Gambar 57 Pola alur setapak untuk interpretasi di Jalur Interpretasi Pantai


Aowolio.

Contoh Program Interpretasi


Program interpretasi yang diusulkan pada Jalur Interpretasi Pantai
Aowolio disesuaikan dengan karakteristik pengunjung yang sengaja datang ke
lokasi Pantai Aowolio, dalam hal ini adalah kelompok umur pengunjung. Selain
134

itu program interpretasi juga disesuaikan dengan objek-objek utama yang


dijadikan sebagai objek interpretasi dan kegiatan yang paling disukai pengunjung
di lokasi ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka program kegiatan
interpretasi yang diusulkan pada jalur ini adalah kemah konservasi dan kegiatan
snorkling. Tema yang diangkat adalah “Eksplorasi Biodiversitas Pulau Kapota
dan Sekitarnya”. Tujuan kegiatan ini adalah agar pengunjung dapat berinteraksi
langsung dengan sumberdaya alam yang terdapat di Pulau Kapota dan merupakan
salah satu kegiatan yang dapat mendukung kegiatan pendidikan lingkungan.
Kelompok sasaran interpretasi sama halnya dengan kelompok sasaran jalur
interpretasi yaitu kelompok pengunjung dengan usia remaja (15-24 tahun).
Kegiatan dapat dilaksanakan selama 2-3 hari. Perkiraan jumlah sasaran
interpretasi dalam program ini sekitar 50-60 orang, dan dalam pelaksanaan
kegiatannya dibagi lagi menjadi kelompok-kelompok kecil sebanyak 5-10 orang.
Materi interpretasi yang perlu disiapkan sebelum pelaksanaan kegiatan dapat
dilihat pada tabel 15.
Tabel 15 Materi interpretasi yang perlu disiapkan untuk kegiatan interpretasi
No. Bentuk Kegiatan Materi yang Perlu Disiapkan
1 Kemah Konservasi a. Pengenalan konsep konservasi alam
b. Pengenalan Taman Nasional Wakatobi sebagai kawasan
pelestarian alam
c. Pengenalan 8 sumberdaya penting target pengelolaan
Taman Nasional Wakatobi yaitu terumbu karang, lamun,
mangrove, daerah penijahan ikan (SPAGs), pantai
peneluran penyu, ikan ekonomis penting, daerah lintasa
paus dan lumba-lumba (Cetacean), tempat bertelur burung
pantai.
d. Menjelaskan masing-masing target pengelolaan tersebut
2. Snorkling a. Pengenalan peraturan dan tata tertib dalam melakukan
snorkling
b. Pengenalan alat untuk melakukan snorkling, fungsi, dan
cara penggunaan alat tersebut
c. Pengenalan jenis-jenis lamun dan jenis terumbu karang
yang dapat dijumpai saat snorkling
d. Pengenalan jenis biota laut yang dapat di dijumpai saat
snorkling dan jenis-jenis berbahaya yang harus dihindari
(tidak boleh dipegang atau didekati) seperti ikan scorpion.

5.7.2 Jalur Interpretasi Goa Kelelawar


Jalur Interpretasi Goa Kelelawar sebenarnya dikembangkan khusus untuk
interpretasi goa. Jalur ini juga memiliki kondisi fisik yang aman untuk dilewati
oleh pengunjung. Aksesibilitasnya juga mudah karena memiliki rentang jarak
135

tempuh yang tidak panjang yaitu ± 1100 m dari pesisir pantai yang menjadi titik
awal jalur tersebut. Sasaran interpretasi pada jalur ini ditujukan untuk pengunjung
usia remaja (15-24 tahun) atau setingkat siswa SMP, SMA, dan perguruan tinggi.
Tema yang diangkat adalah “Menyelusuri goa dan menikmati keunikan faunanya
tidaklah lagi menakutkan karena kita akan berada pada suatu tempat yang penuh
petualangan seru dan menantang adrenalin”. Tujuan pembuatan Jalur Interpretasi
Goa Kelelawar adalah untuk mengenalkan ekosistem goa dan daya tariknya
kepada pengunjung sehingga pengunjung tidak lagi menganggap goa sebagai
sesuatu yang menakutkan. Posisi/letak jalur tersebut berada di sisi bagian selatan
Pulau Kapota (Gambar 58)
Objek utama yang dijadikan sebagai objek interpretasi di jalur ini dipilih
berdasarkan tema yang diangkat pada jalur yaitu untuk mengenalkan ekosistem
goa dan daya tariknya seperti kondisi fisik goa, ornamen-oranamen goa, fauna
yang terdapat dalam goa dan sekitarnya. Objek-objek yang dapat diinterpretasikan
dapat dilihat pada tabel 16.
Tabel 16 Objek utama di Jalur Interpretasi Goa Kelelalawar
No. Objek Utama Keterangan
1. Perkebunan jambu Perkebunan ini dapat dijumpai di beberapa lokasi pada jalur
mete dan singkong menuju goa. Tanaman ini dapat diinterpretasikan mengenai
keunikan dan manfaatnya seperti jambu mete yang memiliki
bentuk buah yang unik, dimana biji dimanfaatkan sebagai
makanan dan daunnya sebagai obat. Sedangkan singkong
memiliki buah yang dimanfaatkan sebagai makanan pokok
masyarakat Wakatobi atau lebih dikenal dengan nama kasuami
dan daunnyadimanfaatkan sebagai sayuran.
2. Pohon beringin Pohon beringin ini juga berada di beberapa lokasi pada jalur
menuju goa. Pohon beringin yang akan diinterpretasikan
merupakn pohon yang sedang dihinggapi oleh burung sehingga
dapat dijelaskan manfaat dari pohon tersebut.
3. Burung Jenis-jenis yang diinterpretasikan merupakan jenis yang tidak
sengaja dijumpai pada jalur ini. Kebanyakan jenis yang banyak
ditemukan adalah Pergam hijau (Ducula radiata).
4. Goa Kelelawar Goa kelelawar merupakan goa yang banyak dikunjungi oleh
pengunjung yang berjarak 1100 m dari pesisir pantai. Goa ini
memiliki daya tarik tersendiri yaitu berupa ornament-ornamen
goa seperti stalagtid, stalagmid, tiang, tirai goa, dll, selain itu juga
dapat dijumpai fauna goa seperti kelelawar. Daya tarik lainnya
adalah terdapatnya satu ruangan yang berisi air dan ruangan
tersebut juga dipenuhi oleh ornament-ornamen goa. Goa
Kelelawar menjadi semakin menarik karena memiliki pintu
vertikal dengan tinggi ±10 m.
5. Kelapa cabang Kelapa cabang empat merupakan salah satu fenomena unik yang
empat dapat dilihat di Pulau Kapota. Posisinya berada sekitar ± 310 m
dari goa.
136

Gambar 58 Peta jalur interpertasi Goa Kelelawar.


137

Fasilitas pendukung interpretasi yang direncanakan pada jalur ini yaitu pal
jarak, papan interpretasi, dan papan penunjuk arah. Pal jarak berada di posisi
kanan jalur dan diletakkan di setiap 100 m. Pal jarak mulai diletakkan pada jalur
dimulai dari 100 m dari titik awal jalur dan diakhiri di lokasi kelapa cabang empat
(±1000 m), maka kebutuhan pal jarak di jalur ini adalah sekitar ± 10 buah. Papan
interpretasi memberikan informasi khusus mengenai objek interpretasi, banyaknya
papan interpretasi yang dibutuhkan pada jalur yaitu sekitar ± 2 buah. Sedangkan
banyaknya papan penunjuk arah yang dibutuhkan yaitu ± 2 buah. Contoh desain
fasilitas tersebut dapat dilihat pada lampiran 7.
Pola alur setapak untuk interpretasi di jalur ini yaitu berada pada satu
tempat, dimana arah pintu masuk dan pintu keluarnya sama (satu pintu dengan
dua alur) seperti terlihat pada gambar 59.

Pintu Masuk
Pintu Keluar
A 1 Pintu
2 alur

Keterangan B
Objek Interpretasi
A
Alur setapak
Arah alur masuk untuk interpretasi
Arah alur balik untuk interpretasi

Gambar 59 Pola alur setapak untuk interpretasi di Jalur Interpretasi Goa


Kelelawar.

Contoh Program Interpretasi


Program interpretasi yang diusulkan pada Jalur Interpretasi Goa Kelelawar
disesuaikan dengan karakteristik pengunjung yang sengaja datang ke Goa
Kelelawar dan Kelapa Cabang Empat. Selain itu program interpretasi juga
disesuaikan dengan kondisi fisik goa sebagai objek interpretasi. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka program kegiatan interpretasi yang diusulkan pada
jalur ini adalah Caving Goa Kelelawar. Tujuan program ini disesuaikan dengan
tujuan jalur interpretasi sebelumnya yaitu untuk mengenalkan ekosistem goa dan
daya tariknya kepada pengunjung dan masyarakat memiliki keinginan untuk
menjaga goa tersebut.
138

Program caving ditujukan untuk umum (pengunjung dengan usia 15-50


tahun). Pemilihan ini berdasarkan kondisi fisik goa yang horizontal dan dapat
ditempuh oleh berbagai kelompok umur. Kegiatan dapat dilakukan selama 1 hari
dengan jumlah pengunjung yang boleh memasuki goa yaitu sekitar 5-10 orang.
Materi interpretasi yang perlu dipersiapkan adalah pengenalan peraturan dan tata
tertib penelusuran goa, pengenalan sejarah terbentuknya goa, pengenalan macam-
macam goa, fungsi goa, etika penelusuran goa, teknik dalam penelusuran goa, dan
pengenalan ornamen-ornamen goa.

5.7.3 Jalur Interpretasi Togo Molengo


Jalur Interpretasi Togo Molengo dikembangkan untuk kegiatan interpretasi
sosial budaya masyarakat Pulau Kapota, diharapkan dalam kegiatan interpretasi
tersebut terjadi interaksi antara masyarakat dengan pengunjung. Jalur ini memiliki
aksesibilitas yang lebih mudah dibanding jalur lainnya karena rentang jarak
tempuhnya tidak terlalu panjang yaitu ±1000 m. Sasaran interpretasinya ditujukan
untuk semua pengunjung (pengunjung dengan usia 9-50 tahun) yang datang ke
Pulau Kapota dengan tujuan untuk wisata budaya. Tema yang diangkat adalah
“Keterlibatan aktif wisatawan pada berbagai kegiatan di lingkungan alam
maupun sosial budaya, akan memberikan kesempatan dan keleluasaan untuk
berintegrasi dengan masyarakat setempat”. Tujuan pembuatan Jalur Interpretasi
Togo Molengo adalah untuk mengenalkan kondisi sosial dan budaya masyarakat
setempat kepada pengunjung. Sedangkan untuk masyarakat setempat diharapkan
dengan adanya kegiatan interpretasi ini dapat menjadi motivasi untuk memelihara
budaya daerah dan mulai memperhatikan objek-objek sejarah yang terdapat di
Pulau Kapota. Posisi/letak jalur tersebut berada di sisi bagian timur Pulau Kapota
(Gambar 60)
Objek utama yang dijadikan sebagai objek interpretasi di jalur ini dipilih
berdasarkan tema yang diangkat pada jalur yaitu untuk mengenal sosial dan
budaya daerah setempat termasuk didalamnya mengetahui objek-objek sejarah
peninggalan kerajaan Kapota, sehingga terjadi interaksi yang positif antara
masyarakat dengan pengunjung. Objek-objek yang dapat diinterpretasikan pada
jalur ini dapat dilihat pada tabel 17.
139

Tabel 17 Objek utama di Jalur Interpretasi Togo Molengo


No. Objek Utama Keterangan
1. Sekretariat SPKP Sekretariat SPKP merupakan kantor pusat informasi yang terletak
disebelah kiri jalur, titik awal jalur menuju Pantai Aowolio.
2. Membuat Kasuami Kasumi meruapakan makanan pokok masyarakat Kapota, dan
Wakatobi umumnya. Makanan tersebut diolah sedemikian rupa
dengan proses-proses yang menarik. Sehingga dalam hal ini,
pengunjung dapat melihat proses pembuatan dan alat-alat yang
dibutuhkan dalam pembuatan kasuami tersebut.
3. Menganyam jalajah Meskipun didaerah lain kegiatan ini banyak dilakukan tetapi
jalajah yang ada di Kapota hanya dibuat oleh kaum wanita, para
pria tidak ikut serta dalam kegiatan menganyam tersebut. Inilah
yang menjadi salah satu keunikannya, yaitu melihat kelihaian
tangan para ibu-ibu yang sedang menganyam bilah-bilah bambu
yang telah ditipiskan, jika tidak hati-hati bilah ini bisa melukai
tangan.
4. Menenun kain leja Kain leja Kapota merupakan hasil tenunan masyarakat Kapota
Kapota yang dilakukan hampir satu minggu untuk menyelesaikan satu
buah kain. Sekitar 10-15 m dari sekretariat terdapat beberapa
pemukiman yang mempunyai alat-alat untuk menenun kain leja
5. Perkebunan Perkebunan ini dapat dijumpai di beberapa lokasi pada jalur
singkong menuju Togo Molengo. Tanaman ini dapat diinterpretasikan
mengenai keunikan dan manfaatnya seperti memiliki buah yang
dimanfaatkan sebagai makanan pokok masyarakat Wakatobi atau
lebih dikenal dengan nama kasuami dan daunnyadimanfaatkan
sebagai sayuran.
6. Tanaman bambu Bambu meruapakan salah satu jenis tanaman yang memiliki
banyak manfaat mulai dari tunas, daun, hingga batangnya. Salah
satu bagian yang paling banyak digunakan di Kapota adalah
bagian batang yang digunakan untuk membuat jalajah dan alat
tangkap ikan tradisional.
7. Togo Molengo Bekas benteng pertahanan kerajaan Kapota yang dulu digunakan
untuk mempertahankan perkampungan dari serangan para bajak
laut
8. Makam Bapak Salah seorang penyiar agama Islam pertama di Pulau Kapota.
Barakati Letak makam berada di dalam benteng Togo Molengo tersebut
140

Gambar 60 Peta jalur interpertasi Togo Molengo.


141

Fasilitas pendukung interpretasi yang direncanakan pada jalur ini yaitu pal
jarak, papan interpretasi, dan papan penunjuk arah. Pal jarak berada di posisi
kanan jalur dan diletakkan di setiap 100 m. Pal jarak diletakkan di mulai dari
rumah terakhir desa Kabita sampai ke makam (±900 m), kebutuhan pal jarak di
jalur ini adalah sekitar ± 9 buah. Papan interpretasi memberikan informasi khusus
mengenai objek interpretasi, banyaknya papan interpretasi yang dibutuhkan pada
jalur yaitu sekitar ± 4 buah. Sedangkan banyaknya papan penunjuk arah yang
dibutuhkan yaitu ± 4 buah.
Pola alur setapak untuk interpretasi di Jalur II yaitu berada pada satu
tempat, dimana arah pintu masuk dan pintu keluarnya sama (satu pintu dengan
dua alur) seperti terlihat pada gambar 61.

C
Pintu Masuk
1 Pintu
Pintu Keluar A D 2 alur

B
Keterangan

Objek Interpretasi

Alur setapak
Arah alur masuk untuk interpretasi
Arah alur balik untuk interpretasi

Gambar 61 Pola alur setapak interpretasi di Jalur Interpretasi Togo Molengo.

Contoh Program Interpretasi


Program interpretasi yang diusulkan pada Jalur Interpretasi Togo Molengo
disesuaikan dengan karakteristik pengunjung yang sengaja datang ke Togo
Molengo dan berdasarkan objek-objek utama yang akan diinterpretasikan. Selain
itu juga berdasarkan tujuan pengunjung datang untuk wisata budaya. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka program kegiatan interpretasi yang diusulkan pada
jalur ini adalah Mempelajari Kesenian dan Kebudayaan Masyarakat Adat Kapota.
Program ini merupakan kegiatan yang melibatkan masyarakat khususnya
para wanita di Kapota, yang nantinya akan berinteraksi langsung dengan
142

pengunjung dalam pembuatan berbagai jenis makanan dan menganyam. Kegiatan


ini ditujukan untuk semua pengunjung yang datang ke Pulau Kapota dengan
tujuan untuk wisata budaya dan ingin mengetahui aktivitas masyarakat sehari-
hari. Kegiatan dilaksanakan selama 1-2 hari dengan jumlah pengunjung dalam
satu kali kegiatan interpretasi 5-10 orang. Materi yang perlu disiapkan disajikan
pada tabel 18.
Tabel 18 Materi interpretasi di jalur interpertasi Togo Molengo
No. Bentuk Kegiatan Materi yang Perlu Disiapkan
2. Membuat Kasuami a. Pengenalan Kasuami dan bentuk alat pembuatannya (gepe)
b. Cara menggunakan gepe
c. Proses pembuatan
3. Melihat cara pembuatan a. Pengenalan Jalajah
Jalajah b. Proses pembuatannya
3. Menenun leja a. Pengenalan bentuk dan fungsi alat-alat tenun
b. Cara menggunakan alat tenun
c. Perbedaan Leja Pulau Kapota dengan pulau lain di
Wakatobi
d. Pentingnya Leja bagi masyarakat Pulau Kapota
4. Kunjungan ke tempat a. Menceritakan arti Togo Molengo, bentuknya pada zaman
bersejarah sekaligus dahulu, memperlihatkan bekas Togo (kampung kedua), dan
berziarah ke makam menceritakan adanya Togo pertama (Katiama)
Bapak Barakati b. Menceritakan sejarah penyiar Islam pertama di Pulau
Kapota sehingga tertarik untuk ketempat-tempat lainnya
c. Mengenalkan Bapak Barakati yang sangat dihormati oleh
masyarakat

5.7.4 Jalur Interpretasi Batu Banakawa


Jalur interpretasi Banakawa memiliki rentang jarak tempuh yang cukup
panjang yaitu ±3400 m tetapi memiliki aksesibilitas yang tidak terlalu sulit
sehingga menarik untuk dilewati. Karena jalur ini cukup panjang maka akan
menarik sekali jika jalur dilewati dengan sepeda gunung yang direncanakan akan
disiapkan oleh pihak pengelola. Tema yang diangkat adalah ”Pulau Kapota
mampu memberikan kesan dan pesan yang bisa diungkapkan dan diceritakan
kembali dikemudian hari”. Tujuan pembuatan Jalur Interpretasi Batu Banakawa
adalah mengajak pengunjung untuk menikmati sumberdaya alam Pulau Kapota
yang diwakili oleh jalur SPKP-Batu Banakawa sehingga meninggalkan kesan dan
pengalaman yang tidak terlupakan. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa kawasan
Kepulauan Wakatobi tidak hanya memiliki keindahan bawah laut saja tetapi
pulau-pulaunya juga memiliki keindahan dan daya tarik tersendiri untuk
dinikmati.
143

Jalur ini ditujukan untuk semua pengunjung yang datang ke wakatobi dari
berbagai kelas umur (usia 9-50 tahun), juga merupakan salah satu alternatif bagi
pengunjung yang tidak bisa menikmati keindahan bawah laut Wakatobi karena
tidak bisa berenang. Sehingga Pulau Kapota bisa menjadi salah satu kawasan
wisata yang memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan kawasan lain di
Kepulauan Wakatobi yang hanya menawarkan keindahan bawah lautnya saja.
Posisi/letak jalur tersebut berada di bagian timur sampai barat Pulau Kapota
(Gambar 62)
Bagi pengunjung yang tidak sempat untuk ke jalur lainnya tapi ingin
melihat banyak objek, maka dapat memilih jalur ini karena Jalur Interpretasi
Banakawa memiliki kelebihan dari jalur lainnya yaitu kelengkapan objek utama
yang akan diinterpretasikan. Objek-objek tersebut dapat dilihat pada tabel 19.
Tabel 19 Objek utama di Jalur Interpretasi Banakawa
No. Objek Utama Keterangan
1. Sekretariat SPKP Sekretariat SPKP merupakan kantor pusat informasi yang terletak
disebelah kiri jalur, titik awal jalur menuju Pantai Aowolio.
2. Membuat Kasuami Kasumi meruapakan makanan pokok masyarakat Kapota, dan
Wakatobi umumnya. Makanan tersebut diolah sedemikian rupa
dengan proses-proses yang menarik. Sehingga dalam hal ini,
pengunjung dapat melihat proses pembuatan dan alat-alat yang
dibutuhkan dalam pembuatan kasuami tersebut.
3. Menganyam jalajah Meskipun didaerah lain kegiatan ini banyak dilakukan tetapi
jalajah yang ada di Kapota hanya dibuat oleh kaum wanita, para
pria tidak ikut serta dalam kegiatan menganyam tersebut. Inilah
yang menjadi salah satu keunikannya, yaitu melihat kelihaian
tangan para ibu-ibu yang sedang menganyam bilah-bilah bambu
yang telah ditipiskan, jika tidak hati-hati bilah ini bisa melukai
tangan.
4. Menenun kain leja Kain leja Kapota merupakan hasil tenunan masyarakat Kapota
Kapota yang dilakukan hampir satu minggu untuk menyelesaikan satu
buah kain. Sekitar 10-15 m dari sekretariat terdapat beberapa
pemukiman yang mempunyai alat-alat untuk menenun kain leja

5. Perkebunan Perkebunan ini dapat dijumpai di beberapa lokasi pada jalur


singkong dan jambu menuju Banakawa. Tanaman ini dapat diinterpretasikan mengenai
mete keunikan dan manfaatnya seperti jambu mete yang memiliki
bentuk buah yang unik, dimana biji dimanfaatkan sebagai
makanan dan daunnya sebagai obat. Sedangkan singkong
memiliki buah yang dimanfaatkan sebagai makanan pokok
masyarakat Wakatobi atau lebih dikenal dengan nama kasuami
dan daunnyadimanfaatkan sebagai sayuran.
6. Katiama Bekas benteng pertahanan kerajaan Kapota pertama, dan dulu
digunakan untuk mempertahankan perkampungan dari serangan
para bajak laut, letaknya berada sekitar ± 916 m dari SPKP
7. Hutan Bambu Bambu merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki
(Kaidea Pa’da) banyak manfaat mulai dari tunas, daun, hingga batangnya. Salah
satu bagian yang paling banyak digunakan di Kapota adalah
144

Tabel 19 (Lanjutan)
bagian batang yang digunakan untuk membuat jalajah dan alat
tangkap ikan tradisional. Letaknya berada sekitar ± 884 m dari
Katiama.
8. Mata air kolowowa Air yang berasal dari sungai bawah tanah yang alirannya dapat
didengarkan diantara batuan karang. Gemuruh aliran sungai
tersebut akan semakin besar terutama pada musim hujan.
Letaknya berada sekitar ± 900 m dari Hutan Bambu.
9. Laudina Sebuah lokasi yang dianggap angker oleh masyarakat, karena
dahulu digunakan sebagai tempat pembuangan masyarakat
Kapota yang berpenyakit lepra. Letaknya berada sekitar ± 400 m
dari Mata air kolowowa
10. Pantai Kolowowa Pantai terpanjang yang ada di Pulau Kapota, yaitu sekitar 2 km
11. Petani budidaya Salah satu aktivitas masyarakat yang dapat dilihat di sekitar
rumput laut Pantai Kolowowa atau sekitar 300 m dari laudina.
12. Batu Banakawa Salah satu batu karang yang dikeramatkan sekaligus tempat
bersejarah bagi masyarakat yang terletak sekitar 310 m dari
laudina
145

Gambar 62 Peta jalur interpertasi Banakawa.


146

Fasilitas pendukung interpretasi yang direncanakan pada jalur ini yaitu pal
jarak, papan interpretasi, papan penunjuk arah, dan shelter. Pal jarak berada di
posisi kanan jalur dan diletakkan di setiap 100 m. Pal jarak ini diletakkan dimulai
dari rumah terakhir yang terdapat di Desa Kapota Utara dan diakhiri di Batu
Banakawa (±2500 m), kebutuhan pal jarak di jalur ini adalah sekitar ± 25 buah.
Papan interpretasi memberikan informasi khusus mengenai objek interpretasi,
banyaknya papan interpretasi yang dibutuhkan pada jalur yaitu sekitar ± 4 buah.
Sedangkan banyaknya papan penunjuk arah yang dibutuhkan yaitu ± 7 buah.
Shelter sebagai tempat beristirahat yang dibutuhkan yaitu hanya ± 1 buah yang
terletak di Pantai Kolowowa.
Pola alur setapak untuk interpretasi di Jalur II yaitu berada pada satu
tempat, dimana arah pintu masuk dan pintu keluarnya sama (satu pintu dengan
dua alur) seperti terlihat pada gambar 63.

C
Pintu Masuk
1 Pintu
Pintu Keluar A D 2 alur

B
Keterangan

Objek Interpretasi
Alur setapak
Arah alur masuk untuk interpretasi
Arah alur balik untuk interpretasi

Gambar 63 Pola alur setapak interpretasi di Jalur Interpretasi Batu Banakawa.

Contoh Program Interpretasi


Program interpretasi yang diusulkan pada Jalur Interpretasi Banakawa
disesuaikan dengan objek-objek utama yang akan diinterpretasikan dan
berdasarkan ketertarikan pengunjung terhadap flora fauna yang ditemukan dijalur
ini. Selain itu juga disesuaikan dengan tujuan utama pengunjung datang ke Pantai
Kolowowa dengan melewati jalur ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka
program kegiatan interpretasi yang diusulkan pada jalur ini adalah Melintasi Alam
Sekitar Kapota dengan Sepeda dan Perahu Katinting.
147

Lintas alam di sekitar kawasan Pulau Kapota bukanlah sekedar


petualangan kecil yang melintasi hutan yang tidak luas, tetapi kegiatan ini lebih
dilihat pada keuntungannya terhadap kesehatan dan kesan yang akan didapatkan
setelah melakukan kegiatan. Melintasi alam terbuka ternyata punya faedah besar
untuk kesehatan yaitu untuk mempertahankan kerja jantung dan mengurangi berat
badan. Melintasi alam terbuka juga merupakan salah satu cara yang
menyenangkan dan efektif untuk membersihkan pikiran. Kegiatan ini ditujukan
untuk semua pengunjung yang datang ke Pulau Kapota terutama siswa tingkat
SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Kegiatan dilakukan selama 1 hari dengan
jumlah pengunjung tidak dibatasi tetapi harus memiliki kelompok-kelompok kecil
saat melintasi jalur. Sedangakan kegiatan berperahu dengan katinting merupakan
kegitan tambahan dalam program ini untuk melihat langsung kegiatan budidaya
rumput laut di sekitar Pantai Kolowowa. Materi yang perlu disiapkan disajikan
pada tabel 20.
Tabel 20 Materi interpretasi di Jalur Interpretasi Banakawa
Bentuk
No. Materi yang Perlu Disiapkan
Kegiatan
1. Lintas alam a. Cerita tentang objek-objek yang telah dipilih sebagai objek
dengan sepeda interpretasi di jalur tersebut:
- Membuat kasuami. Asal usul mengenai makanan tersebut menjadi
makanan pokok dan peralatan yang digunakan dalam proses
pembuatannya .
- Menganyam jalajah. Bahan yang digunakan, lokasi/ tempat
pengambilan bahan tersebut, kegunaannya, dan proses
pembuatannya.
- Menenun kain leja Kapota. Bahan yang digunakan, alat-alat yang
digunakan, proses pembuatan, dan perbedaannya dengan leja pulau
lain di Wakatobi
- Perkebunan singkong dan jambu mete. Manfaat dan kegunaan
tanaman tersebut, serta kekhasannya di Pulau Kapota
- Katiama. Cerita sejarah mengenai perkampungan tersebut dan
pemandangan yang dapat dilihat dari lokasi tersebut
- Hutan Bambu (Kaidea Pa’da). Penjelasan mengenai peraturan adat
yang berlaku dalam pemanfaatan bambu tersebut
- Mata air kolowowa. Manfaatnya bagi masyarakat di Pulau Kapota
- Laudina. Sejarah lokasi tersebut dijadikan tempat pembuangan
orang berpenyakit lepra
- Pantai Kolowowa. Panjang pantai, kondisi pantai dan
pemandangan dari pantai tersebut
- Batu Banakawa. Sejarah mengenai Batu Banakawa
2. Berperahu a. Objek yang dipilih merupakan lokasi budidaya rumput laut, sehingga
Katinting materinya berupa proses budidaya rumput laut tersebut mulai dari
pemilihat bibit, pemasangan tali, pembudidayaannya, pemeliharaan,
sampai pemanenan, dan alat-alat yang diperlukan dalam proses
tersebut.
148

5.7.5 Jalur Interpretasi Hutan Sara


Hutan Sara merupakan salah satu lokasi yang dilindungi oleh masyarakat
adat. Bagi yang ingin memanfaatkan hasil hutan tersebut harus sesuai dengan
peraturan adat contohnya dalam pemanfaatan bambu yang terdapat didalam
kawasan adat (Sara). Meskipun dilindungi jalur untuk menuju ke Hutan Sara yang
dijadikan sebagai jalur interpretasi ini boleh dilalui dengan syarat tidak melakukan
kerusakan-kerusakan. Sasaran interpretasi ditujukan untuk semua pengunjung
yang datang ke Pulau Kapota dan menyukai kegiatan birdwatching. Tema yang
diangkat pada Jalur Interpretasi Hutan Sara adalah “Burung merupakan salah satu
satwa yang menarik untuk diamati dan dipelajari, karena memiliki bentuk dan ciri
khas tersendiri yang mampu mempesona pecinta Birdwatching”. Tujuan
pembuatan Jalur Interpretasi Hutan Sara adalah untuk mengenalkan
keanekaragaman satwa burung kepada pengunjung sehingga dapat mengajak
pengunjung untuk mencintai satwa ini dan membiarkannya bebas di alam.
Objek utama yang dijadikan sebagai objek interpretasi di jalur ini dipilih
berdasarkan tema yang diangkat pada jalur yaitu untuk mengenal jenis-jenis
burung yang ada di Pulau Kapota, sehingga objek yang diinterpretasikan adalah
berbagai jenis burung yang dapat ditemukan selama pengamatan (Lampiran 2).
Posisi/letak jalur berada di bagian utara sampai barat Pulau Kapota (Gambar 64).
149

Gambar 64 Peta jalur interpertasi hutan sara.


150

Fasilitas pendukung interpretasi yang direncanakan pada jalur ini yaitu pal
jarak, papan interpretasi, papan penunjuk arah, dan shelter. Pal jarak berada di
posisi kanan jalur dan diletakkan di setiap 100 m, kebutuhan pal jarak di jalur ini
adalah sekitar ± 19 buah. Papan interpretasi memberikan informasi khusus
mengenai objek interpretasi, banyaknya papan interpretasi yang dibutuhkan pada
jalur yaitu sekitar ± 2 buah. Sedangkan banyaknya papan penunjuk arah yang
dibutuhkan yaitu ± 4 buah. Shelter yang digunakan sebagai tempat beristirahat
yang dibutuhkan pada jalur yaitu sebanyak ± 2 buah yaitu berada di sekitar danau
dan pos pengamatan burung.
Pola alur setapak untuk interpretasi di jalur ini adalah berada pada satu
tempat, dimana arah pintu masuk dan pintu keluarnya sama (satu pintu dengan
dua alur), seperti terlihat pada gambar 65.

Pintu Masuk 1 Pintu


Pintu Keluar
A C D 2 alur

Keterangan
B
Objek Interpretasi

Alur setapak
Arah alur masuk untuk interpretasi
Arah alur balik untuk interpretasi

Gambar 65 Pola alur setapak interpretasi di Jalur Interpretasi Hutan Sara.

Contoh Program Interpretasi


Program interpretasi yang diusulkan pada Jalur Interpretasi Hutan Sara
disesuaikan dengan objek utama yang akan diinterpretasikan yaitu berbagai jenis
satwa burung. Selain itu juga berdasarkan ketertarikan beberapa pengunjung
terhadap satwa burung saat melewati jalur-jalur lainnya. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka program kegiatan interpretasi yang diusulkan pada
jalur ini adalah Birdwatching. Birdwatching merupakan kegiatan mengamati dan
mengidentifikasi jenis-jenis burung. Kegiatan ini ditujukan untuk semua
pengunjung yang datang ke Pulau Kapota. Kegiatan dilakukan selama 4 jam, 2
151

jam pada pagi hari dan 2 jam pada sore hari dengan jumlah pengunjung dalam
satu kelompok pengamatan ±5 orang. Materi yang perlu disiapkan adalah:
a. Pengenalan sejarah penyebaran burung di Indonesia
b. Pengenalan tipe-tipe habitat burung
c. Pengenalan jenis burung migran
d. Pengenalan jenis-jenis burung yang dapat dijumpai di Pulau Kapota
e. Mengidentifikasi jenis burung berdasarkan bentuk, warna, dan suara

5.7.6 Jalur Interpretasi Kapota Reff


Tema yang diangkat pada Jalur Pelabuhan Jonson – Karang Kapota adalah
“Pesona Taman Nasional Wakatobi sebagai Surga Nyata Bawah Laut Di Jantung
Segitiga Karang Dunia merupakan pengalaman yang sensasional dan tidak
terlupakan”. Tujuan pembuatan Jalur Interpretasi Kapota Reff adalah untuk
menumbuhkan sikap kepedulian terhadap terumbu karang sehingga pengunjung
dapat mencintai dan memelihara ekosistem laut. Salah satu caranya adalah dengan
menikmati langsung keindahan bawah laut dan keanekaragaman biota lautnya di
Pulau Kapota.
Pulau Kapota memiliki banyak sekali potensi sumberdaya perairan seperti
terumbu karang, jenis flora laut dan jenis biota lautnya. Hal ini dilihat dari hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Hastomo pada tahun 2009 dan
hasil eksplorasi pengelola TNW. Potensi-potensi ini akan lebih menarik jika
dikemas dalam program kegiatan interpretasi. Ada dua program kegiatan
interpretasi yang diusulkan di jalur ini yaitu Eksplorasi Sumberdaya Perairan
Pulau Kapota dan Kegiatan Diving di Kapota Reef.
Eksplorasi sumberdaya perairan Pulau Kapota merupakan kegiatan yang
khusus ditujukan untuk para mahasiswa dengan latar belakang ilmu biologi,
kehutanan, perikanan, ekologi, lingkungan dan sosial yang bermaksud untuk
memperdalam ilmu mereka atau para mahasiswa yang akan melakukan kegiatan
pendidikan dan penelitian. Program ini dapat dilakukan selama beberapa hari
tergantung pada lama kunjungan. Sedangkan kegiatan Diving di Kapota Reef
merupakan kegiatan menyelam dengan menggunakan peralatan berupa tabung
oksigen, masker, pakaian selam, snorkel dan alat bantu bergerak berupa kaki
152

katak (sirip selam), yang ditujukan untuk semua pengunjung yang memenuhi
syarat untuk ikut berpartisipasi (telah memiliki Surat Izin Menyelam (SIM)). Titik
atau lokasi diving yang telah diketahui di Jalur Interpretasi Kapota Reef dapat
dilihat pada gambar 66.

Gambar 66 Lokasi diving di Jalur Interpretasi Kapota Reef.


Waktu yang tepat untuk kegiatan diving di Kapota Reef, sebaiknya di
musim barat dimana kondisi arus dan gelombang air lautnya tidak terlalu besar
sehingga aman untuk melakukan penyelaman. Sedangkan materi yang perlu
disiapkan sebelum kegiatan interpretasi dilaksanakan dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21 Materi interpretasi di jalur Pelabuhan Jonson – Kapota Reef
No. Bentuk Kegiatan Materi yang Perlu Disiapkan
1. Eksplorasi Sumberdaya a. Pengenalan konsep konservasi alam
Perairan Pulau Kapota b. Pengenalan TNW sebagai kawasan konservasi laut di
Indonesia
c. Pengenalan 8 sumberdaya penting TNW
d. Pengenalan terumbu karang, lamun dan mangrove
e. Peranan dan fungsi terumbu karang , lamun dan mangrove
dalam ekosistem
f. Keanekaragaman biota terumbu karang, lamun dan
mangrove
g. Kepedulian terhadap terumbu karang, lamun dan mangrove
h. Pengenalan rumput laut sebagai salah satu mata pencarian
masyarakat Pulau Kapota
i. Teknik budidaya rumput laut (pembibitan, pemeliharaan
dan pemanenan)
j. Pengenalan pola pemanfaatan sumberdaya laut oleh
nelayan tradisional
k. Mengetahui cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam oleh
153

Tabel 21 (Lanjutan)
l. Ikut serta dalam kegiatan nelayan tradisional
m. Mengenal, memelihara dan melestarikan ekosistem laut
2. Diving a. Pengenalan konsep konservasi alam
b. Pengenalan peraturan dan teknik snorkeling dan diving
c. Pengenalan TNW sebagai kawasan konservasi laut di
Indonesia
d. Pengenalan 8 sumberdaya penting TNW
e. Peranan dan fungsi terumbu karang dalam ekosistem laut
f. Pengenalan jenis terumbu karang dan keanekaragaman
biota laut di perairan Pulau Kapota khususnya di Kapota
Reef.
g. Kepedulian terhadap terumbu karang

5.8 Perencanaan Fasilitas Pendukung Interpretasi Lainnya


Pulau Kapota merupakan salah satu pulau yang terdapat di taman nasional
wakatobi yang baru direncanakan sebagai lokasi ekowisata berbasis masyarakat
sehingga fasilitas atau sarana dan prasarana wisata belum banyak tersedia
termasuk fasilitas interpretasi, untuk itu diperlukan suatu perencanaan fasilitas
yang dapat medukung kegiatan interpretasi di Pulau Kapota. Fasilitas pendukung
interpretasi merupakan fasilitas yang dapat membantu pelaksanaan interpretasi
agar tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan yang diinginkan. Fasilitas yang
direncanakan disesuaikan dengan potensi sumberdaya alam, rencana pengelolaan,
dan kebutuhan pengunjung dalam usaha mendapatkan kepuasan dalam
kunjungannya. Selain fasilitas-fasilitas yang telah direncanakan pada setiap jalur,
juga diperlukan fasilitas lainnya yang dapat menudukung kegiatan interpretasi
tetapi tidak terdapat pada jalur seperti kantor pusat informasi, peta objek wisata,
toko cendera mata, kios/warung, homestay, dan tempat pembuangan sampah.
Lokasi atau letak dari fasilitas yang direncanakan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 67.
154

Gambar 67 Peta lokasi sarana dan prasarana interpretasi di Pulau Kapota.


155

5.8.1 Pusat Informasi (Information Centre)


Pusat Informasi merupakan tempat bagi pengelola kawasan untuk
menginformasikan kondisi kawasan secara keseluruhan seperti status kawasan,
potensi flora dan fauna, objek yang menarik, sejarah kawasan dan peraturan yang
berlaku ketika berada dikawasan, dan informasi mengenai pelayanan-pelayanan
yang bisa didapatkan selama berada di kawasan. Pusat informasi saat ini telah
direncanakan untuk dibangun dan di desain sendiri oleh salah seorang warga
Pulau Kapota. Menurut mereka yang menjadi kendala saat ini adalah anggaran
dana yang belum tersedia.
Pusat informasi tersebut akan dibangun di jalan masuk utama menuju desa
Kapota dan Kabita. Bentuk rancangan tersebut (Gambar 68) dibuat seperti lawa.
Rumah Lawa adalah sebuah bangunan pada zaman dahulu yang dibangun oleh
masyarakat untuk penangkal bala. Posisinya pun memiliki keunikan tersendiri,
biasanya lawa terletak di ujung jalan sebelum memasuki perkampungan dan
dibangun diatas jalan, seperti terlihat pada gambar 68. Pusat informasi seperti ini
cukup menarik karena menggambarkan budaya masyarakat Pulau Kapota
sehingga pengunjung tertarik untuk mengunjungi rumah ini. Akan tetapi perlu
kajian ulang mengenai bahan material yang akan digunakan dalam pembangunan
rumah lawa ini karena pusat informasi yang akan dibangun merupakan salah satu
bentuk fasilitas permanen.

Rumah Lawa

Batu yang
disusun untuk
Jalan umum
penyangga Lawa

Sumber: dokumen Suhaeri


Gambar 68 Desain lawa yang akan dijadikan sebagai pusat informasi.
Rumah lawa yang merupakan pusat informasi bagi pengunjung tentunya
ada beberapa hal yang harus disediakan, diantaranya:
156

a. Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi dan kawasan Pulau Kapota


b. Peta lokasi objek dan jalur interpretasi alam Pulau Kapota
c. Maket kawasan Taman Nasional Wakatobi
d. Poster potensi flora, fauna, dan ekosistem yang khas diPulau Kapota
e. Poster sejarah dan budaya Pulau Kapota
f. Foto-foto 8 potensi sumberdaya penting Taman Nasional Wakatobi
g. Foto-foto kegiatan Taman Nasional Wakatobi
h. Foto-foto kegiatan MDK Desa Kapota
i. Papan tata tertib pengunjung Pulau Kapota
j. Buku panduan kegiatan interpretasi alam di Pulau Kapota
k. Buku tamu dan tempat pendaftaran ulang

5.8.2 Tempat Pembuangan Sampah


Tempat pembuangan sampah ini sangat diperlukan untuk menjaga
lingkungan agar tetap bersih dari sampah.

5.8.3 Toko Cendera Mata


Toko cendera mata merupakan tempat yang menyediakan berbagai
souvenir. Pengunjung biasanya sangat menyukai berbelanja souvenir yang
memiliki kekhasan daerah yang dikunjunginya. Souvenir yang dapat dijual seperti
kain leja, miniatur gepe (alat pembuat kasuami) yang terbuat dari kayu, miniatur
kapal, miniatur biota laut, dan bentuk-bentuk lainnya yang mencirikan Pulau
Kapota atau Wakatobi.

5.8.4 Perencanaan Peta Kawasan (Peta Objek Wisata)


Peta kawasan merupakan peta yang menerangkan jalur dan objek yang
terdapat di dalam kawasan Pulau Kapota. Peta kawasan (peta objek wisata) sangat
diperlukan, terutama jika pengunjung yang datang ke Pulau Kapota tidak
menggunakan jasa pemandu. Selain itu peta objek wisata juga menjadi salah satu
informasi yang sangat penting mengenai objek-objek yang ada di Pulau Kapota.
Penempatan peta kawasan ini berada di dekat Sekretariat SPKP. Salah satu contoh
desain peta kawasan tersebut dapat dilihat pada gambar 69.
157

Keterangan
Bahan: Atap dari ijuk/seng, tiang dari kayu atau besi
kemudian tiang diberi pondasi dari semen, Peta
1
kawasan terbuat dari aluminium
Papan berisikan:
1. Tulisan „Selamat datang di Pulau Kapota‟
2
2. Gambar 69 (peta kawasan)

Gambar 69 Peta objek wisata Pulau Kapota.

5.8.5 Homestay
Hasil survey lapang, sarana yang baru disediakan adalah homestay.
Homestay ini untuk sementara masih merupakan perumahan masyarakat yang
masih sederhana tetapi sudah cukup nyaman untuk ditempati .Homestay
158

umumnya memberikan pelayanan akomodasi, kenyamanan tinggal, dan konsumsi


kepada pengunjung. Berdasarkan pengamatan di lapangan, homestay yang ada
saat ini masih kurang memuaskan pengunjung, hal ini karena letak/posisi
beberapa homestay berada ditempat yang kurang strategis seperti dekat dengan
lokasi kuburan, kamar yang disediakan letaknya dekat dengan kamar keluarga.
Rencana pembangunan homestay juga disebabkan karena belum adanya
homestay yang berada di lokasi pantai dan memiliki pemandangan pantai yang
indah seperti yang diharapkan pengunjung. Berdasarkan kondisi ini, maka perlu di
bangun beberapa homestay sederhana yang memang dikhususkan untuk
pengunjung dan sebaiknya bekerjasama dengan masyarakat setempat. Lokasi
tempat dibangun homestay tersebut sebaiknya berada ditepi pantai dan memiliki
pemandangan yang bagus sehingga pengunjung benar-benar berada disuasana
pantai seperti di bangun di tepi pesisir Pantai Aowolio. Selain berada di pesisir
pantai, pantai Aowolio juga memiliki pemandangan yang indah. Berikut adalah
contoh desain homestay sederhana yang direkomendasikan (Gambar 70).

Gambar 70 Contoh desain homestay sederhana.


159

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Hasil analisis potensi sumberdaya kawasan, potensi jalur, pengunjung,
pengelola, dan sarana prasarana wisata maka terdapat 6 jalur yang memenuhi
kriteria untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi di Pulau Kapota Taman
Nasional Wakatobi, yaitu Jalur Interpretasi Pantai Aowolio, Jalur Interpretasi Goa
Kelelawar, Jalur Interpretasi Togo Molengo, Jalur Interpretasi Banakawa, Jalur
Interpretasi Hutan Sara dan Jalur Interpretasi Kapota Reef.
1. Jalur Interpretasi Pantai Aowolio memiliki panjang jalur ± 2900 m dengan
waktu tempuh ± 120 menit berjalan kaki. Jalur ini memiliki kekhasan objek
berupa ekosistem yang khas (ekosistem lamun, mangrove, dan terumbu
karang), pantai pasir putih, Batu Sahu’u, dan pemandangan alam sehingga jalur
berpotensi dikembangkan untuk pendidikan lingkungan.
2. Jalur Interpretasi Goa Kelelawar memiliki panjang jalur ± 1100 m dengan
waktu tempuh ± 15 menit berjalan kaki. Jalur ini memiliki kekhasan objek
berupa Goa Kelelawar, dan kelapa cabang empat sehingga jalur berpotensi
dikembangkan untuk pendidikan lingkungan.
3. Jalur Interpretasi Togo Molengo memiliki panjang jalur ± 1000 m dengan
waktu tempuh ± 20 menit berjalan kaki. Jalur ini lebih dikembangkan untuk
pendidikan sejarah dan budaya Pulau Kapota karena pada jalur terdapat objek
sejarah berupa Benteng Togo Molengo dan makam penyiar agama Islam, dan
objek seni-budaya berupa kerajinan anyam, kerajinan tenun, tari-tarian, pesta
budaya, dan makanan khas Pulau Kapota.
4. Jalur Interpretasi Banakawa memiliki panjang jalur ± 3400 m dengan waktu
tempuh ± 120 menit berjalan kaki. Jalur ini memiliki objek interpretasi yang
lebih lengkap dari jalur lainnya karena pada jalur terdapat objek sejarah, situs
keramat, aktivitas masyarakat, pemandangan alam, flora, fauna, dan ekosistem
mangrove sehingga jalur berpotensi dikembangkan untuk pendidikan sejarah
dan lingkungan
5. Jalur Interpretasi Hutan Sara memiliki panjang jalur ± 3000 m dengan waktu
tempuh ± 90 menit berjalan kaki. Jalur ini merupakan kawasan hutan adat yang
160

pemanfaatan sumberdaya hutannya dilindungi oleh adat. Kekhasan objek pada


jalur berupa flora, fauna (didominasi oleh jenis-jenis burung), ekosistem
mangrove, pantai, danau, dan pemandangan alam sehingga jalur berpotensi
dikembangkan untuk pendidikan lingkungan.
6. Jalur Interpretasi Kapota Reef merupakan jalur aquatik yang digunakan untuk
mencapai lokasi Zona Pariwisata Karang Kapota. Jalur ini memiliki kekhasan
objek berupa ekosistem terumbu karang dan pemandangan bawah laut sehingga
jalur berpotensi dikembangkan untuk pendidikan ekosistem terumbu karang.

6.2 Saran
Interpretasi dalam kegiatan ekowisata di Pulau Kapota merupakan salah satu
hal yang penting, oleh karena itu terdapat beberapa saran untuk mendukung
perencanaan interpretasi tersebut:
1. Perlu pembenahan jalur interpertasi yang akan dikembangkan di Pulau Kapota
dan mengembangkan sarana dan prasarana pendukung interpretasinya.
2. Pembenahan objek-objek sejarah yang saat ini telah tertutupi oleh vegetasi
rumput yaitu Togo Molengo dan Katiama
3. Diperlukan media publikasi untuk menyampaikan informasi kepada
masyarakat secara umum mengenai potensi objek dan daya tarik wisata di
Pulau Kapota
4. Diperlukan pelatihan dalam pembuatan souvenir yang mencirikan Pulau
Kapota selain souvenir yang telah ada (kain leja).
161

DAFTAR PUSTAKA

[Dirjen PHPA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.


1988. Pedoman Interpretasi Taman Nasional. Bogor
[Balai TNW] Balai Taman Nasional Wakatobi. 2007. Data Base Taman Nasional
Wakatobi. Bau-bau: Balai TNW.

[Balai TNW] Balai Taman Nasional Wakatobi. 2008. Rencana Pengelolaan


Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 1998 – 2023 (Revisi Tahun
2008). Bau-bau: Balai TNW

[Balai TNW] Balai Taman Nasional Wakatobi. 2009. Laporan Hasil Monitoring
Lamun, Mangrove, dan Terumbu Karang Wakatobi (Belum
dipublikasikan)

[BPS] Biro Pusat Statistika Kabupaten Wakatobi. 2010. Laporan Hasil Proyeksi
SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk 2010.
Wangi-wangi: BPS Wakatobi

Berkmuller. K. 1981. Guidelines and Techniquest for Enviromental


Interpretation. IUCN. Switzerland.

Coates B.J, dan K.D. Bishop. 2000. Panduan Lapang Burung-Burung di Kawasan
Wallacea. Birdlife International Indonesia Programme.

Dahuri R., J. Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Penglolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.

Dahuri R.. 2003. Keanekaragam Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan


Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Douglass R.W. 1982. Forest Recreasion. Waveland Press. University of


Wisconsin_Madison

Feronika F. 2011. Studi Kesesuaian Ekosistem Mangrove Sebagai Ekowisata Di


Pulau Kapota Taman Nasional Wakatobi [skripsi]. Jurusan Ilmu Kelautan.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin Makassar

Hastomo S.O.E. 2009. Pengembangan Interpretasi Laut dengan Fotografi Bawah


Air di Taman Nasional Wakatobi [Tugas akhir]. Program Keahlian
Ekowisata Direktorat Program Diploma. Institut Pertanian Bogor.

Heriyaningtiyas E. 2009. Perencanaan Interpretasi Alam di Kawasan Wisata Alam


Lereng Pegunungan Muria Kudus [skripsi]. Bogor: Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor.
162

Muntasib E.K.S.H, Rachmawati E. 2009. Rekreasi Alam, wisata dan Ekowisata.


Departemen KSHE. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Samodra, H. 2001. Nilai Strategi Kawasan Karst di Indonesia; Pengelolaan dan


Perlindungannya. Bandung: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral.
Balai Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumberdaya Mineral.

Setyadi A. 2006. Kemitraan dalam Pengelolaan Taman Nasional: Pelajaran


Untuk Transformasi Kebijakan. Jakarta: WWF Indonesia dan Dephut.

Sharpe G.W. 1982. Interpreting the Enviroment. University of Washington


Seattle. Washington.

Sumarlin O. 2007. Keindahan Dunia Bawah Tanah. Perhimpunan Pecinta Alam


Jantera Geografi UPI. http://www.pikiran
rakyat.com/cetak/2005/22/cakrawala/utamaol. [7 Desember 2010]

Sufika A. 2004. Kepariwisataan dalam Pembangunan Nasional dan Daerah.


Fakultas Sastra. Program Studi Pariwisata, Universitas Sumatera Utara.
www.findtoyou.com/dokument/pengertian pariwisata. [7 Desember 2010]

Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia.

Tilden F. 1957. Interpreting Our Heritage. The University Of North Carolina


Press. New York.

Pemerintah Republik Indonesia. 1990. Undang-undang Republik Indonesia


Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia


Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan
Republik Indonesia. Jakarta.

Wardiyanta. 2006. Metode Penelitian Pariwisata. Andi . Yogyakarta.


163
164

Lampiran 1 Jenis-jenis flora yang dijumpai di Pulau Kapota


No. Nama Nama Nama Ilmiah Keterangan
lokal Indonesia
1. Vemba Bambu Bamboo sp. TL, dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan
jalajah serta pemanfaatannya dilindungi oleh
adat
2. Gendi Beringin Ficus benyamina TL, tumbuhan yang dilindungi oleh adat, dan
merupakan salah satu habitat dari berbagai
jenis burung
3. - Anggrek - DL, Famili Orcidaceae, dimanfaatkan sebagai
tanaman hias
4. - Bayur Pterospermum TL, dimanfaatkan sebagai kayu bakar
javanicum
5. - Jati Tectona grandis TL, tanaman baru yang sengaja ditanam oleh
perhutani wakatobi, dan disetiap jarak 5-10 m
terdapat tanaman jati dengan tinggi 1-2 m
6. Munte Jeruk nipis Citrus aurantifolia TL, dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat
nipi
7. - Jambu mete Anacardium TL, tanaman khas Sulawesi Tenggaradimana
ocidentale bagian bijinya dijadikan sebagai makanan. Saat
ini menjadi oleh-oleh khas Sulawesi tenggara,
dan dimanfaatkan sebagai tanaman obat oleh
masyarakat Kapota
8. - Kapuk randu Ceiba petandra TL, tanaman penghasil kapas
9. Kaud‟afa Kelor Moringa oleifera TL, dimanfaatkan sebagai makanan (sayuran)
10. Poo Mangga Mangifera indica TL, jumlahnya terbatas
11. - Mengkudu Morinda citrifolia TL, dimanfaatkan sebagai tanaman obat oleh
masyarakat Kapota
12. Kanasa Nanas buah Ananas comosus TL, jumlahnya terbatas, hanya dijumpai pada
satu lokasi di Pulau Kapota
13. Kaujava Singkong Manihot utilisima TL, merupakan bahan pembuatan Kasuami
(makanan pokok masyarakat Wakatobi)
14. - Akar tuba Milletia sericea TL, dulu dimanfaatkan sebagai racun ikan
(tidak digunakan lagi setelah Wakatobi menjadi
taman nasional)
15. - Cocor bebek Kalanchoe TL, dimanfaatkan sebagai tanaman obat oleh
waldheimii masyarakat Kapota
16. - Kelapa TL, salah satu tanaman perkebunan dan
memiliki banyak manfaat selain dari sektor
ekonomi. Selain itu terdapat kelapa yang
memiliki satu keunikan yaitu kelapa cabang 4
Keterangan: TL: Tidak dilindungi, DL: Dilindungi
165

Lampiran 2 Deskripsi fauna burung sebagai objek interpretasi di Pulau Kapota

1) Cangak Laut (Ardea sumatrana)


Cangak laut memiliki panjang tubuh total kira-kira 100-115 cm, memiliki warna coklat
abu-abu, paruhnya kokoh dan kakinya yang panjang berwarna kekuningan (Coates & Bishop
2000). Perilaku umum yang dapat menarik untuk dilihat dari burung ini adalah saat mencari
mangsadi tepi pantai. Biasanya burung ini lebih banyak diam dan akan bergerak sangat lambat
agar makanan yang diincarnya tidak melarikan diri. Saat berdiam diri lehernya akan terlihat
berbentuk huruf S. Burung ini termasuk diurnal dan soliter, sehingga bila dijumpai sering 1 ekor
saja.

Cangak Laut (Ardea purpurea)


Penyebarannya di Pulau Kapota tidak banyak, selama penelitian berlangsung burung ini
selalu dapat ditemukan di pantai yang menghadap ke Pulau Wangi-wangi atau di Jalur I. Burung
cangak laut dapat ditemukan disiang hari saat air laut surut (terjadi kente). Cara melihatnya dengan
cara mengendap-endap di atas pasir dan berjalan sepelan mungkin agar dia tidak pergi. Tapi
biasanya satwa ini toleran terhadap manusia yang ada disekitarnya sehingga terkadang dia tidak
lari meskipun pengamat berada dalam radius 10-15 m.

2) Kokokan Laut (Butorides striatus)


Kokokan laut memiliki panjang tubuh 43-48 cm, umumnya memperlihatkan postur
horizontal yang seperti merunduk (Coates & Bishop 2000). Burung ini dapat dikenali dari
warnanya yang keabu-abuan bertudung kehitaman sampai hijau tua, tungkai kekuningan, berwarna
keputihan dibagian dada, dan ada garis hitam di sisi dada. Terdapat jambul kecil yang sulit untuk
dilihat dari kejauhan. Perilaku umum yang dapat menarik untuk dilihat dari burung ini adalah saat
mencari makanan ketika air laut surut dan dalam mencari mangsa biasanya berkelompok, burung
ini tidak selalu berjalan tapi kadang melompat-lompat untuk mengejar ikan-ikan kecil.
166

Kokokan Laut (Butorides striatus)


Penyebarannya di Pulau Kapota cukup merata, biasanya banyak di temui di pesisir pantai
Pulau Kapota dan lebih banyak jumlahnya di bagian selatan Pulau Kapota yaitu di pesisir pantai
Aowolio. Burung ini biasa dijumpai di sore hari dan cara melihatnya sama dengan pengamatan
burung pantai pada umumnya yaitu dengan cara mengendap-endap di atas pasir dan berjalan
sepelan mungkin agar dia tidak terbang atau berlari dengan sangat cepat menghindari pengamat.
Usahakan posisi pengamat dengan target tidak terlalu dekat karena burung ini tidak menyukai
kehadiran pengamat.

3) Trinil Pantai (Actitis hypoleucos)


Trinil pantai memiliki panjang tubuh 20 cm, lingkaran mata putih, terdapat bercak coklat
pada sisi dada, dada bagian bawah sampai lengkungan saya berwarna putih, sayap yang berwarna
coklat dihiasi oleh palang putih dan ekor bertepi putih, paruh pendek dan tidak meruncing (Coates
& Bishop 2000). Beda trinil pantai dengan trinil lainnya adalah adanya palang putih pada sisi dada
yang terlihat jelas meskipun dari kejauhan. Perilaku umumnya yang bisa dilihat adalah sering
menggerakkan naik turun ekornya, dan biasa mencari makan sambil berjalan dengan cepat di
pantai saat terjadi air surut. Bila ada pengamat yang mendekati burung ini akan berlari dengan
kencang kemudian baru terbang.

Trinil Pantai (Actitis hypoleucos)


167

Burung ini dapat ditemukan disetiap pesisir pantai di Pulau Kapota terutama saat surut air
laut. Waktu perjumpaan dan cara untuk melihat satwa tersebut adalah di siang hari dan lebih
banyak pada sore hari. Cara untuk melihatnya dengan menggunakan binokuler dan mengendap-
endap di pasir karena burung ini sangat tanggap terhadap kedatangan pengamat.

4) Gajahan Penggala (Nunenius phaeopus)


Gajahan penggala memiliki panjang tubuh 38-46 cm, paruhnya panjang, melengkung ke
bawah, dibagian kepala ada garis lurus memanjang dari pangkal paruh sampai leher berwarna
hitam dan putih. Punggung bagian bawah sampai tunggir memiliki variasi warna putih dan coklat
(Coates & Bishop 2000).

Gajahan Penggala (Nunenius phaeopus)


Perilaku umumnya belum diketahui untuk itu sebaiknya ada pengamatan lebih lanjut.
Burung ini dapat ditemukan di bagian selatan Pulau Kapota. Waktu perjumpaan atau untuk melihat
satwa tersebut adalah pagi hari atau sore hari saat air laut surut.

5) Gajahan Timur (Numenius madagascariensis)


Gajahan timur memiliki panjang tubuh 51-60 cm.. Perilaku umumnya belum banyak
diketahui untuk itu sebaiknya ada pengamatan lebih lanjut. Posisi pada tapak, dapat ditemukan di
bagian selatan Pulau Kapota dengan waktu perjumpaan dan cara untuk melihat satwa tersebut
adalah pagi hari atau sore hari saat air laut surut.

Gajahan timur yang ditemukan sedang terbang : a. (Sumber :


http://orientalbirdimages.org/search.php?Bird_ID=1223 ), b. Foto pribadi
168

6) Cekakak Sungai (Halcyon chloris)


Cekakak sungai memiliki panjang tubuhnya kira-kira 24-26 cm, burung ini sangat mudah
dikenali dari warna bulu punggung berwarna biru hingga hijau biru dan ada strip putih yang
melingkari leher dan mulai dari bagian bawah paruh hingga bagian bawah tunggir berwarna putih,
kaki berwarna hitam (Coates & Bishop 2000). Bentuk paruhnya panjang dan melengkung pada
bagian bawah serta terdapat warna cream dibagian bawah paruh. Perilaku umum, biasa terbang
dan bertengger di berbagai ranting pohon dan melihat-lihat sekitar kawasan. Tidak ada perilaku
khusus yang ditimbulkan, saat bertengger burung ini hanya terlihat seperti mengamati lingkungan
sekitar.

Cekakak sungai (Halcyon chloris) sedang bertengger


Penyebaran dan posisi pada tapak, cekakak sungai tersebar di seluruh Pulau Kapota dan
mudah ditemui. Waktu perjumpaan dan cara untuk melihat satwa tersebut. Dapat ditemui dari pagi
hari hingga sore hari. Caranya sangat mudah karena burung ini dapat dilihat diberbagai tempat
terutama di pantai saat terjadi surut air laut.

7) Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis)


Tekukur biasa atau dalam bahasa kapota sering disebut burung bokuru memiliki panjang
tubuh sekitar 30-32 cm. bentuknya besar dan bulat. Leher bagian belakang berbintik-bintik putih
dan hitam, penutup sayap dan punggung pucat dan bertotol gelap, bulu ekor luar kehitaman,
bagian kaki berwarna merah muda (Coates & Bishop 2000).

Tekukur biasa (Streptopelia tranguebarica)


169

Perilaku umum yang dapat dilihat yaitu sering bersuara dan nyaring. Meskipun dari jarak
jauhpun suaranya masih didengar dan mudah dikenali. Posisi pada tapak, biasa menghuni lahan
budidaya, semak, dan mangrove. Waktu perjumpaan dan cara untuk melihat satwa tersebut, dapat
ditemukan dan didengar suaranya pada siang hari hingga malam hari. Sulit untuk dilihat karena
menyukai bertengger ditempat yang rimbun dan tersembunyi.

8) Uncal Ambon (Macropygia amboinensis)


Uncal Ambon atau dalan bahasa kapota sering disebut burung Iku melangka memiliki ciri
warna dominan coklat, dan coklatnya bermacam-macam yaitu coklat muda hingga coklat tua.
Bagian paruh berwarna hitam, kepala berwarna agak abu-abu pucat bercampur dengan putih
bagian leher putih sampai kecoklatan, bagian dada sampai bagian bawah tunggir berwarna coklat
tua dan bergaris-garis coklat muda, sedangkan punggung sampai ekor berwarna coklat tua.

Uncal Ambon (Macropygia amboinensis)


Perilaku umum berdasarkan catatan yang sudah ada, burung ini akan menimbulkan suara
„wu-up‟ berirama meninggi yang diulang-ulang denganjarak kira-kira 5 kali dalam 10 detik. Posisi
pada tapak, dapat ditemui terbang sore hari menuju bagian selatan Pulau Kapota disore hari, dan di
hutan sara, jarang terlihat saat bertengger. Waktu perjumpaan dan cara untuk melihat satwa
tersebut yaitu dapat ditemukan secara langsung saat terbang di sore hari, biasanya bertengger di
pohon-pohon yang rimbun sehingga jarang ditemukan saat bertengger.

9) Delimukan Timur (Chalcophaps stephani)


Delimukan timur atau dalam bahasa kapota disebut burung lembuko memiliki panjang
tubuh 25 cm, kedua sayap berwarna hijau, punggung coklat, dua garis pucat pada punggung
bawah terlihat dengan jelas, dan bagian dahi terdapat warna abu-abu pada betina dan putih pada
jantan. Perilaku umum, biasanya mencari makan diatas tanah dan cepat tanggap terhadap
kedatangan pengamat, sebelum pengamat mendekat burung ini sudah terbang. Burung ini jarang
terlihat, selama pengamatan berlangsung hanya tercatat satu kali perjumpaan saat burung ini
terbang. Waktu perjumpaan dan cara untuk melihat satwa tersebut. dapat dijumpai pada saat siang
hari.
170

Delimukan timur (Chalcophaps stephani)


Sumber:http://orientalbirdimages.org/search.php?p=3&Bird_ID=674&Bird_Family_ID=&pagesize=1

10) Walik Molomiti (Ptilinopus subgularis)


Walik molomiti atau dalam bahasa kapota sering disebut hune kepala putih memiliki ciri
morfologi pada bagian iris mata berwarna merah melingkar, dagu berwarna merah manggis dan
bagian depan berwarna abu-abu pucat tidak terlalu jelas, bagian dada berbintik warna kekuningan,
mulai dari tengkuk sampai ekor berwarna hijau dan bagian bawah tunggir berwarna kemerahan,
dan kaki berwarna orange. Perilaku umum, jarang mengeluarkan suara yang keras dan sepeerti
jenis lainnya menyukai bertengger ditempat pohon yang tinggi dan bertengger dalam bentuk
berpasangan dalam kelompok-kelompok yang kecil. Burung ini biasa bertengger lebih lama dan
jarang terbang berpindah-pindah.

Walik molomiti (Ptilinopus subgularis)


Posisi pada tapak, dapat ditemui ditempat-tempat terbuka yang memiliki pohon-pohon
yang tinggi seperti cemara, bayur dan pohon beringin. Untuk bertengger burung ini menyukai
pohon yang daunnya tidak rimbun. Waktu perjumpaan dan cara untuk melihat satwa tersebut.
Dapat dijumpai pada siang hari karena satwa diurnal. Cara untuk melihatnya dapat menggunakan
teropong karena akan lebih terlihat perbedaannya dengan jenis yang lain. Usahakan tidak bersuara
dan jangan berada di radius yang terlalu dekat, bisa diamati dalam radius 10 m.
171

11) Pergam Hijau (Ducula aenea)


Pergam hijau dalam bahasa kapota sering disebut burung kenari merupakan jenis yang
endemik daratan Sulawesi (Coates & Bishop 2000). Ciri morfologinya memiliki kepala dan tubuh
bagian bawah keabu-abuan dan mantelnya keperungguan. Perilaku umumnya, sering bertengger di
dahan-dahan yang pohonnya tinggi. Biasanya berpasangan dalam kelompok-kelompok kecil.
Jarang terbang berpindah-pindah, biasa bertengger lebih lama terutama di pohon yang memiliki
buah untuk dimakan.

Pergam Hijau (Ducula radiata)


Penyebaran dan posisi pada tapak, dapat ditemui ditempat-tempat terbuka yang memiliki
pohon-pohon yang tinggi seperti cemara, bayur dan pohon beringin. Posisi pada tapak dapat
dijumpai disekitar Hutan Sara, jalur menuju goa. Dapat dijumpai pada siang hari karena satwa
diurnal. Cara untuk melihatnya dapat menggunakan teropong karena akan lebih terlihat
perbedaannya dengan jenis yang lain. Usahakan tidak bersuara dan jangan berada di radius yang
terlalu dekat, bisa diamati dalam radius 10 m.

12) Kekep Babi (Artamus leucorynchus)


Kekep Babi memiliki ciri morfologi dengan panjang tubuh sekitar 20 cm, memiliki ciri
warna abu-abu tua dengan bagian bawah putih dan mata merah. Untuk jantan bagian tenggorokan
hitam, sedangkan betina abu-abu. Perilaku umum, biasa bertengger pada ranting kayu dan lebih
sering ditemui di atas daun kelapa. Biasanya dapat ditemukan berpasangan.

Kekep babi (Artamus leucorynchus)


172

Posisi pada tapak, penyebaran diPulau Kapota berada di pesisir pantai terutama lahan
terbuka yang ditumbuhi oleh kelapa. Waktu perjumpaan dan cara untuk melihat satwa tersebut.
dapat ditemukan siang hari.

13) Betet-kelapa Punggung-biru (Tanygnathus sumatranus)


Betet kelapa punggung biru atau dalam bahasa kapota disebut burung karenga memiliki
bentuk paruh bengkok, jantan memiliki paruh merah yang besar, sedangkan betina seluruhnya
berwarna hijau dengan warna paruh putih. Perilaku umumnya senang berterbangan dilahan
perkebunan masyarakat karena memakan hasil perkebunan terutama di malam hari. Suaranya
terdengar parau dan setiap terbang biasanya akan menimbulkan suara.

Betet-kelapa Punggung-biru (Tanygnathus sumatranus)


Sumber : http://orientalbirdimages.org/search.php?p=2&Bird_ID=533&Bird_Family_ID=&pagesize=1
Posisi pada tapak, dapat ditemui di perkebunan jambu mete masyarakat. Waktu
perjumpaan dan cara untuk melihat satwa tersebut, dapat dijumpai disinang hari dan malam hari.
Tetapi dimalam hari sulit terlihat karena gerakannya yang pelan dan akan berhenti makan jika
terdengar gerakan-gerakan. Disiang hari pengamat harus lebih sabar menunggu di pohon jambu
mete yang sedang berbuah karena jika burung ini mengetahui ada ancaman dia akan langsung
terbang berpindah kepohon lain yang sulit terlihat. Saat pengamatan berlangsung diusahakan tidak
bersuara.

14) Srigunting-jambul rambut (Dicrurus hottentottus)


Srigunting-jambul rambut dalam bahasa kapotanya burung ekor ikan memiliki ciri yang
paling mudah untuk dikenali yaitu bentuk ekornya seperti ekor ikan dan bentuk badannya gemuk
dan pendek. Dapat dikenali juga dengan warna punggung, tunggir, ekor, dan bagian perut hitam
mengkilap bahkan dapat dikatakan semua bagian tubuhnya berwarna hitam. Burung ini saat
ditempa oleh sinar matahari warna bulu-bulunya akan berkilauan dan membentuk warna-warna
seperti hijau kehitaman yang bercahaya. Perilaku umum, menyukai terbang membumbung
mengikuti aliran udara panas, menyukai bertengger rapat pada sebuah dahan terutama saat pagi
173

hari. Merupakan satwa diurnal dan umumnya berada dalam kelompok kecil yang lepas, dapat
ditemui dalam jumlah 4-5 ekor.

a. b.
Srigunting-jambul rambut (Dicrurus hottentottus) a. (Foto pribadi) b. (Sumber:
http://www.pbase.com/ingotkfr/image/103048462)
Penyebaran dan posisi pada tapak, burung ekor ikan dapat ditemui di kebun-kebun
masyarakat, hutan lebat seperti di hutan sara. Posisi pada tapak yaitu di sepanjang jalur menuju
objek togo molengo dan dibagian hutan sara yang telah terbuka atau bekas tebangan kayu. Waktu
perjumpaan dan cara untuk melihat satwa tersebut. Dapat ditemui sepanjang hari mulai dari pagi
hingga sore hari. Untuk spot-spot tertentu seperti jalur menuju objek togo molengo sudah dapat
ditemui mulai jam 7 pagi. Burung-burung ini akan mengeluarkan suara bising dibagian pepohonan
dan saling sahut menyahut. Saat pengamat melakukan gerakan satwa ini tidak langsung terbang
tetapi matanya akan terus mengawasi gerak-gerik pengamat dan pada radius yang terlalu dekat
burung ini akan terbang ke dahan lain yang tidak terlalu jauh sehingga masih bisa diikuti. Cara
untuk melihat burung kekep sebaiknya berada pada radius yang tidak terlalu dekat atau sebaiknya
kira-kira 5 meter, dan diusahakan jangan menimbulkan suara.

15) Kepudang Kuduk-hitam (Oriolus chinensis)


Kepudang kuduk hitam atau dalam bahasa kapotanya burung kalirihu sangat mudah
dikenali dari warna bulunya yang kuning keemasan, ada garis hitam lebar melalui wajah dan
sekeliling tengkuk, sayap dan ekor tidak sepenuhnya berwarna hitam tapi bercampur dengan warna
kuning, warna kaki hitam dengan paruh yang tidak terlalu panjang dan tidak meruncing. Perilaku
umum, tidak menyukai bertengger terlalu lama dan tempat bertengger biasanya dipohon-pohon
yang tinggi seperti cermara, kayu besi dan beringin. Disaat bertenggerpun selalu berpindah antara
dahan ke dahan dalam satu pohon. Kicauannya seperti bunyi seruling tetapi burung ini jarang
sekali mengeluarkan suara.
174

Kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis)


Jenis ini tersebar diseluruh Pulau Kapota dan jenis ini hanya dapat ditemui di Sulawesi
dan sangat umum dijumpai. Menyukai tempat-tempat yang terbuka sampai hutan, terutama
dikebun-kebun masyarakat. Hanya dapat dijumpai disiang hari dan untuk melakukan pengamatan
diperlukan kehati-hatian, jangan menimbulkan suara karena burung ini biasanya hanya bertengger
dalam waktu yang singkat terutama jika dianggapnya ada gerakan-gerakan yang mengancam.

16) Burung Gagak hutan (Corvus enca)


Gagak enca dalam bahasa kapotanya kongka, berdasarkan catatan yang telah ada burung
ini memiliki panjang tubuh 46-53 cm. busur paruh agak melengkung, dan irisnya gelap. Secara
keseluruhan warna paruh, tubuh, ekor dan kaki berwarna hitam mengkilat. Perilaku umum, biasa
mencari makanan sisa manusia terutama ikan. Burung ini akan mengendap-endap untuk
mendapatkan makanan tersebut meskipun dia tahu ada ancaman. Burung gagagk akan terbang
sebentar saat diusir dan tidak berapa lama kemudian dia akan kembali mengendap-endap untuk
mencuri makanan tersebut

Gagak hutan (Corvus enca)


Posisi pada tapak, banyak ditemui di perkebunan kelapa sawit, dan di perkampungan.
Dapat dijumpai disiang hari hingga sore hari. Cara untuk melihatnya sangat mudah karena saat
tercium bau makanan seperti ikan atau daging-daging di perkebunan kelapa maka burung ini akan
175

segera muncul dan dapat dilihat. Usahakan pengamat pura-pura tidak melihat kemunculannya
karena jika burung gagak merasa terlihat oleh pengamat burung ini akan terbang kembali.

17) Burung-madu sriganti (Cinnyris jugularis plateni)


Burung madu hitam atau dalam bahasa kapotanya burung cui dapat dikenali dari warna
bagian punggung hijau muda dan sayap berwarna hijau lebih tua , bagian kepala keabu-abuan dan
tidak ada warna pada iris mata, disekitar tenggorokan berwarna putih, paruh berwarna hitam dan
bentuknya lebih meruncing dari burung madu lainnya, bagian dada sampai bagian dibawah tunggir
berwarna kuning zaitun, ekor berwarna hitam,dan bagian kaki berwarna hitam. Perilaku umum,
biasanya burung ini dapat dikenali dengan suaranya yang pendek bernada tinggi dan sering
berpindah-pindah diantara semak-semak dan ranting-ranting kayu. Burung cui memiliki sifat awas
terhadap setiap gerakan-gerakan yang ada disekelilingnya, sehingga membuat burung ini
menyukai terbang berpindah-pindah dalam jarak dekat.

Burung-madu sriganti (Cinnyris jugularis plateni) Sumber:


http://orientalbirdimages.org/search.php?Bird_ID=2123&Bird_Image_ID=32390&Bird_Family_ID=&p=46
Burung cui dapat ditemukan di kebun-kebun masyarakat seperti kebun singkong dan
jagung, dilahan yang terbuka, dan dibagian-bagian semak belukar di dataran rendah. Burung cui
termasuk burung yang diurnal sehingga dapat dilihat sepanjang hari mulai dari pagi hingga sore
hari. Cara untuk melihatnya dengan menggunakan binokuler agar terlihat lebih jelas. Saat
pengamatan berlangsung usahakan tidak ada suara karena sifatnya yang awas terhadap gerakan-
gerakan terutama dari manusia yang dianggapnya sebagai ancaman.

18) Cabai gunung (Dicaeum sanguinolentum)


Cabai gunung memiliki panjang tubuh 9-9,5 cm. burung jantan ciri-cirinya yaitu pada
bagian atas berwarna hitam biru mengkilap, tenggorokan dan dada merah, ada setrip kehitaman
dibagian perut dan warna putih di bagian sisi sayap perut sampai bawah tunggir. Kakinya
berwarna hitam. Perilaku umum, berkicau dengan nyaring dan selalu bergerak di antara ranting-
ranting pada pohon yang sama. Belum diketahui secara pasti karena hanya ditemukan 1 kali.
Waktu perjumpaan dan cara untuk melihat satwa tersebut. dapat ditemui saat pagi hari hinga sore
hari karena sangat ini termasuk diurnal.
176

Lampiran 3 Beberapa jenis tumbuhan mangrove yang dapat dijumpai di Pulau


Kapota

No. Nama Ilmiah Famili Keterangan


1. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Rhizophoraceae Mangrove sejati
2. Nypa fruticans Wurmb. Arecaceae Mangrove sejati
3. Xylocarpus granatum Koen Meliaceae Mangrove sejati
4. Acrostichum speciosum Willd. Pteridaceae Mangrove sejati
5. Acanthus ilicifolius L. Acanthaceae Mangrove sejati
6. Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet. Convolvulaceae Mangrove ikutan
7. Morinda citrifolia L. Rubiaceae Mangrove ikutan
8. Pandanus tectorius. Parkinson ex Z. Pandanaceae Mangrove ikutan
9. Passiflora foetida (L.) Leguminosae Mangrove ikutan
10. Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb. Goodeniaceae Mangrove ikutan
11. Terminalia catappa L. Combretaceae Mangrove ikutan

Lampiran 4 Jenis-jenis lamun yang dapat dijumpai di Perairan Kapota


No. Nama Indonesia Keterangan
1. Hydrocaritaceae
1. Enhalus acroides (Lamun tropika) Umumnya tumbuh di sedimen yang
berpasir/berlumpur; dapat tumbuh dominan pada
padang lamun campuran; lebar kisaran vertikal
intertidalnya mencapai 25 m;penting sebagai
pelindung juvenil ikan.
2. Thalassia hemprichii Spesies yang jumlahnya bisa melimpah dan
penyebarannya luas; sering dominan pada padang
lamun campuran; tumbuh pada subsrat pasir
berlumpur yang berbeda/pecahan koral yang kasar;
lebar kisaran vertikal intertidalnya mendekati 25 m.
Sebagai makanan dugong
3. Halophila decipiens Dominan di intertidal; spesies pionir; cenderung
4. Halophila ovalis (Lamun sendok) membentuk koloni pada daerah setelah Halodule;
hanya dapat tumbuh pada mangrove kearah laut.
2. Pomatogetonaceae
5. Halodule uninervis
6. Halodule pinifolia (Lamun benang) Tumbuh cepat; spesies pionir; dan spesies yang
tunggal terutama di daerah berlumpur.
Pada hampir subtidal yang dangkal/ substrat
7. Syringodium isoetifolium lumpur.
Sumber: dok.BTNW (2009), Dahuri (2003)
177

Lampiran 5 Jenis-jenis terumbu karang yang dapat dijumpai di Perairan Kapota


No. Nama Ilmiah Keterangan
1. Acrophora spp. Jenis karang keras
2. Dendrophyllia spp. Jenis karang keras
3. Favia abdita Jenis karang keras
4. Echinopora horrid Jenis karang keras
5. Favites spp. Jenis karang keras
6. Heliofungia actinoformis Jenis karang keras
7. Lobophylla spp. Jenis karang keras
8. Montastrea spp. Jenis karang keras
9. Mycedium spp. Jenis karang keras
10. Millepora spp. Jenis karang keras
11. Nepthea spp. Jenis karang keras
12. Oulophylla crispa Jenis karang keras
13. Oxypora spp. Jenis karang keras
14. Pavona clavus Jenis karang keras
15. Pavona decussate Jenis karang keras
16. Platygira lamellina Jenis karang keras
17. Platygira pini Jenis karang keras
18. Porites spp. Jenis karang keras
19. Porithes spp. Jenis karang keras
20. Spirobranchus giganteus Jenis karang keras
21. Symphyllia spp. Jenis karang keras
22. Turbinaria frondens Jenis karang keras
23. Xenia spp. Jenis karang keras
24. Sarcophyton throcheliophorum Jenis Karang lunak
25. Sinularia spp. Jenis Karang lunak
178

Lampiran 6 Hasil Pemetaan Goa Kelelawar

PETA GOA KELELAWAR

Legenda
Jalur Penelusuran
Δ Stasiun
Batas Stasiun
0 – 26 Nomor Stasiun Dibuat oleh: Rafika, Suratman, dan Nori (2010)
179

Lampiran 7 Contoh desain fasilitas interpretasi alam yang akan dikembangkan

Tanda-Tanda Interpretasi
1. Papan Penunjuk Arah
Keterangan
Bahan: terbuat dari kayu
Penempatan: sekitar 5 m dari Pelabuhan Jonson atau
di persimpangan jaln menuju Desa Kapota dan Desa
Kabita. Papan bertuliskan Desa Kapota, Desa Kapota
Utara, Desa Kabita, Desa Kabita Togo, Pusat
Informasi Wisata, Pelabuhan Jonson

Keterangan
Bahan: terbuat dari kayu
Papan bertuliskan: Objek-objek
interpretasi yang akan dikunjungi dan
Waktu bagian papan yang tipis adalah tulisan
waktu dan jarak tempuh

2. Papan Interpretasi

Keterangan
Bahan: Atap dari ijuk/seng, tiang dari kayu atau besi kemudian tiang diberi pondasi dari semen,
papan terbuat dari aluminium atau kayu biasa
Papan berisikan:
1. Deskripsi singkat mengenai objek interpretasi yang dilengkapi dengan gambar/foto objek dan
dibuat semenarik mungkin. Tulisan harus jelas, singkat, dan mudah dipahami.
2. Gambar objek yang diinterpretasikan diletakkan dibagian ujung papan
180

Posisi/letak papan khusus di goa kelelawar: Berada di dekat objek/Goa Kelelawar.


Papan bertuliskan: Peta/sketsa jalur yang akan ditempuh di dalam goa seperti lampiran 6 dan
kode etik penelusuran goa yaitu:
1. Dilarang meninggalkan sesuatu kecuali jejak yang diletakkan secara hati-hati
2. Dilarang mengambil sesuatu kecuali gambar
3. Dilarang membunuh sesuatu kecuali waktu
Bahan yang digunakan pada contoh gambar:
1. Kayu bulat
2. Papan
3. Atap dari rumbia atau bahan lain yang memungkinkan
181

3. Pal Jarak

Posisi/letak papan: Berada di dekat objek


interpretasi dan gambar pertama merupakan
pal yang menunjukkan jarak tempuh yang
diletakkan setiap 100 m di sepanjang jalur.
Papan bertuliskan: kode yang sesuai dengan
buku panduan interpretasi yang dipegang
oleh pengunjung
Bahan yang digunakan pada contoh gambar:
1. Bambu atau bahan lain yang permanen
2. Kayu/papan

Shelter

Keterangan
Bahan: Atap dari ijuk/seng, tiang dari
kayu atau bambu kemudian tiang
diberi pondasi dari semen, papan dari
kayu atau bilah bambu yang bentuknya
sudah dihaluskan

Homestay sederhana

Anda mungkin juga menyukai