Anda di halaman 1dari 21

PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA BERBASIS

METODE ANTINOMI NILAI DALAM PENEGAKAN HUKUM


Kajian Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag

AGRARIAN DISPUTES RESOLUTION THROUGH ANTINOMY OF


VALUES METHODOLOGY IN LAW ENFORCEMENT
An Analysis of Court Decision Number 06/Pdt.G/2014/PN.Kag

Ali Imron
Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang
Jl. Terusan Raya Dieng No. 62-64 Malang 65146
E-mail: aim2353@yahoo.com

Naskah diterima: 8 Maret 2015; revisi: 18 Agustus 2015; disetujui: 21 Agustus 2015

ABSTRAK hukum.

Bercermin pada putusan Pengadilan Negeri Kayuagung


ABSTRACT
Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag. tanggal 25 November
2014 yang mengadili konflik agraria di Desa SS, Court Decision Number 06/Pdt.G/2014/PN.Kag issued
dapat dipetik suatu pelajaran betapa lemahnya peran on November 25, 2014, which tried the case of agrarian
pengadilan sebagai lembaga penegakan hukum yang disputes in SS, reflects the poor role of the judiciary as
visioner dalam melindungi kelompok masyarakat the law enforcement agency whose vision is to protect
petani yang tidak berdaya. Ketetapan MPR Nomor IX helpless the society group of farmers. The People’s
Tahun 2001 telah memberikan mandat yang jelas, baik Consultative Assembly Decree Number IX of 2001 has
yang ditujukan kepada DPR, presiden, dan lembaga given a clear mandate, addressed both to the House of
yudikatif (pengadilan), yaitu pertama, menjalankan Representatives, the president, and the judicial agency
pembaruan agraria; dan kedua, menegakkan prinsip- (courts), that are firstly, to implement the agrarian reform,
prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan and secondly, to uphold the equitable and sustainable
dan berkelanjutan. Amanah tersebut menginspirasi principles of natural resources management. The
pengadilan agar dalam menyelesaikan konflik agraria, mandate inspires the courts to not only rely on legalism/
bukan hanya mengandalkan legalisme/formalisme, formalism in resolving agrarian disputes, but also on the
tetapi melalui paradigma hukum progresif yang progressive law paradigm which promote substantial
mengedepankan keadilan substansial. Berpegang pada justice. Adhering to the principle of independence of
prinsip kebebasan hakim dalam penegakan hukum, judiciary in law enforcement, chances are wide open
peluang terbuka lebar untuk memadukan ketegangan to chime strain value -through a method of antinomy-
–melalui metode antinomi- nilai antara tuntutan kepastian between the demands of legal certainty and the demands
hukum dan tuntutan keadilan, agar lebih mengedepankan of justice, which emphasizes value of merit o the
nilai manfaat bagi masyarakat yang terpinggirkan oleh communities marginalized by the authority and power
kekuatan dan kekuasaan pemodal besar di dalam kancah of the capitalists in the arena of agrarian disputes.
konflik agraria. Keywords: agrarian disputes, antinomy of values, law
Kata kunci: konflik agraria, antinomi nilai, penegakan enforcement.

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 229

Jurnal isi edit arnis ok.indd 229 10/1/2015 11:48:36 AM


I. PENDAHULUAN dengan negara. Selama ini hak-hak rakyat
senantiasa menjadi pihak yang terkalahkan, tidak
A. Latar Belakang
pernah mendapat tempat menurut sudut pandang
Konflik agraria merupakan salah satu pemerintah. Maka tidak mustahil apabila dalam
persoalan besar bangsa Indonesia yang hingga kini berbagai kasus sengketa pertanahan yang
belum dapat ditemukan solusi penyelesaiannya. terekam, rakyat lebih memilih saluran-saluran
Merebaknya konflik agraria, merupakan indikasi “perlawanan” di luar lembaga peradilan, seperti
adanya krisis dalam bangunan politik dan hukum unjuk rasa dan aksi protes di gedung-gedung
agraria. Politik agraria yang terbangun dan pemerintah maupun DPR, bahkan rakyat lebih
berlangsung sampai saat ini, oleh beberapa penulis menaruh kepercayaannya kepada Komnas
dipandang sebagai sosok politik agraria yang HAM.
pro kapitalisme-neoliberal dengan mengabaikan
Sesungguhnya sesuai mekanisme formal
kepentingan kelompok tani, nelayan, buruh,
dalam sistem hukum, satu-satunya lembaga
dan masyarakat adat. Adapun perangkat hukum
penegak hukum yang fokus menyelesaikan
agraria yang terbangun, terpengaruh oleh unsur
dalam hal terjadi sengketa di antara anggota
kepentingan pemodal besar, yang memberi
masyarakat adalah pengadilan. Selama ini
peluang terhadap penguasaan tanah dan sumber
peran pengadilan dalam konflik agraria dinilai
daya alam dalam skala luas dan terus-menerus.
tidak mampu mengakomodasi tuntutan rakyat
Keadaan itu menimbulkan ekses yang dapat
yang merasa haknya dirampas. Kenyataannya
menggerus dan menyingkirkan kepentingan
memang secara legal-formal hak-hak rakyat
kaum tani, nelayan, buruh, dan masyarakat adat
itu lemah bukti penguasaan hak atas tanah
dari alat produksinya (Konsorsium Pembaruan
garapannya. Memuncaknya ketidakpercayaan
Agraria (KPA), 2010). Faktanya konflik tersebut
tersebut semakin menimbulkan anggapan,
telah banyak menimbulkan korban di pihak
bahwa pengadilan justru memberi peluang bagi
masyarakat sipil, pada umumnya diakibatkan
keberlanjutan peminggiran terhadap hak petani
oleh adanya kebijakan timpang yang memanjakan
dan rakyat atas tanah dan sumber-sumber agraria
kelompok tertentu sembari mengabaikan hak-hak
yang menjadi tumpuan hidup dan kehidupan
sejumlah pihak lainnya.
keluarga maupun generasinya.
Potret tentang praktik pengelolaan dan
Apabila memperhatikan sebaran sengketa
pengurusan negara atas tanah dan sumber
pertanahan yang terus berlangsung di berbagai
daya alam yang ada, dari periode ke periode
wilayah di tanah air, jumlah kerugian materiil
pemerintahan di Republik ini lebih banyak
maupun korban fisik yang cukup banyak, sudah
menyebabkan ketidakseimbangan distribusi hak-
pasti harus menimpa pihak yang tidak berdaya
hak atas tanah. Corak konflik agraria di Indonesia
secara sosial-ekonomi.
sekarang sudah berubah menjadi konflik vertikal
daripada konflik horizontal; atau konflik antara Bercermin pada Putusan Nomor 06/
petani dan rakyat berhadapan dengan kekuatan Pdt.G/2014/PN.Kag. tanggal 25 November 2014,
modal atau negara; atau konflik antara petani dan merupakan salah satu contoh lemahnya peran
rakyat dengan kekuatan modal yang beraliansi pengadilan sebagai lembaga penegak hukum

230 | Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 230 10/1/2015 11:48:36 AM


yang visioner dalam melindungi kelompok besar swasta, di bawah bayang-bayang unsur
masyarakat petani yang tidak berdaya. Konflik penguasa pemerintahan.
agraria antara petani masyarakat Desa SS
Dalam salah satu pertimbangan hukumnya
Kecamatan M Kabupaten OKI melawan PT.
pada putusan tersebut di halaman 194
SWA itu, merupakan persoalan skala kompetisi
menyebutkan: “Pendekatan hukum terhadap
dalam pemanfaatan ruang, terutama dalam hal
konflik agraria seyogianya bukan hanya
alokasi potensi kekayaan agraria/sumber daya
mengandalkan legalisme/formalisme, karena
alam tanah.
terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak
Penduduk setempat membutuhkan lahan mampu menuntaskan akar persoalan, untuk itu
sebagai modal keberlanjutan hidupnya, sehingga harus mengadopsi gagasan yang dikembangkan
hanya memerlukan sumber daya yang relatif dalam wacana hak asasi manusia sebagai konsep
sedikit. Sementara pada sisi lain potensi kekayaan trasitional justice (suatu pendekatan keadilan
agraria tersebut dibutuhkan oleh kepentingan transisional) yang mengutamakan hak-hak
ekonomi skala besar, mengambil alih paksa korban konflik agraria dalam bentuk pemulihan,
lahan-lahan yang awalnya telah dikuasai oleh kompensasi, dan restitusi hak asasi manusia
petani maupun kelompok masyarakat adat SS. atau pendekatan hukum secara progresif yang
Proses pengambil alihan sumber-sumber agraria mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan
itu dilengkapi sarana pengalihan hak atas sumber- substansial, tanpa mengesampingkan ketentuan
sumber agraria yang difasilitasi pemerintah hukum acara yang berlaku” (www.putusan.
daerah dan instansi lainnya, hingga diterbitkan mahkamahagung.go.id).
hak guna usaha (HGU).
Bunyi pertimbangan hukum tersebut,
Sementara apabila dicermati, melalui dalil- ternyata kontradiktif dengan vonis hakim yang
dalil posita baik dari pihak penggugat maupun tidak menyandarkan pada keadilan substantif,
pihak tergugat, tujuan awal mereka datang di SS yaitu suatu putusan yang seharusnya memiliki
adalah mengajak kerjasama dengan para anggota sifat sensitivitas terhadap masalah bangsa dan
masyarakat setempat, untuk usaha perkebunan kehidupan rakyat, dengan melihat suatu problema
kelapa sawit dengan pola plasma-inti. Namun dari perspektif keadilan sosial. Konkretnya
dalam perjalanannya pihak PT. TMM –yang terhadap putusan yang menolak gugatan
satu grup dengan PT. SWA– secara sepihak rekonvensi dari para petani masyarakat adat SS
membatalkan perjanjian kerjasama perkebunan dengan alasan gugatan kabur (obscuur libels),
plasma dan mengalihkan penguasaannya kepada memperlihatkan keraguan hakim. Sejatinya
PT. SWA, kemudian mengubah status tanah hak dengan berpegang pada prinsip deskresi/
adat objek sengketa itu menjadi HGU. Peristiwa kebebasan hakim, upaya untuk mengedepankan
inilah titik awal yang memicu munculnya rasa keadilan demi masyarakat tani yang lemah,
konflik. Seiring perjalanan waktu, sifat sengketa dan berada di pihak yang menjadi korban
pertanahan yang merebak di Desa SS itu, –menyangkut nasib serta kepentingan sejumlah
berubah dari kategori horizontal menjadi konflik 315 kepala keluarga itu– layak diperhatikan agar
pertanahan vertikal, yaitu antara kelompok rakyat nasibnya tidak diambangkan.
tani lemah, melawan pihak perusahaan pemodal

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 231

Jurnal isi edit arnis ok.indd 231 10/1/2015 11:48:36 AM


Selaras tuntutan reformasi, peran Kemauan politik untuk melakukan
pengadilan didorong agar lebih aktif melibatkan reformasi agraria di Indonesia sebenarnya sudah
diri dalam proses membangun masyarakat dicanangkan sejak diundangkannya Undang-
Indonesia baru, supaya menghasilkan putusan- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UU PA dan
putusan yang berbobot politik, yaitu politik peraturan pelaksanaan lainnya, yaitu berkenaan
kenegarawanan (judicial statmenship) semata- dirumuskannya ketentuan tentang landreform
mata dalam rangka pengadilan turut membangun yang membatasi kepemilikan luas hak atas tanah,
masyarakat baru tersebut. Perkembangan dari dan pembagian tanah kepada petani yang tidak
abad ke abad, tempat dan peran pengadilan sejak memiliki tanah. Jadi inti dari reforma agraria
abad XX memperlihatkan perubahan dibanding adalah landreform, dalam arti redistribusi
pada abad sebelumnya (abad XIX). Menurut penguasaan dan pemilikan tanah, dengan tujuan
Rahardjo (2010, hal. 183-184), fenomena itu hakiki untuk mempertinggi penghasilan dan taraf
tampak secara pelan-pelan terjadi perubahan dari hidup para petani penggarap, sekaligus sebagai
peran pengadilan sebagai institusi hukum yang landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan
sempit dan terisolasi, menjadi pengadilan yang pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil
mau melibatkan ke dalam atau mendengarkan dan makmur berdasarkan Pancasila (Harsono,
dinamika masyarakat sekelilingnya. Makna 2007, hal. 31).
pendapat tersebut menyiratkan asosiasi bahwa
Sejalan dengan visi sumber aturan tersebut,
pengadilan dalam memutus perkara, agar tidak
hakikatnya sudah sinkron dengan bunyi salah satu
semata-mata hanya mengingat apa yang menurut
pertimbangan putusan hakim di muka, bahwa
tafsirannya dikehendaki oleh undang-undang,
“pendekatan hukum terhadap konflik agraria
tanpa memerhatikan dinamika masyarakat.
seyogianya bukan hanya mengandalkan aspek
Pengadilan sesuai perannya sebagai the legal-formal, karena terbukti gagal menghadirkan
last resort bagi para justitiabel, seyogianya keadilan dan tak mampu menuntaskan
mengikuti pasang-surut dan dinamika sektor akar persoalan, selayaknya opsi yang lebih
keagrariaan. Para pembela hak rakyat setelah diprioritaskan adalah pendekatan hukum secara
melalui perjuangan panjang dan menelan banyak progresif yang mengedepankan terpenuhinya
korban, gejala adanya perubahan kebijakan rasa keadilan substansial.” Sedangkan pesan
keagrariaan di tanah air mulai terlihat, yaitu utama paradigma hukum progresif, menyiratkan
dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor gagasan bahwa ketertiban tidak bekerja hanya
IX Tahun 2001 tentang “Pembaruan Agraria melalui produk aturan institusi negara, tetapi juga
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.” Melalui ditentukan oleh habitat di mana hukum tersebut
ketetapannya itu, MPR telah memberikan hidup, yaitu perilaku sosial masyarakatlah yang
mandat yang jelas, baik yang ditujukan kepada menjadikan hukum bekerja mengalir mengikuti
DPR, presiden dan jajaran lembaga yudikatif alur berfikir sosial masyarakatnya.
(pengadilan), yaitu: pertama, menjalankan
Jiwa hukum progresif akan dapat
pembaruan agraria; dan kedua, menegakkan
menstimulasi penalaran hakim dalam menangani
prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam
perkara tentang konflik agraria, supaya melakukan
yang berkeadilan dan berkelanjutan.
perenungan (contemplation) dan mencari makna

232 | Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 232 10/1/2015 11:48:36 AM


lebih dalam dari suatu peraturan. Sebagaimana Hakim yang berpikiran progresif menurut
dikutip oleh Mertokusumo dan Pitlo (1993, hal. pendapat Rahardjo (2010, hal. 142), akan
70-71), Scholten berpendapat bahwa hukum itu berupaya menjadikan dirinya bagian masyarakat
ada dalam undang-undang tetapi masih harus dan senantiasa akan bertanya “Apa peran yang
ditemukan. Artinya, ketika “pintu perenungan dapat diabdikan dalam era reformasi ini? Apa
makna” itu di buka, maka tampaklah bentangan yang diinginkan segenap bangsa ini sesuai cita-
cakrawala baru di hadapan hakim. Perenungan cita reformasi?” Singkatnya, pengadilan progresif
tidak akan berhenti pada dimensi subjektif, mengikuti maksim “hukum adalah untuk rakyat,
tetapi juga merespon kondisi lingkungan bukan sebaliknya.” Gagasan progresif tersebut
kemasyarakatan. diharapkan dapat membantu kita keluar dari cara
berhukum yang sudah dianggap baku, dan hukum
Tugas dan fungsi hakim sebagai penegak
progresif mebebaskan kita dari cara berhukum
hukum dan keadilan adalah bebas, artinya hakim
yang selama ini dijalankan.
tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan
atau campur tangan dari pihak atau kekuasaan Berpegang pada pandangan tersebut bahwa
manapun. Pada dasarnya tujuan dari kebebasan hukum untuk rakyat, adalah sejiwa dengan
hakim dalam mengadili dan memutus perkara amanah Konstitusi dan Tap MPR Nomor IX
adalah agar pengadilan dapat menunaikan Tahun 2001 hendaknya sumber-sumber agraria
tugasnya dengan sebaik-baiknya, sehingga digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran
dapat memberikan keputusan berdasar kepastian rakyat. Namun cerminan putusan hakim yang
hukum dan keadilan serta kejujuran. Dalam tertuang dalam perkara Nomor 06/Pdt.G/2014/
proses penemuan dan penegakan hukum, hakim PN.Kag, justru menggambarkan adanya
dihadapkan pada suatu kenyataan tentang adanya inkonsistensi antara pertimbangan hukum yang
ketegangan nilai antara tuntutan kepastian hukum berparadigma hukum progresif dengan putusan
dan tuntutan keadilan. akhir yang condong legal-positivistik. Lahirnya
putusan itu mempunyai dampak sosial-ekonomi
Adagium dalam ilmu hukum disebutkan
bagi 315 kepala keluarga beserta anggotanya
bahwa, kepastian yang tertinggi adalah keadilan
yang diambangkan nasibnya oleh vonis
yang terendah (summum ius summa iniuria) dan
pengadilan tersebut, ia menjadi terlepas dengan
sebaliknya. Sudut pandang pemahaman yang
alat produksinya.
ideal (maknawi), nilai-nilai yang bersitegang
(antinomi) itu tidak berarti bahwa keduanya
tidak dapat disinergikan untuk terciptanya B. Rumusan Masalah
synthese yang menghasilkan kemanfaatan hidup Bertolak dari uraian latar belakang masalah
masyarakat. Apa yang adil, atau apa yang pasti, tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian ini
sangat tergantung menurut konteksnya. Sekalipun sebagai berikut:
konteks mempengaruhi apakah nilai kepastian
hukum itu adalah nilai yang “baik” atau “buruk,” 1. Bagaimanakah seharusnya penyelesaian
begitu juga sebaliknya, tetap saja keduanya harus konflik agraria melalui pendekatan hukum
hadir secara antinomi untuk menyempurnakan progresif dalam putusan agraria?
satu sama lainnya.

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 233

Jurnal isi edit arnis ok.indd 233 10/1/2015 11:48:36 AM


2. Bagaimana seharusnya sikap dan tindakan
progresif diharapkan dapat membantu dalam
hakim, sesuai status bebas-mandiri yang
penegakan hukum, untuk keluar dari kungkungan
disandangnya dalam menyelesaikan konflik
cara berhukum yang sudah dianggap baku. Pada
agraria; ketika dihadapkan pada kondisi
gilirannya juga untuk menangkal adanya kesan
antinomi antara aspek legalitas-formalbahwa hakim/pengadilan sebagai institusi hukum,
demi pengutamaan unsur kepastian hukum,
tidak hanya bekerja secara birokratis, mekanis,
dan tekanan kondisi non-formal yang dan prosedural, tetapi lebih dari itu ada keberanian
berorientasi pada keadilan substantif?melakukan terobosan hukum (rule breaking) dan
keluar dari rutinitas penerapan hukum. Bertolak
C. Tujuan dan Kegunaan dari konsep “penyelesaian” tersebut, secara
fungsional juga untuk menghindari terjadinya
Konflik agraria yang telah diputuskan percabangan atau bifurcation dalam artian hukum
oleh Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/ PN.Kag dan pengadilan tidak lagi hanya menjadi tempat
merupakan salah satu persoalan besar bangsa untuk mencari keadilan, tetapi sebagai tempat
Indonesia yang menjadi sorotan publik. Konflik untuk menegakkan peraturan.
agraria merupakan salah satu jenis konflik sosial
yang sering terjadi dan dilihat dari perspektif
D. Studi Pustaka
sosiologis, konflik agraria berakar dari berbagai
macam permasalahan. Adapun dari perspektif 1. Karakteristik Konflik Agraria di
hukum, konflik agraria potensial dipicu oleh Indonesia Pada Saat Ini
beberapa sumber konflik, antara lain konflik
Konflik agraria adalah indikasi krisis
norma, konflik kepentingan dan konflik nilai-
dalam politik dan hukum agraria. Politik agraria
nlai.
yang berlangsung hingga saat ini adalah politik
Mengingat karakter khusus yang melekat agraria yang pro kapitalisme-neo liberal dengan
pada jenis kasus tersebut, kegiatan penelitian mengabaikan kepentingan kelompok tani, buruh,
ini ditujukan untuk memberikan solusi nelayan, dan masyarakat adat. Sedangkan hukum
alternatif penegakan hukum yang berkonotasi agrarianya adalah hukum agraria yang mengabdi
“menyelesaikan” konflik agraria, dan bukan pada kepentingan pemodal besar, memungkinkan
sekadar “memutus” perkara. Terutama dalam penguasaan tanah dan sumber daya alam dalam
penelitian ini diusahakan dapat menelorkan opsi skala luas dan secara terus-menerus menggerus
gagasan penyelesaian konflik agraria melalui dan menyingkirkan kaum tani, nelayan,
pendekatan paradigma hukum progresif, yang buruh, dan masyarakat adat dari kemampuan
berbasis metode antinomi berorientasi pada produktivitasnya (Suara Pembaruan Agraria,
keadilan substansial. Edisi VIII September-Oktober 2013, hal. 30).

Kegunaan penelitian ini khususnya dapat Ketimpangan kehidupan sosial-politik,


memberi kontribusi dalam pengayaan wawasan hukum, dan ekonomi tersebut melahirkan rasa
bagi hakim dalam penegakan hukum konflik ketidakpuasan bagi kelompok-kelompok yang
sosial berbasis paradigma hukum progresif seperti terpinggirkan yang mengandalkan hidup dari
kasus di Desa SS. Sandaran gagasan hukum tanah dan sumber daya lain yang menyertainya.

234 | Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 234 10/1/2015 11:48:36 AM


Ketidakadilan inilah yang menjadi pangkal hal. 109-111) menyebutkan ada empat pendekatan
masalah, sehingga ribuan konflik agraria yang dapat dikelompokkan berdasar pengalaman
terjadi dan suatu ketika sampai pada tingkatan sejumlah negara dalam dalam menghadapi konflik
pelanggaran hak asasi manusia yang sangat agraria, yaitu pertama, mengabaikan kenyataan
tinggi. adanya konflik-konflik agraria yang muncul
akibat serangkaian tindakan yang terencana
Secara umum klasifikasi mengenai
sebelumnya; kedua, menunda-nunda, sehingga
sengketa dan konflik pertanahan selama ini dapat
orang menjadi bosan dan kemudian jadi tidak
dibedakan sebagai berikut: 1) sengketa horizontal
mempermasalahkannya lagi; ketiga, mengambil
antara masyarakat dengan masyarakat lainnya;
jalan pintas, yaitu menempatkan masalah konflik
2) konflik vertikal antara masyarakat dengan
agraria sebagai masalah teknis belaka; lebih
pemerintah atau pihak yang berwenang; dan 3)
khusus lagi hanya sekedar masalah ketersediaan
konflik antara masyarakat dengan pengusaha
pangan atau penegakan kepastian hukum, sehingga
atau investor. Sifat sengketa-sengketa tersebut
penyelesaian yang radikal dan menyeluruh
pada awalnya dapat saja dipicu persoalan
tidak dilakukan; empat, mengerahkan kekuatan,
sederhana, kemudian berkembang dan berubah
yaitu upaya penyelesaian konflik agraria secara
menjadi konflik yang sangat rumit. Penyebabnya
mendasar dan menyentuh akar-akar masalahnya
karena cara penanganan dan/atau struktur
dengan suatu program agrarian reform.
kelembagaannya yang bersifat sentralistik,
dikendalikan oleh mesin birokrasi otoriter dan
2. Kebijakan yang Berhubungan dengan
praktik-praktik manipulasi yang mempraktikkan
Upaya Mengatasi Konflik Agraria
kekerasan terhadap penduduk yang hendak
mempertahankan eksistensinya. Sementara itu Solusi alternatif untuk menyelesaikan
lembaga peradilan yang bertugas menegakkan konflik agraria adalah melalui kebijakan
hukum dalam mengontrol keputusan-keputusan pencanangan program pembaruan agraria
miring pejabat publik, atau mengawal hak-hak melalui Tap MPR Nomor IX Tahun 2001.
rakyat, tidak dapat dijangkau oleh para penduduk Secara operasional pembaruan agraria bertujuan
maupun oleh pembela pendampingnya karena untuk menata kembali sistem politik dan hukum
masalah aksesibilitas, biaya yang mahal, dan pertanahan, serta di dalam implementasinya
putusan-putusannya belum dapat menjamin melalui landreform yaitu program penataan
pemenuhan rasa keadilan masyarakat (Komnas kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan,
HAM, n.d.). pemanfaatan sumber agraria sebagai proses pra-

Apabila tidak ada upaya serius mengatasinya, kondisi dari pembangunan. Program landreform
maka akan mendorong lahirnya konflik-konflik hakikatnya bukanlah sekedar gerakan redistribusi
baru serta mengakibatkan terus meningkatnya tanah semata, namun harus diintegrasikan dengan
angka kemiskinan dan pengangguran, khususnya tindakan pembinaan para petani, dengan maksud
di wilayah pedesaan. Dampak sosial lanjutannya mencegah timbulnya efek negatif.
akan mendorong laju migrasi yang tak terkendali, BPN-RI menanggapinya dengan
dan pada gilirannya memicu meningkatnya angka menggunakan opsi yang bersifat manusiawi, arif,
kriminalitas di perkotaan. Christodoulou (1990,

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 235

Jurnal isi edit arnis ok.indd 235 10/1/2015 11:48:37 AM


dan bijaksana daripada pendekatan keamanan atau kalau hanya menjadi negara yang menerapkan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik agraria, kalimat undang-undang belaka. Suasana krisis
melalui pencanangan Program Pembaruan Agraria dan kemerosotan dewasa ini, hukum itu perlu
Nasional yang berupa “Landreform Plus” yaitu dijalankan secara visioner. Untuk itu, perlu ada
terdiri atas “Asset Reform” dan “Access Reform.” keberanian melakukan rule breaking dan keluar
Landreform merupakan komponen utama program dari rutinitas penerapan hukum, out of the box
pembaruan agraria yang hendak melakukan lawyering. Penegakan hukum tidak berhenti pada
penataan kembali penguasaan, pemilikan, dan menjalankan hukum secara apa adanya, within the
penggunaan, pemanfaatan sumber agraria yang call of law, melainkan menjadi tindakan kreatif,
timpang, sekaligus sebagai upaya membangun beyond the call of law.
sistem perekonomian masyarakat pedesaan.
Konfigurasi dimensi urusan pertanahan
yang terus berubah dan berkembang akan
3. Pendekatan Hukum Progresif dalam
berimplikasi menimbulkan banyak benturan
Penyelesaian Konflik Agraria
kepentingan (conflict of interest) yang terus
Konflik agraria adalah gejala adanya krisis berjalan, oleh karena itu selayaknya diperlukan
dalam bangunan politik dan hukum agraria; metode penyelesaian sengketa ataupun konflik
keadaan ini dipandang oleh Rahardjo sebagai yang berorientasi pada pemberian tekanan
suatu anomaly yang kemudian melahirkan krisis. keadilan sosial dan kepastian hukum secara
Paradigma hukum agraria lama yang kapitalistik- sinergis dan proporsional. Secara esensi kasus-
liberalistik dan sistem peradilannya yang legal- kasus pertanahan mengandung dimensi-dimensi
positivistik tidak mampu menyesuaikan kemajuan sosial yang dipertentangkan, mulai dari hubungan
zaman, sehingga membutuhkan tawaran paradigma sosial, religi, kontinuitas komunitas masyarakat,
baru guna melihat dunia hukum secara berbeda, dan harga-diri serta martabat (dignity). Bertolak
yaitu melalui paradigma hukum progresif. Pada dari fakta di tengah pertentangan ini, pengadilan
intinya paradigma hukum progresif lebih menitik- umum dan pengadilan TUN acapkali dalam
beratkan penghambaan hukum dalam kehidupan menangani kasus pertanahan, hanya melihat dari
masyarakat diorientasikan kepada nilai keadilan sisi formalitas hubungan hukum (penguasaan/
hukum yang bersifat substansial daripada keadilan pemilikan) antara person/komunitas dengan
prosedural (Kusuma, 2009, hal. 64). tanah itu semata. Oleh karena itu, sewajarnyalah
apabila kemudian pendekatan legal-formal yang
Lebih jauh Rahardjo (2010, hal. 168-169) dihasilkan berupa “putusan pengadilan,” seringkali
menegaskan, bahwa di dunia ini tidak hanya ada bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
satu tipe atau cara berhukum. Ada cara berhukum
yang hanya mengikuti bunyi pasal-pasal teks
II. METODE
undang-undang belaka, tetapi ada juga yang
menjadikan undang-undang itu inspirasi serta Tipe penelitian hukum ini adalah penelitian
panduan moral untuk secara kreatif bertindak lebih doktrinal (doctrinal researche), berupa studi
lanjut. Pilihan-pilihan ini perlu dimanfaatkan. kasus dalam rangka menemukan konsep-konsep
Negara hukum Indonesia menjadi terlalu mahal yang berhubungan dengan proses terjadinya

236 | Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 236 10/1/2015 11:48:37 AM


dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam Pengolahan dan analisis data dalam
masyarakat. Analisis difokuskan pada penegakan penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Penyajian
hukum atas Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/ hasil penelitian (sebagai hasil pengolahan data),
PN.Kag. tentang konflik agraria antara petani disatukan dengan analisis data. Hal ini merujuk
masyarakat Desa SS Kecamatan M Kabupaten pendapat Soekanto (1986, hal. 68-69), bahwa
OKU melawan PT. SWA. pada penelitian normatif yang menelaah data
sekunder, penyajian data dilakukan sekaligus
Terkait dengan konteks penelitian ini
dengan analisisnya. Artinya, penyatuan data yang
yaitu menemukan solusi penyelesaian konflik
terhimpun dengan analisis yang dikaitkan dengan
agraria, maka pendekatan yang digunakan adalah
kasus yang diangkat menjadi satu kesatuan yang
pendekatan konsep (conceptual approach) dan
padu, dan tidak bersifat deskriptif belaka.
pendekatan kasus (case approach) (Marzuki,
2007, hal. 93). Pendekatan konsep dilakukan
dalam upaya membangun konsep sebagai III. HASIL DAN PEMBAHASAN
landasan berpijak untuk memahami fenomena A. Penyelesaian Konflik Agraria Melalui
hukum sebagai suatu sistem disiplin. Sedangkan Pendekatan Hukum Progresif dalam
studi kasus dipusatkan pada kegiatan analisis Putusan Agraria
Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag tanggal
25 November 2014, tentang konflik agraria 1. Urgensi Menghayati Sumber-sumber
antara kelompok petani masyarakat adat Desa Konflik dan Upaya Penanganannya
SS Kecamatan M Kabupaten OKU melawan PT. Konflik pertanahan yang marak pada
SWA, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang saat ini, sebagian besar merupakan warisan
berdomisili di Jakarta Utara. masa lampau yang tidak terselesaikan, bentuk
Pengumpulan data sekunder dilakukan akumulasi dari berbagai sumber persoalan agraria
melalui studi bahan-bahan pustaka atau studi yang diperkirakan telah mencapai ribuan kasus
dokumentasi, dengan menerapkan teknik analisis dengan variasi motif dan substansinya, seperti
isi (content analysis). Penerapan teknik analisis sengketa batas tanah/hutan adat, tumpang-
isi (content analysis) dimaksudkan untuk tindihnya izin penguasaan, dan penggunaan
mengurai bahan pustaka hukum dari sumber tanah-tanah perkebunan, eksploitasi kayu hutan
primer yurisprudensi, terutama dalam upaya alam, perluasan hutan tanaman industri, hutan
menjustifikasi petitum gugatan maupun posita jati, kawasan konsevasi, perkebunan, pesisir
jawaban pihak-pihak, fundamentum petendi serta pantai, dan lain-lain.
ratio decidendi Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/ Resource Center Konsorsium Pembaruan
PN.Kag tersebut. Kegiatan mendapatkan sumber Agraria merekam 369 terjadinya konflik agraria
data sekunder yang berupa bahan pustaka bidang hingga 19 Desember 2013. Apabila dibandingkan
non hukum, berupa buku teks, jurnal hukum, dan tahun 2012 terdapat tren peningkatan kuantitas
internet, ditempatkan sebagai sumber data utama konflik agraria sebanyak 171 kasus atau naik
dalam menganalisis kasus yang diangkat dalam 86,36%. Areal konflik di sektor kehutanan
penelitian ini. menempati urutan teratas dengan 31 kasus meliputi

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 237

Jurnal isi edit arnis ok.indd 237 10/1/2015 11:48:37 AM


luas 545.258 Ha, disusul sektor perkebunan selanjutnya diikuti dengan kegiatan menganalisis
dengan 180 kasus meliputi 527.939,27 Ha, sektor dan mendiagnosis terhadap sumber yang menjadi
pertambangan sejumlah 38 kasus mencakup luas penyebab terjadinya konflik agraria. Bertolak dari
197.365,90 Ha dan infrastruktur 35.466 Ha yang kajian-kajian pustaka dan fakta-fakta materiil
terdistribusi dalam 105 kasus (Suara Pembaruan pertimbangan hukum putusan hakim, potensi
Agraria, Edisi IX, Desember 2013-Februari 2014, konflik itu dapat diidentifikasi sebagai berikut:
hal. 36-37). Kasus-kasus konflik agraria tersebut
a. Sumber Konflik Berdasar Kebijakan Bidang
dikualifikasi sebagai kasus-kasus struktural yang
Pertanahan
melibatkan penduduk setempat di satu pihak
yang berhadapan dengan kekuatan modal dan/ Kebijakan keagrariaan mencakup dua
atau instrumen negara. dimensi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu
aspek politik dan hukum. Kedudukan
Secara umum klasifikasi mengenai sengketa
hukum dalam negara sebagian merupakan
dan konflik pertanahan selama ini dapat dibedakan
hasil perjuangan politik, dan negara
sebagai berikut: 1) sengketa horizontal antara
merupakan komunitas yang lahir karena
masyarakat dengan masyarakat lainnya; 2) konflik
tata hukum nasional. Politik hukum agraria
vertikal antara masyarakat dengan pemerintah
yang menjadikannya prinsip hukum positif
atau pihak yang berwenang; 3) konflik antara
sebagai kerangka kerja satu-satunya yang
masyarakat dengan pengusaha atau investor.
hidup dalam masyarakat, maka kondisi ini
Sifat sengketa-sengketa tersebut pada awalnya
akan mengabaikan prinsip-prinsip hukum
dapat saja dipicu persoalan sederhana, kemudian
lain yang tidak mensyaratkan eksistensi
berkembang dan berubah menjadi konflik yang
otoritas negara sebagai penentu legalitasnya,
sangat rumit. Penyebabnya karena cara penanganan
yang justru sudah ada sebelumnya dan
dan/atau struktur kelembagaannya yang bersifat
mengakar dalam kehidupan masyarakat.
sentralistik, dikendalikan oleh mesin birokrasi
Suasana dekotomis tafsir kaidah esensi
otoriter dan praktik-praktik manipulasi yang
demikian inilah yang potensial melahirkan
mempraktikkan kekerasan terhadap penduduk
konflik secara berkepanjangan.
yang hendak mempertahankan eksistensinya.
Sementara itu lembaga-lembaga peradilan yang Masyarakat tradisional yang secara turun-
bertugas menegakkan hukum dalam mengontrol temurun memiliki hubungan kesejarahan
keputusan-keputusan miring pejabat publik, atau dengan tanah yang menjadi pijakan dan
mengawal hak-hak rakyat, tidak dapat dijangkau tumpuan hidupnya, menurut keyakinan yang
oleh para penduduk maupun oleh pembela menjadi bagian dari kesadaran hukumnya
pendampingnya karena masalah aksesibilitas, adalah hak untuk menguasai dan/atau
biaya yang mahal, dan putusan-putusannya memiliki tanah serta memungut hasilnya.
belum dapat menjamin pemenuhan rasa keadilan Sementara, negara dengan hak menguasai
masyarakat (Komnas HAM, n.d.). atas tanah yang dijamin konstitusi berhak
mengatur dan menentukan penggunaan,
Memahami peta sumber konflik agraria
peruntukan tanah untuk keperluan
diawali dengan tindakan mengidentifikasi dan
pembangunan. Kewenangan pemerintah
mengumpulkan gejala-gejala yang tampak,

238 | Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 238 10/1/2015 11:48:37 AM


dalam mendistribusikan sumber-sumber alasan bagi penduduk untuk terus menguasai
agraria kepada pihak tertentu, kadangkala tanah perkebunan, dan berlanjut hingga menjadi
tidak terkontrol dan melampaui batas salah satu sumber konflik sampai sekarang.
kewajaran, maka lahirlah ketegangan antara
Pada periode pasca kemerdekaan berdasar
hak yang terbit dari hukum positif dengan
KMB, pemerintah Indonesia wajib menyerahkan
hak tradisional, yang kemudian berpotensi
kembali dan wajib melindungi keberadaan
menciptakan konflik agraria.
perusahan perkebunan Belanda. Akibat kelesuan
b. Deskripsi Konflik Agraria di Wilayah ekonomi pemerintah Indonesia mengeluarkan
Perkebunan kebijakan melalui Undang-Undang Nomor 86
Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan
Konflik agraria yang terjadi di Indonesia
Milik Belanda. Kebijakan ini merupakan langkah
secara tipologis dapat dikategorikan
untuk membangun kembali struktur perekonomian
berdasarkan wilayah sumber-sumber
nasional sekaligus mengakhiri dominasi
agraria potensial, seperti konflik
perusahaan Belanda. Proses nasionalisasi ini,
agraria di wilayah perkebunan, wilayah
tidak saja merubah status seluruh perusahaan
pertambangan, wilayah kehutanan, wilayah
perkebunan Belanda tersebut jatuh ke tangan
perkotaan, wilayah pesisir, dan pulau-
negara, tetapi karena kurangnya tenaga potensial
pulau kecil. Dilihat dari segi kuantitas dan
yang menangani perkebunan maka sebagian
usia kejadiannya, maka konflik agraria di
tanah-tanah perkebunan tersebut juga dikuasai
wilayah perkebunan adalah paling tua dan
militer. Di sini awal mula militer menjalankan
mencakup jumlah terbanyak dalam sejarah
“bisnis perkebunan” (Indriayati, 2012, hal.106).
agraria di Indonesia. Terdapat beberapa
pemicu timbulnya konflik agraria di Maraknya investor yang hadir di kawasan
wilayah perkebunan yang secara periodisasi perkebunan rakyat akhir-akhir ini, tentu tidak
dipegaruhi kepentingan yang muncul pada lepas dari upaya pemerintah dalam mengejar
waktu itu. target tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Akibat kurang selektifnya penerbitan dan
Pada masa penjajahan, pemicu pertama
pengendalian izin usaha bidang perkebunan,
timbulnya konflik adalah tindakan pemerintah
menyebabkan perusahaan-perusahaan perkebunan
Hindia Belanda merampas tanah adat
merasa bebas beroperasi dan semata-mata hanya
masyarakat pribumi, melalui pemberlakuan
mengejar keuntungan sendiri. Seperti terjadinya
undang-undang agraria (agrarisch wet) tahun
kasus pengingkaran perjanjian yang melibatkan
1870 yang berisi pernyataan pengakuan tanah-
masyarakat adat Desa SS dengan PT. SWA,
tanah (domein verklaaring) di wilayah Hindia
yang perkaranya sudah diputus pada tanggal 25
Belanda. Tindakan melegitimasi penguasaan
November 2014 lalu. Kedatangan PT. SWA di
tanah-tanah adat yang diikuti pembukaan tanah
Desa SS sebenarnya didahului oleh PT. TMM
perkebunan tersebut, sebagai pemicu konflik
(satu grup perusahaan dengan PT. SWA) dengan
kala itu. Kemudian pada masa penjajahan Jepang
tujuan berinvestasi di bidang perkebunan kelapa
yang mengizinkan pendudukan tanah-tanah
sawit, melalui pola kemitraan plasma-inti pada
perkebunan oleh penduduk pribumi, dijadikan
tahun 1997.

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 239

Jurnal isi edit arnis ok.indd 239 10/1/2015 11:48:37 AM


Perjanjian kerjasama dengan pola plasma-inti
tanggal 25 November 2014, merupakan persoalan
itu telah berjalan selama enam tahun termasuk di skala kompetisi dalam pemanfaatan ruang,
dalamnya tanah objek sengketa seluas 633 Ha yang terutama dalam hal alokasi potensi kekayaan
diklaim milik pihak tergugat konvensi, ternyata agraria/tanah. Ruang di atas tanah seluas 633,2
tidak dijalankan sesuai janjinya, dan kemudian Ha yang menjadi objek sengketa, menjadi arena
tahun 2002 dibatalkan secara sepihak. Pada tahun kontestasi antara PT. SWA sebagai penggugat
2003 diubah menjadi pola kerjasama pemakaian melawan 315 Kepala Keluarga yang tergabung
lahan selama sepuluh tahun (posita Nomor 22 dalam 4 kelompok masyarakat sebagai tergugat,
penggugat rekonvensi). Tetapi yang dirasa janggal yang memiliki dukungan massa dalam jumlah
adalah kejadian sebelum pembatalan sepihak besar. Konflik agraria yang terjadi di Desa SS
kerjasama pola plasma-inti itu disampaikan kepada tersebut juga telah melibatkan aparat keamanan
masyarakat, seluruh lahan seluas 3.193,9 Ha yang karena sudah sampai terjadi kekerasan fisik dan
sedang dikuasai tersebut, pada tahun 2001 oleh PT.menelan korban dua orang warga desa meninggal
SWA sudah didaftarkan dan diterbitkan sertifikat dunia tertembak oleh aparat keamanan pada 21
HGU atas nama PT. SWA. April 2011. Kasus tersebut menjadi sorotan publik
secara nasional dan memperoleh perhatian dari
Bertolak dari kronologis kejadian tersebut,
pemerintah pusat, yang kemudian pemerintah
secara yuridis dapat dikonstruksikan sebagai
membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
bentuk wanprestasi dari PT. TMM, dan juga
pada akhir bulan Desember 2011 hingga Januari
telah terjadi perbuatan melawan hukum oleh PT.
2012 untuk menginvestigasi dan memverifikasi
SWA yang meng-HGU-kan tanah objek sengketa
peristiwa tersebut sesuai kenyataan dan hasilnya
seluas 633 Ha –masih berstatus menjadi objek
dilaporkan kepada pemerintah pusat.
perjanjian– tanpa ada pelepasan hak sebelumnya
yang seharusnya dilakukan di hadapan PPAT. Eskalasi konflik antara dua kelompok yang
saling berebut sumber daya agraria di Desa SS
2. Pendekatan Hukum Progresif dalam terus berlangsung, atas permintaan PT. SWA
Penegakan Hukum Konflik Agraria maka Bupati OKI membentuk Tim Terpadu
Penyelesaian Konflik untuk merekonstruksi batas
Pengertian konflik pertanahan menurut dan luas lahan sengketa, pada tanggal 11 dan 12
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011, September 2013 dan ternyata hasil kesimpulannya
adalah perselisihan pertanahan antara orang mengecewakan masyarakat Desa SS. Melalui
perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, uraian singkat ini, kiranya sudah dapat ditentukan
badan hukum atau lembaga yang mempunyai bahwa kasus yang sudah diperiksa, diadili, dan
kecenderungan atau sudah berdampak luas secara diputus dengan Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/
sosio-politis. Perbedaannya dengan sengketa PN.Kag. tanggal 25 November 2014 adalah
pertanahan, adalah perselisihan pertanahan antara masuk dalam kategori konflik agraria, mengacu
orang perseorangan, badan hukum atau lembaga Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011
yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. karena sudah berdampak luas secara sosio-politis
Bertolak dari definisi konflik pertanahan dan sudah menimbulkan korban jiwa dan luka-
tersebut, Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag. luka bagi warga desa.

240 | Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 240 10/1/2015 11:48:37 AM


Dalam salah satu pertimbangan hukumnya terdepan agar secara progresif berani menguji
yang tertuang dalam putusan di halaman 194 sejauh mana batas kemampuan aturan-aturan
menyebutkan: “bahwa pendekatan hukum positif itu (testing the limit of law). Penegakan
terhadap konflik agraria seyogianya bukan hanya hukum adalah usaha (effort) untuk memunculkan
mengandalkan legalisme/formalisme, karena kekuatan/kemampuan hukum. Ini membutuhkan
terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak keberanian, energi, imajinasi, dan kreativitas.
mampu menuntaskan akar persoalan, untuk itu Hukum akan menjadi lebih “bergigi” apabila
harus mengadopsi gagasan yang dikembangkan penegak hukum berani menyelam lebih dalam,
dalam wacana hak asasi manusia sebagai konsep menemukan kekuatan hukum terpendam itu
transitional justice (suatu pendekatan keadilan (Rahardjo, 2010, hal. 173).
transisional) yang mengutamakan hak-hak
korban konflik agraria dalam bentuk pemulihan, B. Sikap dan Tindakan yang Seharusnya
kompensasi, dan restitusi hak asasi manusia, Diambil oleh Hakim dalam
atau pendekatan hukum secara progresif yang Menyelesaikan Konflik Agraria, Ketika
mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan Dihadapkan pada Kondisi Antinomi
substansial, tanpa mengesampingkan ketentuan Nilai Antara Pengutamaan Kepastian
hukum acara yang berlaku.” Hukum dan Unsur Keadilan

Pendekatan hukum progresif yang dijadikan Menyikapi konflik agraria pada Putusan
pertimbangan hukum terhadap perkara konflik Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag. menurut spirit
agraria dapat dinilai tepat. Lebih lanjut yang perlu
hukum progresif, sudah sepatutnya pengadilan
dikaji dan dianalisis oleh hakim terhadap konflik
membuka cakrawala pandang dan sadar bahwa
agraria yang terjadi di Desa SS, selain faktanya
terbentuknya bangunan hukum agraria kita saat ini
telah berdampak luas secara sosial-politis, salah urus. Politik dan bangunan hukum agraria
Pengadilan harus dapat menghasilkan hukum kita saat ini, ada indikasi telah terkontaminasi oleh
yang mampu melayani kepentingan rakyatnya, kepentingan pemodal besar, yang memungkinkan
dan bukan sebaliknya yaitu rakyat harus penguasaan tanah dan sumber daya alam dalam
dikorbankan demi melayani hukum. Menurut skala luas dan terus-menerus, kemudian secara
Rahardjo, hukum progresif adalah “hukum eksesif menggerus dan menyingkirkan kaum tani,
yang mampu memenuhi kebutuhan bangsa dan nelayan, buruh, dan masyarakat adat dari alat
ikut merasakan penderitaan bangsanya. Dengan produksinya (Suara Pembaruan Agraria, Edisi IX/
demikian, hukum akan melayani kepentingan Desember 2013-Februari 2014, hal. 36). Artinya,
rakyatnya, bukan sebaliknya ….Hukum tidak konflik agraria merupakan respon atas kebijakan
berada di awang-awang atau ruang hampa, tetapi mengenai sumber daya agraria tertentu yang tidak
ada di dalam masyarakat…” (Rahardjo, 2004). mewakili rasa keadilan masyarakat tani, masyarakat

Hukum progresif ingin menarik hukum adat, dan mengabaikan hubungan-hubungan agraria
dan mengeluarkannya dari ranah esoteric berbasis komunal dan keadilan sosial.
(pemahaman sempit) dan menjadikannya institusi Ketika konflik yang merebak di Desa SS
yang bermakna sosial. Sehubungan dengan itu dibawa oleh penggugat (PT. SWA) di hadapan
peran pengadilan, para hakim sebagai garda

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 241

Jurnal isi edit arnis ok.indd 241 10/1/2015 11:48:37 AM


hakim PN Kayuagung, maka apa yang tampak Untuk menyelami lebih dalam konflik
di hadapan hakim adalah sebagai sengketa yang agraria sebagaimana telah tergambar pada gejala
berdimensi horizontal, namun sesungguhnya yang tampak atau fakta meteriil ratio decidendi
merupakan konflik struktural karena pihak yang putusan, berikut ini dicoba untuk diurai peristiwa
terlibat berelasi dengan kekuatan modal dan/ hukumnya dengan berpedoman pada konsideran
atau kekuatan politik yang lebih besar. Jadi Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag.:
ibarat penyakit, konflik agraria tersebut hanyalah
symptom atau gejala luar yang tampak dari 1. Analisis Konflik melalui Pendekatan
sejumlah sumber penyebab yang sesungguhnya Aspek Keperdataan
dari kontestasi dalam penguasaan sumber daya
agraria. Rangkaian dalil dalam putusan hakim
perkara tersebut, khususnya yang disebutkan
Gejala yang tampak dalam sengketa dalam jawaban tergugat konvensi butir 11 dan
antara masyarakat adat atau kelompok tani butir 12 di bagian uraian tentang duduk perkara,
Desa SS melawan PT. SWA tersebut, dilihat bahwa pada tahun 1997 masyarakat Desa SS yang
dari karakternya adalah jelas sebagai konflik tergabung dalam sembilan kelompok melakukan
agraria. Pihak-pihak yang terlibat, dan cakupan kerjasama dengan PT. TMM untuk pembangunan
dampak yang terjadi, antara lain teridentifikasi: perkebunan kelapa sawit dengan pola inti-
Pertama, adanya ketidakharmonisan hubungan plasma; dibuktikan dengan surat tugas Bupati
sosial antara kelompok masyarakat adat SS OKI Nomor 101/1301/11/1997 untuk tanah adat
dengan PT. SWA beserta karyawannya yang masyarakat Desa SS termasuk di dalamnya tanah
mengembangkan usaha perkebunan di wilayah objek gugatan seluas 633,2 Ha.
itu, akibat adanya tuduhan pelanggaran hukum
yang menimbulkan kerugian pihak lainnya; Maksud kedatangan PT. TMM di Desa
terjadinya perebutan hak karena ketidakjelasan SS adalah berinvestasi di bidang pembangunan
status hukum tanah yang menjadi objek konflik. kebun kelapa sawit dengan pola kemitraan.
Kedua, timbulnya kecemburuan sosial akibat Pengertian pola kemitraan menurut Peraturan
ketidakadilan distribusi kepentingan, yaitu Menteri Pertanian Nomor 33/Permentan/
adanya ketimpangan pembagian akses menguasai OT.140/7/2006 adalah suatu bentuk kerjasama
tanah antara penduduk asli dengan kelompok pembangunan perkebunan dengan menggunakan
pendatang baru yang didukung kekuatan modal perkebunan besar sebagai inti, yang membimbing
besarnya; akibatnya pertikaian semakin panas perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma
dan dapat meluas dengan melibatkan pemerintah melalui lembaga koperasi dalam suatu sistem
yang bertindak tidak adil dalam pendistribusian kerjasama yang saling menguntungkan, saling
sumber daya alam setempat. Ketiga, munculnya mengisi, utuh, dan berkesinambungan.
sikap apatis warga masyarakat adat Desa SS Kenyataannya janji kerjasama pola
terhadap aparat pemerintah, akibatnya keadaan kemitraan tersebut sudah enam tahun lamanya
ini berpotensi menimbulkan situasi yang kontra tidak pernah terwujud, kemudian janji tersebut
produktif bagi pemerintah serta merugikan semua diubah secara sepihak oleh General Manager
pihak. PT. TMM melalui surat Nomor PAN-GMDE

242 | Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 242 10/1/2015 11:48:37 AM


tanggal 26 Januari 2002, menjadi kerjasama terkait penerbitan hak atas tanah. Keputusan
pemakaian lahan selama sepuluh tahun (dalil atau penetapan pejabat administrasi negara
jawaban tergugat dalam pokok perkara butir dapat dinilai sah apabila penerbitan suatu hak
22). Kejadian krusial yang perlu dilacak dan atas tanah tersebut melalui mekanisme formal
seharusnya digali oleh hakim adalah kejadian yang ditentukan peraturan perundang-undangan,
sebelum penghentian perjanjian kerjasama pola sebaliknya apabila mekanisme atau prosedur
kemitraan itu yang disampaikan pada tanggal 26 formal itu mengandung cacat hukum maka
Januari 2002. Sebenarnya apa motivasi PT. TMM keputusan pejabat administratif juga tidak sah.
mengoper penguasaan lahan yang menjadi objek
Memerhatikan proses penerbitan sertifikat
kerjasama pola kemitraan itu kepada PT. SWA,
HGU atas nama PT. SWA atas tanah objek gugatan
kemudian PT. SWA mendaftarkan seluruh lahan
seluas 633,2 Ha (sebagaimana diuraikan dalam
objek perjanjian pembangunan kebun kelapa
posita penggugat konvensi butir 5), keabsahannya
sawit (termasuk tanah objek gugatan) tersebut
tergantung dari kebenaran perbuatan hukum
atas namanya untuk mendapatkan hak guna usaha
peralihan atau pelepasan hak atas tanah yang
(HGU) pada tanggal 28 Februari 2001.
menjadi alas hak bagi permohanan hak kepada
Sekalipun PT. TMM dan PT. SWA berada negara. Mengingat status tanah yang dimohonkan
dalam satu grup perusahaan, tetapi keduanya hak oleh PT. SWA tersebut adalah berasal dari
adalah subjek hukum yang berbeda, seharusnya tanah hak milik adat perorangan, maka harusnya
pengoperan hak dari PT. TMM kepada PT. SWA diawali dengan pemutusan hubungan hukum
dilakukan melalui perbuatan hukum yang sah antara tanah dengan subjek pemegang haknya
dan transparan. Apa alasan PT. SWA tidak lebih melalui pelepasan hak yang dituangkan dalam
dahulu mengklarifikasi kepada warga Desa SS akta PPAT, jadi tidak hanya dilakukan dengan
(termasuk pihak tergugat) sebelum mendaftarkan cara menyerahkan surat keterangan tanah (SKT)
tanah objek perjanjian kerjasama pola kemitraan kepada pihak pemohon HGU (posita penggugat
itu menjadi HGU atas namanya. Sedangkan konvensi butir 7), tentu mekanisme ini perlu diteliti
bukti-bukti surat pembatalan kerjasama (disebut lebih jauh karena menyangkut legalitas HGU yang
dalam posita butir 8 dan 9 penggugat konvensi) diterbitkan kantor pertanahan. Kemudian untuk
yang diangkat sebagai alat bukti oleh penggugat tanah adat yang merupakan bagian dari tanah
konvensi dibuat antara tahun 2002 sampai 2003, ulayat desa atau hak komunal masyarakat hukum
sedangkan HGU atas nama PT. SWA sudah adat, ternyata pelepasan haknya hanya dilakukan
diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten OKI dengan cara dibuatnya surat pernyataan dari
pada tanggal 28 Februari 2001. perangkat Desa SS serta Kepala Desa SS (posita
penggugat konvensi butir 4b).
2. Analisis Konflik melalui Pendekatan
Persoalan hukum ini sangat krusial
Aspek Administratif
mengingat status tanah hak ulayat sifatnya laten,
Aspek administratif berkenaan dengan sepanjang masyarakat hukum adat masih eksis
tindakan pejabat administratif yang menghasilkan maka secara konstitusional hak ulayat masyarakat
keputusan atau penetapan tata usaha negara, hukum tidak dapat dialihkan atau dilepaskan
haknya untuk selamanya. Pelepasan sementara

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 243

Jurnal isi edit arnis ok.indd 243 10/1/2015 11:48:37 AM


hak ulayat untuk keperluan pembangunan Secara luas dibahas di beberapa pustaka
perkebunan, menurut Peraturan Menteri hukum, bahwa munculnya gagasan tentang
Agraria Nomor 5 Tahun 1999 harus mendapat hukum progresif tidak dapat dilepaskan dari
persetujuan dari masyarakat hukum adat yang peran sang maha guru Rahardjo. Asal mula yang
bersangkutan, ketentuan yang sama juga berlaku mendorong lahirnya gagasan hukum progresif,
untuk perpanjangan HGU yang bersangkutan. karena adanya kegelisahan dan keprihatinan
Bagaimana legalitas HGU atas nama PT. SWA terhadap gagalnya penegakan supremasi hukum
seluas 1.495,5 Ha yang berasal dari tanah adat di Indonesia selama ini. Melalui pendekatan
Desa SS (posita penggugat konvensi butir 4b) konsep komponen-komponen sistem hukum
yang prosesnya hanya melalui surat penyerahan/ dalam penegakan supremasi hukum suatu negara
pelepasan yang ditandatangani oleh Kepala dari Friedman (Abdurrahman, 1987, hal. 86), para
Desa SS, tanpa bukti berita acara persetujuan ahli berpendapat bahwa kegagalan penegakan
masyarakat hukum adat yang bersangkutan? supermasi hukum di Indonesia terletak pada
lemahnya komponen budaya hukum, dibanding
3. Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis dua komponen lain yaitu komponen substansi
Metode Antinomi Nilai hukum dan komponen struktur hukum.

Menggarisbawahi bunyi salah satu Apabila dilihat dari aspek keilmuan


pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 06/ dengan mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu
Pdt.G/2014/PN.Kag, hakim menyebutkan, bahwa berkembang secara kumulatif dan revolusioner,
“pendekatan hukum terhadap konflik agraria maka suatu ketika akan terjadi anomaly yang
–dalam hal ini konflik antara Masyarakat Adat melahirkan krisis. Artinya, ketika paradigma
Desa SS melawan PT. SWA– seyogianya bukan lama sudah tidak mampu menghadapi krisis yang
hanya mengandalkan legalisme/formalisme, berkembang maka akan melahirkan paradigma
karena terbukti gagal menghadirkan keadilan dan baru. Sekiranya ini merupakan tawaran,
tak mampu menuntaskan akar persoalan, untuk itu paradigma hukum seperti apa dalam penegakan
harus mengadopsi gagasan yang dikembangkan hukum yang dikehendaki dalam kondisi krisis
dalam wacana hak asasi manusia sebagai konsep itu? Dalam situasi tersebut, menurut Kusuma
transitional justice (suatu pendekatan keadilan (2009, hal. 6) paradigma hukum memiliki dua
transisional) yang mengutamakan hak-hak keutamaan, pertama, paradigma hukum sebagai
korban konflik agraria dalam bentuk pemulihan, “rel” hukum yang dipakai untuk menuntun
kompensasi, dan restitusi hak asasi manusia, sistem hukum dalam mencapai supremasi
atau pendekatan hukum secara progresif yang hukum; kedua, gagasan hukum progresif yang
mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan bisa menjadi paradigma hukum sebagai landasan
substansial, tanpa mengesampingkan ketentuan berfikir dalam memecahkan problem lemahnya
hukum acara yang berlaku.” Jadi relevansi penegakan hukum di Indonesia.
pembahasan kasus yang diputus tersebut, adalah
Pemikiran Rahardjo tentang hukum progresif
digunakannya pendekatan hukum progresif yang
yang terinspirasi oleh beberapa pemikiran filsuf
mengedepankan keadilan substansial dalam
terkenal, pada dasarnya juga sejalan dengan
penegakan hukum.
pandangan Nonet dan Zelznick khususnya yang

244 | Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 244 10/1/2015 11:48:37 AM


terkait orde hukum responsif yang mencirikan: hanya mengandalkan legalisme/formalisme,
pertama, hukum harus fungsional, pragmatis karena terbukti gagal menghadirkan keadilan
dan rasional serta bertujuan jelas; kedua, tujuan dan tak mampu menuntaskan akar persoalan,
menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang untuk itu harus mengadopsi gagasan pendekatan
sedang berjalan (Sidharta, 1999. hal. 52). Teori hukum secara progresif yang mengedepankan
hukum responsif pada intinya menekankan agar terpenuhinya rasa keadilan substansial.”
hukum senantiasa peka terhadap perkembangan
Ilustrasi hukum yang legalistik dan
masyarakat, dengan karakternya yang menonjol
formalistik dimaksud, hakikatnya diarahkan
yaitu menawarkan lebih dari sekedar procedural
pada watak hukum modern yang embrionya
justice, berorientasi pada keadilan, memperhatikan
berasal dari zaman Eropa Modern yang terbentuk
kepentingan publik serta mengedepankan
dari proses panjang hingga melahirkan kultur
substancial justice.
hukum yang berkualitas liberalis, kapitalis, dan
Rahardjo (2010, hal. 192) dalam individualis. Implikasi dari hukum modern yang
orientasinya mengaitkan budaya hukum dengan bersifat rasional dan birokratis, adalah terjadinya
implementasi hukum sebagai jelmaan prinsip- percabangan atau bifurcation dalam artian hukum
prinsip yang melingkupi hukum. Ketika kita dan pengadilan tidak lagi hanya menjadi tempat
hendak membumikan hukum maka tugas ini untuk mencari keadilan, namun juga sebagai tempat
dilakukan oleh lembaga hukum (pengadilan) yang untuk menegakkan peraturan (Susanto, 2005, hal.
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, dengan 158). Konteks ini berefek pada peran pengadilan
arti kata lain pengadilanlah yang mengkonkretkan yang menjadi tempat untuk mencari kemenangan
(das sein) hukum dari keadaan sebelumnya yang yang sifatnya birokratis dan teknis, sehingga siapa
abstrak (das sollen). Melalui organisasi lembaga yang dominan dan terampil memainkan peraturan,
peradilan proses itu berlangsung, masyarakat maka dialah yang akan menjadi pemenang.
menerima perwujudan dari tujuan-tujuan hukum
Prinsip paradigma hukum progresif
yang implisit tertuang dalam putusan-putusannya.
menghendaki bahwa hakim tidak bisa dibiarkan
Hakim yang berpikiran progresif, hanya untuk melakukan konstruksi logis dalam
menjadikan dirinya bagian masyarakat, akan membuat putusan, ia harus mampu memberi
selalu menanyakan: “Apakah peran yang bisa jalan terang –melalui putusan-putusannya–
saya berikan dalam masa reformasi ini? Apa yang mengantarkan bangsa ini untuk sampai kepada
diinginkan bangsa saya dengan reformasi ini?” cita-citanya menuju kehidupan yang adil sejahtera.
Dengan demikian ia akan menolak bila dikatakan Hakim ketika dihadapkan pada tugas penemuan
pekerjaan-pekerjaan itu hanya mengeja undang- hukum pada kasus konflik agraria, seperti yang
undang. Hakim progresif akan selalu meletakkan terjadi di Desa SS dituntut kemampuannya untuk
telinga ke degup jantung rakyatnya. mengurai sumber-sumber konflik yang sangat
kompleks, mengkonstatasi peristiwa konkretnya,
Kembali menyoal bunyi pertimbangan
menggali nilai-nilai, asas-asas hukum, dan aturan
hakim dalam Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/
hukumnya, kemudian mengambil sikap berdasar
PN.Kag. yang menekankan: “Pendekatan hukum
suara hati-nuraninya, sebelum mengambil
terhadap konflik agraria seyogianya bukan
keputusan.

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 245

Jurnal isi edit arnis ok.indd 245 10/1/2015 11:48:37 AM


Berdasarkan adagium ius curia novit, juga adil dan hukum yang adil juga seharusnya
hakim dianggap mengetahui dan memahami memberi kepastian. Dalam keadaan itulah kedua
hukum, kegiatan menemukan hukum adalah nilai tersebut –secara filosofi mengandung nilai
tugas hakim dan bukan kewajiban para pihak, “baik” dan “buruk”– mengalami situasi antinomi,
oleh karena itu hakim dalam mempertimbangkan karena menurut bobot dan tingkat tertentu nilai-
putusannya wajib karena jabatannya melengkapi nilai kepastian dan keadilan harus mampu
alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan memberikan kepastian hak tiap orang secara adil,
oleh para pihak (Pasal 176 ayat (1) HIR). Untuk di lain pihak harus memberikan manfaat kepada
melengkapi alasan-alasan hukum tersebut, ia harus yang bersangkutan.
berproses dalam penemuan hukum dan berkutat
Menyoroti Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/
dengan sistem nilai dan norma sebagai upaya
PN.Kag. yang menolak (niet onvankelijke
untuk mencapai tujuan hukum yaitu keadilan. Di
verklaaring) gugatan balik para penggugat
samping itu, untuk menghindari dugaan adanya
rekonvensi dengan pertimbangan tidak
kesewenang-wenangan hakim wajib memberi
menyertakan gugatan langsung kepada PT. TMM
jaminan kepastian hukum.
tetapi gugatan hanya ditujukan kepada PT. SWA
Kepastian hukum, merupakan nilai yang –meskipun PT. TMM dan PT. SWA satu grup–,
pada prinsipnya memberikan perlindungan jelas putusan ini menunjukan tidak dilandasi
hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan semangat hukum progresif karena penegakan
yang bertindak sewenang-wenang (Manulang, hukum dalam kasus ini terlalu menekankan nilai
2007, hal. 95). Terkait dengan nilai keadilan, kepastian (yaitu secara hitam di atas putih) karena
terdapat ragam pengertian sebagai konsekuensi PT. TMM tidak terbaca dalam gugatan rekonvensi
dari substansi teori keadilan yang dikembangkan dalam perkara tersebut.
oleh banyak pemikir, namun secara umum
Sebagaimana diuraikan di muka, bahwa
unsur-unsur formal keadilan menurut Kelsen
konflik agraria dalam sejarah kehidupan bangsa
dan Rawls (Kusuma, 2009, hal. 100) adalah,
Indonesia pada umumnya, apa yang tampak
pertama, bahwa keadilan merupakan nilai yang
keluar sebagai konflik berdimensi horizontal
mengarahkan setiap pihak untuk memberikan
tetapi sesungguhnya merupakan konflik struktural
perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh
atau vertikal, sebab nyatanya pihak yang terlibat
hukum (unsur hak); kedua, bahwa perlindungan
berhubungan dengan kekuatan modal dan/atau
ini pada akhirnya harus memberikan manfaat
kekuatan politik yang dominan. Berpegang
kepada setiap individu (unsur manfaat).
pada pertimbangan hakim dalam petitumnya
Dalam proses penemuan dan penegakan disebutkan: “Dalam fakta hukum di persidangan
hukum, hakim dihadapkan pada suatu kenyataan dalam perkara ini terungkap adanya hubungan
tentang adanya ketegangan (antinomi) antara perikatan hukum langsung yang terjadi antara
tuntutan kepastian hukum dan tuntutan warga Desa SS dengan PT. TMM, dan oleh karena
keadilan. Dalam rangka penegakan hukum, PT. TMM tidak ikut menjadi pihak dalam perkara
mengedepankan nilai keadilan saja, belum tentu ini, gugatan rekonvensi dinyatakan tidak terdapat
akan secara otomatis memberikan kepastian hubungan hukum secara perdata.”
hukum. Maka hukum yang pasti, seharusnya

246 | Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 246 10/1/2015 11:48:37 AM


Mengulangi analisis aspek keperdataan di kesejahteraan rakyat. Berpegang pada asas
muka, bahwa pada tahun 1997 masyarakat Desa kebebasan hakim –demi tujuan menyelesaikan
SS yang tergabung dalam sembilan kelompok perkara– dalam hal-hal tertentu hakim dapat
melakukan kerjasama dengan PT. TMM untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak
pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan diminta, beberapa yurisprudensi yang terkait
pola inti-plasma. Kenyataannya janji kerjasama dengan hal tersebut antara lain:
pola kemitraan tersebut sudah enam tahun
1. Yurisprudensi MA Nomor 556/Sip/1971
lamanya tidak pernah terwujud, kemudian diubah
tanggal 8 Januari 1971 yang menyebutkan
secara sepihak dengan kerjasama pemakaian
bahwa mengabulkan lebih dari yang
lahan selama sepuluh tahun. Kejadian krusial
dituntut diizinkan selama hal itu masih
yang perlu digali oleh hakim adalah kejadian
sesuai dengan peristiwa materiil;
sebelum penghentian perjanjian kerjasama pola
kemitraan itu yang disampaikan pada tanggal 26 2. Yurisprudensi Nomor 610K/Sip/1968
Januari 2002. tanggal 23 Mei 1970 yang menyatakan
bahwa putusan judex facti yang didasarkan
Apa motivasi PT. TMM mengoper
pada petitum subsider untuk diadili menurut
penguasaan lahan yang menjadi objek kerjasama
kebijaksanaan pengadilan (ex aequo et
pola kemitraan (termasuk objek gugatan) kepada
bono) dapat dibenarkan asalkan masih
PT. SWA, kemudian PT. SWA mendaftarkan
sesuai dengan isi gugatan primer.
seluruh lahan objek perjanjian pembangunan
kebun kelapa sawit (termasuk tanah objek gugatan)
tersebut atas namanya untuk mendapatkan hak IV. KESIMPULAN
guna usaha (HGU) yang terbit pada tanggal 28 Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag.
Februari 2001. Apa alasan PT. SWA tidak lebih masuk kategori konflik agraria, sesuai bunyi
dahulu mengklarifikasi kepada warga Desa SS reasoning pertimbangan putusannya, bahwa
(termasuk pihak tergugat konvensi) sebelum “Pendekatan hukum terhadap konflik agraria
mendaftarkan tanah objek perjanjian kerjasama seyogianya bukan hanya mengandalkan legalisme/
pola kemitraan itu menjadi HGU atas nama PT. formalisme, karena terbukti gagal menghadirkan
SWA? Apakah Perbuatan PT. SWA ini tidak keadilan dan tak mampu menuntaskan akar
dapat dikualifikasi melawan hukum? Bagaimana persoalan; untuk itu harus mengadopsi gagasan
mengenai nasib sejumlah 315 kepala keluarga pendekatan hukum secara progresif yang
dan anak istrinya pemilik lahan 633,2 Ha mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan
yang digantung kepentingannya oleh putusan substansial.” Tetapi faktanya terjadi inkonsistensi
pengadilan tersebut? antara bunyi pertimbangan dengan putusan akhir
Sesungguhnya masih sangat luas peluang yang menolak gugatan rekonvensi dari para petani
hakim untuk melakukan terobosan hukum (rule masyarakat adat SS, dengan alasan gugatan kabur
breaking) dalam penyelesaian konflik agraria di (obscuur libel). Hukum progresif mencirikan:
SS yang berbasis antinomi nilai dengan lebih pertama, hukum harus fungsional, pragmatis,
mengedepankan keadilan substantif, dengan dan rasional serta bertujuan jelas; kedua, tujuan
berorientasi pada sebesar-besarnya untuk menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 247

Jurnal isi edit arnis ok.indd 247 10/1/2015 11:48:37 AM


sedang berjalan. Paradigma hukum progresif DAFTAR ACUAN
pada intinya menekankan agar hukum senantiasa
Abdurrahman. (1987). Tebaran pikiran tentang studi
peka terhadap perkembangan masyarakat, dengan
hukum & masyarakat. Jakarta: Media Sarana
karakternya yang menonjol yaitu menawarkan
Press.
lebih dari sekedar procedural justice, berorientasi
pada keadilan, memperhatikan kepentingan Christodoulou. (1990). The unptomised land: Agrarian
publik, dan mengedepankan substancial justice. reform & conflict worldwide. London: Zed
Books.
Berpegang prinsip kebebasan hakim, upaya
untuk mengedepankan rasa keadilan melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia (MA RI). Diakses dari www.putusan.
pendekatan hukum progresif demi kesejahteraan
mahkamahagung.go.id.
kelompok masyarakat petani yang terabaikan
oleh kekuasaan hukum tersebut, sebenarnya dapat Harsono, B. (2007). Hukum agraria Indonesia, sejarah
dilakukan terobosan hukum (rule breaking). pembentukan undang-undang pokok agraria,
Dalam proses penemuan dan penegakan hukum, isi & pelaksanaannya. Jilid I: Hukum tanah
hakim dihadapkan pada suatu kenyataan tentang nasional. Edisi Revisi. Jakarta: Jambatan.
adanya ketegangan (antinomi) antara tuntutan
Indriayati. (2012, Mei). Potret konflik agraria di
kepastian hukum dan tuntutan keadilan. Indonesia, tantangan bagi “tanah untuk sebesar-

Mengedepankan nilai keadilan saja, belum besar kemakmuran rakyat. Jurnal Pertanahan,
2(1), 103-121.
tentu akan secara otomatis memberikan kepastian
hukum; maka hukum yang pasti, seharusnya Komnas HAM. (n.d.). Presiden komitmen selesaikan
juga adil dan hukum yang adil juga seharusnya konflik agrarian. Diakses dari www.investor.
memberi kepastian. Dalam keadaan itulah kedua co.id.
nilai tersebut –secara filosofi mengandung nilai
KPA. (2010, Desember 30). Tidak ada komitmen
“baik” dan “buruk”– mengalami situasi antinomi,
politik pemerintah untuk pelaksanaan reforma
karena menurut bobot dan tingkatan tertentu
agraria. Laporan akhir tahun 2010 Konsorsium
nilai-nilai kepastian dan keadilan harus mampu
Pembaruan Agraria. Jakarta.
memberikan kepastian hak tiap orang secara
adil, di lain pihak harus memberikan manfaat Kusuma, M. (2009). Menyelami semangat hukum
kepada pihak yang secara politis terpinggirkan/ progresif, terapi paradigmatik bagi lemahnya
terabaikan, lemah/rentan secara ekonomis, dan hukum Indonesia. Yogyakarta: Antonylib.

mereka yang menjadi korban penderitaan akibat Manulang, E. F. M. (2007). Menggapai hukum
bangunan hukum agraria yang kapitalistik. berkeadilan, tinjauan hukum kodrat & antinomi
nilai. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Marzuki, P. M. (2007). Penelitian hukum. Edisi


Pertama, Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana
Perdana Media Group.

Mertokusumo, S., & Pitlo, A. (1993). Bab-bab tentang


penemuan hukum. Bandung: PT. Citra Aditya

248 | Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 248 10/1/2015 11:48:37 AM


Bakti.

Rahardjo, S. (2004, Juni 24). Hukum progresif yang


membebaskan. Kompas.

___________. (2010). Penegakan hukum progresif.


Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Rubrik: Dialog agraria nasional. Suara Pembaruan


Agraria, Edisi IX/Desember 2013-Februari
2014. 64-67.

Rubrik: Dialog agraria nasional. Suara Pembaruan


Agraria, Edisi VIII/September-November
2013, 30-31.

Sidharta, A. (Ed). (1996). Refleksi tentang hukum.


Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.

Soekanto, S. (1986). Pengantar penelitian hukum.


Jakarta: UI Press.

Susanto, A. F. (2005). Semiotika hukum, dari


dekonstruksi teks menuju progresivitas makna.
Bandung: Refika Aditama.

Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron) | 249

Jurnal isi edit arnis ok.indd 249 10/1/2015 11:48:37 AM

Anda mungkin juga menyukai