Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Reaksi calon ibu terhadap persalinan menurut Hamilton (1995) secara umum
tergantung pada persiapannya dan persepsinya terhadap kejadian ini. Baik
persiapannya secara fisik, mental dan spiritual. Secara fisik mereka harus bisa
menyesuaikan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya setelah persalinan.
Mental yang kuat juga dibutuhkan agar ibu-ibu yang telah melahirkan bayi
menyadari bahwa sekarang hidupnya akan berubah dengan kedatangan anggota
keluarga yang baru. Seharusnya ibu yang telah melalui proses persalinan dengan
lancar dapat berbahagia dan mensyukurinya.

Namun di antara sekian ibu yang berbahagia setelah berhasil melahirkan bayi
mereka dengan selamat dan sukses, ada yang malah berduka. Mungkin hal ini agak
sulit dipercaya, tapi nyatanya ini memang benar-benar terjadi. Sebagian besar dari
wanita yang pernah merasakan gangguan ini menggambarkan perasaan yang mereka
alami adalah perasaan sedih, kecewa maupun mudah menangis. Namun, perasaan
seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh. Hal ini disebabkan karena perubahan cara
hidupnya setelah mempunyai bayi. Adanya perasaan kehilangan secara fisik sesudah
melahirkan yang menjurus pada suatu reaksi sedih. Apabila situasi seperti ini
dibiarkan saja akan menjadi parah oleh adanya ketidaknyamanan jasmani, rasa letih,
stress, dan dapat mengakibatkan depresi pada ibu.

Depresi yang konon mendera sekitar 1 dari 10 wanita yang baru melahirkan
ini disebut depresi pasca persalinan atau depresi post partum. Dalam Hamilton
(1995) ditulis bahwa depresi post partum adalah hal yang umum terjadi karena
perubahan kadar hormon dan trauma melahirkan. Tingkat estrogen dan progesteron
dalam tubuh turun. Ibu keletihan karena persalinan, dan mereka mengalami nyeri
perineum, pembengkakan payudara, dan after pain. Umumnya hal ini terjadi dalam
14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ketiga
atau keempat setelah persalinan. Ibu pasca persalinan menjadi depresi ditandai
dengan gejala utama mudah tersinggung, marah, menangis; ketegangan, kegelisahan,

1
atau kepanikan ; rasa benci pada diri sendiri, rasa bersalah,; kelesuan, terus-menerus
merasa sakit; gangguan pola makan, minum, tidur; libido yang rendah; konsentrasi
atau ingatan yang sedikit (Marshall, 2004).

Data yang didapatkan dari klasifikasi Internasional berbagai penyakit (ICD-


10) memasukkan depresi pasca persalinan sebagai suatu penyebab yang
menimbulkan gangguan psikologi (Koblinsky, 1993). Angka yang sering
didengungkan adalah bahwa 10 % dari semua wanita pasca melahirkan menderita
depresi pasca persalinan (Marshall, 2004).

Gangguan psikologis ini dapat timbul dalam berbagai derajat, mulai dari yang
ringan hingga berat. Disertai dengan gejala psikologik seperti menjadi pendiam, rasa
sedih, pesimistik, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul berkurang, tidak dapat
mengambil keputusan, lekas lupa, timbul pikiran-pikiran bunuh diri. Sedangkan
gejala badaniah ialah ibu kelihatan tidak senang, lelah, tidak bersemangat atau apatis.
Dikatakan depresi ringan harus ada 2 gejala psikologik, disertai minimal 2 gejala
badaniah. Depresi sedang ada 2 gejala psikologik, disertai minimal 3 gejala
badaniah. Depresi berat ada 3 gejala psikologik, disertai minimal 4 gejala badaniah
(Maslim, 1998). Mengingat berbagai dampak yang bisa terjadi akibat depresi pada
ibu pasca persalinan, maka perlu dipikirkan lagi upaya pencegahan yang dapat
dilakukan, dalam hal ini terutama adalah penyebarluasan informasi.

Oleh karena itu banyak faktor yang mempengaruhinya. Pertama usia


seseorang yang cukup umur akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja daripada
mereka yang masih muda (Hurlock, 1995 dikutip oleh Nursalam, 2001). Kedua
respon psikologis juga berbeda pada multipara dan primipara. Pada multipara
peristiwa kelahiran, perubahan fisik, perubahan hormon, perawatan bayi adalah suatu
pengalaman yang seharusnya sudah dapat diadaptasi, sedangkan pada primipara
merupakan pengalaman pertama sehingga sering menimbulkan depresi (Marshall,
2004). Ketiga faktor pendidikan seseorang sangat menentukan kecemasan. Klien
dengan pendidikan yang tinggi akan lebih mampu mengatasi menggunakan koping
yang efektif dan konstruktif daripada seseorang dengan pendidikan rendah
(Nursalam, 2001). Keempat ibu pasca persalinan yang bekerja akan merasa lebih

2
terganggu daripada ibu yang tidak bekerja karena perubahan penampilannya
sehingga timbul kecemasan (Long, 1996 dikutip oleh Nursalam, 2001).

Dalam menanggapi permasalahan di atas Bidan dapat memberikan perhatian


khusus seperti melakukan komunikasi terapeutik pada ibu hamil pada saat ANC agar
nantinya tidak terjadi depresi pasca persalinan, memberikan dorongan pada ibu untuk
menceritakan emosinya yang menyakitkan, kesempatan yang luas untuk bertanya,
membiarkan ibu mengungkapkan apa yang dirisaukannya. Untuk itu perlu dilakukan
kajian ilmiah tentang uraian di atas, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan antara usia, tingkat pendidikan, paritas dan pekerjaan
dengan tingkat depresi yang terjadi pada ibu pasca persalinan.

Pada masa nifas sering dijumpai gangguan psikologis pada ibu. Salah satunya
yaitu depresi pasca persalinan yang ditandai dengan gejala ibu menjadi sangat
emosional, sedih, khawatir, mudah tersinggung, cemas dan mudah marah.

Banyak faktor yang mempengaruhi dalam perubahan ini meliputi usia,


paritas, tingkat pendidikan dan pekerjaan, lingkungan, kemiskinan, dukungan sosial
dari suami dan keluarga yang kurang juga ikut berperan dalam menimbulkan depresi
pasca persalinan.
Dalam penelitian ini obyek yang akan diteliti adalah hubungan usia, tingkat
pendidikan, paritas dan pekerjaan dengan tingkat depresi yang terjadi pada ibu pasca
persalinan.

3
BAB II
RESPON PSIKOLOGIS
DEPRESI IBU PASCA MELAHIRKAN ( POST PARTUM )

A. Pengertian

Sebagian perempuan menganggap bahwa masa-masa setelah melahirkan


adalah masa–masa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara
emosional. Gangguan-gangguan psikologis yang muncul akan mengurangi
kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak dan
ibu dikemudian hari. Hal ini bisa muncul dalam durasi yang sangat singkat atau
berupa serangan yang sangat berat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun
lamanya.

Secara umum sebagaian besar wanita mengalami gangguan emosional setelah


melahirkan. Clydde (Regina dkk, 2001), bentuk gangguan post partum yang umum
adalah depresi, mudah marah dan terutama mudah frustasi serta emosional.
Gangguan mood selama periode postpartum merupakan salah satu gangguan yang
paling sering terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara. Menurut DSM-
IV, gangguan pascasalin diklasifikasikan dalam gangguan mood dan onset gejala
adalah dalam 4 minggu pascapersalinan.

Ada 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues,


postpartum depression dan postpartum psychosis (Ling dan Duff, 2001).
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Paltiel (Koblinsky dkk, 1997), bahwa
ada 3 golongan gangguan psikis pascasalin yaitu post partum blues atau sering
disebut juga sebagai maternity blues yaitu kesedihan pasca persalinan yang bersifat
sementara. Postpartum depression yaitu depresi pasca persalinan yang berlangsung
sampai berminggu – minggu atau bulan dan kadang ada diantara mereka yang tidak
menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan penyakit. Postpartum
psychosis, dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat karena
bisa menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya
setiap pasca melahirkan.

4
Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Pitt
(Regina dkk, 2001), depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke
hari dengan menunjukkan kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan
kehilangan libido (kehilangan selera untuk berhubungan intim dengan suami). Masih
menurut Pitt (Regina dkk, 2001) tingkat keparahan depresi postpartum bervariasi.
Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami “kesedihan
sementara” yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut
dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat
disebut psikosis postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut
terdapat kedaan yang relatif mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut
neurosa depresi atau depresi postpartum.

Menurut Duffet-Smith (1995), depresi pascasalin bisa berkaitan dengan


terjadinya akumulasi stres. Ada stres yang tidak dapat dihindari, seperti operasi.
Depresi adalah pengalaman yang negatif ketika semua persoalan tamapak tidak
terpecahkan. Persoalan juga tidak akan terpecahkan dengan berpikir lebih positif,
tetapi sikap itu akan membuat depresi lebih dapat dikendalikan.
Masih menurut Duffet-Smith, faktor kunci dalam depresi pasca persalinan adalah
kecapaian yang menjadi kelelahan total. Kepercayaan diri ibu dapat luntur jika ibu
merasa tidak mampu menanganinya dan menjadi frustasi karena kelemahan fisiknya.

Inwood (Regina dkk, 2001) menghubungkan fenomena depresi postpartum


dengan gangguan perasaan mayor seperti kesedihan, perasaan tidak mampu,
kelelahan, insomnia dan anhedonia. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Sloane
dan Bennedict (1997), depresi postpartum merupakan tekanan jiwa sesudah
melahirkan, mungkin seorang ibu baru akan merasa benar – benar tidak berdaya dan
merasa serba kurang mampu, tertindih oleh beban tanggung jawab terhadap bayi dan
keluarganya, tidak bisa melakukan apapun untuk menghilangkan perasaan itu.

Depresi pasca melahirkan dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih dan
berkembang menjadi depresi lain yang lebih berat atau lebih ringan. Gejalanya sama
saja tetapi disamping itu ibu mungkin terlalu memikirkan kesehatan bayinya dan
kemampuannya sebagai seorang ibu (Wilkinson, 1995).

5
Monks dkk (1988), menyatakan bahwa depresi postpartum merupakan
problem psikis sesudah melahirkan seperti labilitas afek, kecemasan dan depresi pada
ibu yang dapat berlangsung berbulan-bulan. Sloane dan Bennedict (1997)
menyatakan bahwa depresi postpartum biasanya terjadi pada 4 hari pertama masa
setelah melahirkan dan berlangsung terus 1-2 minggu.

Liewellyn-Jones (1994), menyatakan bahwa wanita yang didiagnosa secara


klinis pada masa postpartum mengalami depresi dalam 3 bulan pertama setelah
melahirkan. Wanita yang menderita depresi postpartum adalah mereka yang secara
sosial dan emosional merasa terasingkan atau mudah tegang dalam setiap kejadian
hidupnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa depresi postpartum


adalah gangguan emosional pasca persalinan yang bervariasi, terjadi pada 10 hari
pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus-menerus sampai 6 bulan
bahkan sampai satu tahun.

B. Faktor-Faktor Penyebab Depresi Post Partum

Cycde (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa depresi postpartum tidak


berbeda secara mencolok dengan gangguan mental atau gangguan emosional.
Suasana sekitar kehamilan dan kelahiran dapat dikatakan bukan penyebab tapi
pencetus timbulnya gangguan emosional.

Nadesul (1992), penyebab nyata terjadinya gangguan pasca melahirkan


adalah adanya ketidakseimbangan hormonal ibu, yang merupakan efek sampingan
kehamilan dan persalinan. Sarafino (Yanita dan Zamralita, 2001), faktor lain yang
dianggap sebagai penyebab munculnya gejala ini adalah masa lalu ibu tersebut, yang
mungkin mengalami penolakan dari orang tuanya atau orang tua yang overprotective,
kecemasan yang tinggi terhadap perpisahan, dan ketidakpuasaan dalam pernikahan.
Perempuan yang memiliki sejarah masalah emosional rentan terhadap gejala depresi
ini, kepribadian dan variabel sikap selama masa kehamilan seperti kecemasan,
kekerasan dan kontrol eksternal berhubungan dengan munculnya gejala depresi.

6
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Llewellyn–Jones (1994),
karakteristik wanita yang berisiko mengalami depresi postpartum adalah : wanita
yang mempunyai sejarah pernah mengalami depresi, wanita yang berasal dari
keluarga yang kurang harmonis, wanita yang kurang mendapatkan dukungan dari
suami atau orang–orang terdekatnya selama hamil dan setelah melahirkan, wanita
yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama masa kehamilannya misalnya
kurang komunikasi dan informasi, wanita yang mengalami komplikasi selama
kehamilan.

Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan 4 faktor penyebeb depresi


postpartum sebagai berikut :

a. Faktor konstitusional.

Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat obstetri
pasien yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi dari
kehamilan dan persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita
primipara. Wanita primipara lebih umum menderita blues karena setelah melahirkan
wanita primipara berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri
sendiri begitu bayi lahir jika ibu tidak paham perannya ia akan menjadi bingung
sementara bayinya harus tetap dirawat.

b. Faktor fisik.

Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan mental


selama 2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik dihubungkan dengan
kelahiran pertama merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis
setelah melahirkan dan periode laten selama dua hari diantara kelahiran dan
munculnya gejala. Perubahan ini sangat berpengaruh pada keseimbangan. Kadang
progesteron naik dan estrogen yang menurun secara cepat setelah melahirkan
merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.

7
c. Faktor psikologis.

Peralihan yang cepat dari keadaan “dua dalam satu” pada akhir kehamilan
menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian psikologis
individu. Klaus dan Kennel (Regina dkk, 2001), mengindikasikan pentingnya cinta
dalam menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai hubungan baik antara ibu
dan anak.

d. Faktor sosial.

Paykel (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak memadai
lebih sering menimbulkan depresi pada ibu – ibu, selain kurangnya dukungan dalam
perkawinan.

Menurut Kruckman (Yanita dan zamralita, 2001), menyatakan terjadinya


depresi pascasalin dipengaruhi oleh faktor :

1. Biologis.

Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar


hormon seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu
rendah dalam masa nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau
terlalu lambat.

2. Karakteristik ibu, yang meliputi :

a. Faktor umur.

Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang
perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini
mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang
ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan
seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk
menjadi seorang ibu.

8
b. Faktor pengalaman.

Beberapa penelitian diantaranya adalah pnelitian yang dilakukan oleh Paykel


dan Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih
banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang
ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama
sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian
yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri muda dari kelas
sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami
krisis setelah kelahiran bayi pertama.

c. Faktor pendidikan.

Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik


peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk
bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka
sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak–anak mereka (Kartono,
1992).

d. Faktor selama proses persalinan.

Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang digunakan
selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan
pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang
muncul dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi
depresi pascasalin.

e. Faktor dukungan sosial.

Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan


pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.

9
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi
postpartum adalah faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya
ketidakseimbangan hormonal, faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu.

C. Gejala-gejala Depresi Postpartum

Depresi merupakan gangguan yang betul–betul dipertimbangkan sebagai


psikopatologi yang paling sering mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang
berakhir dengan kematian. Gejala depresi seringkali timbul bersamaan dengan gejala
kecemasan. Manifestasi dari kedua gangguan ini lebih lanjut sering timbul sebagai
keluhan umum seperti : sukar tidur, merasa bersalah, kelelahan, sukar konsentrasi,
hingga pikiran mau bunuh diri.

Menurut Vandenberg (dalam Cunningham dkk, 1995), menyatakan bahwa


keluhan dan gejala depresi postpartum tidak berbeda dengan yang terdapat pada
kelainan depresi lainnya. Hal yang terutama mengkhawatirkan adalah pikiran –
pikiran ingin bunuh diri, waham–waham paranoid dan ancaman kekerasan terhadap
anak–anaknya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ling dan Duff (2001), bahwa gejala
depresi postpartum yang dialami 60 % wanita hampir sama dengan gejala depresi
pada umumnya. Tetapi dibandingkan dengan gangguan depresi yang umum, depresi
postpartum mempunyai karakteristik yang spesifik antara lain :
a. Mimpi buruk.

Biasanya terjadi sewaktu tidur REM. Karena mimpi-mimpi yang menakutkan,


individu itu sering terbangun sehingga dapat mengakibatkan insomnia.

b. Insomnia.

Biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya seperti
kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup
manusia.

10
c. Phobia.

Rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang tidak dapat
dihilangkan atau ditekan oleh pasien, biarpun diketahuinya bahwa hal itu
irasional adanya. Ibu yang melahirkan dengan bedah Caesar sering merasakan
kembali dan mengingat kelahiran yang dijalaninya. Ibu yang menjalani bedah
Caesar akan merasakan emosi yang bermacam–macam. Keadaan ini dimulai
dengan perasaan syok dan tidak percaya terhadap apa yang telah terjadi. Wanita
yang pernah mengalami bedah Caesar akan melahirkan dengan bedah Caesar
pula untuk kehamilan berikutnya. Hal ini bisa membuat rasa takut terhadap
peralatan peralatan operasi dan jarum (Duffet-Smith, 1995).

d. Kecemasan.

Ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan
akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar
tidak diketahuinya.

e. Meningkatnya sensitivitas.

Periode pasca kelahiran meliputi banyak sekali penyesuaian diri dan pembiasaan
diri. Bayi harus diurus, ibu harus pulih kembali dari persalinan anak, ibu harus
belajar bagaimana merawat bayi, ibu perlu belajar merasa puas atau bahagia
terhadap dirinya sendiri sebagai seorang ibu. Kurangnya pengalaman atau
kurangnya rasa percaya diri dengan bayi yang lahir, atau waktu dan tuntutan yang
ekstensif akan meningkatkan sensitivitas ibu (Santrock, 2002).

f. Perubahan mood.

Menurut Sloane dan Bennedict (1997), menyatakan bahwa depresi postpartum


muncul dengan gejala sebagai berikut : kurang nafsu makan, sedih, murung,
perasaan tidak berharga, mudah marah, kelelahan, insomnia, anorexia, merasa
terganggu dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi, melukai diri, anhedonia,
menyalahkan diri, lemah dalam kehendak, tidak mempunyai harapan untuk masa

11
depan, tidak mau berhubungan dengan orang lain. Di sisi lain kadang ibu jengkel
dan sulit untuk mencintai bayinya yang tidak mau tidur dan menangis terus serta
mengotori kain yang baru diganti. Hal ini menimbulkan kecemasan dan perasaan
bersalah pada diri ibu walau jarang ditemui ibu yang benar–benar memusuhi
bayinya.

Menurut Nevid dkk (1997), depresi postpartum sering disertai gangguan


nafsu makan dan gangguan tidur, rendahnya harga diri dan kesulitan untuk
mempertahankan konsentrasi atau perhatian.

Kriteria diagnosis spesifik depresi postpartum tidak dimasukkan di dalam


DSM-IV, dimana tidak terdapat informasi yang adekuat untuk membuat diagnosis
spesifik. Diagnosis dapat dibuat jika depresi terjadi dalam hubungan temporal
dengan kelahiran anak dengan onset episode dalam 4 minggu pasca persalinan.
Menurut DSM IV, simptom-simptom yang biasanya muncul pada episode
postpartum antara lain perubahan mood, labilitas mood dan sikap yang berlebihan
terhadap bayi. Wanita yang menderita depresi postpartum sering mengalami
kecemasan yang sangat hebat dan sering panik.

Meskipun belum ada kriteria diagnosis spesifik dalam DSM-IV, secara


karakteristik penderita depresi postpartum mulai mengeluh kelelahan, perubahan
mood, memiliki episode kesedihan, kecurigaan dan kebingungan serta tidak mau
berhubungan dengan orang lain. Selain itu, penderita depresi postpartum memiliki
perasaan tidak ingin merawat bayinya, tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi
atau dirinya sendiri atau keduanya.

Gejala depresi pascasalin ini memang lebih ringan dibandingkan dengan


psikosis pascasalin. Meskipun demikian, kelainan-kelainan tersebut memiliki potensi
untuk menimbulkan kesulitan atau masalah bagi ibu yang mengalaminya (Kruckman
dalam Yanita dan Zamralita, 2001).

12
BAB III
RESPON PSIKOLOGIS
PROSES ADAPTASI PSIKOLOGIS IBU DALAM MASA NIFAS

Masa nifas merupakan masa yang paling kritis dalam kehidupan ibu maupun
bayi, diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah
persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Dalam
memberikan pelayanan pada masa nifas, bidan menggunakan asuhan yang berupa
memantau keadaan fisik, psikologis, spiritual, kesejahteraan sosial ibu/keluarga,
memberikan pendidikan dan penyuluhan secara terus menerus. Dengan pemantauan
dan asuhan yang dilakukan pada ibu dan bayi pada masa nifas diharapkan dapat
mencegah atau bahkan menurunkan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi.
Perubahan psikologis mempunyai peranan yang sangat penting. Pada masa
ini, ibu nifas menjadi sangat sensitive, sehingga diperlukan pengertian dari keluarga-
keluarga terdekat. Peran bidan sangat penting dalam hal memberi pegarahan pada
keluarga tentang kondisi ibu serta pendekatan psikologis yang dilakukan bidan pada
ibu nifas agar tidak terjadi perubahan psikologis yang patologis.
Setelah proses kelahiran tanggung jawab keluarga bertambah dengan
hadirnya bayi yang baru lahir, dorongan serta perhatian anggota keluarga lainnya
merupakan dukungan positif bagi ibu. Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan,
ibu akan melalui fase-fase sebagai berikut :

1. Fase Taking In
Fase ini merupakan fase ketergantungan yang berlangsung dari hari pertama
sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat ini fokus perhatian ibu terutama
pada bayinya sendiri. Pengalaman selama proses persalinan sering berulang
diceritakannya. Kelelahannya membuat ibu perlu cukup istirahat untuk mencegah
gejala kurang tidur, seperti mudah tersinggung. Hal ini membuat ibu cenderung
menjadi pasif terhadap lingkungannya.

13
2. Fase Taking hold
Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan. Pada fase taking
hold, ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya dalam
merawat bayi. Selain itu perasaan yang sangat sensitive sehingga mudah tersinggung
jika komunikasinya kurang hati-hati. Oleh karena itu ibu memerlukan dukungan
karena sat ini merupakan kesempatan yang baik untuk menerima berbagai
penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya sehingga tumbuh rasa percaya diri.
Ada kalanya ibu mengalami perasaan sedih yang berkaitan dengan bayinya.
Keadaan ini disebut dengan baby blues, yang disebabkan oleh perubahan perasaan
yang dialami ibu saat hamil, sehingga sulit menerima kahadiran bayinya. Perubahan
perasaan ini merupakan respon alami terhadap rasa lelah yang dirasakan.
Banyak ketakutan dan kekhawatiran pada ibu yang baru melahirkan terjadi
akibat persoalan yang sederhana dan dapat diatasi dengan mudah atau sebenarnya
dapat dicegah oleh staf keperawatan, pengunjung dan suami, bidan dapat
mengantisipasi hal-hal yang bias menimbulkan stress psikologis. Dengan bertemu
dan mengenal suami serta keluarga ibu, bidan akan memiliki pandangan yang lebih
mendalam terhadap setiap permasalahan yang mendasarinya.

3. Fase Letting Go
Merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya yang
berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah dapat menyesuaikan diri,
merawat diri dan bayinya sudah meningkat.
Fase-fase adaptasi ibu nifas yaitu taking in, taking hold dan letting go yang
merupakan perubahan perasaan sebagai respon alami terhadap rasa lelah yang
dirasakan dan akan kembali secara perlahan setelah ibu dapat menyesuaikan diri
dengan peran barunya dan tumbuh kembali pada keadaan normal.
Walaupun perubahan-perubahan terjadi sedemikian rupa, ibu sebaiknya tetap
menjalani ikatan batin dengan bayinya sejak awal. Sejak dalam kandungan bayi
hanya mengenal ibu yang memberinya rasa aman dan nyaman sehingga stress yang
dialaminya tidak bertambah berat.
Gejala-gejalanya antara lain : sangat emosional, sedih, khawatir, kurang
percaya diri, mudah tersinggung, merasa hilang semangat, menangis tanpa sebab

14
jelas, kurang merasa menerima bayi yang baru dilahirkan, sangat kelelahan, harga
diri rendah, tidak sabaran, terlalu sensitive, mudah marah dan gelisah, sulit tidur
bahkan saat bayi telah tidur, nafsu makan hilang, perasaan tidak berdaya atau
kehilangan control, terlalu cemas atau tidak perhatian sama sekali pada bayi, tidak
menyukai atau takut menyentuh bayi, pikiran yang menakutkan mengenai bayi,
sedikit atau tidak ada perhatian terhadap penampilan pribadi, gejala fisik seperti
banyak wanita sulit bernafas atau perasaan berdebar-debar. Jika ditemukan sejak dini
penyakit ini dapat disembuhkan dengan obat-obatan dan konsultasi dengan psikiater,
jika depresi yang ibu alami berkepanjangan mungkin ibu perlu perawatan dirumah
sakit.

15
BAB IV
ASUHAN KEBIDANAN

Post partum blues ini apabila tidak ditangani secara tepat dapat menjadi lebih
buruk atau lebih berat, post partum yang lebih berat disebut post partum depresi
(PPD) yang melanda sekitar 10% ibu baru.
Oleh karena itu penting sekali bagi seorang bidan untuk mengetahui gejala
dan tanda dari post partum blues sehingga dapat mengambil tindakan mana yang
dapat diatasi dan mana yang memerlukan rujukan kepada yang lebih ahli dalam
bidang psikologi.

Hal-hal Yang Dapat Dilakukan Seorang Bidan


a. Menciptakan ikatan antara bayi dan ibu sedini mungkin
b. Simpati, memberika bantuan dalam merawat bayi dan dorongan pada ibu agar
tumbuh rasa percaya diri.
c. Memberikan penjelasan pada ibu, suami dan keluarga bahwa hal ini merupakan
suatu hal yang umum dan akan hilang sendiri dalam dua minggu setelah
melahirkan.
d. Memberikan bantuan dalam merawat bayi.
e. Menganjurkan agar beristirahat yang cukup dan makan makanan yang bergizi.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan disini adalah cara mengatasi gangguan psikologis pada nifas dengan
post partum blues. Ada beberapa cara untuk mengatasi masalah ini yaitu :
1. Dengan cara pendekatan komunikasi teraupetik
Tujuan dari komunikasi teraupetik adalah menciptakan hubungan baik antara
bidan dengan pasien dalam rangka kesembuhannya dengan cara :
a. Mendorong pasien mampu meredakan segala ketegangan emosi.
b. Dapat memahami dirinya
c. Dapat mendukung tindakan konstruksi

16
2. Peningkatan support mental/dukungan keluarga dalam mengatasi gangguan
psikologis yang berhubungan dengan masa nifas dalam menjalani adaptasi
setelah melahirkan

Pencegahan
Post partum blues dapat dicegah dengan cara :
1. Anjurkan ibu untuk merawat dirinya, yakinkan pada suami atau keluarga
untuk selalu memperhatikan si ibu.
2. Menu makanan yang seimbang
3. Olah raga secara teratur
4. Mintalah bantuan pada keluarga atau suami untuk merawat ibu dan bayinya.
5. Rencanakan acara keluar bersama bayi berdua dengan suami
6. Rekreasi

17
DAFTAR PUSTAKA

Albin, R. S. 1991. Emosi : Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya.


Yogyakarta : Kanisius.

American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders. Fourth Edition (Text Revision). Washington, DC : American
Psychiatric Assosiation (APA).

Anshari, H. 1996. Kamus Psychologi. Jakarta : Arcan.

Arikunto, S. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi III.
Jakarta : Gramedia.

As’ari, Y. 2005. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kestabilan Emosi


Dalam Menghadapi Kelahiran Anak Pertama. Skripsi. (tidak diterbitkan). Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Azwar, S. 1996. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Liberty.

_______. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Chaplin, C.P. 1995. Kamus Lengkap Psikologi. Yogyakarta. Liberty.

Cunningham, F. G, Macdonald, P. C dan Gant, N. F. 1995. Williams Obstetrics.


Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Duffet-Smith, T. 1995. Persalinan dengan Bedah Caesar. Jakarta : Arcan.

Erikania, J. 1999. Mengenal Post Partum Blues. Nakita. 8 Mei 199. No. 05/1.
Halaman 6. Jakarta : PT Kinasih Satya Sejati.

Hadi, P. 2004. Depresi dan Solusinya. Yogyakarta : Tugu

Hadi, S. 1990. Metodologi Research II. Yogyakarta : Andi offset.

Hinton, J. 1989. Depresi dan Perawatannya. Jakarta : Dian Rakyat.

Ibrahim, Z. 2002. Psikologi Wanita. Bandung : Pustaka Hidayah.

Kaplan, H. I dan Sadock, B. J. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Kartono, K. 1992. Psikologi Wanita : Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek. Jilid
Dua. Bandung : Mandar Maju.

. 2002. Patologi Sosial 3. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

18
Llewellyn–Jones, D. 1994. Fundamental of Obstetrics and Gynecology. Sixth
Edition. Barcelona : Mosby.

Ling, F. W, dan Duff, P. 2001. Obstetrics and Gynecology. New York : Mc Graw –
Hill Companies.

Malonda, B. F. 1999. Sosial – Budaya, Gangguan Emosi dan Fisik Pasca Salin
Masyarakat Pedesaan Sumedang. Diakses 29 September 2004. www.tempo.co.id/
medika arsip/ 122002/ art-2.htm.

Monks, F. J, Knoers, A. M. P, dan Rahayu, S. 1988. Psikologi Perkembangan.


Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Nadesul, H. 1992. Seri Kesehatan Keluarga Hippocrates. Jakarta : Arcan.


Nevid, J. S dan Rathus, S. A. 1997. Abnormal Psychology in Changing World. Third
edition. USA : Prentice-Hall Inc.

Paltiel, F. K. 1997. Kesehatan Jiwa Wanita : Suatu Perspektif Global. Dalam


Koblinsky, M, Timyan, J dan Gay, J. (ed). Kesehatan Wanita : Sebuah Perspektif
Global. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Regina, Pudjibudojo, J. K dan Malinton, P. K. 2001. Hubungan Antara Depresi


Postpartum Dengan Kepuasan Seksual Pada Ibu Primipara. Anima Indonesian
Psychological Journal. Vol. 16. No. 3. 300 – 314.

Santrock, J .W. 2002. Perkembangan Masa Hidup. Jilid I. Jakarta : Erlangga.


Sloane, P. D, dan Benedict, S. 1997. Petunjuk Lengkap Kehamilan. Jakarta : Mitra
Utama.

Steiner, M. 2005. Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder.


Diakses 17 April 2005. Http//www.psychdirect.com/women/PMS.htm.

Wiknjosastro, H, Saifudin, BR, dan Rachimhadhi, T. 1999. Ilmu Kebidanan. Jakarta :


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Wilkinson, G. 1992. Buku Pintar Kesehatan : Depresi. Jakarta : Arcan.

www.bluerider.com/wordseach/primipara. Primipara.

www.ivillage.co.uk/pregnancyandbaby/tools.pregnancy_gloss. Look Up Any Word


In Our Glossary.

Yanita, A, dan Zamralita. 2001. Persepsi Perempuan Primipara Tentang Dukungan


Suami Dalam Usaha Menanggulangi Gejala Depresi pascasalin. Phronesis. Vol.3. No
: 5. 34 – 50.

19
20

Anda mungkin juga menyukai