Anda di halaman 1dari 47

Makalah Dasar Pemberantasan Penyakit (DPP)

IMUNISASI HEPATITIS B

Disusun oleh:
Kelompok: 5

1. Febri Frans P. S. 25010111120030


2. Ruth D. Siagian 25010111120031
3. Dyah Agustin C. P. 25010111120032
4. Eky Purwanti 25010111120033
5. Adi Saputro 25010111120034
6. Anies Yuniar P. 25010111120035
7. Kurnia Nur L. 25010111120036

Kelas : A_2011

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013

1
KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum wr. wb


Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Dasar Pemberantasan Penyakit (DPP) yang berjudul “IMUNISASI
HEPATITIS B“ dengan baik.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan orang-orang yang berjuang
di jalan Allah SWT hingga akhir zaman. Semoga kita mendapatkan syafaatnya di
yaumul kiyamah kelak. Aamiin.
Selesainya penulisan makalah ini adalah berkat dukungan dari semua pihak,
untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada
semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan informasi bagi kita semua
khususnya dapat memberikan informasi mengenai penyakit hepatitis B beserta
program imunisasinya.
Dengan sepenuh hati penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
memiliki kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu alaikum wr.wb

Semarang, 09 Juni 2013

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................1
Kata Pengantar..................................................................................................2
Daftar Isi...........................................................................................................3

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................4
B. Tujuan......................................................................................................5
C. Manfaat....................................................................................................6
BAB II: ISI
A. Definisi Hepatitis B.................................................................................7
B. Etiologi Penyakit Hepatitis B..................................................................7
C. Masa Inkubasi dan Penularan Hepatitis B...............................................8
D. Gejala dan Tanda Penyakit serta Cara Diagnosis Hepatitis B.................11
E. Transmisi Penyakit Hepatitis B...............................................................17
F. Riwayat Alamiah Penyakit Hepatitis B...................................................17
G. Pengobatan Hepatitis B...........................................................................18
H. Perkembangan Penyakit Hepatitis B di Indonesia..................................19
I. Faktor Resiko Hepatitis B.......................................................................20
J. Cara Pencegahan Hepatitis B..................................................................21
K. Gambaran Epidemiologi Umum Hepatitis B..........................................24
L. Gambaran Epidemiologi Hepatitis B di Indonesia..................................24
M. Tujuan Imunisasi Hepatitis B..................................................................25
N. Strategi Imunisasi Hepatitis B.................................................................25
O. Ukuran Epidemiologi Hepatitis B...........................................................39
BAB III: PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................43
B. Saran.....................................................................................................45
Daftar Pustaka...................................................................................................46

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hepatitis B adalah salah satu penyakit menular berbahaya yang dapat
menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan termasuk masalah kesehatan
masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit Hepatitis B juga merupakan
penyakit infeksi virus yang dapat menyerang hati dan selanjutnya akan
berkembang menjadi pengerasan hati maupun kanker hati hingga
menyebabkan kematian.
Penyakit Hepatitis B ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB)
yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan hati akut atau menahun
(penyakit hati kronis). Keadaan ini sangat berbahaya karena penderita merasa
tidak sakit tetapi terus-menerus menularkan VHB kepada orang lain sehingga
dapat terjadi wabah Hepatitis B dan juga mengalami komplikasi penyakit
yaitu pengerasan hati yang disebut liver cirrhosis dan juga dapat berkembang
menjadi kanker hati yang disebut dengan carcinoma hepatocelluler
(Gunawan, 2009).
Pada saat ini di dunia diperkirakan terdapat kira-kira 350 juta orang
pengidap (carier) HbsAg dan 220 juta (78 %) di antaranya terdapat di Asia
termasuk Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan HbsAg pada kelompok donor
darah di Indonesia, prevalensi hepatitis B berkisar antara 2,50% - 36,17%.
Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis B terjadi pada bayi dan anak,
diperkirakan 25% - 45% pengidap adalah karena infeksi perinatal. Hal ini
berarti bahwa Indonesia termasuk daerah endemis penyakit hepatitis B
sehingga termasuk negara yang diimbau oleh WHO untuk melaksanakan
upaya pencegahan imunisasi (Achmadi, 2006).
Imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif
untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B. Di Indonesia program
imunisasi Hepatitis B dimulai pada Tahun 1987 dan telah masuk ke dalam
program imunisasi rutin secara nasional sejak Tahun 1997. Pada Tahun 1991
Indonesia dinyatakan telah mencapai Universal Child Immunization (UCI)

4
secara nasional, akan tetapi tetap saja masih ada ditemukan kasus penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti kasus Hepatitis. Kasus
penyakit Hepatitis B masih ada ditemukan di beberapa desa terutama desa
dengan cakupan imunisasi Hepatitis B rendah khususnya imunisasi Hepatitis
B (0-7 hari) (Anwar, 2001).
Misnadiarly (2007) dan Sudoyo, dkk (2006) memperkirakan 4 - 40 juta
penduduk Indonesia mempunyai kemungkinan mengidap Hepatitis (semua
tipe), dan Hepatitis B menduduki urutan pertama dalam hal jumlah penderita
dan penyebarannya. Prevalensi Hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi
berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga Indonesia
termasuk ke dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi
untuk terjadinya infeksi virus Hepatitis B.
Untuk memahami lebih jauh tentang penyakit Hepatitis B serta
program imunisasinya maka di dalam makalah ini akan dijabarkan secara
lengkap semua hal yang berkaitan dengan Hepatitis B.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui etiologi Hepatitis B
2. Untuk mengetahui inkubasi dan penularan Hepatitis B
3. Untuk mengetahui gejala dan tanda penyakit serta diagnosis Hepatitis B
4. Untuk mengetahui transmisi Hepatitis B
5. Untuk mengetahui riwayat alamiah Hepatitis B
6. Untuk mengetahui pengobatan Hepatitis B
7. Untuk mengetahui perkembangan Hepatitis B di Indonesia
8. Untuk mengetahui faktor resiko Hepatitis B
9. Untuk mengetahui cara pencegahan Hepatitis B
10. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi Hepatitis B secara umum
11. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi Hepatitis B di Indonesia
12. Untuk mengetahui tujuan Imunisasi Hepatitis B
13. Untuk mengetahui strategi Imunisasi Hepatitis B

5
C. Manfaat
1. Sebagai wawasan dan informasi tentang penyakit Hepatitis B dan
program imunisasinya bagi pembaca agar dapat terhindar dari penyakit
Hepatitis B sehingga membantu menurunkan prevalensi Hepatitis B
2. Sebagai wadah aplikasi ilmu penulis dalam rangka studi tentang
pemberantasan penyakit khususnya Hepatitis B

6
BAB II
ISI

A. Definisi Hepatitis B
Menurut Ling dan Lam (2007) Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi
pada hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa
menjadi kronis atau akut dan dapat pula menyebabkan radang hati, gagal hati,
sirosis hati, kanker hati, dan kematian.
Menurut Wening S, dkk (2008), Hepatitis B merupakan tipe hepatitis
yang berbahaya. Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan hepatitis
jenis lainnya. Hepatitis B menular kontak darah atau cairan tubuh yang
mengandung virus hepatitis B (VHB).

B. Etiologi Penyakit Hepatitis B


Menurut National Institutes of Health (2006) etiologi Hepatitis B adalah
virus dan disebut dengan Hepatitis B Virus (VHB). Virus ini pertama kali
ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal dengan nama
antigen Australia. Virus ini termasuk DNA virus.
Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang
disebut "Partikel Dane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang
membungkus partikel inti (core). Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase.
Pada partikel inti terdapat Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B
antigen (HBeAg). Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipo protein dan
menurut sifat imunologik proteinnya virus Hepatitis B dibagi menjadi 4
subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr. Subtipe ini secara epidemiologis penting,
karena menyebabkan perbedaan geografik dan rasial dalam penyebarannya.
Misnadiarly (2007) menguraikan VHB terbungkus serta mengandung
genoma DNA melingkar. Virus ini merusak fungsi lever dan sambil merusak
terus berkembang biak dalam sel-sel hati (hepatocytes). Akibat serangan itu
sistem kekebalan tubuh kemudian memberi reaksi dan melawan. Kalau tubuh
berhasil melawan maka virus akan terbasmi habis, tetapi jika gagal virus akan

7
tetap tinggal dan menyebabkan Hepatitis B kronis dimana pasien sendiri
menjadi karier atau pembawa virus seumur hidupnya (Misnadiarly, 2007).

C. Masa Inkubasi dan Penularan Hepatitis B


1. Masa Inkubasi
Masa inkubasi VHB ini biasanya 45-180 hari dengan batasan 60-90
hari, dimana setelah 2 minggu infeksi virus Hepatitis B terjangkit, HBsAg
dalam darah penderita sudah mulai dapat dideteksi. Perubahan dalam
tubuh penderita akibat infeksi virus Hepatitis B terus berkembang. Dari
infeksi akut berubah menjadi kronis, sesuai dengan umur penderita. Makin
tua umur, makin besar kemungkinan menjadi kronis kemudian berlanjut
menjadi pengkerutan jaringan hati yang disebut dengan sirosis. Bila umur
masih berlanjut keadaan itu akan berubah menjadi karsinoma hepatoseluler
(Yatim, 2007).

2. Penularan
a. Sumber Penularan Virus Hepatitis B
Dalam kepustakaan disebutkan sumber penularan virus Hepatitis
B berupa:
1) Darah
2) Saliva
3) Kontak dengan mukosa penderita virus hepatitis B
4) Feces dan urine
5) Lain-lain: Sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran
yang terkontaminasi virus hepatitis B. Selain itu dicurigai penularan
melalui nyamuk atau serangga penghisap darah.

b. Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Penularan


1) Konsentrasi virus.
2) Volume inokulum
3) Lama kontak
4) Cara masuk HBV ke dalam tubuh

8
5) Kerentanan individu yang bersangkutan

c. Cara penularan virus Hepatitis B


Penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu:
1) Parenteral: dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya
melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis
B dan pembuatan tattoo.
2) Non Parenteral: karena persentuhan yang erat dengan benda yang
tercemar virus hepatitis B.

Secara epidemiologi penularan infeksi virus hepatitis B dibagi 2


cara penting yaitu:
1) Penularan Vertikal
Penularan infeksi HBV dari ibu hamil kepada bayi yang
dilahirkannya. Dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau
prenatal, selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau
postnatal. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yang
tertular VHB secara vertikal mendapat penularan pada masa
perinatal yaitu pada saat terjadi proses persalinan. Karena itu bayi
yang mendapat penularan vertikal sebagian besar mulai terdeteksi
HBsAg pada usia 3-6 bulan yang sesuai dengan masa tunas infeksi
VHB yang paling sering didapatkan. Penularan yang terjadi pada
masa perinatal dapat terjadi melalui cara maternofetal micro infusion
yang terjadi pada waktu terjadi kontraksi uterus.
Penularan infeksi HBV terjadi saat proses persalinan oleh
karena adanya kontak atau paparan dengan sekret yang mengadung
HBV (cairan amnion, darah ibu, sekret vagina) pada kulit bayi
dengan lesi (abrasi) dan pada mukosa (konjungtiva). Bayi yang
dilahirkan dari ibu yang HbsAg + HBs AgE + akan menderita HBV.
Infeksi yang terjadi pada bayi ini tanpa gejala klinis yang menonjol,
keadaan ini menyebabkan ibu menjadi lengah dan lupa membuat
upaya pencegahan.

9
2) Horizontal
Cara penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap
hepatitis B kepada individu yang masih rentan. Penularan horizontal
dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir.
a) Melalui Kulit
Virus Hepatitis B tidak dapat menembus kulit yang utuh.
Ada dua macam penularan melalui kulit yaitu
 Penularan melalui kulit yang disebabkan tusukan yang jelas
(penularan parenteral), misalnya melalui suntikan, transfusi
darah, atau pemberian produk yang berasal dari darah dan
tattoo.
 Penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misalnya
masuknya bahan infektif melalui goresan atau abrasi kulit dan
radang kulit.

b) Melalui Selaput Lendir


Selaput lendir yang diduga menjadi jalan masuk VHB ke
dalam tubuh adalah selaput lendir mulut, hidung, mata, dan
selaput lendir kelamin. Melalui selaput lendir mulut dapat terjadi
pada mereka yang menderita sariawan atau selaput lendir mulut
yang terluka. Melalui selaput lendir kelamin dapat terjadi akibat
hubungan seks heteroseksual maupun homoseksual dengan
pasangan yang mengandung HBsAg positif yang bersifat
infeksius.
Pengidap HbsAg merupakan suatu kondisi yang infeksius
untuk lingkungan karena sekret tubuhnya juga mengandung
banyak partikel HBV yang infektif, saliva, semen, sekret vagina.
Dengan demikian kontak erat antara individu yang melibatkan
sekret-sekret tersebut, dapat menularkan infeksi HBV, misal
perawatan gigi dan yang sangat penting secara epidemiologis
adalah penularan hubungan seksual.

10
D. Gejala dan Tanda Penyakit serta Cara Diagnosis Hepatitis B
1. Gejala
Gejala penyakit Hepatitis B pada umumnya sama dengan gejala
Hepatitis yang lain, sehingga sukar untuk dibedakan secara klinis. Gejala
pada Hepatitis B pada umumnya tidak menimbulkan gejala. Oleh sebab
itu, banyak kasus Hepatitis B yang tidak terdiagnosis sehingga tidak dapat
dilakukan pengobatan secara dini.
Secara umum, gejala Hepatitis B yaitu nafsu makan berkurang,
mual, muntah, demam, bagian putih mata menjadi kuning, mudah lelah,
nyeri otot dan persendian, sakit kepala, nyeri perut dibagian kanan atas,
diare, warna tinja seperti dempul, warna urin seperti teh, dan berat badan
berkurang 2,5 – 5 kg. Gejala ini umumnya terjadi pada hari ke 40 – 180
setelah terinfeksi HBV. Namun bagi penderita hepatitis B kronik akan
cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut, sehingga penularan kepada
orang lain menjadi lebih beresiko. Hepatitis B seringkali tidak
menimbulkan gejala. Bila ada gejala, keluhan khas yang dirasakan adalah
nyeri dan gatal di persendian, mual, kehilangan nafsu makan, nyeri perut,
dan jaundis.
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis
hepatitis B dibagi 2, yaitu:
a. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap
individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan
hilangnya virus hepatitis B dari tubuh kropes. Hepatitis B akut terdiri
atas 3 yaitu:
1) Hepatitis B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran
ikterus yang jelas. Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu:
a) Fase Praikterik (prodromal)
Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam
tinggi, anoreksia, mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan
warna air kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mulai

11
tampak kelainan hati (kadar bilirubin serum, SGOT dan SGPT,
Fosfatose alkali, meningkat).
b) Fase lkterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai
hepatomegali dan splenomegali. timbulnya ikterus makin hebat
dengan puncak pada minggu kedua. setelah timbul ikterus, gejala
menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal.
c) Fase Penyembuhan
Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim
aminotransferase. pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa
nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal.

2) Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan
sebagian besar mempunyai prognosa buruk dalam 7-10 hari, lima
puluh persen akan berakhir dengan kematian. Adakalanya penderita
belum menunjukkan gejala ikterus yang berat, tetapi pemeriksaan
SGOT memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik hati
menjadi lebih kecil, kesadaran cepat menurun hingga koma, mual
dan muntah yang hebat disertai gelisah, dapat terjadi gagal ginjal
akut dengan anuria dan uremia.
3) Hepatitis Subklinik
Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami
Hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak
menunjukkan perbaikan yang mantap.

b. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap


individu dengan sistem imunologi kurang sempurna sehingga
mekanisme, untuk menghilangkan VHB tidak efektif dan terjadi
koeksistensi dengan VHB. Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut
akan mengalami Hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6
bulan tidak menunjukkan perbaikan yang mantap.

12
2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemui dan
didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Menurut WHO (1994) untuk
mendeteksi virus hepatitis digolongkan dengan tiga (3) cara yaitu:
a. Cara Radioimmunoassay (RIA),
b. Enzim Linked Imunonusorbent Assay (Elisa),
c. imunofluorensi mempunyai sensitifitas yang tinggi.
Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan adalah
metode Elisa. Metode Elisa digunakan untuk mengetahui adanya
kerusakan pada hati melalui pemeriksaan enzimatik. Enzim adalah protein
dan senyawa organik yang dihasilkan oleh sel hidup umumnya terdapat
dalam sel. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara
pembentukan enzim dengan penghancurannya. Apabila terjadi kerusakan
sel dan peninggian permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar
ke ruangan ekstra sel, keadaan inilah yang membantu diagnosa dalam
mengetahui kadar enzim tersebut dalam darah. Penderita hepatitis B juga
mengalami peningkatan kadar bilirubin, kadar alkaline fosfat. Pemeriksaan
enzim yang sering dilakukan untuk mengetahui kelainan hati adalah
pemeriksaan SGPT dan SGOT (Serum Glutamic Pirivuc Transaminase dan
Serum Glutamic Oksalat Transaminase). Pemeriksaan SGPT lebih spesifik
untuk mengetahui kelainan hati karena jumlah SGPT dalam hati lebih
banyak daripada SGOT. Kejadian hepatitis akut ditandai dengan
peningkatan SGPT dan SGOT 10-20 kali dari normal, dengan SGPT lebih
tinggi dari SGOT. SGPT dan SGOT normal adalah < 42 U/L dan 41 U/L.
Pada hepatitis kronis kadar SGPT meningkat 5-10 kali dari normal.
Riwayat ikterus pada para kontak keluarga, kawan-kawan sekolah,
pusat perawatan bayi, teman-teman atau perjalanan ke daerah endemi
dapat memberikan petunjuk tentang diagnosis Hepatitis B. Hepatitis B
kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang disebabkan
oleh infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai dengan
HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA
dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati. Carrier HBsAg

13
inaktif diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi.
Sedangkan hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang
ditandai dengan peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas nilai
normal (BANN).
Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan
serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi
pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi
hepatitis B kronis adalah: HBsAg, HBeAg, anti Hbe, HBV DNA, Anti
Hbc, dan Anti-HBs.
a. HBsAg (Hepatitis B Surface Antigen)
Yaitu suatu protein yang merupakan selubung luar partikel VHB.
HBsAg yang positif menunjukkan bahwa pada saat itu yang
bersangkutan mengidap infeksi VHB. Titer HBsAg yang masih positif
lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi hepatitis kronis. Munculnya
antibodi terhadap HBsAg (anti HBs) menunjukkan imunitas dan atau
penyembuhan proses infeksi.
b. HBeAg
Semua protein non-struktural dari VHB (bukan merupakan bagian
dari VHB) yang disekresikan ke dalam darah dan merupakan produk
gen precore dan gen core. Positifnya HBeAg merupakan petunjuk
adanya aktivasi replikasi VHB yang tinggi dari seorang individu
HBsAg positif.
c. Anti HBe
Antibodi yang timbul terhadap HBeAg pada infeksi VHB.
Positifnya anti HBe menunjukkan bahwa VHB ada dalam fase non-
replikatif.
d. VHB DNA
Positifnya VHB DNA dalam serum menunjukkan adanya partikel
VHB yang utuh dalam tubuh penderita. VHB DNA adalah petanda
jumlah virus yang paling peka. Apabila penderita sudah terbukti
menderita VHB, maka setiap penderita sebaiknya melaporkan diri ke
puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk dilakukan penanganan

14
khusus, karena mereka dapat menularkan penyakitnya. Diberi
pengawasan terhadap penderita agar sembuh sempurna ketika dirawat
dirumah sakit.
e. Anti-HBs
Antibodi terhadap HBsAg. Antibodi ini baru muncul setelah
HBsAg menghilang. Anti HBsAg yang positif menunjukkan bahwa
individu yang bersangkut an telah kebal terhadap infeksi VHB baik
yang terjadi setelah suatu infeksi VHB alami atau setelah dilakuka n
imunisasi hepatitis B.
f. Anti Hbc
Antibodi terhadap protein core. Antibodi ini pertama kali muncul
pada semua kasus dengan infeksi VHB pada saat ini (current infection)
atau infeksi pada masa yang lalu (past infection). Anti HBc dapat
muncul dalam bentuk IgM anti HBc yang sering muncul pada hepatitis
B akut, karena itu positif IgM anti HBc pada kasus hepatitis akut dapat
memperkuat diagnosis hepatitis B akut. Namun karena IgM anti HBc
bisa kembali menjadi positif pada hepatitis kronik dengan reaktivasi,
IgM anti HBc tidak dapat dipakai untuk membedakan hepatitis akut
dengan hepatitis kronik secara mutlak.

Secara serologi infeksi hepatitis persisten dibagi menjadi hepatitis B


kronis dan keadaan carrier HBsAg inaktif. Yang membedakan keduanya
adalah titer HBV DNA, derajat nekroinflamasi dan adanya serokonversi
HBeAg. Sedangkan hepatitis kronis B sendiri dibedakan berdasarkan
HBeAg, yaitu hepatitis B kronis dengan HBeAg positif dan hepatitis B
kronis dengan HBeAg negatif.
Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA serum
sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus. Ada
beberapa persoalan berkaitan dengan pemeriksaan kadar HBV DNA.
Pertama, metode yang digunakan untuk mengukur kadar HBV DNA. Saat
ini ada beberapa jenis pemeriksaan HBV DNA, yaitu: branched DNA,
hybrid capture, liquid hybridization dan PCR. Dalam pe nelitian,

15
umumnya titer HBV DNA diukur menggunakan amplifikasi, seperti
misalnya PCR, karena dapat mengukur sampai 100-1000 copies/ml.
Kedua, beberapa pasien dengan hepatitis B kronis memiliki kadar HBV
DNA fluktuatif. Ke tiga, penentuan ambang batas kadar HBV DNA yang
mencerminkan tingkat progresifitas penyakit hati. Salah satu kepentingan
lain penentuan kadar HBV DNA adalah untuk membedakan antara carrier
hepatitis inaktif dengan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif : kadar
<105 copies/ ml lebih menunjukkan carrier hepatitis inaktif. Saat ini telah
disepakati bahwa kadar HBV DNA>105 copies/ml merupakan batas
penentuan untuk hepatitis B kronis.
Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan
keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT
menggambarkan adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu
pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi.
Pasien dengan kadar ALT yang meningkat menunjukkan proses
nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien
dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik
pada terapi antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal
dipertimbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan
histologi menunjukkan proses nekroinflamasi aktif.
Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat
kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan
menentukan manajemen anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang
representatif adalah 1-3 cm (ukuran panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran
diameter) baik menggunakan jarum Menghini. Salah satu metode penilaian
biopsi yang sering digunakan adalah dengan Histologic Activity Index
score.
Pada setiap pasien dengan infeksi HBV perlu dilakukan evaluasi
awal. Pada pasien dengan HBeAg positif dan HBV DNA > 105 copies/ml
dan kadar ALT normal yang belum mendapatkan terapi antiviral perlu
dilakukan pemeriksaan ALT berkala dan skrining terhadap risiko KHS,
jika perlu dilakukan biopsi hati. Sedangkan bagi pasien dengan keadaan

16
carrier HBsAg inaktif perlu dilakukan pemantauan kadar ALT dan HBV
DNA.

E. Transmisi Penyakit Hepatitis B


VHB menular melalui kontak dengan cairan tubuh. Manusia merupakan
satu-satunya host (pejamu) dari virus ini. Darah dan cairan tubuh yang lain
merupakan faktor penting untuk media penularan. Trasmisi atau perjalanan
alamiah VHB hingga terinfeksi pada manusia terjadi melalui 4 cara penularan
yaitu perinatal, horizontal, kontak seksual, dan parenteral (WHO, 2002).
Transmisi perinatal merupakan transmisi virus Hepatitis B dari ibu ke
bayi selama periode perinatal. Transmisi ini paling penting dalam prevalensi
daerah endemis tinggi khususnya di Cina dan Asia Tenggara (Yamada, 2003).
Transmisi horizontal yaitu transmisi dari orang ke orang, yang dikenal
terjadi pada daerah yang endemik tinggi yakni di Afrika Sub-Sahara.
Transmisi ini terjadi pada anak-anak yang berusia 4-6 tahun yang menyebar
melalui kontak fisik yang dekat atau dalam keluarga (Yamada, 2003).
Transmisi kontak seksual merupakan sumber penularan utama di dunia
khususnya pada daerah-daerah endemis rendah seperti Amerika. Perilaku
homoseksual dalam jangka 5 tahun akan beresiko tinggi untuk terinfeksi
Hepatitis.

F. Riwayat Alamiah Penyakit Hepatitis B


Pada manusia hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus
Hepatitis B (VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik dimembran sel
hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam
sitoplasma VHB melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid.
Selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti
asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada
DNA hospes dan berintegrasi; pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB
memerintahkan gel hati untuk membentuk protein bagi virus baru dan
kemudian terjadi pembentukan virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran
darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena

17
respon imunologik penderita terhadap infeksi. Apabila reaksi imunologik
tidak ada atau minimal maka terjadi keadaan karier sehat.
Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B dan Non A dan Non B
adalah sama yaitu adanya peradangan akut diseluruh bagian hati dengan
nekrosis sel hati disertai infiltrasi sel-sel hati dengan histiosit. Bila nekrosis
meluas (masif) terjadi hepatitis akut fulminan.
Bila penyakit menjadi kronik dengan peradangan dan fibrosis meluas
didaerah portal dan batas antara lobulus masih utuh, maka akan terjadi
hepatitis kronik persisten. Sedangkan bila daerah portal melebar, tidak teratur
dengan nekrosis diantara daerah portal yang berdekatan dan pembentukan
septa fibrosis yang meluas maka terjadi hepatitis kronik aktif.

G. Pengobatan Hepatitis B
Penderita yang diduga terkena penyakit Hepatitis B, untuk kepastian
diagnosa yang ditegakkan maka akan dilakukan pemeriksaan darah. Setelah
diagnosa ditegakkan sebagai Hepatitis B, maka ada cara pengobatan untuk
hepatitis B, yaitu pengobatan telan (oral) dan secara injeksi.

1. Pengobatan oral yang terkenal adalah:


a. Pemberian obat Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang
dikenal dengan nama 3TC. Obat ini digunakan bagi dewasa maupun
anak-anak, Pemakaian obat ini cenderung meningkatkan enzyme hati
(ALT) untuk itu penderita akan mendapat monitor bersinambungan dari
dokter.
b. Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral
akan lebih efektif, tetapi pemberian dengan dosis yang tinggi akan
berpengaruh buruk terhadap fungsi ginjal.
c. Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada
penderita Hepatitis B kronik, efek samping dari pemakaian obat ini
adalah sakit kepala, pusing, letih, mual dan terjadi peningkatan enzyme
hati. Tingkat keoptimalan dan kestabilan pemberian obat ini belum
dikatakan stabil.

18
2. Pengobatan dengan injeksi/ suntikan adalah:

Pemberian suntikan Microsphere yang mengandung partikel


radioaktif pemancar sinar ß yang akan menghancurkan sel kanker hati
tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya. Injeksi Alfa Interferon (dengan
nama cabang INTRON A, INFERGEN, ROFERON) diberikan secara
subcutan dengaan skala pemberian 3 kali dalam seminggu selama 12-16
minggu atau lebih.
Efek samping pemberian obat ini adalah depresi, terutama pada
penderita yang memilki riwayat depresi sebelumnya. Efek lainnya adalah
terasa sakit pada otot-otot, cepat letih dan sedikit menimbulkan demam
yang hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian paracetamol.

H. Perkembangan Penyakit Hepatitis B di Indonesia


Berdasarkan laporan Sistem Surveilance Terpadu (SST) sampai dengan
tahun 1997, terlihat adanya penurunan jumlah kasus hepatitis di Puskesmas
dan rumah sakit yaitu dari 48.963 kasus pada tahun 1992 menjadi 16.108
kasus pada tahun 1997. Sedangkan penderita rawat inap di rumah sakit pada
kurun waktu 5 tahun berfluktuasi. CFR penyakit hepatitis dari kasus rawat
inap di RS sejak tahun 1992 sampai dengan 1997 terlihat ada penurunan yaitu
dari 2,2 menjadi 1,64. Menurut data per propinsi tahun 1997 bahwa kasus
hepatitis paling banyak terjadi di Jawa Timur (3002 kasus), Sumatera Utara
(1564 kasus) dan Jawa Tengah (1454 kasus) dengan CFR masing-masing 2,8
%; 1,71 % dan 2,15 %.
Angka kejadian infeksi hepatitis B di Indonesia mencapai 3-33% pada
tahun 2006. Lalu terjadi penurunan angka kejadian infeksi hepatitis B dari
3,9% di tahun 2007 menjadi 0% di tahun 2008.
Pada tahun 2010, jumlah kasus terinfeksi HBV mencapai 15 juta orang
dan prevalensi hepatitis B dengan tingkat endemisitas tinggi yaitu sebanyak
1,5 juta orang berpotensi mengidap kanker hati.

19
I. Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Hepatitis B
1. Faktor Host (Penjamu)
Adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat
mempengaruhi timbul serta perjalanan penyakit hepatitis B. Faktor
penjamu meliputi:
a. Umur
Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering
pada bayi dan anak (25 -45,9 %) resiko untuk menjadi kronis, menurun
dengan bertambahnya umur dimana pada anak bayi 90 % akan menjadi
kronis, pada anak usia sekolah 23 -46 % dan pada orang dewasa 3-10%
(Markum, 1997). Hal ini berkaitan dengan terbentuk antibodi dalam
jumlah cukup untuk menjamin terhindar dari hepatitis kronis.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis
B dibanding pria.
c. Mekanisme pertahanan tubuh
Bayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih
sering terinfeksi hepatitis B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi
hepatitis B, terutama pada bayi yang belum mendapat imunisasi
hepatitis B. Hal ini karena sistem imun belum berkembang sempurna.
d. Kebiasaan hidup
Sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena
aktivitas seksual dan gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat
narkotika suntikan, pemakaian tatto, pemakaian akupuntur.
e. Pekerjaan
Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah
dokter, dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar
operasi, petugas laboratorium dimana mereka dalam pekerjaan sehari-
hari kontak dengan penderita dan material manusia (darah, tinja, air
kemih).

20
2. Faktor Agent
Penyebab Hepatitis B adalah virus hepatitis B termasuk DNA virus.
Virus Hepatitis B terdiri atas 3 jenis antigen yakni HBsAg, HBcAg, dan
HBeAg. Berdasarkan sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi
atas 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw, dan ayr yang menyebabkan perbedaan
geografi dalam penyebarannya. Subtype adw terjadi di Eropa, Amerika
dan Australia. Subtype ayw terjadi di Afrika Utara dan Selatan. Subtype
adw dan adr terjadi di Malaysia, Thailand, Indonesia. Sedangkan subtype
adr terjadi di Jepang dan China.

3. Faktor Lingkungan
Merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang
mempengaruhi perkembangan hepatitis B. Yang termasuk faktor
lingkungan adalah:
a. Lingkungan dengan sanitasi jelek
b. Daerah dengan angka prevalensi VHB nya tinggi
c. Daerah unit pembedahan: Ginekologi, gigi, mata.
d. Daerah unit laboratorium
e. Daerah unit bank darah
f. Daerah tempat pembersihan
g. Daerah dialisa dan transplantasi.
h. Daerah unit perawatan penyakit dalam

J. Cara Pencegahan Hepatitis B


Dalam upaya pencegahan infeksi Virus Hepatitis B, sesuai pendapat
Effendi dilakukan dengan menggabungkan antara pencegahan penularan dan
pencegahan penyakit.
1. Pencegahan Penularan Hepatitis B
Pencegahan dapat dilakukan dengan melalui tindakan Health
Promotion baik pada hospes maupun lingkungan dan perlindungan khusus
terhadap penularan.

21
a. Health Promotion terhadap host berupa pendidikan kesehatan,
peningkatan higiene perorangan, perbaikan gizi, perbaikan sistem
transfusi darah dan mengurangi kontak erat dengan bahan-bahan yang
berpotensi menularkan virus VHB.
b. Pencegahan virus hepatitis B melalui lingkungan, dilakukan melalui
upaya: meningkatkan perhatian terhadap kemungkinan penyebaran
infeksi VHB melalui tindakan melukai seperti tindik, akupuntur,
perbaikan sarana kehidupan di kota dan di desa serta pengawasan
kesehatan makanan yang meliputi tempat penjualan makanan dan juru
masak serta pelayan rumah makan.
c. Perlindungan Khusus Terhadap Penularan Dapat dilakukan melalui
sterilisasi benda-benda yang tercemar dengan pemanasan dan tindakan
khusus seperti penggunaan sarung tangan bagi petugas kesehatan,
petugas laboratorium yang langsung bersinggungan dengan darah,
serum, cairan tubuh dari penderita hepatitis, juga pada petugas
kebersihan, penggunaan pakaian khusus sewaktu kontak dengan darah
dan cairan tubuh, cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
penderita pada tempat khusus selain itu perlu dilakukan pemeriksaan
HBsAg petugas kesehatan (Onkologi dan Dialisa) untuk
menghindarkan kontak antara petugas kesehatan dengan penderita.
d. Bagi pasangan yang hendak menikah, tidak ada salahnya untuk
memeriksakan diri masing-masing agar tidak saling menularkan dan
juga untuk pencegahan penularan kepada anaknya kelak.

2. Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui immunisasi baik aktif
maupun pasif.
a. Immunisasi Aktif
Pada negara dengan prevalensi tinggi, immunisasi diberikan pada
bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif, sedang pada negara yang
prevalensi rendah immunisasi diberikan pada orang yang mempunyai

22
resiko besar tertular. Vaksin hepatitis diberikan secara intra muskular
sebanyak 3 kali dan memberikan perlindungan selama 2 tahun.
Program pemberian sebagai berikut:
Dewasa: Setiap kali diberikan 20 μg IM yang diberikan sebagai dosis
awal, kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya
setelah 6 bulan.
Anak: Diberikan dengan dosis 10 μg IM sebagai dosis awal,
kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6
bulan.

b. Immunisasi Pasif
Pemberian Hepatitis B Imunoglobulin (HBIG) merupakan
immunisasi pasif dimana daya lindung HBIG diperkirakan dapat
menetralkan virus yang infeksius dengan menggumpalkannya. HBIG
dapat memberikan perlindungan terhadap Post Expossure maupun Pre
Expossure. Pada bayi yang lahir dari ibu, yang HbsAs positif diberikan
HBIG 0,5 ml intra muscular segera setelah lahir (jangan lebih dari 24
jam). Pemberian ulangan pada bulan ke 3 dan ke 5. Pada orang yang
terkontaminasi dengan HBsAg positif diberikan HBIG 0,06 ml/Kg BB
diberikan dalam 24 jam post expossure dan diulang setelah 1 bulan.

23
K. Gambaran Epidemiologi Umum Hepatitis B
Penyebaran penyakit Hepatitis B sangat mengerikan. Menurut World
Health Organization (WHO) Tahun 1990 diperkirakan satu biliun individu
yang hidup telah terinfeksi Hepatitis B, sehingga lebih dari 200 juta orang di
seluruh dunia terinfeksi, dan 1-2 juta kematian setiap tahun dikaitkan dengan
VHB. Pada Tahun 2008 jumlah orang terinfeksi VHB sebanyak 2 miliar, dan
350 juta orang berlanjut menjadi pasien dengan infeksi Hepatitis B kronik
(Shulman, 1994).
Berdasarkan data WHO Tahun 2008, penyakit Hepatitis B menjadi
pembunuh nomor 10 di dunia dan endemis di China dan bagian lain di Asia
termasuk Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan penderita Hepatitis B
ketiga terbanyak di dunia setelah China dan India dengan jumlah penderita 13
juta orang.
Saat ini diperkirakan terdapat 400 juta orang pengidap VHB carrier di
dunia, dan tiga perempatnya dari mereka (78%) berada di Asia Tenggara
termasuk Indonesia. Diperkirakan 1-2 juta meninggal setiap tahun karena
kanker hati. Dari data yang dikutip dari Seamic workshop in heaptitis 1994
FY, Indonesia melaporkan data yang lebih tinggi dari tahun – tahun
sebelumnya, yaitu 2,5% - 36,17%. Sedangkan prevalensi VHB di negara
tetangga , Malaysia (5,3%), Brunei (6,1%), Thailand (8%-10%), Filipina
(3,4%-5,7%).

L. Gambaran Epidemiologi Hepatitis B di Indonesia


Di Indonesia menurut PPHI pada pekan peduli hepatitis B tahun 2001
terdapat lebih dari 11 juta pengidap hepatitis B. Menurut Szumess (1984)
terdapat suatu fenomena di mana makin tinggi prevalensi infeksi hepatitis B
di suatu tempat, maka infeksi pada bayi dan anak – anak makin banyak di
jumpai. Prevalensi hepatitis B pada wanita hamil di Indonesia HbsAG 3,6%
(2,1-5,2%) dan HbeAg sebesar 47,5% (18,2%-66%), angka penularan dari ibu
hamil pengidap hepatitis B kepada bayinya sebesar 45,9%.
Di Jakarta diperkirakan satu dari 20 penduduk menderita penyakit
Hepatitis B. Sebagian besar penduduk kawasan ini terinfeksi VHB sejak usia

24
kanak-kanak. Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2008 jumlah kasus Hepatitis B di Sumatera Utara adalah sebanyak 48
kasus sedangkan pada Tahun 2009 jumlah kasus Hepatitis B di Sumatera
Utara adalah sebanyak 64 kasus. Ini berarti menunjukkan adanya kenaikan
kejadian Hepatitis B.

M. Tujuan Program Imunisasi Hepatitis B


Tujuan program imunisasi Hepatitis B di Indonesia dibagi menjadi
tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan umum
Adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang
disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B.

2. Tujuan khusus
a. Pemberian dosis pertama dari vaksin hepB kepada bayi sedini mungkin
sebelum berumur 7 hari.
b. Memberikan imunisasi Hepatitis B sampai 3 dosis pada bayi
(Dalimartha, 2004).

N. Strategi Program Imunisasi


Di daerah dengan endemistas VHB tinggi dan sedang, strategi yang
dianjurkan adalah melakukan imunisasi universal untuk semua bayi baru lahir
dengan cara mengintegrasikan imunisasi Hepatitis B ke dalam EPI sedang
untuk daerah dengan endemisitas rendah dianjurkan melakukan imunisasi
pada kelompok individu resiko tinggi. Namun, banyak yang meragukan
apakah strategi imunisasi kelompok resiko tinggi akan berhasil untuk
menurunkan prevalensi infeksi VHB di negara-negara dengan endemisitas
rendah. Sebagai contoh, di Amerika Serikat ternyata tindakan ini juga tidak
berhasil menurunkan prevalensi infeksi VHB dalam populasi dan bahkan ada
kecenderungan peningkatan prevalensi infeksi VHB di Amerika Serikat.
Imunisasi universal pada neonatus merupakan strategi yang paling tepat untuk

25
menurunkan prevalensi infeksi VHB untuk semua daerah baik dengan tingkat
endemisitas tinggi, sedang, maupun rendah.

Tahap-Tahap Pengelolaan Program Imunisasi Hepatitis B


a. Persiapan
1) Petugas kesehatan
Persiapan petugas dalam rangka pelaksanaan program imunisasi HB
adalah:
a) Pelatihan semua vaksinator di puskesmas dan semua bidan di
desa.
b) Pelatihan semua Balai Pengobatan, Rumah Sakit pemerintah dan
swasta serta Puskesmas.
c) Sosialisasi kepada seluruh petugas puskesmas.
2) Lintas sektoral dan masyarakat
Persiapan lintas sektor dan masyarakat adalah sebagai berikut:
a) Sosialisasi pentingnya imunisasi Hb kepada camat, PKK, tokoh
masyarakat, tokoh agama, kader, aparat desa, RT, RW dan tokoh
potensial lainnya pada momen dan setiap kesempatan.
b) Penyuluhan langsung tentang imunisasi Hb kepada semua ibu
hamil pada waktu memeriksakan kehamilan (K1 s/d K4).
c) Penyuluhan lewat media yang ada (pengumuman di masjid,
arisan, pengajian dll), pemasangan spanduk dan poster di
puskesmas, posyandu.

b. Perencanaan
Perencanaan merupakan salah satu unsur yang penting dalam
pengelolaan program imunisasi. Pada dasarnya perencanaan program
imunisasi meliputi:
1) Menentukan target cakupan
Menentukan target cakupan adalah menetapkan berapa besar
cakupan imunisasi yang akan dicapai pada tahun yang direncanakan

26
untuk mengetahui kebutuhan vaksin yang sebenarnya. Contoh target
cakupan yang akan dicapai: HB 0 ≤ 7 hari = 80 %.
2) Menghitung Jumlah sasaran
Pada program imunisasi menentukan jumlah sasaran
merupakan suatu unsur yang paling penting. Menghitung jumlah
sasaran bayi berdasarkan besarnya angka persentasi kelahiran bayi
dari jumlah penduduk masing-masing wilayah atau dapat
berdasarkan besarnya jumlah sasaran bayi tahun lalu yang
diproyeksikan untuk tahun ini. Untuk tingkat desa dapat berdasarkan
pendataan sasaran per desa atau dengan rumus:
Jumlah bayi desa tahun lalu
Desa = × Jumlah bayi kecamatan
Jumlah bayi kecamatan tahun lalu
tahun ini
3) Lokasi Pelayanan
Lokasi pelayanan imunisasi Hb dilakukan di semua komponen
pelayanan kesehatan baik swasta maupun pemerintah. Pelayanan
bisa melalui kunjungan rumah/ KN 1 oleh bidan di desa.
4) Menghitung kebutuhan logistik
Setelah menghitung jumlah sasaran imunisasi, menentukan
target cakupan maka data-data tersebut digunakan untuk menghitung
kebutuhan vaksin. Puskesmas mengirimkan rencana kebutuhan
vaksin ke kabupaten, kompilasi dilakukan kabupaten/kota,
selanjutnya kebutuhan vaksin tersebut dikirim ke propinsi kemudian
dilanjutkan ke pusat untuk proses pengadaannya. Menghitung
kebutuhan vaksin Hepatitis B (PID):
Buah = (Sasaran x target HB-0 80%)
Bidan merencanakan kebutuhan vaksin HB PID berdasarkan
data perkiraan persalinan 1 bulan, petugas imunisasi puskesmas
menyediakan vaksin.
5) Kebutuhan Format Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan tentang adanya kelahiran bayi yang dilakukan oleh
bidan desa sebagai dasar menjadi sasaran yang akan diberi
imunisasi. Pencatatan dan pelaporan mempergunakan alur dan

27
format laporan yang dipakai pada program KIA rutin. Pencatatan
menggunakan kohort bayi, buku KIA, buku harian imunisasi di desa.
Pelaporan hasil imunisasi harus lengkap dan tepat waktu.
Pelaporan menggunakan formulir desa, formulir rekapitulasi
puskesmas untuk program imunisasi. Laporan dilaksanakan setiap
bulan kepada koordinator imunisasi Puskesmas.

c. Pelaksanaan
Program imunisasi dituntut untuk melaksanakan ketentuan
program secara efektif dan efisien. Untuk itu pengelola program
imunisasi harus dapat menjalankan fungsi koordinasi dengan baik
meliputi koordinasi horizontal terdiri dari kerjasama lintas program dan
kerjasama lintas sektoral. Untuk koordinasi pelaksanaan imunisasi HB-
0 melalui kerjasama dengan bidan di desa pada pertolongan persalinan,
kunjungan neonatal. Kerjasama pemberian imunisasi HB-0 juga
dilakukan dengan penolong persalinan di rumah bersalin/ rumah sakit.

d. Monitoring dan Evaluasi


Fungsi monitoring/pemantauan adalah untuk meningkatkan
kinerja program, sehingga sejalan dengan ketentuan program. Ada 2
alat pemantau yang dimiliki program imunisasi yaitu:
1) Pematauan Wilayah Setempat (PWS)
Alat pemantau ini berfungsi untuk meningkatkan cakupan. Jadi
sifatnya lebih memantau kuantitas program.
2) Pembinaan
Tingginya cakupan saja tidak cukup untuk mencapai tujuan
akhir program imunisasi. Cakupan yang tinggi harus diikuti dengan
mutu program yang tinggi pula. Untuk meningkatkan mutu program
pembinaan dari atas (supervisi) sangat diperlukan. Pimpinan
puskesmas juga dapat mengadakan supervisi intern/ pembinaan
internal kepada bidan di desa dengan menggunakan hasil analisa
supervisi.

28
Supervisi merupakan salah satu bagian dari fungsi
penggerakan pelaksanaan dari suatu manajemen. Dengan supervisi
yang baik diharapkan dapat dilakukan pembinaan dan pemantauan
terhadap pelaksanaan program secara teratur. Dengan supervisi
diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan program sesuai
target dan sasaran yang telah ditetapkan. Supervisi diharapkan akan
menimbulkan motivasi untuk meningkatkan kinerja petugas
lapangan. Hal tersebut dapat dicapai dengan membina hubungan
kerja yang baik, melalui prinsip ”kemitraan dan cara fasilitasi”
bukan prinsip atasan bawahan, serta memberikan penghargaan
kepada prestasi kerja mereka.

Evaluasi bertujuan untuk mengetahui hasil ataupun proses


kegiatan bila dibandingkan dengan target atau yang diharapkan.
Berdasarkan sumber data, ada dua macam evaluasi: evaluasi dengan
data primer melalui survey cakupan, survey dampak. Evaluasi dengan
data sekunder meliputi stok vaksin, cakupan pertahun.

e. Indikator Penilaian
Indikator Penilaian program imunisasi Hb adalah sebagai berikut:
1) % Cakupan imunisasi Hepatitis B.
2) Jumlah kemasan yang dipakai.
3) Semua sasaran yang diimunisasi tercatat dalam kohort bayi.
4) Semua sasaran yang diimunisasi terlaporkan sesuai catatan.

Sasaran Pemberian Imunisasi Hepatitis B


Menurut Ranuh (2005), sasaran pemberian vaksin Hepatitis B adalah
semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu, individu yang
karena pekerjaannya beresiko tertular VHB, karyawan di lembaga
perawatan cacat mental, pasien hemodialisis, pasien koagulopati yang
membutuhkan transfusi berulang, individu yang serumah pengidap VHB

29
atau kontak akibat hubungan seksual, Drug users, Homosexual, dan
heterosexuals.

Vaksin Pilihan untuk Memproteksi Infeksi Virus Hepatitis B


Dalam pelaksanaan pemberian imunisasi hapatitis B, pemilihan
vaksin Hepatitis B saat ini memiliki 2 pilihan yaitu vaksin Hepatitis B dan
DPT/HB Kombo. Vaksin VHB merupakan vaksin virus recombinan yang
telah diinaktivasikan dan bersifat non-infectious, yang berasal dari HbsAg
yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansanule polymorpha) menggunakan
teknologi DNA rekombinan. Vaksin ini berindikasi untuk pemberian
kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
(Depkes, 2005).
Vaksin DPT/HB Kombo merupakan vaksin DPT dan Hepatitis B
yang dikombinasikan dalam suatu preparat tunggal dan merupakan sub
unit virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non infectious.
Sehingga dengan adanya vaksin ini pemberian imunisasi menjadi lebih
sederhana, dan menghasilkan tingkat cakupan yang setara antara HB dan
DPT (Depkes, 2004).

Jadwal Imunisasi Hepatitis B


Pada dasarnya jadwal imunisasi Hepatitis B sangat fleksibel
sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam
program imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu
diingat :
a. Minimal diberikan sebanyak 3 kali.
b. Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir.
c. Jadwal imunisasi dianjurkan adalah 0, 1, 6 bulan karena respons
antibodi paling optimal (Hadinegoro, 2008).

Jadwal imunisasi Hepatitis B yaitu :


a. Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam)
setelah lahir.

30
b. Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi
hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun
optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan,
terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan
(Hadinegoro, 2008).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. berikut:


Tabel 1. Jadwal Imunisasi Hepatitis B
Umur Bayi Imunisasi Kemasan
Saat lahir Hep B-0 Uniject (hepB-
monovalen)
2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-
1
3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-
2
4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-
3
Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008

Pemberian imunisasi Hepatitis B berdasarkan status HBsAg ibu pada


saat melahirkan adalah :
a. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg-nya
mendapatkan 5 mcg (0,5 mL) vaksin rekombinan atau 10 mcg (0,5 mL)
vaksin asal plasma dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua
diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan.
Kalau kemudian diketahui ibu mengidap HBsAg positif maka segera
berikan 0,5 mL HBIg (sebelum anak berusia satu minggu).
b. Bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif mendapatkan 0,5 mL HBIg
dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5 mL) vaksin
rekombinan. Bila digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan 10
mcg (0,5 mL) intramuskular dan disuntikkan pada sisi yang berlainan.

31
Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur
6 bulan.
c. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif diberi dosis minimal 2,5
mcg (0,25 mL) vaksin rekombinan, sedangkan kalau digunakan vaksin
berasal dari plasma, diberikan dosis 10 mcg (0,5 mL) intramuskular
pada saat lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua diberikan pada umur
1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-18 bulan.
d. Ulangan imunisasi Hepatitis B diberikan pada umur 10-12 tahun
(Wahab, 2002).

Kontraindikasi dan Efek Samping


Vaksin hepB diberikan kepada semua orang termasuk wanita hamil,
bayi baru lahir, pasien dengan immunocompromised, yaitu pasien dengan
kelainan sistem imunitas seperti penderita AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) (Dalimartha, 2004).
Efek samping yang mungkin timbul dapat berupa reaksi lokal ringan
seperti rasa sakit pada bekas suntikan dan reaksi peradangan. Reaksi
sistemik kadang timbul berupa panas ringan, lesu, dan rasa tidak enak pada
saluran cerna. Gejala di atas akan hilang spontan dalam beberapa hari
(Dalimartha, 2004).

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Imunisasi


Hepatitis B
a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan. Tradisi kepercayaan masyarakat terhadap hal – hal yang
berkaitan dengan kesehatan:
1) Pengetahuan
Menurut Rahman (2003), pengetahuan adalah hasil dari
aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam
jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya.

32
Notoatmodjo (2003) berpendapaat bahwa, Pengetahuan adalah
merupakan hasil “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan
ini terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
2) Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan
kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial
(Notoatmodjo, 2007).
Newcomb dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa
sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan
bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Sikap mempunyai berbagai tingkatan yakni:
a) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan objek). Misalnya sikap
orang terhadaap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian
orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
b) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, menger akan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari
sikap. Apabila ada suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau
menger akan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu
benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide
tersebut.

33
c) Menghargai (valuting)
Mengajak orang lain untuk merger akan atau mendiskusikan
suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya
seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya,
saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya
ke posyandu, atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti
bahwa si ibu tersebut mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
d) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling
tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan
tidak langsung. Secara langsung, dapat ditanyakan bagaimana
pendapat atau pemyataan responden terhadap suatu obyek. Secara
tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan
hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden.
Sebagaimana, dikemukakan Notoatmodjo (2003) yang
mengutip pendapat Walgito, menyatakan ciri-ciri sikap yaitu :
a) Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau
dipelajari sepanjang perkembangan seseorang dalam hubungan
dengan obyeknya.
b) Sikap dapat berubah-ubah karena sikap itu dapat dipelajari dan
karena itu pula sikap dapat berubah-ubah pada orang-orang bila
terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang
mempermudah sikap pada seseorang tersebut.
3) Kepercayaan atau Keyakinan
Fishbein dan Azien (1975), menyebutkan pengertian
kepercayaan atau keyakinan dengan kata "belief', yang memiliki
pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek
kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk
menentukan persepsi terhadap sesuatu objek.
Keyakinan atau kepercayaan merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, keahlian dan

34
kekuatan yang menciptakan kehidupan. Aspek keyakinan atau
kepercayaan dalam kehidupan manusia mengarahkan budaya hidup.
perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber daya
di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan pola hidup yang
disebut kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan mempunyai
pengaruh yang dalam terhadap perilaku.
Keyakinan dan praktek spiritual individu dihubungkan dengan
semua aspek kehidupan individu termasuk kesehatan dan penyakit
(Potter & Perry dalam Kadir, 2004). Ketika tubuh sakit dan emosi
berada di luar kontrol, spiritualitas dan keyakinan seseorang
mungkin menjadi satumsatunya dukungan yang tersedia.
Hopson (2002) menyebutkan bahwa "seseorang yang memiliki
kepercayaan pada diri merupakan tahap awal dari pengidentifikasian
pola pikir pada pembentukan persepsi, yang sesuai digunakan untuk
beberapa kejadian dalam kehidupan". "Bagaimanapun juga,
kepercayaan pada diri tidak selalu menjadi karakteristik dari suasana
hati seseorang setelah mengalami kejadian positif seperti melakukan
suatu terapi langsung bisa saja sembuh secara spontan". "Dengan
kejadian yang sifatnya negatif tahap pengurangan mungkin tidak
tampak nyata dan individu dapat berpindah dari tahap kesedihan ke
tahap tanpa menyadari adanya perubahan".
Faktor-faktor sosial menurut Gibson (1996) berupa."Pola-Pola
perilaku dari suatu kelompok suku, komunitas, dan suatu komunitas
yang lebih besar. Pola-pola perilaku ini meliputi: peraturan-
peraturan, kepercayaan religi, dan standar-standar moral dan etika".
Maslow yang dikutip dalam (Artkinson, 2004) bahwa "hasrat
sosial dan status sosial menuntut interaksi dengan orang-orang lain
agar dipuaskan, dan hasrat-hasrat ini segaris dengan kebutuhan sosial
Maslow dan komponen ekstemal dari klasifikasi penghargaan yang
diberikan lingkungan kepadanya".

35
b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)
Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah
fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang
memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.
1) Pelayanan Kesehatan
Menurut Depkes RI (2009) adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu
organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Sesuai dengan
batasan seperti di atas, mudah dipahami bahwa bentuk dan jenis
pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya. Karena
kesemuanya ini ditentukan oleh:
a) Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri
atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi.
b) Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan
penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya.
Menurut Devi (2011) Kondisi pelayanan kesehatan juga
menunjang derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang
berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan
posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya
untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan
kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang
banyak dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia di bidang kesehatan juga mesti ditingkatkan.
2) Ketersediaan Fasilitas dan Sarana
Menurut Endang (1999) terdapat hubungan yang bermakna
antara penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana dengan pemberian
imunisasi. Hal ini sejalan dengan Anderson dalam ridwan (1994)
yang menyatakan bahwa makin banyak sarana kesehatan dan tenaga
kesehatan disuatu daerah makin kecil jarak – jarak jangkauan

36
masyarakat terhadap suatu pelayanan kesehatan makin sedikit pula
ongkos dan waktu yang diperlukan sehingga pemanfaatan pelayanan
kesehatan dapat meningkat.
3) Transportasi
Secara umum definisi transportasi adalah pemindahan manusia
atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan
sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia atau mesin (Nasution,
2004).
Transportasi dapat dikatakan sebagai sebuah kebutuhan
turunan karena transportasi timbul disebabkan adanya maksud atau
tujuan yang ingin dicapai melalui transportasi. Misalnya pengiriman
barang, berpergian, bekerja dan lain-lain. Konsep transportasi
didasarkan pada adanya perjalanan antara asal dan tujuan. Perjalanan
dilakukan melalui suatu lintasan tertentu yang menghubungkan asal
dan tujuan, menggunakan alat angkut atau kedaraan dengan
kecepatan tertentu.
4) Jarak
Jarak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keinginan responden untuk pergi ke pelayanan kesehatan. Semakin
jauh pelayanan kesehatan semakin enggan responden pergi ke
pelayanan kesehatan (Purwanto,2002)
Menurut Azwar, Azrul (1999) salah satu faktor yang
menentukan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat adalah ciri
manusia atau karakteristik. Yang termasuk dalam unsur karakteristik
manusia antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, status
perkawinan, status sosial ekonomi, ras/ etnik, dan agama. Sedangkan
dari segi tempat disebutkan penyebaran masalah kesehatan
dipengaruhi oleh keadaan geografis, keadaan penduduk dan keadaan
pelayanan kesehatan.Selanjutnya penyebaran masalah kesehatan
menurut waktu dipenaguruhi oleh kecepatan perjalanan penyakit dan
lama terjangkitnya suatu penyakit. Begitu juga halnya dalam
masalah status imunisasi dasar bayi juga dipengaruhi oleh

37
karakteristik ibu dan faktor tempat, dalam hal ini adalah jarak rumah
dengan puskesmas/ tempat pelayanan kesehatan.
5) Biaya
Menurut Supriyono (2000), biaya adalah pengorbanan
ekonomis yang dibuat untuk memperoleh barang atau jasa
Menurut Noor,N.N (2000) menyebutkan berbagai variabel
sangat erat hubungannya dengan status sosio ekonomi sehingga
merupakan karakteristik. Status sosial ekonomi erat hubungannya
dengan pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga yang memadai
akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat
menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang
sekunder (Ali, 2002).

c. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)


Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku para petugas
termasuk petugas kesehatan dan perilaku tokoh masyarakat (toma) yang
berkaitan dengan kesehatan.
1) Peran Petugas Kesehatan
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh
orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu
sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam
maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran juga sebagai bentuk dari
perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu
(Mubarak W., 2009).
2) Dukungan Tokoh Mayarakat
Pembuatan peraturan tentang berperilaku sehat juga harus
dibarengi dengan pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran pada
masyarakat. Sebab, apabila upaya dengan menjatuhkan sanksi hanya
bersifat jangka pendek. Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai
role model harus diajak turut serta dalam menyukseskan program-

38
program kesehatan. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang
imunisasi menjadikan ibu kurang mengetahui gejala penyakiti ini.

O. Ukuran Epidemiologi Hepatitis B


Ukuran atau angka morbiditas termasuk ukuran epidemiologi. Ukuran
morbiditas Hepatitis B adalah jumlah penderita Hepatitis B yang dicatat
selama 1 tahun per 1000 jumlah penduduk pertengahan tahun. Angka ini
dapat digunakan untuk menggambarakan keadaan kesehatan secara umum,
mengetahui keberhasilan program program pemberantasan penyakit Hepatitis
B, dan sanitasi lingkungan serta memperoleh gambaran pengetahuan
penduduk terhadap pelayanan kesehatan. Secara umum ukuran yang banyak
digunakan dalam menentukan morbiditas Hepatitis B adalah rate, rasio dan
proporsi.
1. Rate
Rate atau angka merupakan proporsi dalam bentuk khusus
perbandingan antara pembilang dengan penyebut atau kejadian dalam
suatu populasi teterntu dengan jumlah penduduk dalam populasi tersebut
dalam batas waktu tertentu. Rate terdiri dari berbagai jenis ukuran
diataranya adalah:
a. Insidence Rate
Adalah jumlah kelompok individu yang terdapat dalam penduduk
suatu wilayah yang semula tidak sakit dan menjadi sakit dalam kurun
waktu tertentu dan pembilang pada proporsi tersebut adalah kasus baru.
Tujuan dari Insidence Rate adalah sebagai berikut:
1) Mengukur angka kejadian penyakit
2) Untuk mencari atau mengukur faktor kausalitas
3) Perbandinagan antara berbagai populasi dengan pemaparan yang
berbeda
4) Untuk mengukur besarnya risiko yang ditimbulkan oleh determinan
tertentu

39
d
Rumus: xk
n

Dimana:
P= Estimasi incidence rate
d= Jumlah incidence (kasus baru)
n= Jumlah individu yang semula tidak sakit (population at risk)

Hasil estimasi dari insiden dapat digunakan sebagai bahan untuk


perencanaan penanggulangan masalah kesehatan dengan melihat, potret
masalah kesehatan, angka dari beberapa periode dapat digunakan untuk
melihat trend dan fluktuasi, untuk pemantauan dan evaluasi upaya
pencegahan maupun penanggulangan serta sebagai dasar untuk
membuat perbandingan angka insidens antar wilayah dan antar waktu.

b. PR (Prevalence)
Manfaat ukuran prevalensi, yaitu:
1) Menggambarkan tingkat keberhasilan program pemberantasan
penyakit.
2) Untuk penyusunan perencanaan pelayanan kesehatan. Misalnya,
penyediaan obat-obatan, tenaga kesehatan, dan ruangan.
3) Menyatakan banyaknya kasus yang dapat di diagnosa.
4) Digunakan untuk keperluan administratif lainnya.

Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan


lamanya sakit. Lamanya sakit adalah suatu periode mulai dari
didiagnosanya suatu penyakit hingga berakhirnya penyakit teresebut
yaitu sembuh, kronis, atau mati.

c. PePR (Periode Prevalence Rate)


PePR yaitu perbandingan antara jumlah semua kasus yang dicatat
dengan jumlah penduduk selama 1 periode.

40
Rumus:
P
PePR = xk
R

P = jumlah semua kasus yang dicatat


R = jumlah penduduk
k = pada saat tertentu

d. PoPR (Point Prevalence Rate)


Point Prevalensi Rate adalah nilai prevalensi pada saat
pengamatan yaitu perbandingan antara jumlah semua kasus yang dicatat
dengan jumlah penduduk pada saat tetentu.

Rumus:
Po
PoPR = xk
R

Po = perbandingan antara jumlah semua kasus yang dicatat


R = jumlah penduduk
k = selama 1 perode
 Point prevalensi meningkat pada :
1. Imigrasi penderita
2. Emigrasi orang sehat
3. Imigrasi tersangka penderita atau mereka dengan risiko tinggi
untuk menderita
4. Meningkatnya masa sakit
5. Meningkatnya jumlah penderita baru
 Point prevalensi menurun pada :
1. Imigrasi orang sehat
2. Emigrasi penderita
3. Meningkatnya angka kesembuhan
4. Meningkatnya angka kematian
5. Menurunnya jumlah penderita baru

41
6. Masa sakit jadi pendek
e. AR (Attack Rate)
Attack rate adalah andala angka insiden yang terjadi dalam waktu
yang singkat (Liliefeld 1980) atau dengan kata lain jumlah mereka yang
rentan dan terserang penyakit tertentu pada periode tertentu. Attack rate
penting pada epidemi progresif yang terjadi pada unit epidemi yaitu
kelompok penduduk yang terdapat pada ruang lingkup terbatas, seperti
asrama, barak, atau keluarga.

2. Rasio
Rasio adalah nilai relatif yang dihasilkan dari perbandingan dua nilai
kuantittif yang pembilangnya tidak merupakan bagian dari penyebut.
Contoh:
Kejadian Luar Biasa (KLB) Hepatitis B sebanyak 30 orang di suatu
daerah. 10 diantaranya adalah jenis kelamn pria. Maka rasio pria terhadap
wanita adalah R=10/20=1/2

3. Proporsi
Proporsi adalah perbandingan dua nilai kuantitatif yang
pembilangnya merupakan bagian dari penyebut. Penyebaran proporsi
adalah suatu penyebaran persentasi yang meliputi proporsi dari jumlah
peristiwa-peristiwa dalam kelompok data yang mengenai masing-masing
kategori atau sub kelompok dari kelompok itu. Pada contoh di atas,
proporsi pria terhadap perempuan adalah P= 10/30=1/3.

42
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak
ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan
(Depkes, 2005).
Menurut Wening S, dkk (2008), Hepatitis B merupakan tipe
hepatitis yang berbahaya. Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan
hepatitis jenis lainnya. Hepatitis B menular kontak darah atau cairan tubuh
yang mengandung virus hepatitis B (VHB).
Menurut National Institutes of Health (2006) etiologi Hepatitis B adalah
virus dan disebut dengan Hepatitis B Virus (VHB). Virus ini pertama kali
ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal dengan nama
antigen Australia. Virus ini termasuk DNA virus.
Masa inkubasi VHB ini biasanya 45-180 hari dengan batasan 60-90
hari, dimana setelah 2 minggu infeksi virus Hepatitis B terjangkit, HBsAg
dalam darah penderita sudah mulai dapat dideteksi.
Dalam kepustakaan disebutkan sumber penularan virus Hepatitis B
berupa: Darah; Saliva; Kontak dengan mukosa penderita virus hepatitis B;
Feces dan urine; Lain-lain: Sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat
kedokteran yang terkontaminasi virus hepatitis B. Selain itu dicurigai
penularan melalui nyamuk atau serangga penghisap darah. Penularan infeksi
virus hepatitis B itu sendiri melalui parenteral dan non parenteral.
Hepatitis B pada umumnya tidak menimbulkan gejala. Oleh sebab itu,
banyak kasus Hepatitis B yang tidak terdiagnosis sehingga tidak dapat
dilakukan pengobatan secara dini.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemui dan
didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Menurut WHO (1994) untuk
mendeteksi virus hepatitis digolongkan dengan tiga (3) cara yaitu : Cara

43
Radioimmunoassay (RIA), Enzim Linked Imunonusorbent Assay (Elisa),
imunofluorensi mempunyai sensitifitas yang tinggi.
VHB menular melalui kontak dengan cairan tubuh. Manusia merupakan
satu-satunya host (pejamu) dari virus ini. Darah dan cairan tubuh yang lain
merupakan faktor penting untuk media penularan. Trasmisi atau perjalanan
alamiah VHB hingga terinfeksi pada manusia terjadi melalui 4 cara penularan
yaitu perinatal, horizontal, kontak seksual, dan parenteral (WHO, 2002).
Penderita yang diduga terkena penyakit Hepatitis B, untuk kepastian
diagnosa yang ditegakkan maka akan dilakukan pemeriksaan darah. Setelah
diagnosa ditegakkan sebagai Hepatitis B, maka ada cara pengobatan untuk
hepatitis B, yaitu dengan pengobatan telan (oral) dan secara injeksi.
Pada tahun 2010, jumlah kasus terinfeksi HBV mencapai 15 juta orang
dan prevalensi hepatitis B dengan tingkat endemisitas tinggi yaitu sebanyak
1,5 juta orang berpotensi mengidap kanker hati.
Dalam upaya pencegahan infeksi Virus Hepatitis B, sesuai pendapat
Effendi dilakukan dengan menggabungkan antara pencegahan penularan dan
pencegahan penyakit.
Pencegahan penularan dapat dilakukan dengan melalui tindakan Health
Promotion baik pada hospes maupun lingkungan dan perlindungan khusus
terhadap penularan. Pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui
immunisasi baik aktif maupun pasif.
Penyebaran penyakit Hepatitis B sangat mengerikan. Pada Tahun 2008
jumlah orang terinfeksi VHB sebanyak 2 miliar, dan 350 juta orang berlanjut
menjadi pasien dengan infeksi Hepatitis B kronik. Di Indonesia menurut
PPHI pada pekan peduli hepatitis B tahun 2001 terdapat lebih dari 11 juta
pengidap hepatitis B.
Pedoman nasional di Indonesia merekomendasikan agar seluruh bayi
diberikan imunisasi Hepatitis B dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan
pada bulan berikutnya. Program Imunisasi Hepatitis B 0-7 hari dimulai sejak
tahun 2005 dengan memberikan vaksin hepB-O monovalen (dalam kemasan
uniject) saat lahir, pada tahun 2006 dilanjutkan dengan vaksin kombinasi
DTwP/hepB pada umur 2-3-4 bulan (Hadinegoro, 2008).

44
B. SARAN
Untuk mengurangi resiko penyakit hepatitis B maka diperlukan
beberapa tindakan, antara lain:
1. Peningkatan higiene perorangan.
2. Perbaikan gizi.
3. Perbaikan sistem transfusi darah.
4. Peningkatkan perhatian terhadap kemungkinan penyebaran infeksi VHB
melalui tindakan melukai seperti tindik, akupuntur, perbaikan sarana
kehidupan di kota dan di desa serta pengawasan kesehatan makanan yang
meliputi tempat penjualan makanan dan juru masak serta pelayan rumah
makan.
5. Sterilisasi benda-benda yang tercemar dengan pemanasan dan tindakan
khusus seperti penggunaan sarung tangan bagi petugas kesehatan, petugas
laboratorium yang langsung bersinggungan dengan darah, serum, cairan
tubuh dari penderita hepatitis.

45
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, 2006. Imunisasi Mengapa Perlu? Cetakan I, Penerbit Karya, Jakarta.


Aguslina, Fazidah. Hepatitis B Ditinjau Dari Kesehatan Masyarakat Dan Upaya
Pencegahan. Fakultaas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3706/1/fkm-fazidah.pdf,
diakses tanggal 1 Mei 2013)
Anwar, C. 2001. Pelaksanaan Imunisasi Hepatitis B dengan Menggunakan Alat
Suntik Uniject dan Alat Suntik Sekali Pakai (Disposable) di Kabupaten
Bantul. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. http://www.gdl-res.badan
litbang kesehatan.com.
Benenson Abraham S, 1990, Control of Communicable disease in Man, Fifteenth
edition, Washington DC.
British Medical Assosiation., 1995, Imunisasi Hepatitis B. Penterjemah Irrene W,
Edisi Kedua, Penerbit Hypocrates, Jakarta.
Dalimartha, S. 2004. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis Cetakan
VII. Penebar Swadaya. Jakarta.
Depkes RI, 1998, Profil Kesehatan Indonesia, Depkes RI, Jakarta Harrison,
Principle of Internal Medicine Edisi 9. Gangguan Hepatobilier dan
Pankreas. Penterjemah Adhi Dharma. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta
Utara.
Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Depkes R.I., 2002. Pedoman
Penggunaan Uniject Hepatitis B.Jakarta.
Gunawan. 2009. Pengaruh karakteristik ibu dan Lingkungan Sosial Budaya
Terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 hari di Kabupaten
Langkat. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Lubis L., 1994, VHB dan Pencegahannya di Indonesia. Medika, Jakarta.
Maria H, 1997, Hepatitis B Makin Meningkat, Majalah Kesehatan Masyarakat
Indonesia; tahun XXV, nomor 7.
Markum, 1997, Imunisasi. FKUI, Jakarta.
Misnadiarly, 2007. Mengenal, Menanggulangi, Mencegah Dan Mengobati
Penyakit Hati (Liver). Pustaka Obor Populer, Jakarta.

46
Misnadiarly., 2007, Penyakit Hati (liver), Edisi 1,Pustaka Obor Populer, Jakarta.
Notoadmojo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta
Rasmilah. Aguslina, Hepatitis B. Fakultaas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatra Utara (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3728/1/fkm-
rasmaliah4.pdf, diakses tanggal 1 Mei 2013)
Soemoharjo S., 2008, Hepatitis Virus B. Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Soeparman, 1987, Ilmu Penyakit Dalam .Edisi 2, Balai Penerbit UI.
Soesanto, W., 2002, Karakteristik Penderita Hepatitis B Rawat Inap di Rumah
Sakit Umum Pusat dr. M. Djamil Padang Tahun 2001. Skripsi Mahasiswa
FKM USU.
Sulaiman Ali, Yulitasari, 1995. Virus Hepatitis A sampai E di Indonesia, Yayasan
Penerbitan IDI, Jakarta.
Watt G. Hepatitis B 1993 Dalam : Strickland Gt, penyunting Hunters tropical
medicine, edisi 7. Tokyo; W.B Saunders Company.
World Health Organization., 2002. Hepatitis B. Geneva. http://www.who.int/emc
WHO European Region, 2010,of Hepatitis B and HIV Coinfecton Clinical
Protocol.

47

Anda mungkin juga menyukai