Anda di halaman 1dari 12

BAB II

REALISME ARISTOTELES

2.1 Latar Belakang Pemikiran Aristoteles

Aristoteles lahir 384 SM di Stageira, sebuah kota di Yunani Utara. 1 Sejak kecil

ia diasuh dan didik oleh ayahnya, yang bernama Nichorachus dalam bidang

Kedokteran, dengan harapan agar kelak dapat mengganti kedudukan ayahnya sebagai

dokter keluarga raja Macedonia. Ketika Aristoteles berusia tujuh belas tahun, ia

berangkat ke Athena untuk belajar di Akademi Plato dan menjadi muridnya. 2 Di

Akedemia Plato, Aristoteles mempelajari matematika, politik, etika, dan berbagai

ilmu pengetahuan lainnya. Aristoteles memiliki kegemaran mengumpulkan buku,

sehingga dalam waktu yang relatif singkat rumahnya menjadi “perpustakaan”.3

Aristoteles merupakan murid Plato yang sangat cepat terkenal, karena

Aristoteles tidak ingin hanya sekedar mengikuti ajaran dari gurunya.4 Barangkali

itulah penyebabnya ia menjadi murid “tukang kekang”. Aristoteles telah lama tinggal

di Akademia Plato, namun ia senang berdebat dengan Plato yang sangat dihormati

oleh banyak orang.5 Oleh sebab itu, banyak pemikiran-pemikiran Aristoteles yang

berbeda dengan gurunya. Aristoteles dapat dikatakan juga tepengaruh oleh pemikiran

1
J. H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, Ed. 1, Cet 2. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) 1.
2
Gerard J. Hughes, Aristotle on Ethic, ( London: Routledge, 2001) 1
3
J. H. Rapar, op.cit., 1.
4
Ibid., 2.
5
Ibid.,

1
Sokrates, karena Plato merupakan murid Sokrates dan Aristoteles adalah murid Plato,

berarti tidak secara langsung Aristoteles mendapat pengaruh dari pemikiran Sokrates.

Pada abad 347 SM, Plato meninggal, dan pada tahun yang sama Aristoteles

pergi meninggalkan Athena bersama Xenokrates untuk melakukan perjalanan ke

Assos dan Mytilene di pesisir Asia Kecil. 6 Saat itu, Heremias menjadi penguasa

negara meminta Aristoteles dan Xenokrates untuk membantu mengajar di sekolah

yang telah dibuka oleh Erastos dan Koristos. Pada 344 SM Aristoteles menikah

dengan Pythias yang tidak lain adalah anak angkat Hermeias.7 Namun, tidak lama

kemudian negara yang dikuasai Heremeias ditaklukkan tentara Persia, sehingga

Hermeias dibawa ke Persia untuk dibunuh. Ahkirnya, Aristoteles melarikan diri dari

Assos ke Mytilene untuk mencari aman. Ketika di Assos Aristoteles selain mengajar

di sekolah-sekolah, ia juga mengadakan riset dalam bidang biologi dan zoologi, yang

data-datanya sebagian dikumpulkan dalam buku yang benama Historia animalum.8

Sekitar tahun 334 SM, Aristoteles kembali ke Athena dan atas dukungan dari

Antipater Macedonia dan orang-orang kaya, ia mampu mendirikan sekolah yang

bernama Lyceum. Dengan waktu yang singkat, Sekolah Lyceum itu cepat

berkembang, bahkan popularitas mampu mengalahkan Sokolah Isokrates yang telah

lama berhasil mendidik pemimpin-pemimpin Athena. Tidak hanya itu, Aristoteles

juga membentuk suatu perpuatakaan yang mengumpulkan macam-macam

manuskripsi dan peta bumi yang dianggap sebagai perpustakaan pertama dalam

sejarah manusia. Aristoteles juga membuka museum yang mengumpulkan semua

6
Ibid., 3.
7
Gerard J. Hughes, op.cit., 2
8
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani ( Yogyakarta: Kanisius, 1999) 154.

2
benda yang sangat menarik perhatian, terutama dalam bidang biologi dan zoologi. 9

Beberapa tahun sesudah Aristoteles berhasil mendirikan sekolahnya itu, istrinya

meninggal dunia. Kemudian, Aristoteles menikah lagi dengan Herpyllis yang

melahirkan seorang putra yang diberi nama Nikomakhos. Aristoteles yang memang

telah lama dikenal sebagai sahabat para penguasa Macedonia, tetapi ia dituduh

sebagai pendurhaka yang menghina dewa-dewa orang Yunani. Oleh sebab itu, dalam

ketakutannya, ia segera melarikan diri meninggalkan Athena. Namun, pada 322 SM

ia jatuh sakit karena bekerja tanpa mengenal batas, sehingga ia meninggal dunia di

tempat pelariannya itu. Aristoteles merupakan salah satu filsuf besar dalam sejarah

yang telah berhasil membentuk dan meletakkan dasar yang paling kokoh bagi

pembangunan kebudayaan dan peradaban Barat modern. 10


Banyak karya yang

diciptakan Aristoteles semasa hidupnya, salah satu karyanya yang paling menonjol

ialah penelitian ilmiah. Ketika ia merantau ke sekitar pantai Asia Kecil, ia mulai

mengadakan penelitian ilmiah dalam bidang Zoołogi, Biologi, dan Botani.11

Aristoteles juga mengadakan penelitian khusus terhadap konstitusi dan sistem politik

dari seratus lima puluh delapan kota (polis) di Yunani. Selain itu, karya terbesar

Aristoteles ialah logika, sehingga banyak orang menyebutnya sebagai penemu,

pelopor atau bapak logika.

Menurut pembagiannya, karya tulis Aristoteles terbagi menjadi lima


kelompok. Kelompok pertama disebut kelompok Organon, yang terdiri dari enam
kaya tulis yaitu: Categoriae (kategori), De interpretatione (tentang penafsiran),
Analytica priora (analitika yang pertama), Analytica posteriora (analitika yang

9
J. H. Rapar, op.cit., 4.
10
Ibid., 5.
11
Ibid., 6.

3
terakhir), Topica (topik) , dan De sophisticis elenchis (cara berdebat kaum Sofis).
Kelompok kedua terdiri dari: Physica (fisika), Metaphysica (metafisika), De caelo
(dunia atas atau langit), De generatione et corruptione (penjadian dan pembinasaan),
dan Meteorologica (meteorologi). Kelompok ketiga ialah mengenai Biologi dan
Psikologi yang terdiri dari: De partibus animalium (bagian binatang), De motu
animalium (tentang gerak binatang), De incessu animalium (tentang perjalanan
binatang), De generatione animaltium (tentang kejadian binatang), De anima
(tentang jiwa), Parva naturalia (sedikit tentang tata hidup kodrati) yang merupakan
kumpulan dari beberapa monografi tentang biopsikologi. Kelompok keempat terdiri
dari: Ethica Nicomachea (sepuluh buku), dan Ethica Eudemia (tujuh buku).
Kelompok kelima atau kelompok yang terakhir terdiri dari: Rhetorica (retorika) dan
Poetica (poetika).12
Perkembangan filsafat Aristoteles memang sangat cepat dalam sejarahnya,

namun sangat disanyangkan karyanya kebanyakan telah hilang. Berbeda dengan

karya Plato yang tesusun rapi, indah dan menarik. Karya Aristoteles malah

sebaliknya, tidak begitu baik, hubungan bagian satu dengan yang lainnya seringkali

tidak jelas. Hal itu dapat dipahami karena semua karya Aristoteles yang dipakai

sekarang ini sesungguhnya hanyalah catatan dan ringkasan yang menjadi pegangan

untuk memberi kuliah baik di Lyceum maupun di tempat lain.13

2.2 Realisme Menurut Aristoteles

Aristoteles merupakan murid Plato yang sangat terkenal, namun ia

mempunyai pemikiran yang berbeda dengan pemikiran gurunya. Perbedaan yang

mendasar antara filsafat Plato dan Aristoteles sesungguhnya terletak pada pandangan

mereka tentang ada dan keberadaan ada tentang dunia ini.14 Bagi Aristoteles, sebagai

12
J. H. Rapar, Filsafat politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli ( Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2001) 147-148
13
J. H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, op.cit., 10.
14
Ibid., 19.

4
seorang pengamat yang memperhatikan perincian benda-benda individual. 15 Ia merasa

bahwa realitas terdapat dalam benda-benda kongkrit atau dalam perkembangan

benda-benda itu. Dunia yang real adalah dunia yang kita rasakan sekarang, dan

bentuk serta materi tak dapat dipisahkan. Tidak ada dunia lain selain dunia inderawi

yang didiami manusia kini dan di sini. Satu-satunya realitas ialah dunia inderawi ini.16

Manusia pada dasarnya tak dapat melepaskan diri dari fakta bahwa terdapat

perbedaan antara benda dan ide. Bagi kaum realis ide merupakan suatu pikiran dalam

akal manusia yang menunjuk pada benda. Dalam hal ini, benda adalah realitas dan ide

adalah “bagaimana benda itu nampak kepada diri kita”. Oleh karena itu, pikiran

manusia harus menyesuaikan diri dengan benda-benda yang ditangkap dalam dunia

inderawi. Suatu kebenaran akan benda tidak dapat diputuskan dengan ide-ide yang

ada tetapi dengan melihat benda dengan sungguh-sungguh.17 Cara tersebut merupakan

realis karena menjadikan “benda” bukan “ide” sebagai ukuran kebenaran. Realitas

menjadikan benda itu real dan ide itu penampakan benda yang benar atau keliru. Ide

sama sekali tak membantu kita, baik mengenali benda-benda maupun untuk

memahami “yang ada” dari benda-benda itu.18 sebagai jalan mengenali benda-benda

yang ada perlu pula mengenali materi yang ada dalam bentuk. Adapun bentuk adalah

prinsip yang menentukan atau yang memberikan aktualitas pada materi. 19 Akan tetapi,

yang terpenting disini bahwa bentuk amat membutuhkan materi agar nampak menjadi

15
Harold H. Titus., dkk, Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) 331.
16
J. H. Rapar, op.cit., 20.
17
Harold H. Titus., dkk, op.cit., 328.
18
Simon.P.L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual ( Yogjakarta: Kanisius, 2004) 65.
19
Ibid., 66.

5
jelas, dan materi membutuhkan membutuhkan bentuk agar memungkinkan menjadi

realitas.

Menurut Aristoteles tugas ilmu pengetahuan ialah mencari penyebab-

penyebab objek atau benda yang diselidiki. Oleh sebab itu, Aristoteles sendiri

membuat empat penyebab mengapa benda itu harus diselidiki. Pertama, penyebab

efisien,20 artinya adanya sebuah benda pasti akan memiliki faktor yang menjalankan

kejadian. Misalkan, tukang kayu yang membuat sebuah kursi. Kedua, penyebab

final,21 artinya bahwa sebuah peristiwa yang terjadi memiliki tujuan yang menjadi

arah seluruh kejadian. Misalkan, kursi dibuat supaya orang dapat duduk di atasnya.

Ketiga, penyebab material,22 artinya bahwa benda yang ada pasti memiliki bahan dari

mana benda itu dibuat. Misalkan, kusi dibuat dari bahan kayu. Keempat, penyebab

formal,23 artinya bahwa benda dibuat karena adanya sebuah bentuk yang menyusun

bahan. Misalkan, bentuk kursi jika ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi kursi.

Sains berkaitan dengan benda-benda nyata, itulah sebabnya sains membuat

pengetahuan dan bukan khayalan. Namun apakah benda-benda itu nyata? Kita akan

menggali realitas ini dengan sebuah pertanyaan mengenai Apakah ada atau

keberadaan itu? Artinya, apakah substansi itu? Dalam mendalami realitas, Aristoteles

sendiri telah membentuk kelas-kelas predikat yang sekarang disebut “kategori”. 24

Kategori ini pada umumnya dirujuk sebagai kategori (dari) ada atau keberadaan

(being); dan Aristoteles sendiri terkadang akan merujuknya sebagai “kelas-kelas


20
K. Bertens, op.cit., 173
21
Ibid., 174.
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Jonathan Barnes, Aristoteles; Bapak Ilmu Politik dari judul asli Aristotle, Penterjemah, A. Hadyana
Pudjaatmaka (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993) 70.

6
benda yang berada. Kategori realitas menurut Aristoteles itu terdiri dari; substansi,

kuantitas, kualitas, hubungan, tempat, waktu, kondisi, postur, tindakan, dan passi.25

Aristoteles menggambarkan kategori dengan sebuah contoh. Misalnya, ada

kategori “manusia” dan “sehat” benar untuk Aristoteles; maka haruslah ada suatu

macam benda seperti manusia, dan haruslah ada suatu macam benda seperti

kesehatan.26 Intinya haruslah ada suatu benda yang berpadanan dengan setiap kategori

yang benar untuk setiap benda yang diklasifikasikan. Apabila predikat yang

diterapkan Aristoteles dalam sebuah kalimat akan menjadi “Aristoteles ada di dalam

Liseum “adalah predikat petunjuk tempat, kita mengatakan bahwa Liseum adalah

sebuah tempat”.27 Benda-benda seperti halnya predikat muncul dalam macam-macam

peristiwa, dan apabila ada sepuluh kelas atau kategori prdikat, maka aka ada sepuluh

kelas atau kategori benda. Klasifikasi predikat menjadi hal yang mendasar bagi

benda-benda yang masuk kategori disebut substansi.28 Kelas substansi khas

pentingnya, karena kelas itu bersifat primer.29

Aritoteles mencatat bahwa istilah-istilah Yunani tertentu bersifat dwi-arti.

“Sharp” (“tajam”) dapat diterapkan untuk bunyi maupun untuk pisau.30 Suatu yang

amat jelas bahwa tajamnya bunyi dan tajamnya sebuah pisau berlainan maknanya.

Aristoteles berpendapat bahwa kebayakan istilah kunci dalam filsafat bersifat dwi-

arti. Dalam buku Metafisika Aristoteles menguraikan mengenai esai yang maknanya

berlawanan dari sejumlah istilah filosofis. Baginya “suatu benda di sebut suatu sebab
25
W.D. Ross, Aristotle (London, 1949) 5.
26
Jonathan Barnes, op.cit., 70-71.
27
Ibid.,71.
28
W.D. Ross, op.cit.,6.
29
Jonathan Barnes, op.cit., 71.
30
Ibid.,71-72.

7
dalam satu arah jika.. dalam arah lain jika…; suatu benda dikatakan perlu dalam satu

arah jika…., atau jika…”.31 Cara yang ditempuh Aristoteles untuk memahami realitas

memang sangat rumit. Namun, segala “yang ada” akan menjadi berkembang dari

suatu kemungkinan agar menjadi kenyataan.32

Salah satu istilah yang dikemukakan oleh Aristoteles sebagai dwi-arti adalah

istilah “being” atau “existent”. Benda-benda dikatakan yang berada memiliki makna

karena berada menyatakan apakah sebuah benda itu, serta kualitas dan kuantitas.33

Maka terdapat sekurangnya makna yang sama dalam “being” seperti banyaknya

kategori “berada”. Namun, kedwiartian hanyalah sebuah “hominem kebetulan”-

seperti kata Yunani “kleis” yang berarti “pasak” maupun “tulang leher”. Tentu saja

bukanlah suatu kebetulan apabila “kleis”diterapkan bagi tulang leher maupun pasak.34

Sebab, bagi Aristoteles bahwa tidak ada hubungan antara kedua penggunaan istilah

itu karena kita dapat menggunakan kata itu dengan baik dalam suatu makna tanpa

mengusik sedikit pun makna yang lain. Aristoteles berpandangan bahwa tidak sebuah

kedwiartian seperti itu, khususnya mengenai kata “ada” dan “berada” bukanlah suatu

hominem kebetulan.35

Aristoteles memberikan contoh yang lebih masuk akal tentang dwi-arti ini

dengan Istilah “sehat”.36 Sebagian orang melihat bahwa sehat identik dengan warna

wajah, daerah makanan(diet) dan benda-benda benda lain sebagai bentuk sehat.

Namun George V, jamu tolak angin, dan gado-gado tidaklah sehat dalam makna yang
31
Ibid.
32
Simon.P.L. Tjahjadi, op.cit., 66.
33
Jonathan Barnes, op.cit., 72
34
Ibid.
35
Ibid.,73.
36
Ibid., 73-74.

8
sama. Akan tetapi, makna-makna yang berbeda itu semuanya saling menghubungkan

dan merujuk ke suatu benda atau hall yang satu, yakitu kesehatan.37 Untuk George V,

sehat berarti memiliki kesehatan; untuk jamu tolak angina sehat berarti menghasilkan

kesehatan; dan gado-gado sehat karena mempertahankan kesehatan. Dengan adanya

itu, kita dapat melihat bahwa realitas dapat dijelaskan dengan mengacu pada sesuatu

yang lain, sehingga tidak mempunyai dasar yang relatif pada satu hal. 38 Manusia

dapat mengetahui realitas apabila melihat benda yang lain yang berhubungan dengan

benda itu.

Suatu benda bagi Aristoteles mempunyai kedwiartian makna yaitu “being”

atau “existent”, tetapi makna-makna yang berbeda itu saling dihubungkan oleh fakta

bahwa semuanya merujuk ke substansi pada sesuatu benda atau hal. Ada warna dan

ukuran, perubahan dan pemusnahan, tempat dan waktu. Namun, agar suatu warna,

ukuran, dan gerakan ada haruslah ada substansi untuk diwarnai, memiliki ukuran, dan

yang bergerak. Non-substansi ada, namun hanya ada sebagai modifikasi atau afeksi

dari substansi. Suatu yang non-substansi ada perlulah suatu substansi untuk diubah

dengan satu atau lain cara. Namun, eksistensi substansi dengan demikian tidaklah

parasitic, artinya substansi ada dalam suatu makna primer dan non-subtansi ada

seolah-olah disubstansikan.39 Menjadi pertanyaan kembali bagi kita tentang apa yang

harus menjadi substansi? Substansi adalah benda atau hal kemana kita dapat rujuk

dengan menggunakan suatu frase peragam dan merekalah benda atau hal yang dapat

dipisahkan, dipungut, dikenali, dan diindividukan.40 Misalnya, Soktates adalah suatu


37
Ibid.74.
38
W.D. Ross, op.cit., 7.
39
Jonathan Barnes, op.cit., 74-75.
40
Ibid.,75.

9
benda atau hal karena ia adalah orang dan suatu individu yang yang dapat kita teliti

dan kenali.

Ada beberapa yang bisa diprediksi dari suatu subjek tanpa hadir pada suatu

subjek itu sendiri. Misalkan “pria” diprediksi sebagai seorang individu, dan tak

pernah hadir dalam suatu subjek.41 Akan tetapi, dengan kita hadir dalam suatu subjek

tidak hanya menampilkan bagian secara keseluruan akan subjek itu tetapi tidak

mampu terpisah dari subjek tesebut. Beberapa hal ada dalam suatu subjek, tetapi tidak

pernah mudah diprediksi dari suatu subjek. Misalnya, titik tertentu dari pengetahuan

gramatikal hadir dalam pikiran, tetapi tidak dapat diprediksi dari subjek apa pun;

keputihan tertentu mungkin hadir dalam tubuh (untuk warna membutuhkan dasar

material), namun itu tidak pernah bisa diprediksi. 42 Dengan adanya contoh tersebut

memberikan arti bahwa pengetahuan yang real hadir dalam suatu subjek itu sendiri.

Oleh sebab itu, persoalan yang paling manarik perhatian ialah bagaimana

merelasikan segala ilmu pengetahuan,43 baik etika, politik, dan teologia dengan dunia

tempat kediaman manusia, disinilah diperlukan hadir dalam kehidupan manusia.

Terlebih bagaimana memahami dunia nyata dan yang satu-satunya itu, serta

bagaimana menghidupi kehidupan yang seharusnya dihidupi dalam berbagai kondisi

dan situasi berbeda-benda. Benda-benda merupakan subjek yang dianggap sebagai

substansi, kebanyakan adalah kekuatan, baik dari hewan maupun dari tanah, api, dan

udara.44 Tanah menjadi ada karena memiliki kekuatan tertentu yang pada dasarnya

bergerak. Kita perlu untuk kembali pada penjelasan Aristoteles mengenai kedwiartian
41
W.D. Ross, op.cit., 7
42
Ibid.,8.
43
Harold H. Titus., dkk, op.cit., 329.
44
Jonathan Barnes, op.cit.,78.

10
dari ada atau berada. Benda yang telah kita saksikan bersifat parasitik terhadap benda

lain; agar benda itu ada diperlukan suatu benda atau hal lain untuk dihubungkan

dengan benda itu. Dengan kata lain suatu benda dapat disubstansi apabila benda itu

suatu individu yang mampu ditandai oleh suatu frase demonstratif, sebab suatu butir

benda yang dapat dipisahkan dan sifat eksitensinya benda itu tidak mempedulikan

benda lain.45

Menurut Aristoteles, bilangan jelas-jelas non-substansi karena pada

hakikatnya bilangan adalah banyaknya benda. Aristoteles tetap bepegang teguh pada

benda-benda putih ada terlebih dahulu dari pada yang bersifat keputih-putihan,

karena eksistensi dari sifat keputih-putihan semata-mata masalah adanya benda-benda

putih.46 Dengan demikian, contoh substansi paling polos bagi Aristoteles adalah

hewan dan tumbuhan; sesudah itu benda-benda itu alami (matahari, bulan dan

bintang) dan barangkaliartefak (meja dan kursi, priuk dan wajan). 47 Secara umum

benda-benda tersebut dapat dipersepsikan karena bersifat primer. Aristoteles sendiri

sering melontarkan pertanyaan ontologis dengan bertanya apakah ada substansi

apapun di luar substansi-substansi yang dapat dipersepsikan. Dalam pandangan

Aristoteles, substansi semacam itu merupakan realitas dasar.48

45
W.D. Ross, op.cit., 12.
46
Jonathan Barnes, op.cit., 79.
47
Ibid.,80.
48
Ibid.

11
12

Anda mungkin juga menyukai