Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

PDKT

Nama : Yusril Bakhtiar
Kelas : Sendratasik B 21
Nim : 210802501028


1.


Tari pepe’- pepe’ ri makkah

1. Permulaan
Dalam bahasa Makassar, pepe bermakna ‘api’. Tari Pepe-
pepe ka ri Makkah yang sering dijuluki ‘tarian api’ ini
memang identik dengan nyala api yang membara sebagai
atribut utamanya. Tarian ini biasanya ditarikan oleh laki-laki,
namun ada juga yang ditarikan oleh perempuan dan
versinya dikenal sebagai tari pepe-pepe ka baine.
2. Rangsangan kekuatan untuk naik

Pepe’ pepe’ tari makkah lanterayya ri marinah ya


allah parambosai natakabbere dunia
syair tersebut dinyanyikan bersama-sama. Lengking suara
pui-pui dan tabuhan gandrang serta rebana yang
bersahutan juga ramai memecah keheningan malam

3. Perkembangan

Meski budi daya tarian ini sempat meredup, saat ini pepe-
pepe ka menjadi salah satu ikon pariwisata Makassar yang
dapat Travelers saksikan. Kampung Paropo sendiri saat ini
tengah dikembangkan untuk menjadi kampung budaya
Makassar dan salah satu pusat pelestarian kesenian
tradisional suku Makassar.

4. Klimaks

Dengan iringan sejumlah alat musik tradisional


Makassar lainnya, para penari pepe-pepe ka, dengan
obor yang menyala di tangan mereka, mengarahkan api
ke bagian tubuh masing-masing seolah sedang
bermandikan api. Kemudian, para penari mengarahkan
obor ke hadapan mulut mereka, dan menyemburkan
bola api besar yang menerangi gelapnya malam.

5. Penurunan/ anti klimaks

dulunya merupakan salah satu media dakwah kesultananh


dalam menyebarkan agama Islam ke seluruh semenanjung
selatan Pulau Sulawesi.
6. Penahan akhir
Selain nyanyian selawat para pengiringnya, ajaran agama
Islam juga tersimbolkan dalam proses dan berbagai
atribut tarian ini.

7. Akhir

Dengan nilai religi dan latar belakang sejarahnya, tari pepe-


pepe ka kerap mengisi acara-acara kebudayaan di Sulawesi
Selatan yang selalu menghibur penontonnya dengan
kobaran si jago merah di tengah serunya musik pengiring.
Selain juga menjadi cerminan budaya Makassar yang selalu
berpegang teguh pada agama, penuh semangat dan tidak
mengenal rasa takut.

2.
Legenda gunung nona

1. Penerapan

Pada zaman dahulu kala, di kaki Gunung Bambapuang
terdapat suatu kerajaan tua yang bernama Kerajaan
Tindalaun. Sementara di dalam kerajaan itu sendiri
terdapat sebuah perkampungan kecil yang juga
dinamai Tindalun. Konon pada suatu ketika, datanglah
seorang yang disebut To Mellaorilangi’ (orang yang
turun dair langit) atau yang dalam istilah lainnya
disebut To Manurung di Kampung Tindalun yang
terletak di sebelah selatan Gunung Bambapuang
tersebut. To Manurung ini juga menurut riwayatnya
konon datang dari Tangsa, yaitu sebuah daerah di
Kabupaten Tana Toraja. Mulanya, di Tangsa ada
seorang ibu muda cantik bernama Masoang yang
mempunai lima orang anak. Entah karena apa, kelima
anak Masoang itu terbagi-bagi. Yakni dua orang ke
Tana Toraja Barat, dua lainnya tinggal di Tangsa,
kemudian yang satu orang lagi dianggap menghilang
karena kepergiaannya tidak diketahui.


2. Ransang naik

Beberapa hari kemudian tak jauh dari sebuah
perkampungan, pada suatu malam, masyarakat Tindalun
melihat ada seonggok api yang menyala seolah tak ada
padamnya. Karena didorong rasa keingitahuan, masyarakat
lalu mencoba mendekati sumber nyala api tersebut. Dan
ternyata, tak jauh dari situ ada anak laki-laki yang rupawan,
ganteng serta kulitnya putih bersih. Bahkan menurut
penilaian masyarakat Tindalun ketika itu, selain ganteng ,
anak itu juga memiliki ciri sebagia anak To Malabbi’.
Karenanya, si anak yang tidak diketahui asal usulnya itu lalu
diambil dan dibawa ke Kampung Tindalun. Boleh jadi anak
inilah yang disebut sebagai To Manurung.

3. Pengendoran

ketika si anak lelaki tersebut menginjak dewasa, ia lalu
dikawinkan dengan salah seorang putri raja Kerajaan
Tindalun yang sangat cantik. Di mana setelah pesta
perkawinan yang semarak dan yang dilaksanakn secara
adat istiadat setempat itu, masyarakat pun secara spontan
lalu membuatkan sebuah istana baru bagi pasangan ini.
Karena menganggap perkawinan itu adalah penyatuan dari
anak seorang raja dengan To Mellaorilangi’ atau To
Manurung.

4. Ransangan naik

Selanjutnya dari perkawinan itu, lahirlah putra mereka yang
diberi nama Kalando Palapana, kemudian dinobatkan
sebagai Raja Tindalun. Dia memerintah beberapa
perkampuangan di situ.

5. Pengendoran

Setiap musim panen, masyarakat sangat bersuka ria karena
hasi pertanian mereka selalu melimpah ruah. Itu sebabnya
kehidupan masyarakat Tindalun rata-rata makmur dan sejahtera
. Cuma sayangnya, kondisi inilah yang membuat mereka lantas
lupa diri.

6. Klimaks

Kabarnya, pasangan selingkuh anak raja Tindalun dimaksud
adalah anak gadis dari salah seorang tetua adat setempat. Yang
akhirnya, pada malam kejadian itu, ketika kedua anak manusia ini
sedang hanyut dalam kenikmatan hubungan intim di luar nikah,
sekonyong-konyong datang bencana yang memporakporandakan
wilayah kerajaan Tindalun. Rupanya Tuhan telah menunjukkan
murkanya.


7. Penurunan

Mereka yang selama ini tak mau lagi mendengar titah rajanya,
dan gemar melakukan hubungan intim di luar nikah, semua
dilaknat menjadi bukit-bukit. Di antaranya ada yang menyerupai
kelamin wanita. Gunung yang menghadap ke barat dan terletak di
sebelah timur Gunung Bambapuang inilah yang kemudian dikenal
dengan sebutan Buttu Kabobong. Sedangkan pada sebelah barat
Buttu Kabobong, terdapat pula gunung yang menjorok ke
seberang menghampiri pusat Buttu Kabobong. Gunung ini
bentuknya menyerupai “maaf” alat kelamin laki-laki. Antara
kedua gunung ini dibatasi oleh sebuah anak sungai.
8. Penyelesaian

Demikian sekelumit legenda tentang Buttu Kabobong, yang
jika ditelaah, sesungguhnya mempunyai pesan moral agar
umat manusia di mana pun, tidak melakukan hubungan
suami istri di luar nikah. Karena hal itu merupakan
perbuatan zinah yang sangat dilarang oleh agama.
Hukumnya adalah dosa besar.

Anda mungkin juga menyukai