Anda di halaman 1dari 47

USULAN PENELITIAN

HUBUNGAN PEMBERIAN POSISI PRONASI TERHADAP


SATURASI OKSIGEN BAYI YANG MENGGUNAKAN
CONTINUOUS POSITIVE AIRWAY PRESSURE (CPAP) DI RSUD
NGUDI WALUYO WLINGI

BETA MEY RIA WULANDARI


NIM. 2112027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


STIKes PATRIA HUSADA BLITAR
2022
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Beta Mey Rina Wulandari

NIM : 2112027

Program Studi : Pendidikan Ners

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Usulan penelitian ini merupakan hasil karya sendiri dan bukan

menjiplak atau plagiat dari karya ilmiah orang lain.

2. Hasil penelitian yang terdapat di dalamnya merupakan hasil

pengumpulan data dari subjek penelitian yang sebenarnya tanpa

manipulasi.

Apabila pernyataan di atas tidak benar saya sanggup mempertanggung

jawabkan sesuai peraturan yang berlaku dan dicabut gelar atau sebutan

yang saya peroleh selama menjalankan pendidikan di STIKes Patria

Husada Blitar.

Blitar,
Yang Menyatakan

Beta Mey Rina Wulandari


NIM. 2112027

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul : HUBUNGAN PEMBERIAN POSISI PRONASI


TERHADAP SATURASI OKSIGEN BAYI YANG
MENGGUNAKAN CONTINUOUS POSITIVE
AIRWAY PRESSURE (CPAP) DI RSUD NGUDI
WALUYO WLINGI
Ditulis oleh : Beta Mey Rina Wulandari

NIM : 2112027

Program Studi : Pendidikan Ners

Perguruan Tinggi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Patria Husada Blitar

Dapat dilakukan Ujian Usulan Penelitian pada tanggal 23 Nopember 2022

Blitar, 23 Nopember 2022

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

Yeni Kartika Sari, M.Kep Sandi Alfa Wiga Arsa, M.Kep


NIK.180906024 NIK.180906054

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Ners


STIKes Patria Husada Blitar

Yeni Kartika Sari, M.Kep


NIK.180906024

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : HUBUNGAN PEMBERIAN POSISI PRONASI


TERHADAP SATURASI OKSIGEN BAYI YANG
MENGGUNAKAN CONTINUOUS POSITIVE
AIRWAY PRESSURE (CPAP) DI RSUD NGUDI
WALUYO WLINGI
Ditulis oleh : Beta Mey Rina Wulandari

NIM : 2112027

Program Studi : Pendidikan Ners

Perguruan tinggi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Patria Husada Blitar

Telah diuji dalam Ujian Usulan Penelitian yang dilaksanakan

Pada tanggal, 23 Nopember 2021

Ketua Penguji : 1. Yeni Kartika Sari, M.Kep

2. Sandi Alfa Wiga Arsa, M.Kep

Anggota Penguji : 1. Ulfa Husnul Fata, M.Kep

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul Hubungan

Pemberian Posisi Pronasi Terhadap Saturasi Oksigen Bayi Yang Menggunakan

Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi

tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dalam penulisan usulan penelitian ini adalah untuk

mengetahui Hubungan Posisi Pronasi Terhadap Saturasi Oksigen Bayi Yang

Menggunakan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Di RSUD Ngudi

Waluyo Wlingi.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil sehingga usulan

penelitian ini dapat selesai. Ucapan terima kasih ini, penulis tujukan kepada :

1. Basar Purwoto, S.Sos., M.Si sebagai Ketua STIKes Patria Husada Blitar

2. dr. Endah Woro Utami, MMRS sebagai Direktur RSUD Ngudi Waluyo

Wlingi

3. Yeni Kartika Sari, M.Kep Ketua Program Studi Pendidikan Ners STIKes

Patria Husada Blitar sekaligus sebagai Pembimbing I serta Dosen STIKes

Patria Husada Blitar

4. Siti Masruroh, S.Kep, Ns sebagai Kepala Ruang Edelweis RSUD Ngudi

Waluyo Wlingi

5. Thatit Nurmawati, S.Si., M.Kes sebagai Penguji Usulan Penelitian serta

Dosen STIKes Patria Husada Blitar

v
6. Sandi Alfa Wiga Arsa, M.Kep. sebagai Pembimbing II serta Dosen

STIKes Patria Husada Blitar

7. Orang tua, Suami, dan Anak-Anak penulis yang telah banyak

memberikan dukungan dan doa.

8. Semua teman – teman Program Alih Jenjang RSUD Ngudi Waluyo Wlingi

yang selalu support dan berjuang bersama

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan menyelesaikan usulan penelitian

ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran

yang membangun dari para pembaca guna menyempurnakan segala kekurangan

dalam penyusunan usulan penelitian ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga usulan penelitian ini berguna bagi para

pembaca dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Blitar, 23 Nopember 2022

Penulis,

Beta Mey Rina Wulandari


NIM. 2112027

vi

v
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan Tahun 2021 menunjukkan bahwa jumlah kematian

balita pada tahun 2021 sebanyak 27.566 kematian balita, angka ini

menurun dibandingkan tahun 2020, yaitu sebanyak 28.158 kematian

balita. Penyebab kematian neonatal terbanyak pada tahun 2021 adalah

kondisi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sebesar 34,5% dan asfiksia

sebesar 27,8%. Asfiksia pada bayi disebabkan karena adanya produksi

surfaktan yang banyak sehingga menyebabkan bayi mudah mengalami

gangguan pada sistem pernafasan, penyakit gangguan sistem pernafasan

ini sering disebut dengan Respirasi Distres Syndrom (RDS) yang

menyebabkan kadar oksgen dalam darah menjadi turun dan diperlukan

alat untuk membantu mengoptimalkan saturasi oksigen pada bayi.

Upaya untuk membantu pernafasan bayi dengan RDS tanpa

menginvasi langsung bisa dilakukan dengan menggunanakan Continuos

Positive Airway Pressure (CPAP) yang merupakan suatu alat yang

sederhana dan efektif untuk tatalaksana respiratory distress pada

neenatus yang bertujuan untuk mempertahankan tekanan positif pada

saluran napas neonatus selama pernafasan spontan. Saturasi oksigen

pada bayi yang menggunakan CPAP yang ditempatkan dalam posisi

quarter prone lebih baik daripada posisi supinasi. Hal ini terjadi karena

pengaruh gravitasi terbaik terjadi pada posisi ini. Posisi quarter prone

dapat menimbulkan perbedaan pada efek gravitasi dari ventilasi dan

1
2

perfusi dari atas hingga bawah paru-paru (Sherwood, 2014). Namun,

gravitasi hanya menimbulkan efek yang kecil pada ventilasi bayi

prematur dengan CPAP, karena pengaruh utama ventilasi berada pada

pola anatomis pada sistem pernapasan. Bagian posterior paru memiliki

distribusi ventilasi yang lebih baik daripada anterior, oleh karena itu

posisi quarter prone dapat memaksimalkan distribusi ventilasi. Fraction

of inspired oxgen (FiO2) lebih tinggi secara bermakna dengan frekuensi

napas lebih rendah pada bayi prematur dengan CPAP pada bayi dengan

posisi quarter prone (Hough et al., 2012).

Upaya untuk membantu pernafasan bayi dengan RDS tanpa

menginvasi langsung bisa dilakukan dengan menggunanakan Continuos

Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan suatu alat yang sederhana

dan efektif untuk tatalaksana respiratory distress pada neenatus yang

bertujuan untuk mempertahankan tekanan positif pada saluran napas

neonatus selama pernafasan spontan. Penggunaan CPAP yang benar

terbukti dapat menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi

ketergantungan terhadap oksigen, membantu memperbaiki dan

mempertahankan kapasitas residual paru, mencegah obstruksi saluran

nafas bagian atas, dan mecegah kollaps paru, mengurangi apneu,

bradikardia, dan episode sianotik, serta mengurangi kebutuhan untuk

dirawat di ruang intensif.

Posisi pronasi adalah menelungkupkan bayi sehingga lutut fIeksi

dibawah abdomen, sedangkan posisi supine berlawanan dengan posisi

pronasi, posisi supine merupakan posisi terIentang posisi ini hanya


3

sering digunakan pada bayi normal sehingga posisi pronasi Iebih di

rekomendasikan untuk bayi BBLR (Mc Auley, 2012). Kontraindikasi

PP adalah pada kondisi yang terjadi peningkatan tekanan intrakaranial,

hemodinamik tidak stabil dan membutuhkan administrasi agen

vasoaktif, injuri spinal cord yang tidak stabil, pembedahan abdominal

dan torakal, pembedahan torak dan ketidakmampuan toleransi terhadap

PP (seperti pada fraktur pelvis, fraktur tulang panjang yang tidak

stabil).

Intervensi tindakan keperawatan untuk merubah posisi bayi

yang menggunakan CPAP selama ini belum maksimal dilihat terkait

dengan respon perubahan saturasi oksigen. Banyak penelitian yang

dilakukan untk melihat peningkatan hasil saturasi oksigen dengan posisi

pronasi pada bayi yang menggunakan ventilasi mekanik, sedangkan

untuk penggunaan CPAP belum pernah dilihat padahal angka

penggunaan CPAP pada bayi saat ini banyak. Jumlah bayi yang

menggunakan CPAP di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi selama periode

Januari 2022 sampai dengan Oktober 2022 berjumlah 164 bayi dengan

berbagai kondisi diagnose medis, dimana 80% bayi yang menggunakan

CPAP adalah BBLR. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukakan

oleh Anggraeni, (2019) dengan melakukan penelitian dengan sampel

bayi BBLR dengan asfiksia yang menggunakan ventilasi mekanik,

menggunakan metode penelitian kualitatif quasi eksperimental,

menyebutkan hasil yang sangat signifikan pada perubahan status

saturasi oksigen pada bayi prematur, hasilnya menyebutkan posisi


4

pronasi berdampak pada saturasi oksigen yang awalnya rata-rata 92,87

secara bertahap meningkat menjadi 96,46 pada 1 jam pertama dan 97,25

pada 2 jam pertama dengan deviasi yang semakin kecil.Pada

Penelitian yang dilakukan oleh Meltem et al, (2020),

menyebutkan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan secara

statistik hasil saturasi oksigen pada bayi yang dilakukan intervensi 4

posisi yaitu terlentang, tengkurap, lateral kiri, lateral kanan yang

bertujuan untuk mengetahui pengaruh empat posisi tubuh terhadap

stabilisasi dan kenyamanan oksigenansi pada bayi prematur yang

menerima Nasal Continuous Positive Airway Pressure (NCPAP).

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin mengetahui

hubungan posisi pronasi terhadap saturasi oksigen bayi yang

menggunakan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) di RSUD

Ngudi Waluyo Wlingi.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan posisi pronasi terhadap saturasi oksigen

bayi yang menggunakan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)

di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menjelaskan hubungan posisi pronasi terhadap saturasi

oksigen bayi yang menggunakan Continuous Positive Airway Pressure

(CPAP) di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi.


5

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi posisi pronasi bayi yang menggunakan

Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) di RSUD Ngudi

Waluyo Wlingi

2. Mengidentifikasi saturasi oksigen bayi yang menggunakan

Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) di RSUD Ngudi

Waluyo Wlingi.

3. Menganalisis hubungan sebelum dan setelah dilakukan posisi

pronasi terhadap saturasi oksigen bayi yang menggunakan

Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) di RSUD Ngudi

Waluyo Wlingi.Wlingi.

1.4 Manfaat Penelitian

2.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi kepada

perawat terkait dengan pengaruh tindakan noninvasive terhadap

perubahan saturasi oksigen pada bayi yang menggunakan CPAP

guna meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan, serta

diharapkan dapat menjadi dasar dan pendorong dilakukannya

penelitian yang sejenis tentang masalah tersebut dimasa mendatang.

2.2 Manfaat Praktis

Menjadi acuan secara praktis bagi perawat di ruang rawat

neounatus untuk melakukan tindakan asuhan keperawatan secara

komptehensif terutama melakukan upaya tindakan noninvasive yang


6

bertujuan mengoptimalkan saturasi oksigen pada bayi yang

mengalami ARDS dengan menggunakan CPAP.


7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Posisi Pronasi

2.1.1 Pengertian

Posisi pronasi adalah menelungkupkan bayi sehingga lutut fIeksi

dibawah abdomen, sedangkan posisi supine berlawanan dengan posisi pronasi,

posisi supine merupakan posisi terlentang posisi ini hanya sering digunakan pada

bayi normaI sehingga posisi pronasi Iebih di rekomendasikan untuk bayi BBLR

(Aucley, 2012). Posisi Pronasi berdasarkan hasil penelitian Miller-Barmak et al.,

(2020) menyebutkan bahwa percenotafgtieme yang dihabiskan di Sp yang lebih

rendah kadar O, di bawah 80% dan 90%, lebih tinggi di sup poinseition, dan

waktu yang dihabiskan di SpO2 di atas 94% lebih tinggi pada posisi tengkurap.

Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dalam waktu yang dihabiskan di

Sp2O 90-94% sebelum dan sesudah perubahan posisi. Timetipnetnhe SpO yang

berbeda 2 rentang sebelum dan setelah perubahan posisi adalah shonw Fnigiure.

Menganalisis ketiga posisi per bayi ditemukan tren peningkatan ketidakstabilan

selama posisi terlentang berlangsung.

2.1.2 Fisiologi Pengembangan Paru pada Posisi Pronasi

Dampak fisiologis posisi pronasi dalam peningkatan status

oksigenasi pasien yang mengalami masalah pernafasan berat adalah pada status

oksigenasi dan mekanika pernafasan. PP menurunkan faktor mekanik pernafasan

yang berhubungan dengan pemakaian ventilator yaitu pada masalah pernafasan

berat meliputi adanya tekanan pleura yang tidak homogen, inflasi alveolar dan
8

ventilasi, peningkatan volume paru sehingga akan terjadi penurunan area

atelektasis dan meningkatkan bersihan jalan nafas (Pelosi, Brazzi & Gattinoni,

2002). Dampak oksigenasi PP pada inflasi alveolar akan mengakibatkan distribusi

inflasi alveolar lebih homogen pada tekanan transpulmonal. Terdapat pergerakan

densitas paru dari ventral ke arah dorsal pada pengembalian posisi dari PS ke PP.

Ukuran berat paru akan mempengaruhi distribusi ulang udara intrapulmonal.

Distribusi ulang udara intrapulmonal ini berhubungan dengan tekanan hidrostatik.

PP akan mengakibatkan kemungkinan area paru dependent yang merupakan area

ventral lebih minimal untuk menjadi kolap karena tekanan hidrostatik (Pelosi,

Brazzi & Gattinoni, 2002). Massa jantung mempengaruhi oksigenasi pasien

ARDS. Hal ini dikarenakan lokasi kedua paru berada dibawah jantung sehingga

akan memberikan tekanan pada fraksi paru. Pada PP hanya terdapat sebagian kecil

fraksi paru yang terpengaruh adanya tekanan jantung (Pelosi, Brazzi & Gattinoni,

2002). Sebagian besar fraksi paru berada pada bagian kiri dimana merupakan

lokasi jantung. PP akan memperlihatkan paru-paru dorsal terhindar dari tekanan

langsung dari jantung dan hanya sebagian kecil area ventral paru yang

mendapatkan tekanan. PP akan mengakibatkan tekanan jantung langsung

mengenai sternum sehingga tidak akan menekan paru-paru (Albert & Hubmayr,

2000). PP memberikan kesempatan bagian posterior dinding dada lebih bebas dan

tidak terjadi penekanan sehingga akan meningkatkan komplians dan ventilasi

terdistribusi lebih banyak ke area nondependent paru. Saat yang sama dengan

adanya gradien tekanan hidrostatik maka darah akan lebih banyak mengalir ke

area anterior pada area dependen sehingga terjadi peningkatan oksigenasi (Baron,

et al. 2007).
9

Pasien yang menggunakan ventilasi mekanik dan berada pada

posisi supinasi akan mengakibatkan area dependent paru-paru terpengaruh dengan

gravitasi sehingga berdampak pada terjadinya distensi mekanik kapiler di area

dependent (atau basal) parenkim paru. Oleh karena itu ketika pada posisi pronasi

ventilasi yang dilakukan akan mengakibatkan peningkatan oksigenasi dan

ventilasi perfusi yang bermakna. Mekanisme peningkatan oksigenasi pada PP

tersebut adalah peningkatan kapasitas residual fungsional, perubahan gerakan

diafragma, dan distribusi ulang aliran darah ke sebagian kecil area paru-paru

(menghasilkan peningkatan resiko atelektasis tetapi tidak cedera pada unit paru).

Pemantauan ventilasi pasien pada posisi pronasi merupakan tindakan keperawatan

yang unik dan akan memberikan tantangan pada saat resusitasi karena pada

kondisi ini pasien mempunyai status hemodinamik yang terbatas dan tidak dapat

ditoleransi (Zwischenberger, et al. 2009).

Beberapa waktu terakhir banyak penelitian yang telah memusatkan

pada pengaruh posisi badan tertentu terhadap fungsi paru pada kondisi normal

atau yang menggunakan ventilasi mekanik (Zhao, et al. 2004). Berbagai kondisi

dan parameter digunakan untuk menilai pengaruh posisi terhadap status

oksigenasi. Berbagai penelitian ini menunjukkan bahwa oksigenasi meningkat

pada PP. Penelitian dilakukan pada bayi prematur (Bhat, et al. 2006 & Rao, et al.

2009), kegagalan pernafasan akut (Kornecki, et al. 2001), ARDS (Baron, et al.

2007; Langer, et al 1988; Relvas, et al. 2003 & Well, Gillies & Fitzgerald, 2008),

pneumonia (Zhao, et al. 2004), gagal nafas (Haefner, et al. 2003) dan kajian yang

dilakukan terhadap PP pada tindakan ventilasi mekanik (Balaguer, Escribano &

Figuls, 2008), tindakan ECMO (Haefner, et al. 2003). Sebuah kajian tentang
10

Infant position in neonates receiving mechanical ventilation (review) (Balaguer,

Escribano & Figuls, 2008) merupakan kajian dari 11 penelitian (206 bayi) tentang

posisi neonatus yang menggunakan ventilasi mekanik. Tujuan penelitian ini

adalah untuk melihat dampak berbagai posisi pada neonatus dan bayi yang

menerima ventilasi mekanik dalam jangka pendek dan komplikasi prematuritas.

Penelitian-penelitian yang dilakukan tentang posisi neonatus yang menggunakan

ventilasi mekanik dengan membandingkan berbagai posisi neonatus antara

pronasi dengan supinasi, lateral kanan dengan supinasi, lateral kiri dengan

supinasi, lateral kanan dengan lateral kiri, dan good lung dependent dengan good

lung uppermost terhadap kadar PO2 arteri, saturasi oksigen hemoglobin dan

episode desaturasi. Hasil yang didapatkan berdasarkan kajian tersebut diketahui

bahwa tidak ada bukti tentang posisi badan tertentu selama pemberian ventilasi

mekanik pada neonatus yang relevan dalam meningkatkan oksigenasi secara

klinis, tetapi pada PP terjadi peningkatan status oksigenasi. Penelitian yang

dilakukan oleh Kornecki, et al. (2001) tentang Randomized Trial of Prolonged

Prone Positioning in Children With Acute Respiratory Failure membandingkan

dampak PP dengan PS pada status oksigenasi anak yang mengalami kegagalan

pernafasan akut di ruang PICU. Penelitian ini menggunakan desain prospektif dan

kontrol acak dengan menggunakan intervensi. Sepuluh anak yang mengalami

masalah kegagalan pernafasan dan indeks oksigen 22 ± 8,5 dibagi menjadi 2

kelompok dengan posisi pronasi dan supinasi kemudian dipertahankan selama 12

jam. Indikator oksigenasi yang digunakan yaitu indeks oksigen (Oxygen

Index=OI), urine output, sistem respirasi statik seperti complain dan resisten,

pemberian inhalasi Nitric Oxide dan keseimbangan cairan. Hasil penelitian


11

didapatkan bahwa indeks oksigen lebih baik pada PP dibandingkan dengan PS

dan tidak ada hubungan yang bermakna antara komplians dan resisten paru

terhadap PP atau PS. Berdasarkan penelitian ini pula diketahui bahwa urin output

meningkat pada PP, sehingga meningkatkan keseimbangan cairan. Sebuah kajian

tentang Positioning for acute respiratory distress in hospitalised infants and

children (Review) (Wells, Gillies & Fitzgerald, 2005) dilakukan dengan tujuan

untuk membandingkan dampak dari berbagai posisi tubuh bayi dan anak yang

dirawat di rumah sakit. Kajian dilakukan dari 49 penelitian dan terdapat 21

penelitian yang terseleksi (22 penelitian dipublikasikan). Berdasarkan

perbandingan posisi antara PP, SP, lateral, elevasi, dan posisi flat didapatkan hasil

bahwa posisi pronasi lebih menguntungkan dibandingkan dengan posisi supinasi.

Hal ini dilihat berdasarkan indeks oksigen, saturasi oksigen, PaO2, partial

pressure of arterial oxygen, thoraco-abdominal synchrony, dan episode

desaturasi. Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini bahwa PP lebih

meningkatkan oksigenasi dibandingkan supinasi terutama pada bayi prematur.

Menempatkan bayi pada PP dapat meningkatkan fungsi respirasi, namun perlu

pengawasan karena posisi ini berhubungan dengan suddent infant death.

2.1.3 Prosedur Pronasi

Prosedur PP untuk oksigenasi dilakukan dengan tahapan persiapan

pasien dan penempatan pada posisi PP dengan memperhatikan kontraindikasi.

1. Siapkan tempat tidur bayi

2. Tutup tempat tidur dengan linen kering, pastikan tidak ada kerutan

3. Posisikan bantal U di atas tempat tidur, tutup dengan linen kering

4. Letakkan bantal bayi di ata bantal U yang sudah ditutup dengan linen kering
12

5. Posisikan bayi tengkurap (meringkuk), pastikan tidak ada kabel yang menekan

kulit bayi. Posisikan kedua kaki bayi menekuk ke arah perut, kedua tangan bayi

berada di samping kepala bayi, kepala bayi menghadap ke kiri atau ke kanan,

pastikan jalan napas tidak tertutup

6. Observasi tanda-tanda vital selama bayi berada dalam posisi tengkurap

7. Kembalikan bayi ke posisi telentang atau miring kanan atau miring kiri setelah

lebih dari dua jam, atau ketika bayi merasa tidak nyaman

Penerapan Algoritma praktek penerapan PP pada pasien anak

dengan ARDS ini sudah memperhatikan hal-hal sebagai indikasi dan

kontraindikasi sehingga bisa diaplikasikan oleh para pemberi pelayanan kesehatan

pada bayi yang mengalami ARDS atau indikasi lain. Waktu pelaksanaan PP

berdasarkan evidence menunjukkan bahwa setiap waktu dilakukan PP akan

meningkatkan oksigenasi, tetapi PP yang dilakukan lebih dari 12 jam

menampakkan oksigenasi yang secara dramatis lebih baik. Namun demikian

keputusan untuk tetap pada PP atau kembali ke SP harus melihat kondisi pasien

sesuai dengan protokol pada algoritma diatas bahwa PP diberikan jika terjadi

peningkatan pertukaran gas dan kembali pada posisi supinasi jika terdapat tanda-

tanda yang penurunan oksigenasi dan komplikasi (Relvas, Silver & Sagy, 2003).

Hal ini sesuai dengan penelitian tentang Prone Positioning of Pediatric Patients

With ARDS Results in Improvement in Oxygenation if Maintained more than 12 h

Daily (Relvas, Silver & Sagy, 2003). Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi

indeks oksigen (OI) pada pasien anak ARDS selama 24 jam pertama dilakukan PP

dan untuk menentukan apakah PP yang dilakukan dalam jangka waktu lama (lebih

dari 12 jam) akan meningkatkan oksigenasi. Desain penelitian dilakukan secara


13

retrospektif pada pasien yang sudah dilakukan PP di PICU dan berumur lebih dari

3 tahun. Ukuran yang digunakan dalam status oksigenasi adalah PaO2, rasio

fraction of inspired oxygen (P/F) dan mean airway pressure (MAP). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 37 pasien dilakukan PP selama 20 jam

atau lebih dan OI menurun dari pre-PP 24,8 ± 13 menjadi 16,7 ± 13,7.

Peningkatan OI diikuti dengan peningkatan rasio P/F, namun MAP tidak

mengalami perubahan. Selama pemberian PP terdapat OI terbaik yaitu 11 ± 9

pada PP selama 16 ± 6 jam. Hasil penelitian tadi mengindikasikan bahwa PP

yang dilakukan dalam jangka waktu lama (18 sampai 24 jam) pada anak ARDS

akan menghasilkan penurunan OI yang lebih stabil dibandingkan dengan PP pada

jangka pendek (6 sampai 10 jam). Peningkatan OI ini tidak berhubungan dengan

peningkatan MAP selama 24 jam PP pada anak yang menggunakan ventilasi

mekanik

2.1.4 Kontraindikasi

PP merupakan posisi yang memberikan peluang untuk terjadinya

penutupan jalan nafas jika tidak dilakukan sesuai prosedur dan protokol yang

benar dan tanpa monitor. Bayi dapat dengan mudah berubah posisi sehingga

menutup aliran oksigen pada saluran pernafasan yang mengakibatkan fatal. PP

sering dihubungkan dengan Sudent Death Infant Syndrom, sehingga keamanan

posisi ini sering dipertanyakan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kerusakan

fungsi paru pada bayi prematur tidak dapat menjelaskan mengapa resiko SIDS

lebih tinggi pada penerapan PP daripada PS (Rao, et al. 2009). Sebuah panduan

yang berdasarkan bukti ilmiah masih sangat diperlukan tentang posisi tidur bayi

prematur. Ventilasi yang dilakukan secara pronasi tidak berhubungan dengan


14

peningkatan resiko komplikasi yang serius atau akan mengakibatkan masalah.

Penelitian tentang keamanan dan resiko PP pada anak selama pemberian

extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) pada kegagalan pernafasan

dilakukan oleh Haefner, et al. (2003). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

tidak ada peningkatan resiko komplikasi pada pemberian PP anak yang

mendapatkan ECMO. Kontraindikasi PP adalah pada kondisi yang terjadi

peningkatan tekanan intrakaranial, hemodinamik tidak stabil dan membutuhkan

administrasi agen vasoaktif, injuri spinal cord yang tidak stabil, pembedahan

abdominal dan torakal, pembedahan torak dan ketidakmampuan toleransi terhadap

PP (seperti pada fraktur pelvis, fraktur tulang panjang yang tidak stabil).

Beberapa permasalahan yang terjadi selama dan sesudah penerapan PP

diantaranya adalah edema wajah. Masalah ini dapat diminimalkan dengan

memposisikan dengan posisi trendelenberg. Perawat dan dokter juga melakukan

observasi pada area tubuh yang tertekan pada saat PP, misalnya pada mata, pipi,

dada, spina iliaka anterior dan kulit untuk mengantisipasi adanya masalah atau

trauma yang dapat muncul meskipun tidak yang menunjukkan adanya

permasalahan ini. Perhatian yang lain adalah adanya selang makanan, adanya

refluk atau aspirasi dan tranduser arteri pulmunal. (Messerole, et al. 2002).

2. 2 Oksigenasi pada bayi

Kemampuan adaptasi fisiologis pada bayi berawal dari kehidupan

neonatus. Adaptasi neonatus dari kehidupan intrauterin menjadi kehidupan

ekstrauterin disebut juga homeostasis. Bila terdapat gangguan adaptasi maka bayi

akan mengalami masalah kesehatan. Homeostasis neonatus ditentukan oleh

keseimbangan antara maturitas dan status gizi. Neonatus cukup bulan dikatakan
15

memadai untuk homeostasis dan neonatus kurang bulan dikatakan belum mampu

untuk beradaptasi, sehingga tergantung pada masa gestasi. Neonatus kurang

bulan mempunyai kondisi dimana matriks otak belum sempurna sehingga mudah

terjadi perdarahan intrakranial. Angka kejadian sindrom gawat napas neonatus

dan hiperbilirubinemia tinggi pada neonatus kurang bulan ini. Neonatus yang

lewat waktu atau lebih bulan seringkali mempunyai hambatan pertumbuhan janin

intrauterin akibat penurunan fungsi plasenta dan memungkinkan terjadinya

hipoksia janin (Safuddin, et al. 2009).

Masalah yang dihadapi neonatus setelah persalinan lebih banyak

berkaitan dengan jalan nafas dan paru-paru seperti kesulitan untuk menyingkirkan

cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan

menghambat udara masuk ke dalam paru dan mengakibatkan hipoksia. Adanya

kehilangan banyak darah mengakibatkan terjadinya bradikardia/kontraktilitas

jantung melemah akibat hipoksia dan iskemia. Hal ini akan menghambat

peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu kekurangan oksigen

atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru paru akan mengakibatkan

arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke

paru-paru dan penurunan pasokan oksigen ke jaringan. Arteriol di paru-paru

adakalanya juga gagal untuk berelaksasi meskipun paru-paru sudah terisi dengan

udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertension Newborn, disingkat

menjadi PPHN) dikemukakan oleh Kattwinkel (2004, dalam Chair, 2004).

Vasokontriksi pulmonal yang menetap akan mengakibatkan

konstriksi pada organ lain seperti usus, ginjal, otot dan kulit akan menyempit,

namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap terjamin. Penyesuaian
16

distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital.

Walaupun demikian jika kekurangan oksigen akan berlangsung terus akan terjadi

kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan kardiak output, yang

mengakibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari

kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan akan menimbulkan kerusakan

jaringan otak, kerusakan organ tubuh lain atau kematian. Keadaan bayi yang

membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis yaitu

sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah, bradikardi karena kekurangan

oksigen pada otot-otot jantung atau sel-sel otak, tekanan darah rendah karena

kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah, atau kekurangan aliran

darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan, depresi

pernafasan karena kekurangan oksigen pada otak, dan tonus otot buruk karena

kekurangan oksigen pada otak dan otot. Gejala-gejala ini juga dapat terjadi pada

keadaan lain seperti infeksi, hipoglikemia atau bila terdapat gangguan pernafasan

bayi karena pemakaian obat-obatan pada ibu selama persalinan menurut

Kattwinkel (2004, dalam Chair, 2004).

Berbagai kondisi penyakit yang berbeda pada masalah pernafasan

akan menghasilkan respon yang berbeda terhadap intervensi terapeutik yang akan

diberikan dan akan memerlukan strategi khusus untuk mencapai resolusi yang

diharapkan. Lima masalah pernafasan yang umum terjadi pada neonatus dan

membutuhkan penatalaksanaan penyakit yang khusus adalah RDS, sindrom

aspirasi mekonium, pneumonia, PPHN, dan bronchopneumonia displasia (Donn

& Sinha, 2003). Penelitiannya terhadap 72 penderita asfiksia menunjukkan bahwa

jenis kelainan pernapasan yang ditemukanpadapenderitaasfiksia tersebut adalah


17

sindrom aspirasi mekonium (6 penderita) hipertensi pulmonal (3 penderita),

perdarahan paru (4 penderita), dan sisanya menderita transient respiratory distress

of the newborn (Williams, Mallard & Gluckman, 1993). Kegagagalan pernafasan

yang terjadi pada neonatal bukan merupakan satu jenis penyakit tetapi dapat

terdiri dari berbagai kondisi masalah pernafasan, sehingga penatalaksanaan

kegagalan nafas harus dilakukan sangat spesifik tergantung pada pasien dan

spesifik pada penyakitnya. Hal ini mendorong adanya pengembangan-

pengembangan teknologi dan penelitian tentang penatalaksanaan kegagalan

pernafasan pada neonatus. Berbagai jenis terapi oksigen dan ventilasi mekanik

telah dikembangkan terutama yang berkaitan dengan keamanan dan keefektifan

penggunaannya (Donn & Sinha, 2003). Terapi oksigen merupakan dukungan

pernafasan yang dilakukan untuk memulai bantuan ventilasi pada neonatus

dengan alasan mempertahankan PaO2 normal sehingga meminimalkan hipoksia

mempertahankan PaCO2 normal sehingga meminimalkan ventilasi alveolar,

menurunkan usaha bernafas dan mengurangi keletihan otot pernafasan, serta

menghilangkan atelektasis segmen paru menurut Harris dan Wood (1996, dalam

Haws, 2008).

Masalah pernafasan yang mengganggu oksigenasi bayi menurut

Hockenberry dan Wilson (2007) adalah Apnea of Infancy (AOI). Kondisi ini

umumnya terjadi pada umur gestasi lebih dari 37 minggu. Gejala klinik yang

muncul pada bayi digambarkan sebagai kombinasi dari adanya (1) apnea (tidak

adanya pernafasan selama 20 detik atau lebih); (2) warna kulit yang sianosis atau

pucat; (3) perubahan tonus otot; dan (4) tercekik atau adanya sumbatan pada

saluran nafas. AOI dapat ditimbulkan dari masalah kesehatan lain seperti sepsis,
18

kejang, abnormalitas saluran nafas bagian atas, refluks gastrosofageal,

hipoglikemia atau masalah metabolik, dan kerusakan pengaturan nafas. Kondisi

yang mengancam jiwa pada bayi sering terjadi pada bayi yang mempunyai

masalah pada paru-paru seperti kurangnya cairan surfaktan (Silvestri & Weese-

Mayer, 1996, dalam Hockenberry & Wilson, 2007) dan respon penanganan

ventilator yang lambat terhadap adanya hiperkapnia dan hipoksia (Katz-Salamon,

2004, dalam Hockenberry & Wilson, 2007). Diagnosis AOI diberikan jika tidak

dapat diidentifikasi penyebab kondisi yang mengancam jiwa bayi. Filosofi

manajemen pernafasan sangat berbeda-beda meskipun di negara yang sudah

sangat maju. Terdapat beberapa intitusi yang lebih menyukai penatalaksanaan

konservatif dan ada juga intitusi yang lebih agresif dalam strategi pengelolaan

pernafasan ini. Jenis-jenis penatalaksanaan bervariasi dalam rentangnya dari

penatalaksanaan non invasif yaitu CPAP sampai dengan penatalaksanaan yang

paling invasif yaitu extracorporal membrane oxygenatin (ECMO) (Donn & Sinha,

2003).

2.3 Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)

2.3.1 Pengertian

Respiratory distress pada neonatus, adalah salah satu problem

terbesar yang kita temui sehari-hari. Respiratory distress tampak sebagai takipneu

atau nafas cepat pada bayi baru lahir. Gajala ini dapat berlangsung dari beberapa

jam sampai beberapa hari. Diagnosis dan tatalaksana yang tepat sangat penting

untuk diterapkan. Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) adalah merupakan

suatu alat untuk mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus
19

selama pernafasan spontan. CPAP merupakan suatu alat yang sederhana dan

efektif untuk tatalaksana respiratory distress pada neenatus. Penggunaan CPAP

yang benar terbukti dapat menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi

ketergantungan terhadap oksigen, membantu memperbaiki dan mempertahankan

kapasitas residual paru, mencegah obstruksi saluran nafas bagian atas, dan

mecegah kollaps paru, mengurangi apneu, bradikardia, dan episode sianotik, serta

mengurangi kebutuhan untuk dirawat di Ruangan intensif. Beberapa efek

fisiologis dari CPAP antara lain : 1. Mencegah kolapsnya alveoli paru dan

atelektasis 2. Mendapatkan volume yang lebih baik dengan meningkatkan

kapasitas residu fungsional 3. Memberikan kesesuaian perfusi, ventilasi yang

lebih baik dengan menurunkan pirau intra pulmonar 4. Mempertahankan surfaktan

5. Mempertahankan jalan nafas dan meningkatkan diameternya 6.

Mempertahankan diafragma.

2.3.2 Indikasi dan kontraindikasi

Ada beberapa kriteria terjadinya respiratory distress pada neonatus

yang merupakan indikasi penggunaanCPAP. Kriteria tersebut meliputi: 1.

Frekuansi nafas > 60 kali permenit 2. Merintih (Grunting) dalam derajat sedang

sampai parah 3. Retraksi nafas 4. Saturasi oksigen < 93% (preduktal) 5.

Kebutuhan oksigen > 60% 6. Sering mengalamiapneu Semua bayi cukup bulan

atau kurang bulan, yang menunjukkan salah satu kriteria tersebut diatas, harus

dipertimbangkan untuk menggunakan CPAP.

Pada penggunaan CPAP, pernapasan spontan dengan tekanan

positif dipertahankan selama siklus respirasi, hal ini yang disebut disebut dengan

continuous positive airway pressure. Pada mode ventilasi ini, pasien tidak perlu
20

menghasilkan tekanan negatif untuk menerima gas yang diinhalasi. Hal ini

dimungkinkan oleh katup inhalasi khusus yang membuka bila tekanan udara di

atas tekanan atmosfer. Keistimewaan CPAP adalah dapat digunakan pada pasien-

pasien yang tidak terintubasi. Beberapa gangguan nafas atau respiratory distress

yang dapat diatasi dengan mempergunakan CPAP antara lain: 1. Bayi kurang

bulan denganRespiratory Distress Syndrom 2. Bayi dengan Transient Takipneu of

the Newborn (TTN) 3. Bayi dengan sindroma aspirasi mekoneum 4. Bayi yang

sering mengalami apneu dan bradikardia karena kelahiran kurang bulan 5. Bayi

yang sedang dalam proses dilepaskan dari ventilator mekanis 6. Bayi dengan

penyakit jalan nafas seperti trakeo malasia, dan bronkitis 7. Bayi pasca operasi

abdomen Adapun beberapa kondisi respiratory distress pada neonatus, tetapi

merupakan kontraindikasi pemasangan CPAP antara lain: 1. Bayi dengan gagal

nafas, dan memenuhi kriteria untuk mendapatkan support ventilator 2. Respirasi

yang irreguler 3. Adanya anomali kongenital 4. Hernia diafragmatika 5. Atresia

choana 6. Fistula tracheo-oeshophageal 7. Gastroschisis 8. Pneumothorax tanpa

chest drain 9. Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk dengan

pemasangan nasal prong 10. Instabilitas cardiovaskuler, yang akan lebih baik

apabila memdapatkan support ventilator 11.Bayi yang lahir besar, yang biasanya

tidak dapat mentoleransi penggunaan CPAP, sehingga menimbulkan kelelahan

bernafas, dan meningkatkan kebutuhan oksigen

2.3.3 Komplikasi pemasangan CPAP

Pemasangan nasal CPAP pada beberapa kasus dapat

mengakibatkan komplikasi. Komplikasi pemasangan CPAP antara lain :


21

1. Cedera pada hidung, misalnya erosi pada septal nasi, dan nasal

snubbing. Penggunaan nasal prong atau masker CPAP dapat

mengakibatkan erosi pasa septal nasi, sedangkan penggunaan CPAP

dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan snubbing hidung

Gambar 2.1 Erosi septumnasi

2. Pneumothorak. Kejadian Pneumothorak dapat terjadi karena proses

penyakit dari Respiratory Distress Syndrom ( karena alveolar yang over

distensi) , dan angka kejadian tersebut meningkat dengan penggunaan

CPAP.

3. Impedasi aliran darah paru. Terjadi karena peningkatan resistensi

vaskularisasi paru, dan penurunan cardiac output, yang disebabkan oleh

peningkatan tekanan inthorakal karena penggunaan CPAP yang tidak

sesuai.

4. Distensi abdomen. Pada kebanyakan neonatus tekanan spingkter

oeshiphagus bagian bawah cukup baik untuk dapat menahan distensi

abdomen karena tekanan CPAP. Tetapi distensi abdomen dapat terjadi

sebagai komplikasi dari pemaangan CPAP. Resiko terjadinya distensi

abdomen dapat berkurang dengan pemasangan orogastric tube (OGT)

5. Nasal prong atau masker pada CPAP dapat menyebabkan

ketidaknyamanan bayi, yang dapat menyebabkan agitasi dan kesulitan

tidur pada bayi.


22

2.3.4 Perlengkapan CPAP

Sistem CPAP sendiri terdiri dari 3 komponen yaitu:

1. Sebuah sirkuit yang mengalirkan gas terus menerus, untuk diisap.

Sumber oksigen dan udara bertekanan yang menghasilkan gas untuk

dihirup. Pencampur oksigen yang memungkinkan gas dapat diberikan

sesuai FiO2 yang sesuai. Sebuah flow meter yang mengkontrol

kecepatan aliran terus menerus dari gas yang dihirup (biasanya

dipertahankan pada kecepatan 5-7 liter). Sebuah humidifier yang

melembabkan dan menghangatkan gas yang dihirup.

2. Sebuah alat untuk menghubungkan sirkuit ke saluran nafas neonatus.

Dalam prosedur ini, nasal prong merupakan metode yang paling banyak

digunakan.

3. Sebuah alat untuk menghasilkan tekanan positif pada alat sirkuit.

Tekanan positif dalam sirkuit dapat dicapai dengan memasukkan pipa

ekspirasi bagian distal dalam larutan asam asetat 0,25% sampai

kedalaman yang diharapkan (5 cm) atau katup CPAP

Gambar 2.2 Bagian-


23

Suatu sistem CPAP yang baik mempunyai karakteristik sebagai

berikut :

1. Pipanya fleksibel dan ringan sehingga pasien bisa mengubah posisi

dengan mudah

2. Mudah dilepas dan ditempel

3. Resistensinyarendah, sehingga pasien bisa bernafas dengan spontan

4. Relatif tidak invasive

5. Sederhana dan mudah dipahami, oleh semua pemakai

6. Aman dan efektif dari segi biaya. Sirkuit CPAP lengkap harus

dirangkai dan siap digunakan setiap saat. Jika memerlukan CPAP,

seharusnya kita hanya tinggal memnyambungkan CPAP ke nasal

prong yang sesuai dan tepat ukurannya, menyalakan alat pengatur

kehangatan dan mengisi tabung botol outlet dengan air steril.

2.3.5 Penggunaan CPAP

CPAP adalah salah satu alat yang digunakan sebagai tatalaksana

respiratory distres pada neonatus. Seperti penggunaan alat kesehatan lainnya

penggunaan CPAP juga harus memperhatikan standard kebersihan dan keamanan.

Menjaga kebersiha jalan nafas bayi merupakan kunci keberhasilan tatalaksana

paru yang baik. Mencuci tangan yang benar sebelum menyantuh prong atau pipa

CPAP, adalah suatu keharusan. Ujung selalng yang lain yang tidak digunakan

juga harus bersih., dan harus dijauhkan dari lantai atau tempat yang tidak bersih

lainnya. Cara pemasangan CPAP adalah sebagai berikut :


24

1. Tempelkan selang oksigen dan udara ke pencampur dan flow meter,

lalu hubungkan ke alat pengatur kelembapan. Pasang floemeter

antara 5-10 liter

2. Tempelkan satu selang ringan , lemas dan berkerut ke alat pengatur

kelembapan. Hubungkan probe kelembapan, dan suhu ke selang

kerut yang masuk ke bayi. Pastikan probe suhu tetap diluar inkubator

atau tidak di dekat sumber panas dari penghangat.

3. Siapkan satu botol air steril di dekat alat pengatur kelembapan

4. Jaga kebersihan ujung selang.

Untuk menghubungkan sistem ini ke bayi, langkah-langkahnya

adalah sebagai berikut :

1. Posisikan bayi dan naikkan kepala tempat tidur 30 derajat

2. Hisap lendir dari mulut, hidung, dan faring. Pastikan bayi tidak

mengalami atresia choana

3. Letakkan gulungan kain dibawah bahu bayi, sehingga leher bayi

dalam posisi ekstensi untuk menjaga jalan nafas tetap terbuka.

4. Lembabkan prong dengan air steril atau Nacl 0,9% sebelum

memasukkannya kedalam hidung bayi.Masukkan dengan posisi

lengkungan kebawah. Sesuaikan sudut prong dan kemudian

sesuaikan selang kerut dengan posisi yang sesuai.

5. Masukkan pipa Orogastrik (OGT) dan lakukan aspirasi isi perut, kita

boleh membiarkan pipa lambung tetap ditempatnya untuk mencegah

distensi lambung

6. Pergunakan topi untuk menjaga kehangatan bayi


25

7. Setelah bayi nyaman dan stabil dengan CPAP, barulah kita

melakukan fiksasi agar nasal prong tidak bergeser dari tempatnya.

Selama penggunaan CPAP hendaknya kita mengevaluasi tanda vital

bayi , sistem kardiovaskuler ( perfusi sentral, perifer, tekanan darah), respon

neurologis ( tonus otot, kesadaran dan respon terhadap stimulasi), gastrointestinal

( distensi abdomen, visible loops dan bising usus). Hisap lendir harus selalu

dilakukan dari rongga hidung, mulut, faring dan perut setiap 2-4 jam, sesuai

dengan kebutuhan. Meningkatnya upaya nafas, kebutuhan oksigen, dan insiden

apneu atau bradikardi, dapat disebabkan karena adanya lendir berlebih. Untuk

melunakkan konsistemsi lendir dapat digunakan NaCl 0,9%. Selama penggunaan

CPAP kita harus selalu memantau apakah alat selalu berfungsi dengan baik, dan

tidak terjadi perburukan pada kondisi bayi yang mengharuskan kita menghentikan

penggunaan CPAP.

Berikut adalah kondisi-kondisi yang mengindikasikan kegagalan

penggunaan CPAP dan memerlukan ventilasi mekanis :

1. FiO2 > 60 %

2. PaCO2 > 60mmHG

3. Asidosis metabolik menetap dengan defisit basa > -8

4. Terlihat retraksi yang semakin lama semakin meningkat dan

menunjukkan kelelahan pada bayi

5. Sering mengalami apneu dan bradikardia

6. Pernafasan yang irreguler Apabila terjadi kondisi tersebut, maka kita

harus mempertimbangkan untuk melakukan intubasi dan support

ventilasi mekanik.
26

2.4 Kerangka Konseptual

Bayi yang menggunakan CPAP

Diukur saturasi oksigen

Diberikan intervensi dengan memberikan posisi


pronasi selama 4 jam, serta mencatat saturasi
oksigen setiap 1 jam

Diukur saturasi oksigen setelah dilakukan


intervensi

Input Proses Output


- Faktor-faktor yang - Fisiologis - Hasil akhir yang di
menyebabkan posisioning bayi harapkan setlah
penurunan spo2 saat diberikan dilakukan
pada bayi intervensi pronasi posisioning
- Tujuan bayi yang mendukung
mengunakan CPAP peningkatan
saturasi oksigen

Keterangan :

: Diteliti : Tidak diteliti

2.5 Hipotesis
27

Hipotesis penelitian merupakan suatu pernyataan jawaban sementara dari

pertanyaan penelitian dan perlu dilakukan pengujian oleh peneliti. Penelitian ini akan

menggunakan bentuk hipotesis asosiatif yaitu jawaban sementara untuk mencari

hubungan antara dua variable atau lebih (Sugiyono, 2016). Hipotesis penelitian ini yaitu

ada hubungan posisi pronasi terhadap saturasi oksigen bayi yang menggunakan

Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi


BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pre

Eksperimental. Desain Pre eksperimental merupakan salah satu dari macam-

macam desain eksperimen, namun dikatakan belum merupakan desain eksperimen

sesungguhnya karena tidak terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap

terbentuknya variabel dependen. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada variabel

kontrol, dan sampel tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2019).

Rancangan yang dilakukan adalah jenis one group pretest-postest.

Desain ini merupakan desain yang menggambarkan adanya satu kelompok yang

diberikan suatu perlakuan dengan pengambilan penilaian sebelum dan sesudah

perlakuan. Desain ini akan memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan

dengan jenis pre eksperimental lainnya yaitu one shot case study (Sugiyono,

2019) dan nonequevalent control group posttest only design (Polit & Hungler,

1999) karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah

perlakuan.

Tujuan rancangan pre eksperimental dengan one group pretest posttest

adalah untuk melihat perbedaan saturasi oksigen sebelum dan sesudah dilakukan

posisi pronasi. Pertimbangan menggunakan satu kelompok dengan perlakukan

tanpa menggunakan kelompok kontrol dikarenakan bahwa perbedaan status

oksigenasi bayi akan tampak dengan jelas jika dilakukan pada subyek yang sama

yaitu bayi yang menggunakan CPAP yang diobservasi sebelum dan sesudah PP.
29
01 Posisi pronasi 02

Keterangan :

01 = Pretest pada kelompok perlakukan untuk mengetahui kadar saturasi

oksigen sebelum dilakukan intervensi .

02 = Posttest pada kelompok perlakukan untuk mengetahui kadar saturasi

oksigen setelah dilakukan intervensi

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari 2022 di Ruang

Edelweis RSUD Ngudi Waluyo Wlingi.

3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah semua subjek yang diteliti oleh peneliti

(Notoatmodjo, 2012). Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh bayi yang

menggunakan CPAP di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi pada Bulan Januari 2022.

3.3.2 Besar Sampel

Sampel diperoleh dari populasi berdasarkan bayi yang menggunakan

CPAP di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, karena sampel didefinisikan sebagai

bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi (Soegiyono, 2018).

Peneliti membuat perhitungan besar sampel minimal berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan sebelumnya. Penelitian Rialp (2001) yang membandingkan posisi

pasien ARDS, didapatkan rata-rata tingkat saturasi oksigen (SaO2) pada

kelompok yang dilakukan posisi pronasi sebesar 99% dengan standar deviasi 7%.

Perhitungan besar sampel minimal berdasarkan hasil perhitungan menggunakan

uji penduga perbedaan antara dua rata-rata berpasangan dengan derajat


30

kemaknaan 5%, kekuatan uji 90% dan uji hipotesis satu sisi (Ariawan, 1998)

yaitu:

Keterangan:

n = Besar sampel minimal

d = presisi/penduga (5%)

= nilai Z pada derajat kemaknaan 1,96 bila

σ = Standar deviasi (7 % = nilai saturasi oksigen pasien ARDS

dilakukan posisi pronasi).

Jadi berdasarkan perhitungan sampel tesebut diatas, sampel yang dibutuhkan

adalah 15 pasien. Untuk mencegah kejadian drop out maka perhitungan besar

sampel ditambah 10%, jadi total sampel 17 orang.

3.3.3 Teknik Sampling

Sampling merupakan proses menyeleksi porsi dari populasi untuk

dapat mewakili populasi (Nursalam, 2017). Teknik sampling yang digunakan

dalam penelitian ini adalah purposive sampling dimana peneliti telah menentukan

kriteria inklusi dan ekslusi pada sampel berdasarkan hasil pertimbangan peneliti

sesuai studi pendahuluan dan literature. Penentuan kriteria sampel sangat

membantu peneliti untuk mengurangi bias hasil penelitian, khususnya jika

terhadap variabel pengontrol/perancu yang ternyata mempunyai pengaruh

terhadap variabel yang kita teliti. Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi dua

bagian yaitu kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi

sampel penelitian ini pada table 3.1


31

Tabel 3. 1. Kriteria inklusi & eksklusi sampel penelitian


No. Kriteria Sampel Penelitian

1 Kriteria Inklusi a. Bayi yang tidak ada kontraindikasi PP (berdasarkan


hasil pemeriksaan oleh DPJP)
2 Kriteria Eksklusi a. Bayi yang menunjukkan perburukan status
oksigenasi
b. Bayi premature karena organ paru-paru yang belum
matang.
c. Bayi dengan kelainan jantung bawaan dari lahir
3.4 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah batasan yang dibuat oleh peneliti pada ruang lingkup

variabel-variabel yang diteliti atau diamati agar variabel penelitian dapat diukur dengan

instrumen penelitian dan pengumpulan variabel dapat konsisten dengan sumber data dari

satu responden ke responden lainnya (Notoatmodjo, 2012). Definisi operasional pada

variabel dalam penelitian ini pada tabel 3.2

N Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Penilaian


o Operasional
1. Posisi Menelungkupkan Posisi pronasi
pronasi bayi pada posisi sesuai dengan
lutut fIeksi prosedur
dibawah
abdomen selama
4 jam

2 Saturasi Kadar saturasi Persen (%) Alat pengukur Skala Rasio


oksigen oksigen pada bayi saturasi
yang menggunakan oksigen
CPAP sebelum dan (oximetri)
setelah dilakukan
PP dengan pulse
oximetry.
3.4.1 Variabel Penelitian

3.4.2.1 Variabel Independend

Variabel independent (bebas) merupakan variabel yang menjadi sebab

perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel ini juga dikenal

dengan nama variabel bebas artinya bebas dalam mempengaruhi variabel lain

(Nursalam, 2017). Variabel independent (bebas) dalam penelitian ini adalah posisi

pronasi (PP).

3.4.2.2 Variabel Dependent

Variabel Dependent (terikat) merupakan variabel yang dipengaruhi atau

menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini tergantung dari variabel bebas

terhadap perubahan (Nursalam, 2017). Variabel Dependent (terikat) dalam

penelitian ini adalah saturasi oksigen.

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Prosedur administrative

Penelitian ini akan dilakukan setelah ada persetujuan pembimbing, lulus uji etik

penelitian dan mendapat izin dari Direktur RSUD Ngudi Waluyo Wlingi. Setelah

mendapat izin dari Direktur RS, maka peneliti juga akan memohon izin dan

menyampaikan tentang penelitian yang akan diteliti kepada Kepala Bidang Keperawatan.

3.5.2 Prosedur teknis

1) Peneliti mengajukan permohonan izin ke RSUD Ngudi Waluyo Wlingi

dengan membawa surat rekomendasi atau pengantar dari STIKES PATRIA

HUSADA BLITAR.
2) Mendapatkan persetujuan dari RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, peneliti akan

meminta ijin kepada kepala Ruang Edelweis. Peneliti menjelaskan terlebih

dahulu mengenai etika atau ketentuan dalam penelitian, waktu, tujuan dan

manfaat, dan prosedur penelitian kepada kepala Ruang Edelweis.

3) Peneliti kemudian akan meminta ijin kepada orangtua/ wali bayi untuk

meminta ijin melakukan penelitian serta menjelaskan waktu, tujuan dan

manfaat, dan prosedur penelitian.

4) Mendapatkan ijin peneliti akan melakukan pemilihan sampel berdasarkan dari

kriteria inklusi yang telah ditentukan.

5) Peneliti melakukan proses pengumpulan data dengan melakukan tindakan

sesuai dengan intervensi dan melakukan pengamatan sebelum dan sesudah

dilakukan tindakan posisi pronasi selama 4 jam

6) Melakukan pemeriksaan kelengkapan data dan melakukan analisa data.

7) Dari hasil analisa tersebut peneliti dapat mengambil kesimpulan dan membuat

laporan penelitian
3.6 Kerangka Kerja Penelitian

Populasi:
Seluruh bayi yang menggunakan CPAP di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi pada Bulan
Januari 2022.

Purposive sampling

Sampel: Bayi yang menggunakan CPAP di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi pada
sejumlah 15 di bulan Januari 2022

Pengumpulan data dengan mencatat variable sebelum dan sesudah


dilakukan intervensi

Tabulasi data

Analisis menggunakan SPSS 16 (Paired T Test dan


Wilcoxon)

Penyajian Hasil Penelitian

Kesimpulan
3.7 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang dipakai dalam penelitian

dalam mengumpulkan data (Notoatmodjo, 2012).

a. Instrumen Posisi Pronasi (PP)

Pengukuran Posisi pronasi (PP) dilakukan sesuai dengan standart

operasional procedure dengan di mencatat di lembar catatan.

b. Instrumen saturasi oksigen

Instrumen saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan alat

oksimetri kemudian hasil akan di catat di lembar observasi,

pencatatan saturasi oksigen dilakukan setiap 2 jam.

3.8 Metode Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data merupakan kegiatan yang dilakukan setelah data

terkumpul di mana data yang masih mentah (raw data) akan diolah

sedemikian rupa menjadi informasi yang dapat digunakan untuk menjawab

tujuan penelitian (Riyanto, 2011).

Adapun tahapan mengolah data (Riyanto, 2011), yaitu :

a. Editing

Merupakan kegiatan di mana peneliti melakukan pengecekan kembali

pada kuesioner yang telah diisi, apakah lengkap, jelas, jawaban relevan

dengan pertanyaan dan konsisten. Pengecekan akan dilakukan langsung di

tempat penelitian.

b. Coding
Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi bentuk

angka untuk mempermudah saat analisis data dan saat entry data. Dalam

penelitian ini, coding diberikan berdasarkan masing-masing variabel. Pada

variabel usia tidak dicoding karena hasil pengukuran dalam bentuk numerik.

Sedangkan untuk variabel-variabel lain yang merupakan variabel kategorik

diberikan kode sesuai dengan nomor penentuan hasil ukurnya.

c. Processing/Entry Data

Merupakan kegiatan di mana peneliti memasukkan data dari kuesioner

yang telah dicoding ke dalam program komputer, dengan menggunakan

program statistik komputer.

d. Cleaning

Merupakan kegiatan di mana peneliti mengecek kembali data yang sudah

dientry apakah ada kesalahan atau tidak.

3.8.1 Analisis Data

Setelah data dikumpulkan dan diolah, langkah selanjutnya adalah

menganalisa data. Tujuan analisa data antara lain: mendapat gambaran dari

hasil penelitian sesuai tujuan penelitian, membuktikan hipotesis-hipotesis

penelitian yang telah dibuat, dan memperoleh kesimpulan secara umum dari

penelitian yang berkontribusi terhadap pengembangan ilmu terkait

(Notoatmodjo, 2012). Data yang telah diolah dalam penelitian ini,

selanjutnya akan dianalisis secara bertahap yang meliputi: analisis univariat

dan bivariat

3.8.1.1 Analisis Univariat


Analisis univariat (deskriptif) adalah analisis yang menggambarkan

dan bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik

dari setiap variabel penelitian, dan tergantung dari jenis datanya

(Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini analisis univariat dengan

penerapan posisi pronasi dan saturasi oksigen. Adapun pengolahan dan

analisa data akan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak

komputer untuk statistik.

3.8.1.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua

variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi, dan merupakan lanjutan

dari analisis univariat (Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian variabel numerik

analisis bivariat dengan menggunakan uji Paired T Test dan Wilcoxon untuk

menganalisis hubungan posisi pronasi terhadap saturasi oksigen bayi yang

menggunakan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) di RSUD

Ngudi Waluyo Wlingi.

Pada analisis bivariat dilakukan 3 tahap yaitu: membandingkan

distribusi silangan antara dua variabel yang dihubungkan, menyimpulkan

dasil uji statistik apakah antara dua variabel yang diuji terdapat hubungan

bermakna atau tidak, dan menentukan kekuatan atau keeratan hubungan

antara dua variabel yang berhubungan tersebut yang diketahui dari nilai Odd

Ratio (OR) (Notoatmodjo, 2012). Adapun analisis data yang akan dilakukan

menggunakan interval kepercayaan 95% (α=5%) nilai α = 0,05. Jika p value

≤α(0,05), maka H0 ditolak, artinya ada hubungan antara variabel independen

dan dependen. Dan bila p value > α (0,05), maka H0 gagal ditolak atau H0
diterima, artinya tidak ada hubungan antara variabel independen dan

dependen (Riyanto, 2011).

3.9 Etika Penelitian

Penelitian kesehatan termasuk keperawatan merupakan penelitian

yang umumnya menggunakan subjek penelitian berupa manusia. Untuk itu,

penerapan prinsip-prinsip etik dibutuhkan selama kegiatan penelitian mulai

dari proposal hingga hasil penelitian dipublikasikan. Hal ini juga mengingat

adanya hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pihak

terutama subjek penelitian. Terdapat empat prinsip dasar yang harus

diperhatikan dan diterapkan dalam proses penelitian ini meliputi (Sugiyono,

2016):

1. Menghargai Harkat dan Martabat Manusia

Pada menghargai harkat dan martabat (respect for human dignity)

manusia ini, peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian.

Subjek penelitian juga diberikan kebebasan untuk mengikuti penelitian atau

mengundurkan diri untuk berpatisipasi dalam penelitian. Peneliti akan

membuat lembar penjelasan dan persetujuan subjek penelitian (Informed

consent) yang berisi penjelasan tentang: manfaat penelitian, kemungkinan

risiko dan manfaat yang dapat timbul, jaminan kerahasiaan dari setiap

informasi yang diberikan oleh subjek penelitian selama penelitian,

persetujuan mengikuti penelitian atau mengundurkan diri kapan saja dari

penelitian, dan persetujuan untuk menjawab setiap pertanyaan dalam

penelitian. Dalam hal ini subjek penelitian diwakili oleh orang tua atau wali

sah dari pasien.


2. Menghormati Kerahasiaan pribadi Subjek Penelitian

Setiap orang berhak atas kerahasiaan (privacy) dari setiap informasi

yang diberikan sehingga perlu dijaga kerahasiaan identitas subjek terkait

informasi yang diberikan. Peneliti akan menggunakan coding sebagai

pengganti identitas subjek penelitian.

3. Keterbukaan dan Keadilan bagi Setiap Subjek Penelitian

Pada prinsip ini, keterbukaan terhadap subjek penelitian yaitu

dengan memberikan penjelasan terkait prosedur penelitian. Sedangkan

prinsip keadilan (Justice) yaitu dengan menjamin bahwa setiap subjek

penelitian akan memperoleh perlakuan atau keuntungan yang sama dari

proses penelitian.

4. Mempertimbangkan Manfaat dan Kerugian yang Ditimbulkan

Pada prinsip ini, peneliti harus berusaha meminimalkan dampak negatif

dari penelitian serta memaksimalkan adanya manfaat dari penelitian terhadap

masyarakat pada umumnya dan subjek penelitian pada khususnya.

Anda mungkin juga menyukai