Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH
Mata Kuliah Perbandingan Administrasi Negara

ANALISIS PERBANDINGAN ADMINISTRASI NEGARA TERKAIT E-


GOVERNMENT DALAM KEBIJAKAN KARTU IDENTITAS PENDUDUK
(STUDI PADA NEGARA INDONESIA DAN THAILAND)

Disusun Oleh:
Kelompok 3

Afni Anisah (1906360030)


Auliya Syifa Nurlaili (1906405464)
Bagus Hadi Rafianto (1906406233)
Luthfi Muzaffar A. (1906406334)
Muhammad Ibnu Hakim (1906405602)

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
DEPOK
2022
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Pengertian Perbandingan Administrasi Negara
2.2 Kerangka Perbandingan Administrasi Negara
2.2.1 Driven Customer
2.2.2 Citizen as Consumer
2.2.3 Public-Private Cooperation
2.3 Definisi E-Government
2.4 Kerangka Pemikiran
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum Perbandingan Indonesia dan Thailand
3.2 Perbandingan Kondisi E-Government di Indonesia dan Thailand
3.3 Perbandingan Kebijakan Kartu Identitas Penduduk
3.4 Analisis Kerangka Public Administration and Civil Society
3.4.1 Customer Driven
3.4.2 Citizen as Consumer 10
3.4.3 Public-Private Cooperation 11
BAB IV 13
PENUTUP 13
4.1 Kesimpulan 13
4.2 Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tingginya arus globalisasi dan perkembangan informasi menyebabkan negara-
negara di dunia meningkatkan kapasitas dan kesiapannya agar mampu beradaptasi. Salah
satunya adalah negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
termasuk diantaranya Indonesia dan Thailand menyepakati suatu rencana aksi global yang
disebut sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) dengan 17 tujuan pembangunan
berkelanjutan (Prihanto, 2013). Dalam rangka mendukung pencapaian SDGs tersebut
berbagai negara berupaya mengembangkan sektor infrastruktur, transportasi, dan
telekomunikasinya yang merupakan faktor-faktor utama dalam globalisasi. Globalisasi
juga memengaruhi bidang pemerintahan yang ditandai dengan semakin banyaknya
kegiatan pelayanan publik yang memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK) sebagai solusi bagi permasalahan pelayanan publik. Investasi pemerintah pada
sistem informasi dan komunikasi umumnya diasosiasikan dengan transformasi organisasi
yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kebijakan termasuk
pelayanan publik (Cordella dan Tempini, 2015). Bentuk pemanfaatan dari perkembangan
TIK dalam sektor pemerintahan disebut sebagai e-government yang didalamnya terdapat
berbagai macam bentuk program seperti dalam hal kesehatan (e-medicine, e-laboratory),
pendidikan (e-learning, e-education), dan pelayanan publik (e-KTP) (Widianti, 2016).
Homburg (2004) mendefinisikan e-government secara luas sebagai penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi oleh organisasi publik untuk mendukung atau mendefinisikan
kembali bentuk hubungan dengan stakeholders lingkungan internal maupun eksternal
untuk menciptakan added value. Lebih lanjut, Homburg juga menyebutkan bahwa
penerapan e-government memiliki objektif untuk penyampaian layanan pemerintah yang
lebih baik kepada masyarakat, meningkatkan kualitas interaksi dengan sektor privat,
pemberdayaan masyarakat melalui akses informasi, atau peningkatan efisiensi pemerintah
secara umum.
Untuk mengidentifikasi kekuatan dan tantangan suatu negara dalam
mengembangkan implementasi sistem e-government, PBB melakukan survei dengan topik
Digital Government in the Decade of Action for Sustainable Development bagi negara-
negara Anggota PBB. Survei yang dipublikasikan setiap dua tahun ini memberi peringkat
untuk 193 negara anggota PBB (Kominfo, 2020). Menurut data UN E-Government Survey
2020, pada tahun 2020 Indonesia mengalami peningkatan dalam peringkat pelaksanaan e-

1
government. Indonesia naik 16 peringkat menjadi peringkat ke-88 dari 193 negara. Hal ini
cukup baik mengingat pada tahun 2018, Indonesia berada pada peringkat 107 dan pada
tahun 2016, Indonesia berada pada peringkat 116. Secara keseluruhan, Indonesia mencetak
skor 0.6612 di dalam grup High E-Government Development Index (EGDI) sehingga
berhasil menempatkan Indonesia pada 100 besar peringkat dunia. Namun, dibandingkan
dengan negara lain di ASEAN, Indonesia masih tertinggal pada peringkat ke-7 ASEAN.
Salah satu negara di atas Indonesia adalah Thailand yang menempati peringkat ke-3
ASEAN. Thailand mengalami peningkatan yang cukup drastis dalam UN E-Government
Survey 2020 dari posisi 73 di tahun 2018 ke posisi 57 di tahun 2020 dengan skor sebesar
0.7565 EGDI (United Nations, 2020). Mengingat kemiripan kedua negara berkembang di
ASEAN ini, perbedaan kecepatan kemajuan sistem e-government kedua negara menarik
untuk dianalisis.
Pada tahun 2022, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri
berencana melakukan pengembangan e-government dalam kemudahan pelayanan publik
melalui rencana diluncurkannya e-KTP digital yang telah memasuki tahap uji coba
(Damayanti, 2022). Mengingat salah satu urgensi peningkatan efektivitas dan efisiensi
proses birokrasi pada sektor publik terkait dengan proses administratif. Proses administratif
pelayanan publik umumnya membutuhkan identifikasi penduduk melalui kartu identitas
penduduk. Serupa dengan Indonesia, Thailand telah lebih dahulu melakukan reformasi
kartu identitas penduduknya untuk mendukung kemudahan akses pelayanan publiknya.
Kedua peristiwa ini dapat dikaji dengan perbandingan administrasi negara. Berdasarkan
pendapat Homburg (2004) bahwa inisiatif e-government berakar dari pemikiran ulang
bentuk interaksi antara pemerintah dan masyarakat, maka pengkajian langkah transformasi
serupa kedua negara tersebut dapat dilakukan dalam kerangka perspektif hubungan
administrasi publik dengan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perbandingan pelaksanaan e-government Indonesia dengan Thailand?
2. Bagaimana perbandingan administrasi negara antara Indonesia dan Thailand dalam
transformasi kebijakan kartu identitas penduduk sebagai implementasi e-
government?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perbandingan pelaksanaan e-government Indonesia dengan
Thailand

2
2. Untuk mengetahui perbandingan administrasi negara antara Indonesia dan Thailand
dalam kebijakan transformasi kartu identitas penduduk sebagai implementasi e-
government

3
BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Pengertian Perbandingan Administrasi Negara


Perbandingan ilmu administrasi negara adalah suatu ilmu yang membahas terkait
dengan sistem pelayanan dan penyelenggaraan negara melalui pendekatan perbandingan
yang memiliki tujuan untuk melakukan perbandingan terhadap berbagai pandangan yang
ada terkait dengan pola-pola administrasi. Pemahaman terkait dengan perbandingan
administrasi negara dapat didefinisikan sebagai pendekatan perbandingan terhadap
berbagai aliran, perbedaan antar kebudayaan, serta perbedaan antara masa waktu. Dalam
konteks perbandingan administrasi negara, dilakukan juga analisa terhadap perbandingan
dari setiap institusi dalam menyelenggarakan urusan bernegara dan perbedaan unsur-unsur
budaya yang terdapat dalam suatu proses administrasi, yang mana pada konteksnya
tersebut berada dua negara atau lebih yang memiliki perbedaan pada lingkungan
kebudayaannya (Anggara, 2012).

2.2 Kerangka Perbandingan Administrasi Negara


2.2.1 Customer Driven
Konsep ini memiliki konteks bahasan tentang warga negara yang bertindak sebagai
konsumen di pasar yang memiliki hak untuk memilih pelayanan publik yang ada serta
melalui sistem tersebut diharapkan akan tersedianya banyak ide yang dapat dipergunakan
oleh para penyedia layanan publik untuk mampu melakukan peningkatan terhadap kualitas
pelayanan atau produk yang dihasilkannya (Osborne & Gaebler dalam Pierre, 1995). Pada
konsep ini, pilihan yang dipilih serta puas atau tidaknya para pengguna layanan menjadi
tolak ukur untuk menentukan pengalokasian dari sumber daya serta sebagai indikator dari
pelayanan publik yang berkualitas dan memiliki daya saing di dalamnya (Pierre, 1995).

2.2.2 Citizen as Consumer


Konsep ini memberikan pandangan bahwasanya sebagai konsumen di suatu pasar,
warga negara memiliki hak untuk memilih berbagai pelayanan yang tersedia dengan
masing-masing naungan yang berbeda (Pierre, 1995). Konsep ini memiliki keterkaitan
dengan konsep customer driven yang berpandangan bahwa warga negara sebagai penentu
dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik yang tersedia. Pemerintah dalam hal ini
memberikan pelayanan terhadap warga negaranya layaknya seorang pelanggan yang
mempunyai kepentingan serta antara pemerintah dan warga saling membutuhkan akan

4
perannya masing-masing.

2.2.3 Public-Private Cooperation


Konsep ini menjelaskan bahwa adanya kemungkinan bagi pengguna layanan publik
untuk dapat terlibat pada sistem penyediaan layanan yang dilakukan sebelumnya melalui
kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta. Melalui sistem ini, penyediaan layanan
akan memiliki tarif yang lebih terjangkau dan mampu merespon apa yang menjadi
kebutuhan dari para pelanggannya (Pierre, 1995). Pada konsep ini juga menekankan pada
prinsip akuntabilitas dalam menjalankan sistemnya sehingga pelayanan dapat secara efektif
dan efisien ketika diberikan.

2.3 Definisi E-Government


Definisi terkait konsep e-government yang dikemukakan oleh World Bank menjadi
salah satu yang paling banyak dirujuk. World Bank mendefinisikan e-government sebagai
suatu konsep yang mengacu pada pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK) oleh lembaga atau instansi pemerintah untuk menjalankan birokrasi dan
memperbaiki pola hubungan yang terjalin antara pemerintah dengan para stakeholders,
seperti masyarakat, sektor privat, dan perangkat pemerintah lainnya, guna meningkatkan
kualitas pelayanan publik, transparansi, akuntabilitas, efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan, dan pemberdayaan masyarakat (Diskominfo Kabupaten Solo, 2017). Selain
untuk mengubah pola hubungan, World Bank lebih lanjut mendefinisikan e-government
sebagai suatu upaya untuk mentransformasikan pelayanan ke arah yang lebih baik dari
pemerintah kepada masyarakat, sektor privat, dan perangkat pemerintah lainnya melalui
pemanfaatan teknologi informasi, seperti Wide Area Network, Internet, dan Mobile
Computing (Mariano, 2018).
2.4 Kerangka Pemikiran
Melalui kerangka perbandingan administrasi negara, penulis menetapkan area
analisis pada studi komparasi kebijakan transformasi kartu identitas penduduk di Indonesia
dan Thailand. Dalam melakukan analisis tersebut, penulis melihat dari perspektif hubungan
administrasi negara dengan masyarakat sipil (public administration and civil society/ pa-
cs) dengan memperhatikan konteks umum kedua negara seperti budaya yang
memengaruhi, bentuk pemerintahan, kebijakan terdahulu, dan lain-lain yang terkait dengan
area analisis.

5
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum Perbandingan Indonesia dan Thailand
Indonesia dan Thailand memiliki kesamaan dalam hal bentuk negara, yaitu
keduanya merupakan negara kesatuan. Namun, keduanya juga memiliki beberapa
perbedaan, yaitu berkaitan dengan bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahannya.
Indonesia menganut bentuk pemerintahan republik dan sistem pemerintahan demokrasi
presidensial. Dinamika sistem pemerintahan di Indonesia memang terjadi seiring
berjalannya waktu. Indonesia dulunya pernah menganut sistem parlementer di era
demokrasi liberal. Namun, setelah berakhirnya masa orde baru dan adanya amandemen
UUD 1945, sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial dengan kekuasaan
pemerintahan terpusat hanya pada presiden. Artinya, presiden berperan sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan, serta bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat
(Sunarso, 2012).
Berbeda dengan Indonesia, Thailand menganut bentuk pemerintahan monarki
konstitusional dan sistem pemerintahan demokrasi parlementer. Sistem pemerintahan
monarki konstitusional di Thailand secara resmi diterapkan pada tahun 1932 yang ditandai
oleh konstitusi sementara, yaitu "Temporary Charter for the Administration of Siam Act”.
Sebelumnya, Thailand menganut monarki absolut selama 800 tahun yang mana
kewenangan dan kekuasaan raja tidak terbatas (Rusdi, 2020). Sementara itu, monarki
konstitusional lebih membatasi kekuasaan raja yang harus sesuai dengan konstitusi. Di sisi
lain, sistem parlementer di Thailand menandakan adanya kekuasaan yang menyebar
(diffusion of power). (Sunarso, 2012).
Ketika membahas mengenai sistem pemerintahan maka pembagian kekuasaan
merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini, kedua negara menerapkan
konsep trias politica yang mana kekuasaan negara terbagi atas legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Pembagian kekuasaan di Indonesia terkandung dalam UUD 1945. Legislatif
terdiri dari MPR, DPR dan DPD. Eksekutif meliputi Presiden, Wakil Presiden, dan
kabinet-kabinetnya. Yudikatif berhubungan dengan peradilan yang meliputi MA dan MK
(Yulistyowati, Pujiastuti, & Mulyani, 2016). Sementara itu, Thailand yang menganut
sistem parlementer tentunya memiliki perbedaan dalam penerapan trias politica, Legislatif
atau Parlemen di Thailand menggunakan sistem dua kamar, yang terdiri dari Dewan
Perwakilan (House of Representatives) atau disebut Sapha Phuthaen Ratsadon, serta senat
atau disebut Wuthisapha. Eksekutif terdiri atas Raja sebagai kepala negara dan Perdana

6
Menteri sebagai kepala pemerintahan. Yudikatif meliputi Pengadilan Negeri, MK, dan
PTUN (Sumaher, 2021).
Berkaitan dengan prinsip demokrasi yang dianut oleh kedua negara maka masing-
masing juga melaksanakan Pemilu. Indonesia melaksanakan Pemilu sejak tahun 2004 yang
meliputi pemilihan lembaga legislatif, presiden, dan wakil presiden. Pemilu di Indonesia
dilaksanakan lima tahun sekali sesuai amanat UUD 1945 (Setyaningrum, 2022). Adapun
juga Pilkada untuk memilih pemimpin di wilayah administratif. Sementara itu, Thailand
melaksanakan Pemilu sejak tahun 1993. Pemilu Thailand meliputi pemilihan Dewan
Perwakilan, Senat, Majelis Nasional, termasuk juga Administrasi Lokal, Pemerintahan
Bangkok, dan Referendum Nasional. Umumnya pemilihan umum di Thailand dilakukan 4
tahun sekali, tetapi karena kondisi politik yang kurang stabil yang juga menyebabkan
sering terjadinya kudeta militer, maka tidak ada jangka waktu yang pasti mengenai
pelaksanaan Pemilu di Thailand (Kokpol, 2001).

3.2 Perbandingan Kondisi E-Government di Indonesia dan Thailand


E-government pertama kali diterapkan di Indonesia pada tahun 2003 melalui Inpres
No. 3 Tahun 2003. Adanya era reformasi mengharuskan negara untuk menjunjung tinggi
nilai transparansi dan akuntabilitas. Salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut
adalah melalui pemanfaatan e-government yang dapat memudahkan masyarakat untuk
mengakses informasi secara luas (Sari & Winarno, 2012). Keberadaan e-government
semakin kuat setelah adanya Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional
(DeTIKNas) pada tahun 2006. Meskipun begitu, penerapan e-government pada masa itu
hanya terbatas pada komputerisasi dan pengembangan Sistem Informasi Manajemen
berbasis komputer (Nurhakim, 2014). Alhasil pelaksanaan e-government masih belum
optimal. Masalah e-government utama yang sering terjadi adalah tumpang tindih aplikasi
antara instansi pemerintahan yang menyebabkan terjadinya pemborosan anggaran
(Rizkinaswara, 2020). Selain itu, menurut Kominfo tahun 2018, terdapat 2700 data center
di 630 instansi pusat dan daerah. Artinya, setiap instansi pusat atau daerah memiliki 4 data
center yang mana menciptakan duplikasi anggaran dan disintegrasi data pemerintah
(Khadafi, 2020).
Dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan, khususnya dalam pemanfaatan e-
government dibuatlah Perpres No.95/2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik (SPBE). Penerapan SPBE merupakan langkah penguatan dalam pemanfaatan e-
government yang tidak hanya menekankan pada penggunaan aplikasi dan teknologi, tetapi

7
juga membangun sistem yang terintegrasi. SPBE memegang prinsip efektivitas,
keterpaduan, kesinambungan, efisiensi, akuntabilitas, interoperabilitas, dan keamanan.
Selanjutnya, untuk meningkatkan keterpaduan dalam pelaksanaan SPBE dibentuklah Tim
Koordinasi SPBE Nasional yang langsung bertanggung jawab pada Presiden. Tim
Koordinasi ini terdiri dari Menpan RB, Mendagri, Menkeu, Menkominfo, Bappenas,
Kepala BSSN, dan Kepala BPPT. Kemudian, setiap tahun akan dilaksanakan evaluasi yang
digunakan untuk mengukur pelaksanaan SPBE pada instansi pusat dan daerah
(Rizkinaswara, 2020).
Berbeda dengan Indonesia, isu terkait dengan pemanfaatan e-government di
Thailand lebih dulu ada sejak tahun 1990an. Thailand melihat Teknologi dan Informasi
(TIK) sebagai suatu hal yang potensial bagi kemajuan pembangunan dan penguatan daya
saing. Pada tahun 1992, Thailand membentuk Komite TI Nasional (NITC) yang
merupakan badan kebijakan tingkat tinggi dan diketuai oleh Perdana Menteri. Anggotanya
terdiri dari eksekutif dari sektor publik dan swasta yang relevan. Mandat NITC adalah
untuk mengembangkan kebijakan dan rencana untuk mempromosikan pengembangan dan
pemanfaatan TIK. Sementara itu, terdapat juga The National Electronics and Computer
Technology Center (NECTEC) yang merupakan lembaga pemerintah semi otonom yang
dibentuk untuk mendukung tugas dari komite tersebut (Sagarik et al., 2018)
Pada tahun 1996, e-government secara resmi mulai diterapkan melalui kebijakan
“IT 2000”. IT 2000 berusaha untuk membangun infrastruktur digital yang koheren,
termasuk inisiatif seperti Government Information Network untuk memfasilitasi
komunikasi intra dan antar-lembaga dan berbagi informasi. Selanjutnya, kebijakan kedua
adalah “IT 2010” yang disahkan pada tahun 2001. IT 2010 menekankan pada strategi 5E,
yaitu e-Government, e-Industry, e-Commerce, e-Education, dan e-Society. Kebijakan IT
2010 membawa perluasan 'tulang punggung' dalam hal peningkatan kuantitas dan kualitas
teknologi baru di seluruh daerah Thailand, seperti perluasan investasi broadband dan
peningkatan jumlah penduduk dengan akses dan penggunaan TIK. (Thuvasethakul, 2002).
Dalam menyempurnakan e-government serta mencapai “negara cerdas”, Thailand
meluncurkan “IT 2020” pada tahun 2011. Kebijakan tersebut juga memiliki nama lain,
yaitu Smart Thailand 2020. Fokus dari kebijakan ini adalah mengintegrasikan sistem TIK
pada sektor publik. Sama halnya seperti Indonesia sebelum diterapkannya SPBE,
penerapan e-government di Thailand juga masih terpisah-pisah pada masing-masing
lembaga. Oleh karena itu, perlu adanya sistem yang dapat mengintegrasikan akses dan data
di seluruh sektor publik. Dalam melaksanakan hal tersebut maka dibentuklah Electronic

8
Government Agency. Kedudukan Electronic Government Agency berada langsung di
bawah pengawasan Kementerian Ekonomi dan Masyarakat Digital (Sagarik et al., 2018).
3.3 Perbandingan Kebijakan Kartu Identitas Penduduk
Aturan untuk penyelenggaraan e-government di Indonesia adalah dengan adanya
Inpres Nomor 3 tahun 2003 tentang Elektronik Government yang menyatakan bahwa
“pengembangan e-government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan
pemerintahan yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik
secara efektif dan efisien”. Khususnya dalam implementasi e-government pelayanan
publik, pemerintah mewujudkan Elektronik Kartu Tanda Penduduk atau E-KTP yang
berbasis pada penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK). E-KTP ini merupakan
salah satu program nasional yang wajib diselenggarakan oleh seluruh pemerintahan di
setiap daerah. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 Pasal 1 (15), menjelaskan E-KTP
sebagai “Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi chip yang merupakan identitas resmi
penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana”. Penyelenggaraan
kebijakan e-KTP tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menciptakan pelayanan
publik yang berkualitas serta untuk mendapatkan hasil data kependudukan yang tepat dan
akurat.
Sementara, pemerintah Thailand mengatur penyelenggaraan e-government dalam
Digitalization of Public Administration and Services Delivery Act, B.E. 2562 (2019).
Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa “Digital Government” merupakan penggunaan
teknologi digital sebagai alat manajemen. Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa untuk
meningkatkan pengelolaan dan integrasi informasi serta kerja pemerintah, perlu adanya
konsistensi dan keamanan, serta tata pemerintahan yang baik (Open Development
Thailand, n.d). Pada tahun 2021, Pemerintah Thailand mencanangkan akan menghapus
kartu identitas fisik dan mengganti dengan sistem ID Digital. Hal tersebut dimulai dengan
pengerjaan usulan rancangan baru Keputusan Kerajaan tentang Pengaturan Platform
Digital yang diberlakukan di bawah Undang-Undang Transaksi Elektronik BE 2544 (2001)
melalui kerja sama dengan Electronic Transactions Development Agency (ETDA)
(McKenzie, 2021).
3.4 Analisis Kerangka Public Administration and Civil Society
3.4.1 Customer Driven
Mirchandani, Johnson & Joshi (2008) memandang e-government sebagai komitmen
dan inisiatif pemerintah untuk meningkatkan hubungannya dengan masyarakat dan sektor
bisnis melalui penyampaian pelayanan, informasi dan pengetahuan yang lebih baik, cost-

9
effective, dan efisien menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Sagarik et. al.
(2018) menjabarkan beberapa konteks penting dalam pengembangan e-governance di
Thailand. Salah satunya, konteks sosio-kultural di mana fokus pengembangan e-
government 4.0 Thailand pada kesejahteraan sosial dan citizen-centrism berkembang akibat
nilai-nilai Buddha Thailand yang menekankan tidak memperbolehkan menyebabkan
penderitaan kepada orang lain. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu dari empat aspek
utama yang ditetapkan dalam 3-year Digital Government Development Plan adalah
pembentukan Citizen-Centric Services, yang bertujuan menyediakan pelayanan
berdasarkan kebutuhan individu masyarakat (Sagarik et. al, 2018).
Salah satu inovasi e-government yang dibuat oleh Pemerintah Thailand untuk
memudahkan pelayanan masyarakat adalah smart id card. Dimulai dari impian Thaksin
Shinawatra, PM Thailand yang ingin menciptakan sistem e-Citizen, dimana semua
penduduk akan memiliki smart card yang memuat biografi individu dan memudahkan
proses administrasi secara efektif dan transparan (Lorsuwannarat, 2006). Kemudian,
gagasan tersebut diwujudkan pada tahun 2004 dengan proyek smart ID card untuk
menggantikan kartu identitas yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik, efisiensi, mengurangi pemborosan investasi publik melalui satu kartu pintar yang
dapat mengakses seluruh layanan publik dan memfasilitasi transaksi elektronik
(Kitiyadisai, 2004). Berbeda dengan smart card di negara maju yang menjadi opsional,
Smart ID Card di Thailand wajib dimiliki seluruh penduduk Thailand dalam kurun waktu
tiga tahun setelah peluncurannya (Krairit, Choomongkol & Krairit, 2004). Hal ini cukup
bertentangan dengan nilai citizen driven dimana warga negara memiliki kehendaknya
sendiri bahkan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Bahkan keterlibatan dan pengetahuan masyarakat akan proyek ini sangat minim,
detail proyek tidak diinformasikan kepada publik dan langsung pada peluncuran, sehingga
tidak ada penolakan dari masyarakat dan media pada awalnya (Gunawong dan Gao, 2010).
Dari perspektif citizen driven, Kitiyadisai (2004) juga menyebutkan bahwa smart ID card
ini akan menyebabkan kelompok minoritas dan marjinal seperti penduduk adat, pekerja
asing, illiterate citizen sulit menjangkau pelayanan sosial dan membuat mereka semakin
sulit memiliki identitas. Dalam sebuah kajian yang membahas perspektif Buddha terkait
proyek smart ID card ini, proyek ini dianggap tidak memenuhi ‘Ten Duties of Kingship’
(dalam hal ini ‘king’ berarti anggota kabinet, menteri, dan pejabat administrasi) dalam
ajaran Buddha untuk kesejahteraan rakyat (Kitiyadisai, 2004). Belajar dari pengalaman
tersebut, pada tahun 2018 Thailand mengeluarkan kembali proyek bernama National

10
Digital ID (NDID) dengan orientasi penyediaan sistem identitas digital yang memberikan
masyarakat kontrol terhadap data apa yang dibagikan (Lim, 2020). NDID menggantikan
kartu identitas fisik dan dapat digunakan untuk berbagai sektor seperti perbankan, e-
commerce, sampai dengan layanan kesehatan. NDID menandakan pergeseran Thailand ke
sistem manajemen identitas yang lebih ‘self-sovereign’ dimana individu memiliki kontrol
langsung atas akses terhadap datanya.
Proyek serupa juga dimiliki oleh Pemerintah Indonesia yaitu, e-KTP atau Kartu
Tanda Pengenal elektronik yang berisi data pribadi yang berbasis database populasi
nasional yang berisi Nomor Induk Kependudukan (NIK). Latar belakang
dikembangkannya e-KTP ini berkaitan dengan efektivitas pengumpulan pajak (Daud et al.,
2022), dan sistem konvensional yang rentan menyebabkan identitas ganda (Karnova dan
Mayarni, 2014). E-KTP mengandung chip yang berisi data biometrik pemilik. Namun, e-
KTP di Indonesia masih seringkali digunakan secara konvensional ketika mengakses
pelayanan publik seperti ketentuan photocopy. Hal ini membuat KTP dengan teknologi ini
seakan tidak berfungsi. Hal ini disebabkan bahwa tidak semua instansi pemerintah
penyedia layanan publik memiliki teknologi perangkat pembaca chip tersebut. Hal ini
mencerminkan penerapan e-government yang parsial, tidak berkelanjutan, dan tidak
terintegrasi serta hanya sebatas ‘elektronifikasi’ hal yang konvensional. Indonesia jelas
berada di belakang Thailand dalam kemajuan digitalisasi identitas penduduk untuk
mencapai kemudahan akses terhadap pelayanan masyarakat. Penerapan e-KTP di
Indonesia belum dapat mengubah bentuk hubungan masyarakat dengan administrasi publik
dengan pendekatan yang lebih customer driven.
3.4.2 Citizen as Consumer
Dalam pembahasan e-government ini, pandangan negara atau masyarakat sebagai
consumer merujuk pada hubungan masyarakat dengan administrasi publik. Hal ini juga
berkaitan bahwa e-government berpotensi untuk membentuk ulang sektor publik dan
hubungan antara masyarakat, bisnis, dan pemerintah melalui penyediaan komunikasi yang
terbuka, partisipasi, dan dialog publik dalam membentuk kebijakan (Mirchandani, Johnson
& Joshi 2008). E-government juga menggambarkan bentuk hubungan negara dengan
masyarakat sebagai citizen sourcing atau masyarakat sebagai sumber (Linders, 2012).
Beberapa akademisi berargumen bahwa melalui e-government, warga negara akan
mendapatkan hak dan kesempatan tambahan untuk memberikan masukan kepada proses
kebijakan (serupa dengan konsep konsumen demokrasi)
Proyek smart ID card milik Thailand pada awal implementasinya dinilai kurang

11
perencanaan dan konsultasi dengan para ahli dan diluncurkan sebelum terbentuknya
peraturan mengenai perlindungan data. Hal ini menimbulkan isu keamanan data yang
menjadi faktor kontributor terbesar dinilai gagalnya proyek ini. Perspektif masyarakat
sebagai konsumen ini tentu menempatkan kepentingan masyarakat sebagai sentral dalam
pelayanan publik. Terutama terkait e-government, keamanan data adalah isu yang sensitif.
Berbeda dengan smart ID card, NDID dikembangkan dengan prinsip customer-centric
dengan memperhatikan keamanan pengguna. Direktur Electronic Development Agency
(ETDA) dibawah Ministry of Digital for Economy and Society (DES) mengemukakan
bahwa NDID harus berada di bawah pengawasan Electronic Transaction Act. dan
mengutamakan perlindungan customer (Sharon, 2019). Keamanan juga dijamin dengan
proses transfer data yang didahului oleh otorisasi dan pemberian izin dari pengguna. NDID
juga mengelola data secara terdesentralisasi dan menggunakan teknologi blockchain yang
menghubungkan berbagai instansi sehingga sistem terjamin aman, dan transparan (Sharon,
2019).
Perlindungan data pada sistem e-KTP di Indonesia diatur melalui UU No. 24 tahun
2013 perubahan dari UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Namun,
belakangan ini, masyarakat meragukan keamanan data pribadinya akibat kasus-kasus
kebocoran maupun penjualan data pribadi di Indonesia. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo
Kumolo menjamin perlindungan data dalam pemanfaatan e-KTP dalam kerjasama dengan
lembaga. Beliau memastikan bahwa secara prinsip ada MoU yang mengikat dengan
lembaga keuangan yang dipantau oleh OJK (Nurita, 2019). Selain itu, Direktur Jenderal
Dukcapil juga memastikan sistem pengamanan data center Dukcapil yang memuat data e-
KTP dibuat berlapis (Nurita, 2019). Potensi kebocoran data e-KTP justru lebih besar dari
kelalaian pengguna. Dari perspektif e-government, sistem keamanan Thailand dalam
NDID lebih canggih dan kompleks dibandingkan dengan di Indonesia. Namun, pada tahun
2021, pemerintah menyampaikan gagasan KTP digital dan sudah dijalankan uji coba.
Sistem ini nantinya akan serupa dengan NDID milik Thailand yaitu identitas digital yang
diakses melalui smartphone dan akses internet. KTP digital nantinya hanya membutuhkan
QR code untuk digunakan.
3.4.3 Public-Private Cooperation
Berdasarkan Heeks (2003) dalam Gunawong, P., Gao, Ping (2010), implementasi
e-government di negara-negara berkembang sebanyak 85% mengalami kegagalan baik
yang sepenuhnya maupun sebagian. Untuk mencegah risiko kegagalan yang dapat
disebabkan oleh kurangnya kapasitas dan kapabilitas pemerintah itu sendiri adalah melalui

12
kerjasama dengan swasta. Selain itu, melalui kerja sama dengan swasta harapannya adalah
pelayanan publik dapat lebih efisien dan responsif. Pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berupaya untuk memperluas cakupan
kepemilikan/perekaman Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) melalui kerja sama
dengan berbagai instansi pemerintah maupun pihak swasta terutama pada daerah timur
Indonesia (Sindonews.com, 2017). Salah satunya yaitu kerja sama antara Kemendagri
dengan 128 Bank Perkreditan Rakyat (BPR)/ Syariah (BPRS), serta sejumlah lembaga
pengguna data kependudukan di daerah Bali dan NTB. Skema kerja sama yang dilakukan
adalah pihak swasta harus mensyaratkan penggunaan e-KTP dalam setiap pelayanan yang
diberikan serta dalam penyelesaian urusan administratif. Cara tersebut dinilai efektif untuk
mendorong masyarakat yang belum mempunyai e-KTP untuk segera melakukan
perekaman. Selain itu Kemendagri juga melakukan perjanjian kerja sama berupa
pemberian hak akses untuk verifikasi data dengan 13 perusahaan swasta, tiga diantaranya
adalah perusahaan financial technology yaitu PT Pendanaan Teknologi Nusa
(Pendanaan.com), PT Digital Alpha Indonesia (Uang Teman), dan PT Ammana Fintek
Syariah (Ammana) (Putri, 2020). Data tersebut dimanfaatkan untuk tujuan pelayanan
publik, alokasi anggaran, perencanaan pembangunan yang demokrasi, serta penegakkan
hukum dan pencegahan tindak kriminal seperti pinjaman fiktif.
Kemudian untuk meminimalkan kegagalan dan mengupayakan efisiensi
implementasi National Digital ID, pemerintah Thailand melakukan kerja sama atau
kemitraan antara Ministry of Digital for Economy and Society (DES) atau Kementerian
Digital Ekonomi dan Masyarakat dengan Electronic Transactions Development Agency
(ETDA) sebagai mitra utama (Sharon, 2019). Kemitraan tersebut disahkan melalui
konferensi pers penandatanganan perjanjian yang bertajuk “We ready for Thailand Digital
ID” pada 14 November 2019. Upaya untuk mengembangkan ID Digital ini disebabkan
karena perubahan orientasi masyarakat yang lebih nyaman dengan kemudahan perangkat
mobile serta keamanan digital.
Selain itu, menurut Dr. Karndee Leopairote sebagai anggota ETDA, langkah
transformasi ini juga ditujukan untuk mengubah budaya pelayanan publik yang
berorientasi kertas menjadi berbasis digital, hal tersebut dilakukan pemerintah dengan
meluncurkan cara kerja tanda tangan elektronik dan keamanannya (Lim, 2020). Pemerintah
juga gencar melakukan sosialisasi atau kampanye yang disebut sebagai program MEiD
Seamless Thai Services (Digital ID) untuk mempromosikan penggunaan ID Digital kepada
masyarakat, mendorong kerja sama antar instansi untuk mencapai digitalisasi yang

13
terintegrasi, serta bersama Bank of Thailand Regulatory Sandbox untuk melayani warga
yaitu dengan sistem verifikasi identitas dan konfirmasi elektronik dalam menjamin
keamanan dan kesesuaian dengan peraturan hukum (Bangkok Post, 2021). Upaya ini
penting untuk mewujudkan peningkatan kualitas hidup masyarakat berbasis teknologi
digital.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa walau kedua negara ini memiliki perbedaan, tetapi
pemerintah Indonesia dan Thailand sama-sama ingin memajukan negaranya dengan
melaksanakan penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik atau e-government.
Thailand lebih dulu memanfaatkan e-government dalam sistem pemerintahannya, yaitu
sejak awal tahun 1990-an sedangkan Indonesia baru menerapkannya pada tahun
2003.Berdasarkan dimensi customer driven, kartu identitas digital kedua negara belum
memenuhi aspek konsep ini. Smart ID Card dan NDID Thailand serta e-KTP di Indonesia
bertujuan memberi kemudahan pemenuhan kebutuhan masyarakat, tetapi sistem
digitalisasi yang diimplementasikan belum dapat mencapai hal tersebut dengan maksimal
terutama di Indonesia. Berdasarkan dimensi citizen as consumer, kedua negara tersebut
sudah memiliki regulasi mengenai perlindungan data dalam menjamin isu keamanan.
Namun, mekanisme perlindungan data melalui sistem milik Thailand lebih maju
dibandingkan Indonesia. Selain itu, Indonesia masih memiliki celah keamanan yang dapat
mengancam data pengguna.
Berdasarkan dimensi Public Private Cooperation, dalam menjalin kerja sama
Pemerintah Indonesia lebih berorientasi untuk mendorong masyarakat yang belum
mempunyai e-KTP untuk segera melakukan perekaman, sedangkan kerjasama Pemerintah
Thailand lebih berorientasi untuk kemudahan masyarakat melalui perangkat mobile serta
meningkatkan keamanan digital. Meskipun kedua negara tersebut memiliki kendalanya
masing-masing bisa dikatakan bahwa Indonesia jelas berada di belakang Thailand dalam
kemajuan digitalisasi identitas penduduk untuk mencapai kemudahan akses terhadap
pelayanan masyarakat. Penerapan e-KTP di Indonesia belum dapat mengubah bentuk
hubungan masyarakat dengan administrasi publik dengan pendekatan yang lebih customer
driven dan menempatkan masyarakat sebagai consumer.

14
4.2 Saran
● Bagi Pemerintah Indonesia
Pemerintah Indonesia perlu mengoptimalkan penerapan sistem e-
government yang masih memiliki kekurangan. Hal ini dilakukan dengan
memastikan bahwa setiap aktor, yaitu lembaga atau instansi yang bertanggung
jawab dalam menjalankan sistem e-government memiliki standar kapasitas dan
kapabilitas serupa sehingga tidak menghasilkan perbedaan atas output yang
dihasilkan.
Selain itu, kerja sama yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan
mitra swasta juga perlu menyelaraskan dengan kebutuhan dan memastikan bahwa
kerja sama dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku.
Dengan demikian, transparansi dan akuntabilitas adalah hal yang harus
dikedepankan. Pemerintah Indonesia juga dapat mengadopsi upaya yang dilakukan
oleh Thailand dalam menerapkan dan mengembangkan sistem digitalisasi kartu
identitas penduduk, yang mana sistem e-government Thailand yang diterapkan
lebih inovatif, terintegrasi, dan keamanan atas sistem yang ada melalui kecanggihan
teknologi yang telah dimanfaatkan secara optimal.
● Bagi Pemerintah Thailand
Pemerintah Thailand perlu tetap memastikan menyediakan layanan melalui
sistem e-government yang berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan
masyarakat sehingga lebih tepat guna dan tepat sasaran. Selain itu, dalam
melakukan kerja sama dengan para pihak swasta dalam mengembangkan sistem e-
government, Pemerintah Thailand perlu melakukan pengawasan atas pelaksanaan
kerja sama tersebut meski telah adanya perjanjian yang telah disepakati dengan
mitra swasta.
Pemerintah Thailand juga perlu mengembangkan sistem e-government
secara berkelanjutan, tidak hanya sebatas pada kondisi seperti pandemi Ccvid-19
yang terjadi sehingga membuat dan mengharuskan seluruh aktivitas bernegara
dilakukan secara online atau melalui sistem elektronik, akan tetapi juga melakukan
pengembangan tersebut sesuai dengan perkembangan zaman yang pada dasarnya
terus menuntut perubahan kehidupan melalui kecanggihan teknologi yang
diwujudkan melalui sistem e-government yang diterapkan.

15
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anggara, Sahya. (2012). “Perbandingan Administrasi Negara.” 2–246. doi:
http://digilib.uinsgd.ac.id/11049/1/10.%20Buku%20Perbandingan%20Administr asi
%20Negara.pdf.
Pierre, J. (1995). Bureaucracy in the Modern State. Edward Elgar
Sunarso. (2012). Perbandingan Sistem Pemerintahan (A. Pratama, Ed.). Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Rusdi, A. (2020). Selayang Pandangan Hubungan Bilateral Indonesia & Thailand (Januari
20). Bangkok: Kedutaan Besar Republik Indonesia Bangkok.

Artikel Jurnal

Cordella, A., Tempini, N. (2015). E-government and organizational change: Reappraising


the role of ICT and bureaucracy in public service delivery. Government Information
Quarterly, 1-8
Homburg. (2004). E-government and NPM: a perfect marriage? In Proceedings of the 6th
International Conference on Electronic Commerce. ACM. https://doi.org/info:doi/
Irna Irmalina Daud, Asep Sumaryana, Heru Nurasa, Elisa Susanti, (2022), “Electronic
Digital Indentification (e-KTP) as an Element of E-Democracy in Indonesia ” in 2021
Annual Conference of Indonesian Association for Public Administration, KnE Social
Sciences, pages 776–783. DOI 10.18502/kss.v7i5.10593
Karnova, D., Mayarni. (2014). Implementasi E-Government Penyelenggaraan E-KTP.
Jurnal Administrasi Pembangunan, 2(3), 227-360.
Kitiyadisai, K. (2004). Smart ID Card in Thailand From a Buddhist Perspective.
MANUSYA: Journal of Humanities, 8, 37-45
Krairit, D., Choomongkol, W., Krairit, P. (2004). Strategic and Technology Policy
Implications for E-Government: Lessons from an Empirical Case Study on
Information Security in Thailand. INFORMATION & SECURITY: An International
Journal, 15(1), 21-35
Kokpol, O. (2001). Electoral Politics in Thailand. Electoral Politics in Southeast and East
Asia, 1997(December 1932), 277–297.
Lorsuwannarat, T. (2006). Lessons Learned from E-Government in Thailand.
Mariano, S. (2018). PENERAPAN E-GOVERNMENT DALAM PELAYANAN PUBLIK
DI KABUPATEN SIDOARJO.

16
repository.unair.ac.id:https://repository.unair.ac.id/80061/3/JURNAL_TKP.04%2018
%20Mar%20p.pdf
Mirchandani, D., Johnson, J., Joshi, K. (2008). Perspective of citizens towards e-
government in Thailand and Indonesia: A multigroup analysis. Inf Syst Front, 438-297
Nurhakim, M. R. S. (2014). Implementasi E-Government Dalam Mewujudkan
Transparansi Dan Akuntabilitas Sistem Pemerintahan Modern. Jurnal Ilmu
Administrasi Media Pengembangan Dan Praktik Administrasi, 9(3), 403–422.
Prihanto, I.G. (2013). Studi Komparasi Pengembangan e‐Government Negara‐Negara
Anggota Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Mendukung Pengembangan e‐
Government di Indonesia. IPTEK‐KOM, Vol. 15, No. 2, 155-170
Sagarik, D., Chansukree, P., Cho, W., & Berman, E. (2018). E-government 4.0 in
Thailand: The role of central agencies. Information Polity, 23(3), 343–353.
https://doi.org/10.3233/IP-180006
Sari, K. D. A., & Winarno, W. A. (2012). Implementasi E-Government System dalam
Upaya Peningkatan Clean And Good Governance Di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial
Dan Politik, XI(1), 1–19.
Sumaher, O. (2021). POWER POLITICS NEGARA THAILAND PADA MASA
KOLONIALISME 1511 – 1980. Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.
Thuvasethakul, C. (2002). National ICT Policy in Thailand IT 2000 - National IT Policy.
Nectech/Nstda, (January), 1–6.
Widianti, M.M. (2016). Implementasi E-Government Penyelenggaraan E-KTP Di
Kabupaten Pringsewu. KMSI, Vol. 4, No. 1, 478-483
Yulistyowati, E., Pujiastuti, E., & Mulyani, T. (2016). Penerapan Konsep Trias Politica
Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia: Studi Komparatif Atas Undang –
Undang Dasar Tahun 1945. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 18(2), 328–338.

Artikel Internet

Bangkok Post. (2021). Campaign Launched to Promote Digital IDs.


BANGKOKPOST.COM. Diperoleh dari
https://www.bangkokpost.com/business/2227827/campaign-launched-to-promote-
digital-ids
Damayanti, A. (2022). Siap-siap! KTP Digital Meluncur Tahun Ini. detikFinance.
Diperoleh dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5888218/siap-siap-
ktp-digital-meluncur-tahun-ini

17
Gunawong, P., Gao, Ping. (2010). Understanding eGovernment Failure: AnActor-Network
Analysis of Thailand’s Smart ID Card Project. Conference Paper. Diperoleh dari
https://www.researchgate.net/publication/221229381_Understanding_eGovernment_F
ailure_An_Actor-Network_Analysis_of_Thailand's_Smart_ID_Card_Project
Khadafi, M. (2020). Jokowi: Tumpang Tindih Pusat Data Bikin Boros Anggaran.
Retrieved April 20, 2022, from bisnis.com website:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20200228/9/1207085/jokowi-tumpang-tindih-pusat-
data-bikin-boros-anggaran-
Lim, Tian. J. (2020). Exclusive: Thailand’s Vision for Trusted Digital ID. GOVINSIDER.
Diperoleh dari https://govinsider.asia/transformation/thailands-vision-for-a-self-
sovereign-digital-id/
McKenzie, B. (2021). The Electronic Transactions Development Agency (ETDA) of
Thailand is proposing a new draft Reyal Decree on Regulating the Digital Platforms.
LEXOLOGY. Diperoleh dari https://www.lexology.com/library/detail.aspx?
g=06d34b27-6a47-4e21-94bb-987df18aaecd
Nurita, D. (2019). Mendagri Jamin Perlindungan Data Dalam Pemanfaatan e-KTP. Tempo.
Diperoleh dari https://nasional.tempo.co/read/1229788/mendagri-jamin-perlindungan-
data-dalam-pemanfaatan-e-ktp/full&view=ok
Oke News. (2019). Terapkan Perlindungan Layanan Digital, Dukcapil Kemendagri
Gandeng BSSN. OKEZONE.COM. Diperoleh dari
https://nasional.okezone.com/read/2019/02/01/337/2012254/terapkan-perlindungan-
layanan-digital-dukcapil-kemendagri-gandeng-bssn
Putri, B. Utami. (2020). Penjelaan Kemendagri Soal Akses Data Kependudukan ke Swasta.
TEMPO.CO. Diperoleh dari https://nasional.tempo.co/read/1353595/penjelasan-
kemendagri-soal-akses-data-kependudukan-ke-swasta/full&view=
Rizkinaswara, L. (2020). Penerapan SPBE dan Rencana Pembangunan Pusat Data
Nasional. Retrieved April 20, 2022, from Kementerian Komunikasi dan Informastika
website: https://aptika.kominfo.go.id/2020/10/penerapan-spbe-dan-rencana-
pembangunan-pusat-data-nasional/ok
Sharon, A. (2019). Thailand is Ready for Digital ID. OPENGOV ASIA. Diperoleh dari
https://opengovasia.com/thailand-is-ready-for-digital-id/
Sindonews.com. (2017). Kemendagri Jalin Kerja Sama dengan Swasta dalam Penggunaan
e-KTP. NASIONAL.SINDONEWS.COM. Diperoleh dari
https://nasional.sindonews.com/berita/1267302/12/kemendagri-jalin-kerja-sama-

18
dengan-swasta-dalam-penggunaan-e-ktp
Setyaningrum, P. (2022). Sejarah Pemilu di Indonesia dari Tahun 1955 hingga 2019.
Retrieved April 19, 2022, from Kompas.Com website:
https://regional.kompas.com/read/2022/01/25/203614378/sejarah-pemilu-di-indonesia-
dari-tahun-1955-hingga-2019?page=a

19

Anda mungkin juga menyukai