Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH PERAN TEKNOLOGI INFORMASI DI BIDANG PEMERINTAHAN

Posted on January 17, 2010 by rudy yanto helmi

KATA PENGANTAR

Bismillahhirrohmanirrohim.

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT serta sholawat serta salam
tercurahkan ke junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas Pengantar Teknologi Informasi dengan judul PERAN TEKNOLOGI INFORMASI DI
BIDANG PEMERINTAHAN.

Adapun penulisan makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari segala pihak yang
membantu menyelesaikan makalah ini.
Maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Direktur Utama Politeknik Negeri Padang
2. Ketua Jurusan Teknologi Informasi yang telah memberikan tugas untuk pembuatam
makalah ini
3. Rekan-rekan se-angkatan yang membantu,mendorong serta memberikan informasi yang
sangat diperlukan dalam penyusunan makalah ini hingga dapat terselesaikan
4. Semua pihak yang telah ikut berpartisipasi serta telah memberikan semangat dalam
membantu menyelesaikan makalah ini

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, maka dari itu
penulis mengharapkan sumbangan pikiran, pendapat serta saran – saran yang berguna demi
penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
pembaca.
Terima Kasih

PADANG, 17 Januari 2010

Penulis

DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR………………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………
ii

BAB I PENDAHULUAN
……………………………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………………
1
1.2 Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………….. 3
1.3 Sistematika Penulisan …………………………………………………………………. 3

BAB II PEMBAHASAN
…………………………………………………………………….. 4
2.1 E-Government Dan Kesiapan Indonesia …………………………………………. 4
2.2 E-Participation Terhadap E-Government ………………………………………. 5
2.3 Dampak E-Government ………………………………………………………………. 6
2.4 Dukungan Teknologi Informasi Untuk
Pelayanan Publik ……………………………………………………………………………. 7
2.5 Insprastruktur Ti ………………………………………………………………………. 9
2.6 Peran Ti Dalam Good Government ………………………………………………. 12

BAB III
PENUTUP……………………………………………………………………………………..
16
Analisa Dan Kesimpulan…………………………………………………………………. 16

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ditemukannya sejuhlam identitas ganda yang dimiliki sejumlah teroris dan anggota
masyarakat yang sempat diperiksa kepolisian, pemalsuan paspor oleh para penjahat kerah
putih, serta kasus surat “peringatan” dari Direktorat Pajak belum lama ini yang ternyata
banyak salah sasaran memiliki benang merah yang sama. Hal-hal tersebut menghangatkan
kembali diskursus tentang buruknya tata kependudukan di Indonesia.
Berbagai anomali administrasi itu mengindikasikan tidak adanya kesungguhan dalam
merapikan data kependudukan yang sesungguhnya sangat penting. Data yang ada ternyata
tidak akurat, tidak relevan, dan tidak diintegrasikan oleh instansi-instansi terkait. Akibatnya,
pada level pemerintahan, nyaris tidak ada manfaatsama sekali yang bisa diperoleh dari data
kependudukan tersebut. Pada saat yang sama masyarakat sudah kadung memandang sinis
bahwa surat-surat kependudukan bahkan yang paling mendasar sekalipun (Kartu Keluarga,
Kartu Tanda Penduduk, dan Surat Izin Mengemudi) dianggap sebagai sesuatu yang
kegunanaannya tidak lebih dari “sekedar jaga-jaga saat ada insfeksi”.

Problem-problem diatas, dapat teratasi lewat pembangunan tata pemerintahan, termasuk


kependudukan, berbasis elektronik (electronic based government, e-government). Secara
pragmatis, e-government dapat meningkatkan efisiensi sekaligus menekan praktek
penyimpangan administrasi negara. Lebih mendasar lagi,dari kaca mata politik demokrasi,
melalui tiga kerangka kerjanya, yang terdiri atas e-government consultation, dan e-decision-
making, komitmen dan keberhasilan pemerintah suatu negara, dalam menyelenggarakan e-
government dapat dijadikan indikator kesediaan pemerintah tersebut dalam berbagi informas
dan pengetahuan dengan warganya.
Secara lebih mendalam departemen instansi pemerintah dalam mempersiapkan visi dan misi
kebijaka teknologi informasi, lebih melihat pada faktor equity (menjadikan teknologi
informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi penggunaan umum). Dibandingkan
dengan keempat faktoryang lainnya yaitu demokratisasi, transparansi, akuntabilitas dan
globalisasi. Untuk mencapai target penerapan teknologi informasi yang efektif perlu diadakan
komputerisasi pemerintahan atau e-government dan sumber daya manusia dan pendidikan.
Alasannya karena penerapan teknologi informasi akan menjadi optimal apabila
Am/pengetahuan para pemakai atau pengguna jasa teknologi benar-benar memahami
teknologi sehingga sasaran penerapan teknologi informasi tercapai.
Untuk mencapai pada tingkat e-government maka langkah pertama yang menjadi sasaran
jangka pendek adalah :
1. Perlu adanya persiapan sumber daya manusia dan teknologi informasi.
2. Pelayanan informasi publik.
3. Pengadaan teknologi informasi

1.2 Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk :


1. Para pembaca lebih memahami tentang teknologi informasi.
2. Pembaca mengetyahui manfaat teknologi informasi
3. Pembaca mengetahui sejauh mana tingkat kemajuan pemerintah Indonesia dalam bidang
teknologi informasi.

1.3 Sistematika Penulisan


Dalam membuat tulisan ini kelompok kami memakai metode studi kepustakaan dengan
membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan serta mencoba mengakses
dari berbagai situs internet. Adapun kerangka penulisan ini terdiri dari :
1. Bab I Pendahuluan
2. Bab II Isi
3. Bab III Analisa dan Kesimpulan

BAB II
ISI

2.1 E-Government dan Kesiapan Indonesia

Kendati e-Government diyakini andal, penelitian yang dilakukan Perserikatan Bangsa-


Bangsa terhadap 21 instansi pelayanan publik nasional di 919 negara (pada 2003)
menemukan bahwa pembangunan e-government bukanlah perkara penyediaan perangkat
teknologi semata. Masalahyang lebih kompleks justru berkutata pada penyiapan sumber daya
manusia, yakni para pengguna (anggota masyarakat) dan penyedia sekaligus pengolah
informasi (instansi pelayanan publik).

Dari sisi pengguna syarat paling mendasar bagi keberhasilan teknologi informasi, komunikasi
yang signifikan dikalangan masyarakat. Lebih luas lagi information Cociety Comission
(2003) menyebutkan bahwa kesiapan e-government dapat diantimasi berdasarkan posisi atau
suatu negara pada Human Development Index (HDU).
Menjadikan HDI sebagai dasar untuk mengukur kesiapan Indonesia dalam ber e-government
tampaknya menghasilkan gambaran yang tidak begitu menggembirakan. Meskipun
menunjukkan peningkatan pada sejumlah indikator kesejahteraan manusia, posisi Indonesia
pada 2004, dibandingkan dengan 2003 hanya naik satu anak tangga ke peringkat 111 dari
sekitar 170 yang diteliti. Ini berarti masih dibutuhkan upaya keras jangka panjang guna
memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, sebagai persyaratan langsung bagi
e-participation.

2.2 E-Participation Terhadap E-Government

e-participation bermakna sebagai derajat keikutsertaan masyarakat dalam kedudukannya


selaku subyek sekaligus objek e-government. Subyek dalam pengertian bahwa masyarakat
merupakan pihakyang memiliki kesempatan dan inisiatif untuk mempengaruhi pemerintah
dalam perumusan berbagai kebijakan publik. Dan obyek dengan makna bahwa kebijakan-
kebijakan itu pada gilirannya akan dikenakan pada seluruh masyarakat juga.
Secara simultan e-government juga mengaharuskan adanya kesediaan dan kepastian generik
aparat pelayanan publik dalam mengelola informasi demi kepentingan para stakeholder.
Dimilikinya situs resmi oleh hampir semua instansi pemerintah pada kenyataannya tidak
disertai oleh pengelolaanyang konsisten terhadap situs-situs tersebut. E-information
berkualitas rendah akibat situs yang hanya berisikan informasi usang. Beragam masukan juga
tidak ditanggapi dengan baik, dan segera yang menyebabkan e-consultation tidak berjalan
dengan semestinya.

Saat e-information dan e-consultation tidak terealisasi, e-decision making lebih parah lagi.
Situs tidak berfungsi optimal sebagai media interaktif antara masyarakat dan para
pelayannya. Akibatnya manfaat situs-situs pelayanan publik itu terhadap proses
demokratisasi pun sangat rendah karena tidak mendorong masyarakat untuk aktif urun
rembuk dalam peningkatan kualitas pelayananserta penyusunan dan perubahan kebijakan
publik.

2.3 Dampak E-Government

Keberadaan e-government akan berimbas pada dimensi sumber daya manusia disetiap
pelayanan publik. Tidak tertutup kemungkinan akan meruyaknya kekhawatiranyang
disebabkan oleh rasionalisasi jumlah karyawan. Karyawan yang dinilai tidak memiliki
kesediaan dan kemampuan generik untuk menjalankan e-government akan berhadapan
dengan dua resiko; diberhentikan (retrenchment) atau menjadi pelatihan dalam rangka
membentuk kompetensi lunak (soft compentencies) dan keterampilan kerjaserta
mengintegrasikan diri kedalam struktur informasi yang baru.
Sementara kompetensi lunak berfokus pada mentalitas kerja, pelatihan keterampilan kerja
dipusatkan pada bidang berteknologi informasi dan komunikasi, manajemen proyek,
manajemen perubahan,serta kemampuan membangun kemitraan. Terkait dengan begitu
pentingnya penyiapan para aparat pelayanan publik, Information Society Commision (2003)
menegaskan, kepemimpinan memainkan peran sangat penting dalam menciptakan atmosfer
positif bagi perubahan birokrasi kantor-kantor pemerintah. Dengan lompatan kuantum kearah
implementasi e-government kita bisa berharap,tata pemerintahan dan kependudukan di
Indonesia akan berlangsung lebih demokratis, efisien, dan bersih.

2.4 Dukungan Teknologi Informasi Untuk Pelayanan Publik.

Saat ini informasi yang dapat diakses oleh publik masih amat terbatas sifatnya, berupa
informasi umum mengenai departemen/institusi dan belum berupa informasi yang berkaitan
dengan sistem prosedur atau tata cara yang berhubungan dengan pelayanan publik. Salah satu
yang menyebabkan keterbatasan ini adalah tidak adanya acuan atau panduan di tingkat
nasional, seperti yang diharapkan oleh sebagian besar departemen/institusi tersebut dalam
bentuk suatu kebijakan yang jelas untuk menyebarkan informasi atau data secara umum
kepada publik.

Di sisi lain sebagian besar departemen/institusi melihat belum mapannya dukungan


infrastruktur dan kurangtnya ketersediaan sumber dana dan sumber daya manusiayang
memadai sebagai beberapa kendala yang harus diatasi sebelum pelayanan publik dengan
dukungan teknologi informasi dapat ditingkatkan.
Dari sisi dampak positif akan penerapan teknologi informasi dalam pelayanan publik,
sebagian besar departemen/institusi lebih mengharapkan adanya peningkatan kerja
organisasinya sendiri dalam bentuk meningkatnya pelayanan dan efisiensi dari birokrasi,
walaupun sebagian sudah melihat adanya peningkatan dalam aspek transparansi birokrasi.
a. Pengembangan dan riset teknologi informasi

Kegiatan pengembangan yang banyak dilakukan oleh departemen/institusi pemerintah adalah


pengembangan perangkat lunak. Sedangkan produk “lokal” yang sering mereka gunakan
adalah masih sebatas jasa pelatihan.
Sebagian besar menganggap faktor dana sebagai penghambat utama dalam pengembangan
ini.

Ke depan, mereka mengharapkan dukungan strategi, prioritas dan arah kebijakan riset dan
strategi pengembangan tenaga ahli di bidang teknologi informasi sebagai bagian dari
kebijakan nasional di bidang teknologi informasi untuk dapat meningkatkan jumlah dan mutu
hasil riset di bidang teknologi informasi.

b. Manajemen dan evaluasi teknologi informasi

Sudah cukup banyak departemen/institusi pemerintah yang sadar akan perlunya suatu
evaluasi investasi teknologi informasi sebagai bahan untuki membuat rencana ke depan.
Namun, belum semuanya melihat dari kebutuhan evaluasi internal.

Kendala utama yang dirasakan menghambat evaluasi pemanfaatan teknologi adalah karena
hal ini belum menjadi bagian atau keharusan dari investasi teknologi informasi.

Dalam melakukan evaluasi keberhasilan investasi teknologi informasi, maka


departemen/institusi pemerintah menganggap kriteris yang paling adalah efeksifitas dan
kualitas dalam pelayanan kemudian diikuti oleh produktivitas dan pelayanan organisasi serta
pemanfaatan dan utilisasi teknologi informasi. Sementara faktor efisiensi dalam mengurangi
biaya operasi dan penyelenggaraan dan pengelola korporat (organisasi perusahaan) yang
efektif dan baik masih belum dilihat sebagai kritel yang penting untuk dievaluasi.

Sementara itu, hampir semua departemen/institusi pemerintah menganggap peran dan


dukungan pimpinan (manajemen puncak) dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi
informasi sebagai faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan investasi di bidang
teknologi informasi.

2.5 Infrastruktur Teknologi Informasi

Kondisi perangkat keras, sebagian besar departemen/institusi pemerintah umumnya terdiri


dari PC yang tampaknya telah terhubung dalam suatu jaringan lokal. Sebagian besar dari
instansi ini telah memiliki hubungan ke internet melalui ISP namun demikian, interkoneksi
ke internet ini masih sederhana, konfigurasinya hal ini terlihat dari kecilnya jumlah institusi
yang menggunakan perangkat Network Security atau Network Management.

Dari sisi perangkat lunak, sebagian besar departemen/institusi pemerintah menggunakan


aplikasi office automation seperti word processing, dll. Database management system dan
aplikasi-aplikasi internet, seperti Web Publishing. Walaupun sebagian besar institusi telah
menggunakan komputer untuk fungsi-fungsi yang umum ini, namun demikian masih ada
institusi yang sama sekali belum memanfaatkannya.

Dari sisi pengembangan infrastruktur teknologi informasi departemen/institusi pemerintah


masih banyak yang mendapatkan bantuan pihak luar dalam bentuk konsultasi pengembangan
hal ini mungkin mengindikasikan masih belum memadainya kemampuan internal dalam
merencanakan pengembangan infrastruktur teknologi informasi. Lebih lanjut, sebagian besar
institusi menyatakan pola pengembangan infrastrukturnya dilakukan secara terencana.
Walaupun demikian, cukup banyak pula yang menyatakan pola pengembangannya
disesuaikan dengan kondisi keuangan departemen. Dalam hal pengelolaan infrastruktur
tersebut, mereka cukup banyak yang bekerja sama dengan organisasi pusatnya tampaknya
pola “sentralisasi” masih cukup kuat disini. Suatu bentuk penggunaan informasi secara
bersama-sama telah mulai dilakukan, hal ini tampak dari jawaban cukup banyak
departemen/institusi. Namun demikian, kerja sama ini sebagian besar menghadapi kendalam
dalam bentuk integrasi data dan integrasi aplikasi. Salah satu penyebabnya kemungkinan
adalah belum diterapkannya standarisasi.

Dari sisi kebutuhan infrastruktur teknologi informasi untuk jangka pendek, sebagian besar
departemen/institusi merasakan kebutuhan akan aplikasi dan basis data sebagai kebutuhan
utama diikuti oleh perangkat telekomunikasi dan akses jaringan komputer global/nasional
serta integrasi dengan organisasi lain yang terkait. Sedangkan dari sisi proses/prosedurnya,
yang perlu mendapatkan perhatian adalah panduan manajemen dan operasi.
a. Hukum dan isu nasional

Sebagian besar departemen/institusi pemerintah menyadari perlunya suatu kebijakan


kerangka hukum secara nasional dan menyeluruh dengan pengaturan HAKI dan akses publik
sebagai isu-isu menonjol yang dianggap masih kurang penanganannya.
Dari sisi cakupannya, kerangka hukum nasional dalam bidang teknologi informasi
diharapkan mencakup keseluruhan aspek secara mendasar dan bukan secara persial seperti
penyesuaian atau penambahan dari hukum yang telah ada.

Dari sisi regulasi, sebagian besar menganggap regulasi untuk melindungi hak cipta mengatasi
sengketa dalam transaksi elektronis mendukung transaksi elektronis dan memberikan hak
yang sama terhadap informasi sebagai bidang-bidang yang mendesak dan belum mendapat
perhatian.

Dari sisi penerapan hukum dalam bidang teknologi informasi, pemerintah diharapkan untuk
secepatnya melengkapi produk perangkat hukum baru yang mengatur teknologi informasi
selain itu pemerintah juga diharapkan meningkatkan kualitas aparat hukum dan memiliki
acuan kerangka hukum teknologi informasi nasional. Dalam konteks daerah, pemerintah
daerah diharapkan dapat membuat kebijakan sendiri secara penuh tetapi tetap mengacu ke
pusat walaupun ada yang mengharapkan pembagian kebijakan yang jelas antara pusat dan
daerah. Untuk menyelaraskan kebijakan teknologi informasi di pusat dan daerah ini maka
kebijakan nasional harus:
Mencakup pemberdayaan masyarakat di daerah dalam bisang teknologi informasi.
Mencakup pelatihan SDM bidang TI di daerah
Mendorong tanggung jawab dan kerja sama departemen/institusi di pusat dan daerah dalam
pengembangan SDM.
Kebijakan untuk meningkatkan pendidikan teknologi informasi di daerah.
2.6 Peran TI Dalam Good Government

Berkaitan dengan peran teknologi informasi dalam mendukung penyelenggaraan


pemerintahan yang baik (good government) sebagian besar departemen/ institusi tampaknya
akan memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri. Hal ini dapat dilihat dari tingkat
pemanfaatan teknologi informasi di sebagian besar departemen/institusi seperti pada kasus-
kasus berikut :

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, teknologi informasi masih
dianggap sebagai alat “pengotomasi proses” yang diharapkan dapat mengurangi proses yang
dilakukan secara manual dibanding sebagai alat yang dapat mengurangi birokrasi.

Dalam konteks partisipasi semua pihak untuk penyusunan kebijakan, teknologi informasi
masih dianggap sebagai alat yang mempermudah pengumpulan informasi dibanding sebagai
alat yang dapat membuka komunikasi dengan pihak luar seperti publik atau instansi lain.

Dalam konteks keterbukaan (transparansi) internal, teknologi informasi masih dianggap


sebagai sarana penyedia akses dibanding sebagai sareana penyediaan informasi yang lebih
spesifik seperti latar belakang suatu kebijakan misalnya.
Dalam konteks pelaksanaan suatu kebijakan, teknologi informasi masih dilihat sebagai sarana
untuk mempercepat pelaporan dibanding sebagai sarana untuk membantu proses monitoring.

Dalam konteks peningkatan kualitas suatu kebi akan teknologi informasi masih dilihat
sebagai sarana untuk memperluas sumber informasi dan data dibanding sarana yang dapat
menciptakan keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan.
Dari sisi evaluasi pemanfaatan teknologi informasi kondisinya dapat dikatakan
memprihatinkan dengan masih adanya beberapa departemen/institusi yang tidak pernah
melakukan audit penerapan teknologi informasi kalau pun ada sebagian besar pelaksanaannya
masih bersifat ad-hoc. Jika ditelaah lebih lanjut, jenis audit penerapan teknologi informasi
yang sering dilakukan lebih merupakan audit non-finansial dibanding audit finansial. Hal ini
menunjukkan aspek efektifitas penerapan teknologi informasi lebih mendapatkan perhatian
dibandingkan aspek efisiensinya. Selain itu, tanggapan departemen/institusi atas keterkaitan
audit manajemen dengan audit teknologi informasi amat rendah, baik yang menyatakan
terkait maupun yang menyatakan tidak terkait. Hal ini perlu diakui lebih lanjut karena
tanggapan ini tidak mendukung kesimpulan sebelumnya, yaitu sebagian besar
departemen/institusi menyatakan adanya keselarasan visi dan misi institusi dengan penerapan
teknologi informasinya.

Seperti halnya pada pemahaman akan tingkat pemanfaatan teknologi informasi, “concern”
sebagian besar departemen/institusi pemerintah dengan adanya kebijakan nasional lebih
tertumpu pada adanya aturan tata cara akses informasi oleh pihak luar/publik dibanding pada
adanya panduan bagaimana departemen/institusi harus menempatkan teknologi informasi
untuk review, monitor dan evaluasi.

a. Sumber daya manusia dalam bidang teknologi informasi

Ketersediaan SDM dalam bidang teknologi informasi tampaknya menjadi kendala utama
yang dihadapi oleh sebagian besar departemen/institusi pemerintah. Hal ini besar
kemungkinannya berkaitan dengan pola pengembangan SDM di bidang teknologi informasi
yang kurang menarik minat orang-orang yang berkualitas seperti:
a) masalah dengan gaji dan fasilitas yang kurang memadai,

b) program pengembangan SDM lebih berupa pelatihan internal atau seminat/workshop


dibanding memberikan bea siswa misalnya,

c) cakupan pekerjaan yang sebagian besar berada pada level “operator” dalam bentuk
pemeliharaan data dan aplikasi atau pelatihan pada pemakai walaupun ada juga yang sampai
pada level “analis” seperti perancangan aplikasi,

d) tidak adanya perlakuan khusus baik dalam bentuk insentif maupun jenjang karier.

Sebagian besar departemen/institusi mengharapkan adanya kebijakan yang mengatur struktur


dan jenjang karir SDM di bidang teknologi informasi dan juga kebijakan untuk pendidikan
teknologi informasi berupa sertifikasi dan areditasi dalam kebijakan nasional dalam teknologi
informasi.

BAB III
PENUTUP

Analisis dan Kesimpulan

Kegiatan pengembangan yang banyak dilakukan oleh departemen/institusi pemerintah adalah


pengembangan perangkat lunak. Sedangkan produk lokal yang sering mereka gunakan adalah
masih sebatas jasa pelatihan. Sebagian besar faktor dana sebagai penghambat utama dalam
pengembangan teknologi informasi. Mereka mengharapkan dukungan strategi, prioritas dan
arah kebijakan riset dan strategi pengembangan tenaga ahli dididang teknologi informasi
sebagai bagian dari kebijakan nasional dibidang teknologi informasi untuk dapat
meningkatkan jumlah dan mutu hasil riset di bidang mutu teknologi informasi.

Dalam melakukan evaluasi keberhasilan investasi teknologi informasi, maka


departemen/institusi pemerintah menganggap kriteria yang paling penting adalah efektifitas
dan kualitas dalam pelayanan, kemudian diikuti oleh produktifitas dan pelayanan organisasi
serta pemanfaatan dan utilisasi teknologi informasi. Sementara faktor efisiensi dalam
mengurangi biaya operasi dan penyelenggaraan korporat (organisasi perusahaan yang efektif
dan baik masih belum dilihat sebagai kriteria yang paling penting untuk dievaluasi.

Departemen/institusi pemerintah perlu mendirikan suatu lembaga di tingkat nasional yang


menangani teknologi informasi secara khusus. Yang berbentuk komisi independen sebatas
koordinasi antar departemen dalam bentuk konsorsium.

DAFTAR PUSTAKA

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/peran-teknologi-informasi-di-
bidang-pemerintahan

kamang, 2009. PERAN TEKNOLOGI INFORMASI DI BIDANG PEMERINTAHAN.


Jatinagor

Anda mungkin juga menyukai