Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA

MEDIS G1P0A0 DENGAN PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL ASIMTOMATIK


E.C VSD DILAKUKAN TINDAKAN OPERASI SECTIO CAESAREA DENGAN
SPINAL ANESTESI DI IBS RS NEO CITY YOGYAKARTA

Dosen Pengampu : Anisa Rohmahtika, S.Tr.Kes

DISUSUN OLEH :

1. Nopitasari 2011604059
2. Latifa khoirunnisa 2011604060
3. Yaqutin evi nurdini 2011604063
4. Saiful Ayub Harahap 2011604066
5. Dandy Putra Aditama 2011604068
6. Adhi Khoiril Wiradhika 2011604070

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

PROGRAM SARJANA TERAPAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS AISYIYAH YOGYAKARTA

2022
BAB I

PENDAHULUUAN

A. Latar Belakang
Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang perlu diketahui kondisi
kesehatannya. Saat ini penyakit jantung sendiri merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya kematian di Dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2015
menunjukkan bahwa 70% kematian didunia disebabkan oleh penyakit tidak menular
yaitu sebanyak 39,5 juta dari 56,4 juta kematian. Dari seluruh kematian akibat
penyakit tidak menular (PTM) tersebut, 45% disebabkan oleh penyakit jantung dan
pembuluh darah dengan total 17,7 juta dari 39,5 juta kematian. Di Indonesia sendiri,
penyakit jantung dan pembuluh darah masih menjadi penyebab kematian terbanyak,
dimana kematian di Indonesia akibat penyakit kardiovaskuler mencapai 651.481
penduduk per tahun (Institute for health metrics and evaluation, 2018).
Salah satu penyakit kardiovaskuler yang dapat menyebabkan kematian
adalah aritmia. Aritmia adalah gangguan irama jantung akibat otot jantung
yang seharusnya berdenyut secara teratur berubah menjadi lebih cepat,lebih
lambat, atau tidak beraturan (Susilowati, 2021). Aritmia atau gangguan irama
jantung terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu takikardi dan bradikardi.
Bradikardia merupakan istilah yang digunkan untuk menyebut perlambatan
detak jantung. Bradikardia atau bradiaritmia adalah keadaan di mana laju
denyut jantung seseorang kurang dari 60 kali per menit (Endris,A 2017).
Secara klinis bradikardia bisa simtomatik atau asimtomatik.
Bradikardia simtomatik disebut pula sindrom bradikardia atau sindrom adam
stokes yaitu kumpulan gejala karena menurunnya aliran darah ke otak,
biasanya dengan laju denyut jantung kurang dari 45 kali per menit (Endris,A
2017). Pada prinsipnya, penyebab bradikardia simtomatik adalah kondisi
system konduksi jantung yang gagal memberikan laju denyut jantung yang
adekuat. Hal tersebut disebabkan karena gangguan dari salah satu atau lebih
bagian sistem konduksi jantung yaitu distungsi simpul sinus atau abnormalitas
simpul atrioventrikular (AV node) (Andrianto, 2019).
Aritmia jenis bradikardi menjadi suatu masalah kegawatdaruratan.
Patofisiologi bradikardi mengganggu proses peredaran darah ke jaringan yang
akan berdampak pada hipoksia jaringan, hemodinamik, hingga menimbulkan
kematian. Temuan aritmia bradikardi menjadi salah satu data karakteristik
yang dapat mengarahkan perawat dalam menetapkan penyebab diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung (Halimuddin & Ruliyani, 2020).
Penurunan curah jantung merupakan diagnose keperawatan gawat darurat.
Kemampuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan gawat darurat
sangat penting untuk mengurangi angka kematian dan komplikasi.
Bradikardi jika tidak mendapat pertolongan segera akan menyebabkan
hipotensi, sinkop, gagal jantung bahkan henti jantung mendadak (Endris,A
2017). Bradikardi selain menjadi penyebab masalah keperawatan utama, juga
merupakan problem potensial (masalah kolaborasi) membutuhkan perhatian
perawat untuk diidentifikasi dan diintervensi bekerja sama dengan tim medis
(Dokter). Kesiapsiagaan perawat dan dokter serta fasilitas pelayanan sangat penting.
Karena 80-90% distrimia merupakan penyebab kematian pada pasien
syndrome koroner akut (Halimuddin & Ruliyani, 2020).
Maka dari itu, Perawat sebagai tenaga kesehatan yang bertugas untuk
memenuhi kebutuhan dasar klien secara holistic memiliki tanggung jawab untuk
membantu pemenuhan kebutuhan oksigen klien yang tidak adekuat. Dalam
tindakannya, seorang perawat sebelum memberikan asuhan keperawatan harus
melakukan metode keperawatan berupa pengkajian, diagnosis keperawatan,
intervensi, dan evaluasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Aritmia Jantung ?
2. Bagaimana Etiologi Aritmia jantung ?
3. Seperti apa Tanda Dan Gejala Aritmia jantung ?
4. Bagaimana Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang Aritmia jantung ?
5. Apa saja Penatalaksanaan Medis pada Aritmia jantung ?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Aritmia jantung
2. Untuk Mengetahui Etiologi Aritmia jantung
3. Untuk mengetahui Tanda Dan Gejala Aritmia jantung
4. Untuk mengetahui Pemeriksaan penunjang Aritmia jantung
5. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Medis Aritmia jantung
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Penyakit


1. Definisi
Penyakit jantung bawaan (congenital heart disease) atau terkadang disebut
juga penyakit jantung kongenital adalah suatu spektrum abnormalitas struktural
jantung yang terjadi sebelum kelahiran. Kondisi ini terjadi akibat perkembangan
jantung fetus yang abnormal, tetapi tidak termasuk penyakit herediter yang
memiliki manifestasi kardiak seperti sindrom Marfan atau kardiomiopati
hipertrofik.
Berdasarkan pedoman American Heart Association, penyakit jantung bawaan
bisa diklasifikasikan menjadi empat, yaitu lesi pirau, lesi obstruktif sisi kiri, lesi
sisi kanan, dan lesi kompleks. Selain itu, penyakit jantung bawaan juga dapat
diklasifikasikan menjadi penyakit jantung sianotik dan asianotik Kelainan
kongenital merupakan wujud semasa atau sebelum kelahiran atau semasa dalam
kandungan dan termasuk di dalamnya ialah kelainan jantung.Penyakit jantung
bawaan (PJB) atau penyakit jantung kongenital merupakan abnormalitas dari
struktur dan fungsi sirkulasi jantung pada semasa kelahiran.Malformasi
kardiovaskuler kongenital tersebut berasal dari kegagalan perkembangan struktur
jantung pada fase awal perkembangan janin.
2. Etiologi
Etiologi penyakit jantung bawaan umumnya bersifat multifaktorial. Faktor
lingkungan dan genetika dilaporkan sama-sama berperan, tetapi sering kali
etiologi tidak bisa ditegakkan secara pasti. Hanya sekitar 20% kasus disebabkan
oleh abnormalitas kromosom, kelainan genetika, dan pengaruh lingkungan yang
jelas.
Mutasi kromosom yang menyebabkan kelebihan atau kehilangan kromosom
dapat bermanifestasi sebagai penyakit jantung bawaan. Contoh kelainan ini adalah
sindrom Down karena trisomi 21 yang paling sering ditemui dengan penyakit
jantung bawaan, sindrom Edward (trisomi 18), dan sindrom Patau (trisomi 13).
Selain itu, ada juga sindrom Turner (monosomi X), sindrom Klinefelter, dan cat
eye.
3. Tanda Dan Gejala
Di beberapa kasus, aritmia jantung tidak menunjukkan adanya gejala jelas yang
dirasakan. Ini bukan berarti Anda bebas dari bahaya. Justru harus lebih waspada
dan benar-benar memperhatikan gejala kecil yang muncul :
a. Sensasi jantung deg-degan (palpitasi) ditandai dengan dada berdebar sangat
cepat dan kuat
b. Jantung berdebar lebih lambat dan sangat terasa di dada
c. Sesak napas
d. Nyeri dada
e. Pusing
f. Sakit kepala
g. Kelelahan
h. Kadang menimbulkan rasa ingin pingsan
i. Kadang berkeringat
j. Tekanan darah rendah
k. Nadi tidak teratur
4. Pemeriksaan Diagnostik/Pemeriksaan Penunjang Terkait
a. Roentgen Thorax
Pemeriksaan roentgen thorax pada defek yang kecil dapat menunjukkan
ukuran jantung yang normal, dengan corakan vascular paru yang normal. Pada
defek berukuran sedang dan besar didapatkan pembesaran atrium kiri dengan
peningkatan aliran darah pulmonal.Pada paru-paru dapat terjadi kolaps dengan
proses inflamasi sekunder
b. Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram dapat menunjukkan pembesaran atrium dan
ventrikel kiri yang tergantung pada ukuran defek. Hipertrofi biventrikuler
dapat terjadi defek yang besar dan hipertrofi ventrikel kanan pada pasien
dengan penyakit obstruktif vaskular paru.
c. Echocardiogram
Pemeriksaan echocardiogram menunjukkan pembesaran atrium dan ventrikel
kiri yang tergantung pada ukuran defek. Kontraksi ventrikel kiri pada
umumnya normal, kecuali bila terdapat disfungsi myokard
berat.Echocardiografi Doppler menunjukkan karakteristik pola aliran diastolik
pada arteri pulmonalis
5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
Pada Aritmia Jantung (Braikardi sistomatik) tata laksana awal adalah
meningkatkan oksigenasi dan memenuhi preload yang adekuat. Bila
memungkinkan pasien dibaringkan dengan posisi kaki lebih tinggi sehingga
aliran balik vena meningkat dan preload juga meningkat. Jika tekanan vena
jugularis (JVP) masih rendah, perlu diberikan cairan intravena secukupnya.
Pasien dengan faktor ekstrinsik sebagai penyebab disfungsi simpul sinus,
etiologi yang mendasari harus diatasi terlebih dulu. Penggunaan obat yang
menyebabkan hambatan fungsi simpul sinus atai simpul AV sebaiknya diganti
dengan preparat lain yang tidak memiliki efek pada system konduksi jantung
(Andrianto, 2019).
b. Penatalaksanaan Operatif
Secara fisiologis sistem konduksi jantung dipengaruhi oleh keseimbangan
antara saraf simpatik dan parasimpatik. Sistem saraf simpatik mempercepat
laju denyut jantung, sedangkan sistem saraf parasimpatik memperlambat laju
denyut jantung. Berbagai obat untuk bradikadia simtomatik adalah golongan
obat simpatomimetik dan parasimpatolitik untuk mempercepat laju denyut
jantung. Pada umumnya inervasi sistem saraf otonom pada jantung hanya pada
daerah supraventrikular yaitu simpul sinus, atrium dan simpul AV. Efek obat
antibradiaritmia terutama hanya pada fokus-fokus supraventrikular. Namun,
bila sistem konduksi jantung sudah rusak, berpotensi tidak responsif terhadap
rangsangan sistem saraf otonom.
B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi berarti “hilangnya rasa atau sensasi”. Istilah yang digunakan para ahli
saraf dengan maksud untuk menyatakan bahwa terjadi kehilangan rasa secara
patologis pada bagian tubuh tertentu, atau bagian tubuh yang dikehendaki
(Boulton, 2012). Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa
sakit ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan
rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan
kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
2. Jenis Anestesi
Jenis anestesi yang digunakan pada Sectio Caesarea yaitu anestesi regional.
Anestesi regional adalah menginjeksikan obat anestesi lokal ke sejumlah sel saraf
dengan tujuan untuk memblok hantaran sensasi pada saraf danmencegahnya
sampainya rangsangan nyeri ke otak. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian
atau seluruhnya tetapi pasien tetap sadar (Latief, 2009). Anestesi regional
merupakan teknik yang dapat digunakan sebagai alternatif anestesi umum maupun
sebagai kombinasi dengan anestesi umum, pada saat ini sudah menjadi prosedur
yang populer dan merupakan bagian yang penting dalam praktik anestesi.
Teknik ini menghasilkan blokade yang lebih spesifik, efek adekuat
dalam menghilangkan nyeri, memiliki pengaruh yang baik terhadap operasi pada
tulang serta jaringan sekitarnya yang pada kasuskasus tertentu anestesi umum
harus dihindari karena risiko yang tinggi terhadap hasil luaran, selain itu
penggunaan opioid sistemik juga dapat dikurangi (Oktaliansah, E.2017).
3. Teknik Anestesi
Anestesi spinal atau sub-arachnoid blok (SAB) adalah bentuk anestesi regional
yang disuntikkan ke dalam tulang belakang pasien. Pasien akan mengalami mati
rasa pada leher ke bawah. Tujuan dari anestesi ini adalah untuk memblokir
transmisi sinyal saraf. Setelah sinyal sistem saraf terblokir, pasien tidak lagi
merasakan sakit. Biasanya pasien tetap sadar selama prosedur medis, namun obat
penenang diberikan untuk membuat pasien tetap tenang selama operasi. Jenis
anestesi ini umumnya digunakan untuk prosedur pembedahan di pinggul, perut,
dan kaki.
4. Rumatan Anestesi
a. Menggunakan oksigen dan obat intravena kontinyu menggunakan dosis sesuai
umur dan berat badan.
b. Titrasi dan pemantauan efek obat dan dijaga kadar anestesi aman selama
prosedur tindakan.
c. Pernafasan kontrol atau asissted selama perjalanan operasi.
d. Suplemen analgetik opioid sesuai kebutuhan
e. Monitoring fungsi vital dan suara nafas dengan precordial
f. Evaluasi pemberian cairan dan kebutuhan untuk mengganti kehilangan cairan
pada saat prosedur tindakan.
g. Pastikan tidak ada sumber perdarahan yang belum teratasi.
h. Menjaga suhu tubuh pasien tetap hangat selama prosedur tindakan.
5. Resiko
Menurut Sjamsuhidajat (2012) faal tubuh akan mengalami gangguan pasca
anestesi, antara lain:
a. Gangguan pada System Pernapasan Gangguan system penapasan cepat
menyebabkan kematian akibat hipoksia sehingga harus diketahui dan diatasi
sedini mungkin. Penyebab tersering penyulit pernapasan adalah sisa anestetik
dan sisa pelemas otot yang belum dimetabolisasi secara sempurna. Selain
tindakan pembebasan jalan nafas, juga perlu dilakukan penambahan oksigen,
memberikan nafas buatan, serta tambahan antidot pelemas otot sampai
penderita dapat bernapas kembali.
b. Gangguan pada System Sirkulasi Penyulit yang sering dijumpai pada system
sirkulasi adalah hipotensi, syok, dan aritmia. Penurunan tekanan darah sering
disebabkan oleh hipovolemia akibat perdarahan yang tidak cukup diganti,
kehilangan cairan yang tersembunyi seperti merembesnya darah dari luka
pembedahan, atau arteri yang terlepas jahitannya. Penyebab lainnya adalah
sisa anestetik yang masih tertinggal dalam sirkulasi.
c. Regurgitasi dan Muntah Muntah dan regurgitasi disebabkan oleh hipoksia
selama anestesi, anestesi terlalu dalam, rangsangan anestetik misalnya eter
langsung pada
d. pusat muntah di otak, ditambah dengan tekanan lambung yang tinggi karena
lambung penuh atau akibat tekanan dalam rongga perut yang tinggi, misalnya
karena ileus. Muntah harus di cegah karena dapat menyebabkan aspirasi.
Muntah dapat dihindari dengan cara merendahkan serta memiringkan kepala
sehingga cairan mengalir keluar dari sudut mulut karena dibantu oleh gaya
berat.
e. Hipotermi Gangguan metabolisme dapat mempengaruhi kejadian hipotermia,
tetapi hal ini juga disebabkan oleh efek obat yang digunakan. Anestesi umum
juga mempengaruhi tiga elemen pengaturan suhu tubuh, yaitu komponen
masuk dan keluar, pengaturan sinyal di area pusat, dan respons keluar, selain
itu juga dapat menghilangkan proses adaptasi dan merusak mekanisme
fisiologis suhu tubuh.
f. Gangguan Faal Lain Gangguan kesadaran dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu pemanjangan masa pemulihan kesadaran dan penurunan kesadaran yang
disertai kenaikan tekanan intracranial. Pemanjangan waktu pulih sadar dapat
disebabkan oleh anestetik atau premedikasi yang efeknya memanjang karena
overdosis absolut maupun relative.
C. Web Of Caution (WOC)

Peradangan jantung Gangguan Intoksisasi obat Ketidakseimbangan gangguan

Sirkulasi Elektrolit saraf

Lepasnya mediator ubah sel otot jantung

Suplai O2 perubahan ion K Aktivasi sel

Pacu jantung

Nekrosis Sel Sel panjang/pendek

Gangguan pembentukan

Penghantar impuls

Dilatasi

Degenerasi Sel jantung Aritmia Memicu focus sel

Digantikan perut Ekopic Gagal

Jantung

Pre Anestesi Hiperpolemia Resiko perdarahan Post Anestesi

Intra Anestesi

Penumpukan cairan luka pembedahan

Abdominal Jantung tidak kompensasi

Resiko Infeksi

Ketidakefektifan Penurunan curah jantung Nyeri Akut

Pola nafas
D. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan data mengenai biodata klien, keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat esehatan keluarga,
riwayat pekerjaan dan kebiasaan dan pemeriksaan fisik.
a. Biodata klien (umur, sex, pekerjaan, pendidikan)
Umur klien dapat menunjukan tahap perkembangan klien baik secara fisik
maupun psikologi, jenis kelamin dan pekerjaan juga berpengaruh terhadap
terjadinya penyakit yang diderita klien, dan tingkat pengetahuan klien
terhadap penyakit yang dideritannya
b. Keluhan utama
Keluhan utama ialah keluhan yang paling menganggu klien. Keluhan utama
digunakan untuk menentkan prioritas intervensi dan mengkaji pengetahuan
klien terhadap penyakitnya. Keluhan utama yang biasa timbul ialah :
1) Batuk : batuk bisa menunjukkan adanya penyakit paru yang serius. Tipe
batuk juga sangat penting untuk diketahui. Batuk yang kering, iritatif
menandakan infeksi saluran napas atas menyebabkan batuk dengan puncak
bunyi kering, hacking, brassy, mengi, ringan, berat dan waktu batuk
dicatat. Perawat harus menanyakan apakah batuk bersifat produktif /
nonproduktif, jika produktif apakah sputum bercampur darah
2) Peningkatan produksi sputum
Sputum adalah substansi yang keluar bersama dengan batuk atau bersihan
tenggorok. Tetapi produksi sputum dikarenakan oleh batuk adalah tidak
normal. Tanyakan klien tentan warna dari sputum yang dikeluarkannya
(jernih, kuning, hijau, kemerahan), bau, kualitas (berair, berserabut,
berbusa, kental), dan kuantitas (sendok teh, sendok makan, cangkir).
Tanyakan juga apakah sputum hanya dibentuk setelah klien berbaring.
3) Dispnea adalah suatu persepsi kesulitan bernafas / nafas pendek dan
merupakan perasaan subjektif klien. Perawat melakukan pengkajian
tentang bagaimana kemampuan klien dalam melakukan aktifitas. Menurut
Muttaqin (2008) hal yang perlu dikaji adalah apa faktor penyebab dipsnea,
seperti apa rasanya saat terjadi dipsnea, dibagian mana yang dirasakan
berat saat bernafas, seberapa jauh rasa sesak yang di rasakan dan berapa
lama dipsnea di rasakan.
4) Hemoptysis adalah batuk yang bercampur darah. Perawat mengkaji apakah
dari berasal dari paru, perdarahan hidung atau perut. Darah dari paru
biasanya berwarna merah terang . lakukan juga pengkajian tentang awitan,
durasi, jumlah dan warna.
5) Mengi ini terjadi karena udara mengalir melalui jalan napas yang sebagian
tersumbat atau menyempit pada saat inspirasi dan ekspirasi. Mengi hanya
terdengar menggunakan stetoskop. Identifikasi kapan mengi terjadi dan
apakah mengi hilang sendiri atau hilang dengan obat – obatan.
6) Chest pain yang perlu dikaji ialah informasi tentang lokasi, durasi dan
intensitas nyeri
c. Riwayat kesehatan saat ini
Pengkajian yang dilakukan dimulai dengan perawat menanyakan tentang
perjalanan penyakit sejak timbul keluhan hingga alasan dibawa ke rumah
sakit, seperti sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama dan berapa kali
keluhan dirasakan, bagamana sifat dan hebatnya keluhan yang dirasakan,
dimana pertama kali keluhan di rasakan, apa yang dilakukan ketika keluhan
tersebut timbul, keadaan apa yang memperberat atau memperingan keluhan,
usaha apa yang dilakukan untuk mengurangi keluhan tersebut apakah usaha
yang dilakukan berhasil.
d. Riwayat kesehatan masa lalu
Tanyakan klien tentang pengobatan masalah pernapasan sebelumnya. Kaji
pula kapan kapan penyakit terjadi dan waktu perawatannya. Tanyakan apakah
klien pernah melakukan pemeriksaan rongten dan kapan terakhir dilakukan.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu dicari apakah riwayat keluarga memberikan faktor predisposisi seperti
adanya riwayat sesak napas, batuk lama, batuk darah dari anggota keluarga
yang lain. Adanya penyakit darah tinggi dan kencing manis dapat
memperberat keluhan penderita.
f. Riwayat pekerjaan dan kebiasaan
Identifikasi bagaimana lingkungan kerja klien dan juga kebiasaan sosial yang
dilakukannya. Seperti menanyakan kebiasaan merokok, menanyakan apakah
pekerjaan penuh stress, apakah lingkungan dipenuhi dengan polusi udara dan
lain sebagainya
g. Pengkajian Berdasarkan 11 Pola Fungsional Gordon (Potter & Perry, 2010)
1) Pola persepsi-menejemen kesehatan
Mengambarkan penjelasan pribadi klien mengenai kesehatan dan
kesejahteraan ; bagaimana klien mengelola kesehatannya ( seperti
frekuensi kunjungan ke penyedia layanan kesehatan dan kepatuhan terapi
di rumah ); pengetahuan tentang praktik pencegahan.
2) Pola metabolisme- nutrisi
Mengambarkan bagaiman pola makan dan minum klien seperti nafsu
makan, porsi, pilihan makanan, diet tertentu, hilang atau bertambahnya
berat badan.
3) Pola eliminasi
Mengambarkan bagaimana pola BAB dan BAK klien, seperti frekuensi
sehari, banyaknya, warna, bau dan lain sebagainya.
4) Pola aktivitas-latihan
Mengambarkan pola latihan, aktivitas, hiburan, dan rekreasi; kemampuan
untuk dapat menjalankan aktivitas sehari-hari.
5) Pola istirahat – tidur
Menggambarkan bagaiman pola tidur klien, istirahat dan juga relaksasi.
6) Pola kognitif-persepsi
Mengambarkan pola persepsi sensorik; kemampuan berbahasa, ingatan
dan pembuatan keputusan.
7) Pola persepsi diri – konsep diri
Menggambarkan pola konsep dan persepsi diri klien (seperti konsep diri /
penghargaan, pola emosional, gambaran diri).
8) Pola aturan – hubungan
Mengambarkan pola klien yang berhubungan dengan ikatan atau
hubungan.
9) Pola seksual-reproduksi
Mengambarkan pola kepuasan dan ketidakpuasan seksual klien; pola
reproduksi klien; masalah pre dan postmenoupause.
10) Pola koping – toleransi
Mengambarkan pola koping klien dalam menangani stress, sumber
dukungan, efektivitas pola koping yang klien miliki dalam menoleransi
stress.
11) Pola nilai kepercayaan
Mengambarkan pola nilai, kepercayaan dan tujuan yang mempengaruhi
pilihan dan keputusan klien.
h. Pemeriksaan fisik menurut Muttaqin (2008) pemeriksaan fisik pada penderita
TB Paru meliputi:
1) Keadaan umum dan tanda – tanda vital
Kesadaran klien perlu dinilai apakah klien dalam keadaan compos metis,
apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma. Seorang perawat juga
harus mempunyai pengetahuan untuk menilai keadaan umum klien,
kesadaran dan pengukuran GCS. Untuk tanda – tanda vital seperti
peningkatan suhu tubuh yang signifikan, frekuensi nafas meningkat
disertai sesak nafas, denyut nadi meningkat atau melemah, tekanan darah
biasanya sesuai dengan adanya penyakit penyerta seperti hipertensi.
2) B1 (Breathing)
a) inspeksi : bentuk dada dan gerakan pernafasan. Tampak kurus
sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada
antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral, adanya
ketidakseimbangan rongga dada, pelebaran intercostal space karena
adanya efusi pleura masif atau penyempitan intercostal space karen
atelektasis paru. Mengalami sesak nafas, peningkatan frekuensi nafas,
menggunakan otot bantu nafas dan juga gerakan pernafasan menjadi
tidak simetris.
b) Palpasi : adanya pergeseran trakhea, adanya penurunan gerakan
dinding pernafasan, adanya penurunan taktif fremitus pada klien
dengan TB paru, biasanya ditemukan pada klien yang disertai
komplikasi efusi pleura masif.
c) Perkusi : TB paru tanpa komplikasi ditemukan bunyi resonan atau
sonor pada seluruh lapang paru, sedangkan TB paru dengan komplikasi
didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sakit. Dan apabila
disertai pneumotoraks didapatkan bunyi hiperresonan .
d) Auskultasi : akan didapatkan bunyi paru tambahan (ronkhi) pada sisi
yang sakit. Apabila dengan komplikasi akan ditemukan penurunan
resonan vokal pada sisi yang sakit.
3) B2 (Blood)
Pada klien dengan TB Paru akan didapatkan :
a) Inspeksi : inspeksi tentang adanya parut (menandakan bahwa klien
pernah menjalani operasi jantung sebelumnya) dan keluhan kelemahan
fisik.
b) Palpasi : denyut nadi melemah.
c) Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan
efusi pleura masif mendorong kesisi sehat.
d) Auskultasi : tekanan darah biasanya normal. Tidak di dapatkan bunyi
jantung tambahan.
4) B3 (Brain)
Pada penderita TB paru biasanya ditemui kesadaran composmentis, adanya
sianosis perifer apabila klien mengalami gangguan perfusi jaringan yang berat.
Klien biasanya tampak dengan wajah meringis, menangis, merintih,
merengang dan mengeliat. Pada mata biasanya nampak konjungtiva anemis
pada penderita dengan hemoptoe masif dan kronis, sklera ikterik apabila klien
mengalami gangguan fungsi hati.
5) B4 (Bladder) Perawat perlu mengkaji adanya oliguria karena ini bisa
berhubungan dengan tanda syok. Urine klien akan berwarna jingga pekat dan
berbau karena meminum OAT terutama Rifampisin.
6) B5 (Bowel) Klien mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan.
7) B6 (Bone) Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB
paru. Gejala yang muncul biasanya kelemahan, kelelahan, insomnia, pola
hidup menetap, dan jadwal olahraga menjadi tidak teratur.

2. Masalah Kesehatan Anestesi


a. Pre Anestesi
1) Gangguan pola tidur
2) Kecemasan
3) Defisit perawatan diri
4) Ketidakefektifan pemberian asi
5) Ketidakefektifan jalan nafas
6) Gangguan pertukaran gas
7) Intoleransi aktifitas
8) Ketidakefektifan pola nafas
9) Kelebihan volume cairan
10) Risiko jatuh
b. Intra Anestesi
1) Risiko perdarahan
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
3) Ketidakefektifan pola Nafas
4) Risiko aspirasi
5) Risiko penurunan curah jantung
c. Post Anestesi
1) Resiko infeksi
2) Nyeri akut
3) Konstipasi
4) Risiko jatuh
3. Rencana Intervensi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
Pre Anestesi
PEB
1 Kecemasan (Ansietas) Setelah diberikan asuhan 1. Kaji tingkat
pasien akan menyatakan ansietas
peningkatan kenyamanan 2. Berikan
psikologis dan fisiologis ketentraman dan
Kriteria Hasil : kenyamanan
1. menjelaskan cara kepada pasien dan
mengatasi cemas berikan dorongan
2. Wajah klien tidak kepada pasien
tampak cemas untuk
dan mengungkapkan
gelisah kecemasany.
3. Klien tampak 3. Jelaskan jenis
tenang prosedur
tindakanoperasi
dan anestesi yang
akan dilakukan
4. Ajarkan teknik
relaksasi napas
dalam
5. Lakukan
kolaborasi untuk
memberikan obat
penenang
2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Lakukan
Bersihan Jalan Nafas tindakan keperawatan Auskultasi
diharapkan masalah 2. Cek SPO2 pasien
Ketidakefektifan 3. Jika terdapat
Bersihan Jalan Nafas secret lakukan
teratasi dengan Kriteria suction
Hasil : 4. Ulang berkali-kali
1. Bunyi suara nafas suction jika
pasien Vesikuler diperlukan
2. Jalan nafas bersih 5. Setelah
dari secret pembersihan cek
kembali suara
nafas pasien
sampai terdengar
Vesikuler

Intra Anestesi

1 Hipotermi Setelah dilakukan 1. Pantau suhu


tindakan tubuh pasien
kepenataananestesi setiap 15 menit
diharapkan masalah sekali
hipotermi pasien 2. Jelaskan kepada
berkurang/hilang pasien factor
dengan kriteria hasil: penyebab
1. Pasien tidak menggigil
terlihat menggigil 3. Berikan selimut
2. Pasien tidak pucat hangat pada
3. TTV normal klien.
4. Suhu tubuh : 36

2 Resiko aspirasi Setelah diberikan asuhan 1. kaji posisi lidah ,


diharapkan resiko pastikan lidah
Aspirasi berkurang atau tidak jatuh ke
hilang. Kriteria hasil: belakang dan
1. Pasien tidak akan menyumbat jalan
mengalami nafas
aspiras 2. Bersihkan sekresi
dari mulut dan
tenggorok
menggunakan tisu
atau alat
penghisap dengan
perlahan
3. Kolaborasi
dengan dokter
untuk pemberian
obat

Post Anestesi
1 Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat nyeri
Tindakan dengan PQRST
keperawatan anestesi, 2. Instruksikan pada
diharapkan masalah nyeri pasien Teknik
pasien berkurang dengan nafas dalam
kriteria hasil: 3. Ajarkan pasien
1. Skala nyeri tentang bagimana
pasien turun dari cara mengatasi
skala besar rasa nyeri
menjadi skala 4. Kolaborasikan
kecil. dengan dokter
2. Pasien dapat untuk pemberian
mengendalikan anlgesik
rasa nyeri
tersebut .
3. Pasien
mengatakan rasa
nyaman setelah
nyeri berkurang.
2 Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan 1. Monitoring vital
Fisik tindakan sign
keperawatan diharapkan sebelum/sesudah
masalah hambatan latihan dan lihat
mobilitas respon pasien saat
fisik dapat teratasi latihan.
dengan 2. Atur posisi pasien
kriteria hasil: dengan nyaman,
1. Adanya dengan
peningkatan menposisikan
kekuatan dan tubuh sejajar.
daya tahan 3. Ajarkan dan
ekstremitas bantu pasien
2. Mampu melakukan
menggerakkan rentang gerak
ekstermitas aktif pada
akstermitas yang
sehat
4. Konsultasikan
dengan terapi
fisik tentang
rencana
ambulansi sesuai
kebutuhan

4. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu
berkaitan dengan tujuan, apabila dalam penilaiannya ternyata tujuan tidak
tercapai, maka perlu dicari penyebabnya. Hal tersebut dapat terjadi karena
beberapa faktor: tujuan tidak realistis, tindakan keperawatan yang tidak tepat, &
terdapat faktor lingkungan yang tidak dapat diatasi.
E. Daftar Pustaka
1. USMAN, E. P. (2022). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN NY. S
DENGAN BRADIKARDI SIMPTOMATIK DI RUANGAN WISNUMURTI RSUP
DR. SARDJITO YOGYAKARTA (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta).
2. Kalangi, C. S., Jim, E. L., & Joseph, V. F. (2016). Gambaran aritmia pada pasien
penyakit jantung koroner di RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado periode 1
Januari 2015–31 Desember 2015. e-CliniC, 4(2).
3. Hanifa, A. (2017). Hubungan Hiptermia Dengan Waktu Pulih Sadar Pasca
General Anestesi Di Ruang Pemulihan RSUD Wates (Doctoral dissertation,
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta).
4. Setiowati, T. (2020). HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT DENGAN
TINDAKAN PENCEGAHAN KOMPLIKASI PASCA GENERAL ANESTESI
DI BANGSAL BEDAH RSUD WONOSARI (Doctoral dissertation, Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta).

Anda mungkin juga menyukai