Anda di halaman 1dari 14

Arah Baru Studi Hukum Islam di Indonesia

Reaksi:>> 
Arah Baru Studi Hukum Islam di Indonesia

Ada dugaan kuat, basis historis-epistemologis ilmu hukum Islam masih belum menemukan
bentuk yang mapan sehingga tradisi pembelajaran hukum Islam di lingkungan IAIN/STAIN
masih terkesan seperti di pesantren. Diakui bahwa di beberapa IAIN tertentu, telah
mengalami perubahan yang agak signifikan, namun demikian secara umum dapat dikatakan
bahwa studi hukum Islam yang bersifat teologis-normatif-deduktif masih mendominasi
tradisi permbelajaran disiplin ilmu ini.
Tulisan ini berupaya membahas pembidangan keilmuan agama Islam khususnya bidang
studi hukum Islam yang diharapkan dapat dikembangkan di IAIN/STAIN. Untuk itu, kajian
ini diawali dengan membahas pembidangan ilmu hukum Islam yang pernah diajarkan di
IAIN/STAIN. Selanjutnya, secara telegrafik, tulisan ini akan mengkaji secara singkat tradisi
pembelajaran hukum Islam di Indonesia. Dari gambaran singkat ini diharapkan dapat
menggambarkan bahwa hukum Islam merupakan bagian dari studi yang sangat diminati
oleh umat Islam di Indonesia. Pada tahap berikutnya, studi ini akan memberikan beberapa
pandangan awal dalam rangka pengembangan studi hukum Islam di lingkungan
IAIN/STAIN; kemudian diakhiri dengan beberapa kesimpulan penting.

Pembidangan Ilmu Hukum Islam dan Pranata Sosial:


Beberapa Persoalan Mendasar
Dalam sebuah tulisan yang lain, kami telah menegaskan bahwa pembidangan ilmu agama
Islam yang pernah dikeluarkan oleh LIPI ternyata tidak mampu memaksimalkan potensi
lulusan IAIN/STAIN sebagai ilmuwan agama yang dapat bersaing dalam kehidupan
sekarang ini. Hal ini, dipicu oleh beberapa hal yang mungkin saja dialami oleh seluruh
lembaga perguruan tinggi agama Islam, yaitu: pembidangan keilmuan yang digagas oleh
LIPI telah menyebabkan studi Islam di Indonesia masih bergelut dalam aspek-aspek
normatif-deduktif-klasik. Di samping itu, kewenangan (baca: inisiatif) IAIN/STAIN untuk
mengembangkan ilmu-ilmu yang bersifat hasil ilmu agama masih sering dipicu oleh
perdebatan tentang dikhotomi ilmu agama dan ilmu sekular. Akibatnya, perkembangan
studi Islam di IAIN/STAIN hanya mengusung terma dan isu klasik, tanpa sedikitpun
menyentuh hal-hal kontemporer yang 뱈 embumi.”
Hal ini juga terjadi dalam kajian hukum Islam, di mana pembidangan oleh LIPI masih dapat
dikatakan tumpang tindih dan sulit didekatkan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang
tergolong mapan. Untuk membuktikan asumsi ini, berikut ini dikemukakan pembidangan
hukum Islam dan pranata sosial:

Pembidangan Ilmu Hukum Islam Dan Pranata Sosial


No. Bidang Wilayah Kajian
1. Ushul Fiqh i. Ushul Fiqh Mazhab-Mazhab
ii. Perbandingan Mazhab-Mazhab Ushul Fiqh
iii. Qawaid Fiqhiyyah
iv. Filsafat Hukum Islam
v. Perkembangan Modern/Pembaharuan dalam Bidang Ushul Fiqh
2. Fiqh Islam i. Ilmu Fiqh
ii. Tarikh Tasyri‘
iii. Mazhab-Mazhab Fiqh
iv. Perbandingan Mazhab-Mazhab Fiqh
v. Masail Fiqhiyyah
vi. Al-Murafaat/Acara Peradilan Agama
vii. Perkembangan Modern/Pembaharuan dalam Bidang Fiqh
3. Pranata Sosial i. Fiqh Munakahat di Indonesia
ii. Fiqh Mu‘amalat
iii. Fiqh Siyasah
iv. Fiqh Ibadah
v. Fiqh Ekonomi
vi. Fiqh Kepolisian
vii. Peradilan Islam
viii. Peradilan Agama di Indonesia
ix. Lembaga-Lembaga Kemasyarakat Islam
4. Ilmu Falak dan Hisab i. Kosmologi dan Kosmogini
ii. Susunan antar Planet
iii. Ilmu Falak Optik
iv. Sejarah Ilmu Falak
v. Cara menghitung Ilmu Falak

Harus diakui pembidangan keilmuan hukum Islam di atas masih menyisakan beberapa
persoalan. Pertama, masing-masing bidang di atas tidak memberikan suatu basis
epistemologis yang jelas. Hal ini disebabkan bidang keilmuan tersebut hampir sama, jika
tidak boleh dikatakan serupa. Hal ini dapat dilihat dari empat bidang di atas masih terkesan
seolah-olah mahasiswa dipaksa menjadi 밽 enerasi penghafal_ terhadap masing-masing
sub-bidang keilmuan. Dalam hal ini, yang patut dipertanyakan adalah apakah betul
demikian bidang keilmuan hukum Islam, jangan-jangan hal tersebut mengikut pola
penulisan kitab kuning yang menjadi bahan ajar di pesantren.
Kedua, bidang keilmuan di atas masing-masing menunjukkan kesenjangan antara apa yang
seharusnya diketahui, dikuasai, dan diterapkan dalam kehidupan mahasiswa. Dalam hal ini,
jika pembidangan di atas hanya untuk sekadar memperkenalkan atau 밶 gar mahasiswa
mengetahui_, maka hal ini merupakan suatu 뱆 ecelakaan_ dalam bidang kajian hukum
Islam. Tanpa mempersalahkan kompetensi pengajar, tampak mahasiswa merasa ogah
untuk mendalami hukum Islam, disebabkan oleh ketidakmengertian mereka di mana 뱆
easyikan_ ilmu tersebut. Bagi sebagian mahasiswa, bidang yang ditawarkan dalam kajian
hukum Islam masih sebatas what should we know and obey, bukan ‘how’ dan ‘why’. Kedua
pertanyaan terakhir inilah yang jarang sekali tampak dalam sistem pembelajaran kajian
hukum Islam. Sebab, jika dimulai dengan dua pertanyaan tersebut, maka kajian hukum
Islam akan masuk ke ranah epistemologi (howness), dan aksiologi (whyness) yang tidak
jarang, mempertemukan kajian hukum Islam dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Ketiga, bidang keilmuan di atas dapat dikatakan masih sangat luas dan dipetakan melalui
rangkaian keilmuan yang rancu. Tegasnya, jika seseorang ingin mempelajari fiqh, maka
secara old fashion akan bertemu dengan ushul fiqh seterusnya melalui berbagai pendekatan
akan memulai suatu penjelajahan terhadap berbagai persoalan fiqh itu sendiri. Maksudnya,
peta kajian yang hendak dikaji masih bersifat mengulang-ulang dan membosankan. Hal ini
disebabkan oleh, kajian hukum Islam adalah mempelajari pendapat-pendapat ulama
tentang berbagai persoalan yang terkadang sulit didalami oleh mahasiswa yang kurang
memahami bahasa asing, terutama Arab gundul. Qaidah-qaidah fiqh dan qaidah-qidah ushul
yang semula dirumuskan untuk menjadi kerangka berpikir dalam menghadapi masalah-
masalah hukum Islam, ternyata hanya menjadi bahan hafalan belaka yang impoten dalam
menghadapi problem sosial kemasyarakatan. Persoalan ini, semakin diperparah oleh
wilayah kajian pranata sosial yang masih perlu dipertemukan dengan berbagai pendekatan
dalam ilmu sosial. Sehingga, kajian pranata sosial juga tidak selalu dihafal dan dijawab
dalam ujian; tetapi, bagaimana mahasiswa mampu memahami aspek epistemologi dan
aksiologinya.
Keempat, bidang keilmuan yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti Ilmu Falak malah
tidak mendapatkan perhatian serius di lingkungan IAIN/STAIN. Bidang ilmu ini, seakan-
akan menjadi 뱈 ilik_ perguruan tinggi umum. Tragsinya, bidang studi ini pun diajarkan
hanya sepintas lalu. Hal ini, tampak dari kitab-kitab klasik yang dijadikan sebagai bahan
ajar di Fakultas Syariah, tidak ada satupun literatur ilmu falak yang tergolong modern dan
memadai. Padahal kompetensi bidang ilmu ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam, bahkan
umat manusia pada umumnya.
Beberapa kritik di atas bukanlah berarti menolak kehadiran studi hukum Islam dan pranata
sosial. Bagaimana pun, wilayah keilmuan ini masih perlu dipertahankan namun perlu
dimodifikasi dalam beberapa hal. Untuk itu, medan kajian hukum Islam selayaknya
mendapat perhatian kita semua.
Pada dasarnya, hukum Islam sendiri adalah istilah khas dalam bahasa Indonesia (Melayu)
yang diterjemahkan dari Islamic Law (Inggris). Adapun istilah ini sendiri sering dilekatkan
kepada istilah fiqh yang telah berevolusi dari ilmu secara umum menjadi ilmu yang
dikhususkan tentang hukum-hukum dalam Islam. Namun demikian, belakangan ini, istilah
hukum Islam semakin sering digunakan, khususnya ketika para orientalis menggeluti studi
ini. Di sinilah kemudian kajian hukum Islam semakin menemukan momentum, dan tidak
sedikit kelompok orientalis menghasilkan karya magnum opus mereka yang sangat berguna
bagi umat Islam untuk memahami kembali hukum Islam.
Model kajian hukum Islam a la orientalis ini kemudian berkembang pesat. Adapun medan
yang mereka tempuh adalah melalui pertanyaan yang cukup 뱈 enghentak_ pemahaman
umat Islam yang sudah sekian lama terkungkung dalam tradisi taqlid.
Dalam konteks ini, kami ingin mengetengahkan isi materi kuliah Herbert J. Liebesny yang
disampaikan dalam tempo sepuluh tahun lebih di Universitas George Washington. Alasan
utama mengapa dipilih Liebesny, karena materi perkuliahan ini telah disampaikan selama
satu dasawarsa dan telah menghasilkan alumni yang berkiprah dalam kajian hukum Islam.
Di samping Liebesny, kajian ini juga akan menguraikan isi materi kuliah Hasbi Ash-
Shiddieqy yang disampaikan dalam perkuliahannya di IAIN Sunan Kalijaga. Sebab,
pengaruh Hasbi dalam kajian hukum Islam di Indonesia, khususnya di IAIN/STAIN, masih
terasa sekali.
Dalam memulai kajiannya, Herbert J. Liebesny menegaskan ada dua hal pokok:

One is to trace the historical development of Islamic law, the systematic reception of
Western law beginning in the nineteenth century, and the drafting of modern statutes and
codes on the period before and after World War II. The second is to give a brief systematic
survey of important legal institution in their classical Islamic form as well as in their
present-day appearance.

Selanjutnya, materi dan bidang keilmuan yang ditawarkan oleh Liebesny adalah sebagai
berikut: a) Basic Characteristic of Islamic Law; b) Historical Development & Sources of
Islamic Law; c) Legal Reforms in the Nineteenth Century; d) Legal Reforms since the End of
World War I; e) Anglo-Muhammadan Law; f) The Law of Marriage and Divorce; g) The Law
of Inheritance; h) Contract and Torts; i) Property and Waqf; j) Penal Law; k) Procedure
Before the Westernization of the Law.
Dari grand materi di atas mengindikasikan bahwa studi hukum Islam di Barat memang ingin
diajak untuk bersentuhan dengan pembaharuan hukum yang dipengaruhi oleh Eropa. Di
samping itu, rujukan yang digunakan oleh Liebesny hampir semuanya berasal dari para
sarjana hukum Islam Barat yang terkemuka seperti J.N.D Anderson, Joseph Schacht, Noel
J. Coulson, Ferhat J. Ziadeh, Bernard Lewis, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, untuk
materi yang disampaikan oleh Liebesny memang tidak mengenal sistem penjurusan yang
ketat seperti yang terlihat pada IAIN/STAIN. Dengan kata lain, apa yang disampaikan oleh
Liebesny adalah merupakan 밷 agian kecil_ dari studi Islam di Barat, konsentrasi hukum
Islam. Hal ini tampak dari judul perkuliahan yang diampu oleh Liebesny yaitu the Law of the
Near & Middle East (Hukum Timur Dekat dan Jauh). Ringkasnya, studi hukum Islam di Barat
telah dicoba disajikan melalui studi kawasan dengan berbagai pendekatan dalam bidang
ilmu sosial. Dengan cara seperti itu, hukum Islam ditampilkan lebih 밾 idup_ dan 뱈
enantang,_ sebab hukum Islam ini dicoba dipertemukan dengan hukum wilayah lain seperti
hukum anglosaxon dan continental.
Sementara itu, Hasbi Ash-Shiddieqy memandang bahwa maksud mempelajari fiqh dalam
lembaga-lembaga ilmiah tinggi, ialah: 뱒 upaya kita menjadikan fiqh Islami ini sumber
pokok bagi perkembangan tasyri’ di zaman baru ini.” Dari pernyataan Hasbi ini
menunjukkan bahwa kajian hukum Islam harus menghasilkan produk hukum untuk mengisi
kontiunitas perkembangan hukum Islam. Oleh karena itu, sangat wajar, wilayah kajian
hukum Islam pun sangat luas dengan asumsi bahwa ini menjadi modal bagi pelaku ijtihad
pada zaman sekarang. Ringkasnya, belajar hukum Islam sama dengan mempersiapkan diri
menjadi aktor-aktor pengkaji hukum Islam di lingkungan pemerintahan, yaitu hakim
agama. Orientasi ini tentu saja berbeda dengan studi hukum Islam di Barat, sebagaimana
ditegaskan di atas.
Adapun materi perkuliah hukum Islam yang diajarkan oleh Hasbi termaktub dalam tiga
karyanya yaitu: Pengantar Ilmu Fiqh, Pengantar Hukum Islam (I), Pengantar Hukum Islam
(II). Ketiga buku ini merupakan bahan perkuliahan Hasbi yang disampaikan di PTAIN dan
IAIN Sunan Kalijaga pada era 1950-1970-an. Adapun materi dalam Pengantar Ilmu Fiqh
terdiri mukaddimah dan dua bagian. Bagian pertama adalah sebagai berikut: a)
Mukaddimah; b) sekitar makna fiqh; c) pembagian pembahasan ilmu fiqh; d) periode-
periode fiqh; e) pembentukan mazhab-mazhab fiqh; f) mazhab-mazhab Syi’ah; g) sejarah
pembukuan dan pembukuan sumbernya; h) keistimewaan fiqh Islam dan ciri-ciri khasnya.
Adapun bagian kedua memuat tentang dasar-dasar hukum fiqh dimana materinya adalah:
a) ushul fiqh; b) fiqh Islam; c) ijtihad, ittiba’, talfiq, dan taqlid. Selanjutnya, materi-materi
di diperdalam lagi oleh Hasbi yang kemudian dibukukan dalam Pengantar Hukum Islam (2
jilid). Dalam menyampaikan materi-materi tentang hukum Islam, Hasbi memang sering
merujuk pada karya-karya ulama klasik, bahkan untuk bab tertentu, tidak jarang Hasbi
menyadur dari satu bab kitab fiqh tertentu. Hal ini dapat dipahami sebagai langkah Hasbi
untuk menanggulangi kesulitan para mahasiswa dalam memahami teks Arab.
Dari materi kajian hukum Islam yang disampaikan oleh penggagas Fiqh Indonesia tersebut
menunjukkan beberapa implikasi terhadap studi hukum Islam berikutnya. Setidaknya,
kajian hukum Islam pada masa tersebut, hanya diperuntukkan untuk bidang professional,
ketimbang akademik. Dengan kata lain, materi studi hukum Islam hanya menjadi modal
bagi para sarjana hukum Islam, terutama untuk menduduki posisi penting seperti posisi
hakim Agama. Dengan begitu, dapat dimengerti jika materi perkuliahan pun, hanya sebatas
untuk diketahui kemudian disampaikan kepada orang lain. Dalam bahasa Zarkowi Soejoeti:

Dilihat dari jurusan-jurusan yang ada, nampak jelas bahwa orientasi pendidikan tinggi
agama Islam waktu itu lebih pada pendidikan professional daripada pendidikan akademik.
Hal ini dapat dimengerti karena besarnya keperluan masyarakat dan negara yang masih
sangat muda akan tenaga-tenaga terdidik untuk mengisi jabatan-jabatan di bidang
Pendidikan, Hakim dan Penerangan Agama Islam.

Materi perkuliahan yang diberikan oleh Hasbi hampir sama seperti yang diberikan oleh
Liebesny. Hanya saja, kecenderungan Hasbi lebih menumpukan pada konsep-konsep dasar
yang harus dikuasai oleh mahasiswa. Jika dilihat dalam tiga karya Hasbi tersebut, maka
persoalan penjelasan konsep dalam ilmu fiqh (fiqh-ushul fiqh-ijtihad-ittiba-ittiba’-taqlid-
qiyas-ijmak) dijelaskan secara tuntas. Berbeda dengan Liebesny, Hasbi tidak menempatkan
atau tidak memandang hukum Islam sebagai bagian dari studi kawasan. Karena itu, materi
Hasbi tidak mempertemukan hukum Islam dengan hukum lain, seperti hukum Romawi. Hal
ini dapat dimengerti bahwa orientasi studi hukum Islam pada masa Hasbi hanya untuk
professional, bukan akademik.
Uraian di atas menempatkan medan kajian hukum Islam di Indonesia memang masih
bergelut pada 밶 pa yang seharusnya dikuasai_ oleh mahasiswa, dan bukan 밶 pa yang
seharusnya dikaji_ oleh mereka. Tidak sedikit mata kuliah yang ditawarkan memang tidak
menimbulkan semangat pada diri mahasiswa. Tentu saja hal ini dipicu oleh beberapa hal.
Pertama, mahasiswa yang masuk ke IAIN/STAIN adalah mereka yang tidak lulus UMPTN
(Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sehingga sangat wajar jika minat mereka memang
bukan untuk mendalami hukum Islam, tetapi memang telah 뱓 ersesat di jalan yang benar._
Kedua, IAIN/STAIN jarang memiliki inisiatif untuk melakukan matrikulasi untuk bidang
tertentu. Padahal, cara ini sangat baik untuk mempersamakan starting kajian hukum Islam.
Ketiga, medan kajian hukum Islam di IAIN/STAIN harus dikaji ulang, dengan asumsi apakah
kajian tersebut menjawab tuntutan akademik atau professional? Begitu juga, apakah untuk
mejawab kedua tuntutan tersebut sekaligus?

Tradisi Pembelajaran Hukum Islam di Indonesia:


Survey Historis
George Makdisi dalam salah satu karyanya menandaskan: 밒 n classical Islam was the
institution of learning, par excellence, in what it was devoted primary to the study of Islamic
law, queen of the Islamic sciences.” Dari pandangan Makdisi ini menunjukkan betapa posisi
studi hukum Islam merupakan suatu kajian yang telah 뱈 enyejarah_. Dengan kata lain,
hampir setiap lembaga studi Islam saat itu, menekuni hukum Islam. Karena itu, tidak
satupun lembaga studi Islam di dunia, apalagi di Indonesia, yang tidak mendalami hukum
Islam. Bahkan, karena seringkali disebut dengan istilah syariah, hukum Islam dipandang
mencakup segala aspek kehidupan umat, dan tidak hanya terbatas pada hukum dalam
artian modern. Hanya saja, model pembelajarannya yang terkadang tidak sama. Di Timur
Tengah, studi hukum Islam, mulanya dipelajari di madrasah kemudian dikembangkan di
tingkat jamiah. Tentu saja, saat itu, hukum Islam dikaji menurut keperluan yaitu untuk
memahami pendapat seorang imam mazhab kemudian mencoba melakukan proses syarah
dan hasyiyah.
Selanjutnya, untuk kasus studi hukum Islam di Indonesia telah dimulai saat Islam datang
pertama kali di Indonesia yaitu pada abad ke-7 Masehi. Ketika itu, studi hukum Islam belum
begitu melembaga, sebab, prosesnya hanya dengan melihat apa yang dilakukan oleh para
pedagang dari luar Nusantara, kemudian pribumi setempat. Tradisi studi hukum Islam di
Indonesia, telah dimulai mengemuka ketika pada abad ke-16, ketika dua ulama terkemuka
di Aceh menulis kitab fiqh. Mereka adalah Nuruddin Ar-Raniry yang mengarang kitab Sirat
al-Mustaqim dan Abdurrauf al-Singkili yang menulis karya Mir’at al-Tullab. Kedua kitab ini
mengikuti pola mazhab Syafii. Namun demikian, yang menarik dari dua karya ini adalah
keduanya merupakan hasil permintaan penguasa kepada mereka agar menulis kitab fiqh.
Hal ini disebabkan posisi mereka sebagai qadhi malik al-adil pada masa pemerintahan
Iskandar Tsani.
Selanjutnya, model pembelajaran hukum Islam diteruskan dengan sistem menerjemahkan
beberapa karya dari bahasa Arab ke bahasa setempat. Salah satu bahasa yang digunakan
adalah bahasa Jawa. Untuk keperluan pengajaran hukum Islam di pensatren Jawa, kitab-
kitab fiqh klasik diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut. Dalam hal ini, kajian hukum
Islam telah dipertemukan dalam budaya lokal. Situasi tersebut dapat diringkas sebagai
berikut:

That the Islamic legal literature had more influence among the ‘ulama and their disciples,
than in society at large, and even much less influence at the royal court. However, all this
does not mean that they had isolated themselves from the changes taking place outside
their pesantren _ and mosques. Those religious scholars responded to social changes by
formulating a set of legal decision reflecting a close interaction between the rich legacy of
the past, as prercribed in the old law texts, and the ever-changing situation in real life.
Legal maxims (qawaid al-fiqh), legal theories (ushul al-fiqh) and legal philosophies (hikmah
al-tashri’), besides the substantive legal rules (furu‘ al-fiqh) of the past were used as
resources to find answers and to formulate responses to questions and problems posed to
and faced by the community.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dinamika studi hukum Islam di Indonesia telah
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Jika sebelumnya hanya penguasa yang 뱈
enggunakan_ hukum Islam, maka fase sesudahnya, hukum Islam telah 뱈 embumi_ bagi
masyarakat. Bahkan, para ulama mulai memberikan fatwa-fatwa terhadap setiap persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan kata lain, situasi perubahan masyarakat telah
menuntut ulama untuk melakukan ijtihad. Sehingga dapat dipastikan, kecenderungan studi
hukum Islam merupakan 뱈 odal_ untuk terjun ke dalam masyarakat. Namun demikian, pola
pemikiran yang dikembangkan saat itu cenderung terbatas hanya pada mazhab Syafii.
Pergesekan studi hukum Islam mulai terasa manakala bertemu dengan dua hukum lainnya
yaitu hukum adat dan hukum warisan kolonial. Nobuyuki Yasuda menyebutkan bahwa ada
tiga tipe hukum yang berkembang di Asia Tenggara. Tipe pertama adalah 밿 ndigenous law
originating in the Proto states, which 꿤 all indigenous states before their colonization by
Western powers._ Tipe kedua, 뱮 imported law_ which was introduced or 밿 mproved_ by
the Western powers under their colonial rule._ Tipe ketiga, 밺 evelopment law. This type of
law seems to be a series of products of the development policies since the independence of
these countries after World War II.”
Untuk lebih memahami tipe hukum di Asia Tenggara, Yasuda menampilkan tabel sebagai
berikut:
Philiphines Indonesia Brunei Malaysia Singapore Thailand
Proto-state I Old (Malay) Custom Old Malay Custom Old Malay Custom Old Malay Custom
Old Malay Custom? Old Thai Custom
Proto-state II Hindu & Buddhism? Hindu & Buddhism Hindu & Buddhism Hindu & Buddhism
Hindu & Buddhism? Hindu & Buddhism
Proto-state III Islam in South Islam Islam Islam Islam? Budhism, Islam in South
Colonial State Spain and U.S (Portugal) Holland U.K. U.K. U.K.
Imported law from: Spain and U.S. Holland U.K. U.K. U.K, U.K. France, Germany, Japan.
Etc.

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, kajian hukum Islam di Indonesia mengalami posisi
setali tiga uang. Sebab, hukum Islam merupakan jenis hukum pertama (Indigenous law),
(proto state III) dan pada saat yang sama, dia juga menghadapi jenis hukum yang sama
(proto states II) yaitu hukum adat yang dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Demikian juga,
hukum Islam harus menerima 밶 rus desakan_ hukum impor yaitu hukum Belanda.
Kenyataan ini telah memberikan pengaruh terhadap studi hukum Islam. Sebab, ketiga
model hukum ini berbeda dari sisi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Terhadap hukum adat, hukum Islam diajak untuk 밷 ersahabat_ kendati dalam beberapa hal
tertentu, kedua jenis hukum ini sulit dipertemukan. Namun untuk usaha penyebaran agama
Islam, hukum adat dan hukum Islam mengalami proses dinamisasi yang penuh dengan
interaksi satu sama lain. Dalam hal ini, wilayah kajian hukum Islam kemudian mencoba
menyesuaikan dengan adat setempat. Hingga pada akhirnya, melahirkan beberapa teori
tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Kelahiran teori-teori tersebut dipicu oleh
intervensi pihak kolonial Belanda dalam upaya mereka memisahkan hukum Islam dan
hukum adat.
Selanjutnya, untuk kasus hukum Islam vis-_-vis hukum warisan kolonial, kenyataannya
berbeda dengan hukum Islam dan hukum adat. Sebab, hukum warisan kolonial 뱊 ot only in
the area of commerce and trade, but also in parts of the political institutions such as
judiciaries and central of local administrations, as far as colonialism demanded in order to
regulate the systems.” Jadi, dapat dipastikan hukum Islam menjadi 뱓 erkikis_ dalam
percaturan hukum di Indonesia. Proses reduksi fungsi hukum Islam di Indonesia juga
dilakukan oleh pihak kolonial dengan menyekolahkan beberapa pribumi ke Belanda untuk
mendalami ilmu hukum. Mereka yang menekuni ilmu hukum di Belanda banyak menjadi
tokoh penting dalam pengambilan keputusan dalam pemerintahan.
Pada saat yang sama, dalam kelompok internal umat Islam terjadi perpecahan yang
disebabkan persoalan khilafiyah. Dalam hal ini, terdapat dua kelompok yang berseberangan
dalam pemikiran hukum Islam. Kelompok pertama muncul dari kalangan modernis yang
kemudian dikenal, antara lain, dengan Muhammadiyah. Sejak kelahirannya, Muhammadiyah
memiliki basis di wilayah urban dan kelompok pedagang. Dan, mereka mempelajari hukum
Islam melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan. Salah satu slogan kelompok ini adalah
kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah. Sementara itu, kelompok kedua dari kalangan
tradisionalis, Nahdatul Ulama. Mereka lebih banyak berkonsentrasi di wilayah pedesaan dan
basis pemikiran hukum Islam lebih banyak di pesantren.
Hingga di sini dapat ditarik benang merah bahwa tradisi pembelajaran hukum Islam sangat
dipengaruhi oleh sosial-politik yang mengitarinya. Hal ini terlihat, sejak hukum Islam
bertemu dengan dua hukum lainnya, fungsi hukum ini semakin berkurang. Jika sebelumnya
hukum Islam mampu mengurus segala hal, maka setelah dia 밷 erjumpa_ hukum adat dan
kolonial, hukum Islam hanya difungsikan untuk persoalan al-ahwal al-syakhsiyyah. Fungsi
ini tentu saja memberikan implikasi terhadap minat orang untuk mendalami hukum Islam.
Karena itu, hukum Islam hanya marak dikaji di pesantren-pesantren yang bertujuan untuk
menciptakan kader ulama. Hal ini pada gilirannya membawa dampak terhadap studi hukum
Islam sendiri yaitu untuk 뱈 enghapal_ dan 뱈 enguasai_. Secara metodologis, kajiannya
lebih berorientasi teologis-normatif-deduktif dan kurang memperhatikan model historis-
empiris-induktif.
Sementara yang merasa perlu 뱎 enyegaran_ maka mereka melakukan proses ijtihad dalam
rangka menyesuaikan hukum Islam dalam konteks keindonesian. Ada beberapa tokoh
pemikir hukum Islam yang kemudian menelorkan pemikiran hukum Islam dalam konteks
keindonesia. Mereka adalah Hasby Ash-Shiddieqy (1906-1975) yang menggagas 밊 iqh
Indonesia_ dan Hazairin (1905-1975) yang mencetuskan 뱈 azhab nasional._ Dalam konteks
ini, kedua tokoh ini ingin mengakomodir apa yang terjadi dalam realitas masyarakat
Indonesia dengan pemikiran fiqh. Pikiran kedua tokoh ini, pada gilirannya, memberikan
inspirasi bagi generasi selanjutnya untuk selalu melakukan ijtihad.
Pikiran di atas merupakan respon terhadap segala persoalan umat Islam. Bahkan
belakangan ini, apa yang disebut dengan fiqh sosial, seperti hal-hal yang berhubungan
dengan KB, ekonomi, lingkungan, asuransi, perbankan, dan yang semacamnya,
menunjukkan semakin pentingnya hukum Islam dan semakin perlunya perhatian dan
pengembangan kajian hukum Islam di kalangan umat Islam. Karena itu, ide tentang
pentingnya fiqh a la Indonesia sebagaimana dikumandangkan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dan
Hazairin semakin tidak bisa lagi dibendung.
Lebih lanjut, setelah kemerdekaan, posisi hukum Islam semakin surut ke belakang. Kendati
demikian, ada yang mengatakan bahwa beberapa penggal kalimat dalam Piagam Jakarta
membuktikan bahwa Indonesia bukan negara Islam dan sekaligus bukan negara sekular.
Adapun sistem hukum yang dibangun adalah sistem hukum Pancasila. Dari sini kemudian
hukum Islam diajarkan hanya untuk mengisi beberapa jabatan penting dalam Departemen
Agama. Dengan kata lain, lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), termasuk di
dalammnya Fakultas atau Jurusan Syariah saat itu, hanya ditampung oleh departemen
tersebut. Karena itu dapat dipastikan, kajian hukum Islam tidak lagi seperti pada pada
sebelumnya yang bercorak dinamis dan responsif.
Lebih parah lagi, jika diamati materi kajian hukum Islam di Indonesia masih amat terbatas
bahkan jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan kajian hukum Islam di perguruan tinggi
Barat. Di perguruan tinggi Barat, kajian hukum Islam telah berkembang sedemikian rupa
dan mencakup, misalnya, kajian hukum Islam dalam perspektif kawasan dan juga materi-
materi seperti organisasi dan serikat kerja (guilds), arsitektur Islam, dan juga desa dan
kota Islam.
Di samping itu, kecenderungan para sarjana Indonesia yang belajar di Barat jarang
menekuni hukum Islam, dan hal ini juga ikut memberikan pengaruh yang cukup signifikan
bagi studi ini. Harus diakui, sebagian besar, jika tidak semua sarjana Indonesia yang belajar
Islam di Barat mendalami persoalan filsafat. Pada saat yang sama, generasi ahli hukum
kolonial yang disekolahkan Belanda mulai memainkan peran penting dalam persoalan
hukum di Indonesia. Kenyataan ini diperkuat adanya 27 alumni Leiden mendapai
kedudukan tingkat menteri yang pada gilirannya kebijakan terhadap hukum pun meniru
hukum Eropa yang pernah mereka pelajari di negara tempat mereka belajar.
Sementara itu, di PTAI (seperti IAIN dan STAIN) studi Islam masih diarahkan untuk sekadar
뱈 endalami_ dan hampir-hampir tidak untuk 뱈 engembangkan_. Oleh karena itu, studi
hukum Islam pun tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Studi ini masih bercorak a
la pesantrenis di mana para mahasiswa hanya mendalami isi bidang studi hukum Islam,
sebagaimana yang pernah dikuliahkan oleh Hasbi di atas. Reformasi studi hukum Islam di
IAIN/STAIN, dapat dikatakan terlambat, dibandingkan studi lainnya, seperti filsafat Islam
dan perbandingan agama. Hal ini dapat dipahami, sebab para alumni Barat yang mendalami
studi hukum Islam masih jarang. Mereka, seperti ditegaskan di atas, masih suka dengan
wilayah filsafat. Karena itu, model pembelajaran hukum Islam yang berorientasi akademik
dan mendorong model 뱎 engembangan,_ baru mendapat perhatian pada era 1990-an.
Pada tahun-tahun tersebut, pola studi hukum Islam telah mengalam peningkatan yang
cukup pesat. Setidaknya dapat dilihat dari peran alumni Barat yang mendalami hukum
Islam kemudian mengembangkan beberapa pendekatan baru dalam studi ini. Namun, patut
disayangkan, model ini pun ternyata tidak efektif. Sebab, mahasiswa IAIN/STAIN belum
terbiasa dengan model studi hukum Islam versi orientalis di mana mereka memadukan
studi ini dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang banyak 밷 ertemu_ dengan bahasa
asing (Arab dan Inggris). Kelemahan mahasiswa akan dua bahasa tersebut ternyata
menjadi kendala utama dalam proses pembelajaran hukum Islam pada era kontemporer ini.
Harus diakui, studi hukum Islam para era sekarang telah mempertemukan hukum Islam
berikut metodenya dengan persoalan-persoalan yang tidak dijumpai pada zaman klasik.
Kenyataan ini tentu saja menuntut kesiapan para peminat hukum Islam agar mampu
menyelesaikan setiap persoalan umat.

Masa Depan Kajian Hukum Islam di IAIN/STAIN:


Studi Kasus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pada bagian ini, kami akan melihat kurikulum dan silabus Fakultas Syariah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Sebagai IAIN tertua, perguruan ini tampaknya menjadi contoh bagi
IAIN dan STAIN lainnya dalam bidang studi hukum Islam. Namun, dalam kenyataannya,
studi hukum Islam di IAIN ini juga masih belum menampakkan perkembangan yang
menggembirakan. Jika kita sepakat bahwa IAIN Sunan Kalijaga sebagai IAIN terdepan,
maka dalam kajian hukum Islam pun masih sangat klasik dan teologis-normatif-dekuktif.
Pada Fakultas Syariah, menurut Kurikulum 1998, ada empat jurusan yaitu: Perbandingan
Mazhab dan Hukum (PMH), al-Ahwal al-Syakhsiyyah (AS), Jinayah Siyasah (JS), Muamalat
(MU). Bahkan baru-baru ini, Fakultas ini membuka program studi baru yaitu Keuangan
Islam (KUI). Dari empat jurusan tersebut, tampak bahwa jurusan-jurusan tersebut dibagi
bukan hanya untuk mendalami studi hukum Islam, namun juga jenis pekerjaan apa yang
akan didapatkan oleh alumni Fakultas ini. Jadi ada dua orientasi yang ingin dicapai oleh
Fakultas Syariah di IAIN Sunan Kalijaga, yaitu pengembangan akademik dan profesi.
Namun demikian, jika ditelaah mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa maka
sesungguhnya masing-masing jurusan ternyata tidak begitu menunjukkan perbedaan yang
berarti. Dari pengkajian terhadap silabus (Mata Kuliah Keahlian) yang menjadi acuan dalam
studi hukum Islam di Fakultas ini, tampak bahwa hampir semua jurusan tidak menunjukkan
perbedaan yang dominan. Hampir 75% mata kuliah keahlian yang diberikan kepada
mahasiswa adalah sama. Dengan kata lain, hanya 25% yang membedakan masing-masing
jurusan di Fakultas ini. Jadi, jika kita sepakat bahwa orientasi akadamik dan profesional
menjadi barometer lulusan Fakultas ini, maka tidak berlebihan jika dikatakan silabus ini
telah menghasilkan 뱒 arjana serba tanggung._ Jika IAIN sebagus ini menghasilkan lulusan
seperti ini, maka tidak dapat dibayangkan lulusan IAIN/STAIN lain yang memiliki
Fakultas/Jurusan Syariah.
Untuk menjawab persoalan di atas, kami memberikan beberapa opsi untuk pengembangan
studi hukum Islam di lingkungan IAIN/STAIN. Opsi ini masih sebatas tesis yang mungkin
dapat diperdebatkan.
Opsi pertama, studi hukum Islam sebagai bagian dari studi kawasan. Opsi ini ingin
menempatkan studi hukum Islam dalam percaturan studi kawasan. Dengan kata lain,
Indonesia sebagai salah satu kawasan yang termasuk dalam studi kawasan Islam, maka
perkembangan hukum Islam di sini dapat dikaji secara mendalam. Dengan kata lain,
perkembangan hukum Islam di Indonesia, meminjam istilah Satjipto Rahardjo, merupakan
laboratorium hukum yang sangat bagus. Apa yang ingin didalami, sama persis seperti yang
diberikan Liebesny (seperti dijelaskan terdahulu) dengan sedikit modifikasi yang sesuai
dengan konteks keindonensiaan. Dengan begitu, corak studi hukum Islam di IAIN/STAIN
menjadi Studi Hukum Islam di Asia Tenggara. Harus diakui, model studi ini masih sangat
langka di lingkungan IAIN/STAIN, bahkan di perguruan tinggi umum sekalipun.
Corak ini tentu saja mengandaikan mahasiswa telah memiliki ilmu dasar yang baik yaitu
penguasaan fiqh, ushul fiqh, dan tarikh tasyri’. Tiga ilmu dasar dalam pengkajian hukum
Islam ini akan menjadi pisau bedah menganalisa perkembangan hukum Islam di kawasan
ini. Selanjutnya, dapat juga dibandingkan dengan hukum di kawasan lainnya seperti Timur
Tengah, Eropa, Amerika, dan Asia Timur. Dengan demikian, mata kuliah yang diajarkan
adalah bagaimana melihat perkembangan hukum Islam di Asia Tenggara melalui berbagai
kacamata, dan mungkin juga membandingkannya dengan hukum-hukum di luar kawasan
Asia Tenggara.
Opsi kedua, mendalami satu atau dua saja yang terkait dengan studi hukum Islam. Cara ini
pernah dijalankan oleh Emory School di mana perguruan tinggi ini hanya mengkaji satu
bidang program studi yaitu Islamic Family Law (Hukum Keluarga Islam). Model ini akan
memperjelas keahlian mahasiswa, mereka menguasai satu bidang saja. Kendati opsi ini
sulit diterapkan, namun dalam beberapa hal akan menunjukkan manfaat yang cukup baik.
Jika di Indonesia ada 14 IAIN (Fakultas Syariah) dan 33 STAIN (Jurusan Syariah), dan
masing-masing konsentrasi pada satu bidang saja, maka masing-masing IAIN/STAIN akan
mampu melahirkan alumni yang profesional sekaligus mempunyai bekal cukup untuk
mengembangkan karir akademiknya. Dengan opsi kedua ini, mahasiswa benar-benar
mengkaji satu aspek studi hukum Islam secara tuntas dan dia langsung menjadi profesional
muda yang ahli hukum Islam sekaligus mempunyai kemampuan akademik yang siap
dikembangkan. Sehingga, bentuk kerja dan posisi akademik yang akan diperolehi alumni
pun sangat menjanjikan bagi masa depan mereka. Pendalaman studi hukum Islam model
ini menuntut para pengajar yang benar-benar ahli dalam bidangnya. Sehingga, setiap
pengajar memiliki ciri dan keahlian tersendiri sehingga siap melakukan penelitian secara
terus menerus untuk pengembangan bidang studi yang ditekuninya.
Opsi ketiga, studi hukum Islam menggunakan metode comparative law atau muqaranah
(Perbandingan hukum). Model ini hampir sama dengan opsi pertama, hanya saja, titik tekan
yang berbeda. Jika opsi pertama bertumpu pada kawasan, maka yang kedua lebih
menitiberatkan pada perbandingan. Cara ini memang semakin marak di perguruan tinggi
Barat. Sebab, dengan cara seperti ini, hukum Islam selain dibandingkan antar-tempat, juga
dengan hukum-hukum lainnya. IAIN/STAIN dapat menjadi motor penggerak opsi ini. Hemat
kami, fakultas hukum di perguruan tinggi umum, belum ada yang menggunakan model
studi ini secara sistematis dan mendalam. Dengan demikian, kekosongan ini dapat diisi oleh
IAIN/STAIN agar ada ahli-ahli perbandingan hukum yang berkualitas. Di luar negeri,
mahasiswa S-1 telah mulai dididik dengan model ini yang pada gilirannya, model ini lebih
menekankan pada aspek akademik, ketimbang profesional.
Opsi keempat, kembali ke tradisi klasik. Opsi ini adalah pilihan terakhir, jika memang tiga
opsi di atas tidak dapat dijalankan. Sebab, tanpa kemauan besar dan sungguh-sungguh tiga
opsi di atas memang agak sulit diterapkan di IAIN /STAIN. Di samping IAIN /STAIN belum
memiliki kemandirian seperti perguruan tinggi di luar negeri, Sumber Daya Manusia juga
ikut menjadi faktor penting dalam menjalankan ketiga opsi di atas. Untuk opsi yang terakhir
ini memang hanya dibutuhkan pendalaman dan pemekaran di sana-sini. Konkretnya,
penguasaan metodologi dan naskah-naskah klasik merupakan syarat penting untuk kembali
ke tradisi klasik. Corak studi hukum Islam seperti ini sama dengan sistem pembelajaran di
luar negeri seperti terlihat di sejumlah perguruan tinggi Barat. Dengan demikian, orientasi
studi hukum Islam di IAIN/STAIN adalah akademik murni.
Hal lain yang perlu disinggung di sini adalah posisi usul fiq yang sering disebut sebagai the
queen of all Islamic sciences. Hal ini penting mengingat adanya indikasi bahwa kajian ushul
fiqh semakin kurang mendapat perhatian. Di samping itu, pembahasan tentang persoalan-
persoalan hukum Islam seringkali hanya melibatkan persoalan detail (furu’) dan kurang
melibatkan persoalan dasar (ushul fiqh). Disadari bahwa gejala perdebatan yang lebih
menfokuskan pada masalah detail dan kurang melibatkan persoalan dasar ini berlangsung
hingga kini. Salah satu contoh, ketika reaktualisasi hukum Islam ramai diperbincangkan,
perdebatan terjebak, misalnya, pada contoh kecil berikut: apakah porsi dua banding satu
antara laki-laki dan perempuan dan hukum waris itu perlu dipertahankan? Jika cara berpikir
yang berorientasi praktis tanpa memahami landasan berpikir yang ada ini pertahankan,
penyelesaian persoalan-persoalan hukum yang ada akan selalu bersifat tambal sulam dan
tidak pernah menyentuh persoalan yang sebenarnya. Implikasi lain, perdebatan hukum
yang demikian ini dalam perjalanan sejarahnya cenderungan membawa umat melihat setiap
persoalan secara hitam putih dan kaku. Kerangka berpikir yang bersifat luwes dan dinamis
dalam menghadapi berbagai problem yang ada semakin hari tidak dikenal. Akibatnya, ada
sebagian kalangan yang bersikap sinis melihat hukum Islam dan lembaga-lembaga yang
mendukungnya.
Karena itu, sudah saatnya bagi umat Islam untuk lebih mehamai ushul fiqh yang menjadi
landasan penetapan hukum itu. Memahami ushul fiqh lebih jauh akan membawa mereka
melihat berbagai produk hukum bukan sebagai harga mati, tetapi lebih sebagai hasil proses
dialog para ahli hukum Islam dengan realitas yang ada. Dengan cara demikian, berbagai
formulasi ketentuan hukum Islam akan selalu menjadi jawaban yang tepat sejalan dengan
denyut perkembangan masyarakat; karena itu perubahan formulasi hukum merupakan satu
keniscayaan.
Memang perlu disadari bahwa hal ini bisa dicapai jika dilakukan reorientasi terhadap materi
dan model kajian fiqh dan ushul fiqh serta institusi yang mendukung subjek tersebut.
Secara metodologis, misalnya, upaya pemahaman ajaran syari’ah (hukum Islam/fiqh)
haruslah meliputi dua model pendekatan. Pertama, pendekatan doktriner, normative dan
karenanya metode deduktif sangat dibutuhkan. Hal ini penting mengingat hukum Islam,
yang merupakan upaya memahami ajaran syariah, pada dasarnya menyangkut teks-teks
yang datang dari Allah yang diyakini sebagai pedoman pokok kehidupan bersifat sacral dan
transcendental. Kedua, perlunya dimanfaatkan pendekatan-pendekatan lain seperti
pendekatan filosofis semantic, sosiologis, antropologi, dan histories. Hal ini merupakan satu
keniscayaan mengingat upaya pemahaman terhadap teks-teks syariah pada akhirnya
diyakini sebagai bersifat relative yang kebenarannya membutuhkan penelitian secara terus
menerus sebagaimana penelitian-penelitian ilmiah lainnya. Sebab pemahaman terhadap
satu teks akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor bahasa ataupun konteks
sosial dari teks itu sendiri, juga menyangkut konteks sosial dari munculnya teks-teks
ataupun konteks sosial masing-masing mereka yang mencoba memahami teks-teks syariah
itu sendiri. Sekarang ini, semakian dirasakan pentingnya kajian hermeneutic hukum (legal
hermeneutics), yang dalam kajian hukum konvensional belum banyak mendapat perhatian.

Catatan
Tulisan ini merupakan revisi dari makalah dengan judul 揇 imensi Historis-Epistemologis
bidang Keilmuan Hukum Islam dan Pranata Sosial serta Orientasi Pengembangannya di
IAIN/STAIN_ yang dipresentasikan dalam Semiloka Pembidangan Keilmuan Agama Islam,
diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKIM), STAIN Mataram, 12-13
September 2003.
Lihat Atho Mudzhar,봗 he Study of Islamic Law in Indonesian Islam Universitites (The case
of the Kulliyat Al-Sharî‘ah of the State Institute of Islamic Studies [IAIN] Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, Indonesia),_ Al-Jami‘ah, No.63 (1999), hlm. 1-9.
Lihat misalnya, M. Amin Abdullah, 밡 ew Horizons of Islamic Studies Throught Socio-Cultural
Hermeneutics,_ Al-Jami‘ah, Vol.21, No.1 (2001), hlm. 1-24.
Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman, 밙 ajian Pembidangan Bidang Ilmu Agama Islam yang
Dibutuhkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam,_ (forthcoming, 2003).
Lebih mendalam, baca Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Mileniuam Baru, (Jakarta: Logos, 1999), khususnya Bagian Ketiga, hlm. 157-250.
Lihat juga Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, 밚 aw and Culture in Islam: The Case of
Western Scholars Perception on Islamic Law and Its Effect to Islamic Law Studies in State
Institute of Islamic Studies (IAIN) of Indonesia,_ Profetika, Vol.4, No.1 Januari (2003),
hlm.77 -82.
Bandingkan dengan Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-
Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 124-128.
Lihat juga Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), hlm. 3-4.
Lihat model yang pernah kami tawarkan, Akh. Minhaji, 밨 eorientasi Kajian Ushul Fiqh,_ Al-
Jami‘ah, No.63 (1999), hlm.12-28; idem, 밫 radisi Islah dan Tajdid dalam Hukum Islam,_
Profetika, Vol.3, No.2 (2001), hlm. 237-266.
Susiknan Azhari, 밨 evitalisasi Studi Hisab di Indonesia,_ Al-Jami‘ah, No.65 (2000), hlm.
110.
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis, hlm. 222.
Istilah hukum Islam juga terdapat dalam bahasa asing lainnya, seperti droit musulman
(Perancis), Islamietish recht (Belanda), Islamische Recht (Jerman), Islam hukuku (Turki).
Lihat Akh. Minhaji, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958),
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta Press, 2001), hlm.96.
Tentang evolusi istilah fiqh, baca Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1997),
hlm.141-154.
Atho Mudzhar, The Study of Islamic Law in Indonesian, hlm. 6-7.
Herbert J. Liebesny, The Law of the Near & East: Readings, Cases, & Materials, (New York:
State University of New York, 1975), hlm. xi.
Herbert J. Liebesny, The Law, hlm. vii-viii.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 93.
Zarkowi Soejoeti,봍 embaga Studi Islam di Indonesia,_ dalam Zainuddin Fananie dan M.
Thoyibi (ed.), Studi Islam Asia Tenggara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
1999), hlm. 358.
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islam and the West,
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), h.lm. 9.
Baca misalnya, Nurcholish Madjid, 밫 radisi Syarah dan Hasyiyah Dalam Fiqh dan Masalah
Stagnasi Pemikiran Hukum Islam,_ dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 311-318.
Lihat Kamaruzzaman, 밙 ontribusi Daerah Aceh terhadap Perkembangan Awal Hukum Islam
di Indonesia,_ Al-Jami‘ah, No.64 (1999), hlm. 143-170.
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, hlm. 113-114.
Nur Ahmad Fadhil Lubis, 밒 slamic Legal Literature and Substantive Law in Indonesia,_
Studia Islamika, Vol.4, No.3, (1997), hlm. 41-42.
Nobuyuki Yasuda, 밚 aw and Development in ASEAN countries,_ ASEAN Economic Bulletin,
Vol.10, No.2 (1993), hlm. 145.
Nobuyuki Yasuda, Law and Development, hlm. 147.
Baca karya berikut: J.F. Holleman (ed.), Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law, (Leiden:
KLTLV, 1981); Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia,
(Jakarta: INIS, 1998).
Untuk penjelasan teori-teori pemberlakukan hukum Islam, baca Ichtijanto,봒 engembangan
Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia,_ dalam Eddi Rudiana (peny.), Hukum Islam di
Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: Rosdakarya, 1994), hlm. 95-149.
Nobuyuki Yasuda, Law and Development, hlm. 148.
Lihat Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, 밐 ukum Islam dalam Lintasan Sejarah Indonesia,_
Mimbar Hukum, No.55 (2001), hlm. 17.
Untuk kajian tentang pandangan kedua organisasi tentang hukum Islam, baca Rifyal
Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU, (Jakarta: Universita
Yarsi Jakarta, 1999).
Akh. Minhaji, “Prof. K.H. Ali Yafie dan Fiqh Indonesia,” Al-Mawarid 6 (1997), hlm. 115-121.
Baca misalnya, Munawir Sjadzali,봌 eberadaan Departemen Agama merupakan Jaminan
Republik Indonesia Bukan Negara Sekular,_ dalam dalam Eddi Rudiana (peny.), Hukum
Islam di Indonesia, hlm. 65-72.
Ichtijanto, 밪 istem Hukum Pancasila,_ dalam ibid., hlm. 151-163.
Baca antara lain Gabriel Baer, “Guilds in Middle Eastern History,” dalam M.A. Cook (ed.),
Studies in Economic History of the Middle East from Rise Islam to the Present Day, (London:
Oxford University Press, 1970); Bernard Lewis, “The Islamic Studies,” Economic History
Review 8 (1937), hlm. 20-37.
Baca misalnya, Gabriel Baer, “Village and City in Egypt and Syria: 1500-1914,” dalam A.L.
Udovith (ed.), The Islamic Middle East, 700-1900: Studies in Economic and Social History,
(Princeton: The Darwin Press, 1981), hlm. 595-651; Ira M. Lapidus, ed., Middle Eastern
Cities: A Symposium on Ancient, Islamic, and Contemporary Middle Eastern Urbanism,
(Berkeler: University of California, 1969); idem, Muslim Cities in the Later Middle Ages,
(Cambridge: Harvard University Press, 1967).
Baca Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman, 밒 n Memoriam: Prof. Dr. H.M. Rasjidi, 1915-2001,_
Asy-Syir’ah, No.8 (2001), hlm. 114.
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Hukum Islam, hlm. 18.
Lihat misalnya, Ratno Lukito, 밪 tudi Hukum Islam antara IAIN dan McGill,_ dalam Yudian
W. Asmin (ed.), Pengalaman Belajar Islam di Kanada, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1997), hlm. 143-164.
Baca Kurikulum dan Silabi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Sarjana (S1), Fakultas
Syariah, (Departemen Agama RI Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama Islam, 1998).
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Law and Culture, hlm.79.
Lihat misalnya, diktat kuliah Baber Johansen yang dibukukan dalam Contigency in a Sacred
Law: Legal and Ethical Norms in the Muslim Fiqh, (Leiden: Brill, 1999); Bernard G. Weiss
(ed.), Studies in Islamic Legal Theory, (Leiden: Brill, 2002).
Akh. Minhaji, “Posisi Ushul Fiqh dalam Kajian Islam,” Makalah disampaikan pada Studium
General Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, 27 November (1997).
Akh. Minhaji, “Islamic Law under the Ottoan Empire,” Asy-Syir’ah 4 (1996), hlm. 1-33;
Wael B. Hallaq, “Ifta’ and Ijtihad in Sunni Legal Theory: A Development Account,: dalam
Muhammad Khalid Masud, Brinkley Messick, dan David S. Powers (ed.), Islamic Legal
InterpretationL Muftis and Their Fatwas, (Cambridge: Harvard University Press, 1996), hlm.
33-43; idem, “Model Shurut Works and the Dialectic of Doctrine and Practice,” Islamic Law
and Society 2 (1995), hlm. 126-32; idem, “Usul al-Fiqh: Beyond Tradition,” Journal of
Islamic Studies, 3 (1993), hlm. 172-202.
Untuk hermeneutika hukum, baca antara lain, Gregory Leyh (ed.), Legal Hermeneutics:
History, Theory, and Practice, (Berkeley: University of California Press, 1992).

Anda mungkin juga menyukai