Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki iklim tropis dimana hampir sepanjang tahun
wilayahnya disinari oleh sinar matahari dengan intensitas yang tinggi. Intensitas penyinaran
matahari yang tinggi ini sangat beresiko menyebabkan hilangnya kandungan air pada kulit secara
berlebihan sehingga kulit menjadi kering. Salah satu cara untuk mengurangi paparan sinar
matahari yang berlebihan adalah dengan mengurangi aktivitas di luar ruangan. Di sisi lain,
permasalahan lain muncul ketika melakukan kegiatan di dalam ruangan dimana suhu ruangan
tinggi sehingga membutuhkan pendingin ruangan untuk meningkatkan kenyamanan. Namun
demikian, penggunaan pendingin ruangan ini ternyata juga dapat beresiko menyebabkan kulit
menjadi kering (Jones dkk, 2002).

Secara alamiah, kulit mampu berusaha melindungi diri dari kekeringan dengan adanya
lapisan kulit luar dan lapisan lemak dari kelenjar lemak untuk menutupi hilangnya kandungan air
pada kulit yang keluar melalui kelenjar keringat. Namun dalam kondisi tertentu faktor
perlindungan alamiah tersebut tidak mencukupi. Oleh karena itu, dibutuhkan perlindungan
tambahan non-alamiah yaitu dengan cara memberikan kosmetik pelembab kulit (Wasitaatmadja,
1997). Salah satu kosmetik pelembab kulit yang banyak digunakan adalah pelembab dalam
bentuk sediaan lotion pelembab kulit.

Lotion pelembab kulit merupakan sediaan kosmetik golongan emolien atau pelembut
yang memiliki beberapa manfaat yakni melembabkan kulit, memberi lapisan minyak pada kulit,
membuat kulit tangan dan badan menjadi lembut tanpa memberikan efek berminyak dan mudah
dioleskan (Sularto, 1995). Lotion pelembab kulit yang banyak beredar di pasaran saat ini
sebagian besar menggunakan bahan aktif yang berasal dari zat kimia sehingga jika digunakan
secara terus-menerus akan dapat menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan kulit diantaranya
dapat menimbulkan timbulnya iritasi kulit, flek hitam, penuaan dini, bahkan kanker kulit. Oleh
karena itu, dibutuhkan inovasi dalam lotion pelembab kulit yang aman bagi kulit dengan
memanfaatkan bahan aktif yang berasal dari alam. Salah satu bahan alam yang dapat digunakan

1
untuk menjaga kelembaban kulit adalah daun lidah buaya (Aloe vera) dikarenakan 2 bagian
dalam daun lidah buaya mengandung lignin yang mampu mencegah terjadinya penguapan air
pada kulit dan bersifat astrigent atau menyegarkan kulit (Belo, 2006).

Perawatan dengan pelembab bertujuan untuk menjaga kandungan air pada kulit antara
10% sampai 30% serta mengurangi penguapan air. Produk pelembab yang standar terdiri dari
bahan aktif antara lain humektan, oklusiv, emollien, kolagen, polipeptida dan bahan tambahan
seperti antioksidan. Selain itu,hal yang penting diperhatikan pada produk pelembab terutama di
Indonesia sebagai Negara Tropis adalah perlindungan terhadap sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet
diketahui menginduksi kerusakan sel kulit melalui media reaktif oksigen (oksidan) yang dapat
berakibat pada seluruh proses penuaan sel. Bahan yang mengandung antioksidan diperlukan
untuk dapat menyerap radikal bebas guna mengurangi efek sinar ultraviolet yang menginduksi
kerusakan sel kulit (Sumpena, 2001).

Untuk mempertahankan profil dan fungsi kulit yang normal, kadar air pada stratum
korneum harus lebih besar dari 10 %. Kadar air dapat berkurang melalui proses evaporasi ke
lingkungan dengan kondisi kelembaban udara yang rendah dan harus digantikan kembali oleh air
dari lapisan dermis maupun epidermis kulit di bawahnya (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999).

Komposisi ekstrak lidah buaya yang mengandung polisakarida (Aloe barbadensis Miller),
yang sering digunakan dalam formulasi kosmetik, dapat memberikan sifat pelembab pada
produk. Ekstrak Aloe vera diketahui mengandung beberapa zat aktif yang relevan sebagai
humektan pada pelembab Rukmana, 1994).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana cara mengevaluasi formulasi kosmetik yang mengandung ekstrak lidah buaya
kering dengan konsentrasi yang berbeda selama 1 – 2 minggu pemakaian dengan menggunakan
teknik bioteknologi kulit?

2
1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengevaluasi pengaruh formulasi kosmetik yang mengandung konsentrasi yang


berbeda dari ekstrak lidah buaya yg dikeringkan dan di aplikasikan pada kulit kering, setelah 1
dan 1 - 2 minggu pemakaian, dengan menggunakan teknik bioteknologi kulit.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lidah Buaya (Aloe vera)

Aloe merupakan tanaman Liliaceae yang mempunyai beberapa jumlah spesies yang
berbeda. Di antara spesies ini, hanya satu jenis yang telah lazim digunakan sebagai tanaman obat
sejak ribuan tahun yang lalu yaitu lidah buaya (Aloe vera). Aloe vera ditanam sebagai tanaman
hias dan tumbuh di tempat yang berhawa panas dan terbuka dengan kondisi tanah yang gembur
dan kaya bahan organik. Lidah buaya merupakan tanaman asli dari Afrika. Lidah buaya pertama
kali masuk ke Indonesia pada abad ke-17 yang dibawa oeh petani keturunan Cina.
Pembudidayaan lidah buaya tergolong sangat mudah dan tidak memerlukan biaya yang besar
serta perawatan yang rumit sehingga banyak dimanfaatkan dalam bidang pengobatan dan
kosmetika dan sangat potensial untuk dijadikan tanaman agroindustri (Sudarto, 1997).

Taksonomi Tanaman Lidah Buaya

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermathophyta

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Liliflorae

Famili : Liliaceae

Genus : Aloe

Spesies : Aloe Vera

Lidah Buaya merupakan sejenis tumbuhan yang merupakan salah satu spesies dari
tanaman lilieceae, Lidah buaya sudah dikenal sejak jaman mesir kuno sejak beberapa ribu tahun
yang lalu dan dipakai sebagai obat penyubur rambut, penyembuh luka, dan juga sebagai
perawatan kulit. Tanaman lidah buaya diduga berasal dari kepulauan Canary di sebelah barat
Afrika. Lidah buaya memiliki nama latin Aloe Vera atau Aloe barbadensis Milleer.

4
Lidah buaya di kenal sebagai tumbuhan yang kaya akan kandungan vitaminya (kecuali
vitamin D). Berdasarkan hal tersebut lidah buaya bisa di manfaatkan untuk menyembuhkan
penyakit, misalnya saja untuk Obat Cacing, Obat Antiseptik & Penyembuh Luka bakar, Obat
Bisul, Luka Bernanah, Amandel, Sakit Mata, Keseleo, Kosmetik, Jerawat, Mengurangi Gula
dalam Darah, Obat Pencahar, serta Regenerasi Kulit.

Lidah buaya atau Aloe vera mengandung air sebesar 99% dari berat total serta
mengandung monosakarida dan polisakarida sebesar 25% dari berat kering. Aloe vera juga
mengandung bradikinase, lignin, dan vitamin-vitamin, yaitu vitamin A, C, E, B12. Kandungan
monosakarida dan polisakarida mampu mengikat air di udara yang berfungsi sebagai humektan
sedangankan kandungan lignin dari gel Aloe vera memiliki kemampuan penyerapan ke dalam
kulit yang tinggi sehingga memudahkan peresapan kandungan air ekstrak Aloe vera ke kulit dan
mampu menahan hilangnya cairan dari permukaan kulit . Penelitian yang dilakukan sebelumnya
menunjukkan bahwa Aloe vera terbukti mampu menurunkan kadar Transepidermal Water Loss
(TEWL) dan meningkatkan kandungan air dalam stratum korneum.

Aloe vera dapat digunakan sebagai pelembab pada kadar antara 0,05-0,5% (Irawati,
2005). Sediaan pelembab Aloe vera dapat dibuat dengan mengupas kulit daun Aloe vera,
kemudian daging daun Aloe vera dipisahkan. Daging daun Aloe vera kemudian diblender dan
dikeringkan agar terjadinya kerusakan pada daging daun akibat tingginya kandungan air yang
dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi kimia dan aktivitas mikroorganisme dapat dihindari
(Saniah, Mangunsong, Indrastuti, 2008).

2.2 Pelembab

Kulit yang kering akan mengalami retak-retak pada stratum korneum. Kondisi ini dapat
menimbulkan gangguan kulit yang lebih serius. Jika retak-retak tersebut menjadi tempat
penumpukan bahan-bahan asing, seperti sisa sabun, kotoran, dan sisa mikroorganisme, maka
kulit yang kering dan retak-retak dapat mengalami iritasi, peradangan, dan keratinisasi abnormal
(Lynde, 2001). Secara alamiah, kulit telah berusaha untuk melindungi diri dari kekeringan
melalui lapisan lemak di permukaan kulit yang berasal dari kelenjar lemak dan kelenjar keringat
dari kulit serta melalui lapisan kulit luar yang berfungsi sebagai sawar kulit. Namun, dalam
kondisi tertentu faktor perlindungan alamiah tersebut tidak cukup. Oleh karena itu, dibutuhkan

5
suatu perlindungan tambahan non-alamiah melalui pemberian pelembab kulit (Wasitaatmadja,
1997).

Kulit adalah lapisan terluar dari tubuh sehingga secara terus menerus akan terpapar oleh
stimulus lingkungan. Profil dan fungsi kulit dipelihara oleh dua hal yang penting yaitu
keseimbangan kadar air pada stratum korneum dan lipid pada permukaan kulit. Paparan dari
faktor eksternal seperti kelembaban udara, radiasi ultraviolet dan suhu, sedangkan faktor
endogen seperti hormon dapat menggangu keseimbangan kulit. Adapun faktor lain seperti
frekuensi penggunaan sabun, detergen, dan bahan irritant misalnya alkohol dan air dengan suhu
tinggi dapat melepaskan sebagian lapisan lipid permukaan kulit. Ketika keseimbangan tersebut
terganggu dapat menimbulkan kondisi kulit patologis yang dikenal sebagai kulit kering atau
xerosis. Xerosis adalah hasil dari penurunan kadar air pada stratus korneum yang menyebabkan
deskuamasi abnormal korneosit.

Pelembab (moisturizer) adalah suatu produk perawatan kulit yang berfungsi untuk
mempertahankan struktur dan fungsi kulit dari udara kering, sinar matahari terik, umur lanjut,
serta berbagai penyakit kulit ataupun penyakit dalam tubuh yang dapat mempercepat penguapan
air dan menjadikan kulit lebih kering (Mayo Clinic, 2014). Dengan kata lain, fungsi utama
pelembab adalah untuk menjaga kelembaban semua jenis kulit. Selain itu, pelembab juga
berfungsi untuk melapisi epidermis kulit, melindungi kulit sensitif, serta menghaluskan dan
melembutkan kulit.

Transepidermal water loss (TEWL) adalah banyaknya uap air yang hilang dari kulit,
namun tidak termasuk keluarnya air melalui keringat. Transepidermal water loss meningkat
beriringan dengan peningkatan temperatur kulit dan besarnya Transepidermal water loss sangat
dipengaruhi oleh tingginya suhu lingkungan kulit (Draelos., 2010).

2.3 Bentuk Sediaan Pelembab

Bentuk sediaan pelembab kulit yang akan dibuat adalah lotion berbasis minyak atau
disebut sebagai emulsi W/O. Pemilihan bentuk sediaan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan, seperti kandungan bahan di sediaan, sterilitas sediaan, kemudahan pengaplikasian

6
sediaan, daya tahan sediaan, dan jenis kulit yang akan dilembabkan. Pertimbangan-pertimbangan
tersebut akan dijelaskan secara lebih rinci pada sub-bab 2.4.1 dan 2.4.3.

Beberapa bentuk sediaan pelembab, seperti lotion dan krim, termasuk ke dalam jenis
emulsi. Emulsi adalah suatu campuran yang terdiri atas dua jenis zat (air dan minyak atau lemak)
yang tidak secara alamiah saling bercampur. Dalam emulsi, salah satu zat (fase terdispersi)
terdispersi dalam zat lainnya (fase kontinyu). Namun, dispersi kedua fase ini tidak stabil,
sehingga dibutuhkan suatu emulsifier yang dapat menstabilkan emulsi. (Khan dkk, 2006).

Emulsifier mempunyai dua kepala, yaitu hidrofilik dan lipidfilik (Klein, 2003).
Emulsifier bekerja dengan cara membentuk lapisan tipis di permukaan fase terdispersi. Salah
satu kepala emulsifier terikat pada fase terdispersi, sedangkan kepala lainnya terikat pada fase
kontinyu. Dengan demikian, lapisan yang dibentuk oleh emulsifier dapat mencegah terjadinya
koalesen atau pemisahan fase terdispersi dari fase kontinyu.

Emulsi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu emulsi W/O dan emulsi O/W. Emulsi
dikatakan sebagai sistem air dalam minyak (W/O) jika fase terdispersinya adalah air dan fase
kontinyunya adalah minyak. Demikian pula sebaliknya. Jenis emulsi tidak ditentukan dari
komposisi air dan minyak dalam emulsi ataupun dari tahapan pencampuran kedua fase, tetapi
dari jenis emulsifier yang digunakan (Klein, 2003). Emulsifier untuk emulsi O/W merupakan
emulsifier ionik yang memiliki nilai HLB (hydrophilic/lipophilic balance) tinggi. Sementara itu,
emulsifier untuk emulsi W/O memiliki nilai HLB yang sangat rendah, yaitu antara 3–6.

Pelembab adalah sediaan yang diperuntukkan untuk mencegah penguapan air pada kulit
(stratum corneum). Pertimbangan dalam pembuatan pelembab antara lain estetika, persepsi
konsumen akan perfomance produk, jenis kulit, lingkungan, tipe kulit berdasarkan ras, faktor
usia, bagian tubuh yang akan menggunakan pelembab, pekerjaan, dan sebagainya. Ada beberapa
formula pelembab, antara lain :

1. Formula I : basis pelembab emulsi O/W yang konsistensi produknya seperti lotion
2. Formula II : cold cream dengan emulsi W/O yang sangat kental
3. Formula III : krim emolien yang tidak menggunakan air dalam formulanya dan
konsistensi produknya seperti salep 

7
4. Formula IV : basis krim untuk kulit kering dan merupakan emulsi O/W dengan
konsistensi yang kental 
5. Formula V : basis pelembab kosmetik yang banyak digunakan dan merupakan emulsi
O/W 
6. Formula VI : pelembab dalam bentuk gel yang mempunyai viskositas yang tinggi

2.3.1 Lotion Pelembab Kulit

Lotion dan krim merupakan bentuk sediaan produk perawatan yang dapat dioleskan
di permukaan kulit (Remington, 2006). Perbedaan keduanya terletak pada kandungan fase
air, fase minyak, dan emulsifier, yang kemudian menyebabkan perbedaan viskositas lotion
dan krim (Midkiff, 2004). Jika dibandingkan dengan krim, lotion mengandung lebih sedikit
emulsifier (2–4%) dan lebih banyak fase air (80%). Sementara itu, krim mengandung lebih
banyak emulsifier (6–8%) dan lebih sedikit fase air (60–70%). Kandungan fase minyak yang
terlalu tinggi justru dapat membuat kulit terasa lengket dan menutup pori-pori kulit. Oleh
karena itu, kebanyakan pelembab memiliki sediaan berbentuk lotion.

Perbedaan kandungan di lotion dan krim menyebabkan perbedaan viskositas, yang


mana krim bersifat lebih viskos daripada lotion (Pander, 2009). Secara fisik, perbedaan
viskositas lotion dan krim dapat dilihat dari wujudnya pada kondisi ruang. Lotion berwujud
lebih ringan dan tipis daripada krim, yang menyebabkan lotion dapat mengalir mengikuti
gaya gravitasi. Sementara itu, krim berwujud lebih padat dan berat, sehingga lebih susah
mengalir jika hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Oleh karena itu, lotion dapat disimpan
di dalam botol berpompa atau tube, serta dikeluarkan dengan cara memompa botol atau
menekan tube. Krim juga disimpan di dalam botol, tetapi karena bersifat lebih viskos,
pengeluarannya dilakukan dengan cara mencolek krim. Berdasarkan model penyimpanan,
sterilitas lotion akan lebih terjaga daripada krim karena jari kita tidak pernah secara langsung
berkontak dengan sediaan yang tersimpan di dalam wadahnya (Pander, 2009).

8
2.3.2 Cara Kerja Lotion Pelembab Kulit

Ketika dioleskan ke permukaan kulit, lotion pelembab akan membentuk suatu lapisan
tipis yang berfungsi untuk menjaga agar kulit tidak kering. Lotion pelembab kulit bekerja
berdasarkan tiga metode, yaitu oklusif, humektan, dan pemulihan material yang terdefisiensi
(Lynde, 2001). Ketiga cara kerja lotion pelembab dalam menjaga kelembaban kulit adalah:

a. Oklusif, yaitu suatu metode yang mana lotion pelembab kulit bekerja dengan cara
mencegah penguapan air dari dalam pori-pori kulit.
b. Humektan, yaitu suatu metode yang mana lotion pelembab kulit akan mengikat uap air
dair lingkungan untuk meningkatkan kandungan air di kulit.
c. Pemulihan material yang terdefisiensi, yaitu suatu metode yang mana lotion pelembab
kulit akan memulihkan material pelembab alami yang terdefisiensi dari kulit, seperti
lemak amino.

2.3.3 Jenis Lotion Pelembab Kulit

Tidak hanya kulit kering, tetapi semua jenis kulit membutuhkan kelembaban tertentu
untuk menjaga kesehatan kulit. Jenis pelembab yang dipakai setiap orang berbeda-beda,
tergantung pada jenis kulit orang tersebut (Mayo Clinic, 2014). Kulit normal, yaitu kulit yang
tidak terlalu kering ataupun berminyak, sebaiknya menggunakan pelembab berbasis air yang
ringan dan tidak lengket. Kulit kering sebaiknya menggunakan pelembab berbasis minyak,
karena jenis pelembab ini dapat lebih menjaga kelembaban kulit. Kulit berminyak, walaupun
cenderung lebih terhidrasi, sebaiknya tetap menggunakan pelembab berbasis air setelah
menggunakan produk perawatan yang dapat mengurangi produksi minyak berlebih di kulit.
Sementara itu, jenis kulit sensitif sebaiknya menggunakan pelembab berbasis minyak yang
mengandung bahan yang menyejukkan dan tidak menimbulkan efek alergi.

9
Berdasarkan penjelasan di atas, lotion pelembab kulit dapat dibuat dalam bentuk
emulsi O/W dan W/O, tergantung pada jenis kulit yang akan dilembabkan (Pander, 2009).
Lotion yang berbasis minyak tidak berarti mengandung lebih banyak fase minyak daripada
fase air, tetapi lotion dibuat dengan emulsifier yang dapat mendispersikan fase air dalam fase
minyak (W/O). Sementara itu, lotion yang berbasis air dibuat dengan emulsifier yang dapat
mendispersikan fase minyak dalam fase air (O/W).

Kelebihan lotion berbasis minyak adalah bentuk sediaan ini lebih tahan terhadap
kontaminasi oleh mikroba dan jamur (Midkiff, 2004; Williams dan Schmitt, 2013).
Kebanyakan mikroba dan jamur berkembang subur di media air. Pada lotion berbasis minyak
terbentuk suatu lapisan tipis emulsifier di permukaan fase air, yang mana lapisan ini dapat
mencegah akses langsung mikroba pada air.

2.3.4 Kandungan Bahan di Lotion Pelembab Kulit

Suatu lotion pelembab kulit memiliki bahan-bahan utama berupa zat penghalang
(barrier), zat humektan, zat emolien, zat pengemulsi, zat pengawet, parfum, dan zat pewarna
(Barber, 2012). Zat penghalang adalah senyawa yang dapat menghalangi penguapan air dari
pori-pori kulit. Zat humektan adalah senyawa yang dapat mengikat uap air dari lingkungan.
Zat emolien adalah senyawa yang dapat melembutkan dan menhidrasi kulit. Zat pengemulsi
adalah senyawa yang dapat menstabilkan fase air dan fase minyak di emulsi serta
memberikan volume pada emulsi (thicken). Zat pengawet, parfum, dan pewarna merupakan
senyawa-senyawa tambahan untuk meningkatkan ketahanan dan daya tarik lotion pelembab
kulit.

Berdasarkan metode pembuatan lotion pelembab kulit, bahan-bahan penyusun


sediaan dapat diklasifikasikan ke dalam lima bagian, yaitu basis air, basis minyak, emulsifier
dan thickener, pengawet, dan aditif (Jane, 2012; Barker, 2014). Berikut merupakan
penjelasan lebih lanjut mengenai kelima bagian tersebut:

a. Basis air

Campuran dari berbagai senyawa terlarut dalam air yang terdapat di lotion pelembab
kulit disebut dengan basis air (Barber, 2012; Barker, 2014). Basis air terdiri atas ekstrak

10
simplisia herbal yang diperoleh melalui proses infundasi. Ekstrak herbal tersebut terutama
mempunyai efek melembabkan kulit. Beberapa contoh ekstrak herbal yang diperoleh dari
proses infundasi adalah air lidah buaya, air mentimum, dan air pepaya. Komposisi basis air di
lotion pelembab kulit adalah sebanyak 80% massa bahan baku (Midkiff, 2004; Jane, 2012;
Barker, 2014).
b. Basis minyak

Campuran dari berbagai senyawa terlarut dalam minyak yang terdapat di lotion
pelembab kulit disebut dengan basis minyak (Barber, 2012; Barker, 2014). Basis minyak
terdiri atas berbagai minyak hasil ekstraksi herbal (herb oil) yang terutama mempunyai efek
melembabkan kulit. Beberapa contoh herb oil yang dapat digunakan adalah apricot kernel
oil, avocado oil, castor oil, coconut oil, grapeseed oil, olive oil, rice bran oil, dan sunflower
oil (Barclay-Nichols, 2009). Komposisi basis minyak di lotion pelembab kulit adalah
sebanyak 13–15% massa bahan baku (Midkiff, 2004; Jane, 2012; Barker, 2014).

c. Emulsifier dan thickener

Emulsifier dibutuhkan untuk menstabilkan lotion pelembab kulit, sehingga fase air
dan fase minyak tidak saling berpisah. Emulsifier yang dapat digunakan pada lotion berbasis
minyak (emulsi W/O) harus memiliki nilai HLB yang rendah, seperti sorbitan stearat (HLB
4,7), poligliseril oleat (HLB 5,0), lesitin (HLB 4,0), sorbitan monooleat, gliseril monooleat,
lanolin, dan lanolin alkohol. Karena menstabilkan emulsi W/O cukup susah, maka dapat
digunakan dua jenis emulsifier (Klein, 2003).

Thickener merupakan senyawa yang berfungsi untuk mengembangkan emulsi yang


terbentuk pada lotion pelembab kulit. Jenis thickener yang dapat digunakan pada emulsi W/O
adalah senyawa berbasis lilin dan senyawa lainnya yang dapat larut dalam fase minyak
(Klein, 2003). Komposisi emulsifier dan thickener di lotion pelembab kulit adalah sebanyak
2 dan 4% massa bahan baku (Midkiff, 2004; Jane, 2012; Barker, 2014).

d. Pengawet

Pengawet, baik alamiah ataupun kimiawi, berfungsi untuk mencegah pertumbuhan


mikroba dan jamur pada lotion pelembab kulit (Williams dan Schmitt, 2013). Semua sediaan

11
kosmetik, khususnya yang berbahan dasar herbal, sangat rentan tercemar oleh mikroba dan
jamur. Oleh karena itu, lotion pelembab kulit berbahan dasar herbal sangat membutuhkan
pengawet untuk menjaga higienitas sediaan. Beberapa jenis pengawet alamiah, seperti
campuran ekstrak jeruk dan serai, ekstrak tea tree, ekstrak lemon, dan ekstrak biji anggur,
dapat digunakan untuk mengawetkan lotion pelembab kulit (Barber, 2012). Namun,
pengawet alamiah hanya dapat mencegah pertumbuhan jenis mikroba dan jamur tertentu,
serta efek pengawetannya tidak terlalu signifikan. Beberapa jenis pengawet kimiawi, seperti
germall plus dan natrium benzoat, telah dinyatakan aman oleh FDA untuk digunakan sebagai
pengawet sediaan kosmetik. Komposisi pengawet di lotion pelembab kulit adalah sebanyak
0,1–0,5% massa bahan baku (Barker, 2014).

e. Aditif

Aditif yang digunakan pada lotion pelembab kulit meliputi pewarna dan parfum
(Midkiff, 2004; Barker, 2014). Kedua jenis aditif ini hanya berperan untuk menambah
estetika dan daya tarik sediaan. Tanpa penambahan pewarna, lotion pelembab kulit umumnya
berwarna putih keabuan. Parfum dapat menimbulkan sensasi harum di badan ketika lotion
pelembab kulit dioleskan di permukaan kulit. Oleh karena itu, parfum pada lotion pelembab
kulit biasanya berupa aroma buah dan bunga. Komposisi pewarna di lotion pelembab kulit
adalah sebanyak 1,25 mL per 500 gram bahan baku, sedangkan komposisi parfum di lotion
pelembab kulit adalah sebanyak 2,5 mL per 500 gram bahan baku (Barker, 2014).

Aditif lain yang dapat ditambahkan ke lotion pelembab kulit adalah vitamin. Karena
kandungan vitamin di esktrak herbal tidak terlalu banyak, aditif vitamin dapat meningkatkan
konsentrasi vitamin di sediaan lotion pelembab kulit. Untuk meningkatkan konsentrasi
vitamin E, yang berperan baik sebagai emolien, komposisi vitamin E di lotion pelembab kulit
adalah sebanyak 2,5 mL per 100 gram bahan baku.

12
BAB III
METODE PEMBUATAN

Formulasi

Formulasi yang dipelajari (Tabel 1), yang mengandung 5% (b/b) campuran berbasis
fosfat trilaureth-4 disiapkan dalam pengocok Heidolph RZR 2021 sekitar 625 rpm, dan ditambah
atau tidak dengan 0,10%, 0,25% atau 0,50% (b/b) ekstrak lidah buaya kering (Aloe barbadensis
Miller), konsentrat 200: 1 komersial (ACTIV aloe Aloe vera GEL FD200 , Aloecorp,
Washington, DC, AS).

Protokol studi

Persetujuan untuk penelitian ini diperoleh dari Ilmu Farmasi Ribeira ~ Preto - Komite
Etika USP (CEP / FCFRP 07/2001).

Table. 1 Komponen pembawa

13
Dua puluh subyek perempuan yang sehat berusia 20-45 tahun, memiliki kulit Fitzpatrick
jenis II dan III, berpartisipasi dalam penelitian ini setelah memberikan persetujuan mereka.
Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut adanya, dermatitis dan penyakit kulit atau alergi lainnya,
perokok dan pengobatan perawatan sebelumnya kulit lengan bawah dengan formulasi kosmetik
seperti pelembab, tabir surya atau kosmetik antiageing. Selama masa percobaan, subjek diizinkan
untuk mencuci secara normal, namun diinstruksikan untuk tidak menggunakan produk perawatan
kulit lainnya di lengan mereka.

Sebelum semua pengukuran, subjek tetap berada di ruangan selama minimal 30 menit
untuk memungkinkan adaptasi kulit penuh terhadap suhu kamar (20 - 21C) dan kelembaban (45-
60%). Area kulit lengan bawah masing-masing relawan terbagi menjadi dua lokasi (36cm2).
Formulasi yang dipelajari dan tempat pengukuran secara acak antara subjek. Semua pengukuran
dilakukan sesuai dengan pedoman yang relevan.

Efek setelah pemakaian pertama

Setelah pengukuran awal, 0,2 g setiap formulasi yang mengandung tiga konsentrasi
ekstrak Aloe vera yang berbeda (0,1%, 0,25% dan 0,5%, b/b) dan formulasi tanpa ekstrak
(pembawa) diterapkan pada tempat yang berbeda; 1, 2 dan 3 jam setelah pemakaian, pengukuran
baru dilakukan.

Efek setelah 1 dan 2 minggu masa pemakaian setiap hari

Setelah pengukuran awal, subjek menambahkan 0,2 g formulasi pada lengan mereka, dua
kali sehari, di pagi hari dan di malam hari. 1 dan 2 minggu setelah pemakaian, pengukuran baru
dilakukan, 10-15 jam setelah perawatan terakhir, yaitu formulasi diterapkan pada malam hari dan
pengukuran dilakukan pada hari berikutnya.

Instrumentasi

Kandungan air stratum korneum diukur dengan meteran kapasitansi kulit (Corneometer
TM CM 825, Courage & Khazaka Electronic GmbH, Cologne, Jerman). Perangkat menentukan
kadar air lapisan epidermis superfisial sampai kedalaman sekitar 0.1mm dan mengekspresikan
nilai pada unit. Nilai rata-rata dari 20 pengukuran / tempat yang digunakan dalam perhitungan
berikutnya.

14
The Transepidermal Water Loss (TEWL) / Kehilangan air transepidermal (TEWL)
diukur dengan evaporimeter (TewameterTM TM 210, Courage & Khazaka Electronic GmbH),
dan tercatat pada g m2h selama 2 menit setelah equilibrasi probe pada kulit selama 30 detik.

Analisis statistik

Uji non parametrik dipilih untuk analisis statistik titik data eksperimental, karena
menunjukkan distribusi non-Gaussian. Uji Friedman berpasangan digunakan untuk
membandingkan beberapa titik data terukur dengan menggunakan perangkat lunak statistik,
GMC. Perbedaan dianggap signifikan secara statistik pada Po0.05.

15
BAB IV

HASIL & PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Efek setelah satu aplikasi

Pengukuran listrik dalam penelitian jangka pendek dilaporkan pada Gambar 1 dan 2.

Peningkatan yang signifikan dalam kadar air dari pembacaan stratum korneum (Po0.001)
relatif terhadap baseline yang diamati 1, 2 dan 3 jam setelah penerapan semua formulasi yang di
teliti (pembawa dan pembawa yang mengandung ekstrak lidah buaya (Gambar 1).

Gambar 1. Kandungan air


stratum korneum sebelumnya (nilai awal) dan 1, 2 dan 3 jam setelah penerapan formulasi:

16
Pembawa (V), V10.10%, V10.25% dan V10.50% dari ekstrak lidah buaya (Uji Friedman, subjek
n = 20, berarti SEM).

Gambar 2. Hilangnya cairan


transepidermal sebelum (nilai awal) dan 1, 2 dan 3 jam setelah penerapan formulasi: Pembawa
(V), V10.10%, V10.25% dan V10.50% dari ekstrak lidah buaya ( Uji Friedman, subjek n = 20,
berarti SEM).

Namun bila dibandingkan dengan substansi pembawa, hanya formulasi yang


mengandung 0,50% ekstrak lidah buaya yang telah dikonservasi yang meningkatkan kadar air
stratum korneum (Po0.01) setelah 1 jam (Gambar 1). Setelah 2 dan 3 jam, formulasi yang
mengandung 0,25% (Po0.01) dan 0,50% (Po0.001) ekstrak lidah buaya meningkatkan kadar air
stratum korneum bila dibandingkan dengan pembawa (Gambar 1).

Satu, 2 dan 3 jam setelah aplikasi, semua formulasi mempelajari nilai TEWL yang
dikurangi secara signifikan (Po0.05) bila dibandingkan dengan nilai awal (Gambar 2).

17
Namun demikian, bila dibandingkan dengan pembawa, nilai TEWL tidak diubah setelah
satu aplikasi formula tambahan ekstrak lidah buaya, yang berarti bahwa fungsi penghalang kulit
tidak diubah oleh ekstrak ini (Gambar 2).

Efek setelah 1 - 2 minggu masa pemakaian setiap hari

Semua peserta melaporkan kepatuhan yang ketat terhadap instruksi. Pengukuran listrik
dalam penelitian jangka panjang dilaporkan pada Gambar 3 dan 4.

Kenaikan yang signifikan dalam kandungan air pembacaan stratum korneum (Po0.001)
relatif terhadap baseline diamati 1 dan 2 minggu setelah penerapan semua formulasi yang diteliti
(pembawa dan formulasi yang mengandung ekstrak lidah buaya) (Gambar 3).

Bila dibandingkan dengan pembawa, semua formulasi yang mengandung ekstrak lidah
buaya yang di keringkan (0,10%, 0,25% dan 0,50% b / b) meningkatkan kadar air stratum
korneum (Po0.01), setelah periode 1 minggu pemakaian , tetapi mereka tidak berbeda secara
statistik di antara mereka sendiri (Gambar 3).

Gambar 3. Kandungan air stratum korneum sebelumnya (nilai awal) dan 1 dan 2 minggu setelah
penerapan formulasi: pembawa (V), V10.10%, V10.25% dan V10.50% ekstrak lidah buaya (Uji
Friedman, n = 20 subjek, berarti SEM).

18
Gambar 4. Hilangnya cairan
transepidermal sebelum (nilai awal) dan 1 dan 2 minggu setelah penerapan formulasi: pembawa
(V), V10.10%, V10.25% dan V10.50% ekstrak lidah buaya (uji Friedman , n = 20 subjek, mean
berarti SEM).

Demikian pula, hasil yang diperoleh setelah aplikasi periode 2 minggu menunjukkan
bahwa semua formulasi yang mengandung ekstrak lidah buaya menghasilkan peningkatan
hidrasi kulit yang signifikan bila dibandingkan dengan kendaraan (Po0.01). Namun, bila
formulasi ini dibandingkan satu sama lain, kandungan air dari nilai stratum korneum yang
diperoleh dengan formulasi yang mengandung 0,50% ekstrak lidah buaya secara signifikan lebih
tinggi (Po0.05) (Gambar. 3)

TEWL tidak berubah bila dibandingkan dengan nilai awal 1 dan 2 minggu setelah
aplikasi untuk semua konsentrasi lidah buaya dan untuk kendaraan (Gambar 4). Hasil yang
berbeda dalam kaitannya dengan studi aplikasi tunggal mungkin karena pengukuran dilakukan
segera setelah penerapan formulasi (1, 2 dan 3h setelah aplikasi), yang diubah oleh film
berminyak yang dibentuk oleh komponen lipofilik kendaraan. Dalam studi jangka panjang,
pengukuran TEWL dilakukan 10-15h setelah perawatan tidak terganggu oleh komponen lipofilik
kendaraan, yang telah dikeluarkan.

Selain itu, bila dibandingkan dengan kendaraan, formulasi yang dilengkapi ekstrak Aloe
vera juga tidak mengubah nilai TEWL, yang berarti bahwa keberadaan lidah buaya dalam
formulasi tidak mengubah fungsi penghalang kulit (Gambar 4).

19
4.2 Pembahasan

Studi tentang hidrasi kulit telah dilakukan terutama dengan menggunakan studi jangka
pendek, di mana pengukuran dilakukan antara 1 dan 8 jam setelah penerapan produk, karena
memungkinkan untuk mencapai kelembaban kulit yang meningkat segera setelah satu aplikasi.
Namun demikian, penelitian jangka panjang penting untuk menilai pemeliharaan dan
peningkatan efek ini.

Pelembab dapat bertindak dengan mekanisme okulasi, yang mengganggu penguapan


kelembaban kulit dengan membentuk film berminyak epikutan yang mencegah kehilangan air,
seperti halnya minyak dan lipid, atau sebagai humektan, yaitu gliserin, urea, asam karboksilat
natrium pirolidin, yang bertindak dengan menarik air dari lapisan epidermis lainnya ke stratum
korneum. Akibatnya, penelitian dengan produk pelembab harus mengevaluasi peningkatan kadar
air stratum korneum dan juga penurunan TEWL, untuk menentukan mekanisme tindakannya.

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa ekstrak lidah buaya kering yang dikeringkan
mempelajari kelembaban kulit dengan mekanisme humektan, karena bila dibandingkan dengan
kendaraan, pengobatan dengan formulasi tambahan secara signifikan meningkatkan kadar air
stratum korneum namun tidak mengubah TEWL. Hasil ini mungkin terjadi karena ekstrak lidah
buaya yang dikeringkan beku memiliki komposisi yang kaya akan higroskop mono- dan
polisakarida dan asam amino histidin, arginin, treonin, serin, glisin dan alanin, yang dapat
memperbaiki retensi air di stratum korneum.

Sebagai hasil hidrasi kulit yang serupa diperoleh setelah satu periode aplikasi tunggal dan
1- dan 2 minggu, hasil jangka panjang dapat diprediksi oleh data aplikasi tunggal. Hal ini sesuai
dengan laporan oleh Li et al., yang menemukan korelasi linier antara perubahan pengukuran
listrik setelah 1 jam dan perubahan tingkat kekeringan kulit setelah 1 minggu masa penerapan
lotion gliserin. Akibatnya, para penulis ini menyarankan agar satu aplikasi secara akurat
memprediksi hasil studi jangka panjang (2 minggu) dengan beberapa aplikasi. Namun, kami
menyimpulkan bahwa sangat penting untuk melakukan kedua studi tersebut, karena temuan kami
menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak lidah buaya juga memengaruhi peningkatan hidrasi

20
kulit. Konsentrasi ekstrak yang lebih rendah ini, seperti 0,10%, hanya menyebabkan kenaikan
kadar air stratum corneum yang signifikan dalam aplikasi jangka panjang.

Jadi, kami menyarankan agar penggunaan pelembab harian yang mengandung ekstrak lidah
buaya penting untuk menjaga efek humektan pada kulit, yang biasanya segera terjadi.

Kehadiran lidah buaya dalam formulasi tidak mengubah fungsi penghalang kulit, karena
nilai TEWL tidak berubah bila dibandingkan dengan kendaraan. Akibatnya, lidah buaya tidak
memiliki sifat oklusif. Satu-satunya efek pada nilai TEWL adalah karena terbentuknya film
berminyak oleh komponen lipofilik kendaraan, yang diamati hanya beberapa jam (sampai 3 jam).

Studi ini merupakan evaluasi obyektif dari efek pelembab dari formulasi kosmetik yang
mengandung ekstrak lidah buaya, dan berkontribusi pada penjelasan mekanisme kerjanya. Selain
itu, hasilnya menunjukkan bahwa formulasi yang diteliti menyebabkan efek hidrasi langsung,
yang dipertahankan setelah 1 dan 2 minggu dengan pemakaian sehari-hari.

21
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Formulasi yang mengandung konsentrasi ekstrak lidah buaya beku yang berbeda
menunjukkan efikasi dalam memperbaiki kelembaban kulit dengan mekanisme humektan, saat
dievaluasi dalam studi aplikasi jangka pendek dan panjang. Setelah satu aplikasi, hanya
formulasi ditambah dengan konsentrasi di atas 0,25% yang meningkatkan kadar air stratum
korneum. Setelah 1- dan 2 minggu masa pemakaian, semua konsentrasinya efektif secara
signifikan.

Dengan demikian, ekstrak Aloe vera kering adalah bahan alami yang efektif untuk
meningkatkan hidrasi kulit,yang digunakan dalam pelembab formulasi kosmetik dan juga untuk
melengkapi pengobatan kulit kering.

22
DAFTAR PUSTAKA

Rawlings AV, Harding CR. Moisturization and skin barrier function. Dermatol Ther 2004; 17:
43–48.

Marty JP. NMF and cosmetology of cutaneous hydration. Ann Dermatol Venereol 2002; 129:
131–136.

Thorleifsson A, Wulf HC. Emollients and the response of facial skin to a cold environment. Br J
Dermatol 2003; 148: 1149–1152.

Egawa M, Oguri M, Kuwahara T, Takahashi M. Effect of exposure of human skin to a dry


environment. Skin Res Technol 2002; 8: 212–218.

Flynn TC, Petros J, Clark RE, Viehman GE. Dry skin and moisturizers. Clin Dermatol 2001; 19:
387–392.

Yosipovitch G. Dry skin and impairment of barrier function associated with itch – new insights.
Int J Cosmet Sci 2004; 26: 1–7.

Sator P, Schmidt JB, Ho ¨nigsmann H. Comparison of epidermal hydration and skin surface
lipids in healthy individuals and in patients with atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol 2003;
48: 352–358.

Savic S, Tamburic S, Savic M, Cekic N, Milic J, Vuleta G. Vehicle-controlled effect of urea on


normal and SLSirritated skin. Int J Pharm 2004; 271: 269–280.

Li F, Conroy E, Visscher M, Wickett RR. The ability of electrical measurements to predict skin
moisturization II. Correlation between one-hour measurements and long-term results. J Cosmet
Sci 2001; 52: 23–33.

23
Shelton RM. Aloe vera. Its chemical and therapeutic properties. Int J Dermatol 1991; 30: 679–
683.

Grindlay D, Reynolds T. The Aloe vera phenomenon: a review of the properties and modern
uses of the leaf parenchyma gel. J Ethnopharmacol 1986; 16: 117–151.

Reynolds T, Dweck AC. Aloe vera gel: a review update. J Ethnopharmacol 1999; 68: 3–37.

Davis RH, Leitner MG, Russo JM, Byrne ME. Wound healing: oral and topical activity of Aloe
vera. J Am Podiatr Med Assoc 1989; 79: 559–562.

Wu Y, Wang X, Zhou Y, Tan Y, Chen D, Chen Y, Ye M. Correlation between stinging, TEWL


and capacitance. Skin Res Technol 2003; 9: 90–93.

Berardesca E. EEMCO guidance for the assessment of stratum corneum hydration: electrical
methods. Skin Res Technol 1997; 3: 126–132.

Pinagoda J, Tupker RA, Agner T, Serup J. Guidelines for transepidermal water loss (TEWL)
measurement. A report from the standardization group of the European Society of Contact
Dermatitis. Contact Dermatitis 1990; 22: 164–178.

Fluhr JW, Gloor M, Lazzerini S et al. Comparative study of five instruments measuring stratum
corneum hydration (Corneometer CM820 and CM825, Skicon200, Nova DPM9003, DermaLab).
Part 1. In vitro. Skin Res Technol 1999; 5: 161–170.

Fluhr JW, Gloor M, Lazzerini S et al. Comparative study of five instruments measuring stratum
corneum hydration (Corneometer CM820 and CM825, Skicon200, Nova DPM9003, DermaLab).
Part 2. In vivo. Skin Res Technol 1999; 5: 171–178.

Dobrev H. Use of Cutometer to assess epidermal hydration. Skin Res Technol 2000; 6: 239–244.

Gioia F, Celleno L. The dynamics of transepidermal water loss (TEWL) from hydrated skin.
Skin Res Technol 2002; 8: 178–186.

Rawlings AV, Canestrari DA, Dobkowski B. Moisturizer technology vs. clinical performance.
Dermatol Ther 2004; 17: 49–56.

24
Femenia A, Sanchez ES, Simal S, Rossello C. Compositional features of polysaccharides from
Aloe vera plant tissues. Carbohydrate Polymers 1999; 39: 109–117. 23. Rieger M. Skin
constituents as cosmetic ingredients. Cosm Toil 1992; 107: 85–94.

Barber, Jane. (2012). How to make a natural lotion, cream, moisturiser – Tutorial. Diakses pada
26 Oktober 2014 (20.02)

Dal'Belo, S. E., Gaspar, L. R., & Maia Campos, P. M. (2006). Moisturizing effect of cosmetic
formulations containing Aloe vera extract in different concentrations assessed by skin
bioengineering techniques. Journal of Skin Technology, 12, 241-246.

Departemen Kesehatan RI. (1992). Kandungan Gizi Aloe vera. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.

Anindita, H. N., Sjahri, M., Devina, Y. M. 2014. Lotion Pelembab Kulit Berbahan Dasar Herbal
Lidah Buaya Dan Mentimun. Tugas Pengganti Uts Teknologi Herbal. Depok: Universitas
Indonesia.

Wardani. (2012). Lidah Buaya Berkhasiat Tinggi. Diakses pada 28 Oktober 2014 (21:45)

Watson, D. G. (1999). Pharmaceutical Analysis: A textbook for pharmacy students and


pharmaceutical chemists. UK: Churchill Livingston.

Wasitaatmadja, S. M. (1997). Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: Penerbit Universitas


Indonesia.

Wirasuta. (2008). Metode Pengujian Toksisitas. Bahan Ajar Fakultas Farmasi Universitas
Udayana, Bali.

Sularto. (1995). Pengantar Ilmu Kosmetik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sudarto, Yudo. (1997). Lidah Buaya, Seri Tanaman Hias. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Munson, J. W. (1981). Pharmaceutical Analysis: Modern Methods, Part A and B, diterjemahkan


oleh Harjana dan Soemadi. Surabaya: Airlangga University Press.

Rubatzky, Vincent & Yamaguchi, Mas. (1997). World Vegetables: Principles, Production, and
Nutritive Values. Kentucky: Chapman and Hall.

25

Anda mungkin juga menyukai