Anda di halaman 1dari 23

Tugas Makalah Kriminologi

CRIMINAL VICTIMIZATION

Dosen Pengampu:

Dr. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Cania Prameswari Hadi Waluyo (E0020115)

Shafa Qurratul’aini (E0020405)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kriminologi merupakan studi yang tidak bisa dipisahkan dengan hukum


pidana. Tujuan dari studi tersebut adalah untuk mengembangkan penelitian
terkhusus pada pengungkapan fakta-fakta tentang masalah kejahatan yang
meliputi motivasi dan sebab-sebab kejahatan, statisyik kejahatan dan
perkembangan kejahatan, serta upaya preventif terhadap kejahatan pembinaan
terhadap para pelanggar hukum. Dalam pembahasan kriminologi maka tidak
dapat dipisahkan juga dengan pembahasan pelaku dan korban.

Pembahasan mengenai korban dalam studi kriminologi sangatlah menarik


perhatian. Istilah dari viktimologi pun dikenal sejak dulu. Pada 1941 Hans Von
Hentig dalam jurnal kriminologi menyebutkan “the criminal and his victim” yang
kajiannya diawali dengan aspek korban secara serius. Kemudian pada 1956
Benyamin Mendelshon mulai memperkenalkan victimology pada tulisannya yang
berjudul “revenue internationale de criminology et de policie technique”. Sampai
saat ini pembahasan mengenai korban atau viktimisasi terus berkembang
mengikuti perubahan zaman dan perilaku masyarakat.

Oleh karena itu pengkajian viktimisasi menjadi sangat menarik untuk dibahas
pada makalah ini. Beberapa hal yang akan dibahas nantinya akan memberikan
prespektif baru mengenai topik ini.

B. Rumusan Masalah

Setelah menyusun latar belakang, maka penulis dapat menemukan latar belakang
beberapa masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa saja yang mencakup korban kriminal atau Victimization Criminal?
2. Apa saja teori yang ada dalam Victimization Criminal?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hidden Victims
Tidak semua kejahatan adalah kejahatan kekerasan. Banyak segala jenis
kejahatan yang tidak pernah atau belum diketahui oleh pihak berwenang, bahkan
tidak terungkap oleh mereka yang menjadi korban. Sosok gelap kejahatan atau
Dark figure of crime merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
jumlah yang relatif besar terhadap kejahatan yang tidak dilaporkan dan tidak
pernah menjadi perhatian para pejabat. Sosok gelap kejahatan terkadang dilirik
melalui laporan pelaku dan korban atau dikenal dengan survey laporan diri yang
dimana responden tanpa rasa takut mengungkapkan dan meminta penangkapan
secara rahasia atas pelanggaran tindak pidana yang telah mereka lakukan atau
viktimisasi yang mereka alami.

Salah satu contohnya, yaitu survei mengenai kasus pemerkosaan. Dimana


lebih dari 90 persen kasus pemerkosaan tidak dilaporkan ke pihak berwajib,
karena takut akan akibat-akibat yang mereka akan hadapi setelah mereka melapor.

Sementara laporan pemerkosaan yang tidak dilaporkan sudah diketahui,


hampir semua kejahatan tidak dilaporkan sampai tingkat tertentu. Dan meskipun
kejahatan yang tidak dilaporkan mungkin berjumlah besar setidaknya beberapa
jenis kejahatan, jumlah kejahatan yang belum ditemukan mungkin masih jauh
lebih besar dan sangat sulit untuk diperkirakan. Kejahatan yang belum ditemukan
adalah kejahatan yang tidak diketahui bahkan oleh korbannya sendiri. Banyak
kejahatan yang belum ditemukan dilakukan melalui penggunaan teknologi tinggi
dan akses illegal ke informasi digital (dan uang) melalui media sosial atau
transaksi berbasis internet. Kejahatan yang belum ditemukan bertanggung jawab
atas tingkat viktimisasi di dunia maya dan dampakanya bisa sangat signifikan
pada kehidupan masyarakat, meskipun mereka melakukannya secara sembunyi-
sembunyi atau akan ditemukan dengan seiring berjalannya waktu.
B. Victimization by the Numbers

Tidak ada studi tentang kejahatan yang tanpa lengkap tanpa pertimbangan
viktimisasi dan peran bahwa korban terlibat dalam peristiwa kriminal. Untuk
mengetahui korban dan viktimisasi, maka perlu mengetahui bagaimana kejahatan
dapat diukur. Oleh karena itu, bagian ini mengkaji bagaimana statistik kejahatan
dapat dikumpulkan, bagaimana mereka dapat diakses, dan bagaimana
pengaruhnya terhadap kita dari kejahatan dan viktimisasi.

Pengumpulan data kejahatan untuk bangsa yang disponsori oleh pemerintah


dimulai di Amerika Serikat sekitar tahun 1930. Pengumpulan statistik kejahatan
dilakukan secara acak dan Sebagian akun viktimisasi anekdot dan disebarkan
melalui mulut ke mulut atau dicetak di koran lokal atau bahkan keduanya.

Sekarang, pengumpulan data statistik kejahatan resmi di Amerika Serikat


terdiri atas dua sumber utama. Pertama, program pelaporan mandiri berbasis
survei tahunan yang dilakukan dibawah naungan BJS (Bureau of Justice
Statistics), yaitu NCVS (National Crime Victimization Survey). Dan yang kedua,
dijalankan oleh FBI (Federal Bureau of Investigation), yaitu UCR (Uniform
Crime Reporting). UCR mencakup data dari NIBRS (National Incident-Based
Reporting) yang lebih baru dan kami akan menyebutnya dengan program
UCR/NIBRS.

a. The NCVS
NCVS menggunakan wawancara laporan diri untuk mengumpulkan
tentang kejahatan pribadi yang tidak fatal, seperti pencurian barang
pribadi, pemerkosaan atau penyerangan seksual dan kejahatan harta
benda rumah tangga, seperti perampokan, pencurian kendaraan bermotor,
dan pencurian lainnya. Pewawancara mengumpulkan data tentang
kejahatan, apakah kejahatan tersebut sudah dilaporkan ke polisi atau
tidak. Karena itu, fitur unik dari NCVS adalah mengumpulkan data
kejahatan yang dilaporkan maupun tidak dilaporkan.
Data NCVS memberikan informasi tentang korban dan pelaku untuk
setiap insiden viktimisasi yang dilaporkan sendiri (misalnya, usia,
ras/etnis, jenis kelamin, dan hubungan korban-pelaku), karakteristik
kejahatan (termasuk waktu dan tempat kejadian, penggunaan senjata),
sifat cedera, dan konsekuensi ekonomi, apakah viktimisasi dilaporkan ke
polisi, alasan pelanggaran itu dilaporkan atau tidak, dan pengalaman
korban dengan sistem peradilan pidana.
b. Critique of the NCVS
Kritikan untuk NCVS, yaitu karena adanya kemungkinan pelaporan yang
berlebihan karena sulit untuk memverifikasi terjadinya kejahatan yang
sebenarnya dilaporkan kepada pewawancara NCVS. Oleh karena itu,
tidak ada ukuran yang dapat diandalkan mengenai jumlah kejahatan yang
mungkin dilaporkan secara tidak benar atau jumlah kejahatan yang
mungkin tidak dilaporkan di data NCVS. Ada banyak kemungkinan
penyebab misreporting. Beberapa individu, ketika didekati oleh
pewawancara NCVS, mungkin tidak dapat menolak untuk menghiasi
laporan viktimisasi berkaitan dengan rumah tangga mereka dan bahkan
mungkin menyusun data korban untuk tujuan membesarkan diri atau
dalam upaya untuk menyenangkan pewawancara dengan memberikan
jumlah data.
c. The UCR Program
Program UCR oleh FBI ini dimulai pada tahun 1929, IACP (International
Association of Chiefs of Police) mulai menerbitkan informasi mengenai
kejahatan yang dilaporkan. Sejak tahun 1930, FBI telah mengelola
program, yang saat ini mengumpulkan informasi tentang pembunuhan
dan pembunuhan tanpa kelalaian, pemerkosaan secara paksa,
perampokan, penyerangan dengan kekerasan, perampokan, pencurian,
pencurian kendaraan bermotor, pembakaran, dan perdagangan manusia.
Lembaga penegak hukum melaporkan data penangkapan untuk 22
kategori melalui program NIBRS. Data UCR/NIBRS berasal dari laporan
bulanan penegak hukum atau catatan insiden kejahtan individu yang
sudah ditransmisikan langsung ke FBI atau Lembaga terpusat yang
kemudian melaporkan ke FBI.
d. The Critique of the UCR
Fitur paling signifikan dari program UCR/NIBRS adalah program
pelaporan. Dengan kata lain, hanya kejahatan yang dilaporkan ke polisi
(atau yang ditemukan oleh polisi atau oleh orang lain yang kemudian
melaporkannya ke kantor polisi) termasuk dalam statistik viktimisasi
yang disusun oleh program. Sebagian besar pengaduan dilakukan oleh
korban, dan tidak semua korban melapor ke polisi. Alasan untuk tidak
melakukannya mungkin termasuk malu, takut akan hukum (seperti dalam
kasus alien yang tidak berdokumen), takut akan pembalasan dari pelaku,
atau bahkan yang sederhana ketidakmampuan untuk berkomunikasi.
e. Comparing the UCR and the NCVS
NCVS dan UCR/NIBRS memiliki banyak kesamaan. Pada dasarnya,
kedua program mengukur bagian yang sama dari kejahatan berat:
pemerkosaan, perampokan, penyerangan berat, perampokan, pencurian,
dan pencurian kendaraan bermotor, meskipun NCVS tidak
mengumpulkan statistik pembunuhan. Untuk tujuan pengumpulan data,
pemerkosaan, perampokan, pencurian, dan pencurian kendaraan bermotor
hamper didefinisikan secara identik oleh UCR/NIBRS dan NCVS.
Pengecualian definisi utama adalah kejahatan perampokan yang
didefinisikan oleh UCR/NIBRS sebagai masuknya yang melanggar
hukum atau percobaan masuk ke suatu struktur untuk melakukan
kejahatan atau pencurian. NCVS mendefinisikan perampokan sebagai
masuk atau percobaan masuk ke tempat tinggal oleh seseorang yang tidak
berhak berada di sana.
Ada perbedaan signifikan lainnya antara kedua program tersebut. Tujuan
utama program UCR/NIBRS adalah untuk menyediakan satu set statistik
kejahatan yang dapat diandalkan untuk administrasi, operasi, dan
manajemen penegakan hukum. Akan tetapi, BJS membentuk NCVS
untuk memberikan para peneliti informasi yang sebelumnya tidak tersedia
tentang viktimisasi (termasuk viktimisasi yang tidak dilaporkan ke polisi)
dan karakteristik korban dan pelaku. Karena itu, kedua program tersebut
mengukur serangkaian kejahatan yang tumpang tindih tetapi tidak identik.
NCVS mencakup, tetapi UCR/NIBRS mengecualikan, serangan seksual,
percobaan perampokan, ancaman verbal pemerkosaan, penyerangan
sederhana, dan kejahatan tidak dilaporkan ke penegak hukum.
UCR/NIBRS mencakup, tetapi NCVS mengecualikan, pembunuhan,
pembakaran, kejahatan komersial, dan kejahatan terhadap anak di bawah
usia 12 tahun.

C. Demographic Correlates of Victimizations

Demografi menggambarkan kualitas statistik dari populasi tertentu.


Sedangkan, korban kejahatan mungkin berasal dari berbagai jenis kelamin, usia, ras,
atau etnis, karakteristik demografi secara signifikan berkorelasi dengan risiko
viktimisasi. Misalnya, dimana kelompok perempuan dan anak-anak cenderung lebih
rentan menjadi korban kekerasan dibandingkan yang lain. Tetapi, bukan berarti
bahwa Wanita berumur dan laki-laki tidak rentan untuk menjadi korban kekerasan.

Dengan sendirinya, karakteristik demografi tidak memberi tahu kita mengapa


viktimisasi terjadi. Meski begitu, sejumlah faktor sosial tambahan dapat
diidentifikasi terkait dengan peningkatan risiko menjadi korban. Faktor tersebut ialah
wilayah yang mereka tinggali dan juga faktor keluarga seperti status sosial ekonomi
rendah, Riwayat kriminal keluarga, rumah tangga orang tua tunggal, dan kurangnya
pengawasan orang tua. Menurut informasi yang dipublikasikan oleh BJS, Mereka
yang tinggal di perkotaan lebih memungkinkan untuk menjadi korban kekerasan
dibandingkan dengan mereka yang hidup di daerah pedesaan. Dan orang yang tinggal
di rumah tangga miskin dua kali lipat untuk menjadi korban kekerasan daripada
orang dalam rumah tangga berpenghasilan tinggi.

Akhirnya, risiko viktimisasi sangat bervariasi menurut jenis kejahatan.


Perempuan minoritas muda, dan terutama mereka yang tinggal dengan pasangan
laki-laki, misalnya, lebih mungkin mengalami kekerasan dalam rumah tangga
dibandingkan kelompok demografis lainnya. Demikian pula, korban kejahatan kerah
putih cenderung lebih tua dan memiliki status sosial ekonomi yang relatif tinggi.

a) Revictimization and Polyvictimization


Polyvictimization merupakan sebuah konsep yang masuk ke dalam
literatur kriminologi hanya beberapa tahun yang lalu, dimana konsep ini
mengakui efek riak dari viktimisasi. Konsep ini mengakui bahwa viktimisasi
dapat menyebabkan lebih banyak dan berlanjutnya viktimisasi karena orang
kehilangan kemampuan untuk membela diri atau harta benda mereka melalui
hilangnya sumber daya keuangan, mata pencaharian, dan kesehatan psikologis
dan fisik semuanya disebabkan oleh contoh viktimisasi sebelumnya.
Polyvictimization (juga disebut multiple viktimization) mengacu pada
beberapa contoh viktimisasi yang bervariasi, yaitu viktimisasi dari berbagai
jenis, seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik, intimidasi, dan paparan
kekerasan keluarga.
Revictimization, yakni mengacu pada viktimisasi lanjutan oleh pelaku
yang sama melakukan jenis kejahatan yang sama. meskipun konsekuensinya
masih cukup serius, tampaknya tidak menciptakan tingkat kecacatan sosial dan
cacat lain yang sama seperti halnya polyvictimization. Pengulangan viktimisasi
dan viktimisasi kronis adalah istilah lain yang digunakan oleh viktimolog untuk
menggambarkan viktimisasi lanjutan dari individu yang sama.
b) The Developmental Victimization Survey
Developmental Victimization Survey (DVS), dilakukan antara Desember
2002 dan Februari 2003 oleh Sosiolog Amerika David Finkelhor dan rekan,
didasarkan pada survei telepon nasional yang melibatkan sampel 2.030 anak-
anak dan remaja antara usia 10 dan 17. Anak-anak diwawancarai tentang
pengalaman viktimisasi sendiri, dan orang tua atau pengasuh. Peneliti DVS
juga melakukan dua survei lanjutan dari populasi yang sama di tahun-tahun
berikutnya. peneliti mengembangkan dan menguji model konseptual yang
menetapkan empat jalur berbeda. Keempat jalur tersebut adalah: (1) hidup
dalam “keluarga yang berbahaya” atau yang mengalami kekerasan dan konflik
yang cukup besar (keluarga yang berbahaya); (2) memiliki keluarga yang
dilanda masalah seputar hal-hal seperti uang, pekerjaan, dan penyalahgunaan
zat yang dapat membahayakan pengawasan anak atau menciptakan kebutuhan
emosional yang tidak terpenuhi (gangguan dan kesulitan keluarga); (3)
bertempat tinggal atau pindah ke komunitas berbahaya (dangerous
environment); dan (4) menjadi anak dengan masalah emosional yang sudah ada
sebelumnya yang meningkatkan perilaku berisiko, menciptakan antagonisme,
dan membahayakan kapasitas perlindungan diri. Studi tersebut menegaskan
bahwa masing-masing jalur ini berkontribusi secara independen terhadap
timbulnya poliviktimisasi. Jalur masalah emosional paling menonjol untuk
anak-anak di bawah 10 tahun, sementara jalur lain tampaknya lebih terkait
dengan anak-anak berusia 10 tahun ke atas.

D. The Socio-emotional Impact of Criminal Victimization

Pada bagian ini, kami memeriksa efek pribadi dari viktimisasi, dengan
melihat hal-hal seperti dampak psikologis, fisik, ekonomi, dan sosial dari para korban.

a) The Psychological Impact of Victimization


Peneliti telah lama mengetahui bahwa korban kejahatan dapat dipengaruhi
secara signifikan oleh pengalaman viktimisasi. Seorang peneliti yang mensurvei
korban kejahatan menemukan bahwa “Hampir semua responden melaporkan
bahwa hidup mereka telah berubah selamanya.” Korban kejahatan mungkin
mengalami kesulitan tidur atau berkonsentrasi, mungkin mudah terkejut, mungkin
gagal untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang pernah mereka nikmati. Pada
tahun 2014, BJS melaporkan studi multi-tahun terhadap korban kejahatan. Studi
tersebut, meneliti dampak sosio-emosional dari kejahatan kekerasan, dan
menemukan bahwa 68% korban kekerasan serius mengalami masalah sosial-
emosional sebagai akibat dari viktimisasi mereka.
Korban kekerasan pasangan intim melaporkan perasaan tertekan yang
secara signifikan lebih besar daripada korban kekerasan orang asing. Meskipun
sebagian besar gejala stres yang dialami korban ditemukan bersifat emosional
(yaitu, perasaan khawatir atau cemas, marah, tidak aman, tidak percaya, sedih atau
tertekan), 61% korban mengalami satu atau lebih gejala fisik (yaitu, sulit tidur,
kelelahan, sakit perut, ketegangan otot, tekanan darah tinggi, sakit kepala,
masalah dengan makan atau minum) selama satu bulan atau lebih.
b) The Physical Impact of Victimization
Beberapa kejahatan mengakibatkan cedera fisik langsung. Dampak fisik
selain cedera mungkin termasuk stimulasi respon fight-or-flight, yang termasuk
peningkatan kadar adrenalin dalam darah, peningkatan denyut jantung,
hiperventilasi, gemetar, mati rasa, menangis, mulut kering, kehilangan kontrol
usus, dan perasaan bahwa segala sesuatu terjadi dalam gerakan lambat. Reaksi
fisik dapat berulang bahkan setelah bahaya berlalu dan korban telah kembali ke
tempat yang aman.
Cedera fisik itu sendiri bisa ringan (benjolan dan goresan), atau lebih
serius (luka tembak, patah tulang), atau bahkan mematikan. Cedera fisik yang
parah dapat mengancam jiwa dan dapat mengakibatkan cacat jangka panjang atau
cacat permanen. Kadang-kadang luka fisik yang diakibatkan oleh viktimisasi
kriminal tidak mudah terlihat, seperti yang sering terjadi dalam situasi kekerasan
dalam rumah tangga di mana memar dan luka dalam mungkin membutuhkan
waktu untuk terlihat. Karena cedera tidak selalu jelas, penegak hukum dan
responden pertama lainnya dapat meminta agar korban kejahatan kekerasan
menemani mereka ke rumah sakit atau fasilitas medis lainnya untuk pemeriksaan
lebih lanjut.
c) The Economic Impact of Victimization
Dampak finansial dari viktimisasi dapat diukur dalam hal kerugian
langsung akibat viktimisasi itu sendiri dan biaya lainnya, termasuk medis,
perbaikan properti atau harta benda, layanan kesehatan mental, peningkatan premi
asuransi, dan biaya yang terkait dengan pemasangan sistem keamanan. Partisipasi
dalam sistem peradilan juga bisa. memiliki biaya pribadi yang besar, termasuk
transportasi, kehilangan upah, perawatan anak, dan sebagainya. Demikian pula,
biaya yang terkait dengan relokasi tempat tinggal untuk pindah dari daerah dengan
tingkat kriminalitas tinggi atau jauh dari rumah yang menyimpan kenangan
menakutkan bisa sangat besar. Korban mungkin merasa sulit untuk berkonsentrasi
pada pekerjaan dan produktivitas ekonomi mereka mungkin menurun. Akhirnya,
biaya pemakaman dan penguburan harus ditanggung oleh korban yang masih
hidup dari anggota keluarga atau kerabat yang terbunuh. Beban finansial dari
viktimisasi mungkin sangat sulit untuk ditanggung oleh mereka yang
terpinggirkan secara ekonomi, kaum muda, dan penyandang cacat.

d) Secondary Victimization
Viktimisasi sekunder adalah viktimisasi yang disebabkan viktimisasi
primer. Pada praktiknya viktimisasi sekunder terkadang mengaburkan batas
antara korban dan pelaku sebab mengacu pada cedera sosial yang terjadi bukan
terhadap akibat langsung dari tindakan kriminal, tetapi juga melalui respons
institusi sosial dan individu terhadap korban. Bentuk viktimisasi sekunder yang
signifikan terjadi ketika sistem peradilan memaksakan persyaratan yang sulit
dipenuhi kepada korban, atau yang mengganggu kemampuannya untuk pulih dari
viktimisasi awal. Namun yang membedakan ketika membicarakan viktimisasi
sekunder harus dibedakan dari korban sekunder, yaitu orang-orang yang tidak
secara langsung terkena dampak peristiwa kriminal, tetapi menderita akibat yang
tidak diinginkan dari viktimisasi orang lain yang dekat dengan mereka, seperti
anggota keluarga, teman, rekan kerja, dan tetangga.

Contoh dari viktimisasi sekunder yang sering kita temui adalah korban
yang ketika proses pemeriksaannya ditekan terus menerus sehingga menyebabkan
trauma pada korban. Bahkan tetangga atau wartawan pun juga mempengaruhi hal
tersebut. Akibat dari viktimasi sekunder korban mungkin merasa frustrasi dengan
sistem peradilan dan percaya bahwa dia telah diberi pertimbangan lebih sedikit
“hak" dalam proses peradilan pidana.

e) Victimization as a Risk Fact

Dana D. DeHart sebagai seorang pekerja sosial dari Universitas South


Carolina telah melakukan survei terhadap perempuan yang berada di fasilitas
pemasyarakatan perempuan di Amerika Serikat. Beberapa perempuan tersebut
diidentifikasi baik secara langsung dan tidak langsung. Hasil survei menunjukan
bahwa viktimisasi dapat menjadi kontributor signifikan terhadap tindakan
kriminal di masa depan. Misalnya pada perempuan yang menjadi pelaku
kejahatan ternyata salah satu korban kekerasan seksual. Adanya dampak dari
marginalisasi perempuan dari gaya hidup arus utama, yang mengalir dari
penurunan harga diri, gangguan kesehatan fisik dan mental, dan fungsi psikososial
yang buruk setelah viktimisasi, mempengaruhi keterlibatan mereka dalam
kegiatan kriminal.

Pelecehan seks, misalnya, sering menyebabkan kehamilan yang tidak


diinginkan yang meninggalkan wanita dengan masalah keuangan dan lainnya
yang menyebabkan penyalahgunaan narkoba sebagai sarana untuk melarikan diri
dari penderitaan psikologis dan pelanggaran seperti prostitusi dan pencurian
sebagai sarana dukungan alternatif. Hilangnya pekerjaan yang dikaitkan dengan
kekerasan dalam rumah tangga, menguntit, dan takut akan kelanjutan korbanjuga
meningkatkan kebutuhan keuangan perempuan dan mendorong mereka ke dalam
kegiatan kriminal.

E. Victimology

Viktimologi merupakan subbidang kriminologi yang mencakup lebih dari


sekedar teori dan meluas ke semua aspek studi ilmiah tentang viktimisasi kriminal,
termasuk proses viktimisasi, kriminal, korban, sistem peradilan, dan masyarakat.
Dengan demikian, dalam studinya juga berfokus pada kelompok orang yang sangat
rentan dan berusaha memahami proses viktimisasi. Manfaat dari studi ini adalah
memberikan sumbangan mengerti lebih baik tentang korban (peran korban dalam
hubungannya dengan pelaku) serta memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi
masalah kompensasi pada korban (masukan untuk keputusan peradilan).

Secara spesifik perbedaan pada studi kriminolog akan menilai kebutuhan


pelanggar untuk konseling, psikoterapi, pendidikan tambahan, pelatihan kerja, dan
perawatan obat. Selain itu, kriminolog mengevaluasi efektivitas berbagai program
rehabilitasi yang ditawarkan di balik jeruji besi atau tersedia untuk masa percobaan
atau pembebasan bersyarat yang dimaksudkan untuk mengurangi tingkat
residivisme. Sedangkan studi victimology akan mendiagnosis masalah emosional
yang menimpa orang setelah mereka dirugikan oleh pelanggar, dan untuk menguji
kegunaan program yang dirancang untuk memfasilitasi pemulihan mereka.1

a. Blaming the Victim: Early theories of Victim Precipitation


Seperti yang kita kethaui bahwa viktimisasi kejahatan sangat kompleks
karena meliputi banyak pihak seperti penjahat, korban, sistem peradilan, masyarakat
dan lain-lain. Ketika banyak yang membahas penyebab dari kejahatan tersebut ada
pada pelaku, nyatanya ada beberapa hal yang menyebabkan korban juga melakukan
tindakan kejahatan. Istilah lain dalam pembahasan ini adalah victimogenesis yang

1
Andrew Karmen, Crime Victims, ninth edition, USA: Cengage Learning, 2015, hlm. 19.
artinya mengacu pada asal-usul atau penyebab viktimisasi dan mencakup
sekelompok variabel yang pada akhirnya mengarah pada viktimisasi.

Pada teori ini ditemukan fakta bahwa beberapa korban secara aktif
berkontribusi pada viktimisasi mereka sendiri dengan tampil tak berdaya (yaitu,
menjadi tua dan lemah, mabuk, atau menampilkan cacat fisik), dengan gagal
mengambil langkah-langkah defensif yang tepat (seperti membiarkan pintu tidak
terkunci atau lupa untuk menghapus kunci dari kendaraan), dengan menampilkan
kekayaan (berkedip sejumlah besar uang tunai atau barang berharga lainnya di
tempat umum), atau hanya dengan membuat pilihan lain yang tidak bijaksana (seperti
berjalan menyusuri gang gelap). Bahkan teori ini meneliti karakteristik korban, sifat
lingkungan mereka, atau kualitas hubungan mereka, sejauh mereka berperan dalam
mempercepat viktimisasi. Adapun pembagian presipitasi korban pada teori ini, yaitu

 presipitasi pasif (ketika korban tanpa sadar mendorong pelaku untuk


melakukan tindakan kriminal)
 presipitasi aktif (ketika korban benar-benar memprovokasi viktimisasi)
Selain dikotomi sederhana ini, para korban mengenali tiga cara di mana
korban berkontribusi pada viktimisasi mereka sendiri. Yang pertama adalah fasilitasi
korban, yang dapat terjadi ketika korban potensial gagal mengambil tindakan
pencegahan sederhana terhadap menjadi korban.

Faktor lain yang mempengaruhi viktimisasi yaitu fasilitas viktimisasi sebagai


akibat dari provokasi korbandi mana korban mungkin agresor awal yang memiliki
tabel dihidupkan padanya dan akhirnya terluka atau terbunuh. Akhirnya, inisiasi
korban terjadi ketika korban menarik perhatian pelaku melalui kegiatan tertentu
(yaitu, hiking sendirian di jalur gunung yang terisolasi) atau dengan menampilkan
kekayaan atau hal-hal lain yang menarik. Sehingga dorongan dari konsep ini bukan
memgartikan ketidakberdayaan bukan untuk menyalahkan korban karena menjadi
korban, tetapi untuk memeriksa faktor individu dan situasional yang mungkin telah
berkontribusi dan memulai kejahatan.

Schafer yang merupakan seorang Kriminologi di Hungarian menggunakan


istilah “functional responsibility” atau tanggung jawab fungsional. dalam
menugaskan korban ke kategori yang ia bayangkan didasarkan pada tingkat
provokasi di mana mereka terlibat. Kesalahan ketiknya, yang mencakup korban tanpa
tanggung jawab fungsional (yaitu, korban yang sama sekali tidak bersalah), kepada
mereka yang memiliki tanggung jawab total (yaitu, mengorbankan diri), termasuk
jenis berikut:

1. Korban yang tidak terkait (tanpa tanggung jawab korban)


2. Korban provokatif (korban berbagi tanggung jawab)
3. Korban endapan (dengan beberapa tingkat tanggung jawab korban)
4. Korban yang lemah secara biologis (tanpa tanggung jawab korban)
5. Korban yang lemah secara sosial (tanpa tanggung jawab korban)
6. Korban yang mengorbankan diri (yang memiliki tanggung jawab korban
total)
7. Korban politik (tanpa tanggung jawab korban)

F. Victimization and lifestyle

Lifestyle theory

Teori ini dikembangkan pada akhir tahun 1970, yang mana terjadi perubahan
fokus dari peran karakteristik korban yang menjadi penyebab utama dari viktimisasi
dan memeriksa pilihan yang dibuat sehingga meningkatkan ketersediaan pelaku dan
membuat terjadinya kejahatan lebih mudah. Dalam teori ini juga akan membahas
lifestyle atau gaya hidup yang mengacu pada cara seseorang hidup. Lifestyle terdiri
dari peristiwa berulang, berpola, teratur, dan berulang yang dilakukan orang setiap
hari. Oleh karena gaya hidup dikaitkan dengan paparan orang, tempat, dan waktu
dengan berbagai risiko viktimisasi, maka mereka menentukan kerentanan seseorang
terhadap viktimisasi kriminal.

Lifestyle theory menyajikan bahwa variable demografis, termasuk hal-hall


seperti usia, jenis kelamin, dan ras/etnis mempengaruhi gaya hidup dan menentukan
risiko viktimisasi melalui pengaruhnya terhadap gaya hidup. Beberapa kelompok
orang yang termsuk dalam keadaan gaya hidup yang bahaya, yaitu tunawisma,
pelarian, turis seks, dan peminum berat atau pecandu alkohol. Misalnya pada
seseorang yang merupakan penyalahguna narkoba yang gaya hidup mereka bermain
dengan orang asing atau kenalan yang memungkinkan menjadi target perampokan
atau pencurian, atau bahkan akhirnya ditangkap sebagai konsekuensi dari pilihan
gaya hidup yang mereka buat.

Garofalo seorang peneliti menemukan bahwa viktimisasi tidak didistibusikan


secara merata atau diacak di seluruh ruang dan waktu baik dalam lokasi dan waktu
yang berisiko tinggi. Berdasarkan studi dari the NIJ-funded National Elder
Mistreatment, risiko viktimisasi lansia lebih tinggi untuk individu dengan
karakteristik demografis berikut: pendapatan rumah tangga rendah, menganggur atau
pensiun, melaporkan kesehatan yang buruk, setelah mengalami peristiwa traumatis
sebelumnya, atau melaporkan tingkat dukungan sosial yang rendah.

Routine Activities Theory (RAT)

Cohen dan Felson mencatat bahwa aktivitas rutin memudahkan adanya


kesempatan untuk berbuat kejahatan sehingga risiko viktimisasi criminal bervariasi
menyesuaikan keadaan dan lokasi di mana orang menempatkan diri dan propertinya.
Dalam hal tersebut sifat atau pola interaksi sosial rutin berkontribusi secara
signifikan terhadap volume dan jenis kejahatan yang ditemukan di masyarakat.
Pendapat Cohen dan Felson ini ternyata lebih memfokuskan pada penjelasan
bagaimana viktimisasi muncul di Amerika setelah Perang Dunia kedua yang menurut
mereka masyarakat pasca perang mengalami perubahan motivasinya, seperti pelaku
termotivasi untuk melakukan kejahatan terhadap target yang sesuai tanpa adanya
wali yang mampu.

Cohen dan Felson juga mengakui bahwa korban sering mengalami


propinquity (misalnya, karakteristik sosiodemografi serupa) dan kedekatan fisik
relatif dengan pelaku kekerasan. Menggabungkan temuan studi viktimisasi yang
menggunakan gaya hidup dan teori kegiatan rutin, para peneliti telah menemukan
bahwa risiko viktimisasi kriminal meningkat dalam kehidupan seseorang jika mereka
adalah anggota ras atau etnis minoritas yang berusaha keluar di depan umum di
malam hari di daerah berbahaya tanpa teman atau keluarga, sambil membawa
barang-barang berharga atau terlibat dalam perilaku pengambilan risiko. Oleh karena
itu Felson menyarankan bahwa dalam aktivitas rutin sebisa mungkin masyarakat
meminimalkan risiko mereka.
The Situational Model

Felson pada teori ini mensugestikan bahwa angka dari prespektif situasi
mengkombinasikan untuk memperoleh respon kejahatan dari aktor individu yang
berkontribusi secara langsung, penekanannya terdapat pada individu yang bervariasi
dalam perilaku mereka dari situasi sat uke situasi lain dan beranggapan bahwa
kriminalitas mungkin mengalir dari godaan, lingkungan yang buruk, kemalasan, atau
provokasi. Dalam teori ini Felson menekankan kembali dari teori routine activities
sebelumnya, yakni adanya kesempatan sehingga situasi yang mendukung viktimisasi
muncul adalah ketika adanya motivasi dari pelaku, adanya target yang pas, dan tidak
adanya wali dari si korban tersebut.

Christoper J. Schrek dalam penelitiannya memeriksa viktimisasi sekolah dan


menyimpulkan bahwa strategi pengerasan target seperti penggunaan detector logam,
penjaga keamanan, dan patrol sekolah tidak mencegah kejahatan sekolah. Schreck
menunjukkan bahwa "viktimisasi tidak terjadi pada sembarang orang"; tetapi bahwa
"variabel-variabel tertentu menonjol sebagai prediktor yang menonjol." Dia
menyimpulkan bahwa siswa dapat mengurangi risiko viktimisasi dengan
"meningkatkan tingkat perwalian di sekitar diri mereka dan barang-barang mereka."

Deviant Places Theory

Deviant places theory (teori tempat menyimpang) ini berorientasi spasial.


Teori ini mensugestikan bahwa viktimisasi paling sering terjadi ketika lingkungan
sosial tidak tertata sehingga masyarakat menjadi korban akibat dari lingkungan
mereka tinggal. Fokus dari teori ini adalah risiko yang ditentukan secara geografis
untuk bersentuhan dengan pelaku, terlepas dari gaya hidup, perilaku, atau
karakteristik pribadi.

Rodney Stark seorang sosiologis dari Universitas Washington mencetuskan


teori ini pada tahun 1987 dengan sebutan “a theory of the ecology of crime.” Stark
melakukan observasi pada beberapa lokasi tertentu memiliki tingkat viktimisasi yang
tinggi dan tidak berubah bahkan setelah pergantian populasi yang hampir lengkap di
mana penduduk sebelumnya pindah dan yang baru pindah. Dia menyimpulkan
bahwa korban membutuhkan teori "jenis tempat" untuk melengkapi teori lain, yang
dia sebut teori "jenis orang".

Pada penelitiannya Stark menemukan bahwa adanya tiga puluh proposisi


yang terintegrasi pada kejahatan. Proposisi tersebut berfokus pada kondisi
lingkungan yang secara bersama-sama membentuk inti dari teori tempat-tempat
menyimpang. Kondisi lingkungan tertentu telah menghasilkan stigmatized
neighborhoods (lingkungan stigmatisasi), yaitu lingkungan dengan reputasi buruk
yang pada akhirnya memiliki sedikit daya tarik bagi mereka yang mampu tinggal di
tempat lain. Karakteristik dari lingkungan stigmatisasi dilihat dari rumah yang penuh
sesak, kefanaan, kebobrokan, dan kurangnya panutan yang sukses. Dalam hal ini
Stark mengkonstruksikan bahwa sejauh lingkungan padat dan miskin aka nada
kecenderungan yang lebih besar untuk berkumpul di luar rumah sehingga adanya
peluang untuk melakukan penyimpangan. Kemudian rumah yang ramai akan
berimbas pada turunnya tingkat pengawasan terhadap anak-anak serta
memungkinkan tingkat konflik yang lebih tinggi dalam keluarga yang melemahkan
keterikatan.

Stark mencatat bahwa teorinya tentang tempat-tempat menyimpang


sepenuhnya bergantung pada fitur ekologis yang terkait dengan lokasi tertentu, dan
bukan pada karakteristik ras, etnis, atau pribadi lainnya dari orang-orang yang tinggal
di sana. Ini penting, katanya, karena kriminolog saat itu telah mengamati tingkat
kriminalitas yang terlalu tinggi di kalangan komunitas kulit hitam, dan Stark ingin
menghindari implikasi dari mengaitkan ras dan etnis dengan kejahatan dan
penyimpangan. Temuan ini menunjukkan bahwa mengubah lingkungan lingkungan
individu tidak mengarah pada hasil yang lebih sehat, setidaknya tidak segera.

G. Victim’s Right

Istilah korban dalam persidangan telah ada sejak 50 tahun lalu. Namun sejak
dulu dalam proses peradilan, dan sistem peradilan pidana secara rutin meremehkan
pengalaman viktimisasi dan sebagian besar mengabaikan trauma psikologis dan
masalah keuangan yang ditimbulkan baik dengan menjadi korban dan dengan harus
menanggung proses pidana yang dimaksudkan untuk membawa penjahat ke
pengadilan.

Di California diatur mengenai hak korban, yaitu: diperlakukan dengan adil


dan dihormati atas privasi dan martabatnya, dan bebas dari intimidasi, pelecehan
selama proses peradilan; dilindungi secara wajar dari terdakwa dan orang-orang yang
bertindak atas nama terdakwa, untuk melindungi korban maka data pribadinya tidak
disebarkan ke terdakwa, pengacara terdakwa, atau orang lain yang bertinfak atas
nama terdakwa; untuk menolak permintaan wawancara atau penemuan oleh
terdakwa, pengacara terdakwa, atau orang lain yang bertindak atas nama terdakwa;
untuk pemberitahuan yang wajar dari semua proses publikasi; untuk didengar atas
permintaan pada proses apa pun; untuk memberikan informasi kepada pejabat
departemen masa percobaan yang melakukan penyelidikan pra-hukuman mengenai
dampak pelanggaran terhadap korban dan keluarga korban dan rekomendasi
hukuman sebelum hukuman terdakwa, dan lain-lain.

Sedangkan di Indonesia diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor


13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,


serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.

H. Restorative Justice: Making the Victim Whole Again

Restorative justice atau keadilan restorative merupakan salah satu upaya


penyelesaian yang menekankan akuntabilitas pelaku dan reparasi korban. Keadilan
restoratif memiliki dimensi keselamatan masyarakat dan fokus akuntabilitas pelaku.
Dimensi keselamatan masyarakat dari filosofi restorative justice mengakui bahwa
sistem peradilan memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan dan dari pelaku. Dalam proses ini juga melibatkan partisipasi masyarakat.
Unsur pertanggungjawaban tindak pidana dalam hal kewajiban pelaku ditujukan pada
korban maupun masyarakat. Restorative justice juga memiliki apa yang beberapa
orang gambarkan sebagai elemen pengembangan kompetensi, yang menyatakan
bahwa pelanggar yang memasuki sistem peradilan harus membuatnya lebih mampu
berpartisipasi dengan sukses di masyarakat luas daripada ketika mereka masuk.
Victim restitution

Victim restitution atau restitusi korban merupakan salah satu aspek penting
dalam restorative justice. Opsi hukuman yang berusaha mengembalikan korban sering
berfokus pada pembayaran restitusi yang diperintahkan pelaku, baik kepada korban
mereka atau dana umum, yang kemudian dapat mengganti korban karena penderitaan,
kehilangan upah, dan biaya medis. Semua program restitusi korban yang ada
mengharuskan pelamar memenuhi kriteria kelayakan tertentu, dan sebagian besar
menetapkan batasan jumlah maksimum kompensasi yang dapat diterima. Umumnya
dianulir adalah klaim dari korban yang secara signifikan bertanggung jawab atas
viktimisasi mereka sendiri, seperti mereka yang terluka dalam perkelahian yang
mereka provokasi.

I. Contoh Kasus

Contoh Kasus Pertama


Baru-baru ini (7/10/2021) telah terjadi pembunuhan di gang Serumpun, tepatnya
di Jalan Sutoyo S, Gang Serumpun RT 57, Kelurahan Pelambuan, Kecamatan
Banjarmasin Barat.2 Berdasarkan hasil pemeriksaan korban tersebut bernama Ahmad
Muzakir, merupakan seorang pekerja bengkel dan warga Jalan Sutoyo S, Gang
Serumpun RT 48, Kelurahan Pelambuan, Kecamatan Banjarmasin Barat. Ia
dinyatakan meninggal setelah mendapat banyak mata luka, meski pun sempat
mendapatkan perawatan medis. Adapun tiga pelaku yang diduga melakukan hal
tersebut dengan motif ketiganya tersinggung karena korban diduga mengganggu dan
menghalang-halangi istri pelaku Aan yang sedang melintas di TKP. Sampai saat ini
proses penyelesaian masih berlangsung.

Berdasarkan fakta yang sudah ditemukan motif pelaku kejahatan adalah karena
adanya kesalahan dari si korban yang ternyata mengganggu dan menghalang-halangi
istri dari pelaku sendiri. Jika melihat teori viktimisasi, hal ini sesuai dengan teori
Blaming Victims yang menjelaskan bahwa kualitas hubungan antara pelaku dan
korban juga mempengaruhi munculnya kejahatan.

Contoh Kasus Kedua

Suami penganiaya istri di Tangerang terancam hukuman penjara 5 tahun karena


kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Pria berinisial Y, 48 tahun itu
melakukan penganiayaan terhadap istrinya, EL, 47 tahun hingga luka di beberapa
bagian tubuh.
Kronologi kasus KDRT ini diawali pertengkaran suami istri itu di rumah mereka.
Pada saat bertengkar, tersangka naik pitam dan mengambil pisau dapur dan
menganiaya korban. Akibatnya, korban luka parah di leher, bahu, lengan dan jarinya.
Dari pengakuan tersangka, penganiayaan itu karena bertengkar masalah ekonomi
dalam rumah tangganya sehingga terjadi cekcok dan penganiayaan. Korban KDRT
itu sudah dirawat intensif di rumah sakit. Luka di leher dan bahunya cukup parah.

2
KlikKalsel.com, Ketiga Pelaku Pembunuhan Gang Serumpun Dibekuk, Pelaku Sakit Hati Istrinya Digoda
Korban, 12 Oktober 2021, diakses melalui https://klikkalsel.com/ketiga-pelaku-pembunuhan-gang-
serumpun-dibekuk-pelaku-sakit-hati-isterinya-digoda-korban/
Apabila dilihat dari fakta yang ditemukan dari contoh kasus diatas, pelaku
melakukan KDRT karena memiliki permasalahan dalam ekonomi yang dimana dapat
dikaitkan dengan teori Demographic Correlates of Victimizations bahwa faktor
keluarga seperti status sosial ekonomi rendah, dan juga orang yang tinggal di rumah
tangga miskin dua kali lipat untuk menjadi korban kekerasan daripada orang dalam
rumah tangga berpenghasilan tinggi.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa banyak sekali manfaat yang
dapat dipelajari dan dibahas mengenai korban kriminal atau Criminal Victimization.
Seperti dalam pembahasan pertama mengenai Hidden Victims yang membahas
mengenai kejahatan yang tidak dilaporkan dan juga kejahatan yang belum
ditemukan. Kedua, mengenai korban berdasarkan jumlah yang mengkaji bagaimana
statistik kejahatan dapat dikumpulkan, bagaimana mereka dapat diakses, dan
bagaimana pengaruhnya terhadap kita dari kejahatan dan viktimisasi. Lalu,
karakteristik demografi yang secara signifikan berkorelasi dengan risiko viktimisasi.
Keempat. Ada mengenai dampak sosio-emosional terhadap korban kriminal Pada
bagian ini, kami memeriksa efek pribadi dari viktimisasi, dengan melihat hal-hal
seperti dampak psikologis, fisik, ekonomi, dan sosial dari para korban.

Selanjutnya, Victimology yang merupakan sub-bidang kriminologi yang


mencakup lebih dari sekedar teori dan meluas ke semua aspek studi ilmiah tentang
viktimisasi kriminal, termasuk proses viktimisasi, kriminal, korban, sistem peradilan,
dan masyarakat. Keenam, ada Victim Rights yang menjelaskan mengenai hak-hak
dari para korban criminal. Dan terakhir, Restorative justice atau keadilan restoratif
merupakan salah satu upaya penyelesaian yang menekankan akuntabilitas pelaku dan
reparasi korban.
Daftar Pustaka

Karmen, Andrew. (2015) Crime Victims, ninth edition. USA: Cengage Learning.

KlikKalsel.com, Ketiga Pelaku Pembunuhan Gang Serumpun Dibekuk, Pelaku Sakit Hati
Istrinya Digoda Korban, 12 Oktober 2021, diakses melalui
https://klikkalsel.com/ketiga-pelaku-pembunuhan-gang-serumpun-
dibekuk-pelaku-sakit-hati-isterinya-digoda-korban/

Schmalleger, F. (2006). Criminology Today an Integrative Intriduction. Upper Saddle


River, N.J.: Pearson Prentice Hell.

Anda mungkin juga menyukai