Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS LIMBAH CAIR INDUSTRI DAN PENGOLAHANNYA

LAPORAN PRAKTIKUM

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Praktikum Pengolahan Air Proses
dan Limbah Industri Tekstil
Dosen Pengampu: Eka O., S.ST., MT.
Asisten Dosen: Witri A. S., S.ST., M.Tr.T. dan Desti M., S.ST.

Oleh
Moch Iqbal Nurkholis Efendi
20420048
3K2

PROGRAM STUDI KIMIA TEKSTIL


POLITEKNIK STTT BANDUNG
2022
BAB I
KEBUTUHAN OKSIGEN BIOLOGI DALAM AIR LIMBAH

I. MAKSUD DAN TUJUAN


1.1 Maksud
Menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk
menguraikan zat organik yang ada di dalam limbah contoh uji.
1.2 Tujuan
1. Menghitung nilai oksigen terlarut di dalam limbah pada hari ke 0
2. Menghitung nilai oksigen terlarut di dalam blanko pada hari ke 0
3. Menghitung nilai oksigen terlarut di dalam limbah pada hari ke 5
4. Menghitung nilai oksigen terlarut di dalam blanko pada hari ke 5
5. Menghitung nilai BOD berdasarkan nilai DO0 dan DO5 pada limbah dan
blanko.

II. DASAR TEORI


Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen
yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada
kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwabahan organik ini
digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh
dari proses oksidasi (PESCOD,1973). Parameter BOD, secara umum banyak
dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD
sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke
muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay
yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh
organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organik yang ada
dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama dengan kondisi yang
ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas
dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara
bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus berada pada suatu
tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya oksigen terlarut
selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan mengingat
kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9 ppm pads suhu
20°C.
Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan bermacam-
macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon
dioksida (CO2) dan air (H2O). Pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai
suatu prosedur oksidasi dimana organisme hidup bertindak sebagai medium
untuk menguraikan bahan organik menjadi CO2 dan H2O. Reaksi oksidasi
selama pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktifitas biologis dengan
kecepatan reaksi yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi
dan suhu. Karenanya selama pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan
konstan pada 20°C yang merupakan suhu yang umum di alam. Secara teoritis,
waktu yang diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan
organik terurai menjadi CO2 dan H2O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya
dilaboratoriurn, biasanya berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa
selama waktu itu persentase reaksi cukup besar dari total BOD. Nilai BOD 5
hari merupakan bagian dari total BOD dan nilai BOD 5 hari merupakan 70 –
80% dari nilai BOD total. Metoda penentuan yang dilakukan adalah dengan
metoda titrasi dengan cara WINKLER. Metoda titrasi dengan cara WINKLER
secara umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen terlarut.
Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang akan
dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 den NaOH – KI,
sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atan HCl
maka endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan membebaskan
molekul iodium (I2) yang ekuivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang
dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat
(Na2S2O3) dan menggunakan indikator larutan amilum (kanji).
Bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang
siap terdekomposisi, BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang
digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai
respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari
pengertianpengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD
menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan
sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics)
yang ada di perairan.
Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar
mencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air
buangan/ sampel tersebut yang harus berada pada suatu tingkat pencemaran
tertentu. Hal ini untuk menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama
pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan mengingat kelarutan oksigen salam

air terbatas dan hanya berkisar 9 ppm pada suhu 20 oC. Faktor-faktor yang
mempengaruhi BOD adalah jumlah senyawa organik yang diuraikan,
tersedianya mirkoorganisme aerob dan tersedianya sejumlah oksigen yang
dibutuhkan dalam proses penguraian tersebut. Oksidasi biokimia adalah
proses yang lambat. Dalam waktu 20 hari, oksidasi bahan organik karbon
mencapai 95 – 99 %, dan dalam waktu 5 hari sekitar 60 – 70 % bahan
organik telah terdekomposisi. Lima hari inkubasi adalah kesepakatan umum

dalam penentuan BOD. Jika sampel air BOD pada 20 oC diukur berdasarkan
fungsi waktu. Karena panjangnya waktu, maka para engineer lingkungan
mengambil secara universal untuk test standar pada 5 hari untuk prosedur
BOD.

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat
1. Botol Winkler dengan tutupnya
2. Pipet volume
3. Tabung erlenmeyer
4. Labu ukur
3.2 Bahan
1. Air Limbah
2. Alkali Iodida
3. MnSO4 10%
4. H2SO4 pekat
5. Larutan Tiosulfat
6. Indikator kanji
7. Air suling

IV. CARA KERJA


5.1 Pengenceran
1. Masukan air suling ke dalam labu ukur 2 L sebanyak 500 ml
2. Tambahkan 2 ml bibit air kotor.
3. Tambahkan 2 ml buffer fosfat.
4. Tambahkan 2 ml CaCl2.
5. Tambahkan 2 ml FeCl3.
6. Tambahkan 2 ml MgSO4.
7. Masukan air suling kembali hingga mencapai garis miniskus.
8. Air dihomogenkan.
5.2 DO0
1. Lakukan pengenceran air limbah di dalam labu ukur 500 ml yang
berisikan air pengencer dan 2.86 atau 2.9 ml contoh uji (berdasarkan
volume winkler dengan 100 kali pengenceran).
2. Contoh uji dihomogenkan dan dicek pHnya pada rentang 7-9.
3. Jika pH belum mencapai rentang 7-9 ditambahkan H2SO4 atau NaOH
4. Air contoh uji dimasukkan ke dalam botol winkler (hindari masuknya
udara ke dalam botol).
5. Diperiksa nilai DO pada hari ke 0.
6. Contoh uji di dalam botol winkler ditambahkan 2 ml MnSO 4 dan 2 ml
alkali iodida kemudian botol ditutup agar tidak ada gelembung udara.
7. Botol winkler kocok dan biarkan mengendap.
8. Ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat dan botol ditutup kembali.
9. Botol dikocok sampai endapan larutan sempurna.
10. Titrasi iodium dengan larutan Tiosulfat 0.1 N sampai warna kuning
muda.
11. Tambahkan 2 tetes indikator kanji.
12. Titrasi sampai warna biru dari kanji hilang atau warna kembali ke
warna contoh uji.
5.3 DO5
1. Lakukan pengenceran air limbah di dalam labu ukur 500 ml yang
berisikan air pengencer dan 2.86 atau 2.9 ml contoh uji (berdasarkan
volume winkler dengan 100 kali pengenceran).
2. Contoh uji dihomogenkan dan dicek pHnya pada rentang 7-9.
3. Jika pH belum mencapai rentang 7-9 ditambahkan H2SO4 atau NaOH
4. Air contoh uji dimasukkan ke dalam botol winkler (hindari masuknya
udara ke dalam botol).
5. Contoh uji dimasukkan kedalam inkubasi dengan suhu 20oC selama 5
hari.
6. Diperiksa nilai DO pada hari ke 5.
7. Contoh uji di dalam botol winkler ditambahkan 2 ml MnSO 4 dan 2 ml
alkali iodida kemudian botol ditutup agar tidak ada gelembung udara.
8. Botol winkler kocok dan biarkan mengendap.
9. Ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat dan botol ditutup kembali.
10. Botol dikocok sampai endapan larutan sempurna.
11. Titrasi iodium dengan larutan Tiosulfat 0.1 N sampai warna kuning
muda.
12. Tambahkan 2 tetes indikator kanji.
13. Titrasi sampai warna biru dari kanji hilang atau warna kembali ke
warna contoh uji.

V. DATA PENGAMATAN
5.1 DO Hari ke 0
1. Titrasi Blanko
Titrasi 1 Titrasi 2
Volume Awal : 0 Volume Awal : 0
Volume Akhir : 2,9 ml Volume Akhir : 2,9 ml
Volume Titrasi : 2,9 ml Volume Titrasi : 2,9 ml
2. Tiitrasi DO0
Titrasi 1 Titrasi 2
Volume Awal : 0 ml Volume Awal : 0 ml
Volume Akhir : 3 ml Volume Akhir : 3 ml
Volume Titrasi : 3 ml Volume Titrasi : 3 ml
3. Data Perhitungan
V titar × N Thiosulfat × BE × 1000
DO 0=
V botol winkler
2,9 ×0.01 ×8 × 1000
DO 0 blanko= DO 0 blanko=2,08mg /l
115
3 ×0.01 ×8 ×1000
DO 0 contoh uji= DO 0 contoh uji=1,84 mg /l
130
5.2 DO Hari ke 5
1. Titrasi Blanko
Titrasi 1 Titrasi 2
Volume Awal : 0 ml Volume Awal : 0 ml
Volume Akhir : 3 ml Volume Akhir : 3 ml
Volume Titrasi : 3 ml Volume Titrasi : 3 ml
2. Tiitrasi DO5
Titrasi 1 Titrasi 2
Volume Awal : 0 ml Volume Awal : 0 ml
Volume Akhir : 2,6 ml Volume Akhir : 2,6 ml
Volume Titrasi : 2,6 ml Volume Titrasi : 2,6 ml
3. Data Perhitungan
V titar × N Thiosulfat × BE× 1000
DO5 =
V botol winkler
3 ×0.01 ×8 × 1000
DO5 blanko= DO5 blanko=1,84 mg/l
130
1,62× 0,01× 8 ×1000
DO5 contoh uji= DO5 contoh uji=1,62 mg/l
128
5.3 Perhitungan BOD
(DO ¿ ¿ 0−DO5 )blanko
BOD=(DO ¿ ¿ 0−DO5 )contoh uji− ¿¿
Pengencer
( ( 1,84−1,62 )−( 2,01−1,84 ) )
BOD=
1 BOD= ( 0,22−0,17 ) ×100 BOD=5 mg /l
100

VI. DISKUSI
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh nilai BOD5 sebesar 5 mg/l. Baku Mutu
BOD5 menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.P16 Tahun 2019
adalah sebesar 60 mg/l. Jumalh tersebut belum sesuai dengan baku mutu
dimana limbah tersebut masih lebih besar dari baku mutu air limbah yang dapat
menyebabkan oksigen terlarut hilang oleh zat organik sehingga perlu di
minimalisir atau di bantu oleh mikroorganisme dengan proses BOD namun
setelah dilakukan pengujian parameter BOD nilai tersebut masih lumayan jauh
dengan baku mutu. Oleh karena itu perlu dilakukan proses pengolahan limbah
agar dapat memenuhi baku mutu dan juga aman bagi lingkungan.

VII. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa nilai BOD atau jumlah oksigen mikroorganisme
untuk menghilangkan pollutant di dalam air contoh uji adalah:
DO0 contoh uji : 1,84mg/l
DO0 blanko : 2,08 mg/l
DO5 contoh uji : 1,62 mg/l
DO5 blanko : 1,84 mg/l
BOD air contoh uji : 5 mg/l

VIII. LAMPIRAN
BAB II
ANALISA ZAT PADAT DI DALAM AIR LIMBAH TEKSTIL

I. MAKSUD DAN TUJUAN


1.1 Maksud
Mencari jjumlah atau kadar zat padat tersuspensi (suspended solid), zat
padat terlarut (dissolved solid), dan zat padat total (total solid) pada air
contoh limbah industri.
1.2 Tujuan
1. Menghitung nilai zat padat tersuspensi pyang terkandung dalam air
cotoh.
2. Menghitung nilai zat padat total yang terkandung dalam air contoh.
3. Menghitung nilai zat padat terlarut yang terkandung dalam air contoh.

II. DASAR TEORI


2.1 Limbah Industri
Limbah industri adalah hasil buangan yang dihasilkan dari setiap macam
kegiatan industri. Jenis limbah industri sangat beragam, tergantung
dengan produk apa yang dihasilkan. Misalnya dalam industri tekstil, tak
hanya terdapat limbah berupa potongan sisa material tetapi juga air
buangan dari pewarna kain. Karena industri yang ada sangat beragam,
secara garis besar, limbah industri terbagi ke dalam empat kelompok,
yakni:
1. Limbah Cair
Limbah cair merupakan limbah yang berwujud cair dan dihasilkan
oleh proses industri. Misalnya sisa limbah tempe, cairan pengawet,
sisa pewarna pakaian, air pencuci bahan makanan hingga tumpahan
minyak di lautan.
Prinsip utama dalam pengelolaan limbah cair yakni membuat cairan
yang dikeluarkan tetap bersih, dengan mengeliminasi polutan di
dalamnya. Terdapat tiga cara untuk mengelola limbah jenis ini yakni
secara fisika, kimia dan biologi. Dalam pengelolaan secara fisika,
seluruh material pengotor dipisahkan dari cairan. Caranya yakni
dengan melalui tahapan pengendapan, floatasi, penyerapan serta
penyaringan. Sementara itu, dalam proses pengolahan limbah cair
secara kimia, terdapat beberapa cara yang kerap diterapkan. Mulai
dari metode ozonisasi, oksidasi, koagulasi hingga penukar ion.
Pemilihan metode harus menyesuaikan dengan jenis polutan yang
akan dihilangkan. Cara terakhir adalah pengolahan secara biologi,
yakni memanfaatkan biota hidup berupa mikoorganisme untuk
menguraikan polutan dalam limbah. Terdapat tiga pilihan metode
yang dapat digunakan yakni pengolahan secara aerobik, anaerobik
serta fakultatif.
2. Limbah Padat
Dalam industri, limbah padat yang dihasilkan tak hanya dalam
bentuk padatan tetapi juga lumpur atau bubur. Contohnya, sisa
sampah plastik, sisa pakaian, material kayu potongan, besi, hingga
sisa bubur kertas.
Limbah padat hasil buangan industri dapat dikelola dengan beragam
cara agar lebih ramah ke lingkungan. Limbah padat terdiri dari dua
jenis yaitu limbah organik dan limbah anorganik. Dalam
pengelolaannya, limbah organik umumnya ditimbun dengan harapan
dapat diurai oleh mikroorganisme sehingga bisa menyuburkan tanah.
Namun, penimbunan sampah organik tidak bisa dilakukan secara
sembarangan. Biasanya diterapkan metode sanitary landfill untuk
mencegah pencemaran. Dalam sanitary landfill, sampah diletakan
dalam lubang yang sebelumnya telah dilapisi tanah liat dan plastik
untuk mencegah merembesnya air ke dalam tanah. Kemudian, gas
metana yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk listrik.
Selanjutnya, limbah padat juga bisa langsung dikelola dengan cara
pembakaran dengan cara insinerasi. Meskipun sangat efektif
mengurangi jumlah sampah, biaya produksi yang tinggi membuat
tidak semua industri bisa memiliki alat tersebut. Sementara itu,
limbah anorganik seperti plastik atau kabel bekas dapat didaur ulang
menjadi barang baru dengan nilai jual lebih tinggi.

3. Limbah Gas
Limbah gas merupakan limbah industri yang ada dalam bentuk
molekul gas. Karena tidak dapat dilihat secara kasatmata, limbah
jenis ini dapat memberikan efek buruk bagi makhluk hidup bila tak
tertangani dengan baik. Molekul gas menjadi limbah bila berada
dalam jumlah yang berlebihan melebihi standar udara sehat.
Misalnya kelebihan gas metan, karbon monoksida hingga hidrogen
peroksida.
Tak seperti dua jenis limbah sebelumnya, limbah gas tidak bisa
dilihat secara langsung sehingga cukup berbahaya bagi makhluk
hidup. Salah satu cara untuk mengelola limbah ini adalah dengan
melakukan pengurangan jumlah gas yang dibuang, dengan metode
desulfurisasi menggunakan filter basah. Industri juga bisa beralih
menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Selain itu,
limbah gas bisa dikelola menggunakan metode fase gas, yang dapat
menyamarkan bau tak sedap yang dikeluarkan. Terdapat juga metode
fase padat, yakni menggunakan adsorben padat seperti arang aktif
untuk menyerap bau tak sedap.
4. Limbah B3
Kategori limbah terakhir dari proses industri adalah limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun (B3). Limbah B3 masuk dalam kategori
sendiri karena kandungan senyawa beracun di dalamnya cukup tinggi
sehingga dibutuhkan penanganan khusus. Beberapa industri yang
menghasilkan limbah B3 seperti industri pengelolaan bubur kertas,
minyak pelumas, bahan farmasi serta semen.
Sebelum dikelola, limbah B3 harus diperhatikan cara
menyimpannya. Limbah jenis ini tidak boleh dicampur dengan
limbah jenis lain. Tak hanya itu, industri yang menghasilkan limbah
B3 harus memiliki izin dari pemerintah setempat untuk melakukan
penyimpanan. Dalam proses pengelolaan, terdapat tiga cara yang
umumnya digunakan yakni secara fisik, kimia dan biologi. Dalam
cara pengelolaan secara fisik, tak hanya dilakukan pemisahan
komponen limbah tetapi juga pembersihan gas. Ketika dikelola
melalui cara kimiawi, proses yang dilakukan meliputi solidifikasi,
reduksi, absorpsi, elektrolisasi, penukaran ion, sedimentasi dan
netralisasi. Pengelolaan limbah B3 selanjutnya yakni secara biologi
dan meliputi proses bioremediasi dan fitoremediasi. Kedua metode
ini melibatkan makhluk hidup seperti tumbuhan dan mikroorganisme
untuk mengurasi senyawa beracun dalam B3. Cara ini juga lebih
menghemat biaya bila dibandingkan bila dikelola secara fisik
maupun kimia.
2.2 Karakteristik Limbah Industri Pakaian dan Tekstil
Dalam mengolah limbah yang dihasilkan pada suatu kegiatan tentunya
dibutuhkan karakterisasi. Dengan mengenal sifat atau karakter dari
limbah tersebut, pengolahan dapat dilakukan dengan tepat dan efisien.
Polutan utama dalam limbah tekstil memiliki sifat sebagai berikut
 Nilai Padatan tersuspensi tinggi
 Berwarna
 pH tidak netral (8-10)
 Kandungan oil dan grease cukup tinggi
 BOD yang tinggi
 Mengandung logam berat dan materi yang berbahaya (B3)
2.3 Zat Padat
Analisa zat padat dalam air sangat penting untuk perencanaan pengolahan
air buangan industri. Dalam metode analisa zat padat, yang dimaksud
dengan zat padat total adalah semua zat-zat yang tersisa sebagai residu,
jika suatu zat dikeringkan pada temperature tertentu. Adapun pengukuran
solid dalam airdibedakan atas : Total Solid (TS), Total Suspended Solid
(TSS), Total Dissolved Solid(TDS), Fixed Total Solid (FTS), Fixed
Suspended Solid (FSS), Fixed Dissolved Solid (FDS),Volatile Total Solid
(VTS), Volatile Suspended Solid (VSS), Volatile Dissolved Solid(VDS).
Pada percobaan kali ini, kita hanya akan membahas mengenai Total Solid
(TS), Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS).
2.4 Total Solid
Total padatan (total solids) adalah semua bahan yang terdapat dalam
contoh airsetelah dipanaskan pada suhu 103°-105°C selama tidak kurang
dari 1 jam. Bahan initertinggal sebagai residu melalui proses evaporasi.
Total solid pada air terdiri dari total padatan terlarut (total dissolved
solids) dan total zat padat tersuspensi (total suspendedsolids).
2.5 Total Suspended Solid
Total Suspended Solid atau padatan tersuspensi total adalah residu dari
padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel
maksimal 2μm atau lebih besar dariukuran partikel koloid. TSS
menyebabkan kekeruhan pada air akibat padatan tidak terlarutdan tidak
dapat langsung mengendap. TSS terdiri dari partikel-partikel yang ukuran
maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-
bahan organik tertentu, sel-selmikroorganisme, dan sebagainya.
TSS merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang
heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling
awal dan dapat menghalangikemampuan produksi zat organik di suatu
perairan. Penetrasicahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih
dalam tidak berlangsung efektif akibatterhalang oleh zat padat
tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna.
TSSumumnya dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan. TSS
memberikan kontribusi untukkekeruhan dengan membatasi penetrasi
cahaya untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan.Oleh karena itu nilai
kekeruhan tidak dapat dikonversi ke nilai TSS.
2.6 Total Disolved Solid
Total Dissolve Solid (TDS) yaitu ukuran zat terlarut (baik itu zat organik
maupunanorganik) yang terdapat pada sebuah larutan. TDS
menggambarkan jumlah zat terlarut dalam part per million (ppm) atau
sama dengan milligram per liter (mg/L). Umumnya berdasarkan definisi
diatas seharusnya zat yang terlarut dalam air (larutan) harus
dapatmelewati saringan yang berdiameter 2 micrometer (2×10-6 meter).
Aplikasi yang umumdigunakan adalah untuk mengukur kualitas cairan
pada pengairan, pemeliharaan aquarium,kolam renang, proses kimia,
pembuatan air mineral, dan lain-lain. Total padatanterlarut (TDS) juga
dapat diartikan sebagai bahan dalam contoh air yang lolos
melaluisaringan membran yang berpori 2,0 m atau lebih kecil dan
dipanaskan 180°C selama 1 jam.Total dissolved solids yang terkandung
di dalam air biasanya berkisar antara 20 sampai 1000mg/L. Pengukuran
total solids dikeringkan dengan suhu 103 sampai 105°C. Digunakan
suhuyang lebih tinggi agar air yang tersumbat dapat dihilangkan secara
mekanis.

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat
1. Cawan
2. Kertas Saring
3. Oven
4. Eksikator
5. Labu Ukur
6. Neraca Analitik
7. Penangas Air
3.2 Bahan
1. Sampel Limbah
2. Aquades

IV. CARA KERJA


4.1 Zat Padat Total (TS)
1. Cawan kosong yang telah dibersihkan dipanaskan di dalam oven
dengan temperature 105oC selama 60 menit.
2. Cawan didinginkan selama 15 menit di dalam eksikator lalu ditimbang
dengan teliti.
3. Contoh uji dihomogenkan kemudian diambil dengan labu ukur
sebanyak 50ml.
4. Contoh uji dituangkan ke dalam cawan dan dikeringkan di atas
penangas air hingga tidak tersisa air.
5. Cawan dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 105oC selama 1
hari hingga kering sempurna.
6. Cawan kemudian didinginkan di dalam eksikator selama 15 menit,
kemudian ditimbang dengan teliti.
4.2 Zat Padat Tersuspensi (TSS)
1. Kertas saring dipanaskan di dalam oven dengan suhu 105oC selama 60
menit.
2. Kertas saring didinginkan di dalam eksikator selama 15 menit lalu
ditimbang dengan teliti.
3. Contoh uji dihomogenkan kemudian diambil dengan labu ukur
sebanyak 50 ml.
4. Contoh uji disaring menggunakan kertas saring yang telah ditelattakn di
atas corong.
5. Kertas saring dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 105oC
selama 1 hari hingga kering sempurna.
6. Kertas saring kemudian didinginkan di dalam eksikator selama 15
menit kemudian ditimbang dengan teliti.

V. DATA PENGAMATAN
5.1 Zat Padat Total (TS)
Berat awal cawan : 86,7213 gram
Berat akhir cawan : 87,8695 gram
Berat akhir cawan−Berat awal cawan 6
TS= ×10
ml pipet
87,8695−86,7213 6 1,1482 6
TS= × 10 TS= × 10 TS=22.964 mg/l
50 50
5.2 Zat Padat Tersuspensi (TSS)
Berat awal kertas saring : 0,5420 gram
Berat akhir kertas saring : 0,5771 gram
Berat akhir kertas saring−Berat awal kertas saring 6
TSS= × 10
ml pipet
0,5771−0,5420
TSS= × 106TSS=702 mg/l
50
5.3 Zat Terlarut Total (TDS)
TDS=TS−TSSTDS=22.964−702TDS=22.262 mg/l

VI. DISKUSI
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil zat padat total (TS) sebanyak
22.964 mg/l, zat padat tersuspensi(TSS) sebanyak 702 mg/l dan zat terlalut
total (TDS) sebanyak 22.262 mg/l. Hasil tersebut menandakan bahwa dalam air
limbah yang di analisis memiliki jumlah zat padat yang sangat banyak yang
dapat mecemari lingkungan. Standar baku mutu air limbah berdasarkan pergub
Bali No. 8 Tahun 2007 zat padat tersuspensi (TSS) sebanyak 20 mg/l, zat
terlarut total (TDS) sebanyak 2000 mg/l. Nilai tersebut masih jauh dari baku
mutu air limbah pergub Bali No.8 Tahun 2007 sehinga perlu untuk dilakukan
proses pengolahan air limbah agar dapat di buang ke lingkungan dengan aman
tanpa ada zat yang dapat merusak lingkungan.

VII. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil analisa zat padat, sebagai
berikut:
Zat Padat Total (TS) : 22.964 mg/l
Zat Padat Tersuspensi (TSS) : 702 mg/l
Zat Terlarut Total (TDS) : 22.262 mg/l

VIII. LAMPIRAN
BAB III
KEBUTUHAN OKSIGEN KIMIA DALAM AIR LIMBAH

I. MAKSUD DAN TUJUAN


1.1 Maksud
Menentukan nilai COD sebagai parameter pencemaran zat organik dengan
cara oksidasi melalui mikrobiologi.
1.2 Tujuan
1. Menghitung jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-
zat organik yang ada di dalam air contoh dengan menggunakan
oksidator K2Cr2O7.
2. Membandingkan dan menganalisa nilai COD air contoh uji dengan nilai
COD baku mutu air limbah.

II. DASAR TEORI


Chemical Oxygen Demand (COD) atau Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK)
adalah besaran yang menunjukkan limbah oksigen yang diperlukan untuk
mengoksidasai zat kimia dalam air limbah secara kimiawi menggunakan
oksidator kuat kalium dikromat atau kalium pemanganat atau pula dapat
dikatakan KOK adalah jumlah oksidan Cr2O72- yang bereaksi dnegan contoh uji
dan dinyatakan sebagai mg O2 untuk tiap 1000 ml contoh uji..
Zat-zat organik diurai oleh campuran kromat dan asam sulfat yang diubah
menjadi CO2 dan air. Prosedur pengujiannya adalah dengan menambahkan
kalium dikromat standar asam sulfat yang sudah ditambahkan perak sulfat dan
sejumlah contoh uji dengan volume terukur ke dalm erlenmeyer. Kemudian
dipasang kondensor di atasnya dan direfluks selama 2 jam.
Pengujian KOK yang mengacu pada SNI 06-6989.2-2004 dilakukan dengan
refluks tertutup secara spektrofotometri. Senyawa organik dan anorganik,
terutama organik dalam contoh uji dioksidasai oleh Cr 2O72- dalam refluks
terturup dan menghasilkan Cr2+. Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan
dalam ekuivalen oksigen (O2 mg/l) diukur secara spektrofotometri sinar
tampak. Cr2O72- kuat mengabropsi pada panjang gelombang 400 nm dan Cr 2+
kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 600 nm.
Untuk nilai KOK 100 mg/l sampai dengan 90 mg/l ditentukan kandungan Cr3+
pada panjang gelombang 600 nm atau bilamana hasil akhir oksidasi dikromat
warna larutan biru kehijauan. Pada contoh uji dengan nilai KOK yang lebih
tinggi dilakukan pengenceran terlebih dahulu sebelum pengujian. Untuk nilai
KOK lebih kecil atau sama dengan 90mg/l ditentukan pengurangan konsentrasi
Cr2O72- pada panjang gelombang 420nm atau bilamana hasil akhir oksidasi
dikromat warna larutan kuning jingga.
Pada pengujjian kebutuhan oksigen kimia dalam contoh air dengan refluks
terbuka cara titrimetri menggunakan larutan standar fero amonium sulfat. Pada
prinsipnya metoda pengerjaan kedua cara tersebut hampir sama yaitu
menggunakan larutan kalium dikromat K2Cr2O7 dalam H2SO4 yang bertindak
sebagai zat pengoksidasi dan verak sulfat (Ag 2SO4) yang berfungsi sebagai
katalis dalam pengoksidasian zat-zar organik dalam contoh air. Pada metoda
titrimetri, setelah direfluks selama 2 jam sisa dikromat didtitrasi dengan
feroamonium sulfat.

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat
1. Refluks
2. COD reaktor
3. Buret 50 ml
4. Pipet volume 1 ml
5. Labu ukur 100 ml
3.2 Bahan
1. Contoh uji
2. K2Cr2O7 0.25N
3. H2SO4 pekat
4. K2Cr2O7 0.1 N
5. Indikator feroin
6. Aquades
7. Larutan FAS

IV. CARA KERJA


1. Contoh uji dilakukan pengenceran sebanyak 1000 kali dan dihomogenkan di
dalam labu ukur 100 ml.
2. Contoh uji dipipet sebanyak 2.5 ml ke dalam tabung COD.
3. Contoh uji ditambahkan K2Cr2O7 0.25N sebanyak 1.5 ml dan H2SO4 pekat
sebanyak 3.5 ml.
4. Tabung COD dimasukkan ke dalam COD reaktor dengan suhu 150oC
selama 2 jam.
5. Sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer.
6. Pipet 5ml K2Cr2O7 0.1 N ke dalam erlenmeyer.
7. Ditambahkan H2SO4 biasa sebanyak 1 ml.
8. Tambahkan 2 tetes indikator feroin hingga agak kehijauan.
9. Contoh uji dititrasi dengan FAS hingga berwarna merah coklat.

V. DATA PENGAMATAN
5.1 Titrasi Blanko
Titrasi 1 Titrasi 2
Volume Awal : 0 Volume Awal : 2,2
Volume Akhir : 2.2 ml Volume Akhir : 5 ml
Volume Titrasi : 2.2 ml Volume Titrasi : 2.8 ml
5.2 Standarisasi FAS
Titrasi 1 Titrasi 2
Volume Awal : 0 Volume Awal : 6
Volume Akhir : 10.9 ml Volume Akhir : 16.9 ml
Volume Titrasi : 10.9 ml Volume Titrasi : 10.9 ml
 Standarisasi FAS Titrasi 1
5 ml × 0.1 N 5 ×0.1 0.5
V 1 N 1=V 2 N 2N 2= N 2= N = N =0.045
ml titrasi 10.9 2 10.9 2
5.3 Perhitungan COD
1. Titrasi Blanko
Titrasi 1 Titrasi 2
Volume Awal : 0 Volume Awal : 2.2
Volume Akhir : 2.2 ml Volume Akhir : 5 ml
Volume Titrasi : 2.2 ml Volume Titrasi : 2.8 ml
2. Titrasi Contoh Uji
Titrasi 1
Volume Awal : 5 ml
Volume Akhir : 7.4 ml
Volume Titrasi : 2.4 ml
( ml blanko−ml titrasi contohuji ) × NFAS ×8000 × P
COD=
ml cu
100
( 2,5−2,4 ) ×0.045 N ×8000 ×
1 COD=1.440 mgO2 /l
COD=
2.5 ml

VI. DISKUSI
Berdasarkan hasil praktikum didapat nilai COD sebesar 1.440 mg O2 /l yang
dimana nilai tersebut sangat besar dan berdampak terhadap lingkungan.
Standar baku mutu air limbah untuk COD berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No. P16 Tahun 2019 kadar COD adalah sebesar 150 mg/l.
Jumlah COD disini adalah menggambarkan jumlah total bahan organik dalam
air limbah tersebut. Sehingga perlu dilakukan pengolahan air limabh salah
satunya pngolahan limbah secara kimia dimana ketika sudah dilakukan proses
pengolahan limbah, limbah dapat dibuang dengan aman tanpa mencemari
lingkungan.

VII. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa nilai COD atau jumlah oksigen untuk mengoksidasi
zat organik di dalam air contoh uji adalah 1.440 mgO2/l.

VIII. LAMPIRAN
BAB IV
KOAGULASI

I. MAKSUD DAN TUJUAN


1.1 Maksud
Memperbaiki kualitas air dan mempelajari proses pengolahan air limbah
tekstil secara koagulasi dengan memvariasikan jenis zat koagulan yang
digunakan.
1.2 Tujuan
1. Mengolah air limbah dengan zat koagulan PAC, Tawas, dan FeSO4.
2. Menghitung penurunan zat padat total/ total solid setelah dilakukan
koagulasi.
3. Menganalisa data hasil proses koagulasi.

II. DASAR TEORI


Koagulasi adalah proses dimana terjadi destabilasi pada suspense atau larutan.
Fungsi koagulasi disini adalah untuk mengatasi faktor-faktor yang
menstabilkan sistem. Reaksi koagulasi dapat berjalan dengan membubuhkan
zat pereaksi (koagulan) sesuai dengan zat yang terlarut. Koagulan merupakan
bahan yang dapat mempercepat terjadinya koagulasi. Koagulan berfungsi
untuk menetralkan muatan listrik pada partikel-partikel halus sehingga dapat
meningkatkan jarak efektif gaya tarik- menarik London-Van Der Waals dan
membentuk partikel-partikel yang lebih besar. Jenis-jenis koagulan yang
diguanakan saat ini sangat beragam, dari seluruh jenis koagulan tersebut
memiliki sifat, karakteristik dan cara kerja yang berbeda. Pada proses
koagulasi, koagulan yang mengandung garam alumunium atau besi
ditambahkan kedalam air sehingga terbentuk kompleks alumunium hidroksida
atau besi hidroksida yang bermuatan positif. Partikel bermuatan positif ini akan
mengadsorpsi partikel koloid bermuatan negatif seperti tanah liat dan partikel-
partikel lain penyebab timbulnya warna dan kekeruhan. Dalam memilih
koagulan, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, antara lain:
a. Sifat dan kualitas dari air limbah.
b. Variasi dalam kualitas air limbah yang dapat berupa suhu dan pH.
c. Kualitas output yang diinginkan setelah proses pengolahan.
d. Sifat pengolahan setelah proses kuagulasi.
e. Derajat kemurnian dari reagen.
Pengurangan potensial elektrostatis yang terjadi dalam proses koagulasi bisa
disebut dengan destabilisasi. Mekanisme proses destabilisasi ini terdiri dari
beberapa langkah antara lain :
1. Pengurangan muatan permukaan partikel dengan menekan lapisan muatan
ganda (double- change layer). Penambahan ion ke dalam air akan
meningkatkan kekuatan ionik dan menurunkan gaya tolak. Dengan
penambahan garam ke dalam air, muatan koloidal tidak dikurangi secara
signifikan, tetapi hanya memperkecil jarak muatan dari permukaan partikel,
sehingga lapisan ganda dapat berkurang.
2. Netralisasi muatan dengan adsopsi ion yang berlawanan muatan
Proses ini dilakukan dengan penambahan bahan kimia untuk proses
destabilisasi. Penambahan ion yang muatannya berlawanan dengan ion
koloid dapat menyebabkan netralisasi lapisan tunggal dari koloid.
Netralisasi muatan terjadi saat koagulan ditambahkan secara berlebihan.
3. Penggabungan antar partikel dengan polimer 15.
Polimer-polimer yang mengandung situs aktif sepanjang rantainya dapat
menyebabkan adsorbsi koloid. Koloid akan terikat pada beberapa situs
sepanjang rantai polimer.
4. Penjebakan oleh flok
Saat sejumlah koagulan ditambahkan ke dalam air, maka akan membentuk
flok yang akan mengendap. Karena flok besar dan tiga dimensi, maka koloid
akan terjebak di dalam flok, dan akhirnya ikut mengendap. Untuk suspensi
encer laju koagulasi rendah karena konsentrasi koloid yang rendah sehingga
kontak antar partikel tidak memadai, Bila digunakan dosis koagulan yang
terlalu besar akan mengakibatkan restabilisasi koloid. Untuk mengatasi hal
ini, agar konsentrasi koloid berada pada titik dimana flok-flok dapat
terbentuk dengan baik, maka dilakukan proses recycle sejumlah settled
sludge sebelum atau sesudah rapid mixing dilakukan. Tindakan ini dapat
dilakukan untuk meningkatkan efektifitas pengolahan. Peningkatan
efektifitas dalam proses koagulasi dapat ditinjau dari faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi jalannya proses. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
proses koagulasi air, antara lain:
1. Kualitas air meliputi gas-gas terlarut, warna, kekeruhan, rasa, bau, dan
kesadahan;
2. Jumlah dan karakteristik koloid;
3. Derajat keasaman air (pH);
4. Pengadukan cepat, dan kecepatan paddle;
5. Temperatur air;
6. Alkalinitas air, bila terlalu rendah ditambah dengan pembubuhan kapur;
7. Karakteristik ion-ion dalam air

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat
1. Jar tester
2. Piala gelas 1000 ml
3. Pivet ukur 25 ml
4. Gelas ukur 500 ml
5. Batang pengaduk
6. Cawan
7. Eksikator
8. Oven
9. Pipet tetes
3.2 Bahan
1. Zat koagulan
2. Air limbah
3. NaOH
4. H2SO4
IV. CARA KERJA
1. Menghitung kebutuhan zat koagulan dan air limbah.
2. Air limbah dimasukkan sebanyak 450 ml ke dalam piala gelas.
3. Zat koagulan (PAC) dimasukkan sebanyak 50 ml ke dalam piala gelas.
4. Ukur pH hingga 7, jika belum mencapai pH 7 maka tambahkan sedikit-
sedikit NaOH atau H2SO4 hingga mencapai pH 7.
5. Piala gelas diletakkan di jar tester.
6. Jar tester diputar 100 rpm selama 15 menit untuk menghomogenkan larutan.
7. Turunkan kecepatan jar tester menjadi 20 rpm putar selama 15 menit.
8. Larutan yang sudah membentuk flok dibiarkan selama 15 menit agar terjadi
pengendapan.
9. 50 ml larutan bagian atas dipipet dan dipindahan ke dalam cawan porselen
dan disaring menggunakan kertas saring.
10. Lakukan analisa kandungan zat padat tersupensi dan total.
11. Hitung persen penurunan zat padat tersuspensi dan total.

V. DATA PENGAMATAN
5.1 Kebutuhan Larutan Induk
Variasi koagulan :1
Larutan induk : 10 gr/l
Kebutuhan air : 500 ml
Kebutuhan larutan induk=V 1 N 1=V 2 N 2500 ml ×1 gr / l=V 2 ×10 gr /l
500
V 2= =50 ml Kebutuhan larutan induk=50 ml
10
Kebutuhan air limbah=500−50 mlKebutuhan air limbah=450 ml
5.2 Penurunan Zat Padat Tersuspensi dan Total
1. Zat Padat Total (TS)
a. Zat Padat Total Awal
Berat awal cawan : 86,7213 gram
Berat akhir cawan : 87,8695 gram
Berat akhir cawan−Berat awal cawan 6
TS= ×10
ml pipet
87,8695−86,7213 6 1,1482 6
TS= × 10 TS= × 10 TS=22.964 mg /l
50 50
b. Zat Padat Total Setelah Koagulasi
Berat awal cawan : 74.6770 gram
Berat akhir cawan : 75.4525 gram
Berat akhir cawan−Berat awal cawan
TS= ×106
ml pipet
75.4525−74.6770 6
TS= ×10 TS=15.500 mg/l
50
2. Zat Padat Tersuspensi (TSS)
a. Zat Padat Tersuspensi Awal
Berat awal kertas saring : 0,5420 gram
Berat akhir kertas saring : 0,5771 gram
Berat akhir kertas saring−Berat awal kertas saring 6
TSS= × 10
ml pipet
0,5771−0,5420
TSS= × 106TSS=702 mg/l
50
b. Zat Padat Tersuspensi Sesudah Koagulasi
Berat awal kertas saring : 0,5520gram
Berat akhir kertas saring : 0,5914 gram
Berat akhir kertas saring−Berat awal kertas saring 6
TSS= × 10
ml pipet
0,5914−0,5529 6
TSS= ×10 TSS=788 mg/l
50

3. Efesiensi Zat Padat Total dan Terlarut


a. Padatan Total
TS awal−TS akhir 22.964−15.500
×100 % ×100 %¿−32,50 %
TS awal 22.964
b. Padatan Terlarut
TSS awal−TSS akhir 788−702
×100 % × 100 %¿ 8 , 3 %
TSS awal 788

VI. DISKUSI
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil pengolahan limbah secara
koagulasi dengan variasi PAC konsentrasi 1 ml memiliki nilai TS yang lebih
tinggi dibandingkan TS pada awal pengujian. Hal ini disebabkan kemungkinan
konsentrasi PAC yang terlalu tinggi sehingga mengakibatkan zat koagulan
tidak mengikat secara sempurna terhadap zat yang akan di endapkan. Selain
itu, pada saat praktikum pengujian zat padatan total (TS) ketika larutan yang
dipanaskan hampir habis terdapat lapisan baru seperti lilin berwarna putih yang
awalnya cair dan mulai mengeras sehingga menambah berat akhir yang
menyebabkan hasil perhitungan menjadi negatif. Namun, pada pengujian TSS
tidak ada kendala yang berarti dan berhasil mengurangi zat padat tersuspensi
sebesar 8,3 % dari berat pengujian awal. Sehingga untuk penggunaan PAC ini
sangat berpengaruh dengan panas dimana ketika pengujian TS berat akan
bertambah dikarenakan terjadi pembentukan lapisan seperti lilin berwarna
putih yang bisa dikatakan hal tersebut merupakan zat koagulan yang tidak
berikatan atau tidak berhasil mengikat koloid.

VII. KESIMPULAN
Hasil yang diperoleh setelah ditambahkan koagulan PAC dengan dosis 1 g/l
adalah:
Zat padatan total setelah koagulasi : 22.964 mg/l
Zat padat tersuspensi setelah koagulasi : 15.500 mg/l
Efesiensi padatan total setelah koagulasi : 32.50 %
Efesiensi padatan tersuspensi setelah koagulasi : 8,3 %

VIII. LAMPIRAN
BAB V
FLOAKULASI

I. MAKSUD DAN TUJUAN


1.1 Maksud
Memperbaiki kualitas air dan mempelajari proses pengolahan air limbah
tekstil secara floakulasi dengan memvariasikan jenis zat koagulan dan
konsentrasi floakulasi yang digunakan.
1.2 Tujuan
1. Mengolah air limbah dengan zat koagulan PAC.
2. Menghitung penurunan zat padat total/ total solid setelah dilakukan
floakulasi.
3. Menganalisa data hasil proses floakulasi.

II. DASAR TEORI


Floakulasi adalah agresi partikel kecil dalam sebuah suspense menjadi partikel
yang lebih besar yang disebut flok. Flokulasi disebabkan karena adanya
penambahan sejumlah kecil bahan kimia yang disebut flokulan. Flokulan
dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu flokulan organik dan folukan anorganik.
Tujuan flokulasi adalah untuk menciptakan partikel yang lebih besar yang
kompatibel dengan proses selanjutnya severti nemetap atau flotasi. Sebenarnya
proses flokulasi sudah terjadi atau ada dalam proses koagulasi. Pada koagulasi,
penambahan koagulan menjadikan partikel koloid tidak stabil sehingga tiap
partikel membentuk flok.

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat
1. Jar tester
2. Piala gelas 1000 ml
3. Pipet ukur 25 ml
4. Gelas ukur 500 ml
5. Batang pengaduk
6. Cawan
7. Eksikator
8. Oven
9. Kertas saring
3.2 Bahan
1. Zat koagulan (PAC)
2. Air limbah
3. NaOH
4. H2SO4
5. Zat Flokulan

IV. CARA KERJA


1. Menghitung kebutuhan zat koagulan, zat flokulan, dan air limbah.
2. Air limbah dimasukkan sebanyak 425 ml ke dalam piala gelas.
3. Zat koagulan (PAC) dimasukkan sebanyak 50 ml ke dalam piala gelas.
4. Ukur pH hingga 7, jika belum mencapai pH 7 maka tambahkan sedikit-
sedikit NaOH atau H2SO4 hingga mencapai pH 7.
5. Piala gelas diletakkan di jar tester.
6. Jar tester diputar 100 rpm selama 15 menit untuk menghomogenkan larutan.
7. Turunkan kecepatan jar tester menjadi 20 rpm putar selama 15 menit.
8. Zat flokulan dimasukkan sebanyak 25 ml ke dalam piala gelas.
9. Ukur pH hingga 8-9, jika belum mencapai pH 8-9 maka tambahkan sediki-
sedikit NaOH atau H2SO4 hingga mencapai pH 8-9.
10. Dibiarkan selama 30 menit agar flok-flok mengendap.
11. 50 ml larutan bagian atas dipipet dan dipindahan ke dalam cawan porselen
dan disaring menggunakan kertas saring.
12. Lakukan analisa kandungan zat padat tersupensi dan total.
13. Hitung persen penurunan zat padat tersuspensi dan total.

V. DATA PENGAMATAN
5.1 Kebutuhan Larutan Induk
Variasi koagulan : 1 g/l
Variasi floakulan : 0,1 g/l
Larutan induk koagulan : 10 gr/l
Larutan induk floakulan : 2g/l
Kebutuhan air : 500 ml
Kebutuhan koagulan=V 1 N 1=V 2 N 2500 ml ×1 gr /l=V 2 ×10 gr /l
500
V 2= =50 ml Kebutuhan koagulan=50 ml
10
Kebutuhan floakulan=V 1 N 1=V 2 N 2500 ml × 0,1 gr /l=V 2 ×2 gr /l
50
V 2= =25 ml Kebutuhan koagulan=50 mlKebutuhan floakulan=25 ml
2
Kebutuhan air limbah=500−50−25 mlKebutuhan air limbah=425 ml
5.2 Penurunan Zat Padat Tersuspensi dan Total Individu
1. Zat Padat Total (TS)
a. Zat Padat Total Awal
Berat awal cawan : 86,7213 gram
Berat akhir cawan : 87,8695 gram
Berat akhir cawan−Berat awal cawan 6
TS= ×10
ml pipet
87,8695−86,7213 1,1482
TS= × 106TS= × 106TS=22.964 mg /l
50 50

b. Zat Padat Total Setelah Floakulasi


Berat awal cawan : 83,3110 gram
Berat akhir cawan : 84,0464 gram
Berat akhir cawan−Berat awal cawan 6
TS= ×10
ml pipet
8 4,0464−83,3110 6
TS= ×10 TS=14.708 mg /l
50
2. Zat Padat Tersuspensi (TSS)
a. Zat Padat Tersuspensi Awal
Berat awal kertas saring : 0,5420 gram
Berat akhir kertas saring : 0,5771 gram
Berat akhir kertas saring−Berat awal kertas saring
TSS= × 106
ml pipet
0,5771−0,5420 6
TSS= × 10 TSS=702 mg/l
50
b. Zat Padat Tersuspensi Sesudah Floakulasi
Berat awal kertas saring : 0,5271 gr
Berat akhir kertas saring : 0,5658 gr
Berat akhir kertas saring−Berat awal kertas saring
TSS= × 106
ml pipet
0,5658−0,5 271 6
TSS= ×10 TSS=7 74 mg/l
50
3. Efesiensi Terhadap TS, TSS, dan Koagulan
a. Padatan Total (TS)
TS awal−TS akhir 22.964−14. 708
×100 % ×100 % ¿ 35,91 %
TS awal 22.964

b. Padatan Terlarut (TSS)


TSS awal−TSS akhir 702−774
×100 % ×100 %¿−10,25 %
TSS awal 702
c. Terhadap Koagulan
TS koagulan−TS floakulan 15.500−14.708
×100 % × 100 %¿ 5,10 %
TS awal 15.500
TSS koagulan−TSS floakulan 788−744
×100 % ×100 %¿ 5,58 %
TSS awal 788

VI. DISKUSI
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil pengolahan limbah secara
flokulasi dengan variasi konsentrasi flokulan 0,1 ml memiliki nilai TS yang
lebih rendah dibandingkan TS pada awal pengujian sama seperti pada
koagulasi. Namun, pada pengujian TSS terdapat kendala dimana hasil negatif,
hak tersebut dikarenakan ada kontaminasi zat yang ikut tersaring sehingga
menambah berat pada hasil pengujian.

VII. KESIMPULAN
Hasil yang diperoleh setelah ditambahkan floakulan dengan dosis 0.1 g/l
adalah:
Zat padatan total setelah flokulasi : 14.708
mg/l
Zat padat tersuspensi setelah flokulasi : 774 mg/l
Efesiensi padatan total setelah flokulasi : 35,91%
Efesiensi padatan tersuspensi setelah flokulasi : -10,25%
Efesiensi padatan total setelah flokulasi terhadap koagulasi : 5,10%
Efesiensi padatan tersuspensi setelah flokulasi terhadap koagulasi : 5,58%

VIII. LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA
1. Hariyanti Rahayu, Budy Handoko, Hardianto, Sukirman. Air proses dan
Limbah Industri Tekstil. Bandung : Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, 2006.
2. Limbah Cair Industri Tekstil. Saka. [Online] 17 September 2018. [Dikutip: 03
Desember 2022.] http://www.saka.co.id/news-detail/limbah-cair-industri-tekstil.
3. Pengolahan & Bahaya Limbah Industri Tekstil. UNIVERSAL ECO. [Online]
[Dikutip: 03 Desember 2022.] universaleco.id/blog/detail/pengolahan-bahaya-
limbah-industri-pakaian-tekstil/52.

Anda mungkin juga menyukai