PENYUSUN
SMKN 1 SAKRA
TAHUN 2022
FASE E
II Langkah-langkah pembelajaran
Pemahaman bermakna
1. menemukan pokok poko isi teks hikayat
2. menentukan pernyataan yang benar dan
yang salah pada teks hikayat
3. membedakan karakterisasi dan plot
pada hikayat dan cerpen
4. mengidentifikasi nilai-nilai yang
terkandung dalam teks hikayat
5. menganalisis kaidah kebahasaan hikayat
1. PERSIAPAN PEMBELAJARAN
A. Guru mempersiapkan sarana dan prasarana seperti: menyiapkan LCD, Laptop, Lembar Kerja Siswa,
Materi/Bahan ajar (buku paket/buku referensi/ file Power point), Lembar Asesmen diagnostik, dan
lain-lain.
B. Guru mempersiapkan/memperhatikan kesiapan di kelas apakah bangku tertata rapi, papan tulis/
penghapus/ spidol tersedia, kelengkapan prokes di masa Pandemi Covid-19 (hand sanitizer/tempat
cuci tangan, siswa memakai masker) sudah lengkap atau belum.
C. Guru mempersiapkan kesiapan siswa mengikuti pembelajaran apakah ada siswa yang sakit atau tidak
2. Urutan kegiatan pembelajaran
C. ASESMEN SUMATIF
No. BENTUK / ALAT ASESMEN CONTOH ASESMEN
1. Tes Lisan (untuk 1. Jelaskan yang kalian ketahui dengan
mengonfirmasi pemahaman a. majas personifikasi
murid) b. metafora
c. simile
d. hiperbola
2. Berikan contoh masing-masing majas tersebut
3. Jelaskan nilai moral pada hikayat
4. Sebutkan fungsi hikayat!
2 Refleksi (melatih peserta didik Tuliskanlah hasil kegiatan pembelajaran yang telah
mengevaluasi pembelajaran mereka kalian lakukan dalam bentuk teks narasi singkat dan
sendiri) sederhana.
D. REMIDIAL DAN PENGAYAAN
NO. KEGIATAN TINDAK LANJUT
1 Remidial
Peserta didik yang tidak paham tentang Di beri penguatan dengan pendampingan tutor
mengenali/mengidentifikasi informasi berupa sebaya yaitu teman dalam satu kelompok dan
fakta dalam bahan simakan. ditugaskan kembali untuk mencermati teks
hikayat, membedakan karakterisasi dan plot
pada hikayat dan cerpen, nilai-nilai yang
terkandung pad teks hikayat dan kaidah
kebahasaannya.
Jika jumlah peserta didik yang masuk kelompok
tidak paham sedikit maka guru dapat
memanggil secara pribadi peserta didik
tersebut dan menanyakan kesulitan mereka.
2 Pengayaan:
Peserta didik yang masuk kelompok paham Peserta didik diminta mencermati teks hikayat
utuh yang lebih kompleks . Peserta didik diminta
menuliskan pengalamannya setelah
mempelajari hikayat tersebut dalam
kegiatan refleksi.
2 Sudah mampukah saya menentukan pernyataan yang benar dan yang salah
pada teks hikayat?
3 Sudah mampukah membedakan karakterisasi dan plot pada hikayat
dan cerpen?
4 Sudah mampukah mengidentifikasi nilai-nilai yang terkandung dalam teks
hikayat?
LAMPIRAN
URAIAN MATERI
Karya sastra Melayu klasik merupakan cerminan karya sastra masyarakat lama yang
berkembang dengan bahasa Melayu sampai abad ke-18. Sebagai cerminan masyarakat lama, karya
sastra Melayu klasik, memiliki karakteristik, antara lain sebagai berikut :
2. Bersifat statis, artinya jumlah karya Melayu klasik tidak mengalami perkembangan
3. Bersifat istana sentris, artinya bercerita tentang para bangsawan, dan dewadewa dan fantastic
4. Bahasanya klise, artinya bahasa yang digunakan cenderung monoton dan itu-itu saja
5. Anonim, artinya tidak jelas pengarangnya dan logis dan tidak bernalar.
Ada 3 poin yang termasuk ke dalam kaidah atau ciri kebahasaan cerita hikayat, yaitu
penggunaan majas, penggunaan konjungsi, dan penggunaan kata arkais. Berikut ini kami jelaskan
satu persatu masih-masing kaidah tersebut.
1. Penggunaan Majas
Kaidah kebahasaan hikayat yang pertama adalah penggunaan majas. Dalam cerita hikayat, banyak
dijumpai jenis-jenis majas untuk menambah gaya bahasa kisah hikayat. Misalnya, bagaikan,
laksana, bak, seperti (majas simile) dan juga majas-majas lainnya, seperti majas metafora,
perbandingan, hiperbola, antonomasia, dan sebagainya.
2. Penggunaan Konjungsi
Kaidah bahasa hikayat yang kedua adalah penggunaan konjungsi. Sebagaimana yang kita tahu,
konjungsi adalah kata sambung atau ungkapan yang digunakan untuk menghubungkan dua
satuan bahasa yang sederajat, seperti kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa,
atau kalimat dengan kalimat.
Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak
Menurut sahibul hikayat, pada zaman dahulu ada seorang datu yang sakti mandraguna sedang
bertapa di tengah laut. Namanya Datu Mabrur. Ia bertapa di antara Selat Laut dan Selat Makassar.
Siang-malam ia bersamadi di batu karang, di antara percikan buih, debur ombak, angin,
gelombang dan badai topan. Ia memohon kepada Sang Pencipta agar diberi sebuah pulau. Pulau itu
akan menjadi tempat bermukim bagi anak-cucu dan keturunannya, kelak.
Di malam hari, ada kalanya tubuh Datu Mabrur seakan membeku. Cuaca dingin, angin, hujan,
embun dan kabut menyelimuti tubuhnya. Siang hari, terik matahari membakar tubuhnya yang kurus
kering dan hanya dibungkus sehelai kain. Ia tidak pernah makan, terkecuali meminum air hujan dan
embun yang turun.
Di hari terakhir pertapaannya, ketika laut tenang, seekor ikan besar tiba-tiba muncul dari
permukaan laut dan terbang menyerangnya. Tanpa beringsut dari tempat duduk maupun membuka
mata, Datu Mabrur menepis serangan mendadak itu.
Ikan itu terpelanting dan jatuh di karang. Setelah jatuh ke air, ikan itu menyerang lagi. Demikian
berulang-ulang. Di sekeliling karang, ribuan ikan lain mengepung, memperlihatkan gigi mereka yang
panjang dan tajam, seakan prajurit siap tempur.
Pada serangannya yang terakhir, ikan itu terpelanting jatuh persis saat Datu Mabrur membuka
matanya.
“Hai, ikan! Apa maksudmu mengganggu samadiku? Ikan apa kamu?”
“Aku ikan todak, Raja Ikan Todak yang menguasai perairan ini. Samadimu membuat lautan
bergelora. Kami terusik, dan aku memutuskan untuk menyerangmu. Tapi, engkau memang
sakti, Datu Mabrur. Aku takluk...,” katanya, megap-megap. Matanya berkedip-kedip menahan sakit.
Tubuhnya terjepit di sela-sela karang tajam.
“Jadi, itu rakyatmu?” Datu Mabrur menunjuk ribuan ikan yang mengepung karang.
“Ya, Datu. Tapi, sebelum menyerangmu tadi, kami telah bersepakat. Kalau aku kalah, kami akan
menyerah dan mematuhi apa pun perintahmu.”
Datu Mabrur mengangguk.
Dipandanginya ikan-ikan yang berenang di sekeliling karang itu. Gigi, sirip dan sisik mereka
berkilauan saat melompat di permukaan laut. Siang menjelang. Matahari mulai garang.
Ini hari terakhir pertapaannya, tapi belum ada tanda-tanda permohonannya akan terkabul. Pulau
yang diimpikannya belum tampak. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya birunya laut, keluasan
samudera dan cakrawala.
“Datu, tolonglah aku. Obati luka-lukaku dan kembalikanlah aku ke laut. Kalau terlalu lama di
darat, aku bisa mati. Atas nama rakyatku, aku berjanji akan mengabdi padamu, bila engkau
menolongku...” Raja Ikan Todak mengiba-iba. Seolah sulit bernapas, insangnya membuka dan menutup.
“Baiklah,” Datu Mabrur berdiri. “Sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya, aku akan menolongmu.”
“Apa pun permintaanmu, kami akan memenuhinya. Datu ingin istana bawah laut yang terbuat
dari emas dan permata, dilayani ikan duyung dan gurita? Ingin berkeliling dunia, bersama ikan paus dan
lumba-lumba?”
“Tidak. Aku tak punya keinginan pribadi, tapi untuk masa depan anak-cucuku nanti....”
Lalu, Datu Mabrur menceritakan maksud pertapaannya selama ini.
“Akan kukerahkan rakyatku, seluruh penghuni lautan dan samudera. Sebelum matahari terbit
esok pagi, impianmu akan terwujud. Aku bersumpah!”
Datu Mabrur tak dapat membayangkan, bagaimana Raja Ikan Todak akan memenuhi sumpahnya
itu. “Baiklah. Tapi kita harus membuat perjanjian: sejak sekarang kita harus sa-ijaan, seiring sejalan. Seia
sekata, sampai ke anak-cucu kita. Kita harus rakat mufakat, bantu membantu, bahu membahu. Setuju?”
“Setuju, Datu...,” sahut Raja Ikan Todak yang tergolek, lemah. Ia sangat membutuhkan air.
Ajaib! Dalam sekejap, darah dan luka di sekujur tubuh Raja Ikan Todak itu mengering! Kulitnya
licin kembali seperti semula, seakan tak pernah luka. Ikan itu menggerak-gerakkan sirip dan ekornya
dengan gembira.
Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Datu Mabrur mengangkat Raja Ikan Todak itu dan
mengembalikannya ke laut. Ribuan ikan yang tadi mengepung karang, kini berenang mengerumuninya,
melompat-lompat bersuka ria.
“Sa-ijaan!” sahut Datu Mabrur.
Setelah lompatan ketiga, Raja Ikan Todak, bersama ribuan ikan yang mengiringinya, menyelam ke
dalam lautan.
Sebelum tengah malam, sebelum batas waktu pertapaannya berakhir, Datu Mabrur dikejutkan
oleh suara gemuruh yang datang dari dasar laut. Gemuruh perlahan, tapi pasti.
Laut tenang, gelombang tak ada, hanya alunan ombak dan riak-riak kecil saja. Riak-riak itu kian
memanjang ke segenap penjuru. Langit terang benderang oleh ribuan bintang dan cahaya purnama,
hingga Datu Mabrur dapat dengan jelas menyaksikan peristiwa di depan matanya.
Gemuruh suara itu terdengar bersamaan dengan timbulnya sebuah daratan, dari dasar laut! Kian
lama, permukaan daratan itu kian tampak. Naik dan terus naik! Lalu, seluruhnya timbul ke permukaan!
Di bawah permukaan air, ternyata jutaan ikan dari berbagai jenis mendorong dan memunculkan
daratan baru itu dari dasar laut. Sambil mendorong, mereka serempak berteriak, “Sa-ijaan! Sa-ijaan! Sa-
ijaaan...!”
Datu Mabrur tercengang di karang pertapaannya. Raja Ikan Todak telah memenuhi sumpahnya!
Bersamaan dengan terbitnya matahari pagi, daratan itu telah timbul sepenuhnya. Berupa sebuah
pulau. Lengkap dengan ngarai, lembah, perbukitan dan pegunungan. Tanahnya tampak subur. Pulau
kecil yang makmur.
Datu Mabrur senang dan gembira. Impiannya tentang pulau yang akan menjadi tempat tinggal
bagi anak-cucu dan keturunannya, telah menjadi kenyataan. Permohonannya telah dikabulkan. Dengan
memanjatkan puji dan syukur kepada Sang Pencipta, ia menamakannya Pulau Halimun.
Alkisah, Pulau Halimun kemudian disebut Pulau Laut. Sebab, ia timbul dari dasar laut dan
dikelilingi laut. Sebagai hikmahnya, kata sa-ijaan dan ikan todak dijadikan slogan dan lambang
Pemerintah Kabupaten Kotabaru.
Hikayat Si Miskin
Ini hikayat ceritera orang dahulu kala sekali peristiwa Allah Swt menunjukkan kekayaan-Nya kepada
hamba-Nya. Maka adalah seorang miskin laki bini berjalan mencari rizkinya berkeliling negara antah-
berantah. Adapun nama raja di dalam negara itu Maharaja Indera Dewa. Namanya terlalu amat besar
kerajaan baginda itu. Beberapa raja-raja di tanah Dewa itu takluk kepada baginda dan mengantar upeti
kepada baginda pada tiap-tiap tahun.
Hatta, maka pada suatu hari baginda sedang ramai dihadapi oleh segala raja- raja, menteri, hulubalang,
rakyat sekalian di penghadapannya. Maka si Miskin itupun sampailah ke penghadapan itu. Setelah
dilihat oleh orang banyak, si Miskin laki bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing rupanya. Maka
orang banyak itupun ramailah ia tertawa seraya mengambil kayu dan batu. Maka dilemparilah akan si
miskin itu kena tubuhnya habis bengkak-bengkak dan berdarah. Maka segala tubuhnya pun berlumur
dengan darah. Maka orang pun gemparlah. Maka titah baginda, “Apakah yang gempar di luar itu?”.
Sembah segala raja-raja itu “Ya tuanku Syah Alam, orang melempar si Miskin tuanku”. Maka titah
baginda, “Suruh usir jauh-jauh!”. Maka diusir oranglah akan si Miskin hingga sampailah ke tepi hutan.
Maka orang banyak itupun kembalilah. Maka haripun malamlah. Maka bagindapun berangkatlah masuk
ke dalam istanannya itu. Maka segala raja-raja dan menteri, hulubalang rakyat sekalian itupun masing-
masing pulang ke rumahnya.
Adapun akan si Miskin itu apabila malam iapun tidurlah di dalam hutan itu. Setelah siang hari maka
iapun pergi berjalan masuk ke dalam negeri mencari riskinya. Maka apabila sampailah dekat
kepada kampung orang. Apabila orang yang empunya kampung itu melihat akan dia. Maka diusirlah
dengan kayu. Maka si Miskin itupun larilah. Ia lalu ke pasar. Maka apabila dilihat oleh orang pasar itu si
Miskin datang, maka masing-masing pun datang ada yang melontari dengan batu, ada yang memalu
dengan kayu. Maka si Miskin itupun larilah tunggang langgang, tubuhnya habis berlumur dengan darah.
Maka menangislah ia berseru-seru sepanjang jalan itu dengan tersengat lapar dahaganya seperti akan
matilah rasanya. Maka ia pun bertemu dengan tempat orang membuangkan sampah-sampah. Maka
berhentilah ia di sana. Maka dicaharinyalah di dalam sampah yang tertimbun itu barang yang boleh
dimakan. Maka didapatinyalah ketupat yang sudah basi dibuangkan oleh orang pasar itu dengan buku
tebu lalu dimakannya ketupat yang sebiji itu laki bini. Setelah sudah dimakannya ketupat itu maka
barulah dimakannya buku tebu itu. Maka adalah segar sedikit rasanya tubuhnya karena beberapa
lamanya tiada merasai nasi.
Hendak mati rasanya. Ia hendak meminta ke rumah orang takut. Jangankan diberi orang barang sesuatu,
hampir kepada rumah orang itu pun tiada boleh. Demikianlah si Miskin itu sehari-hari.
Hatta, maka haripun petanglah. Maka si Miskin pun berjalanlah masuk ke dalam hutan tempatnya
sediakala itu. Di sanalah ia tidur. Maka disapunyalah darah-darah yang ditubuhnya tiada boleh keluar
karena darah itu sudah kering. Maka si Miskin itupun tidurlah di dalam hutan itu. Setelah pagi-pagi hari
maka berkatalah si Miskin kepada isterinya, “Ya tuanku, matilah rasaku ini. Sangatlah sakit rasanya
tubuhku ini. Maka tiadalah berdaya lagi hancurlah rasanya anggotaku ini.” Maka iapun tersedu-sedu
menangis. Maka terlalu belas rasa hati isterinya melihat laku suaminya demikian itu. Maka iapun
menangis pula seraya mengambil daun kayu lalu dimamahnya. Maka disapukannyalah seluruh tubuh
suaminya sambil ia berkata, “Diamlah, tuan jangan menangis.”
Maka selaku ini adapun akan si miskin itu aslinya daripada raja keinderaan. Maka kena sumpah Batara
Indera maka jadilah ia demikian itu. Maka adalah suaminya itu pun segarlah sedikit tubuhnya. Setelah
itu maka suaminya pun masuk ke dalam hutan mencari ambat yang muda yang patut dimakannya. Maka
dibawanyalah kepada isterinya. Maka demikianlah laki bini.
Hatta beberapa lamanya maka isteri si Miskin itupun hamillah tiga bulan lamanya. Maka isterinya
menangis hendak makan buah mempelam yang ada di dalam taman raja itu. Maka suaminya itupun
terketukkan hatinya tatkala ia di Keinderaan menjadi raja tiada ia mau beranak. Maka sekarang telah
mudhorot. Maka baharulah hendak beranak seraya berkata kepada isterinya, “Ayo, hai Adinda. Tuan
hendak menangkap kakandalah rupanya ini. Tiadakah tuan tahu akan hal kita yang sudah lalu itu?
Jangankan hendak meminta barang suatu, hampir kepada kampung orang tiada boleh.”
Setelah didengar oleh isterinya kata suaminya demikian itu, maka makinlah sangat ia menangis. Maka
kata suaminya, “Diamlah tuan, jangan menangis! Berilah kakanda pergi mencaharikan tuan buah
mempelam itu, jikalau dapat oleh kakanda akan buah mempelam itu kakanda berikan pada tuan.”
Maka isterinya itu pun diamlah. Maka suaminya itu pun pergilah ke pasar mencahari buah mempelam
itu. Setelah sampai di orang berjualan buah mempelam, maka si Miskin itu pun berhentilah di sana.
Hendak pun dimintanya takut ia akan dipalu orang. Maka kata orang yang berjualan buah mempelam
itu, “Hai miskin. Apa kehendakmu?” Maka sahut si Miskin, “Jikalau ada belas dan kasihan serat rahim
tuan akan hamba orang miskin hamba ini minta diberikan yang sudah terbuang itu. Hamba hendak
memohonkan buah mempelam tuan yang sudah busuk itu barang sebiji sahaja tuan.” Maka terlalu belas
hati sekalian orang pasar itu yang mendengar kata si Miskin. Seperti hancurlah rasa hatinya. Maka ada
yang memberi buah mempelam, ada yang memberikan nasi, ada yang memberikan kain baju, ada yang
memberikan buah- buahan. Maka si Miskin itupun heranlah akan dirinya oleh sebab diberi orang pasar
itu berbagai-bagai jenis pemberian. Adapun akan dahulunya jangankan diberinya barang suatu hampir
pun tiada boleh. Habislah dilemparnya dengan kayu dan batu. Setelah sudah ia berpikir dalam hatinya
demikian itu, maka ia pun kembalilah ke dalam hutan mendapatkan isterinya.
Maka katanya, “Inilah Tuan, buah mempelam dan segala buah-buahan dan makan- makanan dan kain
baju. Itupun diinjakkannyalah isterinya seraya menceriterakan hal ihwalnya tatkala ia di pasar itu. Maka
isterinya pun menangis tiada mau makan jikalau bukan buah mempelam yang di dalam taman raja itu.
“Biarlah aku mati sekali.”
Maka terlalulah sebal hati suaminya itu melihatkan akan kelakuan isterinya itu seperti orang yang
hendak mati. Rupanya tiadalah berdaya lagi. Maka suaminya itu pun pergilah menghadap Maharaja
Indera Dewa itu. Maka baginda itupun sedang ramai dihadap oleh segala raja-raja. Maka si Miskin
datanglah. Lalu masuk ke dalam sekali. Maka titah baginda, “Hai Miskin, apa kehendakmu?”
Maka sahut si Miskin, “Ada juga tuanku.” Lalu sujud kepalanya lalu diletakkannya
ketanah, “Ampun Tuanku, beribu-ribu ampun tuanku. Jikalau ada karenanya Syah Alam
akan patuhlah hamba orang yang hina ini hendaklah memohonkan daun mempelam Syah Alam yang
sudah gugur ke bumi itu barangkali Tuanku.
Maka titah baginda, “Hendak engkau buatkan apa daun mempelam itu?” Maka sembah si Miskin,
“Hendak dimakan, Tuanku.”
Maka titah baginda, “Ambilkanlah barang setangkai berikan kepada si Miskin ini”. Maka diambilkan
oranglah diberikan kepada si Miskin itu. Maka diambillah oleh si Miskin itu seraya menyembah kepada
baginda itu. Lalu keluar ia berjalan kembali. Setelah itu maka baginda pun berangkatlah masuk ke dalam
istananya. Maka segala raja-raja dan menteri hulubalang rakyat sekalian itupun masing- masing pulang
ke rumahnya. Maka si Miskin pun sampailah kepada tempatnya. Setelah dilihat oleh isterinya akan
suaminya datang itu membawa buah mempelam setangkai. Maka ia tertawa-tawa. Seraya disambutnya
lalu dimakannya.
Maka adalah antaranya tiga bulan lamanya. Maka ia pun menangis pula hendak makan nangka yang di
dalam taman raja itu juga. Maka si Miskin itu pun pergilah pula memohonkan kepada baginda itu. Maka
sujudlah pula ia kepada baginda. Maka titah baginda, “Apa pula kehendakmu hai miskin?”
Maka sahut si Miskin, “Ya Tuanku, ampun beribu-ribu ampun.” Sahut ia sujud kepalanya lalu
diletakkannya ke tanah. Sahut ia berkata pula, “Hamba ini orang yang miskin. Hamba minta daun nangka
yang gugur ke bumi, barang sehelai.
Maka titah baginda, “Hai Miskin, hendak kau buatkan apa daun nagka? Baiklah aku beri buahan barang
sebiji.” Maka diberikan kepada si Miskin itu. Maka ia pun sujud seraya bermohon kembali mendapatkan
isterinya itu.
Maka ia pun sampailah. Setelah dilihat oleh isterinya itu suaminya datang itu, maka disambutnya buah
nangka itu. Lalu dimakan oleh isterinya itu. Adapun selama isterinya si Miskin hamil maka banyaklah
makan-makanan dan kain baju dan beras padi dan segala perkakas-perkakas itu diberi orang kepadanya.
Hatta maka dengan hal yang demikian itu maka genaplah bulannya. Maka pada ketika yang baik dan saat
yang sempurna pada malam empat belas hari bulan. Maka bulan itu pun sedang terang. Maka pada
ketika itu isteri si Miskin itu pun beranaklah seorang anak laki terlalu amat baik parasnya dan elok
rupanya. Maka dinamainya akan anaknya itu Markaromah artinya anak di dalam kesukaran. Maka
dipeliharakannyalah anaknya itu. Maka terlalu amat kasih sayangnya akan anak itu. Tiada boleh bercerai
barang seketika jua pun dengan anaknya Markaromah itu.
Hatta, maka dengan takdir Allah Swt. menganugarahi kepada hambanya. Maka si Miskin pun
menggalilah tanah hendak berbuat tempatnya tiga beranak itu. Maka digalinyalah tanah itu hendak
mendirikan tiang teratak itu. Maka tergalilah kepada sebuah telaju yang besar berisi emas terlalu
banyak. Maka isterinya pun datanglah melihat akan emas itu. Seraya berkata kepada suaminya, “Adapun
akan emas ini sampai kepada anak cucu kita sekalipun tiada habis dibuat belanja.”