Anda di halaman 1dari 8

Hutang Piutang dalam Islam

1. Pengertian Hutang Piutang.


Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa dia akan
mengembalikan sesuatu yang diterimanya dalam jangka waktu yang disepakati. Utang piutang
disebut dengan “dain” (‫)دين‬. Istilah “dain” (‫ )دين‬ini juga sangat terkait dengan istilah “qard” (
‫ )قرض‬yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman.

2. Hukum dan Dalil Utang Piutang.


Hukum memberi utang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi dan kondisi, yaitu:

a. Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang memberikan
hutang hukumnya sunah sebab ia termasuk orang yang menolong sesamanya.

b. Hukum orang yang berhutang menjadi sunah dan hukum orang yang menghutangi menjadi
wajib, jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang beras bagi orang
yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan lain sebagainya, maka Rasulullah saw
bersabda :

َ ‫ َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يُضْ ِرضُ ُم ْسلِ ًما قَرْ ضًا َم َّرتَي ِْن ِإالَّ َكانَ َك‬ 
‫ص َدقَتِهَا َم َّرةً (رواه ابن ماجه‬

Artinya : "Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada seorang muslim dua kali
kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya dua kali". (HR. Ibnu Majah)

c. Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, misalnya memberi hutang untuk hal-hal yang
dilarang dalam ajaran Islam seperti untuk membeli minuman keras, menyewa pelacur dan
sebagainya.

Adapun yang menjadi dasar hutang piutang dapat dilihat pada ketentuan Al-Qur’an dan Al-
Hadits, dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :

ِ ‫د ْال ِعقَا‬Rُ ‫ان َواتَّقُوا هَّللا َ ِإ َّن هَّللا َ َش ِدي‬


…‫ب‬ ِ ‫اونُوا َعلَى اِإْل ْث ِم َو ْال ُع ْد َو‬
َ ‫ َواَل تَ َع‬ 

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. al-Maidah : 2)

Dalam hutang piutang dilarang memberikan syarat dalam mengembalikan hutang.  Contoh :
Fatimah menghutangi Ahmad Rp. 100.000,- dalam waktu 3 bulan Ahmad harus mengembalikan
hutangnya menjadi Rp.110.000,-. Tambahan ini termasuk riba (tidak halal). Tetapi jika tambahan
ini tidak disyaratkan waktu aqad tetapi sukarela dari peminjam sebagai bentuk terima kasih,
maka hal ini tidak termasuk riba bahkan dianjurkan.
Rasulullah bersabda :

َ َ‫اسنُ ُك ْم ق‬
‫ضا ًء‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِسنًا فَا َ ْعطَى ِسنًا َخ ْيرًا ِم ْن ُسنَّ ِة َوق‬
ِ ‫ال ِخيَا ُر ُك ْم اَ َح‬ َ ‫ اِ ْستَ ْق َر‬: ‫ع َْن اَبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل‬
َ ِ‫ض َرسُوْ ُل هللا‬
‫﴿ﺮﻮﺍﻩﺍﺤﻤﺪ ﻮﺍﻠﺘﺭﻤﻴﻧﻯ ﻮﺼﺤﺤﻪ‬

Artinya :“Dari Abu Hurairah ia berkata Rasulullah SAW telah berhutang binatang ternak,
kemudian Beliau membayar dengan binatang yang lebih besar umurnya dari binatang yang
Beliau pinjam itu, dan Rasulullah bersabda : Orang yang paling baik di antara kamu adalah
orang yang dapat membayar hutangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad At-Turmudzi
dan telah menshohehkannya).

3. Beberapa Ketentuan dalam Hutang Piutang.


Dalam kehidupan bermasyarakat, sering terjadi pertikaan antar warga. Salah satu penyebabnya
adalah kurangnya pemahaman merekatentang ketentuan utang piutang yang seharusnya. Untuk
menghindari perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:

a. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.

Dalilnya firman Allah Swt :

‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن ِإلَى َأ َج ٍل ُم َس ّمًى فَا ْكتُبُوهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَ ْينَ ُك ْم َكاتِبٌ بِ ْال َع ْد ِل‬ 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar.”. (QS. Al-Baqarah: 282)

b. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang
yang berhutang.

Kaidah fikih berbunyi:

‫ض َج َّر نَ ْفعًا فَه َُو ِربًا‬


ٍ ْ‫ُكلُّ قَر‬

Artinya: “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. 

Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.

c. Melunasi hutang dengan cara yang baik.


Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:

– ‫ال‬َ َ‫اضاهُ فَق‬ َ َ‫ع َْن َأبِى هُ َري َْرةَ – رضى هللا عنه – قَا َل َكانَ لِ َر ُج ٍل َعلَى النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – ِس ٌّن ِمنَ اِإل بِ ِل فَ َجا َءهُ يَتَق‬
. َ‫ َوفَّى هَّللا ُ بِك‬، ‫ فَقَا َل َأوْ فَ ْيتَنِى‬. » ُ‫ فَقَا َل « َأ ْعطُوه‬. ‫ فَلَ ْم يَ ِجدُوا لَهُ ِإالَّ ِسنًّا فَوْ قَهَا‬، ُ‫ فَطَلَبُوا ِسنَّه‬. » ُ‫صلى هللا عليه وسلم – « َأ ْعطُوه‬
‫ضا ًء‬َ َ‫ار ُك ْم َأحْ َسنُ ُك ْم ق‬
َ َ‫» قَا َل النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – « ِإ َّن ِخي‬

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor
unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata,
“Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi
mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata:
“Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih.
Semoga Allah swt. membalas dengan setimpal”. Maka Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian
adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari)

d. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya

، ُ‫اس ي ُِري ُد َأدَا َءهَا َأ َّدى هَّللا ُ َع ْنه‬


ِ َّ‫ع َْن َأبِى هُ َر ْي َرةَ – رضى هللا عنه – َع ِن النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – قَا َل « َم ْن َأ َخ َذ َأ ْم َوا َل الن‬
‫هَّللا‬ َ ْ ‫َأ‬ ْ َ ‫َأ‬
ُ ُ‫» َو َم ْن خَ ذ ي ُِري ُد ِإتالَفَهَا تلفَه‬

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengambil
harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka
Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak
melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya”. (HR. Bukhari)

e. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.

Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara
keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada
kematian, atau semisalnya.
f. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang
memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.

Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam
diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang,
yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

g. Bersegera melunasi hutang.

Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia
telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-
menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat
zhalim. Sebagaimana hadits berikut:

‫ فَِإ َذا ُأ ْتبِ َع َأ َح ُد ُك ْم َعلَى َملِ ٍّى‬، ‫ط ُل ْال َغنِ ِّى ظُ ْل ٌم‬
ْ ‫ع َْن َأبِى ه َُر ْي َرةَ – رضى هللا عنه – َأ َّن َرسُو َل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – قَا َل « َم‬
‫» فَ ْليَ ْتبَ ْع‬

Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang
yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu
dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima
pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari Muslim). 

h. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi
hutangnya setelah jatuh tempo.

Allah Swt. berfirman:

َ َ‫ َوِإ ْن َكانَ ُذو ُعس َْر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ ِإلَى َم ْي َس َر ٍة َوَأ ْن ت‬ 
َ‫ص َّدقُوا َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu,
jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Rukun Utang-Piutang dan Pinjaman Harta

Terdapat tiga rukun dalam melaksanakan utang-piutang yang harus diperhatikan. Ketiga rukun
itu adalah sebagai berikut.

1. Ada yang berutang dan yang mengutangi.


2. Ada harta atau benda yang akan diutangi.
3. Melafalkan akad utang.

Lafal akad utang tak harus diucapkan. Seseorang cukup berniat bahwa ia akan berutang sejumlah
uang dan yang berpiutang akan meminjami sesuai yang diminta.

Jika ingin dilafalkan, contoh ucapan atau kalimat kesepakatan saat berutang adalah sebagai
berikut: “Saya utangi uang sejumlah sekian kepada Anda.”

Kemudian, yang berutang menjawab “Ya, saya berutang uang sejumlah sekian selama beberapa
hari [disebutkan berapa lama], atau jika sudah ada uang untuk mengembalikan akan saya lunasi.”

Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 280, terdapat anjuran untuk memberikan kelonggaran
waktu kepada orang yang berutang jika tak memiliki harta untuk melunasinya.

Mengikhlaskan utang apabila orang tersebut benar-benar tidak mampu dinilai sebagai kebaikan
dan sedekah.
Ayat Al-Quran tentang Utang-Piutang

Ayat Al-Quran yang dibahas di sini adalah surah Al-Baqarah ayat 280-283 tentang utang-
piutang, mulai dari anjuran mencatat, pemberian jaminan, hingga keutamaan mengikhlaskan
utang.

Berikut ini bacaan surah Al-Baqarah ayat 280-283 dalam bahasa Arab, Latin, terjemahannya,
serta tafsir singkat mengenai empat ayat tersebut.

َ َ‫َوِإ ْن َكانَ ُذو ُعس َْر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ ِإلَ ٰى َم ْي َس َر ٍة ۚ َوَأ ْن ت‬


َ‫ص َّدقُوا َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ۖ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

Bacaan latinnya: "Wa ing kāna żụ 'usratin fa naẓiratun ilā maisarah, wa an taṣaddaqụ khairul
lakum ing kuntum ta'lamụn"

Artinya: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui,” (QS. Al Baqarah [2]: 280).

ْ ‫ت َوهُ ْم اَل ي‬ ۟
َ‫ُظلَ ُمون‬ ٍ ‫َوٱتَّقُوا يَوْ ًما تُرْ َجعُونَ فِي ِه ِإلَى ٱهَّلل ِ ۖ ثُ َّم تُ َوفَّ ٰى ُكلُّ نَ ْف‬
ْ َ‫س َّما َك َسب‬

Bacaan latinnya: "Wattaqụ yauman turja'ụna fīhi ilallāh, ṡumma tuwaffā kullu nafsim mā
kasabat wa hum lā yuẓlamụn"

Artinya: "Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu
semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna
terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan),"
(QS. Al Baqarah [2]: 280).

ۚ ُ ‫ب َك َما َعلَّ َمهُ ٱهَّلل‬َ ُ‫ب َكاتِبٌ َأن يَ ْكت‬ َ ‫ن ِإلَ ٰ ٓى َأ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَٱ ْكتُبُوهُ ۚ َو ْليَ ْكتُب بَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢبٌ بِ ْٱل َع ْد ِل ۚ َواَل يَْأ‬Rٍ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإ َذا تَدَايَنتُم بِ َد ْي‬
‫ض ِعيفًا َأوْ اَل يَ ْست َِطي ُع َأن‬ َ ْ‫ق َسفِيهًا َأو‬ ُّ ‫ق ٱهَّلل َ َربَّهۥُ َواَل يَبْخَ سْ ِم ْنهُ َش ْيـًٔا ۚ فَِإن َكانَ ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه ْٱل َح‬ ِ َّ‫ق َو ْليَت‬ُّ ‫فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْليُ ْملِ ِل ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه ْٱل َح‬
‫َأ‬ ۟
ُّ
‫ضوْ نَ ِمنَ ٱلشهَدَٓا ِء ن‬ َ ْ‫َان ِم َّمن تَر‬ ِ ‫ن ِمن ِّر َجالِك ْم ۖ فَِإن ل ْم يَكونَا َر ُجلَ ْي ِن فَ َر ُج ٌل َوٱ ْم َر ت‬Rِ ‫يُ ِم َّل هُ َو فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُّهۥُ بِ ْٱل َع ْد ِل ۚ َوٱ ْستَش ِهدُوا َش ِهي َد ْي‬
‫َأ‬ ُ َّ ُ ْ
ٰ
ُ‫ص ِغيرًا َأوْ َكبِيرًا ِإلَ ٰ ٓى َأ َجلِ ِهۦ ۚ َذلِ ُك ْم َأ ْق َسط‬ َ ُ‫ُوا ۚ َواَل تَ ْسـَٔ ُم ٓو ۟ا َأن تَ ْكتُبُوه‬ ۟ ‫ب ٱل ُّشهَدَٓا ُء َذا ما ُدع‬ َ ‫َض َّل ِإحْ َد ٰىهُ َما فَتُ َذ ِّك َر ِإحْ َد ٰىهُ َما ٱُأْل ْخ َر ٰى ۚ َواَل يَْأ‬ ِ ‫ت‬
َ ‫ِإ‬
َ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح َأاَّل تَ ْكتُبُوهَا ۗ َوَأ ْش ِهد ُٓو ۟ا ِإذا‬ َ َ ُ
َ ‫ض َرة ت ِديرُونَهَا بَ ْينَك ْم فلي‬ ُ ً ً ٰ ُ ‫َأ‬ ‫ٓاَّل‬ ۟ ‫اَّل‬‫َأ‬ ٓ ‫َأ‬ ٰ َّ
ِ ‫ِعن َد ٱ ِ َو ق َو ُم لِلشهَ َد ِة َو ْدن َٰى تَرْ تَاب ُٓوا ۖ ِإ ن تَكونَ تِ َج َرة َحا‬ ْ ‫َأ‬ ‫هَّلل‬
۟ ُ‫ق ب ُك ْم ۗ َوٱتَّق‬
‫وا ٱهَّلل َ ۖ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ٱهَّلل ُ ۗ َوٱهَّلل ُ بِ ُكلِّ َش ْى ٍء َعلِي ٌم‬ ٌ ۢ ‫وا فَِإنَّ ۥهُ فُسُو‬ ۟ ُ‫ُضٓا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي ٌد ۚ َو ن تَ ْف َعل‬ َ ‫تَبَايَ ْعتُ ْم ۚ َواَل ي‬
ِ ‫ِإ‬

Bacaan latinnya: "Yā ayyuhallażīna āmanū iżā tadāyantum bidainin ilā ajalim musamman
faktubụh, walyaktub bainakum kātibum bil-'adli wa lā ya`ba kātibun ay yaktuba kamā
'allamahullāhu falyaktub, walyumlilillażī 'alaihil-ḥaqqu walyattaqillāha rabbahụ wa lā yabkhas
min-hu syai`ā, fa ing kānallażī 'alaihil-ḥaqqu safīhan au ḍa'īfan au lā yastaṭī'u ay yumilla huwa
falyumlil waliyyuhụ bil-'adl, wastasy-hidụ syahīdaini mir rijālikum, fa il lam yakụnā rajulaini fa
rajuluw wamra`atāni mim man tarḍauna minasy-syuhadā`i an taḍilla iḥdāhumā fa tużakkira
iḥdāhumal-ukhrā, wa lā ya`basy-syuhadā`u iżā mā du'ụ, wa lā tas`amū an taktubụhu ṣagīran au
kabīran ilā ajalih, żālikum aqsaṭu 'indallāhi wa aqwamu lisy-syahādati wa adnā allā tartābū illā
an takụna tijāratan ḥāḍiratan tudīrụnahā bainakum fa laisa 'alaikum junāḥun allā taktubụhā,
wa asy-hidū iżā tabāya'tum wa lā yuḍārra kātibuw wa lā syahīd, wa in taf'alụ fa innahụ fusụqum
bikum, wattaqullāh, wa yu'allimukumullāh, wallāhu bikulli syai`in 'alīm"

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
(berutang) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang
berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya
jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu,” (QS. Al-Baqarah [2]: 282).

ِ َّ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد الَّ ِذي اْؤ تُ ِمنَ َأ َمانَتَهُ َو ْليَت‬
‫ق هَّللا َ َربَّهُ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُموا‬ ُ ‫ضةٌ ۖ فَِإ ْن َأ ِمنَ بَ ْع‬
َ ‫َان َم ْقبُو‬
ٌ ‫وَِإ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَ ٰى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِجدُوا َكاتِبًا فَ ِره‬
ُ ‫هَّللا‬ ْ َّ ُ ْ
‫الشهَا َدةَ ۚ َو َم ْن يَكت ْمهَا فَِإنهُ آثِ ٌم قَلبُهُ ۗ َو ُ بِ َما تَ ْع َملونَ َعلِي ٌم‬ َّ

Bacaan latinnya: "Wa ing kuntum 'alā safariw wa lam tajidụ kātiban fa rihānum maqbụḍah, fa in
amina ba'ḍukum ba'ḍan falyu`addillażi`tumina amānatahụ walyattaqillāha rabbah, wa lā
taktumusy-syahādah, wa may yaktum-hā fa innahū āṡimung qalbuh, wallāhu bimā ta'malụna
'alīm"

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al Baqarah [2]: 283).

Orang yang berutang lazimnya dalam kondisi sulit. Dengan demikian, pemberi utang dilarang
meminta tambahan pembayaran atau bunga dalam pelunasan utang. Bunga utang tergolong
dalam kategori riba.

Hal itu tergambar dalam sabda Rasulullah SAW: “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat
atau semacamnya termasuk dari beberapa macam ribā,” (H.R. Baihaqi).

Akan tetapi, jika orang yang berutang memberi tambahan sebagai rasa terima kasih karena sudah
ditolong, hal itu diperbolehkan.

Misalnya, seseorang yang berutang Rp100.000, kemudian ia mengembalikannya sebanyak


Rp110.000 tidak tergolong riba. Tambahan pemberian ini harus dengan syarat sukarela dan
bukan dalam bentuk paksaan.

Dalil bolehnya memberi dengan ikhlas saat pengembalian utang tergambar dalam sabda Nabi
Muhammad SAW: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu ialah ketika membayar utang [dengan
tepat waktu]." Abu Hurairah kemudian berkata: ”Rasulullah SAW telah berutang hewan,
kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu".
Rasulullah bersabda: 'Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar
utangnya dengan yang lebih baik',"(H.R. Ahmad dan Tirmidzi).

Sementara itu, orang yang memberi utang dianjurkan untuk menyedekahkan utangnya, baik itu
sebagian atau seluruhnya, sebagaimana tergambar dalam Al-Baqarah ayat 280. Pemberian itu
dinilai sebagai sedekah yang berpahala besar di sisi Allah SWT.

Pada ayat 282, Allah SWT memerintahkan orang yang bertransaksi utang-piutang untuk
melakukan pencatatan agar tidak lupa. Manfaat pencatatan utang lainnya adalah untuk
mengklaim apabila salah satu pihak mangkir dari utang tersebut.
Untuk menghindari hal-hal tak diinginkan, transaksi utang juga sebaiknya mendatangkan dua
saksi laki-laki. Jika tidak ada, saksinya dapat berupa satu laki-laki dan dua perempuan untuk
bersaksi atas proses utang-piutang tersebut.

Kemudian, ayat 283 menjelaskan jika utang itu tak ditulis, hendaknya ada barang jaminan yang
diberikan kepada orang yang berpiutang. Apabila dalam waktu tertentu utang itu tak
dikembalikan, barang jaminan menjadi hak milik orang berpiutang.

Dilansir laman Dompet Dhuafa, utang adalah perkara berat tanggung-jawabnya dalam Islam.
Saking beratnya, seseorang yang meninggal masih memiliki utang, keluarganya harus melunasi
utang tersebut untuk meringankan hisabnya di akhirat.

Dalam hadis riwayat Ibnu Majah disebutkan: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih
memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan
kebaikannya [di hari kiamat nanti] karena di sana [di akhirat] tidak ada lagi dinar dan
dirham,” (H.R. Ibnu Majah).

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda: “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan
utangnya hingga dia melunasinya,” (H.R. Tirmidzi).

Sementara itu, orang yang sejak awal berutang berniat untuk tidak melunasinya, maka ia
dikategorikan sebagai pencuri karena mengambil harta yang bukan haknya.

“Siapa saja yang berutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah
[pada Hari Kiamat] dalam status sebagai pencuri,” (H.R. Ibnu Majah).

Hukum Utang Piutang Dalam Islam


Hukum utang piutang dalam Islam adalah mubah atau boleh, bahkan Islam menganjurkan
pemeluknya untuk memberi utang kepada orang yang mempunyai kebutuhan.

Utang masuk dalam akad sosial yang mendapatkan janji pahala. Asalkan tidak mengandung
unsur haram dalam utang piutang yakni riba. Artinya, meminjam uang dan diharuskan
membayarnya lebih dari uang yang dipinjamkan.

Dalam bahasa Arab, utang disebut dengan Al-Qardh yang secara etimologi artinya adalah
memotong. Sedangkan, menurut syari atau kaidah Islam memiliki makna memberikan harta
dengan dasar kasih sayang kepada siapa pun yang membutuhkan dan dimanfaatkan dengan
benar, serta akan dikembalikan lagi kepada yang memberikan. 

Dalam ajaran Islam, orang yang berutang dan memberi utang diatur dan dicatat dengan baik agar
tidak terjadi masalah di kemudian hari. Selain itu, orang yang meminjam uang atau berutang
harus mempunyai niat kuat mengembalikannya.

Jika tidak bisa melunasi utang sesuai batas waktu yang telah ditentukan hendaknya
dimusyawarkan antara kedua pihak, sehingga tidak terjadi konflik. Sebab, banyak konflik akibat
tidak membayar utang tepat waktu hingga berujung pada pembunuhan.

Karena itu, pentingnya pencatatan dalam masalah utang dan kerelaan antara kedua pihak.

Dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar jika bermuamalah yakni
melakukan utang piutang harus dicatat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al baqarah
ayat 282:

ْ‫ب َك َما عَلَّ َمهُ هّٰللا ُ فَ ْليَ ْكتُ ۚب‬ ٓ


َ ‫ن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوْ ۗهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢبٌ بِ ْال َع ْد ۖ ِل َواَل يَْأ‬Rٍ ‫يٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي‬ ٰ
َ ُ‫ب َكاتِبٌ اَ ْن يَّ ْكت‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menuliskannya. (QS. Al Baqarah:
282).

Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat MA menjelaskan, semua ulama sepakat
bahwa yang namanya qardh, kalau dilihat dari sisi si piutang atau yang memberikan utang itu
hukumnya sunnah. Dengan kata lain bahwa piutang itu merupakan sebuah qurbah (ibadah) yang
pengerjaannya diganjar pahala.

Kenapa dinilai ibadah? Karena memang memberikan utang itu adalah bagian dari membebaskan
orang lain dari kesulitan. Karena bagaimanapun, orang yang datang meminta utang itu –
biasanya- memang orang yang sedang ditimpa kesulitan finansial yang tidak punya jalan keluar
lagi kecuali dengan berutang.

Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda:

“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan
meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang
yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat.
Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat.
Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebtu menolong saudaranya.”
(HR. Muslim).

Dalam Al-mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (13/113), ulama menerangkan bahwa hukum


qardh atau utang piutang itu bisa berubah tergantung situasi dan kondisi. Utang Piutang bisa
menjadi wajib dari sisi piutang jika memang pengutang itu dalam keadaan yang sangat mendesak
dan butuh pertolongan, yang sekiranya jika tidak diberi akan menyebabkan kebahayaan yang
besar. Dan ketika itu si piutang dalam keadaan yang lapang dan berlebih uang, maka yang seperti
ini menjadi wajib.

Akan tetapi jika memang pengutang tidak dalam keadaan yang sangat sulit, seperti orang yang
berhutang bukan karena sulit, tapi kerana memang ingin memajukan usaha atau sejenisnya, tentu
golongan ini tidak sama seperti orang yang kesulitan.

Utang Menjadi Dosa

Selain potensi pahala yang banyak dari memberi utang dan menerima utang, ternyata utang juga
bisa menjerumuskan orang ke dalam dosa. Di antara dosa yang ditumbulkan karena utang adalah
tidak membayar kepada Allah dan Manusia.

Berutang kepada Allah yakni tidak menjalankan puasa dan sholat. Karena itu, jika lupa belum
melaksanakan ataupun sengaja meninggalkan sholat maka harus segera dibayarnya dengan cara
meng-qodho.

Yang lebih bahaya lagi, sholat lima waktu ini tidak bisa digantikan oleh orang lain sebagaimana
puasa Ramadhan yang bisa dibadalkan atau digantikan orang lain dalam hal ini anak kandung. 

Kedua, utang kepada manusia harus segera ditunaikan atau dilunasi dan tidak boleh ditunda-
tunda. Berikut dosa orang yang berutang tidak dibayar:

1. Tidak Masuk Surga

Orang yang meninggal dunia namun masih punya tanggungan utang maka tidak masuk surga.
Rasulullah SAW bersabda:
‫ق الرُّ و ُح ْال َج َس َد َوه َُو بَ ِري ٌء‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأنَّهُ قَا َل َم ْن فَا َر‬
َ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن َرسُو ِل هَّللا‬
َ ِ ‫ع َْن ثَوْ بَانَ َموْ لَى َرسُو ِل هَّللا‬
ُ ُ ْ ْ َّ ْ
ِ ‫ث َدخَ َل ال َجنةَ ِم ْن ال ِكب ِْر َوالغل‬
‫ول َوال َّد ْي ِن‬ َ
ٍ ‫ِم ْن ثاَل‬

"Barangsiapa disaat ruhnya berpisah dengan jasadnya ia terbebas dari tiga hal maka ia akan
masuk surga, yaitu; sombong, mencuri ghanimah sebelum dibagi dan hutang."(HR. Ibnu Majah)
[No. 2412 Maktabatu Al Maarif Riyadh] Shahih.

2. Jiwanya Tergantung Utangnya

َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَ ْفسُ ْال ُمْؤ ِم ِن ُم َعلَّقَةٌ بِ َد ْينِ ِه َحتَّى يُ ْق‬
ُ‫ضى َع ْنه‬ َ ِ ‫ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬

Dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Jiwa seorang
mukmin itu bergantung dengan hutangnya hingga terbayar." (HR. Ibnu Majah) [ No. 2413
Maktabatu Al Maarif Riyadh] Shahih.

3. Pahalanya Diambil untuk Bayar Utang

Bagi orang yang sudah meninggal namun belum melunasi utangnya maka pahalanya selama
hidup akan diambil untuk membayar utang tersebut.

‫ْس ثَ َّم ِدينَا ٌر َواَل ِدرْ هَ ٌم‬ ِ ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َماتَ َو َعلَ ْي ِه ِدينَا ٌر َأوْ ِدرْ هَ ٌم ق‬
َ ‫ض َي ِم ْن َح َسنَاتِ ِه لَي‬ َ ِ ‫ع َْن ا ْب ِن ُع َم َر قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬

Dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
meninggal sementara ia mempunyai tanggungan hutang satu dinar atau satu dirham, maka akan
diganti dari pahala kebaikannya pada hari yang dinar dan dirham tidak berguna lagi." ( HR. Ibnu
Majah ) [ No. 2414 Maktabatu Al Maarif Riyadh] Shahih. 

4. Seperti Pencuri

ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َأيُّ َما َرج ٍُل يَ ِدينُ َد ْينًا َوه َُو ُمجْ ِم ٌع َأ ْن اَل ي َُوفِّيَهُ ِإيَّاه‬
َ ِ ‫ب ْب ِن َع ْم ٍرو َح َّدثَنَا صُ هَيْبُ ْالخَ ي ِْر ع َْن َرسُو ِل هَّللا‬
ِ ‫ع َْن ُش َع ْي‬
‫ارقًا‬ ‫س‬
ِ َ َ َ ِ ‫هَّللا‬ ‫ي‬ ‫ق‬َ ‫ل‬

Dari Syuaib bin Amru berkata, telah menceritakan kepada kami Shuhaib Al Khair dari
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: "Siapa saja berhutang dan ia berencana
untuk tidak membayarnya kepada pemiliknya, maka ia akan menjumpai Allah dengan status
sebagai pencuri." (HR. Ibnu Majah) [ No. 2410 Maktabatu Al Maarif Riyadh] Hasan.

5. Diampuni Dosanya Kecuali Utang

َ ِ ‫اص َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬


ٍ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل يُ ْغفَ ُر لِل َّش ِهي ِد ُكلُّ َذ ْن‬
َ‫ب ِإاَّل ال َّد ْين‬ ِ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ِرو ْب ِن ْال َع‬

Dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Seorang yang mati syahid akan diampuni segala dosa-dosanya kecuali utang." (HR. Muslim)
[No. 1886 Syarh Shahih Muslim] Shahih.

Anda mungkin juga menyukai