Anda di halaman 1dari 16

Melissa L

Politeknik Negeri Jakarta

Kendala dalam Menerjemahkan Artikel Opini Jakarta Globe

I. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin


cepat di era globalisasi ini membuat masyarakat semakin mudah dalam
mengakses suatu berita. Berita tersebut tidak hanya berita yang terjadi di
dalam negeri, tetapi juga berita terkait luar negeri. Hal inilah yang kemudian
memicu munculnya artikel berbahasa asing. Artikel berbahasa asing ini
biasanya didapatkan dari hasil wartawan yang ditugaskan untuk meliput suatu
berita di luar negeri. Artikel berbahasa asing ini kemudian dipublikasikan di
internet dan diakses oleh masyarakat dari berbagai belahan dunia. Selain itu,
ada juga artikel berbahasa asing yang diterjemahkan, misalnya artikel yang
diterbitkan oleh situs seperti Jakarta Globe diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia untuk dapat dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Setiap artikel
yang diterbitkan memiliki gaya penulisan tersendiri sesuai dengan fungsinya
sebagai media informasi. Gaya penulisan ini biasanya menggunakan bahasa
yang padat dan jelas untuk dibaca agar hasil terjemahannya sama akuratnya
dengan teks sumber namun tetap menarik untuk dibaca di bahasa sasaran. Hal
inilah yang menjadi tantangan bagi penerjemah jurnalistik ketika
menerjemahkan sebuah artikel.

Dalam menerjemahkan berita, ada beberapa kendala yang sering


menjadi sorotan seorang penerjemah jurnalistik, antara lain ejaan, gaya
bahasa, struktur kalimat, pemilihan kata, serta makna atau pesan dalam teks
sumber. Ketiga hal tersebut tidak boleh berubah maupun berbeda dari teks
sumber agar terciptanya hasil terjemahan yang bermutu. Penerjemah
jurnalistik dituntut untuk mampu memindahkan pesan dari teks sumber (TSu)
ke dalam teks sasaran (TSa) secara utuh agar hasil terjemahannya tidak
menyesatkan. Menurut Nababan (2012), terjemahan yang berkualitas ialah
terjemahan yang memenuhi tiga aspek, yaitu keakuratan, keberterimaan, dan
keterbacaan. Suatu teks terjemahan dikatakan berterima apabila pembaca
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

tidak dapat mengenali bahwa teks tersebut merupakan hasil penerjemahan.


Aspek keterbacaan dapat ditinjau dari kemampuan pembaca dalam memahami
dan membaca suatu teks hasil terjemahan. Sementara itu, teks terjemahan
dapat dikatakan akurat jika teks tersebut mampu menyampaikan pesan dari
teks sumber ke teks sasaran. Dalam kata lain, hasil terjemahan suatu artikel
yang baik tidak hanya harus berterima dan terbaca, tetapi juga harus akurat
dari segi pesan. Terjemahan yang tidak baik adalah terjemahan yang
menyesatkan dan sekaligus meracuni pembaca (Nababan, 2003). Oleh karena
itu, penting bagi penerjemah untuk menguasai bahasa sumber dan bahasa
sasaran agar terjemahan yang dihasilkan berkualitas tinggi.

Dengan demikian, penulis membatasi topik makalah pada tiga kendala


yang dihadapi ketika menerjemahkan artikel opini Jakarta Globe berjudul
“Opinions Should Never Be Dressed Up as Scientific Fact: Indonesian Media
and Disinformation”, yaitu (1) konsistensi dan kesepadanan dalam pemilihan
kata; (2) perubahan struktur kalimat pada teks sumber dan teks sasaran (3)
pelesapan kata pada teks sasaran, juga pengaruhnya dalam Etika Profesi
Penerjemah. Selanjutnya, tujuan penelitian dijabarkan menjadi tiga, yaitu (1)
menjelaskan kendala apa saja yang ditemukan ketika menerjemahkan artikel
opini; (2) menjelaskan penyebab dari masing-masing kendala tersebut; (3)
serta hubungan kendala tersebut dengan etika profesi penerjemah.

II. PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis penerjemahan yang telah dilakukan di salah satu


artikel opini Jakarta Globe terdapat 3 kendala utama ketika menerjemahkan
teks artikel tersebut, yaitu konsistensi dan kesepadanan dalam pemilihan kata,
perubahan struktur kalimat pada teks sumber dan teks sasaran, dan pelesapan
kata pada teks sasaran.

1. Pemilihan Kata
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

Dalam menerjemahkan teks jurnalistik atau artikel, pemilihan kata seringkali


menjadi kendala bagi para penerjemah. Pada artikel ini ditemukan dua jenis
pemilihan kata yaitu kekonsistenan dan kesepadanan dalam pemilihan kata.
a. Konsistensi dalam Pemilihan Kata
Ketika menerjemahkan sebuah teks, kata-kata yang sama pasti sering
ditemukan. Kata-kata tersebut diterjemahkan berulang. Penggunaan
kata inilah yang disebut dengan konsistensi leksikal dan konsistensi
leksikal ini dapat dikelompokkan untuk membentuk rantai leksikal.
Rantai leksikal ini diusulkan oleh Lotfur-Saedi (1997) sebagai salah
satu aspek di mana kesetaraan terjemahan antara teks sumber dan teks
sasaran dapat diukur. Namun, pada penerjemahan jurnalistik,
konsistensi rupanya tidak terlalu diperhatikan.
TSu 1: Opinions Should Never Be Dressed Up as Scientific Fact:
Indonesian Media and Disinformation
TSa 1: Media dan Hoaks di Indonesia: Jangan jadikan Opini sebagai
Fakta Ilmiah

TSu 2: If Indonesia wants to be a country truly supportive of quality,


honest and dignified research, its media must stop giving space to
writing containing opinions dressed up as scientific fact.

TSa 2: Jika Indonesia ingin menjadi negara yang benar-benar


mendukung penelitian bermutu, jujur, dan bermartabat, maka media
harus berhenti memberi ruang untuk artikel berisi opini yang
berkedok fakta ilmiah.

TSu 1 dan TSu 2 sama-sama memiliki kata dress-up pada kalimatnya.


Namun, kata tersebut diterjemahkan menjadi dua kata yang berbeda,
yaitu jadikan dan berkedok. Ditinjau dari keakuratan, kedua kata
tersebut sepadan dengan kata dalam teks sumber, akan tetapi jika
ditinjau dari konsistensi, kedua kalimat ini kurang berterima pada teks
sasaran.
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

b. Kesepadanan dalam Pemilihan Kata


Catford (1965) mendefinisikan penerjemahan sebagai penempatan
atau replacement teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam
bahasa sasaran. Kesepadanan inilah yang kemudian berpengaruh
dalam pemilihan kata agar terciptanya keselarasan makna. Perhatikan
contoh berikut.
TSu: We as scholars must weigh into the discussion to provide a
corrective and promote Indonesian research excellence.
TSa: Kita sebagai cendekiawan harus mempertimbangkan hal ini
untuk mengoreksi dan meningkatkan keunggulan penelitian Indonesia.
Kata scholars pada teks sumber di atas merujuk pada makna kaum
terpelajar yang diterjemahkan menjadi ‘cendekiawan’ yang memiliki
makna sebagai orang pandai. Dalam konteks ini, penerjemah sudah
sangat baik menerjemahkan istilah scholars tersebut menjadi
‘cendekiawan’ dimana dalam bahasa sasaran sangat berterima.

2. Struktur Kalimat
Struktur kalimat pada gaya penulisan dapat memengaruhi kualitas suatu
terjemahan. Hal ini dikarenakan hasil terjemahan berkualitas adalah hasil
penerjemahan sesetia mungkin yang berarti struktur dalam teks sasaran sebisa
mungkin disamakan dengan struktur kalimat teks sumber. Contoh:
TSu: The article has errors and if left uncorrected the public will remain
misled.
TSa: Artikel ini salah dan jika dibiarkan tanpa diperbaiki, akan menyesatkan
banyak orang.
Meskipun pesan dalam kalimat TSu cukup tersampaikan ke dalam kalimat
TSa, tetapi struktur kalimat TSu berubah dalam TSa. Pada klausa ketiga, the
public diterjemahkan menjadi ‘banyak orang’ dan tingkatan gramatikalnya
pun berubah. The public pada TSu berfungsi sebagai subjek, sedangkan pada
TSa ‘banyak orang’ merupakan objek kalimat. Hal ini tentu diperbolehkan
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

dalam penerjemahan, meskipun akan lebih baik jika struktur tata bahasa pada
TSu sama dengan tata bahasa pada TSa. Akan tetapi, makna yang terkandung
dalam bahasa sumber (BSu) tersampaikan ketika diterjemahkan ke dalam
bahasa sasaran (BSa). Selain itu, pemilihan kata yang digunakan pun sudah
tepat. Misalnya, kata misled yang diterjemahkan menjadi menyesatkan. Hal
serupa juga terjadi pada klausa the article has errors yang diterjemahkan
menjadi artikel ini salah.

3. Pelesapan Kata
Pada artikel opini tersebut terdapat sebuah frasa yang dilesapkan dan
digantikan dengan kata lain. Perhatikan contoh di bawah ini.
TSu: We as scholars must weigh into the discussion to provide a corrective
and promote Indonesian research excellence.
TSa: Kita sebagai cendekiawan harus mempertimbangkan hal ini untuk
mengoreksi dan meningkatkan keunggulan penelitian Indonesia.
Frasa “into the discussion” pada teks sumber hilang dan digantikan dengan
kata ‘hal ini’ pada teks sasaran. Kendala ini disebut juga dengan pelesapan,
yaitu dimana frasa tersebut melesap dengan frasa ‘mempertimbangkan hal
ini’. Pada kasus ini, penerjemah mengakalinya dengan melesapkan frasa
tersebut dan menggantinya dengan kata ‘hal ini’ pada teks sasaran dengan
tujuan agar makna pada TSu tetap utuh. Pelesapan terjadi dipengaruhi oleh
aspek keberterimaan dalam penerjemahan. Pelesapan berarti kata tersebut
lesap (hilang) tetapi pesan-pesan pada kalimat teks sumber tetap tersampaikan
dan tidak berubah.

Hubungan Kendala tersebut dengan Etika Profesi Penerjemah

Berdasarkan hasil paparan di atas, kendala-kendala yang paling sering


dihadapi oleh seorang penerjemah jurnalistik dalam menerjemahkan artikel ialah
kesetiaan dan keakuratan. Kesetiaan ini sudah termasuk kekonsistenan pemilihan kata
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

dan struktur kalimat, sedangkan keakuratan berhubungan dengan pelesapan kata dan
serta kesepadanan dalam pemilihan kata. Kesetiaan artinya hasil terjemahan tersebut
mengikuti struktur maupun bentuk aslinya dalam teks sumber. Penerjemahan yang
setia berupaya mereproduksi makna kontekstual secara tepat atau persis seperti dalam
teks sumber (Newmark, 1988). Dalam kata lain, penerjemahan diusahakan betul-betul
setia pada bahasa sasaran dari segi gramatikal yaitu tata bahasa dalam bahasa sumber,
maupun dari segi leksikal yang mencakup pesan-pesan dan realisasi teks. Misalnya,
pada contoh kendala dalam menerjemahkan artikel opini di atas, ditemukannya
perubahan struktur kalimat dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Meskipun
penerjemah dibolehkan mengubah struktur, alangkah lebih baik jika struktur kalimat
TSu dan struktur kalimat TSa tetap sama. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar
penerjemah sesetia mungkin ketika menerjemahkan sebuah teks.

Pada artikel ini, selain kesetiaan gramatikal, ditemukan juga kendala dalam
keakuratan, salah satunya kesepadanan dalam pemilihan kata. Jika ditinjau dari 3
aspek kualitas penerjemahan, kesepadanan masuk ke dalam aspek keakuratan.
Menurut Naratama (2017), inti dari aspek keakuratan ialah kesepadanan antara teks
sumber dengan teks sasaran yang mengarah pada kesamaan atau kesesuaian pesan
antar teks. Contoh kasus pada penerjemahan artikel ini yaitu pemilihan kata
terjemahan yang tepat untuk kata scholars. Walaupun terjemahan literal kata scholars
adalah sarjana, penerjemah artikel ini menerjemahkan kata scholars menjadi
cendekiawan, karena kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu ‘kaum
terpelajar’.

Kesetiaan dan kesepadanan dalam penerjemahan ini berkaitan erat dengan


etika profesi penerjemah. Robinson (2003) mendefinisikan etika penerjemahan
sebagai praktik untuk menjaga makna teks sumber tidak terdistorsi. Penerjemahan
yang berkualitas tentu adalah penerjemahan yang makna pesan dari bahasa sumber
tersampaikan ke dalam bahasa sasaran. Artinya, makna tersebut tidak berubah
maupun diputarbalikkan pada bahasa sasaran. Hal ini bukanlah mudah bagi
penerjemah, sebab dalam kasus-kasus tertentu, penerjemah secara tegas diminta
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

untuk mengubah makna teks asli untuk memenuhi harapan pembaca, misalnya
penerjemahan teks cerita anak-anak, televisi, dan kampanye iklan (Robinson, 2003).
Sesuai dengan aturan nomor 7 dari 14 aturan proses kerja penerjemah, penerjemah
dituntut untuk tidak berkompromi dengan kualitas terjemahan yang berkaitan dengan
makna, keakuratan teknis atau keakuratan faktual. Penerjemah artikel berjudul
“Opinions Should Never Be Dressed Up as Scientific Fact: Indonesian Media and
Disinformation” ini sudah mengikuti aturan nomor 7 tersebut dengan mendahulukan
kesepadanan makna dari pada kesetiaan gramatikal. Hal ini terbukti dari contoh-
contoh kendala yang dipaparkan sebelumnya. Selain itu, penerjemah juga sudah
mengikuti aturan proses kerja penerjemah nomor 3, yang berbunyi “Jangan pernah
menginterpretasi konten teks sumber, atau mengubah konten atau struktur teks
sumber tanpa berunding dengan pemberi kerja”. Secara konten atau makna pada teks
sasaran tidak ada yang berubah. Namun, masih ada beberapa kalimat yang memang
secara struktur gramatikalnya berubah dengan tetap mempertahankan makna kalimat
tersebut tersampaikan pada teks sasaran.

III. PENUTUP

Berdasarkan hasil paparan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kendala yang
sering ditemukan dalam menerjemahkan teks artikel yaitu konsistensi dan
kesepadanan dalam pemilihan kata, perubahan struktur kalimat pada teks sumber dan
teks sasaran, dan pelesapan kata pada teks sasaran. Hasil terjemahan artikel tersebut
sudah mengikuti aturan profesi penerjemah dimana penerjemah lebih mengutamakan
keakuratan makna agar setiap makna yang terkandung dalam kalimat TSu tidak
terdistorsi. Jika ditinjau dari segi pesan, hasil terjemahan artikel tersebut secara
keseluruhan sudah akurat meskipun hasil terjemahannya belum konsisten terutama
dalam pemilihan kata dan struktur tata bahasa. Meskipun demikian, alangkah baiknya
jika penerjemah juga memperhatikan konsistensi dalam menerjemahkan suatu artikel.
Hal ini dikarenakan konsistensi dan keakuratan sama-sama penting untuk mencapai
hasil terjemahan berkualitas. Dengan demikian, kesetiaan dan kesepadanan harus
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

seimbang dalam penerjemahan, meskipun dalam praktiknya, kedua hal ini jarang
diperhatikan dalam penerjemahan bidang jurnalistik.
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

References
Catford, J. C. (1965). A Linguistic Theory of Translation. Oxford: Oxford University.

Mangatur Nababan, Ardiana Nuraeni & Sumardiono. (2012). Pengembangan Model


Penilaian Kualitas Terjemahan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Nababan, M. (2003). TEORI MENERJEMAH BAHASA INGGRIS. Yogyakarta: Pustaka


Belajar.

Naratama, B. B. (2017). Analisis Strategi Penerjemahan Berita BBC Indonesia dan


Pengaruhnya pada Kualitas Terjemahan. Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia.

Newmark, P. (1988). A Textbook of Translation. New York: Prentice-Hall International.

Robinson, D. (2003). Becoming a translator: An introduction to the theory and practice of


translation. London: Routledge.
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

Opinions Should Never Be Dressed Up as Scientific Fact: Indonesian Media and


Disinformation

BY :NELLY MARTIN-ANATIAS, SHARYN GRAHAM DAVIES

FEBRUARY 25, 2020

If Indonesia wants to be a country truly supportive of quality, honest and dignified


research, its media must stop giving space to writing containing opinions dressed up
as scientific fact.

The Indonesian government is encouraging quality research, and Indonesian


researchers, both in Indonesia and abroad, are becoming increasingly visible. The
research of academics such as Merlyna Lim, Muhamad Ali and many others are
becoming highly cited internationally.

The media has an important role in promoting the scientific work of Indonesian
researchers, ensuring this research becomes well-known in academic circles and,
importantly, in the wider community. Indonesian media should promote articles that
are supported by empirical data and valid evidence. The Indonesian government,
through the Education and Culture Ministry, is encouraging research, and
collaboration with foreign researchers, to create quality research. But when the media
publishes articles, including opinion pieces, that contain logical fallacies (such as
erroneous generalizations, claims without evidence, misinterpretation), we as scholars
must weigh into the discussion to provide a corrective and promote Indonesian
research excellence.

We are weighing in here to build Indonesia's reputation as a country committed to


research excellence and a country that will highlight when errors of opinion have
been published.

We want to provide a correction to an article published by Republika on Jan. 10,


2020, entitled "Reynhard: Repeated Patterns" by Ihshan Gumilar. This article
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

contains the writer's personal opinion presented as a scientific fact. The article has
errors and if left uncorrected the public will remain misled.

Ihshan is a doctoral student at the University of Auckland (UoA) in New Zealand.


Shortly after his opinion was published, the university asked Republika to remove its
name. Students are allowed to express personal opinions but not using their university
affiliation.

The university also noted that writers are committing academic fraud if their opinions
are unfounded or not accompanied by reason or evidence, and if they are speaking
outside their field of expertise.

The university has stressed that staff and students must respect UN policies relating to
human rights. At a time when Indonesia is growing its academic reputation, the
publication of articles such as Ihshan's is damaging.

He presents a number of unsubstantiated opinions and here we mention two. Claim 1:


Without giving a clear or coherent reason, Ihshan connects the sexual crimes
committed by convicted rapist Reynhard Sinaga with sexual orientation. This link is
clearly mistaken and baseless and Ihshan offers no evidence to support it. Claim 2:
Ihshan misinterprets scientific research to support his opinion.

For instance, Ihshan cites an article by Sylva and colleagues published in 2013 to
support his claim that increasing numbers of crimes are committed by gay men. But
after a careful reading of the Sylva article, we could find no mention of such a fact.

Ihshan has either accidentally or on purpose misinterpreted this article. There is no


evidence presented in Ihshan's article to support his assertion that gay men become
rapists, or that the heinous crimes committed by Reynhard were caused by his sexual
orientation. For Ihshan to claim that neuropsychology has discovered such a link is
preposterous and dangerous.
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

Instead of being presented with evidence and a robust argument, readers are assumed
gullible enough to take Ihshan's opinions as fact. A very similar case also occurred a
while ago.

We support freedom of speech, something now possible in Indonesia in the


Reformasi era. But Indonesian media must have the integrity to uphold its code of
ethics and ensure writers clearly distinguish personal opinion from scientific fact.

To be seen and treated as a country with intellectual power, Indonesia's media has a
responsibility to publish robust research so that people can have access to the
development of science.
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

UNOFFICIAL TRANSLATION

Media dan Hoaks di Indonesia : Jangan jadikan Opini sebagai Fakta Ilmiah

Media di Indonesia seharusnya hanya menerbitkan artikel-artikel yang didukung


data berdasarkan pengamatan dan bukti yang sah.

Oleh: Nelly Martin-Anatias, Sharyn Graham Davies

25 FEBRUARI 2020

Jika Indonesia ingin menjadi negara yang benar-benar mendukung penelitian


bermutu, jujur, dan bermartabat, maka media harus berhenti memberi ruang untuk
artikel berisi opini yang berkedok fakta ilmiah. Pemerintah Indonesia mendorong
penelitian berkualitas dan peneliti Indonesia yang berada di dalam dan luar negeri
semakin menjadi sorotan. Penelitian yang dilakukan oleh akademisi seperti Merlyna
Lim, Muhamad Ali serta masih banyak lainnya kini menjadi referensi internasional.

Media memiliki peran penting dalam mengangkat penelitian ilmiah oleh para peneliti
Indonesia dengan memastikan penelitian ini dikenal di kalangan akedemisi dan yang
terpenting, di kalangan masyarakat luas. Media di Indonesia seharusnya mengangkat
artikel yang didukung oleh data empiris serta bukti yang valid.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mendorong


dilakukannya penelitian dan kerja sama dengan peneliti asing, untuk menciptakan /
menghasilkan penelitian yang berkualitas. Namun, saat media menerbitkan artikel
yang mengandung opini dan kesalahan logika (seperti gagasan yang keliru, klaim
tanpa bukti, dan penasfiran yang salah), kita sebagai cendekiawan harus
mempertimbangkan hal ini untuk mengoreksi dan meningkatkan keunggulan
penelitian Indonesia.

Kami berusaha untuk membangun reputasi Indonesia sebagai negara yang


berkomitmen pada penelitian berkualitas dan akan menyoroti ketika ada kesalahan
opini yang telah diterbitkan.
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

Kami ingin memberikan koreksi terhadap artikel yang diterbitkan Republika pada 10
Januari 2020 berjudul “Reynhard: Repeated Patterns” oleh Ihshan Gumilar. Artikel
ini mengandung opini pribadi si penulis yang dijadikan sebagai fakta ilmiah. Artikel
ini salah dan jika dibiarkan tanpa diperbaiki, akan menyesatkan banyak orang.

Ihshan adalah mahasiswa doktoral (S3) University of Auckland (UoA) di Selandia


Baru. Tidak lama setelah opininya diterbitkan, pihak universitas meminta Republika
untuk menghapus nama universitas tersebut. Mahasiswa diperbolehkan untuk
mengungkapkan opini pribadi tetapi tidak mengatasnamakan universitas.

Universitas itu juga menambahkan bahwa penulis dapat dianggap melakukan


penipuan di bidang akademis jika pendapat mereka tidak berdasar atau tidak didasari
dengan alasan atau bukti yang sah, dan apabila mereka berbicara di luar bidang
keahliannya.

Pihak Universitas tersebut menekankan bahwa pegawai dan mahasiswanya harus


mematuhi kebijakan PBB mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Pada saat Indonesia
sedang mengembangkan reputasi akademiknya, penerbitan artikel seperti milik
Ihshan justru memberi dampak buruk.

Ihshan menyampaikan sejumlah pendapat yang tidak berdasar dan ada dua hal yang
kami sorot. Pertama, tanpa memberikan alasan yang masuk akal, Ihshan mengaitkan
kejahatan seksual yang dilakukan oleh terpidana Reynhard Sinaga dengan orientasi
seksualnya. Hal ini jelas salah dan tidak berdasar. Ihshan juga tidak menyertakan
bukti sebagai pendukung opininya tersebut. Kedua, Ihshan salah menafsirkan
penelitian ilmiah untuk mendukung pendapatnya.

Contohnya, Ihshan mengutip sebuah artikel oleh Sylva dan rekan yang diterbitkan
pada tahun 2013 untuk mendukung klaimnya bahwa semakin banyak kejahatan yang
dilakukan oleh pria gay. Tetapi setelah membaca artikel Sylva dengan cermat, kami
tidak dapat menemukan fakta tersebut.

Ihshan salah menafsirkan artikel ini secara sengaja ataupun tidak sengaja. Tidak ada
bukti dalam artikel Ihshan yang mendukung pernyataannya bahwa pria homoseksual
Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

menjadi pemerkosa, atau bahwa kejahatan keji yang dilakukan oleh Reynhard
disebabkan oleh orientasi seksualnya. Pernyataan Ihshan bahwa neuropsikologi telah
menemukan hubungan kedua hal tersebut dianggap tidak masuk akal dan berbahaya.

Ihsan menganggap mudah untuk menipu pembaca karena mereka memandang opini
Ihsan sebagai fakta walau tidak ada bukti dan argumen yang kuat. Kasus serupa juga
terjadi beberapa waktu yang lalu

Kami mendukung kebebasan berpendapat sebagai sesuatu yang lumrah di era


Reformasi ini. Namun, media di Indonesia harus memiliki integritas untuk
menjunjung tinggi kode etik dalam beropini dan memastikan para penulis mampu
secara jelas membedakan antara opini pribadi dan fakta ilmiah.

Agar dipandang dan diperlakukan sebagai negara yang memiliki kekuatan intelektual,
media di Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mempublikasikan penelitian yang
berkualitas sehingga masyarakat dapat mengakses perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan.

Translator: Melissa Lydia, Inanti P Diran. 2019.


Melissa L
Politeknik Negeri Jakarta

Pengertian dari kata metode adalah prinsip dan praktik pengajaran


bahasa guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Metode penerjemahan
digunakan sebagai landasan teori dalam mengatasi permasalahan yang timbul
ketika menerjemahkan suatu teks. Newmark memaparkan teori metode
penerjemahannya dalam diagram berikut.

Penekanan pada BSu Penekanan pada BSa

Penerjemahan kata per kata Adaptasi

Penerjemahan harfiah Penerjemahan bebas

Penerjemahan setia Penerjemahan idiomatis

Penerjemahan semantis Penerjemahan komunikatif

1. Penerjemahan kata per kata

Metode penerjemahan yang pertama ini mempertahankan kata demi


kata dalam BSU ke BSa. Newmark berpendapat bahwa metode ini
merupakan tahap awal ketika seseorang menerjemahkan suatu teks
yang sulit dipahami olehnya. Metode ini mungkin bukan metode yang
tepat dalam penerjemahan tetapi dianggap membantu ketika
penerjemah sama sekali belum menangkap pesan dalam teks sumber
(Benny, 2006). Di zaman modern ini, metode penerjemahan inilah
yang digunakan oleh terjemahan mesin seperti Google Translate.

Anda mungkin juga menyukai