Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS PERISTIWA PEMBANTAIAN RAWA GEDE

Kelompok : 1. Aqila Rafa El Gozi

2. Muhammad Fayyadh Athallah Nugroho

3. Nisa Adiibah Ramadhani

4. Siti Fitria Ayu Ningsih

5. Thabit Rafiano Abulcassis

Kelas : XII MIPA 3

A. Peristiwa Rawagede
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede
(sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang dan
Bekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi
militer pertama. Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang.
Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan
jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara
Belanda melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede
dibunuh tanpa alasan jelas.

B. Kronologi Peristiwa Rawagede


Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda
di bawah pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap
rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian
memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat
yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka
ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang
mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Pemimpin tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua
penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang berhasil
melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun
menuturkan bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya
disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –
istilah penduduk setempat: "didrèdèt"- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena
tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada
kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan,
tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede
juga melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah tindakan yang
jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431 jiwa,
karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.

C. Penyelesaian Peristiwa Rawagede

Kasus ini masuk ranah publik pada 1968, ketika satu laporan menyebutkan
pemerintah Belanda mengakui terjadi tindak kekerasan yang berlebihan di Rawagede.
Namun Belanda juga mengatakan tindakan itu diperlukan untuk meredam dan mencegah
perang gerilya dan serangan teror. Pembunuhan Rawagede berlangsung ketika Belanda
menggelar operasi keamanan yang lebih dikenal dengan Agresi Militer Belanda I yang
ditujukan untuk merebut Jawa dan Sumatra. Setelah muncul laporan tahun 1968, kasus
Rawagede sepertinya kembali tenggelam dan baru ramai dibicarakan lagi ketika program
dokumenter televisi mengangkat kembali kesaksian orang-orang yang selamat, beberapa
dekade kemudian. Alasan kadaluwarsa. Pemerintah Belanda mengakui pada 1995 bahwa
ada eksekusi di Rawagede, walau juga menegaskan kasusnya tidak bisa dibawa ke
pengadilan karena sudah kadaluwarsa.

Pada Desember 2009, sebanyak 10 keluarga korban memutuskan menggugat


pemerintah Belanda ke pengadilan dan sekitar dua tahun kemudian pengadilan
memutuskan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian Rawagede.
Akhirnya Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah
Belanda harus bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan
keluarganya. Belanda membayarkan uang sekitar 20.000 Euro atau Rp.247 jt untuk 9
keluarga korban.
D. Pelanggaran HAM pada Peristiwa Rawagede
Peristiwa Rawagede merupakan peristiwa pembantaian, hal ini teridentifikasi kedalam
tindakan kejahatan perang yang merupakan tindakan pelanggaran terhadap hak-hak hidup
manusia, siapapun memiliki hak hidup yang telah dianugrahkan Tuhan kepada manusia.
Tidak ada seorang pun atau negara mana pun yang yang berhak menghilangkan hak hidup
orang atau bangsa lain.
Peristiwa ini juga merupakan kejahatan perang dan pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia, hal ini sesuai dengan konvensi Jenewa, pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949
meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa bersenjata,
maka orang-orang yang dilindungi oleh konvensi ini harus" in all circumstance be treated
humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex,
birth, or wealth or other similar criteria" disini jelas bahwa semua orang terutama warga
sipil harus dilindungi dalam kondisi perang dari berbagai tindakan yang mengancam
kehidupan mereka.
Pada tahun 1947, Peristiwa Rawagede terjadi pada tahun 1947, sedangkan konvensi
Jenewa baru diratifikasi pada tahun 1949, tetapi tindak kejahatan apalagi terhadap warga
sipil walaupun dalam masa perang haruslah menjadi pusat perhatian, bokan cuma hak
tentara saja yang diperhatikan sebagaimana konvensi-konvensi sebelum tahun 1949.
Indikator yang menunjukkan bahwa Peristiwa Rawagede termasuk ke dalam tindakan
kejahatan perang dan melanggar hak hidup manusia adalah sebagai berikut.
1. Pembunuhan dilakukan bukan terhadap tentara dalam proses terjadinya
pertempuran
2. Yang dibunuh adalah rakyat biasa yang tidak bersenjata
3. Para korban dalam keadaan tidak berdaya:
4. Para korban tidak melakukan perlawanan
5. Para korban bukanlah sasaran yang dicari, yaitu para pejuang di bawah pimpinan
Lakas Kustaryo, mereka hanya sebagai pelampiasan kemarahan tentara Belanda.

Adapun pembantaian Rawagede ini melanggar beberapa pasal di UUD 1945, yaitu :
1) Pasal 28 A : Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
kehidupannya.
2) Pasal 28 D ayat 1 : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.
3) Pasal 28 E ayat 3 : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
4) Pasal 28 G ayat 1 : Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
5) Pasal 28 G ayat 2 : Setiap orang berhak atas bebas dari penyiksaan, atau perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik
negara lain.
6) Pasal 28 I ayat 1 : Hak untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan, pikiran dan hati
nurani, beragama, tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.
7) Pasal 28 I ayat 2 : Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak memndapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
8) Pasal 28 J ayat 1 : Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
9) Pembantaian ini juga melanggar Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan hak asasi manusia (HAM) terutama pada pasal 7, dimana disebutkan
tentang Kejahatan genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan.

Selain itu juga, melanggar dasar negara atau ideologi bangsa kita yaitu
pancasila, terutama pada sila ke 2, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila
ini menjelaskan tentang :

1) Pengakuan terhadap adanya martabat manusia dengan segala


2) hak asasinya yang harus dihormati oleh siapapun.
3) Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia.
4) Pengertian manusia beradab yang memiliki daya cipta, rasa, karsa dan iman,
sehingga nyatalah bedanya dengan makhluk lain.
Namun nyatanya hal yang dilakukan tentara Belanda pada pembantaian ini
merupakan suatu hal yang bisa dibilang tidak beradab.

Anda mungkin juga menyukai